The Problem Has A Name

The-Problem-Has-A-Name

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania (Peneliti CGS & Ketua Bidang Kajian AILA)

Kebahagiaan adalah tujuan akhir dari manusia, begitulah pandangan Aristoteles dalam bukunya Nicomachian Ethics. Oleh karena itu, setiap usaha dan perjuangan manusia pada dasarnya adalah untuk mengejar kebahagiaan. Tak terkecuali perjuangan kaum perempuan Barat yang menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun dalam perjalanannya, tuntutan para aktivis perempuan Barat semakin radikal. Bagi mereka, kesetaraan hanya akan memberikan kebahagiaan semu, kebebasan atau kemerdekaanlah yang mewujudkan kebahagiaan hakiki. Apakah benar anggapan mereka? Betsey Stevenson (2009) dalam penelitiannya “The Paradox of  Declining Female Happiness” menunjukan bahwa meski begitu banyak tuntutan aktivis perempuan Amerika yang terwujud selama 35 tahun ini, tingkat kebahagiaan perempuan justru semakin menurun dibandingkan laki-laki. Padahal pada tahun 1970-an, kebahagiaan perempuan lebih tinggi dari laki-laki.[1] Lalu, apa yang sebenarnya  dicari kaum Feminis?

Pada era 1960–an di Amerika terbit sebuah buku yang sangat berpengaruh kepada gerak aktivis perempuan Barat: The Feminine Mystique. Penulisnya, Betty Friedan, merupakan tokoh feminis Liberal. Friedan melihat banyak perempuan yang mengalami krisis eksistensi setelah lahirnya gerakan feminis yang menuntut hak pekerjaan, akses kepada pendidikan tinggi dan hak politik. Ketika semuanya tercapai, perempuan Amerika era 60-an justru kembali meyakini bahwa tempat yang terbaik bagi perempuan adalah rumah. Namun keinginan perempuan Amerika untuk back to family menurut Friedan justru menghasilkan krisis lainnya, yakni krisis identitas atau krisis eksistensi di kalangan perempuan Amerika.

Friedan mempopulerkan suatu istilah “the problem that has no name”, untuk menggambarkan ketidakbahagiaan perempuan-perempuan Amerika pada era 1950 dan 1960 padahal mereka memiliki kenyamanan materi, menikah, dan memiliki anak. Friedan mengklaim bahwa kehidupan di rumah saja tidak dapat memuaskan kaum perempuan akan kebutuhan eksistensi. Banyak wanita pada saat itu frustasi dengan kehidupan mereka yang berkisar antara rumah, suami, dan anak.

Just what was this problem that has no name? What were the words women used when they tried to express it? Sometimes a woman would say “I feel empty somehow … incomplete.”[2]

Menurut Friedan, semua ini terjadi karena adanya peran feminin (Feminine role). Peran feminin adalah peran perempuan yang hakiki, sebagai istri dan ibu. Perempuan feminin tidak menginginkan karir, tidak menginginkan pendidikan yang lebih tinggi, tidak memerlukan hak-hak politik, seperti yang diperjuangkan feminis pendahulunya (old fashioned feminist). Friedan mengkritik Freud yang menganggap peran feminin sebagai takdir perempuan. Friedan menegaskan bahwa jika perempuan tidak memiliki pencapaian individual (berupa karir atau pekerjaan) tidak mengetahui identitas dirinya, maka perempuan akan tetap dalam kondisi tidak bahagia. [3]

Pandangan Friedan dan para aktivis feminis sebenarnya memperlihatkan kebingungan perempuan Barat atas konsep kebebasan dan kebahagiaan. Dulu perempuan Barat termarjinalisasi selama ribuan tahun. Kemudian pada abad ke-20 mereka berhasil mendapatkan  hak-hak publiknya. Setelah mendapatkan hak publiknya, banyak dari perempuan Barat yang ingin kembali ke rumah. Namun setelah kembali ke rumah mereka tetap merasa hampa dalam kehidupannya dan pada akhirnya berhadapan dengan krisis eksistensi. Kondisi tersebut tidak akan pernah berubah selama pandangan hidup perempuan Barat masih sekuler dan materialistis.

Dalam pandangan Islam, manusia—baik laki-laki ataupun perempuan—bukan semata-mata entitas fisis, namun merupakan makhluk spiritual yang bersifat metafisis. Krisis eksistensi pada diri manusia akan terjadi apabila manusia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam diri manusia tanpa bimbingan wahyu. Termasuk pertanyaan para feminis “kebebasan seperti apa yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi perempuan?”

Kebebasan tanpa moralitas dan agama adalah jurang kesengsaraan. Kebebasan yang membawa kepada keburukan bukanlah sebuah pilihan karena kebebasan sejati terkait dengan tindakan yang sesuai dengan fitrah manusia. Tindakan bebas diartikan sebagai tindakan memilih yang terbaik, maka, agar manusia dapat memilih yang terbaik, ia harus memiliki pengetahuan tentang baik dan buruk. Memilih sesuatu yang lebih buruk tidak mencerminkan kebebasan karena semua itu bersumber dari kebodohan dan dorongan hawa nafsu yang mengarahkan kepada sifat-sifat tercela.[4]

Ketidakbahagiaan perempuan bukan berasal dari Feminine role (peran dosmestik sebagai istri dan ibu) sebagaimana propaganda Feminisme Liberal. Bukan pula karena tidak adanya kebebasan atau kemerdekaan seksual seperti anggapan Feminis Radikal. Ketidakbahagiaan tersebut disebabkan banyaknya perempuan yang tidak lagi hidup dalam kebajikan. Menurut Imam al-Ghazali, kebajikan terkait dengan ilmu dan amal shaleh. Ilmu merupakan jalan bagi manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan sekaligus di akhirat. [5] Ilmu yang benar adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah SWT dan memberikan petunjuk kepada kebenaran. Feminisme memproklamasikan diri sebagai paham dan gerakan yang memusuhi agama, jadi mungkinkah feminisme mampu menunjuki jalan kebahagiaan?

Kebebasan hakiki adalah ketika hati manusia bebas dari ikatan dan ambisi duniawi. Sedangkan kebahagiaan sejati hanya didapat ketika jiwa mengenal Allah SWT dan aturan-aturan-Nya melalui jalan ilmu. Oleh karena itu, jadilah perempuan paling bahagia dengan ilmu yang benar. Jangan sampai kekecewaan terhadap dunia membutakan akal dan kalbu sehingga tunduk pada isme – isme yang menyesatkan. Boleh saja Betty Friedan mengatakan, problem eksistensi yang dialami perempuan Barat adalah problem yang tidak memiliki nama. Namun sebagai  perempuan muslim, kita harus berani mengkritisi pemikiran kaum feminis dan mengatakan : “ The problem  has a name, Ma’am.  It is a crisis of knowledge … a crisis of Iman.

Depok, 12 Maret 2016

 

[1] Betsey Stevenson & Justin Wolfers, 2009. “The Paradox of Declining Female Happiness,” American Economic Journal: Economic Policy, American Economic Association, vol. 1(2), pages 190-225, August. citation courtesy of http://ideas.repec.org diunduh 28 Februari 2016

[2] Betty Friedan. 1974. The Feminine Mystique. New York : Dell Publishing , hlm. 16

[3] Ibid, hlm. 12-13

[4] Syed M. Naquib Al-Attas. 2002. Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, Kuala Lumpur : Istac, hlm : 16

[5] Imam Al-Ghazali. 2011.  Ihya Ulumuddin 1: Ilmu dan Keyakinan, Jakarta : Republika, hlm. 32-34

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.