Hijab Indonesia: Sejarah yang Terlupakan

Oleh: Sarah Mantovani

Jika kita diminta menyebutkan siapa saja pejuang Muslimah Indonesia, dengan mudahnya kita sebutkan nama-nama seperti Raden Ajeng Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Mutia atau Raden Ajeng Kartini, tapi ketika kita diminta menyebutkan siapa pejuang Muslimah Indonesia yang berjilbab? Mungkin jawaban kita hanyalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said, pejuang Muslimah asal Minang yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta.

Padahal, kalau kita mau mengkaji sejarah lebih dalam lagi kita akan menemukan nama-nama selain H.R Rasuna Said seperti Teungku Fakinah, Cut Nyak Dhien, Sri Sultanah Ratu Nihrasyiah

Rahmah El Yunusiyyah
Rahmah El Yunusiyyah

Rawangsa Khadiyu, Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Ta’jul Alam Shah Johan Berdaulat dan Ratu Zakiatuddin Inayat Syah dari Aceh, Nyai Achmad Dahlan pendiri Nasyiatul Aisyiah Muhammadiyah dan Rahmah El Yunusiyyah mujahidah asal Minang yang membidani lahirnya TNI. Mereka ini adalah pejuang Muslimah pada masanya dan berjuang dengan hijabnya.

 

Selama ini seringkali kita dengar pula, hijab dan jilbab hanya dianggap sebagai budaya Arab dan bukan identitas Muslimah Indonesia ataupun warisan asli Nusantara yang diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Ternyata fakta sejarah tidak menunjukkan demikian, hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, meski pada awalnya hanya berupa kerudung yang ditaruh di atas kepala.

Lalu sejak kapan Muslimah Indonesia memakai hijab? Siapa yang pertama kali mempelopori pemakaian hijab di Nusantara? Kenapa masih ada pejuang Muslimah kita yang masih tidak berjilbab? Bagaimana jilbab pada saat itu?.

Identitas Mujahidah

Sejarah mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di Indonesia belum diketahui secara pasti, ranah mengenai sejarah pasti lahirnya dan perkembangan hijab di Indonesia juga belum banyak tersentuh dan tidak banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang mengaku sebagai hijabers dan desainer dari hijab itu sendiri.

sri-ratu-tajul-alam-safiatuddin

Diperkirakan sekitar tahun 1400 M atau 6 abad yang lalu, Sulthanah Sri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu yang memerintah kerajaan Samudra Pasai hingga tahun 1427 M, Sulthanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam Shah Johan Berdaulat yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1675 M dan Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688 M) sudah berjilbab, meski jilbab mereka terlihat masih belum sempurna dan masih berupa selendang atau kain yang dijadikan sebagai kerudung.

Hal ini terlihat pada lukisan yang dibuat oleh pemerhati Sejarah Aceh sekaligus pelukis kelahiran Aceh Utara, Sayeed Dahlan Al Habsyi. Dalam lukisannya, ia menggambarkan kedua Ratu tersebut (Ratu Nihrasyiah dan Ratu Safiatuddin) memakai baju lengan panjang dengan kerudung.

Buku yang ditulis oleh Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (A. Hasjmi) berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu” halaman 206, memperkuat lukisan Sayeed Dahlan.

Hasjmi menerangkan, dalam tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muham­mad Said tahun 1683 M), rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, keheranan mereka jadi bertambah setelah sebelumnya terkagum-kagum melihat Banda Aceh yang cantik dan permai, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan Agama Islam.

Peneliti Sejarah Islam dari International Islamic University Malaysia (IIUM), Alwi Alatas juga menerangkan hal yang sama, ia menemukan ilustrasi pakaian wanita Aceh yang tertutup rapat.

“Buku Denys Lombard, ‘Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)‘, pada halaman 365 ada ilustrasi ‘an Achein woman‘ yang jilbabnya cukup rapat. Lombard menyebutkan bahwa gambar itu diambil dari naskah Peter Mundy, tahun 1637”, terang Alwi, Jum’at 19/04/2013.

 Sulthanah Nihrasyiah Rawangsa
Sulthanah Nihrasyiah Rawangsa

Pada masa perkembangannya, sekitar tahun 1800-1900 an, kita sudah banyak mendapati Muslimah yang sudah memakai jilbab secara tertutup, seperti Nyai Achmad Dahlan beserta pengurus Nasyiatul Aisiyah Muhammadiyah yang dikuatkan dengan foto-foto mereka dalam buku Api Sejarahnya Ahmad Mansur Suryanegara halaman 422 dan 424.

Sama halnya Cut Nyak Dhien dengan kerudungnya, meski dalam lukisan dan fotonya, ia tidak digambarkan sebagai wanita yang berjilbab, namun dalam foto saat ia ditangkap oleh pihak Belanda menunjukkan Cut Nyak Dhien mengalungkan sebuah selendang di lehernya yang diperkirakan selendang itu berfungsi sebagai kerudung.

Rahmah El Yunusiyyah, yang di dalam foto terlihat sangat menutup auratnya dengan jilbab panjang dan baju yang tidak ketat, bukan hanya sekedar memakai kerudung tetapi benar-benar memakai hijab yang sempurna seperti yang disyariatkan. Begitu pula, Teungku Fakinah seorang mujahidah asal Aceh yang pada tahun 1873 turun dalam peperangan melawan agresi Belanda juga digambarkan sebagai wanita yang berjilbab.

Ada juga orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala. Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah. (G.F Pijper, Fragmenta Islamica : Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, 1987, hlm. 18).

Kemudian kenapa masih ada Muslimah dan pejuang Muslimah yang tidak berjilbab? Apakah karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk menutupi seluruh auratnya?. Menurut peneliti sejarah Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Muhammad Isa Anshory, M.PI., hal ini dikarenakan masih sangat sulitnya pejuang Muslimah untuk mengakses banyak kitab sedangkan kitab Fikih yang dipakai stagnan (itu-itu saja, red).

“Karena pejuang Muslimah dulu sangat sulit mengakses kitab-kitab, kitab Fikih yang dipakai stagnan, hanya berupa kitab shalat, puasa dan lainnya, tidak seperti sekarang. Dulu Muslimah yg memakai penutup kepala dan kelihatan sedikit rambutnya bahkan sudah dianggap sebagai wanita terbaik pada jaman itu”, terangnya saat mengisi kajian tentang Sejarah Islam Indonesia, Surakarta, Kamis 18/04/2013.

Sehingga, jika menarik dari sejarah dan melihat penggambaran mengenai pakaian muslimah Indonesia pada saat itu, sudah dipastikan hijab merupakan identitas para mujahidah Nusantara.

Revolusi Jilbab

komite kongres perempuan indonesia

Sejarah mengenai jilbab di Indonesia juga tidak terlepas dari sejarah perjuangan untuk menerapkan dan memakainya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rahmah El Yunusiyyah yang pada tahun 1935 mewakili kaum ibu Sumatera Tengah untuk mengikuti Kongres kaum Perempuan di Batavia.

Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, masih dalam kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia. (Rahmah El Yunusiyyah Mujahidah Tanpa Emansipasi, https://thisisgender.com).

Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa hak kita sebagai Muslimah untuk berhijab pernah dicabut oleh pemerintah pusat. Peristiwa ini berawal dari para siswi berjilbab di SPG Negeri Bandung yang hendak dipisahkan pada lokal khusus, mereka langsung memberontak atas perlakukan diskriminatif terhadap jilbab mereka. Melihat hal ini, ketua MUI Jawa Barat segera turun tangan hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1979.

Kemudian pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah.

Saat itu memang tengah gencar-gencarnya penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Para Muslimah banyak yang hengkang dari studi demi konsisten untuk jalankan syariat. Mereka yang diusir dari sekolah karena jilbabnya, sampai membawa perkara ini ke pengadilan, bahkan, mungkin untuk yang pertama kalinya, keputusan tersebut berujung pada revolusi jilbab dan mengundang protes dari ribuan mahasiswa dan pelajar berjilbab di berbagai kota besar yang turun ke jalan. (Hemdi, Yoli, Ukhti… Hatimu di Jendela Dunia (Sebuah Torehan Wajah Perempuan dan Peristiwa) 2005).

Sejak terjadinya gelombang revolusi tersebut, keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut larangan tentang pemakaian jilbab sebelumnya oleh pemerintah pusat.

Meski sejarah Hijab Indonesia, terutama pra Indonesia merdeka, belum banyak tersentuh tapi sebagai Muslimah Indonesia kita tetap harus mempertahankan syari’at yang sudah diturunkan oleh Allah SWT., terlebih setelah kita kaji lebih dalam, ternyata hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia.

* Peneliti CGS (the Center for Gender Studies in Islamic  Worldview), Penulis Lepas.

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

9 COMMENTS

  1. Sulthanah Nahrayiyyah Rabaksa Khadiyu wafat Senin, 17 Zulhijjah 831 H/1428 M begitulah menurut inskripsi yang terpahat pada monumen makam beliau.. rabaksa khadiyu adalah sebuah gelar dari Persia…

    pada monumen Makam beliau terpahat surat yasin dari awal hingga akhir… dalam tafsir al baydhawi menyebutkan bahwa, surah yasin adalah jantung Al-qur’an.. ini barang kali menegaskan bahwa, Sulthanah Nahrasyiyyah adalah jantung Samudra Pasai.. sejauh penelitian tim Cisah, makam yang berinskripsi Surah Yasin baru di dapati pada makam 2 makam di Aceh yaitu ; Makam Sulthanah Nahrasyiyyah di Aceh Utara serta Makam ‘Inayat Syah di kandang XII Banda Aceh… yaitu seorang Sulthan Agung dari Aceh Darussalam.

  2. ISLAMIC GOALS … Peace and Prosperity !!!

    Q.S. 4 AN NISAA’ 1.
    Q.S. 33 AL AHZAAB 59.

    Membahas ihwal Jilbab seyogyanya dimulai dari proses peradaban manusia, termasuk dinamika ekonomi yang menyertainya. Manusia beranak-pianak (population growth), maka perlu diimbangi dengan “economic growth”, yang mendorong “employment growth”. Kalau tidak berimbang bisa mengakibatkan perang – “Homo homini lupus” (Thomas Hobbes). Wanita sangat berperan sebagai “decision makers” dalam kegiatan ekonomi.
    Tak ada satu pun binatang yang punya naluri berpakaian, sedangkan “Homo sapiens” (manusia) yang paling primitif sekalipun sudah memiliki naluri kecenderungan berpakaian, bahkan “fashion” menjadi pertanda kemajuan.”Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Pangkal paha sebagai “starting point”, ke bawah beralaskan sepatu yang sekaligus sebagai “status symbol”, ke atas menjadi penutup kepala yang berpuncak menjadi “Mahkota” sebagai “simbol kehormatan”. Kalau “Jilbab” (kerudung)sudah menjadi budaya “Ethical symbol”, maka wanita yang kaya tidak cukup punya satu pakaian dan satu kerudung kepala, mereka cenderung berlomba dalam kwantitas atau kwalitasnya. Kopiah (topi) bagi pria analog Jilbab untuk Wanita, dan lelaki kaya pun cenderung punya koleksi beberapa kopiah (built in obsolescent).
    Permintaan “tutup kepala” terdorong berkembang, maka pedagang Jilbab dan Kopiah bisa makan, pengrajin Jilbab dan Kopiah bisa makan,pabrik tekstil menampung pekerja,dan petani di desa menanam kapas. DOMINO THEORY … !!!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.