Sebagaimana telah diberitakan, menurut rencana, Indonesia akan menjadi tuan rumah acara Miss World 2013 di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor dan Bali pada 28 Sebtember 2013. Kontes ratu kecantikan sedunia — yang diadakan sejak tahun 1951 — sudah umum diketahui menjadi ajang mengumbar aurat wanita. Terdapat sesi penampilan berbikini.
Apapun alasannya – apakah itu untuk menarik wisata, atau yang dinilai bukan tubuh tapi kecerdasannya – tetap saja, unsur kecantikan menjadi ukuran. Tidak mungkin wanita berkaki satu, cebol, mata cacat lolos dalam kontes ratu-ratuan itu, walaupun ia cerdas. Meski terdapat peserta kulit hitam, namun tetap keseksian tubuh wanita itu yang ditonjolkan.
Dr. Daud Yusuf ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (periode 1977-1982) menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Meski pemikirannya terkenal sekuler, kritikan Daud Yusuf sangat tajam terhadap kontes ratu-ratuan yang mengeksplotiasi aurat itu.
Ia berpendapat bahwa kontes ratu-ratuan sedunia adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakekat perempuan dari mahluk manusia. Tujuan kegiatan ini adalah tidak lain merauk keuntungan berbisnis, bisnis tertentu, perusahan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Wanita yang terjebak dalam kontes ratu-ratuan tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya, itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Kritikan tersebut ia tulis dalam buku memoarnya.
Daud Yusuf merupakan menteri era Orde Baru yang terkenal sekuler. Selama menjabat sebagai Menteri, ia enggan mengucapkan ‘Assalamu alaikum’ pada acara-acara resmi. Tapi, ternyata sekularismenya tidak terlalu membabi buta seperti anak-anak muda liberal saat ini. Ternyata ia sadar, serangan kontes ratu-ratuan sangat dahsyat merusak moral bangsa. Kritikannya tersebut mungkin tidak didasarkan paradigma agama. Namun akal sehat bisa menyimpulkan bahwa paradigma kontes ratu-ratuan sedunia sudah nyata menjadi bahan eksploitasi wanita untuk kepentingan pragmatis duniawi.
Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Timur KH. Abdurrahman Navis, Lc,M.Ag mengatakan ajang internasional itu bukan saja membawa misi bisnis, melainkan juga sebagai salah satu upaya untuk merusak moral Indonesia. Sejak dulu, lanjut dia, umat Islam di Indonesia selalu menolak semua bentuk ajang perlombaan yang mengarah pada pengumbaran aurat, yang digelar di luar negeri (jaringnews.com 27/4).
Invasi Budaya Postmo
Dalam budaya postmodernisme yang anti nilai agama, tubuh wanita menjadi media mengeksploitasi seks dan untuk kepentingan market bisnis. Michel Foucault berpendapat, dalam dunia global, antara nilai jual tubuh, hasrat dan kekuasaan kapitalis terdapat hubungan yang tidak terpisah.
Postmodernisme dalam era sekarang, telah mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat, yang mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan hasrat yang mampu membentuk paradigma baru dalam kehidupan sosial dan budaya (Zaitunah Subhan,Pornografi dan Premanisme: 2005, hal. 76).
Eksploitasi tubuh wanita tersebut, menurut Foucault dijalankan melalui media; televisi, Koran, majalah, video, dan lain-lain. Tubuh digunakan untuk kepentingan relasi sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Hal ini merupakan agenda masyarakat Barat. Postmodernisme adalah paradigma, tubuh wanita adalah alat dagangan, dan media massa adalah kendaraannya.
J.F. Lyotard, sosiolog postmodern, mengatakan, sistem relasi dengan tubuh wanita sebagai alatnya merupakan wacana libidinal economy (ekonomi libido). Yaitu kecenderungan menciptakan ruang untuk pelepasan hasrat, sehingga setiap orang dapat mengeksplorasi setiap hasrat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang maksimal.
Dalam wacana ekonomi libido, lekuk-lekuk tubuh wanita diekspose secara publik karena memiliki nilai jual. Mereka menolak dikatakan melakukan degradasi moral. Lyotard menganjurkan dalam wacana ini harus bersifat permisif. Semakin tinggi permisifme, semakin tinggi pula daya jual kepada masyarakat. Atau dapat dikatakan, semakin luas aurat yang terbuka semakin tinggi nilai ekonominya (Zaitunah Subhan:2005, 79).
Dalam kaitan dengan hal tersebut, Miss World merupakan produk serangan budaya postmodern, dalam bentuk ekonomi libido. Para pendukung kontes ratu-ratuan menolak dikatakan ajang tersebut merusak moral. Panitia Miss World beralasan, yang dinilai adalah brain (otak), bukan seksualitas wanita. Seorang ratu kecantikan dapat menarik wisata Indonesia.
Sebagai alat, wanita tak ubahnya alat penarik uang. Tentu, tidak ada kemulyaan ketika wanita menjadi semacam alat belaka.
Justru disinilah problemnya. Wanita adalah komoditi. Yang dijual kecantikan. Wanita memiliki nilai jual untuk kepentingan ekonomi. Ini adalah bentuk ‘penjualan’ wanita. Jelas ini pelecehan terhadai kaum Hawa. Seks, dalam dunia postmo bukan saja alat pemenuhan kebutuhan biologis, tapi juga dijadikan pembangkit market sebuah produk ekonomi. Makanya, di Barat, penonjolan lekuk-lekuk tubuh wanita dalam iklan dan film tidak dianggap pelecehan wanita, tapi seni yang bisa mendongkrak produk ekonomi. Paradigma Barat kebingungan membedakan antara seni, pelecehan dan hasrat seks. Pelecehan dinilai seni, penistaan dapat membangkitkan ekonomi. Inilah budaya anti nilai (nihilisme).
Dalam Islam, wanita bukanlah alat dan tidak boleh dijadikan alat eksploitasi. Wanita harus dilindungi, bukan diumbar secara publik. Sebab, ketika wanita dipamerkan akan memicu fitnah syahwat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada fitnah wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari kecerobohannya (ada kata ‘adalah’ di sini) terhadap wanita.” (HR. Muslim)*
Oleh: Kholili Hasib – Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya