Ketabahan orang-orang Palestina, khususnya di Gaza dalam menghadapi penjajahan dan serangan dari Zionis tidak bisa dipisahkan dari pembinaan keluarga. Menurut Marihan binti Abu Laban, Pemimpin Redaksi al-Sa’adah, wanita-wanita palestina memang mendidik anak-anak mereka menjadi mujahid.
Katanya, berbagai musibah berupa kehilangan orang-orang yang mereka cintai karena terbunuh di medan perang menempa mereka menjadi orang-orang yang sabar, senantiasa ihtisab (berharap pahala dari Allah) dan semakin meyakini takdir Allah dan menerimanya. Para wanita Palestina, katanya, senantiasa menceritakan kepada anak-anak mereka bahwa ia tinggal di tanah suci yang dikaruniakan Allah.
“tidak ada seorang pun yang boleh merebutnya”, kata Ibu dari tiga anak ini.
Marihan menjelaskan, wanita Palestina juga menyadari untuk meraih kemerdekaan dibutuhkan banyak pejuang dan pengorbanan. Karenanya, wanita-wanita Palestina tidak ingin membatasi jumlah anak mereka. Sehingga lazim ditemukan ibu-ibu Palestina khususnya di Gaza yang melahirkan 10 anak bahkan lebih.
Meski demikian, wanita-wanita Palestina juga gigih menuntut ilmu hingga jenjang yang lebih tinggi. Marihan menceritakan majalahnya pernah menulis dua kisah tentang seorang ibu di Gaza yang kuliah bersama anaknya di kamus dalam waktu yang bersamaan.
Ceritanya, seperti wanita-wanita Gaza yang lain yang menikah muda, sang ibu berhenti sekolah untuk fokus mengurus rumah tangga dan mendidik anak di rumah sampai dewasa. Ketika anak pertamanya lulus SMA dan akan melanjutkan ke universitas, sang ibu juga ikut mendaftar di kampus yang sama di jurusan yang sama pula: Universitas Islamiyah Gaza jurusan Psikologi. Sedangkan ibu yang satu lagi kuliah di jurusan Syariah dan Qanun.
Berikut petikan wawancara dengan Menteri Urusan Palestina, Jamila Syanthi.
Bagaimana karakter keluarga Palestina? Apa yang membuat mereka tegar menghadapi kehidupan berat di bawah jajahan Zionis Israel?
Hal ini buah dari reaksi rakyat terhadap orang-orang yang menjajah mereka. Hari ke hari rakyat Palestina memperkuat diri mereka. Mereka membekali kekuatan mereka dengan ilmu dan amal, dengan kekuatan pemuda, memperkuat perlawanan, hingga mereka dapat melakukan perlawanan dan menjaga tanah mereka.
Tidak seperti wilayah Palestina lainnya, semisal Tepi Barat, rakyat Gaza terlihat lebih agamis. Seperti wanita-wanitanya yang hampir seluruhnya berjilbab.
Pada dasarnya, tabiat semua masyarakat Palestina adalah masyarakat yang agamis, tidak hanya di Gaza saja. Meskipun terdapat perbedaan partai, pandangan, dan lainnya. Bahkan, wanita yang anda lihat tidak memakai hijab, jika anda menelitinya, ia tetap berusaha mendirikan shalat berpuasa dan menjalankan kewajiban lainnya.
Kami memiliki peraturan syariat, adab serta peraturan tradisi terdahulu. Tiga hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak wanita di Gaza memakai hijab.
Perkara hijab setulnya disebabkan tidak adanya pengetahuan dan kesadaran. Pemahaman terhadap agama Islam antara Gaza dan Tepi barat sebenarnya sama, tidak berbeda. Karena jumlah orang Kristen di Tepi Barat yang lebih banyak, menyebabkan seringkali terlihat ada perbedaan antara Gaza dan Tepi Barat. Kaum Muslim di Gaza dan Tepi Barat tetap satu.
Bagaimana kaum Ibu di Gaza mendidik anak-anak mereka? Nilai-nilai apa saja yang ditanamkan pada anak-anak di Gaza?
Pendidikan terhadap anak yang dilakukan oleh wanita di Gaza memang berbeda dengan yang ada di negara Arab lainnya, karena situasinya juga berbeda. Setiap wanita di dunia tertentu ingin mendidik anak-anaknya, hingga mereka besar, belajar dan sebagainya.
Tapi terdapat perbedaan situasi yang dialami oleh wanita Palestina. Mereka berada dalam negara konflik, memiliki musuh dan situasi lainnya. Yang menimbulkan rasa ingin melawan semua itu. Lantas siapa yang akan melakukan semua itu? Tidak lain adalah anak-anak mereka.
Karena itu, ketika mendidik anak-anak, wanita Palestina menceritakan kondisi negaranya yang dijajah Yahudi dan kondisi negara lainnya. Ini merupakan pendidikan yang berlandaskan pada cinta jihad dan melakukan perlawanan terhadap penjajah Yahudi. Sebab itu, kita lihat, rakyat Palestina sejak kecil telah memiliki rasa tanggung jawab. Karena kami harus berpegangn teguh dan bersandar pada diri sendiri, baik ekonomi, politik, perlawanan dan perkara lainnya.
Apa peran Wanita Palestina dalam perlawanan?
Wanita Palestina adalah bagian dari perlawanan. Wanita Palestina merupakan wanita yang terpelajar. Tidak ada wanita yang buta huruf. Karena itu, wanita Palestina memiliki peran besar dalam memerangi blokade. Dari sisi ekonomi misalnya, mereka sangat cerdas dalam mengatur kebutuhan rumah tangga. Kemudian dari sisi keamanan, wanita Palestina memiliki indra keamanan dan memahami tabiat penjajahan yang dilakukan oleh Israel.
Mereka bisa memahami situasi penjajahan, jika suatu saat suaminya ditangkap oleh penjajah Israel, atau suaminya syahid. Wanita Palestina bangga dengan suami-suaminya dan selalu mendukung mereka dari belakang. Bahkan, bagi saya, peranan wanita Palestina seperti ini adalah kontribusi terbesar dalam jihad. Dalam konteks jihad yang tidak didefinisikan dengan senjata.
Saya lihat, banyak sekali anak-anak di Gaza, apakah tidak ada pembatasan jumlah anak di sini?
Pertama, dalam upaya mencapai kemerdekaan dibutuhkan jumlah kekuatan yang besar. Jumlah penduduk Palestina harus bisa melebihi jumlah penduduk Yahudi. Perang jumlah penduduk dengan Yahudi bagi kami sangat penting.
Kedua, tabiat wanita Palestina, satu wanita mampu hingga melahirkan hingga 15 anak. Kita menginginkan jumlah tentara dan anak yang besar di Palestina. Meskipun keluarga tersebut miski namun wanita Palestina tetap berusaha melahirkan banyak anak. Karena perkara kemiskinan bukan masalah kelahiran anak. (sumber : Majalah Hidayatullah edisi 10 Februari 2013)