Problematika Sexual Consent sebagai Paradigma Penghapusan Kekerasan Seksual

Oleh: Esty Dyah Imaniar, S.S.*

Dalam rancangannya, UU Cipta Kerja bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur melalui berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja. Sekilas tujuan tersebut tampak sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional, tetapi mengapa banyak lapisan masyarakat yang menolaknya? Apakah rakyat menolak pembangunan negara melalui penciptaan lapangan kerja? Tentu tidak. Bukan pembangunannya yang ditolak, melainkan paradigma pembangunan dalam RUU tersebut lah yang dipermasalahkan.

Lebih kompleks dari sekadar tujuan, paradigma merupakan suatu landasan berpikir yang digunakan sebagai model atau konsep dasar keilmuan (Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, 1962). Sebagai landasan berpikir, paradigma berisi seperangkat keyakinan, asumsi, ide, teori, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas kehidupan.

Lapangan kerja memang menjadi solusi pembangunan ekonomi bagi masyarakat pengangguran. Akan tetapi ketika digunakan sebagai paradigma dalam UU Cipta Kerja, konsep kerja menjadi problematis. Atas nama penciptaan kerja, pasar bebas dibolehkan, investasi asing diobral, kelestarian alam digadaikan. Dengan luaran seperti itu, rakyat bertanya-tanya: pembangunan macam apa yang sedang kita upayakan?

Begitu pula dengan paradigma Sexual Consent dalam RUU P-KS yang masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Apakah rakyat menolak adanya persetujuan (consent) dalam aktivitas seksual? Tentu tidak. Bukan persetujuannya yang ditolak, melainkan paradigma persetujuan seksual dalam usaha penghapusan kekerasan seksual. Layaknya jimat “lapangan kerja” pada UU Cipta Kerja, kita dipaksa begitu saja menerima paradigma sexual consent dalam RUU P-KS sekalipun terdapat banyak kontradiksi di dalamnya.

Bermasalah Sejak dalam Istilah

Dalam pengertiannya, kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Sehingga untuk bisa memahami apakah aktivitas tersebut merupakan kekerasan atau bukan, dihadirkanlah konsep Sexual Consent sebagai asas persetujuan dalam aktivitas seksual. Akan tetapi, hingga hari ini tidak ada definisi yang jelas mengenai sexual consent. Ironisnya, konsep ini bahkan belum banyak dibahas secara akademik meskipun telah dengan latah digunakan sebagai paradigma hukum penghapusan kekerasan seksual di berbagai wilayah (Petra Debusscher, Women’s Rights and Gender Equality, 2015).

Sebuah rangkaian penelitian dilakukan Melanie A. Beres terkait pembahasan sexual consent dalam literatur psikologi, sosiologi, hingga studi wanita (‘Spontaneus’ Sexual Consent: An Analysis of Sexual Consent Literature, 2007). Dari 8145 pembahasan tentang perkosaan, hanya terdapat 42 kajian tentang sexual consent, seluruhnya tanpa rumusan jelas mengenai konsep tersebut. Beberapa menyebut sexual consent sebagai pembeda seks yang baik dan buruk (A. Wertheimer, Consent to Sexual Relations, 2003), pembeda seks menyenangkan dan tidak menyenangkan (H. Jones, Rape, Consent and Communication: Re-setting the Boundaries?, 2003), hingga pembeda seks bermoral dan tidak (H.M. Hurd, The Moral Magic of Consent, 1996). Akan tetapi, masing-masing gagal dalam memberikan indikator seks baik, menyenangkan, dan bermoral sebagai acuan, melainkan memunculkan perdebatan baru karenanya.

Persetujuan yang dimaksud pun tidak memiliki kejelasan dimensi psikologis (Hurd, 1996), fisiologis (D. Archard, Sexual Consent, 1998; T.A. Ostler, Verbal and Nonverbal Dating Behaviors and Sexual Consent: Implications for Miscommunication between Men and Women, 2003), atau keduanya (D. Dripps, For a Negative, Normative Model of Consent, with a Comment on Preference-skepticism, 1996; S.E. Hickman dan C.L. Muehlenhard, By the Semi-mystical Appearance of a Condom: How Young Women and Men Communicate Sexual Consent in Heterosexual Situations, 1999; H.M. Malm, The Ontological Status of Consent and its Implications for the Law on Rape, 1996).

Perdebatan selanjutnya, apakah consent diberikan melalui ucapan atau tindakan (Archard, 1998), apakah ditunjukkan ataukah diisyaratkan (Wertheimer, Consent and Sexual Relations, 1996). Mereka yang bersepakat bahwa persetujuan merupakan sikap juga gagal menentukan standar perilaku yang mengindikasikan adanya persetujuan. Beberapa menjelaskan consent tetap dinyatakan ada sekalipun hadir dengan sedikit pemaksaan (D. Dripps, Beyond Rape: An Essay on the Difference between the Presence of Force and the Absence of Consent, 1992; E. Sherwin, Infelicitious Sex, 1996), yang lain menyatakan consent hanya diakui jika tanpa adanya paksaan sedikit pun (David S. Hall, Consent for Sexual Behavior in a College Student Population, 1998; Hickman dan Muehlenhard, 1999). Di sisi lain, pemaksaan yang dimaksud pun tidak jelas, sebab beberapa perilaku seksual yang dilakukan dengan pemaksaan juga dinilai memiliki consent seperti sadomasokisme (B. Ehrenreich, Re-Making Love, 1987).

Kekacauan definisi dan ketiadaan indikator persetujuan yang dimaksud merupakan lubang besar dalam kedudukan sexual consent sebagai asas kekerasan dalam RUU P-KS. Padahal jika definisinya saja tidak jelas, bagaimana mungkin kita menggunakannya sebagai paradigma hukum perlindungan korban?

Bias Kepentingan dan Perlindungan

Penolakan pengesahan RUU P-KS dalam Prolegnas sejak 2014 bukan tanpa sebab. Sebuah tuduhan serius dialamatkan pada aliansi masyarakat yang melakukan resistensi terhadap paradigma sexual consent sebagai pendukung budaya perkosaan. Padahal tidak sedikit dari massa penolak ini yang juga merupakan korban (penyintas) dan aktif melakukan pendampingan korban kekerasan seksual.

Dari pengalaman lapangan tersebut lah ditemukan bahwa sexual consent tidak cukup untuk melindungi seluruh korban kekerasan seksual, sebab dalam pengertiannya hanya aktivitas seksual di luar persetujuan lah yang diatur sebagai kekerasan seksual yang berbahaya. Consent sebagai paradigma tunggal lantas menyingkirkan pengaturan aktivitas seksual membahayakan lain dalam perspektif agamis, sosiologis, hingga medis. Akibatnya, perilaku seksual berbahaya seperti perzinaan, seks anal, hingga homoseksual tidak bisa direhabilitasi secara hukum selama dilakukan dengan persetujuan tanpa paksaan.

Maka dalam rangka mencapai perlindungan menyeluruh pada korban, usulan pergantian terminologi “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual” pun dilakukan. Selain menghilangkan paradigma sexual consent yang problematis, secara etimologis “kejahatan” memiliki muatan makna “dosa” sebagai konsekuensi pelanggaran norma agama (tidak hanya norma negara). Sehingga konsep ini dinilai lebih mengakomodasi nilai dan asas perlindungan korban sesuai paradigma Pancasila.

Menurut Prof. Muladi, pakar hukum pidana sekaligus Menteri Kehakiman Indonesia ke-21, salah satu pelaksanaan paradigma Pancasila dalam pembangunan hukum adalah tidak adanya pertentangan norma hukum dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa keagamaan, dan agama sebagai kepentingan negara yang besar (Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, 2007). Nilai-nilai dasar Pancasila tersebut dikembangkan kembali menurut hakikat manusia sebagai makhluk monopluralis, yang di antaranya dicirikan dengan satuan kodrat jiwa dan raga. Paradigma tersebut, yaitu tidak adanya dualisme antara tubuh dan jiwa dalam diri manusia, berkonsekuensi pada kemuliaan jiwa yang direfleksikan dalam pemuliaan tubuh dari aktivitas-aktivitas yang mereduksi nilai dirinya. Termasuk beragam perilaku kejahatan seksual berbahaya yang bertentangan dengan penjagaan norma, budaya, hingga nyawa.

Secara praktis, konsep kejahatan seksual tidak ambigu dan multitafsir seperti sexual consent. Setidaknya terdapat dua kategori kejahatan seksual, yaitu 1) berdasarkan perbuatan seperti perzinaan, sodomi, sadomasokisme, hingga segala bentuk perbuatan/perkataan yang bersifat melecehkan harga diri seseorang, dan 2) berdasarkan objek seperti bestialitas/zoofilia, homoseksual, pedofilia, hingga inses (Henri Salahuddin, Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam di Institusi Pendidikan Tinggi di Indonesia, 2016). Dengan kategori tersebut, kerja perlindungan korban kejahatan seksual menjadi lebih jelas sejak tahap identifikasi.

Sebaliknya, karena multitafsir dan ambigu, sexual consent justru kerap digunakan sebagai dalih politis untuk menjustifikasi perilaku seksual berbahaya tersebut. Misalnya bagaimana para pelaku pedofilia mengadvokasi penghapusan usia minimal consent dengan dalih kedaulatan seksual (Sheila Jeffrey, Consent and the Politics of Sexuality, 1993) atau bagaimana perkosaan dengan melibatkan hewan tidak bisa dituntut karena hanya manusia yang bisa memberikan consent dalam bestialitas (Diana Russel, Rape in Marriage, 1982). Bahkan atas nama sexual consent dalam “youth cult”, sadomasokisme pun mulai dikampanyekan sebagai kultur pemuda urban (Ehrenreich, 1987).

Dengan menyertakan akal sehat, kita tentu tidak ingin politisasi sexual consent tersebut terjadi atas nama hukum yang tidak berparadigma Pancasila. Akan tetapi pihak-pihak pengusung paradigma sexual consent berdalih sebuah norma hukum yang diatur harus menimbulkan dampak kerugian pada korban, sementara jika kedua pelaku aktivitas seksual melakukannya dengan persetujuan, siapa yang menjadi korban? Siapa yang dirugikan?

Katakanlah secara material dalam aktivitas seksual dengan objek hewan (bestialitas) tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang menjadi korban. Sebab manusia tersebut sadar dan setuju untuk melakukan aktivitas seksual dengan hewan—yang tidak bisa dikonfirmasi persetujuannya.

Tetapi apakah hanya sebatas ini cita-cita perlindungan masyarakat kita? Apakah negara hanya menyebut korban jika manusia tersebut merasa dipaksa berhubungan dengan hewan? Atau hanya jika jutaan korban penyakit seksual mematikan semakin banyak berjatuhan? Bagaimana negara melihat aspek kemanusiaan masyarakatnya yang tergerus dengan melampiaskan hasrat seksual secara menyimpang dan menghancurkan jiwanya dari dalam? Apa kabar cita-cita pembangunan manusia kita? Apakah negara benar-benar hanya bisa melihat rakyatnya dengan kacamata material?

Kegagalan RUU Cipta Kerja kemarin adalah kegagalan paradigma pembangunan yang mereduksi cita-cita pembangunan sebatas eksploitasi alam dan manusia demi peningkatan materi. Jangan sampai kita kembali gagal mengawal paradigma sexual consent dalam RUU P-KS yang mereduksi perlindungan korban sebatas persetujuan problematis dan mengabaikan tanggung jawab perlindungan terhadap aktivitas seksual menyimpang yang mengeksploitasi tubuh dan jiwa manusia.

*Penulis adalah alumnus Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor & Peneliti Cluster Sosial, Politik dan Budaya – The Center for Gender Studies

Tulisan ini telah dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 15 Oktober 2020.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.