Oleh: Rira Nurmaida
Di antara para guru Imam Syafi’i tercatat nama seorang muslimah. Namanya Nafisah, seorang ulama’ wanita yang menjadi guru para ulama’-ulama’ besar. Ia adalah putri dari Hasan al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pada tahun 145 H, ia dilahirkan di Mekkah al-Mukaramah, dan pada usia lima tahun ayahnya membawanya ke Madinah. Di kota itulah ia menghapal al-Qur’an dan mempelajari tafsirnya. Selain dikenal karena keluasan dan kedalaman ilmunya, ia juga terkenal sebagai seorang yang zuhud, dan tekun beribadah sepanjang hayatnya.
Zainab binti Yahya, putri saudaranya yang selalu menyertai dan menemaninya sepanjang hidupnya, saat berbicara tentang Nafisah, mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an dan menafsirkannya, ia membaca Al-Qur’an dengan menangis sambil berdo’a, ‘Tuhanku, Mudahkanlah untukku berziarah ke tempat Nabi lbrahim as.”
Nafisah datang ke Mesir pada tahun 193 H. Ia tinggal di kota al-Arisy. Penduduk kota itu menyambut dan senantiasa mengunjunginya untuk menimba ilmu darinya. Saking banyaknya orang yang mengunjungi untuk belajar darinya, ia merasa kesulitan dan kehabisan waktu untuk bertaqarrub kepada Allah sehingga ingin kembali ke Madinah.
Ia berkata, “Dulu, aku memang ingin tinggal di tempat kalian, tetapi aku ini seorang wanita yang lemah. Orang-orang yang mengunjungiku sangat banyak, sehingga menyulitkanku untuk melaksanakan wirid dan mengumpulkan bekal untuk akhiratku. Lagi pula, rumah ini sempit untuk orang sebanyak itu. Selain itu, aku sangat rindu untuk pergi ke raudhah kakekku, Rasulullah Saw.”
Untuk mengatasi hal tersebut, penguasa Mesir saat itu, Sirri al-Hakam mendatanginya untuk menghibahkan padanya sebuah rumah yang luas untuk menerima tamu dan mengusulkan agar dia menetapkan jadwal dua hari dalam seminggu untuk menerima mereka sementara hari-hari lainnya digunakan untuk beribadah.
Selama di Mesir, Nafisah dikunjungi oleh banyak fuqaha, tokoh-tokoh tasawuf, dan orang-orang saleh. Di antara mereka adalah Imam Syafi’i, Imam ‘Utsman bin Sa’id al-Mishri, Dzun Nun al-Mishri, Al Mishri as-Samarqandi, Imam Abubakar al-Adfawi dan lain-lain.
Ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir dan tinggal di sana, ia biasa mengunjungi Nafisah bersama beberapa orang muridnya. Terutama ketika berangkat menuju halaqah-halaqah pelajarannya di sebuah masjid di Fusthath, yaitu Mesjid ‘Amr bin al-‘Ash. Imam Syafi’i juga mendengarkan hadist darinya. Jika Imam Syafi’i pergi ke tempat Nafisah, ia meminta dido’akan olehnya. Bila berhalangan hadir karena sakit, Imam Syafi’i mengutus muridnya sebagai penggantinya.
Nafisah terus mengajar dan menyebarkan ilmunya di Mesir hingga menjelang wafatnya. Ketika sakit, ia menulis surat kepada suaminya, Ishaq al-Mu’tamin, yang sedang berada di Madinah dan memintanya datang. Suaminya pun datang bersama kedua anak mereka, al-Qasim dan Ummu Kultsum. Pada pertengahan pertama bulan Ramadan 208 H, sakitnya semakin parah. Pada saat itu ia dalam keadaan berpuasa. Orang-orang menyarankannya untuk berbuka demi menjaga kekuatan dan mengatasi sakit yang dideritanya. Ia pun menjawab,
“Sungguh aneh! Selama tiga puluh tahun aku meminta kepada Allah agar Ia mewafatkan aku dalam keadaan berpuasa. Maka bagaimana mungkin aku berbuka sekarang? Aku berlindung kepada Allah. Hal itu tidak boleh terjadi selamanya”. Kemudian ia membaca surah al-An’am. Ketika sampai pada ayat, “Untuk mereka itu kampung keselamatan (surga) di sisi Tuhan mereka. Dia penolong mereka berkat amalan yang mereka perbuat,” (QS. al-An’am: 127) Nafisah lalu mengucapkan kalimat syahadat, dan naiklah rohnya keharibaan Tuhannya.[]