Oleh: Irwan Rinaldi*
Suatu hari, di sebuah pertunjukkan yang menampilkan beberapa anak berbakat dari seluruh Indonesia, saya di kejutkan oleh sebuah unjuk kebolehan yang mencengangkan dari satu di antara peserta. Usianya baru urgen tahun. Namun, kelancaran bicara, kepercayaan diri, dan kefasihannya dalam mengungkapkan hikmah, sangat menakjubkan.
Tiba-tiba, dia menatap saya dengan dua bola matanya yang bersih, jernih. Lama, dia terdiam seperti sedang mengumpulkan sebuah urge yang besar.
Saya diam. Terus terang di antara sekian banyak hal yang membuat saya takjub di dunia ini, satu di antaranya adalah perkataan atau nasihat dari anak kecil. Dalam hati, saya menebak anak mungil ini pasti akan mengatakan sesuatu yang luar biasa.
Benar! Beberapa detik kemudian dia bertanya, “Kakak, boleh aku bertanya?”
Allahu Akbar! Benar, kan? Kemudian, dia terdiam sejenak. Saya semakin deg-degan. Dia sedang mengumpulkan urge yang mungkin jauh lebih besar, batin saya.
“Ada apa, Nak?” Tanya saya pelan. “Bertanyalah, silahkan, Nak!”
“Kakak, aku sering heran.” Katanya dengan tenang. Tenang sekali. Belum pernah rasanya saya menyaksikan anak seusia ini berbicara dengan ketenangan yang sangat tinggi.
“Kenapa banyak sekali di dunia ini orang yang pintar otaknya, tapi tidak pintar hatinya?” tanyanya dengan suara anak yang polos. “Dan kenapa terlalu sedikit orang yang pintar otak, pintar juga hatinya?”.
Kemudian, dia tersenyum manis sekali. Kedua matanya terus mengerjap-ngerjap. Mulutnya yang kecil dan menggemaskan itu terbuka sedikit. Pasti, dia sedang menunggu jawaban dari saya.
Saya tidak mampu berkata-kata. Mulut seperti terkunci rapat-rapat. Amat rapat. Pikiran saya kosong. Sungguh, saya tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan, kemampuan manipulasi sebagai orang dewasa sama sekali hilang.
Tiba-tiba, pikiran saya terbayang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tercinta. Benarlah rupanya, apa yang di sunnahkan Nabi mulia itu. Beliau, sepanjang hidupnya, amat memuliakan anak-anak dan dunianya. Bagi beliau, anak-anak adalah buah kecintaan yang wajib diperlakukan istimewa karena memang istimewa.
Saya ingat sebuah kisah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pertemuan dengan masyarakat. Di dalam pertemuan itu, bercampur antara orang dewasa dan anak-anak.
Sampailah pada jamuan makan dan minum. Makanan dan minuman telah dihidangkan. Seperti lazimnya orang dewasa, semua makanan dan minuman dibagikan secara merata di antara urge mereka saja. Beberapa anak sama sekali tidak dibagi, bahkan ada yang tidak kebagian sama sekali.
Yang mengejutkan adalah, Nabi mulia belum mengizinkan jamuan dimulai. Nabi yang amat kita rindukan ini, tiba-tiba meminta pendapat satu dari golongan anak-anak yang hadir. Semua sahabat terkejut. Mereka tidak menduga bahwa jamuan boleh dimulai hanya lantaran menunggu pendapat anak kecil.
Kemudian, anak kecil itu angkat bicara. Dia mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam jamuan makan-minum ini. Menurut sang Anak, adalah sebuah kezaliman jika urge pembagian minum dan makan hanya beredar di golongan orang dewasa.
Rasulullah terdiam, lalu tersenyum sambil mengiyakan apa yang dikatakan sang Anak. Subhanallah!
Kisah Rasulullah tersebut sangat menakjubkan. Saya seperti terbangun dari sebuah mimpi menakjubkan. Teman di sebelah mengingatkan saya untuk segera menjawab.
Anak ajaib itu masih tetap berdiri dengan badannya yang sudah mulai condong 30 derajat karena terlalu lama menunggu jawaban saya. “Kakak menangis, ya?” tanyanya polos. “Aku, kan, bertanya, bukan menyuruh kakak menangis.”
“Kakak memang menangis, Nak!” jawab saya terbata-bata. “Kakak tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Hanya kakak ingat sebuah pesan Nabi Muhammad saw. Kepada kami, orang dewasa…”
“Apa pesan Nabi, kak?” tanyanya dengan suara yang menggetarkan hati. Saya tak kuasa menahan langkah untuk mendekat padanya. Air mata terus mengalir tak tertahankan. Saya bergegas memeluknya, lalu berbisik.
“Kata Nabi kita, jangan pernah meremehkan anak-anak, karena ribuan bahkan jutaan hikmah, nasihat, dan pelajaran hidup datang dari suara hati anak-anak. Datang dari suara hatimu, Nak…!” kata saya terngungu-ngungu.
Anak cantik itu membulat-bulatkan bola matanya. Aura kebahagiaan tampak berhamburan keluar.
“Jadi, Nabi mencintai anak-anak ya, Kak?” katanya berbisik di daun telinga saya.
Kejadian itu telah berlangsung beberapa hari yang lalu. Namun sekarang, beberapa pertanyaan terus saja memburu pikiran saya, bahkan sampai ketika suatu saat saya shalat di sebuah masjid besar dan bagus.
Saya menyaksikan kezaliman orang dewasa – yang katanya taat beragama – terus berlangsung terhadap anak-anak. Bahkan, di sebuah rumah Allah yang sepanjang waktu lafaz asma-Nya kita sebut-sebut.
Saya menyaksikan, mengapa tak pernah ada satu pun penceramah yang mengawali ceramahnya dengan menyapa anak-anak. Padahal, mungkin separuh dari jamaah masjid itu adalah anak-anak.
Saya terusik, mengapa anak-anak terkadang ditempatkan sebagai terdakwa di setiap peraturan tata tertib shalat berjamaah di masjid? Mengapa harus selalu mereka yang dituduh sebagai biang keributan? Kenapa bukan ayah-ayah mereka yang diingatkan saja, agar menjaga dan mendidik anaknya? Mengapa kita, orang dewasa, beranggapan bahwa urge adalah monopoli kita semata?
Padahal, kata Nabi, hanya tiga perkara yang akan membebaskan kita dari azab kubur. Seperti sabda beliau: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah/ amal jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).
Penulis adalah Pendamping Fathering Skill, aktif melakukan sosialisasi gerakan ayah kembali mengasuh. Pendiri dan pengelola Lembaga Sahabat Ayah”