Oleh: Kholili Hasib
Isu seksualitas pada awal tahun 2019 tidak kalah ramainya dengan isu politik yang kian menghangat di pentas nasional. Isu itu tidak lain adalah tentang RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Pro dan Kontra RUU P-KS saling lempar wacana di media massa.
Hingga, pembahasan RUU P-KS sampai juga dalam forum sidang komisi Bahtsul Masail Qanuniyah PBNU pada pra-Munas NU yang diselenggarakan di Pesantren di Pesantren Al-Hasaniyah Rawalini, Teluknaga, Tangerang, Banten 16 Februari 2019. Di forum itu pun juga terjadi pro-kontra. Tetapi, kesalahan umum tetap terjadi, yaitu mis cara pandang konsep seksualitas itu sendiri. Atau lebih mendasar lagi yaitu, tentang konsep kekerasan seksual. Kelompok yang kontra mengajukan usul dengan term kejahatan seksual.
Pada dasarnya perbuatan pemaksaan yang membahayakan, termasuk dalam seksual, tidak memiliki tempat dalam Islam. Imam Nawawi Asy-Syafi’i, dalam kitabnya Al-Majmu’ Jilid 6 menjelaskan:
ولا يستمع بها إلا بالمعروف، فإن كانت نضو الخلق لم تحتمل الوطئ ولم يجز وطئها لما فيه من الاضرار
“Tidak boleh (suami) bersenang-senang (berhubungan seksual) kecuali dengan cara yang baik. Jika istri lemah tidak kuat untuk berhubungan badan, maka tidak boleh suami menjima’nya karena bisa mengakibatkan bahaya” (Imam Nawawi Asy-Syafii, Majmu’ jilid 6, hlm. 413).
Dalam kondisi istri tidak mampu/kuat tidak boleh ada pemaksaan. Sayyid Bakhri Syatha dalam I’anatu al-Thalibin (jilid 4) menerangkan bahwa istri tidak tidak jatuh dalam nusyuz (membangkan suami) dalam hal hubungan badan kecuali ada udzur, yaitu; alat kelamin suami yang over normal, istri dalam keadaan haidh, badan istri lemah, atau istri sedang sakit (I’anatut Thalibin jilid 4, hlm. 79).
Jadi, nusyuz itu dilarang. Bahkan dilaknat. Tetapi, dalam kondisi tertentu penolakan itu tidak jatuh dalam nusyuz. Kasus tertentu itu dikategorikan udzur. Artinya, relasi apa saja yang membahayakan istri tidak dibenarkan dalam hukum Islam. Bahkan, dalam kitab Tuhfahtu al-Muhtaj, jika si suami memaksakan diri hingga mengakibatkan meninggalnya si istri, maka suami terkena hukuman qishash. Artinya, sama dengan membunuh. (Ibnu Hajar al-Haitami,Tuhfatul Muhtaj, hlm. 441 jilid 8).
Jika ditelaah, larangan menjima istri dalam kondisi ada udzur di atas, semuanya seputar karena aspek kerugian fisik. Tubuh terlalu kurus lemah, sakit, haidh, dan lain-lain. Karena jima itu relasi fisik dengan fisik. Maka, jika istri menolak suami karena kurang selera misalnya, padahal suami normal, istri sehat, maka hukumnya haram/tidak boleh.
Dengan demikian, istri jatuh nusyuz jika tidak udzur di atas. Yaitu, dari pihak suami tidak ada problem. Sedangkan si wanita dalam keadaan sehat bugar. Tidak ada alasan dalam penolakan. Wanita yang nusyuz dimurkai oleh Allah Swt.
Relasi antara suami dan istri harus pada prinsip yang saling menyenangkan, tidak membahayakan keduanya. Prinsip nya adalah ma’ruf (dalam kebaikan). Adanya larangan istri menolak ajakan jima’ suami karena dikhawatirkan suami berbuat munkar.
Dalam konteks ini, term ‘kekerasan’ dalam bahasa hukum Islam sebetulnya tidak ditemukan. Apalagi ‘kekerasan seksual’ (al-‘anfu al-jinsi). Justru ada istilah ‘ma’ruf’ (mempergauli dengan baik). Dalam bahasa Arab, kekerasan artinya al-‘anfu, syiddah, atau qasawah. Mungkin terminologi yang mendekati adalah al-adza, yang artinya menyakiti. Tetapi yang digunakan dalam kitab fikih adalah al-idhrar yang artinya perbuatan membahayakan. Seperti perkataan Imam Nawawi Asy-Syafi’i ketika menjelaskan alasan larangan menjima istri: Kamaradhin qa’imin biha yadhurru ma’a wujudihi al-wath’u fala yahsul al-nusyuz (seperti karena wanita sedang sakit, hubungan badannya membahayakan. Maka (istri) tidak termasuk nusyuz).
Dalam kaidah fikih sesuatu yang membahayakan bisa menjadi diperbolehkan. Al-Dharuratu tubihu al-Mahdzurat. Sesuatu yang darurat membolehkan sesuatu yang dilarang. Jadi, asas penolakan istri terhadap suami itu dalam konteks darurat. Sebagaimana dijelaskan di atas.
Persoalannya kemudian, bagaimana dengan konsep kekerasan seksual dalam RUU P-KS yang sedang menjadi perdebatan? Dalam Naskah Akademik dan Draf RUU P-KS dijelaskan definisi kekerasan seksual: “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau perbuatan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan, secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik”.
Dalam definisi tersebut dijelaskan sebab terjadi kekerasan seksual …’karena ketimpangan realasi kuasa atau relasi gender’. Pantas saja, dan logis, kelompok yang kontra RUU P-KS ini menilai RUU P-KS mengandung kampanye ideologi feminisme.
Istilah ‘relasi kuasa’ popular dalam pemikiran postmodern, identik dengan filosof postmo yaitu Michel Foucoult. Foucault menyatakan kebenaran dan kekuasan memiliki relasi. Dalam postmo, tidak boleh ada yang dominan atas yang lain. Kuasa yang dimaksud penganut feminisme adalah gender. Maka tidak boleh ada kuasa atas relasi gender. Lebih sederhananya, tidak boleh ada yang memimpin berdasarkan jenis kelamin. Berarti menolak konsep qowam (laki-laki pemimpin perempuan) dalam Islam.
Karena itu definisi ‘kekerasan seksual’ dalam RUU P-KS tersebut adalah definisi sekular. Tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Alias tidak Pancasilais. Konsep ini yang harus ditelaah secara kritis dan mendalam, sebab konsep ini mendasari pasa-pasal dan ayat di dalam RUU.
Jika disebutkan salah satu pasal bermasalah adalah seperti pasal tentang perkosaan. Dalam pasal perkosaan dijelaskan tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan. RUU P-KS mengafirmasi ada dua macam perkosaan, yaitu perkosaan di luar perkawinan dan perkosaan di dalam perkawinan.
Jenis perkosaan di dalam perkawinan ini yang harus didiskusikan. Jika prinsipnya adalah tidak boleh ada relasi kuasa gender, maka istri boleh menolak ajakan suami meskipun tanpa ada udzur apapun. Dalam paham gender equality (kesetaraan gender) ada prinsip my body is mine (tubuhku adalah milikku). Tidak boleh ada kontrol terhadap tubuh perempuan, bahkan dari suami pun.
Jadi, dalam faham gender equality, meski telah menikah, tetap ada semacam “privatisasi” tubuh antara suami dan istri. Ada kesan egoisme di antara keduanya. Tubuh istri adalah hak istri untuk mengontrolnya. Suami juga demikian tidak boleh saling mengontrol.
Jelas ini jenis relasi aneh. Bandingkan dengan Islam. Relasi yang diatur Islam lebih indah. Suami bagaikan baju atas istrinya. Begitu pula sebaliknya. Hunna libasun lakum wa antum lahunna (QS. Al Baqarah: 187). Jika sudah menikah, suami dan istri tidak ada ruang privat antara satu dengan lainnya. Justru saling menjadi baju. Baju adalah pelindung. Bahasa ini menunjukkan saling berbuat baik. Bukan saling ego seperti prinsip privatisasi itu.
Sedangkan perkosaan di luar pernikahan jelas itu perbuatan zina. Perzinaan adalah dosa. Dan dosa termasuk kejahatan. Karena itu, untuk menghindari konsepsepsi-konsepsi yang kontroversial, maka masuk akal jika terminologi kekerasan diganti dengan kejahatan. Sebab, kejahatan sudah pasti melanggar hukum. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kejahatan artinya perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.
Perzinahan, yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan harusnya adalah melanggar hukum. Karena keluar dari norma agama. Dengan demikian, zina harusnya masuk kategori kejahatan seksual. Jadi, dosa dalam bahasa agama itu perbuatan jahat.