Oleh Nunu Karlina, S.Pd.
Asisten Peneliti CGS dan Alumnus Akademi Siroh
Hijrah adalah peristiwa penting dan penuh makna dalam sejarah Islam. Al-Bugha menyatakan bahwa dalam terminologi syara’, hijrah adalah meninggalkan negeri kafir karena khawatir mendapat fitnah (gangguan), menuju Darul Islam (2011: 40).
Allah subhana wa ta’ala memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk meninggalkan Makkah sebagai upaya menghindar dari cacian, makian, siksaan, dan berbagai intimidasi lainnya yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Muslimin. Rasulullah menghadapi berbagai kesulitan dalam proses berpindah menuju Madinah tersebut, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Selama perjalanan, Rasulullah harus melalui aral yang melintang sebagai pembuktian ketaqwaan dan tawakal sepenuhnya pada Rabb semesta alam.
Pada akhirnya, kepiawaian strategi Nabi berpadu dengan takdir Allah. Sejarah mencatat hijrah sebagai awal momentum kegemilangan kejayaan Islam. Di balik kesuksesan hijrah Nabi ke Madinah, ada satu sosok Muslimah yang sangat layak untuk kita teladani. Siapakah ia? Ia adalah Asma’binti Abu Bakar ra. Ia seorang anak, istri, ibu, sekaligus prajurit mulia.
Keistimewaan Asma’binti Abu Bakar ra.
Asma’binti Abu Bakar ra. adalah shahabiyah yang terkenal keilmuan dan ketaqwaannya. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam. Ketika cahaya Islam menyinari Jazirah Arab, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ayah Asma’, adalah laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam. Karena itu, tidak heran jika Asma’ memeluk agama tauhid ini sejak dini sehingga termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam. “Jika dibuat nomor urut daftar orang yang masuk Islam, maka Asma’ berada pada urutan ke-18. Artinya, hanya ada 17 orang yang lebih dulu masuk Islam darinya, baik laki-laki dan perempuan.” (Mahmud Al Mishri, 35 Sirah Shahabiyah, 2011: 77)
Allah menjanjikan surga bagi golongan ini. Inilah salah satu keistimewaan mereka.“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya…” (Q.S At Taubah: 100)
Bahkan Al Ghadban menyebutkan nama Asma’ khusus dalam satu bab yang membahas Peranan Wanita pada Periode Sirriyah (dakwah secara sembunyi-sembunyi). “… Kaum wanita ini hidup di periode sirriyah tanpa diketahui oleh seorang pun keislaman mereka. Kita harus memberi perhatian kepada peranan kaum perempuan dalam perjalanan dakwah ini sebagaimana mestinya. Baik sebagai saudara, istri, maupun yang mendampingi kaum lelaki. Bahkan sebagian riwayat menyebutkan bahwa Asma’ ra. adalah seorang prajurit periode ini. Ini berarti bahwa dia dalam usianya yang sangat muda.” (2009: 26)
Asma’ memiliki jiwa yang jernih dan batin yang bersih. Hatinya selalu terhubung dengan Allah. Ia selalu mengawasi dirinya sendiri seketat mungkin, baik sisi lahir maupun batinnya. Namun demikian, ia selalu merasa dirinya terlalu lemah dan banyak berbuat salah.
Ibnu Mulaikah dalam Al Mishri menyatakan, “Asma’ pernah merasa pusing, maka dia meletakkan tangan di atas kepala seraya berkata,“Ini karena dosaku, meskipun yang diampuni oleh Allah lebih banyak.”(2011:87).
Sebagai seorang istri, keshalihannya disebut langsung oleh sang suami tercinta. Al Mishri menyatakan bahwa suami Asma’, Zubair bin Awwam, pernah berkata, “Aku pernah masuk rumah dan mendapati Asma’ sedang salat. Aku mendengar ia membaca ayat ‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.’ Asma’ bermunajat dan memohon perlindungan kepada Allah. Maka aku berdiri, tapi karena ia bermunajat terlalu lama, aku pergi ke pasar. Saat aku kembali, ternyata Asma’ masih menangis sambil bermunajat dan mohon perlindungan dari Allah.”(2011: 85).
Asma’ juga ikut dalam perang Yarmuk seraya mendampingi suaminya. Kelebihan Asma’ yang sangat menonjol lainnya adalah kemampuan bahasanya yang sangat fasih, cepat memahami sesuatu, dan pandai berpuisi. Adz-Dzahabi dalam Al Mishri pun menambahkan, “Asma’ r.a adalah orang terakhir yang meninggal dunia di antara golongan Muhajirin.”(2011: 93).
Sang Dzaatun Nithaaqain : Perempuan Pemilik Dua Ikat Pinggang
A’isyah ra. menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ mendapat izin untuk hijrah ke Madinah, beliau datang ke rumah Abu Bakar. Di rumah itu tidak ada siapapun kecuali Abu Bakar, A’isyah, dan kakaknya yaitu Asma’ Binti Abu Bakar. Rasulullah bersabda, “Suruh keluar dariku siapapun yang ada di rumahmu.” Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, yang ada hanya mereka berdua, putriku. Cuma itu, ayah dan ibuku sebagai tebusannya.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya telah diizinkan untukku keluar dari Makkah dan berhijrah.” Abu Bakar bertanya, “Apakah aku menyertaimu?”Rasulullah menjawab singkat, “Menyertai.”(Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sejarah Lengkap Rasulullah, 2014: 432).
Tiada seorang pun yang mengetahui keberangkatan Rasulullah kecuali Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar beserta keluarganya.
Peran Asma’ dalam peristiwa monumental ini sangat besar. Ia sangat menjaga rahasia Rasulullah ﷺ. ia tidak pernah menyebarkan keberadaan Rasul ketika hijrah, meskipun harus menerima perlakuan yang sangat kasar.
Ibnu Ishaq dalam Al Mishri meriwayatkan, saat Abu Jahal datang ke rumah Abu Bakar bersama para tokoh Quraisy, mereka menemui Asma’ dan bertanya di mana ayahnya. Asma’ menjawab tidak tahu dan seketika itu Abu Jahal menamparnya dengan keras sehingga antingnya lepas. Mereka sangat marah karena tidak mendapati Rasulullah dan Abu Bakar. (2011: 81)
Betapa Asma’ adalah perempuan yang berani dan memiliki ketegaran hati. Ia pun cerdas nan bijak. Hal tersebut dapat kita lihat saat ia menghadapi pertanyaan kakeknya yang menyalahkan kepergian Abu Bakar tanpa meninggalkan harta untuk keluarganya.
Al Mishri menyebutkan bahwa Asma’ ra. menuturkan saat Rasulullah keluar dari Mekah, Abu Bakar membawa seluruh hartanya (Sekitar 5000 atau 6000 Dinar). Tiba-tiba kakeknya, Abu Quhafah, yang telah buta datang dan mengatakan bahwa ayah mereka telah membuat mereka susah karena tidak meninggalkan apapun. Asma’ membantahnya. Ia mengumpulkan batu dan menyusunnya di gudang rumah, lalu menutupnya dengan kain. Asma’ memegang tangan kakeknya di atas kain seraya mengatakan pada kakeknya itu semua harta yang ditinggalkan ayahnya untuk mereka. Setelah mengetahui semua itu sang kakek tidak khawatir lagi (2011: 81).
Dua potret kisah di atas telah memberi gambaran bahwa apa yang dilakukan Asma’ra. tidak mudah diemban, bahkan oleh seorang laki-laki pemberani sekalipun. Kecerdasan, keberanian, ketegaran hati, dan kemampuan mengendalikan emosi Asma’ teruji lagi.
Dapatkah kita bayangkan, pada malam yang gelap dan sunyi, seorang perempuan yang tengah hamil besar membawa makanan dan menempuh jalan yang cukup terjal dan jauh? Itu semua dilakukan oleh Asma’. Ia mendaki gunung yang cukup tinggi untuk mencapai Gua Tsur.
Al Mishri menyebutkan bahwa selama tiga malam, Asma’ mengantarkan bekal untuk Nabi dan Abu Bakar. Karena tidak membawa sesuatu untuk mengikat wadah makanan itu, Asma’ menyatakan bahwa hanya ada selendang di pinggangnya. Kemudian Abu Bakar menyuruhnya untuk membelah selendang tersebut menjadi dua. Asma’ pun mengikuti saran ayahnya. Ia mengikatkan makanan itu di selendangnya agar ayahnya dapat mengambilnya. Kemudian Rasulullah mendoakan Asma’, “Semoga Allah mengganti selendangmu dengan dua selendang di surga.”Sejak itu Asma’ dijuluki dzaatun nithaaqain (perempuan pemilik dua ikat pinggang) (2011: 80).
Kelak, janin dalam kandungannya tersebut menjadi bayi pertama yang lahir di negeri hijrah. Abdullah bin Zubair namanya. Kelahiran tersebut mematahkan sihir mandul Yahudi yang ditujukan untuk kaum Muslimin. Asma’ mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang bertaqwa. Di kemudian hari, mereka tumbuh menjadi sosok-sosok besar. Di antaranya adalah Abdullah yang menjadi khalifah dan ‘Urwah yang menjadi ulama ternama.
Terima kasih, duhai Perempuan Pemilik Dua Ikat Pinggang. Seluruh peran dan pengorbananmu menjadi sumber inspirasi tak ternilai bagi Muslimah masa kini.
Daftar Pustaka:
Al Bugha, Musthafa Dib, dkk. 2011. Syarah Riyadhus Shalihin I. Yogyakarta: Darul Uswah.
Al Ghadban, Munir Muhammad. 2009. Manhaj Haraki Strategi Pergerakan dan perjuangan Politik dalam Sirah Nabi. Jakarta: Rabbani Press.
Al Mishri, Mahmud. 2011. 35 Sirah Shahabiyah. Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2014. Sejarah Lengkap Rasulullah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.