Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania*
Saat ini, kita disungguhkan kembali kepada sebuah drama tragis pemerkosaan terhadap mahasiswi India berusia 23 tahun yang dilakukan sekelompok laki-laki dan berujung kepada tewasnya mahasiswi tersebut. Sebelumnya, kita juga mendengar para aktivis feminisme di Perancis berdiri di depan Patung Venus de Milo, memprotes tindak pemerkosaan yang terjadi di Tunisia dengan melakukan aksi telanjang dada, mempertontonkan aurat mereka sambil mengangkat tangan dan meneriakkan “Kami di sini untuk menghentikan pemerkosaan”. (lihat www.islampos.com)
Sudah sepantasnya kita berempati kepada para korban pemerkosaan dan keluarganya. Namun yang kini menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana mengatasi tindak kejahatan seksual terhadap diri perempuan yang secara alamiah memang rentan terhadap bahaya kekerasan tersebut ? Apakah para aktivis feminis, yang selalu berteriak lantang apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan yang menyita perhatian publik, menawarkan sebuah solusi yang dapat meminimalisir potensi bahaya tersebut dari diri perempuan?
Jawabannya adalah tidak. Feminisme tidak pernah datang dengan solusi, namun ia justru menambah problem sosial di tengah masyarakat. Hanya Islam satu-satunya agama yang mampu menjamin keselamatan dan keamanan diri perempuan. Mengapa ?
Feminisme dan liberalisme memiliki akar yang sama yaitu relativisme, paham yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial. Maka tak heran jika gerakan feminis menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan“. Di negara-negara Barat, kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan sebagai hak untuk melepaskan segala ikatan yang membelenggu aktivitas perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, baik ikatan agama maupun moralitas. Bangsa Perancis mulai memandang hubungan di luar nikah sebagai sesuatu yang biasa menjelang akhir abad ke 19, begitu juga negara Eropa lainnya dan Amerika. Isu kebebasan telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Laki-laki dan perempuan hidup bersama tanpa ikatan perlahan-lahan memperoleh status legal sehingga banyak perempuan di Barat memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan. Isu kebebasan telah membuat kaum perempuan tidak malu-malu lagi mengeksploitasi tubuh mereka dengan alasan perempuan memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri.
Logika feminis adalah, “tubuh kami adalah milik kami, kami berhak memperlakukan tubuh ini sesuai kehendak kami. Bahkan jika kami ingin mempertontonkan bagian yang paling pribadi di depan umum, itu adalah hak asasi kami. Tidak boleh ada yang mengatur cara kami berpakaian, baik negara atau agama sekalipun.” Begitulah kira-kira cara pandang kaum feminis. Dan itu telah mereka buktikan dengan aksi telanjang dada para feminis Perancis. Para feminis merasa aksi pemerkosaan dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan adalah murni kesalahan laki-laki yang tidak bisa mengekang hawa nafsunya. Mereka tidak pernah mau dipersalahkan bahwa prilaku dan kebebasan mereka dalam mengeskpresikan diri telah berkontribusi pada maraknya aksi kekerasan seksual terhadap kaum perempuan. Sehingga tidak heran apabila Islam yang berusaha melindungi keselamatan dan keamanan perempuan dengan mewajibkan pemeluknya untuk menggunakan hijab dan mengatur perilaku perempuan di ranah publik justru dianggap telah melakukan deskriminasi dan pengekangan terhadap hak-hak perempuan.
Kita semua sepakat, bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada sekumpulan manusia yang berperilaku jahat, namun kejahatan timbul karena adanya kesempatan yang memudahkan para pelaku kejahatan itu melakukan aksi mereka. Bahkan dalam teori pengendalian terhadap resiko atau potensi bahaya (hazard) yang dikeluarkan ILO disebutkan bahwa kecelakaan dapat dihindari dengan melakukan sejumlah langkah pencegahan, diantaranya adalah pengaturan administratif berupa penerapan prosedur dan aturan yang jelas serta penggunaan alat pelindung diri. Seorang pekerja dianjurkan untuk berperilaku aman (safety behavior) dan akan dikenakan sangsi apabila membiarkan dirinya terekspose dalam kondisi bahaya atau melakukan tindakan yang mengancam keselamatan dirinya atau orang lain (unsafe behavior), contohnya adalah tidak bekerja sesuai SOP (standard operating prochedure) atau tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat bekerja.
Hal yang sama sebenarnya dapat diterapkan dalam menjaga keselamatan dan keamanan perempuan dari bahaya tindak kekerasan seksual. Kita tidak bisa menuntut pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keselamatan dan keamanan perempuan, apabila kaum perempuan sendiri membiarkan dirinya terekspos dalam kondisi bahaya dan melakukan tindakan yang dapat mengancam keselamatan mereka. Contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai unsafe behavior bagi perempuan diantaranya adalah bepergian ketika malam telah larut tanpa pendamping, menggunakan perhiasan berlebihan ketika berada di tempat umum seperti di pasar atau angkutan umum, menggunakan pakaian yang mempertontonkan aurat dan berprilaku di luar batas kesopanan sehingga mengundang pria untuk menyalurkan hasrat seksualnya kepada kaum perempuan melalui tindak kejahatan.
Bahaya memang tidak bisa dihilangkan 100 persen, bahkan dalam teori keselamatan, zero accident bukan berarti tidak terjadi kecelakaan sama sekali, namun ia adalah kondisi dimana semua upaya pencegahan telah dilakukan semaksimal mungkin. Jadi masuk akal, apabila syariat Islam memberikan aturan yang jelas terhadap perilaku perempuan di ranah publik. Hal tersebut bukanlah bentuk deskriminasi, namun merupakan sebuah proteksi bagi perempuan dari tindak kekerasan yang mengancam keselamatan dirinya. Dalam al-Quran surat an-Nur ayat 30, keharusan untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluan juga diperintahkan kepada para laki-laki mukmin. Artinya, Islam tidak hanya mengatur perilaku perempuan namun juga mengatur perilaku laki-laki agar kemashlahatan dapat tercipta dalam masyarakat dan negara.
Proteksi yang bersifat individual terntunya harus ditunjang dengan kebijakan negara/ pemerintah yaitu dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menjamin keselamatan dan keamanan perempuan dari tindak kejahatan seksual. Diantaranya adalah dengan memberikan sangsi hukum yang tegas kepada para oknum yang menyemarakkan bisnis pornografi di tengah masyarakat, mencegah dan menindak kaum laki-laki yang hendak mengeksploitasi perempuan dan juga mencegah serta menindak kaum perempuan yang mengeksploitasi diri mereka sendiri.
Islam adalah satu-satunya agama dan padangan hidup yang terbukti dapat memberikan keselamatan dan keamanan bagi perempuan melalui aturan yang jelas dan universal, baik di ranah domestik maupun publik, dalam lingkup individu maupun lingkup masyarakat atau negara. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya tidak terjebak oleh provokasi kaum feminis yang seolah-olah berjuang untuk kaum perempuan padahal feminisme adalah paham yang konsepnya sangat absurd dan saling kontradiksi satu sama lain. Bahkan para aktivis feminis tersebut tidak pernah sepakat mengenai konsep kebebasan yang mereka perjuangkan, walaupun lisan mereka berucap dengan penuh keyakinan meneriakkan jargon “bebaskan kaum perempuan”.
Penulis adalah Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Central for Gender Studies (CGS) dan Peneliti di Sekolah Tinggi Manajemen Transpor (STMT) Trisakti, Bidang Manajemen Keselamatan.