Oleh: Sarah L. Mantovani
(Mahasiswa Magister Pemikiran Islam- UMS Solo)
Jauh sebelum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) diratifikasi PBB pada tahun 1979, Indonesia sudah mengenal tuntunan “persamaan hak” gerakan perempuan. Istilah “Kesetaraan Gender” belum dikenal saat itu. Kini, istilah “Kesetaraan Gender” sudah menggusur istilah “emansipasi wanita” yang sempat popular berpuluh tahun. Bahkan, tuntutan pun semakin berkembang. Bukan hanya pemberdayaan perempuan, tetapi penyamaan peran, dengan dalih peran laki-laki dan perempuan dibentuk oleh budaya, bukan fitrah.
Mr. A.K. Pringgodigdo membagi pergerakan perempuan di Indonesia menjadi tiga gelombang, Pertama, tahun 1908-1920. Kedua, tahun 1920-1930, dan ketiga tahun 1930-1942. Menurutnya, pada gelombang pertama, pergerakan perempuan hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan sosial. Persoalan politik, seperti hak pemilihan tidak menjadi perundingan sama sekali. (Mr. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,1960:33).
Tokoh pergerakan yang menjadi ikon pada gelombang pertama ini adalah RA Kartini. Ia sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepada Prof. dan nyonya F.K Anton di Jena, tertanggal 04 Oktober 1904, Kartini menulis: “Apabila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu – pendidik manusia yang pertama. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumahtangga, dan kepada ibulah terletak kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu: yaitu bagian pendidikan yang membentuk budi-pekerti-nya…untuk keperluan keluarga yang lebih besar, yang dinamakan Masyarakat, dimana ia kelak akan menjadi anggotanya. Itulah sebabnya kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis. (Sartono Kartodirdjo, et. al., Sejarah Nasional Indonesia,1975:244-245).
Tahun 1920-1930, pada gelombang kedua, nasib perempuan Indonesia mengalami banyak perubahan dari tahun sebelumnya. Ini ditandai dengan berkurangnya kawin paksaan, anak-anak perempuan diperbolehkan bersekolah, dan lainnya. (Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960:108). Pada gelombang ini pula, Kongres Perempuan Indonesia pertama diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928; diselenggarakan bersama oleh wakil-wakil ketiga jenis perkumpulan perkumpulan tersebut, seperti Wanito Utomo, Putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Aisiyah, Sarekat Islam (SI) bagian wanita, dan dari kalangan pemuda: JIB dan Jong Java (JJ) bagian wanita dan Wanita Taman Siswa). Tujuannya ialah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan perempuan Indonesia. (Mr. A.K Pringgodigdo, 1960:111)
Gerakan perempuan yang mulai memperkenalkan paham “Kesetaraan Gender” adalah Istri Sedar (IS). Gerakan ini muncul pada awal gelombang ketiga dan menjadi ikon pada masanya. Pada gelombang ini pula terjadi friksi antara gerakan perempuan Islam dengan feminis. Pendiri dan pemimpinnya bernama Nona Suwarni Djojoseputro. Istri Sedar didirikan pada 22 Maret 1930 di Bandung (Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960:184). Istri Sedar inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Gerwis atau Gerakan Wanita Sedar yang akhirnya setelah 9 tahun Indonesia merdeka diubah menjadi Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia.
Istri Sedar merupakan organisasi yang dianggap paling radikal saat itu. Banyak organisasi perempuan Islam yang tidak senang dengan garis perjuangan Istri Sedar. (Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI,2007:7). Istri Sedar berusaha agar anggotanya sadar akan cita-citanya sebagai anak bangsa dan perempuan yang sadar, supaya mereka lebih matang untuk berjuang di lapangan politik bersama kaum laki-laki. Mereka sangat senang jika anggotanya masuk dalam partai politik. (Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960:184).
Pada gelombang ini pula, gerakan perempuan mengadakan kongres di Bandung pada tahun 1938 dan memutuskan agar tanggal 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan semboyan: “Merdeka melaksanakan Dharma”. Maka cita-cita Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat dan Ibu Bangsa mulai dihayati oleh kaum wanita (Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia,1977:7).
Setelah 84 tahun perjuangan pemberdayaan perempuan ini dilakukan, kini saatnya, kaum perempuan untuk merenungkan kembali: mau kemana gerakan ini dibawa? Apakah dengan menuntut persamaan dan kesetaraan secara nominal dengan laki-laki? Quo vadis gerakan Kesadaran Gender? Mau kemana dikau pergi?
Soekarno, dalam buku, Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia, menekankan, bahwa feminisme atau neo-feminisme tidak mampu menutup “scheur” (retak) yang meretakkan perikehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh. Kata Bung Karno, “Scheur antara perempuan sebagai ibu dan istri, dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi perikehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri.”
Di Indonesia, sejumlah pegiat Kesetaraan Gender, tampak semakin aneh, ketika mereka tidak segan-segan mendukung eksploitasi perempuan berbentuk “Beauty Contest” seperti ajang Miss Universe atau Putri Indonesia. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip Feminisme diawal kemunculannya. Walau dibungkus dengan Brain dan Behaviour, namun kemolekan tubuh dan kecantikan wajah para perempuan yang mengikuti ajang tersebut tetap saja menjadi penilaian utama. Bahkan, anehnya, para aktivis gender ini mendukung sepenuhnya, para perempuan itu mengumbar auratnya.
Seorang aktivis Kesetaraan Gender menulis dalam www,jurnalperempuan.org (13/9/2013): “Percayalah Miss World tidak berbahaya dan “senjata” pantat, paha serta payudara tidak akan mematikan umat manusia. Payudara justeru menghidupkan manusia, air susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya dimiliki perempuan. Mengapa tidak merayakan tubuh perempuan? Tubuh perempuan sungguh sempurna.”
Ketika agama dan Tuhan disingkirkan dari kamus perjuangan pemberdayaan perempuan, maka pikiran dan hawa nafsu akan menjadi rujukan. Ketaatan dan ibadah dinilai sebagai penindasan. Keikhlasan dalam berbagi tak jarang dipandang sebagai kebodohan. Kemunkaran dan kemaksiatan dipuja sebagai kebebasan dan kemajuan perempuan.
Al-Quran mengingatkan tentang manusia-manusia yang telah mengerashatinya, sulit menerima kebenaran. Sebab setan telah menjadi panutan. Yang jelas-jelas jahat dikatakan sebagai hal yang mulia. ”… Setan pun menjadikan indah dalam pandangan mereka, apa yang mereka kerjakan.” (QS 6:43). (***)