Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania[1]
RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang masuk prolegnas pada tahun 2020 ini, menuai kontroversi. Padahal RUU KK masih dalam tahap awal sehingga wajar apabila masih terdapat beberapa kekurangan. Pembahasan RUU KK tentunya masih terbuka bagi berbagai masukan konstruktif. Namun sangat disayangkan, penolakan terhadap RUU KK banyak terpengaruh oleh argumen kaum feminis. Feminisme memang “alergi” terhadap institusi keluarga, apalagi yang dibangun atas dasar nilai-nilai agama. Tuduhan terkait domestifikasi perempuan, keluarga tradisional, simbol patriarki, menjadi kata-kata favorit kelompok feminis ketika menyerang institusi keluarga. Kaum feminis melihat nilai-nilai keluarga “tradisional” dengan penuh kecurigaan. Pasalnya, dalam pandangan feminisme, nilai-nilai keluarga (family values) adalah sebuah upaya sistematis untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki, dan melemahkan kedudukan perempuan dan anak-anak dan merupakan penyebab kekerasan dan eksploitasi seksual dalam keluarga. Feminisme liberal, radikal, dan sosialis atau marxis menganggap keluarga sebagai wujud diskriminasi terhadap perempuan pada unit terkecil. (Aulasyahied, 2019, pp. 93–94).
Suburnya gerakan feminisme, tak bisa dilepaskan dari agenda sekularisasi nilai-nilai keluarga (family values) di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sekularisasi menurut Al-Attas, adalah proses yang terbuka dan berkelanjutan dimana nilai dan worldview secara terus menerus diperbaiki menurut perubahan evolusi sejarah. Sekularisasi membebaskan manusia dari agama dan pengaruh metafisik yang mengontrol logika dan bahasa mereka (Al-Attas, 1993, p. 16). Sekularisasi merupakan ancaman serius bagi peradaban manusia karena telah mendekonstruksi konsep keluarga yang berdimensi spiritual. Selama ribuan tahun, konsep keluarga dibangun berdasarkan ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan, dimana melalui pernikahan tersebut, hubungan seksual mendapatkan legalisasi dari masyarakat, agama ataupun Negara. Konsep tersebut telah dipraktikkan secara universal. Sebagai contoh, dalam penelitian yang dilakukan oleh Shulgina dan Fang untuk melacak konsep keluarga secara linguistik dalam bahasa Cina dan Rusia, ditemukan bahwa terminologi keluarga dalam bahasa Cina terkait erat dengan Konfusionisme, sedangkan dalam Bahasa Rusia mengandung unsur-unsur agama Kristen (Shulgina & Fang, 2014, p. 152).
Konsep Diverse Family ?
Proses sekularisasi dan permusuhan terhadap agama secara masif telah mengubah konsep-konsep kunci terkait keluarga seperti konsep seksualitas dan jenis kelamin. Sekularisasi juga menghasilkan konsep kesetaraan gender dan orientasi seksual untuk melegitimasi jenis keluarga baru atau “diverse family”, seperti keluarga homoseksual, keluarga tanpa ikatan pernikahan (cohabitation), dan lain-lain. Sekularisasi nilai-nilai keluarga pada akhirnya menempatkan keluarga yang berdasarkan nilai-nilai agama dan moralitas, sebagai keluarga tradisional dan kolot. Sedangkan keluarga yang terlepas dari nilai moral dan agama disebut sebagai keluarga modern dan progresif. Dampak sekularisasi nilai-nilai keluarga kemudian diikuti dengan sekularisasi hukum dan produk kebijakan publik.
Hukum keluarga saat ini menurut Voegeli telah mengalami individualisasi akibat proses sekularisasi. Di Negara Barat seperti Jerman, Undang-Undang keluarga semakin memberi ruang pada pengaturan pribadi/ individu menggantikan konsep keluarga tradisional yang berakar pada pernikahan (Voegeli, 2005, p. 27). Sedangkan di Indonesia sampai saat ini, ikatan keluarga dan pernikahan masih berdasarkan nilai-nilai agama. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan secara spesifik yang dimaksud dengan pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, memandang keluarga sebagai ikatan sakral dan berdimensi spiritual.
Keluarga, disebutkan beberapa kali dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Artikel 16 menyebutkan bahwa keluarga adalah unit masyarakat yang bersifat natural dan fundamental yang berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara. Kalangan Pro-Family di Barat berpendapat bahwa artikel 16 tersebut secara jelas mengindikasikan bahwa keluarga hanya dapat dibangun berdasarkan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Namun, konsep keluarga yang selama ini dipahami secara universal oleh masyarakat dunia yang asasnya adalah pernikahan antara laki-laki dengan perempuan, dan bersifat natural serta fundamental telah digugat oleh kelompok feminis dan para aktivis LGBT. Artikel 16 UDHR tersebut menurut mereka tidak dimaksudkan untuk membatasi pada pernikahan heteroseksual. Jagger dan Wright berpendapat bahwa keluarga tidak bersifat universal dan tidak stabil, serta bukan suatu entitas yang esensial (fundamental). Pengelompokan yang dinamakan “keluarga” hanyalah sebuah konstruk sosial dan tidak bersifat natural atau diturunkan secara biologis. Keluarga dan hubungan keluarga (family relations) bersifat fleksibel, cair dan kontingen (Jagger & Wright, 2004, p. 3). Negara-negara Barat akhirnya satu per satu melegalisasi pernikahan sejenis dan mengakui keberagaman bentuk keluarga, seperti keluarga homoseksual dan keluarga tanpa pernikahan (kumpul kebo).
Membendung Sekularisasi Nilai
Sebenarnya, perlawanan terhadap globalisasi dan sekularisasi nilai-nilai keluarga telah datang dari kelompok Kristen di Barat. Setelah Konferensi PBB tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo pada tahun 1994, berbagai organisasi Kristen bersatu untuk memerangi “agenda liberal global” yang disebarluaskan oleh “feminis radikal,” “humanis sekuler,” “globalis,” dan “sosialis” di konferensi PBB. Para anggota Christian Right menganggap kaum feminis dan homoseksual telah memasuki aliansi yang fundamental dengan keberhasilan mereka memasukan terminologi gender ke dalam dokumen PBB. Usaha tersebut bertujuan untuk menggantikan terminologi jenis kelamin biologis dengan lima jenis gender yang dikonstruksikan secara sosial, yaitu perempuan, laki-laki, gay, lesbi, dan transgender. Gender telah menjadi kata sandi bagi hak-hak homoseksual. Kelompok feminis beserta homoseksual telah menjadi penyokong utama dari “budaya kematian” yang mendukung perceraian, pengendalian kelahiran, aborsi, homoseksualitas, dan eutanasia (Hodgson, 2014, p. 167).
Perjuangan menolak sekularisasi nilai-nilai keluarga juga dilakukan oleh umat Islam. Salah satu organisasi Islam yang kritis terhadap agenda sekularisasi adalah International Committee for Women and Child yang menerbitkan buku berjudul “Pandangan Kritis Syariah terhadap CEDAW”. Buku tersebut merupakan hasil Forum Group Discussion (FGD) 17 orang tokoh dan ulama Islam dunia. CEDAW memang merupakan salah satu instrumen internasional yang dijadikan acuan bagi proyek liberalisasi perempuan dan keluarga. Walaupun ada beberapa isu dalam CEDAW yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti hak pendidikan dan pekerjaan, namun permasalahan mendasar dari konvensi ini adalah; (1) Falsafah Barat berada di balik Konvensi dan pandangan umm mengenai manusia dan alam semesta yang termuat dalam konvensi; (2) konsep tunggal tentang kehidupan yang dimasukan, bahkan diwajibkan atas semua umat dan bangsa; (3) definisi dan istilah-istilah yang dipergunakan (ICWC, 2012, p. 21).
Keluarga Sekuler Vs Keluarga Islami
Namun, tidak sedikit kalangan umat Islam yang justru terjebak oleh propaganda feminisme dan ikut-ikutan mempromosikan agenda sekularisasi nilai-nilai keluarga. Padahal nilai-nilai keluarga dalam Islam tentunya berbeda dengan keluarga sekuler. Bagi keluarga sekuler, nilai utama sebagai pengikat sebuah masyarakat adalah faktor ekonomi. Oleh karena itu, keluarga dalam masyarakat sekuler telah terjebak pemahaman materialistik dan menafikan aspek spiritual yang bersumber dari agama. Keberhasilan laki-laki dan perempuan disetarakan menggunakan indikator-indikator yang bersifat materialistis. Peran-peran domestik yang tidak menghasilkan secara finansial dianggap sebagai peran marginal, kepemimpinan keluarga pun jadi “rebutan” karena dianggap sebuah “privilege”.
Sejatinya, nilai-nilai keluarga Islam diikat oleh cita-cita ruhaniah, yaitu berlomba-lomba menggapai cinta dan rahmat Allah swt. Syaikh Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa Allah swt mengatur laki-laki dan perempuan secara bersama-sama pada satu jalan kewajiban yang mencakup keuniversalan dalam pembebanan syariat bagi hamba-Nya (2005, p. 18). Kelompok yang menuduh bahwa dalil-dalil dalam teks al- Qur’an maupun Hadits itu bias gender, biasanya disebabkan karena pemahaman yang parsial atau tanpa perangkat keilmuan dan wawasan yang menyeluruh. Sebab jika dipahami secara holistik, maka dalil yang tampak misoginis, justru mengandung unsur-unsur keadilan dan pemuliaan terhadap kaum perempuan (Aulasyahied 2019, pp. 93–94). Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk mencegah sekularisasi nilai-nilai keluarga dengan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. Jika tidak, sekularisasi nilai akan menyebabkan berbagai permasalahan sosial di masyarakat dan mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang memusuhi institusi keluarga- terutama keluarga yang berdasarkan nilai-nilai agama.
Dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 19 Maret 2020
[1] Penulis adalah Direktur CGS & peneliti INSISTS