Ontologi Materialisme Dibalik Pemikiran Syahrur

Pada 4 September 2019 lalu, tim CGS yang diwakili oleh Rahmatul Husni, berkesempatan untuk mewawancarai Ustadz Imdad, kandidat doktor Universitas Ibn Khaldun, Bogor, yang pernah menulis tugas akhir skripsi S1 mengenai pemikiran Muhammad Syahrur pada tahun 2011. Karya tulisnya itu berupa Studi Kritis terhadap Metodologi Kajian al-Qur’an yang dilakukan Syahrur. Sudut pandang yang digunakan ialah melalui Islamic Worldview dengan mengkaji terlebih dahulu basis ontologis dan epistemologi kajian Syahrur.

Mengenai disertasi yang berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” yang sempat begitu ramai diperbincangkan karena menulai kontroversi, Ustadz Imdad menceritakan bahwa sebenarnya penelitian yang beliau lakukan mengenai pemikiran Syahrur tidak terlalu terkait dengan disertasi yang sedang diperbincangkan. Bagi beliau walaupun isu ini menyangkut karya ilmiah setingkat doktor, namun ini adalah isu yang tidak seharusnya terjadi dalam wacana Islam di Indonesia. Sebab, Syahrur sebagai tokoh yang diangkat dalam disertasi tersebut tidak layak dijadikan rujukan. Sambil mengingat penelitiannya 9 tahun yang lalu, ustadz Imdad mengatakan bahwa kecenderungan pemikiran Syahrur adalah materialis. “Basis ontologi dari pemikiran Syahrur sendiri adalah materialisme historis dan itu mewarnai semua gagasannya baik itu di bidang bahasa, di bidang penafsiran al-Qur’an, dan lain-lain”, jelasnya.

Kenyataan demikian tidak terlalu mengherankan sebab sebagaimana yang dijelaskan secara singkat oleh ustadz Imdad, riwayat pendidikan Syahrur berlatar belakang sarjana teknik di salah satu universitas di Uni Soviet kala itu, dan memperoleh gelar doktornya di Irlandia. Latar belakang pendidikannya ini memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikirannya, hal ini bisa terlihat dari cara berfikir ‘sains klasik’ yang menghegemoni pikiran Syahrur. “Dia (Syahrur) berusaha membaca al-Qur’an itu dengan nalar yang sama dengan ketika dia membicarakan teori teknik yang dia pelajari di kampus” terang Ustadz Imdad. Adapun klaim Syahrur bahwa ia banyak meminjam teori-teori para ulama klasik Islam seperti Abdul Qohir al-Jurjani, Ibn Faris, Tsa’lab, Ibn Jinni dll. menurut Ustadz Imdad hanyalah merupakan ‘kosmetik’ semata dikarenakan pada kenyataannya pemikiran-pemikiran tersebut tidak diterapkan secara konsisten, “Yang secara konsisten dia pegang itu adalah ontologi materialistiknya itu,” ungkapnya.

Bagi beliau, isu mengenai disertasi tersebut menandakan telah terjadi sesuatu yang memang serius dalam Insitusi Pendidikan Tinggi Islam, “Serius, tetapi kita tidak bisa menyelesaikannya secara gegabah” yang kemudian dilanjutkan, “Tentu saja tidak boleh dibiarkan, kita harus mengobati penyakit yang kelihatan, harus direspon dengan menjelaskan milkul yamin yang benar.. dan hal ini sudah dilakukan oleh beberapa teman kita”. Tetapi menurut beliau respon yang lebih urgen sebetulnya adalah dengan bekerja senyap untuk mengembangkan tradisi ilmu Islam.

Ini disebabkan, menurut Ustadz Imdad, yang sedang umat Islam hadapi sekarang ini ialah suatu penyakit dimana kasus mengenai disertasi ini sebenarnya ‘hanya’ salah satu symptom saja. Penyakit utamanya ialah the loss of adab, terutamanya ketidakberadaban kita dalam berilmu.  “Konsekuensi dari kita yang tidak beradab dan tidak adil terhadap tradisi keilmuan kita akan melahirkan satu dari dua kemungkinan; liberalisme atau radikalisme”, ungkapnya. Persoalan mengenai disertasi mahasiswa doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini hanyalah seperti permukaan gunung es yang akar atau inti masalahnya telah dianalisis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Kekeliruan terhadap ilmu menurut Ustadz Imdad juga akan mengantarkan pada kekeliruan dalam memandang otoritas keilmuan, “Otoritas itu sama sekali tidak diindikasikan bahwa ia ditulis oleh seseorang yang bergelar doktor, profesor, atau bahwa ia ditulis dalam perguruan tinggi yang berlabelkan Islam. Tradisi keilmuan dalam Islam tidak ditentukan oleh itu.”

Beliau juga menjelaskan, “Tradisi keilmuan dalam Islam itu tidak ditentukan oleh itu melainkan ditentukan oleh satu komunitas ilmiah, karena itu ilmu dalam Islam selalu bersifat publik. Dalam tradisi Islam, kita terbiasa mendiskusikan ilmu itu di publik. Dalam tradisi hadis, fikih, dalam tradisi apa saja itu biasa.. terjadi diskusi publik itu hal yang seharusnya terjadi cuman sekarang ini sudah terlalu kompleks ya sehingga yang dibicarakan itu sudah terlalu banyak.”

Terkait momentum ramainya ketika kasus ini diperbincangkan oleh publik bersamaan dengan ‘memanasnya’ isu mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang mana kedua isu ini nampak memiliki hubungan di dalam wilayah kajian gender dan feminisme, Ustadz Imdad menanggapi dengan menekankan bahwa kedua isu ini lagi-lagi harus ditanggapi dengan adil dan beradab. “Ada begitu banyak isu dalam masalah gender ini. Dalam konteks Indonesia khususnya, gerakan feminisme itu sangat tidak relevan, dalam pengetian seperti yang selama ini dikampanyekan oleh sementara feminis” tegasnya, kemudian dilanjutkan, “Bahwa ada sebagian persoalan perempuan di Indonesia itu memang harus kita akui, tapi itu bisa kita selesaikan tidak melalui jalur feminisme, tapi harus melalui jalur tradisi kita sendiri dan itu sebetulnya tugas dari para perempuan”. Ia juga menyatakan bahwa saat-saat seperti ini kita butuh ulama-ulama perempuan yang cemerlang. Beliau menyebut nama Rahmah El-Yunusiyyah sebagai salah satu tokoh yang harus dijadikan contoh, “Itu kita butuh sekali, karena kalau yang berbicara kontra ketesetaraan gender itu laki-laki, itu akan dianggap mentah. Kalau perempuan lebih kredible.” Lanjutnya.

Mengenai wacana pengesahan RUU P-KS, Ustadz Imdad tidak banyak berkomentar, hanya beliau menduga melalui kesan yang muncul bahwa rancangan undang-undang tersebut seperti memuat agenda feminisme, “karena misalnya sampai harus ketika suami meminta istrinya untuk berkumpul, dan tidak mau, itu dianggap sebagai kekerasan, kan misalnya. Itukan jelas tidak sesuai dengan nilai yang diajarkan oleh hadits misalnya, semacam itu kan. Ya itu harus dijawab oleh perempuan sebenarnya dengan berlandaskan pada tradisi keilmuan yang kita miliki, dalam bahasa yang dipahami oleh orang sekarang.” Sebelum ditutup, beliau mengakhiri sesi wawancara ini dengan mengatakan, “kalau kata al-Attas tu yang kita harus lakukan sekarang adalah distatement dari tradisi yang kita punya, menyatakan ulang dengan bahasa yang difahami orang sekarang, yang audible, yang bisa didengar oleh orang sekarang.” Pungkasnya.

Rep. Sakinah
Ed. Rahmatul Husni

 

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.