Home Blog Page 10

Direktur CGS : Komik WHY Bukti Kampanye dan Propaganda LGBT

0

DinarKania_CGS1

Belum lama ini para orangtua dikejutkan dengan munculnya komik pengetahuan tentang Pubertas untuk remaja berjudul “WHY? Puberty Pubertas” yang berisikan pelegalan hubungan sesama jenis.

Isi komik yang ternyata diketahui diimpor dari Korea dan diterbitkan oleh Elex Media Komputindo tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, antara lain Direktur CGS (the Center for Gender Studies) dan Sekjend AILA (Aliansi Cinta Keluarga) Indonesia.

Direktur CGS, Dr. Dinar Dewi Kania mengungkapkan, buku komik Elex merupakan bukti nyata kampanye Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) di dunia, termasuk Indonesia.

“Kita, umat Islam, dianggap paranoid jika kesetaraan gender akan memperjuangkan hak hak LGBT, padahal itu kenyataan dan kita bisa lihat buahnya sekarang sedikit demi sedikit”, tuturnya.

Dinar juga mengungkapkan kekecewaannya pada pihak penerbit komik tersebut. Tim sensor dan editor, tuturnya, seharusnya lebih sensitif.

“Mana mungkin Gramedia tidak tahu bahwa LGBT dilarang dalam Islam. Seharusnya tim sensor dan editor buku perusahaan besar itu lebih sensitif masalah seperti ini. Walaupun akan ditarik tapi sudah terlajur beredar dipasaran. Bukan sekali hal semacam ini terjadi”, ungkapnya.

Tidak hanya itu, Dinar juga memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk kasus ini.

“Solusi jangka pendek ya tarik peredaran buku, masyarakat mengawal jika buku tersebut ternyata masih beredar, dan ormas membuat tekanan kepada pihak pemerintah untuk memberi sanksi tegas kepada para penerbit dan pihak-pihak yang mengkampenyakan paham-paham yang bertentantangan dengan nilai-nilai budaya, agama dan moralitas yang dianut bangsa indonesia seperti LGBT ini

Solusi jangka panjang, papar Dinar, tentunya harus menusuk ke akar permasalahan, membendung liberalisme, feminisme,  dan paham kesetaraan gender yang menjadi tunggangan LGBT. Melalui sosialisasi kepada masyarakat, ormas dan semua unsur masyarakat tentang bahaya semua itu dan membuat program-program penguatan keluarga.”, ujar perempuan yang juga menjadi dosen di Universitas Trisakti ini.

Terakhir, Dinar juga mengharapkan agar pemerintah ikut terlibat. Ia mengatakan peran pemerintah tentunya juga sangat besar. Bagaimana kita bisa mengawal pemerintah agar menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro family. Karena feminisme dan kesetaraan gender ini terbukti telah menghancurkan nilai nilai keluarga di Barat.

Keluarga Harmonis, Cara Jitu Hadapi Gerakan Feminisme

0
Sumber: Republika.co.id
Sumber: Republika.co.id
Ilustrasi: Republika.co.id

Di tengah derasnya arus liberalisme dan suntikan paham feminisme, para orangtua memiliki pekerjaan rumah yang tidak sedikit dalam mendidik anak. Nilai-nilai moral dan agama yang tertanamkan dengan baik, membentengi rumah tangga terseret arus tersebut.

“Mau kayak gimanapun goyangannya, tapi kalau nilai-nilai agama dipahami anak-anak, paham feminisme tidak bisa merusak keluarga,”tutur, Doktor Tafsir Al Quran Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Dr Saiful Bahri, MA dalam Training For Trainers (TFT) Feminisme dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam, Senin (23/6), di AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta.

Ia melihat, para feminis dan pejuang gender cenderung memiliki trauma terkait  pola asuh keluarga. Keharmonisan keluarga, kata Saiful, cara jitu menangkal wacana feminisme.

Bulan Ramadhan menjadi momen terbaik penguatan komitmen keluarga harmonis.

“Ini saat terbaik memulai proyek-proyek yang bisa saling mengeratkan hubungan diantara anggota kelurga,”paparnya.

Proyek keluarga tersebut seperti membaca Al Quran bersama-sama sesaat sebelum buka puasa. Berbuka puasa dipimpin oleh ayah sebagai kepala keluarga, mendekatkan hubungan orangtua-anak. Selain itu, kepercayaan diri anak meningkat tatkala Ia mengayunkan langkah ke masjid ditemani orangtuanya.

Saiful menambahkan, momen kebersamaan tersebut akan meningkatkan efektifitas penyampaian nilai-nilai agama. Momen-momen tersebut diantaranya saat berbuka puasa, pergi ke masjid untuk shalat tarawih, dan pada waktu sahur.

Ibu bisa mengusulkan proyek pemberian hadiah pada tetangga yang kurang mampu.

“Ayo kita pergi ke keluarga A!Ini sumbangan dari ayah, ini sumbangan dari ibu, dan ini sumbangan dari anak-anak,”ujar Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat itu mencontohkan.

Kunjungan ke rumah kerabat bisa mengeratkan hubungan diantara keluarga besar.

Ia mencontohkan,  masjid-masjid di Mesir punya kebiasaan mengundang banyak orang berbuka puasa bersama. Masjid juga mengadakan qiyamulail.

“Jika anak selalu diikutkan, dia akan melihat, program keluarganya begitu beragam,”ungkapnya.

Bahkan, kedewasaan anak bisa mulai dilatih dengan membahas topik ceramah khatib sepulang shalat tarawih. Bisa jadi, tambah Saiful, berbagai proyek spiritual tersebut menjadi momen terindah dalam hidup anak.*

Rep: Rias Andriati

Editor: Cholis Akbar

Sumber: http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2014/06/24/23843/keluarga-harmonis-cara-jitu-hadapi-gerakan-feminisme.html

 

KESETARAAN GENDER DAN DESAKRALISASI AGAMA

0

Dr. Saiful Bahri, M.A.[1]
Pendahuluan
Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan. Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:

Artinya, ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)

Ayat di atas dianggap mengandung makna perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, padahal kata “tidaklah seperti” (ليس كـ) berarti umum. Perbedaan yang dimaksud bisa dari struktur fisik, fungsi-fungsi yang diperankan, serta fitrah dan tabiatnya sudah tentu tidak bisa sama persis. Maka, perbedaan antara keduanya adalah suatu keniscayaan. Namun, perbedaan di atas tak menandakan bahwa derajat perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak kesamaan lainnya dalam hak dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)

Maka, menjadi hal yang sangat prinsipil untuk dikatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan sebagaimana juga tak sedikit persamaan di antara keduanya. Keduanya tak mungkin disamakan secara mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu dibedakan dalam segala hal. Keseimbangan dalam hal persamaan dan perbedaan inilah yang menempatkan perempuan di bawah naungan syariat Islam menjadi mulia dan bermartabat. Sebelumnya, perempuan tak pernah mendapatkan hak warisnya. Islam datang untuk mengatur hal-hal ini, termasuk memberikannya hak waris yang merupakan sebuah aturan menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu, hak keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan hadits dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)([2]). Islam bahkan tak pernah melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.

Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi laki-laki -saja- tidak termasuk bagi perempuan, sebagai bentuk diskriminasi lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat adalah sebuah bentuk keringanan (rukhshah) yang diberikan kepada perempuan. Namun, bukan berarti Islam melarang perempuan untuk mendatangi Shalat Jumat. Karena ada sebuah kaidah “man shahha zhuhruhû shahhat jum’atuhû” (Barang siapa yang shalat zhuhurnya sah, maka sah pula Shalat Jum’atnya)([3]).

 

Istilah dan Sejarah Gender

Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.([4])  Istilah gender berasal dari “Middle English”, gendre, yang diambil dari era penaklukan Norman pada zaman Perancis Kuno.  Kata ‘gender’ berasal dari bahasa Latin, genus, berarti tipe atau jenis. Kedua istilah gendre  dan  genus, memiliki arti tipe, jenis, dan  kelompok. Gender adalah himpunan karakteristik yang terlihat membedakan laki-laki dan perempuan. Kata Gender dapat diperpanjang dari sekedar kata “seks” sampai dengan “peran sosial atau identitas gender.” Kata, ‘gender’ memiliki lebih dari satu definisi yang valid. Dalam pidato umum, biasa digunakan bergantian dengan ‘seks’ untuk menunjukkan kondisi fisik sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial, kata ‘gender’ secara khusus mengacu pada konstruksi sosial dan perbedaan kelembagaan, seperti perbedaan peran gender([5])([6]).

Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari berbagai kalangan untuk mendefinisikan gender. Maka sebagai sesuatu yang baru, batasan-batasan gender menjadi sangat debatable. Gender bisa merupakan peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).Dan tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang dan implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat.

Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal, wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Yayasan Kartini”([7]).

Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI.

Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia kebebasan pasca reformasi 1998.

 

Sasaran Penyetaraan Gender

Wacana Pengarusutamaan Gender (PUG) yang menjelma menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai sektor kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen. Ia juga tidak bermula dari kesadaran perempuan atau dari para pembela hak-hakperempuan. Tapi hal tersebut lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya yang paling mendasar adalah desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”. Maka wacana-wacana tersebut kemudian diperjuangkan sampai memasuki ranah konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para pejuang kesetaraan gender.

Komitmen PBB untuk menjamin hak-hak perempuan secara khusus ditunjukkan ketika Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang kemudian dikenal dengan CEDAW pada tanggal 18 Desember 1979. Konvensi tersebut memuat tiga puluh poin materi yang terbagi menjadi enam pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan([8]).

Pemerintah Indonesia pun telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen. Konvensi tersebut kemudian diratifikasi  menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984. Di samping meratifikasi Konvensi Perempuan, Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/ BPFA) yang merupakan hasil Konferensi Perempuan se-Dunia IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). Dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000, juga tak luput dari isu dan tekanan kesetaraan gender sebagaimana sebelum-sebelumnya.

Dengan isu gender, terselubung proteksi terhadap perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan melakukan aktivitas seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui  di PBB dengan tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai pengekangan dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia ([9]).

 

Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender

1.      Asal kejadian manusia

Dalam persoalan manusia pertama yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam ‘alaihissalam bukanlah manusia pertama tersebut. Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif. Maka, klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan oleh Allah, dan bukan laki-laki (Adam). Menurut Musda Mulia pemahaman distortif dan sarat dengan bias gender ini muncul dari penafsiran literal terhadap ayat Al-Quran. Dan sayangnya pemahaman seperti ini justru dianut oleh kebanyakan kaum muslimin([10]). Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ”nafsun wahidah” dalam awal surat An-Nisa’ adalah Adam alaihissalam. Sebagian kecil saja dari para ulama yang berpendapat selain itu. Di antaranya adalah Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Mu’tazily, ”Jika Allah mampu menciptakan Adam dari debu/tanah, maka tentu Allah sanggup mencipta Hawa juga dari tanah. Jika demikian, lalu apa faidah penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam”([11]). Sedangkan Abu Muslim al-Asfahany (254-322 H) mengatakan, ”lafazh ‘nafs’ di dalam Al-Quran diulang sebanyak 295 kali. Dan tidak ada yang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam. Demikian juga kata ”nafsun wahidah” yang diulang sebanyak lima kali. Tak ada satupun yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam([12]).

Para pejuang gender ini merasa makin kuat ketika mendapatkan dukungan dari Muhammad Syahrur yang sangat terpengaruh teori evolusi Darwin. Menurutnya bahwa Allah menciptakan manusia setidaknya melalui dua tahap. Pertama, Allah ciptakan semua unsur jantan (dzakar) dan betina (untsa) dari semua makhluk-Nya, yang berakal maupun yang tidak. Pada tahap kedua, Allah membedakan antara jenis manusia dan yang lainnya ketika meniupkan ruh. Kemudian Allah menegaskan kemuliaan manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra’: 70)([13]).

Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan Allah([14]). Pendapat ini juga didukung dalil-dalil hadis yang kuat yang menunjukkan bahwa Adam adalah manusia pertama ciptaan Allah yang akan mendapat pengaduan anak-anak Adam ketika hari kiamat([15]).

Adapun penciptaan Hawa, di dalam Al-Quran secara implisit disebut sebanyak tiga kali dengan redaksi ”khalaqa minhâ” atau “ja’ala minhâ([16]). Sedangkan secara eksplisit hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki([17]).

Pilihan penulis terhadap pendapat jumhur bukan hanya karena banyak yang berpendapat demikian. Tapi karena pendapat ini argumentatif dan didukung dalil yang kuat. Dan permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Adam dan nabi-nabi utusan-Nya bahkan menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.

2.      Tema perwalian dan mahar dalam nikah

Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 30 disebutkan, “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”. Musdah Mulia mengusulkan amandemen pasal ini dalam Counter Legal Draft  (CLD), pasal 16  dengan menawarkan, ”(1) Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan kemampuan pemberi([18]). Hingga saat ini usulan CLD ini masih belum diterima, tetapi jika suatu saat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) disahkan tidak mustahil butir-butir aneh tersebut termasuk usulan-usulan lainnya akan kembali diperjuangkan.

Mahar yang merupakan salah satu syarat nikah, maka hukum memberikan mahar adalah wajib, baik tunai ataupun ditunda. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan. Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Maka mahar adalah kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya.

Selain masalah mahar, mereka juga banyak menyebut unsur-unsur diskriminatif lain dalam ajaran agama Islam. Masalah perwalian misalnya, juga hak menolak atau meminta hubungan badan (jima’) atau menikmatinya sama seperti suaminya (laki-laki). Maka hak aborsi juga perlu diberikan kepada perempuan, bahkan kesediaan untuk hamil atau menundanya atau menolaknya adalah hak setiap perempuan. Sebagaimana hak untuk keluar rumah dan beraktivitas serta mendapatkan pendidikan yang lain.

Tentunya pembahasan masalah mahar, perwalian juga aborsi (pengguguran janin) tidaklah bisa disamakan dengan masalah hak perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan aktivitas publik. Terlebih masalah hubungan badan yang merupakan hak keduanya secara sama, yang oleh Rasulullah SAW ditegaskan ”pada kemaluan kalian terdapat shadaqah([19]). Karena Rasul menambahkannya bahwa jika dilampiaskan pada yang haram maka akan berdosa. Hasrat seksual sengaja Allah ciptakan pada manusia sekaligus diberikan jalan pemenuhannya secara halal dan aman. Sedangkan, wacana kesetaraan gender punya kepentingan untuk melegalkan kebebasan seksual tanpa batas.

Poin lain dalam masalah sensitif ini adalah tentang masalah nusyuz yang sering disalahartikan dan tak jarang justru dituduhkan sebagai dasar normatif KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dalam Islam. Menurut bahasa, nusyuz diambil dari suatu dataran tinggi di bumi. Maka bisa diartikan nusyuz terjadi bila salah satu pihak dari masing-masing suami maupun istri merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Nusyuz disebut secara spesifik sebanyak dua kali, yaitu dalam QS. An-Nisa: 34-35 bila terjadi dari pihak istri (perempuan) dan di dalam An-Nisa’: 128, jika terjadi dari pihak suami (laki-laki).

Ini adalah solusi penawaran dalam sebuah masalah yang terjadi di tengah keluarga. Jika permasalahan berat atau kesalahan dari pihak perempuan maka sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki disarankan untuk menyeselaikannya dengan santun, melalui tiga tahap: menasehati dan berdialog, jika tak mempan maka diambil langkah berikutnya yaitu “pisah ranjang”. Adapun langkah ketiga “memukul” terdapat banyak aturan, di antaranya: tidak menyakiti dan tidak memukul wajah serta tidak menghinakan. Imam Malik bahkan menyaratkan boleh memukulnya dengan sehelai tisyu. Hal tersebut bukan dimaksudkan sebagai pelampiasan kemarahan atau hukuman tapi untuk mencairkan suasana dan mengembalikan keakraban serta keharmonisan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadis Nabi SAW, ”Orang-orang pilihan di antara kalian takkan pernah memukul –istrinya-”([20]). Nusyuz istri ini tidaklah dikarenakan semua bentuk kesalahan istri, tapi kesalahan besar yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ar-Ragib Al-Asfahany menegaskan, ”bahwa nusyuz terjadi bila istri merasa tinggi di depan suaminya sehingga berdampak ketidaktaatan, atau jika hatinya sudah tak berhasrat padanya dan berpaling pada laki-laki lainnya([21]). Demikian sebaliknya jika tanda-tanda nusyuz ditemukan seorang perempuan dalam diri suaminya, serta ada masalah disharmonisasi di tengah biduk rumah tangga, maka cara damai diutamakan untuk ditempuh. Jika dalam dua kondisi nusyuz di atas tak terelesaikan secara internal, maka dibolehkan minta mediasi (dari keluarga masing-masing mereka) untuk ikut menyelesaikan masalah. Dan jika cara ini tak menemui solusi yang baik, maka berpisah pun diperbolehkan dengan cara yang makruf. Sedang ketiadaan tahapan-tahapan penyelesaian nusyuz (bagi perempuan) mengandung hikmah yang sangat arif. Karena, jika perempuan disarankan memukul tentu rumah tangga akan berubah menjadi ring pertarungan yang tak seimbang. Dengan hal ini justru perempuan dilindungi dari kekerasan dan pelecehan martabatnya sebagai manusia yang terhormat.

Tak jarang, sebagian orang menukil beberapa data perceraian yang diakibatkan oleh KDRT sebagai argumen untuk mendelegitimasi aturan agama. Mereka mengatakan bahwa perilaku KDRT ini meningkat bisa jadi karena sandaran aturan normatif yang salah. Padahal, jika mau jujur orang-orang yang melakukan KDRT tesebut sama sekali tidak memahami aturan agamanya, bahkan mungkin tidak terbersit bahwa apa yang mereka lakukan memiliki pembenaran dan dalil. Dengan demikian kesimpulan di atas menjadi sangat prematur dan merupakan bentuk generalisasi yang tidak argumentatif.

3.      Masalah thalaq (perceraian)

Sebagai tindak lanjut masalah sebelumnya, kali ini talak atau perceraian diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan. Karena –menurut mereka- laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang setara.

Maka menurut para pejuang penyetaraan gender, sebagai bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak percerian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Maka, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bunyi keadilan dan kesetaraan gender. Di samping itu mereka juga menghendaki adanya iddah yang diberlakukan juga bagi laki-laki. Salah satu pejuang penyetaraan gender, Nawal Sa’dawi mengatakan, ”Sesungguhnya talak merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan sebagian masalah rumah tangga. Tapi apakah sebuah keluarga hanya berisi satu pihak saja yaitu laki-laki? Mengapa penyelesaian masalah justru merugikan pihak lain?([22]). Sementara yang lain –Aminah Wadud- memandang bahwa peraturan ini hanya bersifat temporer, mengingat kondisi saat turun wahyu sangat tidak memihak perempuan([23]). Maka di zaman saat kesetaraan dijunjung tinggi hal itu perlu direvisi dan diubah.

Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk diulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman. Ini belum membicarakan hak asuh anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan persusuan serta persoalan rujuk, jika terjadi keinginan antar keduanya untuk memulai membangun kembali mengurai disharmonisasi.

Di samping itu, jika dalam kondisi perempuan menjadi pihak yang dirugikan jika terpaksa bertahan dalam keadaan disharmonisasi yang menjeratnya, ia bisa melakukan khulu’ (tuntutan cerai kepada suaminya).

4.      Hijab/Jilbab

Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi oleh para slogan perangusutamaan gender dengan meluaskan wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) dari yang sudah maklum di kalangan umat Islam; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan muslimah. Khilafiyah ini diperluas dengan redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; yaitu bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.

Orang-orang yang sering menyebut diri mereka kalangan modernis, di antaranya Muhammad Syahrur, meredefinisi ”az-zinah” yang dikecualikan dalam ayat (ولا يبدين زينتهنّ إلا ما ظهر منها) [QS. Al-Ahzab: 31] terbagi dalam dua hal: yaitu, 1. Az-zinah yang zhahir dan 2. Az-Zinah yang tersembunyi. Lalu apakah yang dimaksud zinah di siniyang sesuai dengan ruh dalam ayat QS. An-Nisa’: 22 dan 23. Setelah membagi jenis-jenis perhiasan/zinah, Syahrur juga menjelaskan apa yang dimaksud kata ”juyub” dalam Al-Qur’an yang dianggapnya aurat kubra. Ia lalu mengatakan, ”Jika ada pertanyaan: bolehkah seorang perempuan membuka auratnya (telanjang) di depan mahram-mahramnya. Maka saya jawab: boleh, jika tidak mengganggu atau ada keperluan. Jika ada rasa tak enak maka itu termasuk bagian dari adat, kepatutatan/aib atau malu. Tapi hal ini tidak ada hubungannya dengan halal dan haram, karena suami dan ayah termasuk di dalamnya. Jika seorang ayah melihat anak perempuannya demikian, ia jangan mengatakan: ini haram. Tapi katakanlah hal tersebut aib!([24]).

Sementara Muhammad Said al-Asywamy mencoba mengritisi argumen disyariatkannya jilbab yang menurutnya secara global bermula dari dua hal: melindungi kaum muslimat yang merdeka dari pelecehan seksual atau disamakan dengan budak atau pelacur pada saat mereka hendak menunaikan hajat (buang air). Inilah –menurut Asymawy- maksud yang sesungguhnya dan bukan untuk mewajibkan pakaian islami sebagaimana banyak diklaim orang. Apalagi saat ini untuk membedakan identitas seseorang sangat mudah karena ada kartu identitas, juga karena hampir semua model kamar kecil (toilet) sekarang berada di dalam rumah atau ruang yang sangat tertutup (privasi). Dengan demikian perlu peninjauan ulang terhadap klaim kewajiban jilbab([25]).

Penulis takkan menjawab syubhat ini, karena kewajiban tentang jilbab sudah demikian jelas sejelas kewajiban shalat dan zakat. Jika ada perdebatan maka wilayahnya menjadi sangat kecil, yaitu hanya wajah dan kedua telapak tangan. Jika sebagian muslimah atau banyak di antara mereka enggan mengenakan pakaian iffah ini maka tidak menjadi tolok ukur bahwa kewajiban jilbab kemudian tereduksi dan mengalami perubahan hukum atau dikatakan hukumnya belum final.

5. Waris

Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah waris dalam frame kesetaraan gender adalah bahwa dalam masalah perwarisan seorang perempuan –hanya- mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Maka ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang lain.

Padahal dalam agama Islam hukum waris adalah sebuah sistem komprehensif dan tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial saja. Aturan-aturan tersebut dikemas dalam al-Qur’an yang kemudian dipelajari perkembangan kasus-kasusnya yang oleh para ulama kemudian dinamakan dengan sebuat disiplin ilmu ”Fara’idh”. Para pejuang gender tersebut hendak menggeneralisasi kondisi perwarisan, atau dimaksudkan untuk memblow up, beberapa kondisi yang sangat sedikit saja sehingga mendukung tujuan mereka serta menempatkan Islam dalam posisi tembak dan tak ubahnya seperti perundang-undangan yang bisa direvisi dan diamandemen.

Secara umum Islam mengatur hak perempuan dalam waris sebagai berikut, jika diperhatikan justru yang terjadi sebaliknya, perempuan menjadi sangat dimuliakan dan dijunjung derajat dan martabatnya.

  1. Hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki
  2. Ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki
  3. Ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki
  4. Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya([26]).

6. Poligami

Adapun poligami yang dihalalkan Allah sudah tentu menjadi musuh utama para pejuang gender. Karena selain dianggap perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, poligami dianggap tidak manusiawi dan merendahkan martabat perempuan. Tak heran, jika di mana-mana poligami disosialisasikan untuk diperangi, karena merupakan bentuk perbudakan dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Juga karena perempuan tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.

Termasuk pula dalam pengertian ”mâ anzalallah” adalah hukum poligami. Dalam banyak pandangan di dalam masyarakat hukum poligami bukan sekedar dibolehkan, tetapi juga sunnah karena pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW ([27]).

Gerakan anti poligami ini sangat mudah untuk digulirkan. Dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan yang memang sulit menerima untuk diduakan, maka tak perlu berpikir panjang seolah-olah poligami adalah dilarang dan dimusuhi bersama. Di saat yang sama para pejuang gender tersebut ingin melegalkan dan melindungi praktek perselingkuhan dan perzinahan, termasuk perilaku seksual yang sangat bebas tanpa batasan tertentu karena dipandang sebagai wilayah yang sangat privat.

Padahal poligami adalah sebuah solusi sebagaimana perceraian yang diperbolehkan dalam Islam. Adanya syarat keadilan yang tak bisa ditawar merupakan bentuk pengetatan dan rem keberanian seorang laki-laki sebelum melangkah mengambil keputusan untuk menikah lagi. Nabi Muhammad SAW sendiri tetap bertahan monogami selama kurang lebih 27 tahun. Sulitnya kondisi perceraian tak menyebabkan seseorang harus mengatakan bahwa talak diharamkan. Maka demikian halnya dengan poligami, yang jika –terpaksa- dilakukan karena suatu sebab dan diikuti dengan pemenuhan keadilan yang maksimal maka adalah bentuk prestasi. Meski pandangan yang mengatakan bahwa poligami adalah sunnah, tetap harus dikritisi dan dikaji ulang. Karena poligami merupakan salah satu solusi masalah sosial dan juga kebutuhan pribadi di waktu yang sama. Maka secara proporsional –justru- akan kembali menempatkan perempuan dalam kehormatannya. Berbeda dengan perselingkuhan dan perzinahan yang merupakan bentuk hubungan yang sulit dipertanggungjawabkan secara manusiawi sebelum di hadapan hukum Allah.

7. Kepemimpinan (qawwamah)

Masalah qawwamah cenderung dibahasakan sebagai penguasaan atas perempuan. Kepemimpinan yang dimaksud adalah pengayoman didistorsis sebagai hegemoni dan diktatorisme. Parahnya pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga kemudian diluaskan ke mana-mana seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para perempuan.

Gerakan dan perjuangan para pembela kesetaraan gender ini bahkan sangat berlebihan. Sebagai contohnya, ranah politik dipaksakan harus mengakomodir 30% jatah khusus perempuan. Ini di Indonesia, di saat negara-negara maju di dunia ini tak sampai menetapkan kuota dengan angka seperti itu.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik[28] mengakomodasi beberapa paradigma baru Indonesia. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) yang menyebutkan :

(2)   Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

(5)   Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.

Islam tak melarang perempuan untuk menggunakan hak politiknya juga tak melarang rincian-rincian di atas. Namun, jika ditilik dari munculnya undang-undang tersebut maka tak bisa dilepaskan dari semangat pengarusutamaan gender, atas nama kesetaraan gender.

8. Persaksian perempuan

Isu yang diangkat dalam masalah persaksian juga tak jauh berbeda seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian didakwa sebagai pembedaan/diskriminasi perempuan sekaligus sama halnya menempatkan perempuan sebagai setengah manusia.

Banyaknya wilayah perbedaan dalam masalah ini di kalangan para ulama mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan yang konstruktif. Dan semakin menegaskan pemahaman para ulama akan hal-hal yang konstan (tsâbit) yang tak bisa berubah yang tidak menjadi wilayah ijtihat serta mana yang termasuk wilayah yang berubah (mutaghayyirât). Sebagai contoh sederhana, seorang murid yang sangat setia pada gurunya seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, banyak berbeda pendapat dengan gurunya, Ibnu Taimiyah dalam masalah ini([29]).

 

Metode yang Digunakan

Untuk disebut sebagai sebuah metode, dalam kajian apapun yang diperlukan adalah konsistensi dan nilai ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Secara khusus penulis tidak menemukan metode yang digunakan para pejuang gender untuk mencari sandaran normatif dalam rangka mendukung dan menguatkan propaganda mereka dari perspektif agama. Meskipun pada dasarnya agama dan etika adalah dua hal yang dihindari, dikritisi dan dijauhi.

Secara global pembahasan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perempuan dikaji dalam perspektif kesetaraan gender dengan beberapa pendekatan dan metode berikut.

1. Hermeneutika

Secara umum hermeneutika adalah penakwilan bebas dan tak ada yang final dalam penafsiran teks (relativisme). Wahyu telah berubah menjadi teks dan masuk ke dalam ranah manusia karena sudah diturunkan ke bumi. ”Sebuah ilmu tentang penakwilan teks-teks suci atau teks agama manusia, seperti sebuah tafsir atau ilmu filologi, pemaknaan literal (harfiyah), atau pendekatan marfologi dan gramatikal. Atau yang dikenal sebagai penafsiran per lafazh([30]). “… yaitu dengan menanyakan banyak hal dari sumbernya atau dari pembacaan di lain sisi([31]). Maka bagi para penganut ”tafsir hermeneutika” ada lima unsur pokok: (1). Matinya pengarang, karena penakwilan dibebaskan sesuai pembacaan pembaca; (2). Wahyu telah beralih menjadi teks manusia, maka bisa dikritisi sebagaimana karangan manusia; (3). Tak ada yang zhahir, semuanya bisa ditakwilkan; (4). Relativisme dan tidak ada yang final dalam penakwilan, karena akan terus berkembang; (5). Maka sebagaimana para mufassirun berkarya, semua yang datang setelahnya boleh berkata apa saja. Di antara pelopor hermeneutika: Schleirmacher (1768-1834 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gadamer (1900-2002 M). Oleh para sarjana muslim yang belajar ke Barat, hermeneutika dianggap sebagai penemuan atau ilmu baru yang dibutuhkan dalam penafsiran Al-Quran.

2.      Kritik sastra dan kebahasaan Al-Quran

1. Strukturalisme (al-binyawiyah):

Dengan pendekatan strukturalisme, Al-Quran bagaikan teks yang berdiri sendiri terlepas dari berbagai ikatan ideologis. Atau menjadikan teks harus dikembalikan kepada kaidah kebahasaan yang memiliki aturan gramatikal dan sebagainya. Tidak finalnya Al-Quran ditunjukkan dengan adanya qira’ah sab’ah (tujuh) atau asyrah (sepuluh). Maka bagi kritikus strukturalis tidaklah memiliki misi mengungkap hakikat sesuatu yang terkandung dalam bahasa teks, tapi misinya adalah menyesuaikan bahasa teks dengan bahasa modern saat ia hidup di tengahnya([32]).

Di antara para pelopor aliran kritik sastra ini: Ferdinand De Sausure (1857-1913 M) dan Roland Barthes (1980-1915 M).

2. Dekonstruksi (at-tafkîkiyah): adalah sebuah metode pembacaan teks yang beranggapan, setiap teks/ungkapan selalu kontekstual. Di antara tokohnya: Jacques Derrida (1930-2004 M) menunjukkan bahwa kita cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap setiap teks. Derrida sendiri banyak terpengaruh oleh Nitche (1844-1900 M)([33]) dengan filsafat nihilismenya([34]).

3. Stylistik (al-uslûbiyah):

Yaitu dengan menempatkan Quran dalam kritik sastra dan kebahasaan. Wahyu yang semula adalah kalam Allah, ketika disampaikan kepada Muhammad (manusia), maka yang digunakan adalah bahasa manusia. Adanya kesenjangan antara dua bahasa tersebut (antara sumber dan penerima) dimediasi oleh Jibril. Maka yang menjadi pusat kritik bukan asal sumbernya (wahyu/kalam Allah), juga bukan penerimanya (Nabi Muhammad), juga bukan mediatornya (Jibril), tapi teks yang sampai kepada Umat Islam. Al-Quran yang diterima Nabi Muhammad dari Jibril, pasti berbeda pemaknaan dari yang diterima sahabat langsung dari Nabi SAW, demikian seterusnya para tabi’in hingga sampai ke zaman sekarang. Maka kritik gaya bahasa (uslub) dijadikan poin penting dalam kritik. Meski terjadi perbedaan serius di antara para pelopor aliran ini([35]), tapi tetap bisa dipakai para pejuang gender untuk mengangkat kebenaran relatif dan perlunya amandemen isi al-Quran.

4. Semiotika (as-simiya`iyyah):

Dengan metode ini yang dipusatkan adalah unsur bahasa yang sering disebut kode atau simbol([36]). Maka unsur-unsur yang dimuat dalam al-Quran juga demikian, menjadi sangat relatif. Sebagai contoh: definisi khamr, aurat dalam kebahasaan Arab akan berkembang dan mungkin berubah jika dilakukan dengan pendekatan bahasa lain dan di tengah komunitas lain.

 3.      Pendekatan sejarah

Dengan pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan sebagai unsur sejarah([37]) dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka kandungan ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk menyesuaikan perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran([38]). Artinya sebagai produk budaya Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di dalamnya tema-tema perempuan dan gender.

Tak heran jika kemudian, para pejuang kesetaraan gender mencoba memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam wilayah budaya dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender). Jika nantinya RUU ini disahkan, maka bisa dijadikan pintu untuk merevisi atau mengamandemen aturan-aturan agama yang sudah pakem. Apalagi jika ditekankan bahwa Islam adalah bagian dari sejarah dan budaya([39]), maka sudah selaiknya ditinggalkan dan diganti dengan yang baru. Atau jika tak memungkinkan setidaknya diperbarui dan diubah kandungannya.

4.      Pendekatan sosiologis dan antropologis

Dengan pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah fenomena sosial([40]), maka perilaku keagamaan orang Arab tak bisa disamakan dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi). Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap perempuan dan kentalnya sistem laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya, dalam konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan.

5.      Pendekatan psikologis

Dalam pendekatan ini, yang diutamakan dalam tataran realita adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang memeluk agama tertentu apa. Dari sini akan dimunculkan sebuah madhab baru dalam beragama, yaitu madzhab pluralisme([41]). Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim mengambil intisari kebaikan dari berbagai agama.

RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)

Target dari pengesahan RUU KKG adalah kriminalisasi segala bentuk pelanggaran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan([42]), tanpa memandang kondisi. Maka dengan rujukan RUU ini kelak akan berimplikasi terevisi dan teramandemennya beberapa Undang-Undang di negara ini, khususnya secara mendasar akan terjadi perubahan besar dalam UU Perkawinan (Ahwal Syakhshiyyah). Target dan sasaran ini bisa diendus dengan masuknya unsur budaya dalam berbagai poin dalam RUU tersebut. Dengan pendekatan budaya dan sejarah, maka segala bentuk aturan agama adalah unsur budaya yang terus mengalami perkembangan.

Meskipun belum bisa digeneralisir, namun patut dicermati sebuah fakta yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Angka perceraian di Indonesia pasca reformasi (di atas tahun 2000) meningkat empat hingga sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, terdapat 250 ribu perkara perceraian, atau sebanding dengan 10% angka pernikahan di tahun yang sama. Tujuh puluh persen di antara perceraian tersebut adalah bentuk cerai gugat, yaitu pihak istri (perempuan) yang menggugat cerai suaminya dengan berbagai sebab([43]). Padahal para pejuang dan pembela kesetaraan gender sering mengemukakan bahwa terjadi perbaikan dan peningkatan dalam penerapan kesetaraan gender serta penekanan angka perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.

Penutup

Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati perempuan, di dalam Al-Qur’an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat an-Nisa’, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan para pejuang gender, tapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga dalam masyarakat.

([1]) Alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat, Divisi Kajian Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta, Dosen di Sekolah Tinggi An-Nuaimy, Jakarta, Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta, aktif di Asia Pasific Community for Palestina di Jakarta.

([2]) Dr. Ali Muhammad Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah; Ardh Waqa’i wa Tahlil Ahdats, Darut Tauzi’, Cairo, Cet. II, 20023 M-1424 H, Jilid 2, hlm. 363-364. Suhailah Zainal Abidin, al-Mar’ah al-Muslimah wa Muwajahah Tahaddiyat al-Aulamah, Ubaikan, Riyadh, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 190-191.

([3]) An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu al-Muftin, Darul Ma’rifah, Beirut, 1986 M-1406 H, J.1, h. 21.

([4]) Lihat Helen Tierney (Ed.), “Women’s Studies Encyclopedia”, Green Wood Press, New York, Vol. I, hlm. 153.

([5]) Lihat Wikipedia Online, dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Gender, diakses tanggal 17 September 2010.

([6]) dikutip dari Naskah Akademis RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), Tim Kerja PUU-Deputi Perundang-undangan DPR RI, 24 Agustus 2011, hlm. 11

([7]) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Serambi, Jakarta, Cet. I, 2008, hlm. 341

([8])United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003,  hlm. 9, 13

([9])International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, hlm. 52, 53

([10]) Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, Cet.II, Agustus 2007, hlm. 62, 63

([11]) sebagaimana dinukil oleh Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, Darul Fikr, Beirut, Cet. I, 1980 M – 1401 H, Jilid 9, hlm. 167)

([12]) Yaitu QS. An-Nisa’:1, QS. Al-An’am: 98, QS. Al-A’raf: 189, QS. Luqman: 28, QS. Az-Zumar: 6

([13]) Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, 596-597

([14]) QS. Ali Imran: 59

([15]) HR. Bukhori dalam shahihnya, Bab Lima Khalaqtu bi Yadayya, hadis nomer 6975, dan Muslim dalam Kitâb al-Iman, Bâb Adnâ Ahli al-Jannah Manzilatan, hadis nomer 193.

([16]) QS. An-Nisa’: 1, QS. Al-A’raf: 189 dan QS. Az-Zumar: 6

([17]) HR. Bukhori, Kitâb Bad’i al-Wahyi, Bâb Wa Idz Qâla Rabbuka, hadis nomer: 3084, Muslim, Kitâb Ar-Radha’, Bâb al-Washiyyah bi an-Nisa`, hadis nomer: 1468, At-Tirmidzi, Kitâb Ath-Thalâq, Bâb Mâ Jâ`a fi Mudârah an-Nisa`, hadis nomer: 1188, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, Imam Ahmad dan ad-Darimy.

([18]) Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistyowayi Irianto, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor, Jakarta, Cet II, 2008, hlm. 158

([19]) HR. Muslim, Kitâb Az-Zakâh, Bâb Bayân Ismi as-Sadaqah, hadis nomer: 1006, hadis ini diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar al-Ghifary ra.

([20]) Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan mengatakan bahwa sanadnya shahih (2/208), juga Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, hadis nomer: 14553

([21]) Ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Maktabah Nazar Musthafa, Riyadh, Cet.I, 1997, hlm. 493.

([22]) Dr. Nawal Sa’dawi, Qadhaya al Mar’ah wa al-Fikr wa as-Siyasah, Maktabah Madbuli, Cairo, 2002, h. 218.

([23]) Dr. Aminah Wadud, Al-Qur’an wa Al-Mar’ah: I’adah Qira’ah an-Nash al-Qur’any min Manzhur Nisa’iy, Maktabah Madbuli, Cairo, Cet.I, 2006 hlm. 129-132.

([24]) Dr. Muhammad Syahrur: Al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah, Syarikah al-Mathbu’at li Tauzi wa an-Nasyr, Beirut, Cet.I, 1992 M – 1412 H, hlm. 605-606.

([25]) Muhammad Said al-Asymawy, Ma’alim al-Islam, Sina li an-Nasyr, Cairo, Cet.I, 1989, h. 124-125

([26]) Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, Nahdhah Misr, Cairo, Cet.I, 1999, hlm. 10-11

([27]) Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Penerbit LkiS, Yogyakarta, Cet. II, 2007, h. 29-30

([28]) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tentang Partai Politik

([29]) Seperti yang beliau tulis dalam karyanya, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Tahqiq: Nayif Ahmad al-Hamd, Dar Alam al-Fawa’id, Makkah, Cet.I, 1428 H.

([30]) Dr. Ahmad Idris Ath-Tha’an, Al-Qur’ân al-Karîm wa at-Ta’wîliyah al-Almâniyyah,  hlm. 2.

([31]) Dr. Nashr Hamib Abu Zaid, Isykaliyât al-Qirâ’ah wa Âliyât at-Ta’wîl, Al-Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, Casablanca, 2005, hlm. 13

([32]) Manal Shalih al-Muhaimid, Tahawwulât an-Nash Baina al-Binyawiyah wa at-Tafkîkiyah, hlm. 1.

([33]) lihat: Megan ar-Ruwaily, Dalil an-Naqid al-Adaby, al-Markaz ats-Tsaqafy al-Araby, Casablanca-Maroko, Cet.III, 2002, hlm. 108

([34]) Nihilisme (al-Adamiyah) sebuah paham dan aliran yang didasarkan pada pengingkaran/penafiyan terhadap nilai-nilai atau pemikiran sebagai sesuatu yang absolut, nilai atau norma tersebut sangat relatif, maka tak perlu diatur oleh undang-undang atau negara karena menyangkut kebebesan dan privat (Akademi Bahasa Arab Mesir, al-Mu’jam al-Falsafy, Al-Mathabi’ al-Amiriyah, Cairo, 1983 M- 1403 H, hlm. 118)

([35]) Seperti yang ditulis oleh Dr. Shalah Fadhl, Manâhij an-Naqd al-Mu’âshir wa Mushtalahâtihi, Merit, Cairo, Cet. I, 2002, hlm. 111-112.

([36]) Ibid, hlm. 121-122.

([37]) Nuruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983, hlm. 13.

([38]) Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, Elsaq Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 100.

([39]) Lihat, misalnya: BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1, dan BAB III (Hak dan Kewajiban) pasal 14 dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender)

([40]) Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Scared, Suhail Academy, Lahore, 1988, hlm. 66.

([41]) Madzhab yang memandang bahwa semua agama adalah sama benar, terpengaruh dengan falsafah relativisme yang menafsirkan eksistensi, perilaku dengan perspektif yang berbeda-beda (Al-Mu’jam al-Falsafi, Ibid, hlm. 48).

([42]) Seperti termaktub dalam: BAB IX (Ketentuan Pidana), Pasal 70-72 dalam RUU KKG .

([43]) lihat: International Islamic Commitee for Women and Child (IICWC), Tatanan Keluarga dalam Islam, Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I), Jakarta, 2012, hlm. vii

Sumber: http://saifulelsaba.wordpress.com/2012/05/02/gender-vs-family-mainstreaming/

Sarjana Ibu Rumah Tangga

0

Oleh: Sarah Larasati Mantovani

Perempuan bisa sukses jadi bos di kantor, tapi belum tentu sukses sebagai istri atau ibu.

Apa yang terbayang dalam benak para Muslimah ketika membaca judul di atas? Bisa jadi mereka membayangkan seorang ibu berbaju toga dengan alat rumah tangga atau seorang wanita akademisi yang lebih memilih untuk mengurus anak.

Cemburu

0

Oleh: Akmal Sjafril

Cinta dan cemburu adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kita tidak bisa memahami cinta yang tak disertai kecemburuan, dan bahkan kita tidak bisa mendefinisikan cinta tanpa kecemburuan.

Eksploitasi Perempuan dalam Seni

0

Oleh: Kabul Astuti*

Selama ini, kebanyakan kajian mengenai eksploitasi perempuan dalam karya seni selalu ditempatkan dalam diskursus studi gender. Kajian tersebut bertujuan untuk menghilangkan bias gender dalam seni, meminta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas seni, serta menuntut perempuan yang selama ini hanya menjadi objek seni agar juga bisa menjadi subjek. Namun, kajian yang dibingkai dalam kerangka feminisme ini tidak bisa menjadi solusi bagi eksploitasi perempuan dalam karya seni.

Islam sudah memberikan kerangka aturan sendiri dan feminisme tidak pernah menjadi bagian dari solusi yang ditawarkan Islam terkait masalah perempuan. Oleh karena itu, masalah eksploitasi perempuan dalam karya seni hanya dapat dipecahkan ketika menggunakan kacamata Islam. Yaitu, dengan cara mengembalikan kedudukan perempuan sesuai dengan fitrahnya dan hukum syariat yang telah ditetapkan.

Sejak dulu, perempuan sering kali digambarkan sebagai sosok yang sensual dan erotis dalam karya seni. Lukisan perempuan telah menjadi tema dominan dari para pelukis Barat sejak masa tradisional, sebelum era neoklasikisme dan romantisisme. Tradisi lukis pada era Rococco yang merupakan masa terakhir bagi monopoli seni tradisional banyak menggambarkan dewi-dewi cantik molek dengan warna kulit merah jambu dan terutama dipilih adegan yang memperlihatkan sisi sensualitas. Misalnya, karya Francois Boucher “Vulcanus Menyerahkan Senjata Aeneas kepada Venus” dan Fragonard “Yang Mandi”.[1]

Pada masa selanjutnya, Lukisan Edouard Manet dari aliran Salon des Refuses berjudul “Olympia” (1863) juga melukiskan seorang perempuan telanjang dalam posisi tiduran. Lukisan tersebut pada awalnya sempat menimbulkan kontroversi masyarakat meskipun akhirnya dapat diterima. Kemudian, ada pula “Kelahiran Venus” pada tahun yang sama karya Alexandre Cabanel yang menggambarkan hal yang sama. [2] Publik Eropa sudah terbiasa melihat lukisan wanita telanjang dengan tema dewa-dewi, terutama Venus. Sejak masa neoklasikisme, romantisme, realisme, kubisme, surealisme, hingga pascamodernisme, wanita tetap menjadi tema yang selalu ada.

Eksploitasi perempuan dalam aktivitas kesenian ini mau tidak mau menyeret pada kasus pornografi. Sebagian seniman menjadikan seni sebagai dalih untuk melakukan aksi-aksi pornografi. Saat ini, tingkat pornografi di dunia sangat mencengangkan. Terdapat sejumlah 4,2 juta situs internet porno atau 12% dari jumlah seluruh situs internet di seluruh dunia. Setiap hari, ada 68 juta permintaan mencari materi pornografi melalui mesin pencari internet. Jumlah itu 25% dari seluruh pemintaan mencari di search engine. Situs Playboy dikunjungi sebanyak 4,7 juta (hits) kali setiap minggunya. Orang Amerika menyewa 800 juta keping video dan DVD porno setiap tahunnya, dibandingkan dengan 3,6 miliar video nonporno. Hollywood menghasilkan 400 film per tahun, sementara industri porno menghasilkan 11.000 film per tahun (Adult Video News).[3]

Eksploitasi perempuan dalam berbagai bentuknya didukung oleh faktor ekonomi dan kapitalisme. Industri hiburan dan jasa berbau seks menjadi salah satu ladang bisnis yang keuntungannya terbukti paling menggiurkan. Laporan CBS News (edisi September 5, 2004), “Porn in the U.S.A” menemukan bahwa masyarakat Amerika membelanjakan tidak kurang dari 10 milyar dolar per tahun untuk konsumsi pornografi saja. Mereka menjadi besar dan mempunyai daya tawar karena di California saja industri aurat ini tiap tahun menyetor sebanyak 36 juta dolar pajak kepada pemerintah. Sementara itu, para pelakunya berlindung di balik topeng ekspresi seni.[4] Ada semacam lingkaran setan antara seni, pornografi, dan industri kapitalisme.

Perempuan dalam Seni Tradisional

Jawa dan Bali tidak dapat dilupakan sebagai dua kebudayaan yang banyak melibatkan perempuan dalam aktivitas seni. Perempuan ada dalam setiap cabang kesenian, mulai dari seni musik, seni lukis, seni pahat, seni sastra, bahkan seni pertunjukan tradisional. Daripada sebagai pelaku seni, perempuan lebih banyak dijadikan objek seni yang mengarah kepada penonjolan eksotisme seksual dan tentunya mengarah pula pada pelecehan seksual yang menyinggung derajat dan martabat perempuan.

Dalam dunia kesenian tradisional, misalnya, pertunjukan seni reyog obyog, pelecehan seksual terhadap perempuan muncul melalui momentum saweran. Kesempatan bagi penonton laki-laki untuk menari bersama sambil memberikan uang dalam jumlah tertentu dengan cara menyentuh bagian tubuh penari jathil.[5] Realitas ini digambarkan dengan sangat gamblang oleh sastrawan Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk lewat tokoh utama Srinthil. Berbagai suka duka harus dialami oleh Srinthil sebagai penari ronggeng, termasuk menjalani adat bukak klambu sebelum ia diinisiasi sebagai penari ronggeng, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang mampu memberikan bayaran tertinggi.

Namun, menarik bahwa dalam masyarakat tradisional yang kental akan adat budaya Islam, aktivitas kesenian dapat dilakukan tanpa melanggar batas-batas syariat. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fuji Astuti (2001) di desa Sungai Janiah, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, menunjukkan bahwa kegiatan seni pertunjukan di desa tetap mematuhi kaidah Minang dan Islam, yaitu bahwa wanita dianggap tidak pantas untuk tampil dalam pentas pertunjukan kesenian.[6] Oleh karena itu, pertunjukan randai yang menjadi kebanggaan desa tetap menampilkan pemain pria untuk memerankan peran wanita; juga tari sijah ameh yang menggambarkan kegemulaian wanita pun ditarikan oleh pria.

Hal mendasar bagi ketidakhadiran perempuan dalam seni pertunjukan adalah bahwa sebagai perempuan Minangkabau yang diberi penghargaan bundo kanduang harus mencerminkan perilaku yang berbudi luhur sehingga bisa menjadi figur generasi penerus. Perempuan Minang juga mengenal konsep ‘sumbang dua belas’, yang salah satu di antaranya menyangkut tata cara berpakaian. Dalam berpakaian, perempuan Minang harus sesuai dengan aturan Islam, yaitu tidak ketat, tidak transparan, dan tidak memperlihatkan aurat. Faktor budaya Islam amat dominan. Hal itu mengikuti adat minangkabau yang dikenal ‘adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah’. Meskipun, patut disayangkan bahwa hal ini sekarang sudah mengalami pergeseran-pergeseran dan perempuan mulai diizinkan masuk ke ranah pertunjukan.

Perempuan adalah sosok penuh inspirasi bagi para seniman dalam berbagai kebudayaan, baik kebudayaan Timur maupun Barat. Kita tidak bisa hanya menyebut Barat saja sebagai kebudayaan yang banyak mengeksploitasi perempuan. Sebab, pada kenyataannya sebagian besar kebudayaan menjadikan perempuan sebagai objek seni dalam ekspresi yang berbeda-beda.

Namun, tidak dipungkiri bahwa eksploitasi Barat terhadap perempuan sangat besar dan memiliki sejarah yang panjang. Di Barat, perempuan dihadirkan sebagai objek yang mewakili keindahan dunia. Tradisi seni Barat adalah tradisi seni yang bertumpu pada keindahan materi dan fisik semata. Keindahan yang paling tinggi adalah keindahan tubuh perempuan. Akhirnya, eksploitasi yang berlebihan terhadap perempuan muncul dalam berbagai aspek karya seni.

Body Painting

Tidak puas hanya melukis di atas kanvas dan benda-benda mati, para pelukis pun melakukan eksperimen melukis di atas tubuh manusia. Salah satu penemuan seni mutakhir di Barat hari ini adalah body painting atau seni lukis tubuh. Body painting adalah seni melukis dengan media kulit atau tubuh manusia, sama halnya seperti tato. Perbedaannya, jika tato bersifat permanen, body painting bersifat temporer.

Body painting dianggap sebagai seni lukis tubuh yang paling kuno di dunia. Hampir seluruh suku-suku didunia menggunakan body painting untuk acara adat. Sejumlah suku di Indonesia juga mempunyai tradisi body painting, antara lain, Dayak, Dani, Mentawai, dan beberapa suku lainnya. Namun, pada era modern, perkembangan body painting telah kebablasan. Sejumlah orang menyebut body painting sebagai seni nudis. Para modelnya yang sebagian besar perempuan dilukis telanjang. Polesan-polesan cat itulah yang menjadi ‘baju’ dan dipertunjukkan sebagai karya seni.

Perkembangan body painting pada era modern dimulai pada 1933 di Chicago di mana Maximillian Faktorowicz dan modelnya ditahan dengan tuduhan mengganggu ketertiban publik saat ia memeragakan body painting-nya  yang baru dengan makeup yang  diformulasikan untuk film Hollywood.[7] Tetapi, kejadian ini merupakan awal tonggak kebangkitan era body painting pada era modern. Pada 1950-an dan 1960-an, body painting mulai menggeliat kembali terutama dipicu oleh paham liberalisme dan kebebasan berkreasi. Sejumlah selebriti bahkan turut mencicipi rasanya menjadi “kanvas hidup”, seperti Demi Moore dalam sampul majalah Vanity Fair, pada 1992.

Hal ini sampai sekarang menjadi perdebatan panjang di dunia, apakah body painting termasuk sebuah karya seni atau hanya sebuah aksi pornoaksi yang terselubung. Terlepas dari itu, saat ini body painting telah masuk dalam seni lukis tubuh yang cukup popular di dunia. The World Bodypainting Festival[8] sudah menjadi agenda tahunan sejak 1998 hingga sekarang. Acara yang diselenggarakan setiap bulan Juni-Juli di Pörtschach, Carinthia, Austria pada 2012 diikuti oleh lebih dari 200 seniman dari 44 negara.

Di Indonesia, sejumlah perupa juga mulai masuk ke dunia body painting. Tidak tanggung-tanggung, aksi seni lukis tubuh atau body painting digelar dalam acara Sanur Village Festival 2012. Acara budaya tersebut akan dihelat pada24 – 28 September 2013di areaMaisonnette, Inna Grand Bali Beach Hotel. Sebanyak tujuh seniman body panting melukis dan menggoreskan kuas di atas tujuh tubuh wanita cantik yang menjadi model dalam event tersebut.[9] Selain di Sanur, festival serupa juga pernah digelar di Bandung dengan tajuk Bandung Body Art Festival.[10]

Perempuan dan Seni dalam Islam  

Ketika sebuah tradisi seni hanya mendasarkan orientasinya pada wujud yang bersifat material, ujung-ujungnya ia tidak akan menemukan sosok lain kecuali perempuan sebagai objek seni tertinggi. Maka, tampak bahwa Barat telah melakukan berbagai eksplorasi untuk menghadirkan perempuan sebagai karya seni. Pada awalnya, hanya karya dua dimensi berupa lukisan perempuan telanjang, kemudian dilanjutkan dengan karya tiga dimensi berupa patung dan video-video porno. Terakhir, yang paling mutakhir adalah karya hidup berupa body painting yang secara langsung menjadikan perempuan sebagai objek seni dan media seni. Jika segala macam eksperimen seni tersebut telah membuat mereka jengah, tidak dapat dibayangkan apa lagi yang akan dilakukan oleh para seniman Barat.

Permasalahan utamanya ialah bahwa para seniman Barat tidak memiliki aturan atau batasan khusus dalam aktivitas berkesenian seperti halnya Islam. Perdebatan dalam hal tujuan seni hanya dua, yaitu seni untuk seni (L’art pour l’art) atau seni untuk rakyat. Barat tidak mengenal aktivitas kesenian yang dilandasi oleh tauhid dan bertujuan untuk mengagungkan kebesaran Ilahi. Di Barat, yang ada hanya common sense sedangkan common sense adalah suatu hal yang bisa berubah seiring dengan perubahan masyarakat. Pada 1980-an, masyarakat di Paris belum bisa menerima lukisan wanita telanjang yang digambarkan sebagai bagian dari penduduk mereka sendiri. Lukisan wanita telanjang yang biasa mereka lihat adalah lukisan dewa dewi. Namun, tidak sampai satu dekade berselang, masyarakat Paris sudah bisa menerima lukisan-lukian telanjang tersebut.

Hal itu berbeda dengan Islam yang telah memberikan aturan jelas terkait mana aktivitas seni yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Hadits Nabi, “Tidaklah orang yang berakal itu beraktivitas kecuali untuk tiga perkara; untuk mencari penghidupan, untuk mencari bekal akhirat, dan untuk mencari penghiburan yang tidak diharamkan.” Para seniman Muslim memiliki batas-batas dalam pengembaraannya melakukan eksplorasi terhadap keindahan. Dalam hal ini kita tidak akan membahas beberapa kontroversi seni dalam Islam sebab telah banyak dijelaskan oleh para ulama dalam berbagai kitab.[11]

Innallaha jamilun, wa yuhibbul jamala. Allah itu indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud). Namun, Allah tidak serta-merta membebaskan hamba-Nya untuk melakukan eksplorasi tanpa batas. Allah menetapkan syariat semata-mata karena kasih sayang-Nya demi kemaslahatan umat manusia. Menurut HAMKA, seni yang sampai kepada puncaknya ialah gabungan di antara rasa keindahan (jamal), rasa kesempurnaan (kamal), dan rasa kemuliaan (jalal). Seni yang bernilai tinggi menyebabkan seniman lebur di bawah cerpu telapak kaki budi (etika) dengan kebenaran (al haq).[12] Seni akan bermanfaat kalau dengan sebab meresapkan rasa keindahan, kita bertambah dekat kepada Tuhan. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran Ilahi yang terpeta jelas di halaman alam. Lalu tunduk dan tafakur.[13]

Seni bukanlah ditujukan untuk seni itu sendiri, demikian menurut Ali Syari’ati dalam Islam Mahzab Pemikiran dan Aksi. Sebab, seni yang demikian hanyalah makanan empuk bagi pembuat tender dan petugas lelang yang mengalirkan uang ke istana-istana jutawan. Seni untuk seni hanyalah kedok yang digunakan untuk menutupi watak jahat seniman serta memberikan pembenaran atas sikapnya dalam menghindari tanggung jawab sosial.[14] Junaid al Baghdadi, seorang sufi terkenal, mengatakan bahwa kecantikan wanita adalah salah satu cabang keindahan, anugerah Ilahi. Sama halnya dengan keindahan kembang yang mekar, indah dilihat, tetapi jangan diganggu. Jangan diserumpunkan rasa keindahan dan seni dengan syahwat hawa nafsu.[15]

Seni Islam adalah seni yang memiliki nilai-nilai Ilahiah dan bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Dalam ajaran Islam, para seniman sebisa mungkin berusaha untuk tidak melakukan penggambaran terhadap makhluk hidup seperti manusia dan hewan. Kaidah tersebut tidak mengurangi keleluasaan mereka untuk menciptakan karya-karya seni yang agung. Para seniman menyiasatinya dengan melakukan stilisasi-stilisasi sehingga bentuk-bentuk tersebut tidak lagi menyerupai bentuk aslinya, seperti yang dapat disaksikan sekarang dalam sejumlah motif batik. Dalam seni arsitektur dan bangunan, Islam memiliki sejumlah karya monumental yang melebihi karya sejenis pada zamannya. Para seniman memanfaatkan teknik cahaya dan suara bangunan untuk menghasilkan sebuah arsitektur yang bernilai tinggi.

Teknik suara bangunan (Taqniyah Ash Shautiyyat Al Mi’mariyah) yang baru ditemukan oleh ilmuwan Harvard pada abad ke-20, sudah digunakan berabad-abad sebelumnya oleh perancang seni bangunan Islam. Mereka mengetahui bahwa suara memantul dari atap-atap yang cekung dan berkumpul di cekungan tertentu, seperti cahaya yang memantul dari kaca cekung.

Kritikus Prancis Henri Focillon berkomentar, “Aku tidak menjumpai sesuatu yang melepaskan pakaian luarnya dari unsur kehidupan, lalu mengajak kita kepada makna-maknanya yang terpendam selain bentuk-bentuk hiasan bangun Islam. Bentuk-bentuk tersebut tidak lain adalah buah pemikiran yang berdasarkan perhitungan yang rumit, terkadang berubah menjadi semacam gambar-gambar yang menjelaskan ide-ide filsafat dan makna-makna rohani. Namun, jangan sampai kita lupa bahwa bingkai kosong yang tampaknya kosong dari unsur hidup ini sebenarnya mengandung unsur kehidupan yang mengalir deras melalui garis-garis gambar. Dari garis-garis itu terbentuk berbagai macam unsur kehidupan, menjadi banyak dan terus bertambah, ada kalanya terpisah dan ada kalanya bertemu. Seolah ada ruh yang mencampurkan bentuk-bentuk itu, menjauhkannya, kemudian mengumpulkannya lagi. Setiap bentuk memiliki arti yang lebih dari satu yang tentunya hal ini membutuhkan penalaran dan kontemplasi manusia yang melihatnya. Semunya menyimpan dan mengungkap dalam waktu yang sama tentang rahasia kemungkinan dan energi tanpa batas yang ada di dalamnya.[16]

Larangan untuk menggambar makhluk hidup justru membuat para seniman terus mengembangkan kreativitas dan imajinasinya. Daya imajinasi dan perasaannya tajam bekerja. Hal itu membuat para seniman Islam tidak mandeg dan terhenti pada eksploitasi keindahan tubuh perempuan semata.

Selain terhadap seni itu sendiri, Islam juga telah memberikan batasan-batasan yang jelas kepada perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal seni. Batasan-batasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memasung kebebasan perempuan dalam berkesenian, melainkan untuk menjaga kehormatan perempuan sendiri. Perempuan diberikan kedudukan yang mulia dalam Islam. Kaum laki-laki dan perempuan yang beriman diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga pandangan mereka (An Nur: 30-31), serta menjauhi perbuatan zina (Al Isra: 32). Perempuan adalah ibu bagi generasi yang akan datang. Ketika perempuan dari sebuah bangsa rusak maka akan rusak pulalah generasi selanjutnya.

Sebagai penutup, tidak ada salahnya untuk mengingat perkataan M. Natsir, bahwa dalam gerak budaya manusia sekarang ini, tampak adanya perjuangan atau perebutan antara kebudayaan materialisme yang semata-mata benda dan kebudayaan yang berpangkal pada kesadaran rohani. Budayawan Islam harus kembali mengambil bagian dalam perkembangan kebudayaan serta melakukan risalahnya yang suci itu dalam mengisi kebudayaan dunia.[17]

 

*Mahasiswi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

 

[1] Katjik Soetjipto. Sejarah Perkembangan Seni Lukis Modern Jilid 1. (Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989). Hlm 60.

[2] Pada jilid 2 ini, semua halaman berisi lukisan-lukisan yang dikisahkan pada jilid I. Anda bisa menemukan betapa banyak lukisan wanita, termasuk wanita telanjang dalam buku ini. Sebut saja Ingres “La Source” (1820) yang disimpan di Museum Louvre Paris, “The Turkish Bath” (1852) yang menggambarkan belasan perempuan telanjang; Renoir “Bather” (1884); Cabanel “Birth of Venus (1863) di Pennsylvania Academy of the Fine Arts, Philadelphia; Titian “Venus of Urbino (1538); Manet “Olympia” (1863) di Louvre Paris, dan sebagainya. Lihat Katjik Soetjipto. Sejarah Perkembangan Seni Lukis Modern Jilid 2. (Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).

[3] Dikutip dari http://acehomegazen.blogspot.com/2011/02/peringkat-remaja-dalam-angka-situs.html, pada 11 November 2013.

[4] Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press, 2008). Hlm 136.

[5] Arif Budi Wurianto. “Perempuan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional dan Keadilan Gender”, dalam Siti Hariti Sastriyani (ed.). Women in Public Sector [Perempuan di Sektor Publik]. (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita UGM dan Tiara Wacana, 2008). Hlm 264-273. Lihat juga dalam buku yang sama, tulisan dari Sang Ayu Putu Sriasih, “Perempuan Bali dalam Kehidupan Berkesenian.” Hlm 253-263.

[6] Fuji Astuti. Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. (Yogyakarta: Kalika, 2004). Hlm 71-72. Buku tersebut merupakan tesis magisternya di Universitas Gadjah Mada tahun 2001.

[7] Dikutip dari http://www.ruanginfotips.com/2013/01/asal-mula-body-painting.html, pada 11 November 2013.

[8] Lebih jelasnya dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/World_Bodypainting_Festival; http://www.harianlahat.com/2012/07/world-bodypainting-festival-di-indonesia-2012/, pada 22 November 2013. Selain itu, festival tingkat dunia ini juga memiliki situs resmi di http://www.bodypainting-festival.com/en/.

[9] Dikutip dari http://travel.detik.com/read/2012/09/28/190344/2044564/1382/body-painting-di-sanur-festival-jadi-perhatian-wisatawan, pada 22 November 2013.

[10] Bandung Body Art Festival 2010, cek di http://www.behance.net/gallery/Bandung-Bodypainting-Festival/6871981, dan beberapa video di Youtube, seperti http://www.youtube.com/watch?v=mHy6Nn9XxBo.

[11] Lihat buku Yusuf Qardhawi. Islam Bicara Seni. (Solo: Intermedia, 1998). Tentang masalah nyanyian, lihat hlm 35. Selanjutnya, mengenai seni lukis, seni rupa, dan ornamen, lihat hlm 89; Selain itu, lihat juga Sidi Gazalba. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dan Seni Budaya. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), mengenai masalah seni islam dan seni muslim, hlm 131. Tentang masalah halal haram nyanyian, hlm 135-151.

[12] Hamka. Pandangan Hidup Muslim. (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1992). Hlm 136. Ismail Raji Al Faruqi dalam bukunya menyebutkan enam ciri karakteristik ekspresi estetis tauhid, yaitu abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi, dinamisme dan kerumitan. Lihat di Ismail Raji Al Faruqi. Seni Tauhid: Esensi dan Ekspresi Estetika Islam. (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999). Hlm 8-13.

[13] M. Natsir. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: PT. Girimukti Pasaka, 1988). Hlm 273-274.

[14] Zainal Arifin Thoha. Eksotisme Seni Budaya Islam: Khazanah Peradaban dari Serambi Pesantren. (Yogyakarta: Bukulaela, 2002). Hlm 70-72.

[15] Hamka. Pandangan Hidup Muslim… Hlm 134-135. Sebuah kisah menarik diceritakan dalam buku ini. Suatu ketika, HAMKA pernah melawat ke salah satu studio di Bali dan melihat lukisan perempuan telanjang. Pelukis tersebut minta maaf padanya. Kata Hamka, “… Jika kulihat lukisan ini dari rasa seni, samalah buatku seperti melihat kemang mekar juga. Aku melihat indahnya, tapi takkan kucabut dia daripada tangkainya. Keindahan kembang itu pun dipagari oleh Tuhan dengan duri atau miang. Dan bila kupatahkan kembang itu dari tangkainya, hendak kucari dimana letak keindahannya, lalu kukupas kelopaknya sejurai demi sejurai, niscaya akan habislah dia berantakan ke bumi. Kurusakkan susunan keindahannya yang asli karena nafsu ingin tahu, padahal aku tak dapat menyusun balik….”

[16] Raghib As-Sirjani. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2012). Hlm 682.

[17] Natsir. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah… Hlm 276.

REMAJA DAN PROBLEMATIKA CINTA

4

Cerpen Remaja Islam

Oleh : Sabriati Aziz, M.Si

Wasekjen Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia

 

Dunia remaja adalah  salah satu objek kajian yang selalu mendapat perhatian dari  banyak kalangan. Kita tentu  prihatin ketika melihat  pemberitaan di berbagai  media tentang  remaja yang bergaul bebas,  mengumbar syahwat atas nama cinta,  menjadi  pengedar dan pengguna narkoba, dan masih banyak lagi problem remaja di era modern ini.  Padahal remaja seharusnya tumbuh dengan  cinta yang positif dan produktif. Permasalahan remaja yang terjerumus ke dalam dunia percintaan yang mengarah kepada seks bebas disebabkan banyak hal, salah satunya adalah adanya legitimasi bahwa  remaja merupakan sosok yang  labil dan berada pada masa pencarian identitas. Sungguh hal ini tidaklah  tepat, karena faktanya, ada  juga remaja yang hidupnya tertata baik dalam  nilai agama dan moral.

Remaja vs Pemuda

Masa remaja adalah satu fase dalam siklus perkembangan manusia yang banyak dibahas oleh para ahli psikologi Barat. Secara  umum dikatakan bahwa masa ini adalah masa yang penuh gejolak, masa yang bergelimang dengan kegalauan, kebimbangan dan ketidak jelasan. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak dan tidak termasuk golongan dewasa atau tua (Monks dkk,1992). Oleh para ahli dikatakan bahwa remaja berasal dari kata latin  adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan pisik  (Hurloc,1992). Pendapat lain mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak kepada masa dewasa, yang dimulai sejak masa terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa dewasa muda (Soetjiningsih.2004:45).

Namun, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara pandangan  para ahli di Barat dengan konsep  Islam. Barat  menilai  masa remaja tidak memiliki tempat yang jelas.   Masa remaja adalah  masa peralihan dari masa kanak kanak ke dewasa muda yang cenderung berperilaku negatif.  Karena itu dalam paradigma Barat,  remaja yang bermasalah  dianggap wajar dan biasa  akibat masa pubertas tersebut.  Sedangkan ajaran Islam tidak pernah menjustifikasi dan  meligitimasi adanya penyimpangan moral atau perilaku negatif, termasuk di kalangan remaja. Islam memposisikan umur sebagai suatu fase pertumbuhan atau tahapan kehidupan manusia yang sangat potensial untuk penanaman nilai-nilai kebaikan. Al-Quran memberi penjelasan tentang fase kehidupan manusia surat Al-Mukmin  ayat 67. “ Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang ( anak), kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai (tua), di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).”

Ayat tersebut memberi pengertian bahwa secara garis besar fase manusia selama hidup  dibagi menjadi tiga fase,  yaitu masa anak-anak, dewasa dan tua.  Hal tersebut juga ditegaskan oleh Mahdi Bin Abud  bahwa Islam membagi  kualifikasi jiwa ( nafs)  manusia  berdasarkan fase usia, yaitu,  Nafs nabatiyah (janin), nafs hayawaniyyah (usia kanak-kanak),dan nafs insaniyah (fase dewasa). (Muhammad izzuddin.2006:101). Jadi dalam perkembangan jiwa manusia menurut konsepsi Islam tidak dikenal adanya  fase remaja yang menjadi fase pertengahan antara usia kanak-kanak dan dewasa. Apalagi jika fase pertengahan tersebut (baca remaja) dikaitkan dengan hal-hal yang cendrung negatif dan destruktif.

Problematika Cinta

Potensi ketertarikan pada lawan jenis merupakan insting biologis (garizah) yang dibawa sejak lahir. Potensi ini mulai aktual ketika hormon seksual diproduksi oleh tubuh di usia baliqh yang ditandai dengan perubahan pisik dan psikhis. Kecederungan ini adalah karunia Allah kepada manusia dalam rangka melanjutkan kehidupan ummat manusia..(lajnah pentashhihan.2012:11-12)

Dalam sudut pandang Islam, jika seorang anak telah sampai pada taraf  kematangan (muturation) secara seksual disebut baliqh. Masa baliqh ini adalah ketika seseorang telah sampai pada taklif   dan yang telah mencapainya disebut mukallaf,  yaitu orang tersebut telah dibebankan kewajiban syar’i kepadanya. Mulai saat itu seorang anak  disebut dewasa karena ia  harus mempertanggungjawabkan   setiap amal perbuatannya kepada Allah.  Apabila ia berbuat baik  maka akan  diganjar dengan pahala, sebaliknya jika  berbuat salah, maka ia akan mendapat balasannya di dunia maupun di akhirat.

Islam  memberi lampu hijau  untuk melakukan pernikahan setelah masa baligh ini. Selain karena sudah masa taklif, ia dianggap sudah mampu berpikir matang dan dapat  membedakan   baik dan buruk.  Pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan zina atau seks bebas merupakan hal yang dipandang baik dalam ajaran Islam.

Dalam hadist disebutkan : “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian telah memiliki kesanggupan berumah tangga maka hendaklah ia menikah, karena hal itu dapat embatasi pandangan  dan memelihara kehormatan, akan tetapi jika ia belum mampu melakukannya maka hendaklah ia berpuasa karena hal itu dapat menjadi perisai (HR.Bukhari Muslim)

Kata pemuda / syabaab dalam hadist tersebut diartikan sebagai seorang yang sudah mencapai usia baliqh dan belum mencapai 30 tahun (Abdurrahman,Ad-Dibaaj:8). Kematangan secara seksual memang menimbulkan dorongan syahwat untuk beraktifitas yang mengarah kepada kegiatan reproduksi. Hal inilah yang mendorong manusia menuju kehinaan apabila hasrat tersebut disalurkan secara bebas tanpa melalui pernikahan yang sah. Jika  sang pemuda tersebut belum mampu menikah maka Islam menganjurkan untuk  memperbanyak  puasa (tidak makan dan minum) serta  menahan diri  dari hal-hal yang mengarahkan kepada rangsangan syahwat.

Di jelaskan Dalam al-qur’an surah an-nisa’: 28.  Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukan bahwa manusia pada dasarnya lemah terhadap godaan seksual dan  tidak ada sesuatu yang paling lemah yang dimiliki oleh manusia kecuali urusan seksual (lajnah pentashhihan.2012: 15)

Kelemahan tersebut dimaknai sebagai problem manusia yang memiliki potensi untuk melampiaskan nafsu seksualnya secara tidak sah dengan dalih ketertarikan dan cinta kepada lawan jenisnya. Dalam sejarah juga ditemui berbagai macam penyimpangan perilaku manusia karena tidak mampu menahan nafsu seksualnya. Wajar jika al-qur’an mengatur sedemikian rupa masalah cinta dan seksualitas ini sesuai dengan fitrah manusia. Betapapun besarnya dorongan syahwat dan gejolak cinta dalam diri manusia, Islam tetap mengharamkan  hubungan percintaan diluar pernikahan.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa cinta terbentuk dari dua perkara : yaitu menganggap baik sesuatu yang dicintai  dan ingin mendapatkan serta menemuinya, Apabila salah satu dari dua unsur ini tidak terpenuhi maka tidak ada yang namanya cinta dan kerinduan. Pembahasan mengenai alasan dan sebab-sebab cinta  akan melelahkan banyak orang. Sebagian orang bahkan  membicarakannya dengan pembicaraan yang tidak layak untuk disebut sebagai kebenaran. Cinta memang terbagi beberapa jenis. Namun cinta yang paling baik dan mulia  adalah cita kepada Allah swt sehingga  cinta ini mengharuskan kita mencintai apa yang dicintai Allah swt. (Ibnu Qayyim, 2008:310). Siapakah  yang dicintai Allah dan kitapun mencintainya? Mereka adalah al-muhsiniin (orang-orang yang berbuat baik), al-muqsithiin (orang orang yang adil) al-mutawakkiliin (orang-orang yang bertawakkal), al-mutathahhiriin (orang-orang yang mensucikan diri), at-tawwabiin (orang-orang yang bertaubat, dan orang orang yang jihad fii sabililah (berperang dijalan Allah).

Sesungguhnya ruang lingkup cinta dalam Islam sangatlah luas jika dibandingkan dengan cinta syahwat yang terbatas fisik dan materi. Islam juga telah memberi solusi terhadap penyaluran cinta ketika seorang anak mulai baliqh. Islam menghendaki manusia untuk saling mengenal,  saling menolong dan melengkapi, tujuannya tak lain  adalah menuju  ketakwaan. Bukan berkenalan dan bergaul tanpa batasan syariat sehingga para pemuda  muslim salah  dalam memaknai cinta dan  terjebak dalam cinta terlarang.  Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan figur para pemuda pada masa kejayaan Islam  yang  telah  berjuang  dengan jiwa dan raga untuk Islam karena terdorong oleh rasa cinta  yang mendalam kepada  Allah dan Rasulullah.

KASIH SAYANG SEJATI YANG TERNODAI

1

no to valentine

Oleh : Bachtiar Natsir, Lc.

Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia
Sekjen Majelis Inteletual dan Ulama  Muda Indonesia (MIUMI)

 

Kasih sayang adalah kebutuhan primer setiap manusia karena manusia  terlahir dari rongga tubuh bundanya yang bernama Rahim. Rahim secara bahasa bermakna  kasih sayang. Allah ta’ala menciptakan manusia  berdasarkan kasih dan sayang-Nya sehingga menisbatkan salah satu asma’-Nya yang Agung pada nama rongga dalam perut seorang ibu. Inilah kasih sayang sejati yang Allah anugerahkan kepada manusia. Sebuah kasih sayang suci tanpa noda hawa nafsu.

Kasih sayang sejati merupakan bahasa dan ungkapan universal yang dapat dipahami oleh siapapun dengan bahasa apapun. Bahkan kasih sayang dapat dipahami oleh sesama manusia tanpa harus  menggunakan bahasa verbal. Begitu pula dalam hubungan antara manusia dengan hewan. Manusia dapat mengekspresikan dengan mudah kasih sayangnya pada hewan sehingga hewan dapat memahami sentuhan kasih sayang manusia tanpa perlu berkata-kata.

Kasih sayang sejati bersifat positif dan bermoral. Namun sangat disayangkan, makna kasih sayang sejati kini telah ternodai oleh dominasi syahwat sebuah budaya baru yang menyimpang di tengah masyarakat. Budaya baru itu bernama  valentine’s day yang  semaraknya begitu bergema ketika kita memasuki bulan Februari.  Kasih sayang yang bersifat suci tengah dikotori oleh mereka yang tak memahami hakekat kasih sayang menurut fitrah kemanusiaan dan  ajaran Islam.

Islam adalah agama Allah yang didasari oleh kasih sayang (din al-rahmah). Islam sebagai din,  menetapkan aturan dalam bentuk perintah dan larangan dalam mengekspresikan rasa cinta dan sayang agar seseorang tak terjerumus dalam kegelapan naluri kebinatangan.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “Sungguh Kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang kadal, niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”. (HR. Bukhari dan Musllim).

Untuk menghindari penyimpangan budaya Islam ke budaya Jahiliyah seperti yang diperingatkan Rasulullah SAW dalam hadits di atas,  maka para ulama bersepakat mengharamkan seorang muslim mengikuti budaya Valentine’s Day atau populer disebut hari kasih sayang, berdasarkan teks-teks syariat berikut;

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Thabrani dan Baihaqi).

Dalam banyak hal, Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk berbeda dan tidak menyerupai budaya non muslim demi menunjukkan identitas ke-islamannya. Bahkan  dalam ranah ibadah berlaku pula hal tersebut sebagaimana tersirat dalam hadits tentang puasa Asyura.

Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu hari yang diagungkan oleh kaun Yahudi dan Nasrani”. Rasulullah SAW. bersabda: “jika datang tahun depan, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan (9 Muharram)”. Ibnu Abbas berkata, “Belum datang tahun depan, tapi Rasulullah SAW telah wafat.” (HR. Muslim).

Merayakan valentine’s day berarti kita telah tasyabbuh(menyerupai) orang kafir dalam hal aqidah. Hal tersebut merupakan dosa besar yang sangat membahayakan status keimanan dan identitas keislaman seseorang.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa ketika Rasulullah SAW datang di Madinah, penduduk Madinah mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada hari itu. Nabi SAW. lalu bertanya: “Ada apa dengan dua hari itu? Mereka menjawab: “Kami biasanya menjadikan kedua hari itu sebagai hari bermain-main pada masa jahiliyyah”. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengganti kedua hari itu untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya yaitu Iedul fitri dan Iedul Adha. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Nasa`i).

Dalam hadits tersebut Nabi SAW menetapkan hari raya yang seharusnya dirayakan oleh umat Islam adalah Idul Fitri dan Idul Adha. Bersadarkan  hadits itu pula ditetapkan bahwa hari raya dalam Islam masuk dalam kategori ritual ibadah yang tidak boleh dicampur-adukkan dengan ritual dan hari raya kaum non muslim.

Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Iqtidha` al-shirath al-mustaqim menjelaskan hari raya merupakan bagian dari syariat, jalan hidup (manhaj) dan ibadah yang disebutkan Allah SWTdalam firman-Nya:

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS. al-Maidah [5]: 48).

Beliau melanjutkan, “Hal itu sama dengan kiblat, sholat dan puasa. Maka tidak ada perbedaan antara ikut serta dengan mereka dalam hari raya mereka dan ikut serta dengan mereka dalam ibadah-ibadah lain. Menyerupai mereka dalam semua perayaan hari raya itu merupakan bentuk menyerupai mereka dalam kekufuran, dan meyerupai mereka dalam sebagian perayaan itu adalah bentuk menyerupai mereka dalam sebagian cabang kekufuran. Bahkan, hari raya merupakan perkara yang paling jelas membedakan antara agama yang ada dan simbol yang paling nampak bagi suatu agama. Maka mengikuti dan menyerupai orang kafir dalam hari rayanya merupakan bentuk mengikuti dan menyerupai mereka dalam ajaran dan simbol kekufuran mereka yang paling jelas. Dan tidak diragukan lagi bahwa menyerupai mereka dalam hal itu bisa berakhir dalam kekufuran.

Setiap usai perayaan hari valentine berapa banyak kondom berserakan di tempat-tempat keramaian. Manusia seperti telah kehilangan naluri kemanusiaannya dalam mengekspresikan kasih sayang. Penjualan kondom di apotek-apotek dan toko-toko pada hari itu dikabarkan melonjak drastis. Mayoritas pembelinya pun anak-anak dan pemuda yang belum menikah.  Betapa meresahkan budaya permisif yang sudah menjangkiti masyarakat kita. Banyak orang tidak lagi merasa risih menyaksikan bencana sosial tahunan ini dan justru ikut serta menyemarakkan perayaan valentine.  Para orang tua seolah menutup mata  terhadap tingkah laku anak-anaknya dan menganggap  berkencan di hari valentine adalah sesuatu yang wajar dan alamiah.

Ketahuilah bahwa orang tua yang mendidik anak-anak perempuannya dalam kebajikan diibaratkan sedang membangun jembatan menuju Surga, dan  sebaliknya, para  orang tua yang mengabaikan pendidikan akhlak anak perempuannya mereka tengah membangun jalan ke Neraka.  Pada hari valentine anak-anak perempuan kitalah yang paling dirugikan. Kalaupun ada sedikit manfaat dari hari kasih sayang itu; misalnya merayakan kasih sayang antara suami dengan istri,  ibu dengan anak atau adik dengan kakak; namun kenyataannya, hari valentine telah  dipropagandakan sedemikian rupa untuk mendorong dan menyuburkan hubungan syahwat antara sepasang kekasih yang belum berstatus suami istri.

Sudah seharusnya  pemerintah prihatin dengan masalah ini dan tidak berdiam diri. Para tokoh agama juga harus  bertanggung jawab serta bekerja sama untuk mencari solusi  terhadap penyimpangan budaya di tengah masyarakat kita. Begitu pula dengan para  pelaku usaha,  jangan menutup mata terhadap bencana sosial yang sedang menimpa generasi bangsa ini hanya karena valentine memberi keuntungan bisnis. Dan kepada para orang tua yang masih perduli dengan moralitas bangsa, marilah kita bersama sama mengokohkan  sendi-sendi rumah tangga dengan  mendidik keluarga kita dengan kasih sayang sejati.  Wallahu a’lam bish shawab.

Direktur the Center for Gender Studies (CGS): Islam Tidak Bias Gender

0

tft-aila

Gerakan Feminis dan wacana Kesetaraan Gender hingga kini masih bergulir, bahkan sudah merambah pada ranah agama, seperti masalah waris dan perkawinan, bahkan Direktur CGS, Dr. Dinar Dewi Kania menerangkan, oleh feminis radikal, hubungan suami istri dalam pasangan heteroseksual kerap kali disebut sebagai pemaksaan. Hal ini sangat jelas karena konsep feminisme berangkat dari kebencian perempuan Barat terhadap laki-laki karena penindasan yang mereka alami selama berabad abad. Namun alih alih menawarkan solusi, gerakan ini justru semakin ekstrim dan tidak konsisten. 

“Coba tunjukkan pandangan-pandangan dari feminisme yang tidak mengacu kepada kebencian kepada laki-laki. Karena ada konsep patriarki, itu yang mereka serang. Feminisme saat ini adalah Man Hating movement. Semua laki–laki dianggap pemerkosa (menurut feminis radikal, red), sehingga hubungan suami istri heteroseksual disebut penindasan”, terangnya saat mengisi Training for Trainers di Sekretariat AQL (Ar-Rahman Qur’anic Learning Center), Senin, 27/01/2014.

Di media sosial, ungkap Dinar, masih gencar-gencarnya gerakan feminis radikal bernama FEMEN yang berasal dari Ukraina dan kini bermarkas di Paris.

“Mereka amat provokatif, salah satu caranya dengan naked war. Tampil telanjang ke depan tokoh-tokoh, seperti ke Vladimir putin, Erdogan dan lainnya. Musuh mereka adalah Patriarki, religion, Sex industry”, ungkapnya.

Padahal Islam itu menyelaraskan antara organ dan pikiran sebagai perempuan dan ia tidak bias gender, seperti Kristen yang dalam bible dikatakan kejahatan laki-laki lebih baik daripada perempuan.

“Banyak ketidakkonsistenan feminisme karena mereka berdasar pada sesuatu yang rapuh, bukan berdasarkan agama. Kesetaraan dalam islam itu selalu dikaitkan dengan ilmu dan ketakwaan, bukan dengan jenis kelamin. Justru Islam itu tidak bias gender. Islam itu punya konsep keadilan. Adil itu tidak harus setara”, jelasnya.

Sehingga, kata Ibu dua anak ini, kajian perempuan harusnya difokuskan dengan menggali khasanah keilmuan klasik, bagaimana dulu perempuan Islam itu bisa berjaya tanpa menyalahi kodratnya.

“Tapi sayang, yang terjadi saat ini justru Islam diukur melalui kacamata feminisme dan bukan sebaliknya. Inilah yang kita  coba kritisi.”, tandasnya.

CINTA

0

cinta

Oleh: Wido Supraha*

Cinta adalah nikmat Allah Jalla wa ‘Ala yang dianugerahkan kepada setiap hamba-Nya. Begitu besar perhatian manusia sepanjang sejarah kehidupan tentang cinta sejalan dengan perhatian manusia yang besar terhadap hati mereka, sebuah perwujudan pengagungan atau perhatian atau luapan kecintaan kepadanya, yang seperti singa dan pedang, atau seperti bencana besar atau seperti arak yang memabukkan, dan tiga pengertian ini menyatu di dalam cinta.

Maka wajar begitu banyak istilah yang disematkan kepada kata cinta hingga hari ini, bahkan melebih 50 istilah. Di antaranya kasih sayang (al-mahabbah), hubungan (al-‘alaqah), hasrat (al-hawa), kerinduan (as-shabwah), kerinduan yang halus (ash-shibabah), cinta mendalam (asy-syaghaf), cinta (al-miqats), cinta disertai rasa sedih (al-wajdu), cinta mendalam (al-kalafu), penghambaan (at-tatayyamu), cinta yang meluap-luap (al-‘isyq), cinta membara (al-jawa), sakit karena cinta (ad-danfu), cinta yang berakhir kegelisahan dan kesedihan (asy-syajwu), rindu (asy-syawaq), cinta yang mengecoh (al-khilābah), cinta yang gelisah (al-balābil), cinta yang memuncak (at-tabārīh), cinta yang berakhir dengan sesal (as-sidam), lalai dan mabuk (al-ghamarāt), takut (al-wahal), membutuhkan (asy-syajan), hangus (al-lā’ij), merana karena sedih (al-aktiāb), derita cinta (al-washab), kesedihan (al-huzn), kesedihan yang terpendam di dalam hati (al-kamadu), terbakar api (al-ladz’u), gejala cinta (al-huraqu), sulit tidur (al-araqu), sedih (al-lahfu), belas kasih (al-hanīn), tunduk (al-istikānah), derita cinta (at-tabālah), terbakar kerinduan (al-lau’ah), ujian cobaan (al-futūn), tidak waras (al-junūn), setengah gila (al-lamamu), binasa (al-khablu), teguh (ar-rasīs), penyakit yang merasuk (ad-dā al-mukhāmiru), kasih yang tulus (al-wuddu), satu cinta (al-khullah), sahabat (al-khilmu), cinta yang dibutuhkan (al-gharamu), sangat dahaga (al-huyamu), linglung (at-tadliyah), bingung (al-walahu), penghambaan (at-ta’abbud), dan banyak lagi istilah-istilah lainnya. Namun istilah yang telah disebutkan ini adalah yang paling tepat dimasukkan ke dalam kategori cinta, sebagaimana Ibn Qayyim al-Jauziyyah di dalam Raudhah al-Muhibbīn wa Nuzhah al-Musytaqīn.

Cinta dapat hadir karena ada motif dan pendorongnya, jika belum ada, maka munculkanlah motif dan pendorong cinta. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alai wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita, maka hendaklah dia memandang apa yang mendorongnya untuk menikahinya, karena yang demikian itu lebih layak untuk merukunkan di antara keduanya.” (HR. Abu Daud).

Maka sepasang suami-isteri yang telah melalui ikatan pernikahan sekian lamanya, hendaknya bersama-sama melakukan introspeksi dan menghadirkan apa motif dan pendorong terlahirnya cinta yang akan menguatkan bahtera dalam sakinah, mawaddah, rahmah dan da’wah. Pernikahan yang tercipta karena kerinduan meraih cinta kepada Allah akan melahirkan aktifitas turunan yang bertemakan cinta, seperti mendidik anak dengan cinta, membimbing istri dengan cinta, suami bekerja mencari nafkah karena cinta, dan ayah mengajarkan ilmu kepada anaknya dengan cinta, bahkan seorang suami dapat mengatakan kepada isterinya, “Disebabkan oleh Cinta, kupercayakan rumahku padamu.” [1]

Cinta yang hadir di antara orang-orang beriman bisa menjadi begitu kuat karena mereka merasakan ikatan yang sama, kecocokan dalam satu keadaan, perbuatan dan tujuan yang sama, menyatukan hati mereka laksana satu tubuh, satu tubuh yang amat besar. Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan mereka laksana satu tubuh. Jika ada satu anggotanya yang sakit, maka semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur (HR. Muslim).

Kecintaan yang begitu mendalam akan melahirkan konsentrasi yang tinggi terhadap sesuatu dan meniadaan sesuatu yang lain secara sempurna, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kecintaanmu kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli. (HR. Ahmad).

Ketika seseorang mencintai ilmu, maka ia tidak lagi merasakan penting selainnya. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Satu bab mempelajari ilmu lebih aku cintai daripada dunia dan segala isinya.”[2]

Ketika seseorang mencintai Allah maka ia pun ingin ada sekian banyak saudaranya dalam tubuh yang besar itu juga mencintai Allah dan aktifitas apapun akan dilakukannya untuk melahirkan satu tubuh besar yang mencintain Allah. Berkata al-Hasan al-Bashri, “Hamba yang paling dicintai Allah adalah hamba yang membuat Allah dicintai hamba lainnya dan mengamalkan nasihat di muka bumi ini.”[3]

Benar bahwa ia saat ini hidup di dunia sehingga realistis baginya untuk mengupayakan kebaikan untuk hidupnya di dunia, namun ia sama sekali tidak mencintainya kecuali bersungguh-sungguh menjadikan aktifitasnya di dunia untuk meraih cinta yang hakiki di akhirat. Nasihat besar dari al-Hasan al-Bashri dalam hal ini, “Tidak ada yang lebih membuatku tercengang daripada rasa kagetku melihat orang yang menganggap mencintai dunia adalah dosa besar. Sungguh mencintai dunia adalah perbuatan dosa besar. Sebab, semua dosa besar bersumber dari mencintai dunia, penyembahan berhala dan bermaksiat kepada Allah terjadi karena mencintai dunia serta perilaku lebih mengutamakannya?”[4]

Seorang ulama besar yang lahir di Bashrah pada pertengahan tahun ke-2 abad ke-2 Hijriyah, Al-Imam Abu ‘Abdullah al-Harits bin Asad al-Muhasibi (wafat 243 H), memiliki wawasan yang luas dan keilmuan mendalam di bidang fikih, hadits, sekaligus seorang ahli kalam yang meninggalkan karya tulis dengan jumlah yang sangat banyak membahas tentang zuhud, akhlak, pendidikan dan kelembutan hati (ar-raqa’iq), sehingga ia pun dijuliki dengan al-Muhasibi karena banyaknya ber-muhasabah (introspeksi diri), menulis bahwa sesungguhnya permulaan cinta adalah ta’at, dan ta’at itu terlahir dari cinta kepada Allah Jalla wa ‘Ala, karena Dialah yang memulai hal tersebut, dan karena Dia memperkenalkan diriNya kepada mereka, menunjukkan kepada mereka untuk menaati-Nya, dan memperlihatkan kasih sayang kepada mereka dengan mencukupi mereka. Lalu Dia menjadikan kecintaan terhadap diri-Nya itu sebagai titipan dalam hati para pecinta-Nya, kemudian Dia memakaikan mereka cahaya yang terang dalam lafazh-lafazh mereka karena kuatnya cahaya kecintaan-Nya dalam hati mereka. Ketika Allah melakukan hal tersebut kepada mereka, Dia memperlihatkan mereka – sebagai bentuk kegembiraan pada mereka, kepada para malaikatnya, hingga seluruh penduduk langitpun mencintai mereka. [5]

Lebih lanjut, Abu ‘Abdullah al-Muhasibi berkata bahwa yang paling memberikan manfaat bagi seorang mukmin untuk mengobati diri dalam urusan agamanya adalah memutus rasa cintanya terhadap dunia dari hatinya. Apabila dia melakukan itu, maka ringan untuk meninggalkan dunia[6], dan mudah untuk menggapai akhirat, namun dia tidak dapat berada di atas keadaan tersebut kecuali dengan berbagai perlengkapannya. Yang menjadi pangkal perlengkapannya adalah pikiran, pendek angan-angan, mengulangi tobat dan kesucian, mengeluarkan rasa mulia dalam hati, senantiasa bersikap rendah hati, membangun hati dengan ketakwaan, mengekalkan kesedihan dan banyaknya kegelisahan yang datang padanya. Betapa banyak orang yang beramal dengan amal yang telah dipaparkannya sementara kecintaannya terhadap dunia dalam hatinya pun bertambah, dan banyak orang yang tidak memperbanyak amal-amal tersebut, namun cintanya kepada dunia semakin berkurang, karena dia mengambilnya melalui jalannya. Maka di dalam Adab an-Nufus (hlm. 136) beliau mengatakan, “Karena sesungguhnya hati yang disertai dengan berpikir akan menjadi hidup jika memikirkan akhirat, dan akan menjadi mati jika memikirkan dunia.”

Seorang ulama fikih bermadzhab Hambali yang juga seorang penasihat, ahli tafsir, ahli hadits dan budayawan yang digelari Jamaluddin (Keindahan Agama) yang bernama Abul al-Faraj, Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali al-Qurasyi at-Taimi al-Bakri (lahir 511 H, wafat 597M), atau ia juga dikenal dengan nama Ibn al-Jauzi (panggilan yang dinisbatkan pada salah satu kakeknya yang dikenal dengan al-Jauzi karena menjual jauzah (jenis buah di daerahnya) pernah berkata, “Bersihkanlah hatimu dari berbagai kotoran karena cinta itu tidak akan diberikan kecuali dalam hati yang bersih. Apakah kamu tidak melihat seorang petani memilih tanah yang baik, menyiraminya dan mengairinya, kemudian membajaknya dan mengawasinya. Setiap dia menemukan batu di dalamnya, maka dia akan melemparkannya, dan setiap dia melihat yang dapat merusak tanahnya, maka dia menyingkirkannya, kemudia dia menaburkan benih ke dalamnya dan menjaganya dari berbagai hal yang dapat merusaknya. Begitu pula dengan Allah Jalla wa ‘Ala.”

Lebih lanjut beliau berkata, “Jika seorang hamba ingin dicintai oleh-Nya, maka hendaknya dia memangkas berbagai duri kesyirikan dari hatinya, lalu membersihkannya dari kotoran-kotoran riya dan keraguan, kemudian menyiraminya dengan air tobat dan inabah, lalu membajaknya dengan seretan rasa takut dan ikhlas, lalu menyamakan batin dan zhahirnya dalam ketakwaan, kemudian meletakkan benih hidayah di dalamnya, maka berbuahlah benih-benih cinta.” [7]

Berkata al-Muhaqqiq al-Hafizh Syamsuddin Abu ‘Abdullah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sa’d bin Harits az-Zar’i ad-Dimasqy yang terkenal dengan Ibn Qayyim al-Jauziyyah (lahir 691 H, wafat 751 H, namanya dinisbatkan kepada sekolah yang didirikan oleh Yusuf bin Abdurrahman al-Jauzi karena ayahnya turut mendirikannya), “Setiap kesalahan yang terjadi di jagat raya ini, pangkalnya adalah cinta dunia. Janganlah engkau melupakan kesalahan kedua nenek moyang kita dahulu, karena sebabnya adalah cinta kekekalan di dunia. Janganlah engkau melupakan dosa iblis, karena sebabnya adalah cinta kepada kekuasaan, yang rasa cintanya lebih buruk daripada cinta dunia. Dengan sebab itu pula Fir’aun, Haman serta bala tentaranya, Abu Jahal serta kaumnya dan bangsa Yahudi menjadi kufur.”

Lebih lanjut beliau berkata, “Cinta dunia dan kepemimpinan yang menyebabkan manusia masuk ke dalam neraka, sedangkan zuhud terhadap dunia dan kekuasaan yang menyebabkan manusia masuk ke dalam surga. Mabuk sebab cinta dunia lebih berbahaya dibandingkan mabuk meminum khamr. Pemabuk cinta dunia tidak akan sadar hingga dia berada dalam kegelapan liang lahat. Anda saja penutupnya dibuka dalam memandang dunia, maka dia pasti mengetahui bahwa apa yang dia lakukan adalah kemabukan, dan itu lebih berbahaya dibandingkan mabuk khamr.” [8]

Maka marilah kita hadirkan cinta dalam seluruh kerja-kerja besar kita agar melahirkan harmoni. Cinta yang tidak bertujuan duniawi akan tetapi ukhrawi, karena hanya cinta seperti ini yang akan melahirkan energi besar untuk berkarya di dunia, karena hanya di dunia tempat bertanam cinta untuk merasakan semaiannya kelak.


[1] Persis seperti judul sebuah buku yang ditulis oleh Mohammad Fauzil Adhim

[2] Shalih Ahmad asy-Syami, Nasihat Ulama Salaf, hlm. 133

[3] Ibid, hlm. 139

[4] Ibn Jauzi, Al-Hasan al-Bashri, hlm. 38-39

[5] Tahdzib Hilyah al-Auliya (3/273)

[6] Maksudnya meninggalkan ketamakan terhadap harta dunia, dan menjadikannya hanya sebagai perantara dan bukanlah sebuah tujuan

[7] Lihat al-Yawaqit al-Jauziyah fi al-Mawa’izh an-Nabawiyah, tahqiq Sayyid bin Abdul Maqshud, Muassasah al-Kutub ats-Tsaqafiyah (hlm. 139)

[8] Lihat Iddatush Shabirin, cetakan Darul Kitab al-Arabi (hlm. 266)

 

*kandidat doktor pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun

Sumber: https://wido.wordpress.com/2014/01/21/cinta/

 

 

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now