Oleh: Dr. Hamid FahmyZarkasyi
Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi,itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat dan berselisih hingga bermusuhan karena syahwat. Bahkan boleh jadi ada orang bertausiyah, menyalahkan orang lain dengan penuh syahwat.
Syahwat adalah nafsu atau hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia tapi juga dimiliki oleh hewan. Namun Allah SWT member manusia syahwat, juga memberinya akal dan ilmu. Dengan akal, syahwat manusia akan membawa kepada kebaikan. Namun tanpa akal dan ilmu,syahwat akan menyesatkan. Orang sesat menggunakan hawa nafsunya tanpa akal dan ilmu sehingga tidak dapat ditolong (QS al-Rum 29).
Dengan demikian, barangsiapa yang akalnya mengikuti syahwatnya maka ia akan sesat, bahkan lebih sesat dari binatang. Namun jika syahwatnya mengikuti atau dipimpin oleh akalnya maka boleh jadi ia lebih mulia dari Malaikat.
Ketika seorang sedang berzina, memperkosa, membunuh dan mencuri, sesungguhnya ia sedang dipimpin syahwatnya dan kehilangan imannya. Karena meninggalkan imannya maka ia kehilangan akalnya. Berarti seorang yang beriman itu adalah orang-orang yang cerdas menggunakan akalnya, sedangkan seorang pezina dan pencuri itu hilang akal sehingga menjadi bodoh dan derajatnya rendah serendah hewan. Namun, ada yang lebih berbahaya dari “syahwat yang menyesatkan pada perut dan kemaluan” yang juga dikhawatirkan oleh Rasulullah. Syahwat itu adalah hawa nafsu yang menyimpangkan dari jalan yang lurus.” (H.RMuslim).
Jalan lurus adalah Islam dan Iman. Apa yang dibuat menyimpang oleh hawa nafsu boleh jadi adalah pikiran seseorang. Terbukti tidak sedikit kasus dimana pemikir, ilmuwan, cendekiawan yang pikirannya dirasuki oleh syahwat atau hawa nafsunya. Pemikir seperti ini bisajadi menghujat agama, mencaci ulama, mencaci saudara seiman, mencaricari kesalahan orang lain dan sebagainya.
Bagaimanakah syahwat bias membuat pikiran menyimpang? Al-Qur’an menunjukkan bahwa karena syahwat hati seseorang itu terkunci. Padahal hati itu adalah juga akalnya. Karena syahwat pendengarannya dan penglihatannya terhalang (QS. Al- Jatsiyah: 23), walhal keduanya adalah sumberilmu. Maka wajar jika syahwat dominan, akal tidak lagi berfungsi dalam menentukan baik buruk.
Selain itu dalam Islam yang dilarang bukan berpikir rasional atau menggunakan akal, tapi berpikir yang mengikuti syahwat. Sebab mengikuti hawa nafsu “… akan menyesatkan manusia dari jalan Allah.” (QS. Shaad: 26). Ini sebenarnya suatu tindak ketidak adilan dalam diri seseorang. Yaitu suatu tindakan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut adil. Orang seperti itu dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati. Firman Allah jelas sekali: “Dan janganlah engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melampaui batas”. (QS.Al-Kahfi : 28).
Mafhum mukhalafah ayat ini jelas. Ilmuwan dan pemimpin yang berhak ditaati manusia adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya. Pikirannya bias menguasai hawa nafsunya sehingga ia mengetahui batas-batas kebebasan yang boleh dilakukan dan yang tidak.
Untuk mengatasi ini Imam al-Ghazali memberikan solusinya berupa kesabaran. Sabar dalam syahwat disebut iffah; sabar dari marah adalah al-hilmu; sabar dari kelebihan adalah al-zuhdu. Semua itu dapat diperoleh dengan tiga hal yaitu puasa, ibadah yang berat-berat dan terakhir berdoa. Wallahulmusta’an.
———-
Dimuat di Koran Republika, 16 Juni 2016