Oleh: Henri Shalahuddin
ADA dua tulisan yang menarik untuk disimak, pertama: “Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik” oleh Direktur CGS dan Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia; dan yang kedua: “Miskonsepsi (Kesesatan Membaca) tentang Feminisme dan Kekerasan Seksual” oleh komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,Komnas Perempuan dan mantan Direktur Eksekutif YJP.
Tulisan kedua secara khusus ditujukan untuk menanggapi tulisan pertama. Menariknya adalah kedua tulisan ini dibuat oleh dua penulis yang sama-sama perempuan. Bedanya, tulisan pertama bertujuan mengajak pembaca berpikir kritis dan mewaspadai maksud terselubung dibalik kampanye penghapusan kekerasan seksual (P-KS). Sementara tulisan kedua menguatkan kampanye P-KS dan menafikan adanya muatan ideologi terselubung.
Tulisan kedua yang dibuat komisioner dari Komnas Perempuan, dimulai dengan mengekspos kasus-kasus dan pengalaman ketertindasan perempuan. Dengan cara ini barangkali pembaca akan terbawa emosinya dan menaruh empati. Strategi seperti ini biasa dilakukan feminis yang meyakini jargon: “Personal is Political“. Aksi memompa kemarahan kolektif ini dalam sejarah feminisme, sangat jamak dilakukan elit feminis dengan menyuarakan terus menerus pengalaman ketertindasan perempuan. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa “women are more oppressed“, dan dengan demikian pintu masuk perempuan menuju jalan “kebebasan” kian terbuka lebar.
Gaya-gaya personalisasi dunia perempuan dengan keberagaman permasalahannya sebenarnya sangat beresiko. Sebab membuat kaedah umum dan kebijakan publik berdasarkan kasus parsial bukan saja tidak ilmiah, tapi juga berpotensi mengesampingkan persoalan-persoalan yang terjadi pada perempuan yang berbeda.
Kasta dalam Gerakan Perempuan
“Miskonsepsi Feminisme dan Kekerasan Seksual” adalah fakta “kemarahan” feminis terhadap perempuan yang berbeda, sehingga seolah-olah berhak diperlakukan dalam kasta yang berbeda.Hal ini mengingatkan bagaimana dulunya feminis liberal menyebut perempuan-perempuan non bule dan dunia ketiga dengan stigma rasis, “women of color”.Kelompok wanita kulit hitam di Amerika Serikat yang tergabung dalam “Black Woman Organized for Action” (BWOA), dan “National Black Feminist Organization” (NBFO) bersama perempuan dunia ketiga mengenalkan diri mereka sebagai “the other Others” dan “inappropriated others”. Mereka mengkritik feminisme Barat yang secara naif berbicara mengatasnamakan perempuan dunia ketiga sebagaimana dinyatakan Gayatri Spivak dalam bukunya, In Other World: Essays in Cultural Politic.
Feminisme yang awalnya didirikan melalui gerakan perempuan tertindas, justru menindas dan membeda-bedakan sesama kaum perempuan (rasisme). Marlene LeGates dalam In Their Time, A History of Feminism in Western Society, menyatakan bahwa di antara kesalahan utama feminis adalah menganggap semua perempuan mempunyai karakter, kepentingan dan kepribadian yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap perempuan yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka. Masalah inkonsistensi dan rasisme kerap menjangkiti elit feminis.
Sebagai contoh, ketika Nelly Roussel menyuarakan pendapatnya tentang kesetaraan derajat di antara wanita pada awal abad 20, hampir semua perempuan dari kelas atas dan menengah memiliki budak perempuan. Bahkan secara rasis, Anne Kenney dan rekan-rekan feminisnya di Inggris menganggap superioritas mereka lebih tinggi dibanding perempuan Asia yang mereka pandang sebagai perempuan lemah.
Padahal Anne Kenney dikenal dengan seruannya tentang persamaan perempuan yang tidak memandang latar belakang negara, politik dan kelas. Beberapa feminis yang berlatar belakang seperti Roussel dan Kenney yang merupakan golongan wanita kelas atas, dikenal sebagai penindas wanita.
Frances Ellen Watkins Harper, seorang pembaharu Afrika-Amerika,mengingatkan dari pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih,termasuk setiap wanita kelas pekerja, boleh mendiskriminasikan Anda. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, gerakan feminis mengembangkan keanggotaan yang relatif heterogen. Meskipun demikian, perempuan yang sadar terhadap pembagian kelas, biasanya tetap memilih untuk tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai feminis. Walaupun pada saat yang sama, mereka juga sama-sama berjuang melawan penindasan gender. Perempuan- perempuan ini menganggap diri mereka sebagai sosialis, dan feminis sering diidentifikasi sebagai musuh utama mereka, karena mereka melihat feminisme mengecilkan perjuangan kelas pekerja melawan kapitalis.
Perlakuan beda kasta dan merendahkan seperti yang diperagakan feminis bule terhadap women of color, juga menimpa peneliti AILA gara-gara mengkritik gagasan feminisme tentang kekerasan berbasis gender. Simak ungkapan yang bernada sarkastik berikut ini:
“… Misal, pantat Anda diremas-remas di dalam KRL, meskipun Anda berpakaian lengkap dan tertutup. Orang yang meremas tubuh Anda melakukan hal tersebut karena merasa tubuh Anda adalah obyek yang pantas untuk diperlakukan demikian. Bahwa tubuh Anda boleh-boleh saja dipegang-pegang. Apakah Anda tidak akan marah diperlakukan demikian?..”
Saya hampir tidak percaya jika ungkapan seperti itu ditulis oleh ibu komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk perempuan yang berbeda pandangan. Padahal dalam tulisannya itu, dia meminta kepada aparat hukum untuk tidak melemparkan pertanyaan-pertanyaan cabul pada korban.
Namun kenapa ungkapan sarkastik-cabul itu dilontarkan kepada peneliti AILA yang juga perempuan? Di sinilah syarat dan ketentuan kasta berlaku. Belum lagi tuduhan kepada peneliti AILA sebagai pihak yang tidak berpikiran terbuka, tidak berpengetahuan luas, tidak pernah melakukan kebaikan apapun untuk kaum perempuan, dan beragam ungkapan merendahkan lainnya.
Namun satu-satunya penggalan pernyataan dari ibu komisioner Komnas Perempuan yang agak ilmiah dan tidak emosional adalah:
“Bagaimana dengan spiritualis feminis seperti Nawal El Sadaawi, Amina Wadud dan Fatima Mernissi yang justru menganggap justru kebebasan perempuan adalah bagaimana mereka dapat bebas mencintai Tuhannya?”
Pernyataan ini dimaksud untuk menanggapi tulisan peneliti AILA yang membenarkan apa yang ditulis Yasmin Mogahed dalam bukunya Reclaim Your Heart, bahwa saat feminisme Barat menghapus Tuhan dari gambaran besar maka tidak ada lagi standar yang tersisa bagi kaum perempuan selain standar kaum laki-laki.
Saya katakan agak ilmiah karena ia sudah berusaha menunjukkan bukti bukan memaki. Meskipun bukti tersebut tidak memenuhi standar makna spiritulisme dalam agama yang diyakini oleh ketiga feminis di atas (Islam). Terlebih lagi Amina Wadud Muhsin yang dikenal dengan aksi akrobatnya mengimami shalat di gereja dengan makmum laki-laki dan perempuan bercampur-baur dalam deretan saf yang sama. Apakah ini yang dimaksud ibu komisioner dengan “kebebasan mencintai Tuhannya” meskipun diekspresikan dengan gaya bebas di luar aturan yang digariskan?
Pada Juni 2009, saya pernah berada dalam satu forum bersama Amina. Ternyata ia kurang banyak memahami Islam, bahkan untuk ajaran yang paling mendasar sekalipun, yakni tauhid. Saat itu Amina mempertontonkan adegan “sirkus” terhadap istilah baku dalam Islam. Tauhid menurutnya diartikan bahwa Allah mempersatukan segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk mempersatukan antara moslem or not moslem, masculine-feminine, man-woman, homosexual – non homosexual, dst. Di samping itu dia sangat pemarah dalam menanggapi kritikan. Tentunya saya tidak hendak menyamakan Amina dan ibu komisioner.
Politisasi Tubuh di balik RUU P-KS?
Bagi feminis, tubuh perempuan termasuk organ reproduksinya diyakini mempunyai kuasa tawar (bargaining power) untuk membangun tradisi baru dalam kehidupan individu, keluarga dan sosial. Dora Russell, misalnya mengusulkan agar menjadikan tubuh perempuan sebagai alat politik untuk meraih tuntutan hak-hak perempuan. Ide pembebasan tubuh perempuan dalam menikmati kesenangan seksual adalah tema yang ditekankan berulang-ulang untuk memberi kemajuan perempuan ke arah kesetaraan dan kebebasan. Maka tugas penting feminisme modern menurut Russel adalah untuk menerima dan mempropagandakan seks. Dari sinilah muncul ide mempolitisasi tubuh perempuan untuk menguasai dunia.(lihat: The Body and Socialism: Dora Russell in the 1920s).
Shulamith Firestone dalam bukunya: The Dialectic of Sex berpendapat bahwa organ reproduksi membuat perempuan mudah dikontrol laki-laki, dan derajatnya dipandang lebih rendah sepanjang sejarah. Teori biologisme Firestone bagaimana pun telah mengenalkan teori dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui isu-isu tentang seksualitas dan reproduksi.
Solusi feminis untuk melawan hegemoni dan dominasi laki-laki dalam masalah seksual terangkum dalam jargon ”My Body My Rights”. Jargon ini merupakan kampanye global untuk menghentikan kontrol dan kriminalisasi seksualitas dan reproduksi. Tubuh perempuan adalah hak milik perempuan yang tidak boleh diintervensi oleh agama, negara dan laki-laki. Maka perempuan mempunyai kewenangan mutlak untuk mengelola, mengatur dan mengekspresikan tubuhnya sendiri secara bebas dan mandiri. Termasuk hak melakukan aborsi dan hak memilih melakukan atau menolak berhubungan seksual dengan suami atau orang yang dikehendaki.
Maka dari sini dapat dipahami kenapa istilah yang digunakan feminis dalam RUU P-KS adalah “kekerasan seksual”, bukan “kejahatan seksual”? Kekerasan seksual bisa berarti segala aktivitas seksual yang dilakukan terhadap korban atas dasar ketiadaan persetujuan dan kerelaan, atau karena keterpaksaan.
Maka dengan menggunakan istilah “kekerasan seksual” cakupan deliknya semakin luas, termasuk berpotensi memidanakan suami atas delik pemerkosaan terhadap istrinya; atau kepada suami yang selalu membujuk istrinya agar mau melahirkan anak. Juga termasuk tentang kebebasan perempuan melakukan aborsi, dan di sisi lain istilah kekerasan seksual berkecenderungan “melindungi” pegiat penyimpangan seksual, seperti prostitusi, LGBT, dll.
Menggunakan istilah “kejahatan seksual”, tentunya membawa beban kerja yang lebih berat untuk memahamkan masyarakat. Sebab sistem nilai keindonesiaan otomatis akan menolak segala macam delik di atas. Inilah maksud kekuatiran yang timbul di kalangan masyarakat bijak pandai sehingga perlu mewaspadai agenda tersembunyi dari feminis di balik perluasan definisi kekerasan seksual menjadi kekerasan berbasis gender dan keengganan mereka mengganti dengan istilah “kejahatan seksual”.
Penutup
Maraknya kasus kebebasan seksual yang berakibat pada pemerkosaan, kehamilan di luar nikah, fenomena penyimpangan perilaku seksual, dll., adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya menuntut penyelesaian secara arif. Bukan malah dipolitisasi untuk menancapkan ideologi yang berpotensi merusak ketahanan keluarga Indonesia. Segala bentuk kejahatan seksual adalah tindak kemungkaran dan berbasis nafsu, bukan gender. Sebab baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pelaku atau korban kejahatan seksual. Maka memaksakan solusi hukum yang berangkat dari pandangan hidup (worldview) asing yang kosong dari nilai-nilai spiritualitas dan keindonesiaan merupakan bentuk anopsia nalar gender yang tidak berkeindonesiaan.
*Penikmat Studi Gender dan Pemikiran Islam
Sumber: https://m.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2018/03/04/137005/pengalaman-ketertindasan-dan-anopsia-nalar-gender.html/2