Home Blog

Refleksi Peran Istri di Balik Isra’ Mi’raj

0

Oleh: Rahmatul Husni*

Momentum Isra’ Mi’raj lebih sering dibahas dan dikaitkan dengan peristiwa ajaib dan fantastik, naiknya Rasulullah SAW ke langit untuk menjemput shalat. Namun di balik kejadian bersejarah itu, ada hal besar yang kadang luput diingat dan diceramahkan orang-orang, mengenai wafatnya Khadijah ra. istri tercinta Nabi Muhammad SAW. Malam 27 Rajab agaknya menjadi momen penguatan bagi Nabi SAW setelah mengalami masa-masa sulit: embargo dari kafir Quraisy, menerima kepergian dua pembela dakwahnya yang utama yaitu Abu Thalib, paman yang cukup disegani di tengah kaumnya, dan Khadijah ra istri yang begitu besar sumbangsihnya untuk kemajuan Islam. Maka Isra’ Mi’raj sejatinya sebuah ‘hiburan’ untuk Rasulullaah SAW dari Allah, agar tidak larut dalam kesedihan sepanjang tahun, yang disebut-sebut sebagai Yaumul Huzn.

Suksesnya peran kerasulan yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW tidak terlepas dari partisipasi Khadijah ra. pada awal mula kemunculan Islam di tengah-tengah bobroknya masyarakat jahiliyah. Istri yang sebelumnya merupakan ‘mitra dagang’ kaya dan terhormat, rela hidup miskin dan menderita setelah bersuamikan Muhammad SAW. Kepribadiannya memang sudah terkenal baik. Murah tangan, tidak suka menimbun harta, membina hubungan baik dengan mitra dagang. Ia banyak merekrut orang untuk terlibat dalam bisnisnya yang berjaya. Dagangannya dijual ke luar wilayah, sampai ke Syam dan Yaman. Bisa dibilang sosok Khadijah ra merupakan womenpreneur yang piawai, memiliki modal materi dan nonmateri.

Setidaknya ada tiga hal terkait peran Khadijah ra. sepanjang perjalanan dakwah yang bisa dijadikan refleksi untuk para istri masa kini. Pertama, penenang suami disaat sulit. Termaktub dalam Shirah Nabawiyah, ketika Rasulullah resah dengan keadaan masyarakat yang mengalami kemerosotan akhlak dan ketimpangan sosial, beliau menyendiri ke gua Hira. Tiba-tiba pulang dalam keadaan menggigil setelah menerima wahyu, “Zammilunii.. Zammiluni“. Sebagai perempuan, tidak mudah menerima pasangan menarik diri ke dalam ‘guanya’ dan tidak mengintervensi. Akan tetapi tanpa bertanya, Khadijah ra langsung menyelimuti Nabi. Ketika suami khawatir dan menyangsikan dirinya, ia membesarkan hati:

“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Inilah peran kedua, penasehat dan teman diskusi suami. Memahami kondisi suami, dan memberi solusi lewat kecakapan berkomunikasi. Betapa banyak pernikahan saat ini akhirnya tidak mampu bertahan, sebab masalah komunikasi antar suami-istri. Khadijah ra. teladan luar biasa dalam membangun pernikahan harmonis yang makin tergerus ego masing-masing gender. Kejadian ketika Rasulullaah menerima wahyu dan respon Khadijah ra. bisa dijadikan panduan relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Diam menanti saat suami menyendiri, tidak nyinyir bertanya sehingga suami merasa diinterogasi. Kemudian menyambut hangat saat suami kembali dari kontemplasinya, melontarkan kata-kata menguatkan sekalipun belum mengetahui sepenuhnya kejadian atau masalah yang telah dihadapi. Ketika mendengar hal ‘aneh’ yang dialami suaminya, Khadijah ra. mengajak suami bergegas menemui Waraqah bin Naufal, kerabatnya yang mendalami Injil dan dianggap cukup tahu seluk beluk penerimaan wahyu. Demikian potret ‘a well-educated women’ dalam Islam: memahami karakter suami, bisa diajak diskusi atas problematika yang dihadapi dan ikut mencarikan solusi yang sesuai.

Ketiga, membantu dengan harta. Sebagai seorang womenpreneur yang sukses mengelola harta jauh sebelum menikah, Khadijah ra tidak ragu menyumbangkan hartanya di jalan dakwah. Meskipun nafkah merupakan tanggung jawab suami, namun istri yang paham suaminya mengemban tugas besar sebagai figur umat, sadar diri untuk membantu bahkan rela jika hak-haknya dikurangi. Khadijah ra tidak menyedekahkan sebagian, melainkan seluruh hartanya untuk kejayaan Islam. Dunia digenggam di tangan, bukan di hatinya. Sehingga apapun kendala ekonomi tak menyurutkan langkahnya untuk tetap bersama suami. Istri begini sungguh kian langka di zaman sekarang. Dr. Najah Ahmad Azh Zhihar dalam bukunya berjudul Ya Ma’syaran Nisâ’ Rifqan bir Rijâl (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Mencintai Suami Jangan Setengah Hati) menyatakan bahwa, “Eksploitasi kaum wanita dalam bidang ekonomi dan keluarnya wanita untuk bekerja, juga menyebabkan suatu perubahan mendasar dalam hal tatanan cara bergaul antara dirinya dan kaum lelaki. Di antara kaum wanita ada yang mampu mengatasi perubahan ini, dengan berpedoman pada pelita Rasul, sehingga ia berjalan di atas petunjuk ini, serta menautkan segala perihal dirinya pada manhaj petunjuk ini, yang memang sesuai untuk segala zaman dan semua tempat. Namun ada juga di antara kaum wanita yang tertipu gemerlap slogan-slogan peradaban yang palsu. Ia begitu terbius rakus memburu peradaban yang fatamorgana ini.”

Meski tak dipungkiri, peranan Khadijah ra yang begitu besar, relevan dengan adab suaminya yang mulia. Sebelum menikah, akhlak Nabi Muhammad SAW yang jujur dan dapat dipercaya menjadi daya tarik bagi Khadijah ra. dan sangat mendukung kesuksesan bisnisnya. Setelah Khadijah ra tiada, Rasulullaah SAW masih memuliakannya, tidak bosan-bosan memuji dan menyebutnya dalam tiap kesempatan. Hal ini memantik kecemburuan istrinya yang lain, Aisyah ra. “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Rasulullah kecuali pada Khadijah. Walaupun aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Rasulullah sering menyebutnya setiap saat. Ketika beliau memotong kambing, tak lupa beliau sisihkan dari sebagian daging tersebut untuk kerabat-kerabat Khadijah. Ketika aku katakan seakan-akan tidak ada wanita di dunia ini selain Khadijah. Beliau berkata, sesungguhnya dia telah tiada dan dari rahimnya aku dapat keturunan.”

Dalam riwayat lainnya Aisyah berkata, “Dulu Rasulullah SAW setiap keluar rumah, hampir selalu menyebut Khadijah dan memujinya. Pernah suatu hari beliau menyebutnya sehingga aku merasa cemburu. Aku berkata, ‘Apakah tiada orang lagi selain wanita tua itu. Bukankah Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik?’ Lalu, Rasulullah marah hingga bergetar rambut depannya karena amarah dan berkata, ‘Tidak, demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik darinya. Dia percaya padaku di saat semua orang ingkar, dan membenarkanku di kala orang-orang mendustakanku, menghiburku dengan hartanya ketika manusia telah mengharamkan harta untukku. Dan Allah telah mengaruniaiku dari rahimnya beberapa anak di saat istri-istriku tidak membuahkan keturunan.’ Kemudian Aisyah berkata, ‘Aku bergumam pada diriku bahwa aku tidak akan menjelek-jelekannya lagi selamanya.’

Kisah ini bisa dijadikan refleksi, betapa tinggi penghormatan suami pada istrinya, bahkan tetap membela saat telah tiada. Pengorbanan, keridhaan, keikhlasan dan ketaatan Khadijah ra berimbang dengan sikap suami yang memperlakukan baik istri dan keluarganya. Wafatnya Khadijah ra. merupakan musibah besar bagi Rasulullaah SAW. Kesedihan berlarut yang akhirnya terobati dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Sebagai pelajaran untuk kita semua bahwa seorang istri akan bisa menjalankan perannya dengan baik, jika dilengkapi oleh suami yang juga mampu memperlakukannya dengan baik. Sebagaimana permisalan Buya Hamka dalam romannya berjudul Si Sabariyah (1928), “kapal berlayar di lautan, ombak bersabung di buritan tali temali berentangan, layar terkipas kiri-kanan, yang seorang tegak di kemudi, seorang tegak di haluan. Jika keduanya sama pandai, selamat sampai ke tujuan. Jika keduanya tidak bijak atau salah seorang tak bestari, karam di tepi kapal itu, tidaklah sampai ke tujuan.”

*Peneliti The Center for Gender Studies

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

0

Oleh : Jumarni*

Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi terkait kekerasan seksual. Salah satunya, dilansir pada website detikedu berjudul “Polemik Permendikbud Nomor 30/2021, Nadiem: Seluruh Masukan Kami Pertimbangkan” yang menjelaskan telah terbitnya Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 pada 31 Agustus 2021 yang berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Sebelum adanya kebijakan tersebut, tahun 2016 telah diajukan naskah akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) oleh Komnas Perempuan menyoroti tidak adanya payung hukum terkait 15 macam kekerasan seksual. Jauh sebelum itu, tahun 2013 Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) mengandung dalih yang juga serupa dengan tujuan menjamin hak dan mencegah perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Tulisan ini tidak ditujukan untuk mengkaji terlalu dalam berkaitan historis kebijakan tersebut, akan tetapi berupaya secara komperhensif membahas mengenai problem filosofis yang terkadung di dalamnya.

Menjaga Akal Sehat

RUU KKG dan RUU P-KS yang pernah diusulkan oleh DPR ditolak oleh banyak organisasi dan intelektual Islam. Sejak dulu kaum intelektual dan pemikir Islam lah yang banyak menolak berbagai macam kebijakan yang ganjil seperti Permendikbud No. 30/2021 ini. Setelah ditelaah, isi dari PPKS ternyata filosofinya mirip dengan RUU P-KS. Bagaimana mungkin draft RUU yang kontennya sudah ditolak DPR, lalu tanpa banyak pertimbangan, tiba-tiba disahkan menjadi peraturan menteri? Padahal isi yang ada di dalamnya kurang lebih sama problematisnya yaitu mengenai paradigma sex by consent (seks dengan persetujuan).

Terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, yang dimaksud kekerasan dalam Permendikbud No.30/2021 pasal 5 ayat 2 ialah segala aktivitas seksual yang menyalahi kehendak individu adalah bentuk paksaan karena tidak adanya persetujuan. Dapat disimpulkan bahwa apapun pengalaman subjektif dari korban maka itulah yang diakomodir dalam PPKS tersebut. Definisi  sexual consent menurut Oxford Dictionary yaitu  “Permission for something to happen or agreement to do something. No change may be made without the consent of all the partners.”. Paradigma sexual consent yang terkandung dalam kebijakan PPKS ini secara jelas menggambarkan bahwa aktivitas seksual bisa dilakukan hanya jika adanya persetujuan semata. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, aktivitas seksual bisa menjadi suatu bentuk pemerkosaan, kekerasan dan pelecehan. Tentu ini bagian dari kekeliruan berpikir (logical fallacy). Bagaimana mungkin consent menjadi satu-satunya legalitas untuk melakukan aktivitas seksual? Hal ini sangat problematis, karena ikatan pernikahan yang dilandasi agama menjadi tidak berguna.

Seorang psikolog Charlene L. Muehlenhard, Profesor dari Psychology and of Women, Gender and Sexuality Studies – University of Kansas, menyatakan bahwa “consent sebagai suatu komunikasi verbal atau non verbal yang diberikan secara bebas, yang menekankan pada keadaan sukarela secara personal dan terhadap orang lain sebagai kunci dari persetujuan.” Konsep persetujuan dalam hubungan seksual inilah yang justru dikritik oleh Alan Wertheimer dalam jurnalnya Consent to Sexual Relation. Ia menyatakan, “Consent can take multiple forms, and the best understanding of that term must be related to the work that we intend it to do. We are interested in consent to sexual relations because consent has the power to be morally, institutionally, and legally transformative. A cautionary remark about moral transformation. To say that B’s consent is morally transformative is to say that it makes a moral difference. It is not to say that B’s consent is either necessary or sufficient to an all things considered moral assessment of one’s obligations or the moral worth of one’s action. It is a mistake to think that consent always works to make an action right when it would otherwise be wrong if “right” is equivalent to “morally worthy” or “justified”. (Alan Wertheimer, a professor emeritus of political science at the University of Vermont).

Menurut Alan dalam jurnal tersebut konsep persetujuan dalam hubungan seksual mengalami problem baik secara pikiran dan aksinya. Persetujuan tidak serta merta “membenarkan” suatu tindakan, persetujuan harus disokong oleh penilaian moral, penilaian institusional dan penilaian legalitas: sah atau tidak. Menurutnya, adalah kesalahan berpikir menganggap “persetujuan” membuat suatu perilaku menjadi “dibenarkan” dan kebenaran yang diperoleh dari persetujuan selalu berarti “kebenaran secara moral”. Persetujuan seksual itu pada akhirnya harus ditimbang dengan pertimbangan moral, institusional dan legal. Kecuali memang sekelompok orang tersebut ingin merancang pembenaran terhadap sebuah realitas yang ada dan dilindungi oleh negara.

Paradigma sexual consent juga mengandung konsep body authority khas individualisme Barat dimana seluruh kehendak atas kedirian seseorang termasuk aspek seksualitas terletak pada individu itu sendiri. Hal ini selaras dengan teori John Locke bahwa hak alami (natural rights) dimana setiap orang memiliki hak milik (property rights), dengan begitu persetujuan seksual manifestasi dari memenuhi natural rights. Selain itu, statement yang sering disampaikan oleh feminis liberal adalah my body is mine, apapun yang menjadi kehendak diri dan pikiran itu adalah penentu sikapnya. Secara tidak langsung, paradigma demikian menafikkan wahyu dan menegasi kemoralan.

Menafikan wahyu dengan menganggap bahwa semua kehendak akan ketubuhan itu berasal dari manusia semata-mata. Padahal tidak semua kehendak tubuh ini berasal dari manusia, dalam worldview Islam bahkan kondisi ketubuhan tidak berdasarkan kehendak diri sendiri kecuali ada keterlibatan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta. Sehingga kita tidak memiliki otoritas penuh terhadap diri. Selain itu yang dimaksud menegasi kemoralan masyarakat, Indonesia masih menempatkan masyarakat sebagai social control ketika terjadi pelanggaran moral. Menjadikan diri superior dari segalanya itupun menyalahi teori kontrak sosial John Locke yang bagaimana hak ketubuhan itu diafirmasi dan dapat legitimasi perundang-undangan.

Dalam diskursus feminisme, otoritas ketubuhan berarti seseorang dapat menentukan secara bebas tanpa adanya intervensi di luar tubuh mereka. Hal ini sejalan dengan permendikbudristek 30 yang bermuara pada tuntutan kebebasan kehendak akan konsep ketubuhan. Memang sejak awal feminisme muncul menuntut hak-hak kebebasan dan kesetaraan. Subjektif, performatif atau tidak keduanya. Sehingga menurut feminis persetujuan bisa saja menjadikan perbuatan jadi bermoral dan diakui hukum.

Penulis teringat dengan kasus kekerasan seksual oleh aktivis kampus, ini terjadi di salah satu kampus besar di Samarinda dari sepasang kekasih yang belum menikah (courtship relationship). Dikarenakan ada orang ketiga, hubungan mereka menjadi renggang bahkan salah satunya melapor sebagai korban karena adanya upaya pemerkosaan dan kekerasan[2]. Inilah yang dikhawatirkan dari hubungan suka sama suka, kasus demikian sulit dideteksi karena hubungan itu telah terjadi. Korban mengaku dipaksa sedangkan terdakwa menganggap itu adalah hubungan yang valid, sah, karena dilandasi oleh suka sama suka. Dengan begitu, hakim kesulitan untuk mengidentifikasi persoalan tersebut. Karakteristik persetujuan ini fluid secara ruang dan waktu sehingga bermakna abstrak, mutitafsir kemudian menghadirkan penyesalan.

Problem Konsep Kebebasan

Menurut penulis, ada tiga konsep kebebasan termuat dalam PPKS yang mewacanakan paradigma sexual consent. Pertama ketiadaan paksaan, seseorang dapat menentukan kepada siapa ia ingin melakukan aktivitas seksual tanpa tekanan, tanpa harus terdesak, tanpa adanya intervensi dengan landasan benar-benar sukarela. Padahal tidak ada agama yang membolehkan hubungan seksual kecuali adanya hubungan pernikahan. Kedua ketiadaan limitasi, seseorang dapat menentukan kepada siapa ia ingin melakukan aktivitas seksual tanpa syarat dan batasan baik itu agama atau moral yang berlaku. Hal ini sama saja dengan melepas diri dari ketetapan norma yang berlaku. Ketiga, keputusan yang hanya mengandalkan akal tanpa mengindahkan baik dan buruk. Paradigma seperti ini mencerminkan betul konsep kebebasan dalam pandangan Barat.

Menurut pandangan Al-Attas dalam konteks bahwa manusia mempunyai kebebasan, ia menyatakan bahwa ketika manusia mengambil atau memilih untuk menerima agama ini, setelahnya, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa memiliki kebebasan memilih. Artinya setiap orang sudah menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut. Ikhtiar bagian dari usaha memilih diantara yang baik, sebab akar kata ikhtiar adalah khair atau baik. Fitrah manusia akan mudah menerima kebaikan. Ketika terdapat hal buruk, akan ada penolakan dalam dirinya karena tidak sesuai dengan kefitrahan manusia. Konsekuensi dalam berislam ialah memilih hal baik. Dengan demikian hal buruk bukanlah pilihan, bahkan harus ditinggalkan. Al Attas menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi pada saat itu. Kemudian, seseorang yang patuh terhadap agama dalam menentukan pilihan terbaik itulah kebebasan. Al Attas menilai bahwa kebebasan sejati hanya bisa dicapai ketika manusia telah memperoleh illuminasi spiritual atau gnosis (ma’rifah), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi. Bahkan pada tahap ini pun, ia masih terikat dengan kewajiban untuk memasrahkan diri kepada Tuhan.

Sexual consent mengafirmasi hubungan seksual atas dasar persetujuan. Islam melegalkan persetujuan dalam hubungan seksual hanya dalam bingkai pernikahan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa pernikahan dalam Islam kita sebut dengan mitsaqan ghalizha. Ikatan ini bukan hanya dengan manusia, tapi lebih dulu dengan Tuhan. (Republika, 12 september 2014). Dengan menikah, hubungan yang haram bahkan bisa berubah menjadi sebuah ibadah, hidup bersama dalam ketenangan (sakinah), (Insists, 22 Nopember 2020). Sexual consent justru menghadirkan ketakutan, kegelisahan, karena memang, hanya keridhaan Allah yang dapat mendatangkan ketenangan.

*Alumnus PKU Unida Gontor, 2020.

[1] (Maju Mundur Ungkap Jerat Predator Seksual Berkedok Aktivis, LPM Sketsa unmul, 8 April 2020).

Childfree dalam Pandangan Syara’

0

Oleh: Kholili Hasib*

Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Chlidfree telah menjadi trend, khususnya di negara-negara Barat, atau masyarakat yang mengikuti gaya hidup model Barat. “Dalam al-Quran dan Hadis tidak ada keterangan yang mewajibkan pasangan suami istri untuk punya anak”. “Ingin memimiliki anak atau tidak, kembali ke pilihan masing-masing”. Demikian potongan status aktivis penganut childfree di media sosial. Bagaimana pandangan Islam tentang gaya hidup tidak punya anak ini?

Sepertinya, pilihan menjadi childfree ini hak manusiawi setiap individu. Tetapi sejatinya lebih dari menggunakan haknya itu: ada yang memiliki pandangan yang memutus hidupnya dengan agama, bahkan sampai berdiri di atas paham materialism yang ekstrim. Sehingga, seakan-akan pasangan suami-istri itulah yang memiliki otoritas penuh menentukan ‘beranak’ atau ‘tidak beranak’. Padahal, tidak sesimpel itu. Sebab, memang isu ini persoalan yang serius yang perlu diurai dari beberapa hal.

Secara garis besar, kita perlu melihat dari dua aspek; pertama aspek teologis, kedua aspek yuridis Islam. Pertama, ketika sepasang suami-istri menikah, biasanya yang mereka harapkan adalah segera mendapatkan keturunan. Karena salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan keturunan yang baik. Dalam hal ini terdapat penjelasan al-Qur’an, bahwa menikah itu bertujuan melahirkan keturunan yang mulia:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (QS. An-Nahl: 72).

Rasulullah Saw juga mengajurkan memiliki anak:

تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّيْ مُكَاشِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَومَ الْقِيَامَةِ

“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad).

Ayat dan hadis di atas merupakan petunjuk yang terang, bahwa sudah semestinya menikah itu dibarengi niat meneruskan keturunan. Nabi Muhammad Saw menyukai umatnya yang memiliki anak keturunan. Tentu saja anak keturunan ini untuk disiapkan menjadi generasi yang baik.

Maka, niat itu penting. Setiap tindakan dapat diukur dari niatnya. Menikah dengan niat untuk menyenangkan Rasulullah Saw, dengan mempersembahkan kader yang sholih adalah anjuran agama. Janganlah menikah itu berdiri di atas paradigma materialism. Takut miskin, takut anak, takut tidak bahagia, dll. Jika telah benar niatnya, meskipun tidak terlaksana tindakan itu, maka tetap ada ganjaran dari Allah Swt.

Akan tetapi, keturunan yang banyak, sedikit atau bahkan tidak bisa memiliki keturunan karena alasan medis, merupakan sesuatu yang tidak pernah lepas dari keputusan Allah Swt.  Allah Swt berfirman:

لِّلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ ۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثًا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki “ (QS. Asy-Syuro: 49).

Maka, yang memberi rizki anak keturunan itu tidak lain adalah Allah Swt. Bukan seorang pria, juga seorang wanita. Di antara pasangan suami-istri ada yang dikaruniai anak perempuan, ada yang diberi anak laki-laki. Ada pula yang Allah Swt menghendaki tidak diberi keturunan sama sekali, baik laki-laki maupun perempuan. Semua ini keputusan dan kehendak Allah Swt.

Meski begitu, pasangan Muslim dianjurkan untuk berusaha mendapatkan keturunan. Ada atau tidak ada keturunan adalah kehendak Allah Swt. Hasan Khitab mengatakan: “Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya adalah menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan melahirkan keturunan yang baik. Alasan ini secara hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan. Karenanya tidak mungkin terbayang adanya anak yang baik tanpa pernikahan, sehingga menikah adalah sebab yang menjadi perantaranya. Anak yang baik menjadi maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada pernikahan, maka tidak akan ada anak yang baik.”(Maqasidun Nikah wa Atsariha Dirasatan Fiqhiyyatan Muqaranatan, 9). Namun, bila pasangan sudah berniat untuk tidak mau memiliki keturunan, maka ia sejatinya telah memilih untuk tidak berada dalam anjuran nas ilahi dan Nabi.

Kedua, secara yuridis Islam. Dari segi niat memperoleh keturunan, maka pernikahan itu menjadi nilai ibadah. Dalam hal ini Imam al-Ghazali berpendapat:

فى التواصل الى الولد قربة من اربعة وجوه هي الاصل فى الترغيب فيه عند امن من غوائل الشهوة حتى لم يحب احد ان يلقي الله عزبا الاول موافقة الله بالسعي فى تحصيل الولد الثانى طلب محبة الرسول صلى الله عليه وسلم في تكثير من به مباهته الثالث طلب التبرك بدعاء ولد الصالح بعده الرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير اذا مات قبله (أبوحامد محمد بن محمد الغزالي،إحياء علوم الدين 2، ص. 25).

“Upaya untuk memiliki keturunan menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dengan memperbanyak keturunanan yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.”

Atas dasar itu, apabila pasangan suami – istri sehat, secara medis memiliki peluang memperoleh keturunan, tidak ada kendala penyakit atau hal yang semisalnya, maka dilarang untuk menutup jalan keturunan. Pada Muktamar NU ke-12 di kota Malang tanggal 25 Maret 1937, masih dalam kepemimpinan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, salah satu keputusan hukum yang dikeluarkan adalah tidak boleh memutus jalan keturunan. Dalam keputusan tersebut dinukil ibarah dari kitab I’anatu at-Thalibin:

أفتى ابن عبد السلام وابن يونس بأنه لا يحل للمرأة أن تستعمل دواء يقطع الحبل.

“Ibnu Abis Salam dan Ibnu Yunus berfatwa bahwa tidak halal bagi wanita menggunakan obat yang bisa memutus kehamilan”.

Dengan demikian, pilihan childfree itu tidak sesuai dengan keputusan agama dan menyalahi tujuan dari pernikahan. Secara tekstual memang tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan Hadis untuk memilih tidak punya anak. Tapi isu ini masuk ke ranah fiqih. Oleh sebab itu, wajib ada istinbath. Al-Qur’an dan Hadis adalah alat utama istinbath. Jadi sebagaimana dikatakan oleh Prof. As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki bahwa tidak adanya teks dalam al-Quran dan hadis bukan merupakan atau belum tentu dalil yang bisa dipakai (As-Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Manhajus Salaf fi Fahmin an-Nushus, 418).

*Penulis merupakan Dosen IAI Dalwa Bangil

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

0

Oleh: Ahmad Kholili Hasib*

Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di antaranya:

  1. Mencari justifikasi teologis yang mendukung ide kesetaraan gender untuk menolak teks-teks terkenal yang digunakan untuk menindas
  2. Kritik terhadap gaya bahasa dan perspektif patriarkhi terhadap teks-teks
  3. Menampilkan perspektif perempuan dalam teks-teks wahyu.
  4. Kritik sejarah terhadap teks-teks wahyu yang Sebelumnya, metode-metode tersebut telah digunakan feminis Barat untuk membongkar pemahaman terhadap teks-teks Bibel yang patriarkis.

Jadi, tujuan studi Islam berbasis gender sebenarnya untuk menata ulang pemahaman teks- teks agama yang dituduh sebagai sumber kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, tidak sedikit aktivis gender yang melecehkan fikih dengan menuduhnya menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Aturan ibadah yang disusun dalam kitab-kitab fikih dicurigai sangat diskriminatif karena melarang mutlak perempuan menjadi imam bagi laki-laki, menjadi muazin, khatib Jumat dan lain-lain.

Dalam Islam dan tradisi masyarakat Indonesia, perempuan ditempatkan pada tempat terhormat, sebagai hamba Allah yang setara kedudukannya dengan laki-laki, meskipun dengan peran yang berbeda. Kekeliruan dasar dan arah studi gender dalam studi Islam akan berdampak pada hilangnya adab pribadi, keluarga, dan masyarakat. Bukan manusia yang adil dan beradab yang dituju, tetapi manusia tak beradab.

Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati perempuan, di dalam Al-Qur’an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat an-Nisa’, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan para pejuang gender, tetapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga dalam masyarakat.

Kritik Atas Hermeneutika (Feminis)

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah satu pemberontakan kaum feminis terhadap doktrin-doktrin Kristen yang dinilai menindas wanita adalah dengan merombak metode penafsiran Bible, yang dikenal sebagai metode hermeneutika feminis. Kaum feminis Kristen menggunakan metode ini untuk mengubah ketentuan-ketentuan agama Kristen yang mereka pandang menindas kaum wanita.

Jika ditelaah, banyak metode penafsiran kaum feminis terhadap al-Quran sebenarnya merupakan jiplakan terhadap metodologi serupa kaum feminis dalam Kristen dalam menafsirkan Bibel. Di sini ada dua masalah yang perlu ditelaah dengan cermat. Pertama, validitas dan kebenaran konsep ‘gender equality’ itu sendiri. Kedua, perbedaan sifat antara teks Al-Quran dan teks Bible.

Berbeda dengan al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari Tuhan. Meskipun demikian, diakui, bahwa unsur- unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena yang dianggap merupakan wahyu Tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible – dan bukan teks Bible itu sendiri – maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan Bible dalam bahasa apa pun adalah firman Tuhan (dei verbum). Dalam tradisi penafsiran Bible, sebagian teolog melakukan kontekstualisasi yang ekstrim, seperti Bultmann, yang menganggap Bible sebagai mitos. Dengan ini, hampir setiap bentuk kontekstualisasi adalah mungkin, karena ada banyak cara untuk memahami sejarah.

Dengan karakter Bible semacam itu, maka para pengaplikasi hermeneutika untuk al- Quran senantiasa — baik secara terbuka atau tidak — berusaha menempatkan posisi dan sifat teks al-Quran sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa, teks al-Quran adalah teks budaya, teks yang sudah memanusiawi, dan sebagainya. Salah satu pelopor usaha ini adalah Nasr Hamid Abu Zayd, yang terkenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi/cultural product).

Sebagai contoh, larangan pernikahan wanita muslimah dengan pria non-Muslim dalam QS Mumtahanah:10, yang dengan tegas menyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kami telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”

Tetapi, dengan pendekatan kontekstualisasi, makna ayat tersebut bisa berubah total. Aktivis gender dan pluralisme Agama, Musdah Mulia, menulis tentang ayat ini: “Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya.”

Argumentasi “kontekstual” itu sangatlah lemah dan keliru. Dengan logika semacam itu, maka ketika damai, seorang Muslimah halal menikah dengan laki-laki kafir. Lalu, ketika perang, nikahnya jadi haram. Dan jika damai lagi, maka nikahnya halal lagi. Argumentasi “kontekstual” semacam ini tentunya akan menjadi pemikiran yang “liar” yang tidak pernah terjadi dalam tradisi keilmuan Islam sebelumnya.

*Kandidat Doktor, Peneliti Center for Gender Studies

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.1)

0

Oleh: Ahmad Kholili Hasib*

Risalah Islam hadir dengan tidak merendahkan satu jenis kelamin. Buktinya, para muslimah zaman Islam tidak ada yang protes dengan syariat Islam. Justru mereka merasa lebih aman dan nyaman. Tidak sama dengan di Barat dimana pernah terjadi gelombang protes keras kaum wanita hingga lahir paham feminisme.

Para pejuang kesetaraan gender menyerang ajaran syariat Islam. Tuduhannya; tidak adil, pro-laki-laki, patriarki, dan lain-lain. Sasaran kritiknya adalah ajaran aurat, waris, talaq, mahar. Bahkan, tentang kejadian asal manusia juga dikritik.

Persepsi yang keliru di kalangan pejuang gender equality adalah dengan mengukur derajat manusia yang ditentukan secara materi, dan tata urutan. Atas lebih utama dari bawah. Depan lebih utama dari belakang dan seterusnya.

Dalam persoalan manusia yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam ‘alaihissalam bukanlah manusia pertama. Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif.

Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan

Permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Nabi Adam dan nabi-nabi lain utusan-Nya, menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.

Perwalian dan Hak Talak

Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya. Padahal, mahar adalah kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya. Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan.

Talak atau perceraian juga diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan. Karena menurut mereka, laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang setara. Menurut para pejuang kesetaraan gender, bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak perceraian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Dengan demikian, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bentuk keadilan dan kesetaraan gender menurut mereka.

Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk dipulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman.

*Kandidat Doktor, Peneliti Center for Gender Studies.

Problem Definisi Gender

0

Rahmatul Husni*

Terma “gender” memiliki banyak definisi. Diantara yang umum dikenal maknanya yaitu sebagai ciri perilaku, budaya, atau psikolologis yang biasanya dikaitkan dengan satu jenis kelamin. Pamela Sue Anderson menyatakan, istilah gender yang didefinisikan oleh konstruksi sosial budaya sekarang menjadi lawan istilah sex (jenis kelamin) sebagai karakteristik alami. Istilah gender yang terlahir dari rahim feminisme membuat pemisahan antara konsep identitas jenis kelamin dengan konsep konstruksi sosial jenis kelamin tersebut.

Simone de Beauvoir berpendapat bahwa pembebasan kaum perempuan ditempuh melalui jalan pemikiran dan praktik. Pada jalan pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkis yang membuatnya tidak leluasa mengaktualisasikan diri. Sementara pada jalan praktik, Beauvoir mengusulkan tentang pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah budaya, dan politik melalui revolusi sosial.

Belakangan, istilah ini digunakan oleh feminis untuk menyanggah argumen tentang faktor biologi gender sebagai takdir (Jolly, 2006). Berangkat dari trauma akibat sejarah kelam yang dialami perempuan di masa lalu; sejak zaman Plato dan Aristoteles hingga tokoh abad pertengahan dan modern, seperti St Clement dari Alexandria, St Agustinus John Locke, Rousseau, dan Nietzche, semuanya seolah bermufakat, wanita adalah makhluk hina-dina, biang kerok segala permasalahan. Dan pada saat ini para pengusung kesetaraan gender nampaknya ingin keluar dari problematika gender yang mereka anggap seolah telah membelenggu takdir seorang perempuan.

Di antara pengusung arus utama kesetaraan gender sendiri sebenarnya masih ada perdebatan dalam memaknai perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi, ada yang menganut konsep nature sebagai perbedaan alami sehingga kesetaraan yang dibutuhkan adalah keadilan sesuai konteks. Sementara di sisi lain penganut konsep nurture memaknai kesetaraan sebagai persamaan secara kualitatif, sebab menganggap perbedaan adalah hasil cipta-rasa- karya manusia (Khuza’i, 2018). Oleh karena itu penghapusan batas-batas gender diyakini sebagai suatu keniscayaan.

Sekilas, konsep nature memberikan pengakuan tentang adanya fitrah yang membedakan antara laki dan perempuan, baik secara biologis maupun sosial. Dalam pandangannya, konsep ini mengakui adanya kekuatan alam berupa kodrat biologis serta pengaruhnya dalam pembedaan peran serta perilaku laki-laki dan perempuan. Namun sayang, tidak ada integrasi antara konsep ketuhanan dan agama sehingga memungkinkan pengakuan perbedaan itu akan bergeser nilainya seiring perkembangan zaman (Khuza’i, 2018). Sedang pada konsep nurture yang banyak dianut oleh feminis radikal, jelas nampak kontradiksinya dengan konsep ajaran Islam sebab memisahkan antara aspek biologis dan sosial.

Adil dan Setara

Dalam Islam, terdapat konsep “adil” yang lebih tinggi maknanya daripada konsep kesetaraan. Dalam Tafsir al-Azhar, Prof. Buya Hamka menjelaskan makna adil sebagai, “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zhalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zhalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah adalah kawan atau keluarga sendiri.” Jadi adil bukanlah sama-rata sama-rasa. Konsep adil adalah konsep khas Islam yang seharusnya dipahami dengan perspektif pandangan dunia Islam oleh semua Muslim (Husaini, 2012).

Sampai disini, kita melihat frasa “kesetaraan gender” memiliki dua problem utama; (1) kata “gender” yang memiliki dualisme pemahaman konsep (nature dan nurture), dan (2) diksi “kesetaraan” yang menambah kacau pemahaman gender itu sendiri. Maka yang perlu diperhatikan dalam memaknai dan memahami gender yaitu harus ada acuan baku yang otoritasnya diakui secara mendunia agar diksi itu tidak mengalami pergeseran nilai dan makna. Al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam sebenarnya telah memenuhi kriteria ini. Islam telah mengakui perbedaan laki-laki dan perempuan, memuliakan keduanya dengan syarat-syarat tertentu, dan otoritasnya melampaui dimensi zaman.

Dalam Islam, wanita itu mulia by default. Sebagai anak/istri/ibu/saudari/hamba Allah (muslimah), kemuliaan itu telah melekat dan tak mungkin lepas dari dirinya (Pawitasari, 2015). Tak perlu repot-repot mengusung kesetaraan, ajaran Islam telah memberikan keadilan bagi kedua insan, laki-laki dan perempuan. Yang diperlukan kemudian adalah framework dan worldview untuk mengoptimalkan akal sehat. Jangan sampai seperti iblis yang hanya percaya kepada Tuhan tetapi tidak mau taat.

Definisi Gender

0

Azalia Shafira*

Istilah “Gender” yang diartikan sebagai klasifikasi jenis kelamin yang dikonstruk secara sosial, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatikal bahasa Inggris.

Kemudian pada tahun 1955, seorang seksolog Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dengan usulan beliau, istilah “gender” mengalami perubahan makna dari jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi identitas gender.

Sebelum munculnya usulan ini, jarang sekali kata “gender” digunakan melainkan sebagai kategori gramatikal. Namun, pemaknaan kata gender yang diberikan oleh Jhon Money tidak menyebarluas sehingga tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender. (Demography, vol. 31, No. 4)

Dipengaruhi gerakan perempuan, pada tahun 1970-an kaum feminis Amerika menyesuaikan kata “gender” dan menukar maknanya. Para ilmuwan sosial feminis menggunakan “gender” untuk menolak gagasan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam perilaku, temperamen dan intelektual dipandang sebagai alami atau kodrat. (Joanne Meyerowitz, 2008: 1354-5)

Beberapa tahun kemudian dilakukanlah eksperimen terhadap anak laki-laki kembar (David Reimer) yang diubah menjadi perempuan (Brenda Reimer) untuk membuktikan bahwa gender ialah hasil dari konstruk sosial. Namun, anak tersebut akhirnya bunuh diri pada tahun 2004.

Gender dan Konsep Turunannya

Konsep gender memiliki beberapa turunan, diantaranya ialah gender identity, gender expression, dan orientasi seksual.

Gender identity atau identitas gender adalah bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya, identitas gender bisa sesuai dengan jenis kelaminnya sejak lahir tetapi bisa juga berbeda sesuai dengan keinginannya. Jenis identitas gender lainnya ialah Queer yang mana orang tersebut tidak mengidentifikasikan dirinya pada gender tertentu. Mereka mengklaim dirinya sebagai gender fluid, terkadang mereka menganggap dirinya sebagai perempuan, namun di saat-saat tertentu mereka menganggap dirinya sebagai laki-laki.

Selanjutnya, gender expression adalah bagaimana seseorang “menampilkan” atau “mengekspresikan” dirinya di hadapan publik. Seorang lelaki dimungkinkan dan juga dipersilakan untuk menampilkan “gender expression” yang bersifat feminine, begitu juga sebaliknya.

Sedangkan, orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang secara emosional maupun seksual terhadap jenis kelamin tertentu. Ketertarikan tersebut bisa kepada yang berlawan jenis, sesama jenis, maupun kedua-duanya.

Dari beragam uraian tentang definisi istilah ”gender” di atas, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan “gender” sebagai konstruk sosial sarat dengan nilai, ideologi, ambisi dan kepentingan kelompok tertentu. Konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat.

Implikasi dari diterimanya konsep gender sebagai konstruk sosial, kategori biologis male dan female dengan serta merta ditentukan pula secara sosial dari peran yang diambil oleh setiap manusia. Dalam isu LGBT, gender tidak lagi dikaitkan dengan masalah jenis kelamin (sex) yang bersifat alami dan permanen namun dihubungkaitkan dengan orientasi seksual yang bersifat temporal dan kondisional.

Definisi gender serta konsep-konsep turunannya tentunya tidak bisa diamini begitu saja karena memiliki implikasi yang berbahaya dan mendekonstruksi konsep seksualitas yang selama ini dibangun atas dasar nilai-nilai agama. Konsep gender tersebut seharusnya ditimbang berdasarkan Islamic worldview agar jelas ploblematika dan kerancuan konsep-konsep tersebut jika diterapkan pada masyarakat Indonesia khususnya dan dunia Islam pada umumnya.

*Peneliti The Center for Gender Studies

Bias-bias Feminisme dalam Misi Pemberadaban

0

Oleh: Anita*

Feminisme sebagai sebuah gerakan mulai berkembang sejak abad ke Abad ke-19. Di masa ini sering disebut sebagai gelombang pertama. Para feminis berjuang agar perempuan memperoleh hak dalam memberikan suara (voting) yang saat itu hanya dimiliki laki-laki dewasa, hak-hak yang sama dalam hukum, dan kesempatan yang setara atas pendidikan dan pekerjaan (Adeney, 2004: 101). Setelah perempuan Barat mendapatkan hak-hak sipilnya, feminis pun tidak langsung merasa puas. Mereka mulai mempertanyakan dan mengkaji sebab musabab segala ketidakadilan yang berlaku pada diri mereka selama puluhan abad.

Melalui buku The Second Sex, Simone de Beauvoir mengulas akar masalah yang membuat perempuan selalu dijadikan jenis kelamin kedua. Menurutnya perempuan tidak dilahirkan sebagai seorang perempuan, melainkan dibentuk menjadi seorang perempuan. Laki-laki sebagai jenis kelamin pertama lah yang membentuk struktur sosial yang tidak memihak perempuan. Hal inilah yang selanjutnya mendasari feminis dalam membentuk konsep gender, yaitu konsep dimana pembedaan antara laki-laki dan perempuan bukan dengan kondisi biologis semata, melainkan melalui konstruksi sosial. Dengan konstruksi sosial ini dapat berlaku perputaran gender, yaitu laki-laki tidak harus menjadi maskulin, dan perempuan tidak harus menjadi feminin.

Perkembangan pesat gerakan feminisme pun terjadi dalam ranah akademik. Barat dengan dominasi ilmu pengetahuannya menyebarkan gerakan ini ke seluruh budaya dan masyarakat dunia. Namun, gerakan ini tidak serta merta diterima oleh perempuan di dunia ketiga, dan mereka pun mulai bersuara atas diri mereka sendiri. Seiring dengan meluasnya kajian tentang poskolonialisme, perempuan dunia ketiga menggugat bahwa perkembangan feminisme selama ini sangat kontekstual dan Eurosentis karena merupakan kelanjutan dari naluri penjajahan Barat.

Salah satu unsur penting dari wacana kolonial adalah ‘misi pemberadaban’. Dalam misi pemberadabannya, masyarakat dunia ketiga seakan-akan perlu dibimbing dan didampingi agar kemudian mencapai kemajuan yang sama seperti yang (konon) dimiliki perempuan Barat (Bandel, 2016). Padahal perempuan dunia ketiga menganggap bahwa selama ini perempuan kulit putih hanya mewakili dirinya sendiri, dan mereka tak sepatutnya mendikte hal yang sama pada semua perempuan. Melalui hal inilah lahir gelombang ketiga feminisme atau biasa disebut posfeminisme.

Tahun 1990-an sering disebut sebagai irisan awal feminisme dengan suara-suara intelektual Muslimah. Leila Ahmed, Fatima Mernissi, and Amina Wadud merupakan Muslimah yang menggunakan feminisme sebagai alat untuk membedah masalah perempuan dalam Islam. Meskipun beberapa di antara mereka menolak disebut sebagai feminis Muslim, tetapi secara eksplisit mereka menggunakan teori feminis sebagai pisau analisis untuk membedah normativitas maupun historisitas ajaran Islam.

Seedat menyebut setidaknya terdapat beberapa golongan intelektual Muslimah yang mengkaji konvergensi Islam dan feminisme. Yang pertama adalah kelompok yang menolak semua persinggungan antara keduanya karena feminis disebut sebagai sistem yang materialistik dan tidak sesuai dengan Islam seperti yang disebut Zeenath Kausar. Sedangkan Moghissi menilai Islam secara inheren patriarkis sehingga tak mungkin bisa disatukan dengan feminism. Kelompok kedua merupakan Muslimah yang secara eksplisit menyebut kerja mereka sebagai feminisme Islam. Mereka menggunakan terma-terma dalam teori feminisme.

Dalam bukunya yang berjudul Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, Katrin Bandel menulis bahwa kajian gender dan feminisme yang selama ini berkembang di dunia ketiga terkait erat dengan sebuah wacana kolonial. Wacana kolonial adalah sebuah keyakinan atas superioritas bangsa Eropa, atau superioritas ras kulit putih atas manusia lain (Bandel, 2016: 5). Dalam hal ini kolonialisme dibentuk sedemikian rupa sebagai sebagai sebuah kewajaran atau bahkan kebaikan. Manusia non-Barat dianggap sebagai seorang primitif, bodoh, irasional, dan serupa anak-anak yang sewajarnya perlu dibimbing dan diperintah oleh orang Barat. Mereka juga dianggap tak mampu mengurus dirinya maupun mengangkat derajat budayanya sendiri.

Dengan lebih eksplisit, Jasmin Zine menjelaskan letak keterjebakan Feminisme pada sikap rasisme yang inheren di upaya ‘pemberadaban’ kolonialis Barat. Ia menulis; “Dengan membahas persoalan-persoalan seksisme dalam komunitas dan masyarakat kami sendiri (Muslim), feminis Muslim akan segera terjebak pada rasisme dan Islamophobia, yang secara negatif mengesensialisasikan pengalaman tersebut sebagai rujukan yang seakan-akan menjadi ciri manusia Muslim dan agama Islam secara umum (Zine, 2008).

Esensialisasi adalah anggapan bahwa suatu atribut memang sudah menjadi bagian esensial dari satu golongan, sehingga ia mustahil bisa mengubahnya sendiri. Ketika seksisme dianggap bagian esensial dari umat dan ajaran Islam, itu bermakna bahwa Islam dan Muslim memang seksis ‘dari sananya’ sehingga hanya bisa berubah jika mereka dipaksa keluar dari ‘kungkungan’ Islam. Anggapan ini sejajar dengan anggapan esensialis kaum rasis kulit putih bahwa orang kulit hitam itu memang cenderung kejam sehingga wajar bila banyak yang masuk penjara karena tindakan kriminalitas.

Konsekuensi dari adanya unsur esensialisasi dalam wacana Feminisme terhadap umat Islam ini, Feminisme sering dijadikan alat untuk menjustifikasi kehadiran Barat yang hegemonik di berbagai negara Islam. Pada masa kolonial, Feminisme hadir sebagai paket dari misi ‘pemberadaban’. Joseph Massad di dalam Islam in Liberalism (2015) misalnya mengungkap bagaimana Lord Cromer, perwakilan Inggris di Mesir, memanfaatkan wacana emansipasi perempuan untuk mempertegas perlunya Inggris hadir di Mesir. Tanpa kehadiran Inggris, orang Mesir akan selalu menindas perempuan. Begitu logika dibalik misi ‘pemberadaban’ ini.  Kelakuan Lord Cromer bahkan membuat Feminis Muslim seperti Laila Ahmed mengutuk pelopor emansipasi perempuan Mesir, Qasim Amin. Menurutnya, Qasim Amin tak lebih dari agen binaan Lord Cromer (Ahmed, 1992).

Fenomena misi ‘pemberadaban’ dimana Feminisme dimanfaatkan untuk menjustifikasi penjajahan ini tidak berakhir seiring selesainya periode kolonialisme. Bahkan di konteks saat ini, Feminisme kembali dijadikan alat untuk menjustifikasi rangkaian invasi dan intervensi Amerika dan sekutunya di beberapa negara, terutama negara Islam. Fenomena ini misalnya diungkap oleh Lila Abu Lughod di dalam tulisannya yang terkenal, “Do Muslim Women Need Saving?” (2013).  Ia menunjukan bagaimana isu perempuan secara sistematis digunakan untuk membenarkan tindakan ilegal Amerika Serikat dan sekutunya di Afghanistan. Dalam invasi itu, isu-isu hak perempuan selalu disebut-sebut. Secara sensasional praktik-praktik kebudayaan Afghanistan dimisrepresentasikan sebagai bentuk penindasan pada perempuan. Semua upaya ini sukses menipu banyak orang, mengalihkan mereka dari kejahatan perang negeri Paman Sam itu.

Belakangan, beberapa feminis Muslim berkelit dan menyatakan bahwa varian feminisme mereka tidaklah hegemonik. Tidak bias Barat dan dengan demikian tidak selayaknya dicurigai. Namun bagi kita, hal itu tidaklah cukup. Kadang-kadang, retorika mereka seolah mendukung aspirasi Islam, tapi berangkat dari worldview yang terkungkung. Semisal ada yang membela Muslimah berjibab, tapi alasannya demi ‘otoritas atas tubuh’. Ini tetap saja bias. Tindakan berjilbab seorang Muslimah ‘dibajak’ sebagai kendaraan mengampanyekan prinsip otoritas tubuh ala mereka. Pada saat bersamaan mereka meminggirkan narasi motif berjilbab dari banyak Muslimah, yakni bahwa mereka berjilbab sebab menutup aurat merupakan perintah Allah. Argumen seperti ini misalnya diungkapkan seorang feminis tanah air yang cukup vokal dan populer (Citta, 2016).

Dalam konteks yang lebih sempit, menarik untuk menyimak pengalaman pribadi dari Katrin Bandel. Ia adalah seorang muallaf Jerman yang ahli dalam studi Poskolonial. Awalnya, ia mungkin hanya mengkritik bias-bias kolonialis sebagai seorang pengamat. Namun begitu memeluk Islam, lalu menutuskan berjilbab, ia akhirnya mengalaminya sendiri.

“Sekitar dua tahun lalu (maksudnya tahun 2014 ed. sebelum penulis berjilbab) saya kedatangan tamu seorang wartawan Jerman yang mewawancarai saya dengan topik utama seputar sastra Indonesia kontemporer. Dalam pembicaraan yang cukup panjang itu, sekali-sekali wartawan itu bertanya tentang hal yang lebih umum, di luar persoalan dunia sastra. “Makin banyak perempuan Indonesia yang memakai jilbab sekarang, ya?” ungkapnya, kemudian dia melanjutkan dengan mengutarakan keprihatinannya akan hal tersebut. Terungkap dengan jelas betapa baginya, ada pertentangan antara jilbab, sebagai tanda semakin kuatnya nilai Islam dalam masyarakat, dengan emansipasi dan kemajuan perempuan.

Saya agak kewalahan menghadapi situasi itu. pada saat itu, saya belum berjilbab, dan tampaknya wartawan Jerman itu mempersepsi saya sebagai “sesamanya”, yaitu sebagai non-Muslim, atau lebih spesifik, sebagai perempuan Eropa berpendidikan tinggi dan berpandangan sekuler. Komentarnya tentang jilbab mengasumsikan sebuah pengetahuan bersama yang seakan-akan sama sekali tak perlu dipertanyakan lagi: Tentu saja menguatnya nilai Islam adalah hal yang buruk untuk perempuan, sedangkan melemahnya nilai Islam akan lebih baik untuk perempuan” (Bandel, 2016: 1).

Tahun berganti dan Katrin Bandel memutuskan untuk mengenakan jilbab, suatu hal yang asing bagi perempuan bule Jerman nan berkulit putih. Mengutip Ozyurek, Katrin menjelaskan bahwa masyarakat umum di Jerman telah memarjinalisasi orang Jerman yang masuk Islam serta meragukan kejermanan dan keeropaan mereka. Hal ini didasarkan keyakinan bahwa tidak mungkin bagi seseorang menjadi Jerman atau Eropa dan Muslim sekaligus. Ditambah lagi ketika mereka memutuskan mengenakan jilbab, derajat sosial mereka semakin menurun, karena jilbab dianggap sebagai simbol keterbelakangan dan penindasan pada perempuan Muslim di dunia.

Dengan demikian, ada baiknya Muslimah merenungkan tentang beberapa hal terkait Feminisme. Pertama, Feminisme memang lahir sebagai ‘obat’ dari problem dehumanisasi perempuan di Barat. Belakangan, ‘obat’ ini kemudian dicoba diuniversalkan, sama seperti banyak produk pemikiran Barat lainnya. Namun proses universalisasi itu justru mengungkap bias-bias Feminisme sendiri, selain ia juga kerap menjadi paket dari misi ‘pemberadaban’; sebagai justifikasi intervensi, atau bahkan invasi kekuatan Barat di berbagai tempat, khususnya negeri-negeri kaum Muslimin.

Oleh karena itu, Feminisme dengan beban sejarah serta bias-bias Baratnya itu bukanlah sebuah gerakan yang ideal untuk mewakili aspirasi-aspirasi mereka. Ini tentu bukan berarti kita menafikan adanya masalah-masalah di tubuh umat Islam dalam kaitannya dengan perempuan. Namun Muslimah harus mampu berbicara untuk diri mereka sendiri. Menggali solusi-solusi dari ajaran Islam dengan metodologi yang telah digariskan oleh para ulama otoritatif. Ingatlah peringatan Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, “(di dunia Islam) pesona (Feminisme) hanya menarik bagi mereka yang telah kehilangan kontak dengan semesta tradisi intelektual dan spritual mereka”.

*Penulis merupakan Peneliti The Center for Gender Studies yang saat ini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta.

ed: Sakinah

artikel ini bisa dilihat juga di santricendikia.com

Qirā`ah Mubādalah; Model Pembacaan Terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Cacat Ilmiah

0

Oleh: Cep Gilang Fikri S.Hum*

Qirā`ah Mubādalah  dewasa ini sedang menjadi salah satu headline wacana para “feminis Muslim” Indonesia. Awal kemunculannya pada Februari 2019, ketika Faqihudin Abdul Kodir menerbitkan buku yang berjudul “Qira`ah Mubadalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam.” Model pembacaan seperti ini oleh kaum feminis langsung ‘ditelan’ tanpa pengkajian kritis terlebih dahulu. Idealnya, sebuah model pembacaan atau metode baru itu perlu diuji kritis sebelum ‘ditelan’ sampai pada level akademik.

Di antaranya, di tingkat perguruan tinggi terdapat sebuah tesis master berjudul “Revitalisasi Pemahaman Hadits di Indonesia”. Tesis tersebut mengkaji hadits-hadits yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan menggunakan konsep mubadalah sebagai basis teorinya. Kesimpulan tesis tersebut mengasumsikan bahwa selama ini pembacaan hadits para ulama ahli hadis tentang relasi laki-laki dan perempuan masih tekstualis sehingga konon katanya melahirkan pemahaman yang menyudutkan perempuan.

Selain tesis, terdapat pula penelitian seorang dosen, yang ditulis dalam sebuah jurnal, menggunakan konsep ini sebagai landasan teorinya. Artikel jurnal tersebut berjudul “Penerapan Konsep Mubadalah Dalam Pola Pengasuhan Anak”, yang menghasilkan pandangan bahwa “konsep mubadalah merupakan salah satu konsep kesetaraan gender yang dapat diterapkan dalam pola pengasuhan anak di dalam kehidupan keluarga” [1].

Selain respon para akademisi, rupannya metode tersebut diterapkan juga ke berbagai ranah. Sepertinya ingin dipasarkan sebagai metode memahami sebuah hadis dan cara mendidik anak ala gender. Tentu saja respon dan praktik demikian termasuk ganjil.

Sebagaimana diketahui bahwa metode pembacaan nash-nash wahyu (al-Qur`an dan as-Sunnah) telah dikenal dan sudah digunakan secara mapan dalam dunia Islam berabad-abad lamanya. Berbagai diskursus keilmuan seperti Ushul Fiqh, Ulūm al-Qur`ān, Ulūm al-Hadīts dan lain-lain merupakan warisan ilmiah para Ulama yang secara esensi bersambung pada  Nabi dan para sahabat dan diwariskan kepada tabi’in, hingga pada zaman setelahnya sampai sekarang.

Definisi Mubadalah

Buku berjudul “Qira`ah Mubadalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam” ini membahas dua permasalahan utama; yaitu mubadalah secara teoritis dan aplikatif. Secara teoritis, mubadalah dilihat dari segi konsep yang mendasarinya yaitu; konsep kesalingan yang kemudian dijadikan sebagai basis metode pembacaan nash. Sementara dari segi aplikatif, penulis buku menyebut kasus-kasus yang ada dalam relasi laki-laki dan perempuan, seperti isu eksistensi dan jati diri kemanusiaan, isu keluarga, pernikahan, dan isu-isu perempuan dalam kiprahnya di dunia publik. Kasus-kasus tersebut dibahas dengan menerapkan konsep dan metode mubadalah.

Dalam menjelaskan konsep, mula-mula penulis buku mendefinisikan terlebih dahulu istilah mubadalah. Mubadalah (مُبَادَلَةً) berakar kata “ba-da-la”, yang berarti mengganti, mengubah, dan menukar. Ia merupakan bentuk kesalingan (mufā’alah) dan kerjasama antar dua pihak, yang saling mengganti, saling mengubah, atau timbal balik. Makna tersebut juga tidak jauh berbeda termaktub dalam kamus-kamus seperti lisān al-‘arab, al-mu’jam al-washīth. Padanannya dalam bahasa inggris yaitu reciprocity, reciprocation dan lain-lain. Sementara dalam bahasa Indonesia, penulis memilih diksi kesalingan untuk menunjukan padanan mubadalah. Dari penjelasannya tersebut, ia berusaha melihat mubadalah ini seakan-akan memiliki pijakannya dari turats para Ulama.

Hal itu terlihat ketika penulis mengambil makna kesalingan untuk diterapkan pada pola relasi laki-laki dan perempuan. Ia menyatakan bahwa pola relasi laki-laki dan perempuan mesti “mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik dan prinsip resiprokal”. Dari konsep kesalingan tersebut, diupayakan agar pemahaman “teks Islam (bisa) mencakup perempuan dan laki-laki sebagai subjek dari makna yang sama” [2]. Jika suatu ayat berbicara tentang laki-laki yang memiliki syahwat terhadap perempuan, maka dengan mubadalah ini berarti juga perempuan memiliki syahwat kepada laki-laki. Namun, penerapan teori mubadalah tersebut cenderung mengulang yang ada, dan bahkan menghindari rambu-rambu penafsiran, sebagaimana yang akan disampaikan di bawah. Artinya, mubadalah secara definitif dikembangkan dari makna etimologisnya menjadi sebuah pemahaman yang khusus dalam terminologi penulis buku, yaitu metodenya dalam menafsirakan nash-nash wahyu. Sebuah ‘loncatan liar’ yang sangat beresiko serius secara ilmiah.

Munculnya Mubadalah?

Mubadalah sebagai metode tafsir rupanya lahir dari adanya confuse (kebingungan) yang dirasakan oleh penulisnya. Pertama, penulis menilai bahwa tafsir keagamaan yang ada tidak objektif karena menggunakan cara pandang laki-laki sehingga hasil penafsiran lebih memihak kepada laki-laki dibanding perempuan [3]. Artinya, pengalaman; baik laki-laki maupun perempuan akan menentukan hasil penafsiran, dan dengan demikian cara pandang laki-laki dan perempuan tersebut, berdasarkan tulisan buku, perlu diakomodir dalam metode penafsiran nash-nash wahyu agar hasilnya berimbang/memperhatikan kedunya (laki-laki dan perempuan).

Kedua, latar belakang lainnya yang memunculkan mubadalah adalah perempuan selalu tidak diperhatikan dari hasil penafsiran karena kontruksi bahasa al-Qur`an banyak menggunakan bentuk tadzkīr/mudzakkar. Walaupun penulis mengakui terdapat sighat taghlib (yang disebutkan laki-laki namun maknanya mencakup laki-laki dan perempuan) namun ia tetap menyatakan bahwa makna dari ayat yang lahiriyahnya menggunakan dlamir mudzakkar selalu memposisikan laki-laki sebagai subjek dan perempuan adalah objek atau bahkan tidak dilibatkan sama sekali. Semestinya, “teks-teks Islam yang menggunakan redaksi laki-laki harus dibaca dengan kesadaran penuh bahwa perempuan juga menjadi subjek (Abdul Kodir:115).” Baik yang pertama dan yang kedua ini, sebetulnya sama yaitu beranggapan bahwa penafsiran yang ada ‘tidak ramah perempuan’.

Sementara itu, penulis menilai bahwa pesan-pesan al-Qur`an secara keseluruhan menunjukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pandangan seperti ‘tauhid merupakan basis kesetaraan laki-laki dan perempuan’, serta ayat-ayat yang memerintahkan untuk saling berbuat baik antara laki-laki dan perempuan menjadi landasan munculnya mubadalah (Walaupun lagi-lagi kasusnya sama seperti Amina Wadud, dengan gagasan hermenutika tauhidnya, mengharuskan adanya penafsiran al-Qur’an versi perempuan). Sehingga dari adanya permasalahan penafsiran yang dinilai lebih pro laki-laki lalu didorong dengan pesan-pesan agama yang mengarah pada kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut seakan menjadi angin segar untuk mengkampanyekan metode mubadalah.

Cara Kerja Metode Mubadalah

Sebelum penulis buku menjelaskan cara kerja mubadalah, ia menilai terlebih dahulu tafsir dan metodenya dengan kacamatanya sendiri. Penafsiran para ulama menurutnya adalah sebuah upaya mendekati (taqrīb) dan menduga (taghlib) maksud Allah dari ayat-ayat-Nya. Upaya penafsiran tersebut dilakukan dengan pengalaman Ulama sebagai hasil respon terhadap keadaan/konteks. penulis menyatakan, “karena (penafsiran) dikerjakan oleh manusia yang tidak terlepas dari dosa maka pastilah ia terkait dengan konteks di mana penafsir itu hidup dan bekerja. Kerja-kerja itu merupakan dinamika pertautan antara teks dan konteks dalam pengalaman Ulama masing-masing di setiap generasi” (Ibid:134). Atas hal itu, karena penafsiran hanya merupakan upaya mendekati dan dugaan maka penafsiran dinilai  sebagai produk ulama belaka yang dipengaruhi oleh konteks di mana ia hidup dan hasilnya akan berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi yang melingkupi kehidupan ulama/penafsir.

Dengan demikian, qira’ah mudalah didahului oleh spekulasi yang kadarnya masih dzan (dugaan). Sayangnya, penulis buku itu tidak berhasil menjelaskan spekulasi dan dzan tersebut ke dalam tingkat pemahaman yaqin. Sebagaimana akan dijelaskan di sini, tetap saja metode ini diselimuti duga-dugaan, spekulasi, dan ‘fantasi-fantasi’ yang dibungkus dengan bahasa-bahasa ilmiah.

Secara metode, tafsir dinilai masih membuka cara kerja baru yang berbeda dengan metode sebelumnya. Dengan menamai metode yang telah ada sebagai metode ‘lama’, ia menilai metode tersebut tekstualis dan tidak memperhatikan kemaslahatan/tidak menghargai perempuan. Dengan mengutip pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, seorang modernis mesir yang didakwa kafir oleh mahkamah karena karyanya, ia menulis bahwa “karakter utama dari peradaban Islam adalah orientasi pada teks” (h. 135). Semestinya, penafsiran mesti berorientasi konteks agar memperhatikan kemaslahatan. Bahkan ia mengatakan, “teks tidak dapat dikatakan hadir untuk menundukan realitas… keduanya perlu didialogkan untuk kemaslahatan” (h.144). Dengan kata lain, realitaslah (keinginan dan keadaan manusia) yang menjadi pegangan utama, bukan wahyu, dan dengan demikian wahyu mesti tunduk pada realitas. Dalam kaitannya dengan mubadalah, penulis menyebut bahwa metode inilah yang memperhatikan realitas perempuan sehingga tercipta penafsiran yang “berkesalingan” (Ibid). Dari sini terlihat, penilaian terhadap penafsiran dan metodenya adalah dalam rangka mencari tempat bagi diterimanya mubadalah sebagai metode tafsir baru.

Cara kerja metode tersebut jika dilihat bukan hanya memaknai cakupan ayat dengan pola kesalingan, melainkan menerapkan kesetaraan gender. Di antaranya dalam menafsirkan surah al-Nisa:11, لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ (bagian warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan). Sebagaimana cara kerja mubadalah, yaitu mula-mula mencari prinsip nilai al-Qur’an dan al-Hadits, menemukan gagasan utama dari teks, lalu menerapkan gagasan utama tersebut kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan dalam teks (h. 200). Jika cara kerja tersebut digunakan dalam ayat ini, sesungguhnya ayat tersebut sudah mencakup laki-laki dan perempuan karena secara literal telah disebutkan. Namun, penafsiran diteruskan hingga sampai pada pandangan bahwa pembagian waris mesti disamaratakan antara laki-laki dan perempuan. Ia menyatakan, “Ketika kenyataan sosial berubah maka penyesuaian bagian waris bisa dipertimbangkan….Ulama Indonesia telah mengenalkan konsep pembagian harta waris secara merata sebelum orang tua meninggal dunia” (h. 272-273). Dari sini terlihat bahwa penerapan mubadalah bukan hanya pada makna kesalingan, namun kesetaraan gender.

Kesetaraan gender tersebut semakin terlihat dalam penafsiran ayat yang lainnya. Dalam ayat poligami misalnya, pola pikir mubadalah menilai pernikahan poligami sebagai biang masalah. “Poligami bukanlah solusi dalam relasi pasutri, tetapi problem yang seringkali mendatangkan keburukan,” dan bahkan merupakan bagian dari nusyuz (kemaksiatan) suami kepada istri”(h. 419, 422). Dari prinsip nilai dalam mubadalah, kesabaran dan kesetiaan merupakan sesuatu yang mesti dijaga dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan monogami (h. 421). Selain poligami, tafsir mubadalah juga memestikan adanya masa iddah bagi suami. Meski agak canggung, mubadalah dalam ayat ini bertujuan menerapkan iddah bagi suami. “Minimal secara moral keagamaan, untuk tidak melakukan pendekatan kepada perempuan lain dan tidak menikah sampai selesai 4 bulan 10 hari dari kematian sang istri” (hl. 428). Dalih-dalih seperti kesetiaan, keadilan, dan kemasalahatan itulah yang diterapkan dan tuntutan ayat/nash ditinggalkan, untuk mewujudkan kesetaraan gender.

Konstruk Pandangan Hidup

Karakteristik mubadalah sebagaimana di atas tidak terlepas dari pandangan hidup penggagasnya, yaitu feminisme. Hal ini sebagaimana latar belakang kemunculannya yaitu menganggap penafsiran para ulama tidak ramah perempuan. Pandangan hidup feminis itu berarti segala hal dilandaskan kepada doktrin kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam segala hal, termasuk dalam tafsir). Tidak aneh jika para Ulama yang mendasarkan penafsirannya kepada ilmu, bukan kepada kesetaraan gender, dinilai salah dan tidak ramah perempuan. Padahal, cara pandang kesetaraan gender tersebut problematis, mengingat karakter laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda sesuai dengan fitrah masing-masing, di samping terdapat kesamaan antara keduanya yaitu dalam derajat keduanya di hadapan Allah. Cara pandang tersebut mereka istilahkan dengan tafsir berbasis gender, bukan gender dilihat dari tafsir Islam.

Pandangan tersebut sebetulnya bukan hal yang baru. Ia telah ada sejak tahun 90-an ketika Amina Wadud, seorang feminis Amerika, menulis buku Qur’an and Women. Amina menyatakan “tidak ada metode penafsiran yang sepenuhnya objektif. Masing-masing penafsir membuat pilihan-pilihan yang subyektif.” Oleh karena itu, “para penafsir tradisional (bahasa Amina) telah dipengaruhi oleh pengalaman kelaki-lakiannya, seperti; cara pandang, tujuan, kecenderungan, dan kebutuhan mereka terhadap perempuan. Akhirnya, hasil penafsiran al-Qur’an tidak mengakomodir cara pandangan perempuan”[4]. Jika demikian halnya, mubadalah tafsir feminis merupakan pengulangan saja dari wacana-wacana sebelumnya.

Problematisnya cara pandang feminisme terhadap tafsir tersebut dapat dilihat dari dampaknya yaitu merelatifkan nilai. Seperti ulama dianggap menafsirkan menurut kacamata kelelakiannya, sehingga mesti ada tafsir berbasis cara pandang perempuan. Padahal, para ulama menafsirkan bukan dengan perspektif kelelakiannya, melainkan berpegang pada kaidah tafsir yang diajarkan Rasulullah S.A.W. dan para sahabatnya. Bahkan, salah satu syarat menafsirkan adalah memiliki akidah salīmah dan terlepas dari kepentingan politik, interes hawa nafsu. Artinya, para ulama menafsirkan berlandaskan nilai kebenaran, sebagaimana diajarkan Nabi.

Sebaliknya, tafsir berbasis pengalaman laki-laki/perempuan mendasarkan kebenaran pada kacamata penafsir saja. Pengalaman manusia akan berbeda dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Apa yang benar hari ini belum tentu benar kemudian. Seperti LGBT, yang kini dibenarkan oleh para penafsir Feminis. Jika demikian, permasalahannya bukan pada penafsiran ulama, mengingat para pewaris Nabi tersebut senantiasa terlepas dari kepentingan nafsu, melainkan permasalahannya adalah pada cara pandang feminisme yang problematis dalam menilai penafsiran para ulama.

Berkedok Maqashid Syari’ah

Mubadalah yang genealoginya adalah feminis berakibat pada liberalisasi metodologi tafsir. Cara kerjanya yang melihat prinsip atau nilai utama dari keseluruhan al-Qur’an, lalu menemukan gagasan utama dari ayat yang ingin ditafsirkan, dan menerapkannya kepada jenis kelamin yang tidak disebut oleh ayat, tidak memiliki acuan kaidah yang konsisten. Tidak aneh jika pembagian waris mesti disamaratakan, suami mesti memiliki masa iddah, poligami haram secara mutlak dan lain-lain. Itu semua karena cara kerja mubadalah dipayungi oleh doktrin kesetaraan gender dalam feminisme, sebagaimana telah dijelaskan. Cara kerja mubadalah ini, jika dalam bahasa sederhananya adalah meninggalkan tuntutan ayat dan menakwilkannya sesuai basis kesetaraan gender. Bahasa-bahasa kemaslahatan, dan keadilan sebagai tujuan dari mubadalah hanyalah sebagai pengecoh agar mubadalah bisa diterima, mengingat hasil penafsiran justru bertentangan dengan syari’at itu sendiri. Bukankah kemasalahatan dan keadilan datangnya dari agama dan syari’at Allah?. Lalu kemasalahatan dan keadilan seperti apa yang dimaksud jika agama dan syari’at Allah ditinggalakan.

Pola pikir tafsir berbasis kemasalahatan yang meninggalkan syari’at tersebut sesungguhnya adalah tren para pemikir modernis liberal. Terdapat sederet nama seperti Faraj Fawdah, Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zayd, yang mendasarkan argumentasi penolakan syari’at dengan kedok kemaslahatan [5]. Bagi mereka yang penting adalah kemaslahatan, bukan konsistensi hukum dari al-Qur’an atau Hadits. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan golongan lemah. Hudud disyari’atkan untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat dari kriminal. Namun, lanjut mereka, kemaslahatan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap maslahat hari ini belum tentu maslahat pada masa lalu dan pada waktu yang akan datang (Ibid).

Ini sama saja dengan narasi mubadalah tentang argumentasi tafsirnya. Seperti penentuan bagian waris 2:1 karena wanita pada waktu itu tidak mencari nafkah, dan karena sekarang perempuan telah banyak yang bekerja maka bagian waris mesti disetarakan (Mubadalah: 264). Poligami disyari’atkan karena syahwat orang Arab sangat besar, sehingga dikhawatirkan terjadi perzinahan jika tidak ada kebolehan poligami. Sementara ruang sosial Arab menurut mereka berbeda dengan yang lain, maka kebolehan poligami bisa berubah. Bahkan mereka menggeneralisir menjadi tidak boleh (Ibid: 418).

Yusuf Qardhawi menamakan golongan tersebut sebagai neo-Mu’attilah (orang yang mengabaikan nash al-Qur’an). Beliau menyatakan bahwa mereka telah menyalahgunakan prinsip maqashid syari’ah dengan menjadikannya sebagai dalih untuk lepas dari ikatan nash al-Qur’an (ta’thīl al-nushūsh bismi al-mashāliḥ wa al-maqāshid). Padahal Nash al-Qur’an tersebut terkategori valid secara transmisi dan maknanya (qat’iyyu al-wurūd wa qat’iyyu al-dilālah) [6]. Pantas saja jika Leonard Binder mengatakan, “for Islamic liberals the language of the qur`an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal” [7].  Mestinya, kemaslahatan dilihat dari tuntunan ayat bukan tuntunan hawa nafsu, karena ayat tersebut merupakan firman Allah, dan tujuan diturunkan firman Allah adalah menciptakan kemasalahatan dunia dan akhirat.

Menggeser Kaidah Penafsiran

Dalam Mubadalah, laki-laki dan perempuan digeneralisir sama-sama menjadi subjek. Jika suatu ayat berbicara kepada laki-laki, maka perempuan dimasukan sebagai mitra tutur (mukhatab) dan posisinya disejajarkan dengan laki-laki. Begitu pun sebaliknya. Seperti masa iddah dimaknai kepada perempuan dan laki-laki, pembagian waris yang sama rata dan lain-lain. Prosedur seperti itu tidak memperhatikan konsep mukallaf sebagai yang diajak bicara oleh Allah. Artinya, khitab Allah ditujukan oleh-Nya kepada siapa yang dikehendaki, bukan disamaratakan menurut kehendak manusia. Seperti kewajiban shalat Jum’at kepada laki-laki saja, qawām bagi suami, tidak berlakunya shalat dan shaum bagi perempaun yang haidl, dan lain-lain. Memahami maksud ayat tersebut telah kokoh dalam kaidah-kaidah tafsir. Di dalamnya terdapat ulūm al-Qur’an, ulūm al-hadīts, ushūl fiqh, balaghah dan lain-lain. Artinya, jika kesalingan itu diterapkan begitu saja, maka ia telah berlawanan dengan kaidah-kaidah tafsir dan akan menghasilkan kekacauan penerapan syari’at.

Keluarnya mubadalah dari jalan lurus tersebut terlihat dari kaidah-kaidah yang terdapat dalam mubadalah itu sendiri. Pertama, menilai penafsiran sebagai upaya yang relatif dan tidak akan menemukan kebenaran yang sebenarnya (Abdul Kodir:124). Kedua, dengan narasi dinamika teks dan realitas, penafsiran mesti mengacu kepada kondisi sosial masyarakat, dan meninggalkan nash (h. 135). Ketiga, ia memiliki pemahaman qat’iy-zhanniy sendiri. Ia memaknai hukum qat’iy tidak benar-benar permanen, melainkan masih menyisakan zhanniy (relatif) (h. 145). Keempat, memaknai prinsip nilai yang utama dalam prosedur penerapan mubadalah sebagai kesetaraan gender dalam perspektif feminis (h. 200). Artinya metode tafsir mubadalah dapat dikatakan berdasarkan tafsir bi al-ra`yi al-madzmūm.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, muffassir memiliki kualifikasi tertentu, yang secara keseluruhan dijelaskan dalam literatur ‘Ulum al-Qur’an dan Ushul Fiqh. Untuk layak menafsirkan al-Qur’an, dijelaskan oleh Imam al-Suyuti dalam kitabnya Al-Taḥbīr fī ‘ilm al-Tafsīr, mesti menguasai bahasa arab dan literatur hadits secara mendalam dan komprehensif. Selain itu, dalam menafsirkan mesti sesuai dengan prosedurnya; yaitu menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, menafsirkan ayat dengan hadits, dan atau menafsirkan ayat dengan keterangan para mufassirin dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf [8]. Sehingga, penafsiran tidak berdasarkan ra`yu semata, sebagaimana kecenderungan kesetaraan gender.

Penutup

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa mubadalah adalah istilah baru yang esensinya tidak berbeda dengan istilah-istilah yang muncul dari para feminis. Mulai dari asumsi dasar kemunculannya yaitu mengggap tafsir para ulama bias gender. Ini sama seperti asuminya Amina Wadud yang melatarbelakangi tafsir versi perempuan (Qur`an and Women). Dari cara kerjanya, mubadalah beririsan dengan hermeneutika yang di dalamnya terdapat metode historisitas teks. Selain itu, konsep kesalingan dalam mubadalah tiada lain merupakan kesetaraan gender feminisme. Adanya kecenderungan menggunakan istilah baru ini adalah upaya pendekatan kepada publik atas ide-ide pembaruan yang sebenarnya tidak berbeda dengan ide-ide sebelumnya. Seperti dari Yogya, sempat dikeluarkan istilah maghza (bahasa arab: مغزى) yang esensinya adalah elan vital dalam hermeneutika. Contoh lain seperti istilah tauhidnya Amina Wadud yang isinya adalah pengalihan makna untuk mewujudkan kesetaraan gender, dan lain-lain. Dengan kata lain, mubadalah dengan ide-ide feminis sebelumnya adalah hiya-hiya. 

Dalam menafsirkan al-Qur’an dan al-Hadits semestinya dilihat aspek aqidah, syari’at dan akhlak, sebagai bangunan Islam yang tidak bisa dipisahkan. Dalam aspek aqidah, interaksi dengan wahyu adalah dalam rangka menambah keimanan. Dari aspek syari’at, ketetapan ritual dan hukumnya mesti diikuti. Sementara dalam aspek akhlak, yaitu melihat nilai etika yang terdapat dalam ayat untuk diterapkan; seperti dalam ayat zuyyina linnās hubbusysyahawaāt mina al-nisā. Ayat tersebut sedang membicarakan perempuan sebagai yang dijadikan indah. Dalam tafsir Ibn Katsir, dapat dipahami bahwa wanita dengan ayat tersebut dididik agar menjadi al-mar`ah al-shālihah, agar tidak menjadi fitnah.

Dengan demikian, penekanan khusus kepada wanita dalam ayat di atas memiliki nilai akhlak yang mesti diamalkan oleh wanita, dan jika diterapkan makna kesalingan maka akan menghilangkan maksud penekanan makna tersebut. Cara pandang yang benar terhadap ayat mesti dikedepankan cara pandang yang menyeluruh, alias tidak sepotong-sepotong/parsial. Jika suatu ayat secara khusus berbicara mengenai perempuan, maka tidak bisa dipaksakan khitabnya diserikatkan dengan laki-laki. Karena khitab Allah kepada laki-laki berada dalam ayat atau hadits lain, dengan penekanan makna yang berbeda.

Daftar Pustaka

Abdul Kodir, Faqihuddin. 2019, Qirā`ah Mubādalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender Dalam Islam, Yogyakarta: IRCiSoD.

al-Qardawi, Yusuf. 2008, Dirāsah fī Fiqh Maqāshid al-Syarī’ah, Kairo: Dar al-Syaruq.

Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. 1982, al-Taḥbīr fī ‘Ilm al-Tafsīr, Riyaḍ: Dār al-‘Ulūm.

Binder, Leonard. 1988, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, Chicago & London: The University of Chicago Press.

Syafrin, Nirwan. vol. 1, no. 1. 2004, “Syari’at Islam: Antara Ketetapan Nas Dan Maqashid Syari’at”, Islamia. p. 89.

Wadud, Amina. 1999, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, New York: Oxford University Press.

Werdiningsih, Wilis. vol. 1, no. 1. 2020, “Ijougs”, Idougs. p. 1.

[1] Wilis Werdiningsih, “Ijougs”, Idougs, vol. 1, no. 1 (2020), p. 1.

[2] Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā`ah Mubādalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender Dalam Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), pp. 59–60.

[3] Ibid., p. 104.

[4] Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), pp. 1–2.

[5] Nirwan Syafrin, “Syari’at Islam: Antara Ketetapan Nas Dan Maqashid Syari’at”, Islamia, vol. 1, no. 1 (2004), pp. 90–1.

[6] Yusuf al-Qardawi, Dirāsah fī Fiqh Maqāshid al-Syarī’ah (Kairo: Dar al-Syaruq, 2008), p. 83.

[7] Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1988), p. 4.

[8] Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī, al-Taḥbīr fī ‘Ilm al-Tafsīr (Riyaḍ: Dār al-‘Ulūm, 1982), pp. 323–6.

*Penulis merupakan peneliti The Center for Gender Studies, saat ini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.

Problematika Sexual Consent sebagai Paradigma Penghapusan Kekerasan Seksual

0

Oleh: Esty Dyah Imaniar, S.S.*

Dalam rancangannya, UU Cipta Kerja bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur melalui berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja. Sekilas tujuan tersebut tampak sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional, tetapi mengapa banyak lapisan masyarakat yang menolaknya? Apakah rakyat menolak pembangunan negara melalui penciptaan lapangan kerja? Tentu tidak. Bukan pembangunannya yang ditolak, melainkan paradigma pembangunan dalam RUU tersebut lah yang dipermasalahkan.

Lebih kompleks dari sekadar tujuan, paradigma merupakan suatu landasan berpikir yang digunakan sebagai model atau konsep dasar keilmuan (Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, 1962). Sebagai landasan berpikir, paradigma berisi seperangkat keyakinan, asumsi, ide, teori, konsep, nilai, dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas kehidupan.

Lapangan kerja memang menjadi solusi pembangunan ekonomi bagi masyarakat pengangguran. Akan tetapi ketika digunakan sebagai paradigma dalam UU Cipta Kerja, konsep kerja menjadi problematis. Atas nama penciptaan kerja, pasar bebas dibolehkan, investasi asing diobral, kelestarian alam digadaikan. Dengan luaran seperti itu, rakyat bertanya-tanya: pembangunan macam apa yang sedang kita upayakan?

Begitu pula dengan paradigma Sexual Consent dalam RUU P-KS yang masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Apakah rakyat menolak adanya persetujuan (consent) dalam aktivitas seksual? Tentu tidak. Bukan persetujuannya yang ditolak, melainkan paradigma persetujuan seksual dalam usaha penghapusan kekerasan seksual. Layaknya jimat “lapangan kerja” pada UU Cipta Kerja, kita dipaksa begitu saja menerima paradigma sexual consent dalam RUU P-KS sekalipun terdapat banyak kontradiksi di dalamnya.

Bermasalah Sejak dalam Istilah

Dalam pengertiannya, kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Sehingga untuk bisa memahami apakah aktivitas tersebut merupakan kekerasan atau bukan, dihadirkanlah konsep Sexual Consent sebagai asas persetujuan dalam aktivitas seksual. Akan tetapi, hingga hari ini tidak ada definisi yang jelas mengenai sexual consent. Ironisnya, konsep ini bahkan belum banyak dibahas secara akademik meskipun telah dengan latah digunakan sebagai paradigma hukum penghapusan kekerasan seksual di berbagai wilayah (Petra Debusscher, Women’s Rights and Gender Equality, 2015).

Sebuah rangkaian penelitian dilakukan Melanie A. Beres terkait pembahasan sexual consent dalam literatur psikologi, sosiologi, hingga studi wanita (‘Spontaneus’ Sexual Consent: An Analysis of Sexual Consent Literature, 2007). Dari 8145 pembahasan tentang perkosaan, hanya terdapat 42 kajian tentang sexual consent, seluruhnya tanpa rumusan jelas mengenai konsep tersebut. Beberapa menyebut sexual consent sebagai pembeda seks yang baik dan buruk (A. Wertheimer, Consent to Sexual Relations, 2003), pembeda seks menyenangkan dan tidak menyenangkan (H. Jones, Rape, Consent and Communication: Re-setting the Boundaries?, 2003), hingga pembeda seks bermoral dan tidak (H.M. Hurd, The Moral Magic of Consent, 1996). Akan tetapi, masing-masing gagal dalam memberikan indikator seks baik, menyenangkan, dan bermoral sebagai acuan, melainkan memunculkan perdebatan baru karenanya.

Persetujuan yang dimaksud pun tidak memiliki kejelasan dimensi psikologis (Hurd, 1996), fisiologis (D. Archard, Sexual Consent, 1998; T.A. Ostler, Verbal and Nonverbal Dating Behaviors and Sexual Consent: Implications for Miscommunication between Men and Women, 2003), atau keduanya (D. Dripps, For a Negative, Normative Model of Consent, with a Comment on Preference-skepticism, 1996; S.E. Hickman dan C.L. Muehlenhard, By the Semi-mystical Appearance of a Condom: How Young Women and Men Communicate Sexual Consent in Heterosexual Situations, 1999; H.M. Malm, The Ontological Status of Consent and its Implications for the Law on Rape, 1996).

Perdebatan selanjutnya, apakah consent diberikan melalui ucapan atau tindakan (Archard, 1998), apakah ditunjukkan ataukah diisyaratkan (Wertheimer, Consent and Sexual Relations, 1996). Mereka yang bersepakat bahwa persetujuan merupakan sikap juga gagal menentukan standar perilaku yang mengindikasikan adanya persetujuan. Beberapa menjelaskan consent tetap dinyatakan ada sekalipun hadir dengan sedikit pemaksaan (D. Dripps, Beyond Rape: An Essay on the Difference between the Presence of Force and the Absence of Consent, 1992; E. Sherwin, Infelicitious Sex, 1996), yang lain menyatakan consent hanya diakui jika tanpa adanya paksaan sedikit pun (David S. Hall, Consent for Sexual Behavior in a College Student Population, 1998; Hickman dan Muehlenhard, 1999). Di sisi lain, pemaksaan yang dimaksud pun tidak jelas, sebab beberapa perilaku seksual yang dilakukan dengan pemaksaan juga dinilai memiliki consent seperti sadomasokisme (B. Ehrenreich, Re-Making Love, 1987).

Kekacauan definisi dan ketiadaan indikator persetujuan yang dimaksud merupakan lubang besar dalam kedudukan sexual consent sebagai asas kekerasan dalam RUU P-KS. Padahal jika definisinya saja tidak jelas, bagaimana mungkin kita menggunakannya sebagai paradigma hukum perlindungan korban?

Bias Kepentingan dan Perlindungan

Penolakan pengesahan RUU P-KS dalam Prolegnas sejak 2014 bukan tanpa sebab. Sebuah tuduhan serius dialamatkan pada aliansi masyarakat yang melakukan resistensi terhadap paradigma sexual consent sebagai pendukung budaya perkosaan. Padahal tidak sedikit dari massa penolak ini yang juga merupakan korban (penyintas) dan aktif melakukan pendampingan korban kekerasan seksual.

Dari pengalaman lapangan tersebut lah ditemukan bahwa sexual consent tidak cukup untuk melindungi seluruh korban kekerasan seksual, sebab dalam pengertiannya hanya aktivitas seksual di luar persetujuan lah yang diatur sebagai kekerasan seksual yang berbahaya. Consent sebagai paradigma tunggal lantas menyingkirkan pengaturan aktivitas seksual membahayakan lain dalam perspektif agamis, sosiologis, hingga medis. Akibatnya, perilaku seksual berbahaya seperti perzinaan, seks anal, hingga homoseksual tidak bisa direhabilitasi secara hukum selama dilakukan dengan persetujuan tanpa paksaan.

Maka dalam rangka mencapai perlindungan menyeluruh pada korban, usulan pergantian terminologi “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual” pun dilakukan. Selain menghilangkan paradigma sexual consent yang problematis, secara etimologis “kejahatan” memiliki muatan makna “dosa” sebagai konsekuensi pelanggaran norma agama (tidak hanya norma negara). Sehingga konsep ini dinilai lebih mengakomodasi nilai dan asas perlindungan korban sesuai paradigma Pancasila.

Menurut Prof. Muladi, pakar hukum pidana sekaligus Menteri Kehakiman Indonesia ke-21, salah satu pelaksanaan paradigma Pancasila dalam pembangunan hukum adalah tidak adanya pertentangan norma hukum dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa keagamaan, dan agama sebagai kepentingan negara yang besar (Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, 2007). Nilai-nilai dasar Pancasila tersebut dikembangkan kembali menurut hakikat manusia sebagai makhluk monopluralis, yang di antaranya dicirikan dengan satuan kodrat jiwa dan raga. Paradigma tersebut, yaitu tidak adanya dualisme antara tubuh dan jiwa dalam diri manusia, berkonsekuensi pada kemuliaan jiwa yang direfleksikan dalam pemuliaan tubuh dari aktivitas-aktivitas yang mereduksi nilai dirinya. Termasuk beragam perilaku kejahatan seksual berbahaya yang bertentangan dengan penjagaan norma, budaya, hingga nyawa.

Secara praktis, konsep kejahatan seksual tidak ambigu dan multitafsir seperti sexual consent. Setidaknya terdapat dua kategori kejahatan seksual, yaitu 1) berdasarkan perbuatan seperti perzinaan, sodomi, sadomasokisme, hingga segala bentuk perbuatan/perkataan yang bersifat melecehkan harga diri seseorang, dan 2) berdasarkan objek seperti bestialitas/zoofilia, homoseksual, pedofilia, hingga inses (Henri Salahuddin, Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam di Institusi Pendidikan Tinggi di Indonesia, 2016). Dengan kategori tersebut, kerja perlindungan korban kejahatan seksual menjadi lebih jelas sejak tahap identifikasi.

Sebaliknya, karena multitafsir dan ambigu, sexual consent justru kerap digunakan sebagai dalih politis untuk menjustifikasi perilaku seksual berbahaya tersebut. Misalnya bagaimana para pelaku pedofilia mengadvokasi penghapusan usia minimal consent dengan dalih kedaulatan seksual (Sheila Jeffrey, Consent and the Politics of Sexuality, 1993) atau bagaimana perkosaan dengan melibatkan hewan tidak bisa dituntut karena hanya manusia yang bisa memberikan consent dalam bestialitas (Diana Russel, Rape in Marriage, 1982). Bahkan atas nama sexual consent dalam “youth cult”, sadomasokisme pun mulai dikampanyekan sebagai kultur pemuda urban (Ehrenreich, 1987).

Dengan menyertakan akal sehat, kita tentu tidak ingin politisasi sexual consent tersebut terjadi atas nama hukum yang tidak berparadigma Pancasila. Akan tetapi pihak-pihak pengusung paradigma sexual consent berdalih sebuah norma hukum yang diatur harus menimbulkan dampak kerugian pada korban, sementara jika kedua pelaku aktivitas seksual melakukannya dengan persetujuan, siapa yang menjadi korban? Siapa yang dirugikan?

Katakanlah secara material dalam aktivitas seksual dengan objek hewan (bestialitas) tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang menjadi korban. Sebab manusia tersebut sadar dan setuju untuk melakukan aktivitas seksual dengan hewan—yang tidak bisa dikonfirmasi persetujuannya.

Tetapi apakah hanya sebatas ini cita-cita perlindungan masyarakat kita? Apakah negara hanya menyebut korban jika manusia tersebut merasa dipaksa berhubungan dengan hewan? Atau hanya jika jutaan korban penyakit seksual mematikan semakin banyak berjatuhan? Bagaimana negara melihat aspek kemanusiaan masyarakatnya yang tergerus dengan melampiaskan hasrat seksual secara menyimpang dan menghancurkan jiwanya dari dalam? Apa kabar cita-cita pembangunan manusia kita? Apakah negara benar-benar hanya bisa melihat rakyatnya dengan kacamata material?

Kegagalan RUU Cipta Kerja kemarin adalah kegagalan paradigma pembangunan yang mereduksi cita-cita pembangunan sebatas eksploitasi alam dan manusia demi peningkatan materi. Jangan sampai kita kembali gagal mengawal paradigma sexual consent dalam RUU P-KS yang mereduksi perlindungan korban sebatas persetujuan problematis dan mengabaikan tanggung jawab perlindungan terhadap aktivitas seksual menyimpang yang mengeksploitasi tubuh dan jiwa manusia.

*Penulis adalah alumnus Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor & Peneliti Cluster Sosial, Politik dan Budaya – The Center for Gender Studies

Tulisan ini telah dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 15 Oktober 2020.

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now