Pidana Zina, Mengapa Takut?

Oleh: Dr. Adian Husaini

(Pendiri Pesantren for The Study of Islamic Thought and Civilization/PRISTAC)

Menyusul keluarnya draf revisi RUU-KUHP tahun 2003, sebuah majalah mingguan, edisi 6-12 Oktober 2003, menulis laporan utama dengan judul: “Rancangan KUHP: Kitab Yang Semakin Menakutkan”. Di pekan yang sama, majalah mingguan lainnya, memuat sejumlah komentar aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan Zina diatur dalam KUHP. Kata mereka, zina itu masalah pribadi.

Majalah Mingguan terkenal itu menulis soal pasal-pasal Zina dalam RUU-KUHP tahun 2003 tersebut: “Jeratan Buat Para Pezina”.  Tulis majalah ini:  “Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. Aroma hukum Islam, minus sanksi.”

Ada sejumlah pasal RUU KUHP tahun 2003 yang dipersoalkan. Misalnya, pasal 419, yang menyatakan, bahwa akan dikenai pidana penjara lima tahun: (a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.

Sementara pasal 420 RUU KUHP 2003 itu menyatakan: “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu).”

Entah kenapa, RUU-KUHP 2003 itu kemudian tenggelam. Kini di tahun 2018, kembali muncul RUU-KUHP (RKUHP) yang juga memperluas cakupan pidana pasal-pasal perzinahan serta homoseksual. Maka, kini, lagi-lagi, muncul protes.

Logika bahwa soal soal zina adalah masalah privat kembali muncul. Para penolak pasal-pasal zina dalam RUU-KUHP itu seperti tak menyadari, bahwa saat ini begitu banyak masalah privat yang diatur oleh hukum negara. Pecandu narkoba, meskipun mengkonsumsi untuk dirinya, dan tidak mengganggu orang lain, tetap ditangkap dan diadili. Mereka pun tak protes ketika dipaksa mengenakan helm atau sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan bermotor. Tidak ada argumentasi bahwa itu soal privat.

 Musuh agama

 Dalam Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad saw bersabda: “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri”. (HR Thabrani dan Al Hakim).

Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan super berat.  Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati, dan bahkan beberapa jenis perzinahan dijatuhi sanksi hukuman bakar hidup-hidup. Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22, menyebutkan:

“(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati – sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.” (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).

Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:8-15 disebutkan semua bentuk dan jenis perbuatan zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatangpun, harus dihukum mati, termasuk binatangnya. ”Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga.” (ayat 15).

Jadi, menjatuhkan sanksi pidana berat kepada pezina, bukan hanya perintah al-Quran. Aneh, jika ada pemeluk Islam atau Kristen menolak RKUHP pasal zina ini. Sebagian penolak beralasan bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi kelompok tertentu.

Misalnya, pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan pidana. Pasal 488 menyatakan, bahwa seseorang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak ketegori II.

Alasan penolakan kali ini tak lagi menuduh pasal-pasal itu “beraroma hukum Islam”. Tetapi, pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi kaum perempuan, anak dan remaja. Juga, menurut mereka, pasal ini bisa menyasar orang-orang yang perkawinannya tidak tercatat oleh negara dengan berbagai alasan.

Kekhawatiran kelompok penolak RKUHP ini perlu diperhatikan, karena tidak secara terbuka mendukung perzinahan. Mereka tidak secara tegas menyatakan, bahwa berzina merupakan Hak Asasi Manusia – asal sama-sama dewasa dan suka sama suka.  Sebaliknya, yang mempidanakan zina  dituduh sebagai pelanggar HAM.

Pandangan bahwa zina tidak melanggar HAM itu aneh. Zina itu jelas perbuatan maksiat, durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak kapan manusia punya hak untuk bermaksiat kepada Tuhannya? Inilah cara pandang manusia modern, yang oleh Prof. Syed Naquib al-Attas dirumuskan: deity is humanised, god is deified? (Tuhan dijadikan sebagai manusia, dan manusia dijadikan Tuhan). Demi memuja hawa nafsu,  manusia sampai berani melawan Tuhan.

LGBT dan Yahudi

Senin (12/12/2018), sekelompok massa yang mengatasnamakan “Aliansi Masyarakat Sipil” melakukan aksi di DPR, menolak rancangan KUHP baru. Massa menuduh RKUHP kali ini merupakan bentuk diskriminasi kepada minoritas. Tampak beberapa spanduk pembelaan terhadap LGBT dibentangkan.

Satu spanduk berbunyi: “LGBT punya hak sama dengan masyarakat yang lainnya. LGBT bukan penyakit.” Pendemo lainnya membentangkan spanduk berbunyi: “Kami menolak RKUHP. Tidak sesuai HAM.”

Para pendukung LGBT itu tak henti-hentinya berkampanye bahwa LGBT bukan penyimpangan. Karena itu, mereka merasa punya hak untuk melaksanakan praktik seks sejenis. Jargon “persamaan” dan “kesetaraan”  digunakan para pendukung LGBT di berbagai negara. Dengan jargon “equal”, pendukung LGBT di Irlandia yang mayoritas Katolik, akhirnya memenangkan referendum. Perkawinan LGBT di negara itu kemudian dilegalkan, meskipun dikecam keras oleh Vatikan.

Saat menjadi Saksi Ahli di MK dari pihak AILA, saya memohon kepada hakim MK agar mengambil pelajaran dari kasus legalisasi LGBT di Amerika Serikat (AS). Pada 26 Juni 2015, secara resmi AS  mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20 negara lain sebelumnya.

Perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis (https://www.cathedral.org/press/PR-60QF1-3I0018.shtml).   Awal Juni 2015, pun, baru sekitar 30 negara bagian di AS yang melegalkan perkawinan sejenis.

Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab, AS selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup religius.  Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and Religious Views in the United States (California: Regal Books, 1991), memberikan gambaran tingkat religiusitas rakyat AS yang masih lumayan. Terhadap pertanyaan, “apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda”, sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab “sangat setuju”.

Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.”  Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004).

Bagaimana bangsa AS bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan sejenis? Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: “Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes”. Dikatakan, bahwa, “Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues.”

Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah.  Prof. Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor menulis, “Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six.

Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, “If there is Jewish power, it’s the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers.” (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper,  Washington, DC: American Free Press, 2004).

Laman http://www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita “US Jews among the most supportive of gay marriage”.  Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei “Pew Research Center for the People and the Press.”

Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan sesama jenis; sedangkan 18 persen menentang, dan 8 persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).

Tidak mengherankan jika pakar psikologi AS, Prof. Kevin McDonald, dalam bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa, gerakan intelektual abad ke-20, — yang sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – ‘have changed  European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man.”

Semoga kafilah pemerintah dan DPR tetap berlalu, maju tak gentar membela yang benar, meskipun harus menghadapi berbagai teriakan, tekanan dan ancaman dalam perumusan pasal-pasal kejahatan zina – baik sejenis atau lain jenis.

Yakinlah, bahwa jika penduduk satu negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, pasti Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan dari bumi! (QS 7:96). Allahu Akbar! (Artikel ini telah dimuat di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 15 Februari 2018).

Sumber: republika.co.id

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.