Home Blog Page 17

Pengiriman TKW ke Luar Negeri Harus Distop Total

0

Thisisgender.com-Beredarnya iklan “Indonesian Maids Now On Sale” beberapa waktu lalu membuat geram banyak pihak. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (M-HTI) dua hari lalu mengadakan Jumpa Pers dan Seminar sebagai respon atas Kontroversi Iklan “TKW (Tenaga Kerja Wanita) On Sale”.

Iffah Ainur Rochmah, juru bicara Muslimah HTI, mengakui sudah beberapa kali melakukan pernyataan sikap ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tapi faktanya, pelecehan dan kekerasan terhadap TKW masih kerap kali terjadi.

“Iklan tersebut sudah ada tapi kenapa tidak ada tindakan dari pemerintah?”, protesnya saat Jumpa Pers di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta, Selasa (06/10/2012).

Ia menerangkan, selama ini banyaknya perempuan yang memutuskan untuk menjadi TKW karena problem pengelolaan Sumber Daya Alam oleh pemerintah Indonesia yang kapitalistik sehingga menyebabkan banyaknya pekerja yang tidak terserap.

“Mereka menjadi TKW karena kehidupan mereka tidak terpenuhi secara layak”, ujarnya.

Padahal, menurutnya, bukanlah sesuatu yang sulit bagi pemerintah untuk memberikan mereka pekerjaan yang layak dan mengatasi kemiskinan bangsa tidak harus mengeksploitasi perempuan.

Oleh karena itu, solusi satu-satunya adalah menghentikan total pengiriman TKW ke luar negeri.

“Stop totally pengiriman TKW ke seluruh negara yang menjadi pengiriman TKW! Penghormatan terhadap perempuan adalah mutlak, harga mati dan kehormatan perempuan seharusnya dilindungi bukan dieksploitasi!”, serunya.

Rep: Sarah

Red: Kholili Hasib

Biarkan Kami “Homophobia”!

0

Oleh: Abdullah al-Mustofa

Thisisgender.com-Homophobia meningkat di Indonesia. Demikian kesimpulan yang dibuat oleh Ourvoice, salah satu lembaga yang memperjuangkan hak-hak kelompok LGBT di Indonesia. Kesimpulan tersebut berdasarkan perbandingan hasil survei yang dilakukan Lingkar Survei Indonesia (LSI) terhadap responden yang menyatakan tidak nyaman hidup bertetangga dengan “generasi penerus kaum Nabi Luth” yang menunjukkan angka 64,7% pada tahun  2005 dan 80,6% pada tahun 2012.

(http://www.ourvoice.or.id/id/2012/10/lsi-homofobia-meningkat-di-indonesia/)

Bicara mengenai homophobia, penulis menemukan fakta menarik yang disajikan oleh sebuah buku yang berjudul “Re-Orienting Western Feminisms Women’s Diversity In Postcolonial Word” (Cambridge: Cambridge University Press, 1998) karya Chilla Bulbeck yang penulis pinjam dari perpustakaan International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur. Ternyata bukan Muslim Indonesia saja yang mengalami homophobia. Di bandingkan Timur, Barat baik masyarakat dan pemerintahnya yang lebih bisa mengakui dan menerima perilaku dan pelaku homoseksual, juga mengalami hal yang sama.

Kenyataan ini mematahkan pernyataan Dede Oetomo, aktivis homoseksual pendiri Gaya Nusantara, salah satu organisasi LGBT di Indonesia, dalam fit and proper test calon komisioner Komnas HAM di Komisi III DPR RI, Selasa (16/10/2012). Dia menegaskan:

“Kita ini meniru homophobia dari Barat, padahal di Barat homophobia sudah selesai.”

http://www.ourvoice.or.id/id/2012/10/dede-utomo-bertekad-perjuangkan-homoseksual-dan-waria-jika-terpilih-menjadi-komnas-ham/

Seputar Homophobia

Dengan merujuk kepada beberapa sumber, laman Wikipedia mendefinisikan homophobia sebagai berikut:

“Homophobia is a range of negative attitudes and feelings toward homosexuality or people who are identified or perceived as being lesbian, gay, bisexual or transgender (LGBT).”

(Homophobia adalah berbagai sikap dan perasaan negatif terhadap homoseksualitas atau orang-orang yang diidentifikasi atau dianggap sebagai lesbian, gay, biseksual atau transgender (LGBT).

Informasi detil tentang homophobia bisa merujuk pada halaman web berikut: http://en.wikipedia.org/wiki/Homophobia

Homophobia Dalam Masyarakat Barat Modern

Chilla Bulbeck, professor di jurusan Women’s Studies di University of Adelaide dalam bukunya tersebut dalam sub bab Homosexual Acts and Homosexual Lives (hal. 149) dengan mengutip dari buku “Epistemology of the Closet” (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1990) karya Eve Kosofsky Sedgwick menyatakan meskipun masyarakat Barat memiliki subkultur homoseksual, mereka juga memiliki homophobia yang kuat dan sikap-sikap yang kontradiksi bagi ekspreksi identitas gay.

Sebagai contoh, kata Sedgwick, homophobia dan sikap kontradiksi yang ada di Amerika Serikat. Meskipun pengadilan di Amerika memperbolehkan seseorang menjadi gay tapi sejumlah negara bagian melarang perbuatan sodomi.

Contoh-contoh homophobia di Amerika Serikat diberikan oleh halaman web resmi jurusan psikologi University California cabang Davis. Contoh yang diberikan di antaranya seperti kurangnya proteksi legal terhadap diskriminasi anti gay dalam pekerjaan, akomodasi/perumahan, dan pelayanan umum; permusuhan kepada lesbi dan gay yang berkomitmen menjalin hubungan; dan adanya hukum sodomi di lebih dari sepertiga negara bagian.

Sedangkan homophobia di Eropa dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization). Wilayah Eropa. Dalam situsnya, organisasi tersebut menyatakan meskipun negara-negara anggota Dewan Eropa dan Eropa Bersatu dengan jelas telah menyatakan komitmennya untuk menghilangkan diskriminasi atas dasar orientasi seksual dan standar telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga Hak  Asasi Manusia Eropa, tapi masih merebak homophobia di Eropa dan masih adanya berbagai problem dalam melindungi dan mempromosikan hak-hak orang lesbi, gay, biseksual dan transgender seperti masih berlakunya aturan hukum di beberapa bagian wilayah Eropa seperti negara-negara bekas Uni Soviet yang menyatakan hubungan seks antara lelaki adalah tindakan kriminal. (www.euro.who.int)

Kampanye Melawan Homophobia

Setiap tanggal 17 Mei para pelaku dan pendukung homoseksual internasional merayakan International Day Against Homophobia (IDAHO). Event ini pertama kali diadakan pada tahun 1995 yang diselenggarakan di lebih 40 negara.

Pada tanggal yang sama, tepatnya 17 Mei tahun 1990 yang lalu. Hari itu adalah hari keramat, bersejarah dan tentu saja membahagiakan bagi komunitas gay dan lesbi internasional. Margaret Chan,  Direktur Umum WHO, mengatakan WHO secara resmi pada hari itu telah menghilangkan homoseksualitas dari daftar the International Classification of Diseases. (www.euro.who.int)

Kebanyakan organisasi hak asasi manusia seperti Human Right Watch dan Amnesti Internasional mengutuk undang-undang yang menghukumi hubungan homoseksual antara orang dewasa yang suka sama suka sebagai tindakan kriminal. Sejak 1994, Komite Hak Asasi Manusia PBB juga telah menetapkan bahwa undang-undang semacam itu melanggar hak privasi yang dijamin Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Kesimpulan dan Harapan

Meskipun hasil survei LSI tersebut tidak bisa mewakili suara masyarakat Indonesia keseluruhan dan periode penelitiannya sangat singkat, suara responden yang menyatakan enggan dan tidak nyaman bertetangga dengan  gay dan lesbi harus kita syukuri dan bisa dipahami. Mereka menyatakan suara demikian disebabkan oleh dorongan iman, pemahaman agama mereka yang baik, serta naluri kemanusiaan dan fitrah agama mereka yang masih berfungsi dengan baik yang menyebabkan benci, takut dan merasa jijik dengan perilaku homoseksual. Perasaan inilah yang mendorong mereka akhirnya juga merasakan hal yang sama kepada pelakunya sekaligus.

Masyarakat Barat yang “katanya” lebih modern, toleran, dan rasional dibanding masyarakat Timur saja juga masih banyak yang mengalami homophobia. Hal ini menunjukkan, secara naluri mereka menolak perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.

Masyarakat Barat pun masih menyimpan rasa homophobia. Tidak mengherankan perjalanan masih panjang (atau bahkan tidak berujung), berliku, terjal, memayahkan dan sulit bagi para pelaku dan pendukung homoseksual di dunia Barat untuk “menghandel” bangsanya dalam usaha menghilangkan homophobia di kalangan mereka sendiri.

Oleh karena itu, dengan segala hormat, wahai para pelaku dan pendukung homoseksual, jangan “obok-obok” kami! Jangan paksakan standar yang kalian buat dan anut! Biarkan “homophobia” (dalam arti membenci dan takut perbuatan homoseksual tapi tidak membenci dan takut kepada pelaku homoseksual) melekat pada kami!

Meskipun “homophobia” ada pada diri kami, namun kami terdorong untuk mengajak mereka terutama yang Muslim untuk “back to nature” (kembali ke fitrah)  yakni menjalani kehidupan yang normal sesuai dengan tujuan penciptaannya. Wallahu a’lam.

Penulis Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur Malaysia

Kampanye Homoseksualitas Mengkhawatirkan

0

Oleh: Kholili Hasib*

Usaha pelegalan homoseks di Indonesia menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Di Indonesia sudah lama terdapat komunitas yang bernama ‘GaYa Indonesia”, perkumpulan khusus kaum Gay. Keberadaan mereka memang tidak terlalu terbuka, tapi menurut pengamatan aktivis kesehatan, perkembangannya sudah menjamur.

Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu membuat sistem kontrol terhadap penderita kelainan seksual tersebut. Di lain pihak, tantangan meredam homoseksualitas itu makin besar, menyusul munculnya survey yang menstigmatisasi bahwa melarang homoseks merupakan tindakan intoleran.

Kita patut khawatir, sebab tren homoseks untuk kalangan tertentu ternyata bukan sesuatu yang eksklusif lagi atau dosa yang harus ditutup-tutupi. Kita bisa simak, beberapa waktu yang lalu MA meloloskan Dede Oetomo (DO), aktivis gay, sebagai calon anggota komisioner Komnas HAM. DO berani mengatakan dihadapan jurnalis Islam, “Homoseksual tidak dosa jika dilakukan suka sama suka”. DO juga mengaku, jika lolos jadi anggota komisioner Komnas HAM, ia akan memperjuangkan LGTB (Lesbianisme, Gay, Transgender dan Biseksual).

Meski DO akhirnya tidak lolos jadi anggota Komisioner Komnas HAM, namun bukan berarti kampanye legalisasi homoseks tidak akan mengkhawatirkan lagi.

Pada 28 Maret 2010 Polwiltabes Surabaya akhirnya membatalkan izin kongres ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association) di Surabaya. Bagi kalangan medis, kongres ILGA di Surabaya tersebut dikhawatirkan memicu menjamurnya penyakit seksual. Norma-norma Islam dan Kristen juga melarangnya. Penolakan aktivis kesehatan dan agamawan tersebut rasional dan bisa dimengerti.

Namun baru-baru ini, Lembaga Survey Indonesia (LSI) merilis hasil survei di Jakarta pada Minggu, 21 Oktober 2012 yang mengungkap banyaknya masyarakat yang intoleran terhadap keberagaman. Sikap intoleran ditunjukkan dengan ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual. Masyarakat yang menolak homo dan lesbi disebut intoleran.

LSI menemukan bahwa intoleransi terhadap kaum homoseksual lebih tinggi dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi’ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen dan 46,6 persen dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut Syiah atau Ahmadiyah.

Opini yang hendak dibentuk dari survey LSI tersebut adalah bahwa orang yang tidak menyukai perilaku homoseks sebagai kelompok yang tidak toleran. Benarkah hal ini bentuk intoleransi? Maki kita kembalikan kepada perspektif agama dan kesehatan. Homoseks dan lesbi dalam pandangan agama, baik Islam dan Kristen sebagai bentuk tindak kejahatan. Secara medis-psikologis, homoseks termasuk kelainan seksual.

Kitab Bibel mengutuk keras pelaku homoseks, karena dinilai perbuatan keji tidak manusiawi. Kitab Imamat 20:30 mengatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

Dalam Bibel versi King James tertulis, “Jika seorang pria berbaring dengan pria lain, sebagaimana ia berbaring dengan seorang wanita, keduanya telah melakukan kejahatan: mereka harus dihukum mati; darah mereka harus ditumpahkan”.

Dalam pandangan Islam, homoseks disebut liwath, termasuk dosa besar dan perbuatan kotor yang keluar dari fitrah suci. Ia juga merupakan kelainan.

Rasulullah saw bersabda, “Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (homoseks) ”(HR. Ahmad). Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” (HR Ibnu Majah).

Imam Syaf’i berfatwa bahwa, pelaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.

Pandangan normatif agama tidak berbedah jauh dengan perspektif medis. Secara medis homoseks dan lesbi memicu penyakit menular berbahaya, yaitu siphilis, gonorrhoea, dan AIDS. Praktik tersebut juga memicu menurunnya daya pikir disebabkan oleh menurunnya fungsi simpul-simpul syaraf. Prof. Dr. Malik Badri, pakar psikologi asal Sudan, menyarankan agar pelaku-pelaku homoseks dan lesbi diterapi khusus. Pengobatannya dilakukan secara simultan dan bertahap.

Tidak ada celah dalam agama dan medis untuk pelegalan homoseksualitas.  Dalam perspektif agama disebut sebuah tindakan kriminil (jarimah) sedang dalam medis-psikologis perbuatan homoseks merupakan kelainan.

Pertanyaannya, bagaiman mungkin LSI menilai masyarakat intoleran gara-gara menolak tindak kriminil dan kelainan seks seperti homoseks ini?

Di sinilah persoalannya. Toleransi dalam cara pandangan LSI ternyata berideologi relativisme. Pihak Danny JA Foundation, lembaga yang menaungi LSI juga menyatakan orang berorientasi seksual sejenis masih tidak diterima masyarakat. Artinya, tidak boleh ada penghukuman salah terhadap orang berorientasi seksual sejenis. Relativisme mengajarkan tidak ada pendapat yang paling benar. Relativisme melampaui toleransi, karena mencurigai kebenaran, bahkan meragukan kebenaran itu sendiri. Jika kebenaran dicurigai, maka sama saja dengan intoleran terhadap kebenaran. Berarti wacana intoleran terhadap homoskes sesungguhnya sesungguhnya intoleran terhadap kebenaran agama.

Makanya, pemerintah harus tegas.  Jika tidak ada undang-undang penindakan tegas, pelaku homoseks akan merasa aman-aman saja. Masyarakat harus dilindungi, generasi ke depan perlu mendapat edukasi tentang hal ini. []

Perlunya Sistem Pendidikan yang Melahirkan Adab

0

oleh: Mohammad Ismail
BARU-baru ini kita disuguhi tontonan yang menyesakkan dada. Tontonan ini bukanlah film action. Tontonan ini beda dengan tontonan-tontonan yang biasa kita lihat di layar kaca. Tontonan ini adalah tindakan anarkis (tawuran) yang diperankan oleh para pelajar. Artinya, mereka masih belajar di bangku sekolah. Fenomena anarkisme ini terjadi antara SMK Kartika Zeni, Matraman, dan SMA Yayasan Karya 66 (Yake), Kampung Melayu. Parahnya, akibat tawuran ini, salah satu siswa dari SMA Yake yaitu Deni Yanuar dengan pelaku yang berinisial AD.

Sepertinya, tawuran telah menjadi kegiatan ekstrakurikuler para siswa. Uniknya kegiatan ekstra ini diciptakan oleh para siswanya sendiri. Bukan dari pihak sekolah. Bisa jadi ini disebabkan karena pelajar kekurangan kegiatan sekolah sehingga mereka mencari kegiatan lain untuk mengekspresikan jiwa pemudanya. Tapi apakah benar demikian?. Mari kita lihat.

Sistem Pendidikan yang Bermasalah

Kenapa tawuran seperti itu sering terjadi?. Pertanyaan ini pasti keluar dari pikiran berbagai pihak. Bukan hanya para guru. Masyarakat pun pasti mempertanyakan hal serupa. Bukan hanya kalangan elit politik. Orang yang kurang berpendidikan pun akan bertanya-tanya apabila melihat fakta ini. Untuk itu, penulis ingin mencoba menelusuri letak permasalahannya.

Seorang pelajar adalah kader bangsa. Pelajar adalah orang yang berpendidikan. Oleh karena itu, mereka disekolahkan di berbagai tempat hanya untuk menuntut ilmu. Mereka dididik dengan harapan menjadi pemimpin-pemimpin yang berilmu. Yang mampu membawa perubahan bangsa ini dengan ilmunya.

Jika sekolah adalah tempat menimba ilmu, lantas kenapa banyak tawuran (kekerasan) terjadi di sana-sini. Jika demikian berarti ada yang salah. Kesalahan itu bisa jadi karena faktor internal atau eksternal. Faktor internal di sini adalah faktor niat para pelajar dalam menuntut ilmu. Sementara faktor eksternal bisa juga terjadi akibat dari provokasi orang luar atau sistem pendidikan yang ada di sekolahan tersebut. Bahkan bisa jadi terletak pada sistem pendidikan nasional kita.

Hanif Dhakiri (Sekretaris FPKB DPR) mengatakan, “Peristiwa ini diakibatkan oleh masyarakat yang kerap mempertontonkan intoleransi sosial. Sehingga dengan atau tanpa disengaja banyak berpengaruh terhadap aksi dan tindakan brutal para pelajar atau remaja”. (detik.com, 27/09/2012).

Selain Hanif, Jokowi pun ikut mengomentari peristiwa tersebut demikian, “Itu bukan lagi hanya permasalahan kota. Namun, sudah menjadi isu nasional, dilihat dari intensitas kejadian dalam sepekan. Hal tersebut sudah di luar kewajaran,”. (Kompas, 27/9/2012).

Argumen Hanif seperti ini belum tentu benar. Bahkan bisa jadi menyudutkan salah satu pihak yaitu masyarakat. Apalagi opini Jokowi. Jika hal tersebut dianggap Jokowi di luar kewajaran, berarti ada kemungkinan tawuran yang wajar. Tentu ini tidak bisa diterima begitu saja.

Apapun jenis tawurannya, sudah pasti itu tidak wajar. Apalagi dilakukan oleh pelajar.
Penulis lebih cenderung bahwa penyebab dari kebrutalan pelajar kita adalah diakibatkan sistem pendidikan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Oleh karena itu sistem pendidikan di Indonesia perlu dikaji ulang.

Merujuk pada Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003 bab 1 pasal 1 butir 2 tertulis;

“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama….”.

Poin undang-undang ini jelas merujuk pada nilai-nilai agama. Akan tetapi yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pendidikan tidak lagi berakar dari butir-butir Pancasila, apalagi nilai-nilai agama. Bahkan lembaga pendidikan kita justru menjauh dari nilai-nilai tersebut.

Faktanya, pendidikan kita menjadikan agama sebagai “ritual” semata. Proses mendidik terus berjalan, tapi tujuannya tidak pernah tercapai. Pelajar makin jauh dari adab. Bahkan tidak beradab. Mengutip perkataan al-Ghazali, hal yang demikian dikarenakan tiga hal: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Pendidikan kita adalah pendidikan yang zalim karena tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Misalnya, mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan, keimanan dengan kemusyrikan. Di kelas, pelajar disuguhi materi keagamaan akan tetapi di luar kelas mereka bebas melakukan kemaksiatan.

Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan bahwa orientasi yang tidak menitikberatkan pada agama adalah suatu kebodohan. Bodoh dalam menentukan suatu tujuan belajar. Pelajar jadi bodoh tentang cara mencapai tujuannya. Bahkan, yang dilakukan pelajar kita adalah bisikan Machiaveli yaitu “Anda harus bisa kaya dengan segala cara”. Ini adalah suatu kebodohan.

Mengutip pernyataan Gus Hamid (Direktur INSISTS), orang Barat begitu percaya diri dengan konsep yang mereka ciptakan. Cardinal John Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran Universitas Humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep Universitas Humanis-Eksistensialis. J. Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran Universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat.

Tapi, mengapa justru “Islam” hanya menjadi atribut sekolah-sekolah kita, yang penduduknya masyoritas Muslim. Sehingga nilai-nilai keislamannya pun menjadi kabur karena tidak tercermin dalam diri para pelajarnya. Lembaga pendidikan Islam terbukti masih malu-malu memerankan pendidikan Islam yang siap membangun peradaban.

Seharusnya, sistem pendidikan yang diterapkan ialah sistem yang mampu membangun konsep-konsep islami. Seperti, konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, dsb.

Sekolah pun harus berani menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari peradaban Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sekolah harus mampu menjadi sumber gerakan moral dan sosial. Sekolah harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab (sebagaimana juga nilai Pancasila dituangkan) agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.

Penutup

Jadi, lembaga pendidikan harus berani menanamkan nilai-nilai pendidikan yang islami. Bukan sekedar mengajari bagaimana cara bermoral. Lebih dari itu, sekolah harus mampu mengontrol moral siswanya. Guru harus menjadi qudwah (teladan). Materi keagamaan tidak hanya dijadikan sebagai ritual semata. Bahkan, sistem atau kurikulum yang jauh dari nilai-nilai agama (Islam) pun bila perlu direvisi, demi terciptanya pelajar yang sadar ilmu dan agama.

Sebagai catatan akhir, ini semua tentu tidak dapat berjalan jika dilakukan oleh satu pihak. Pelajar harus sadar, pihak lembaga harus sadar, masyarakat juga harus sadar, bahkan pemerintah pun harus segera sadar bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita.

Untuk itu, hendaknya kesadaran tersebut membawa dampak pada revisi sistem dan reorientasi pendidikan yang tidak lagi mengedepankan materi. Sudah saatnya agama tidak dipandang sebelah mata. Bahkan, akan lebih baik lagi apabila semua materi pendidikan mengandung nilai-nilai keagamaan (Islam).*

Penulis sedang menempuh program Pascasarjana di ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Gontor-Ponorogo

Red: Cholis Akbar

Sumber: Hidayatullah.Com

Islam: Antara Toleransi dan Bertasamuh

0

Oleh: Mohammad Ismail

Thisisgender.com – WACANA kerukunan antar umat beragama bukanlah hal yang baru dalam ajaran Islam. Sejak agama Islam diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam nilai-nilai kerukunan sudah diajarkan dan diterapkan. Bukan hanya kepada sesama umat muslim. Bahkan kepada non-muslim pun Islam menjalin kerukunan.

Tapi, akhir-akhir ini, Islam justru disudutkan dengan berbagai macam tuduhan. Dan yang terbaru ialah “Islam bukan agama toleran” yang dilontarkan oleh LSI. Untuk itu, penulis merasa perlu menyikapi tuduhan tersebut. Adapun tulisan ini ingin mendudukkan toleransi dengan konsep tasamuh dalam Islam serta mencari benang merah perbedaan antara keduanya.

Beda Toleransi dan Tasamuh

Secara terminologi, kata “tolerance” (toleransi) sebagaimana dalam The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language (1996:1320) diartikan dengan menahan perasaan tanpa protes (to endure without protest). Artinya seseorang tidak berhak protes atas argumen orang lain, meskipun itu adalah gagasan yang salah dalam keyakinan. Inilah toleransi dalam pengertian Barat.

Berbeda dengan Islam. Islam mengartikan toleransi dengan istilah “tasamuh”. Dalam kamus al-Muhit, Oxford Study Dictionary English-Arabic (2008:1120) istilah tasamuh memiliki arti tasahul (kemudahan). Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan.

Dalam pandangan Harun Nasution dalam Kamus Lengkap Islamologi (2009), toleransi meliputi beberapa hal. Di antaranya yaitu : Mencoba melihat kebenaran yang ada di luar agama lain. Artinya, Harun percaya bahwa kebenaran tidak hanya ada dalam Islam, melainkan kebenaran juga ada dalam agama selain Islam. Selain itu, toleransi menurut Harun berarti upaya membina rasa persaudaraan se-Tuhan.

Definisi Harun di atas sangat sarat akan aroma paham pluralis. Pertama, Harun ingin merelatifkan nilai kebenaran itu sendiri. Gagasan Harun ini bukanlah hal yang baru. Ia mengekor dengan ide John Hick, yang menganggap kebenaran itu relatif. Kedua, Harun juga ingin menyamakan Tuhan agama-agama. Dalam hal ini ia terpengaruh oleh Frichof Schuon yang percaya akan Tuhan agama-agama yaitu “The One”.

Lain halnya dengan Dr Yusuf al-Qaradhawi dalam Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami yang memaknai konsep tasamuh dalam beberapa hal. Tasamuh adalah keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya dan kerukunannya. Selain itu, tasamuh juga berarti keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik.

Jadi, antara toleransi dalam pandangan Barat memiliki perbedaan mendasar dengan konsep tasamuh dalam Islam. Perbedaan tersebut terlihat dalam hal konsekwensi berkeyakinan dalam beragama. Toleransi ingin merelatifkan nilai-nilai kebenaran dalam beragama. Sedangkan tasamuh justru untuk meyakini akan kebenaran yang hanya berasal dari Allah Subhanahu Wata’ ala. Dari defenisi Qaradhawi ini saja ada perbedaan besar antara toleransi (dalam konsep Barat) dan Islam.

Islam Intoleran yang Tasamuh

Belum lama ini Islam kembali menjadi sorotan media massa. Kali ini Islam tidak sedang dituduh sebagai agama teroris. Tapi, Islam dianggap sebagai agama yang intoleran.

Statemen tersebut dilontarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Wacana itu merupakan kesimpulan dari hasil survei yang mereka lakukan pada tanggal 1-8 Oktober 2012. Kabarnya, survei tersebut dilengkapi dengan riset kualitatif, analisis media dan Focus Group Discussion (FGD). (antaranews.com)

Adapun survei tersebut menemukan bahwa publik (umat islam) tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama naik 8,2 persen dari 6,9 persen menjadi 15,1 pada survei tahun 2012. Ketidaknyamanan bertetangga dengan orang Syiah sebelumnya sebesar 26,7 persen sekarang naik 15,1 persen menjadi 41,8 persen.

Sementara mereka yang tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang Ahmadiyah naik sebesar 7,5 persen yang sebelumnya hanya 38,1 persen menjadi 46,6 persen pada 2012. Dan mereka yang tidak nyaman bertetangga dengan homoseksual pada 2005 hanya 64,7 persen kini menjadi 80,6 persen.

Artinya, bahwa mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam lebih menerima hidup bertetangga dengan orang yang beda agama daripada hidup bertetangga dengan orang Islam yang berbeda paham agama seperti Syiah dan Ahmadiyah. Jadi, muslim Indonesia sangat intoleran. Demikianlah kesimpulan dari LSI yang dimuat dalam situs resminya. (lsi.co.id)
Ini artinya, orang Islam Indonesia semakin sadar akan kebenaran agama Islam. Pasalnya, sample (muslim) bisa membedakan bahwa orang yang memiliki pemahaman berbeda dengan Islam (Syiah dan Ahmadiyah) adalah sesat dan menyesatkan. Akhirnya, mereka tidak mau hidup bersama mereka.

Dalam hal ini, wajar jika LSI mengatakan umat Islam (yang menjadi sample riset) itu intoleran. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa cara pandang menyikapi toleransi yang digunakan oleh LSI adalah toleransi model Barat yang tidak membedakan antara kebenaran dan kesesatan. Bagi Barat (yang akhirnya jadi pijakan LSI), semua harus ditolerir. Tentu akan berbeda hasilnya apabila LSI menggunakan kaca mata Islam (dalam hal ini konsep tasamuh) dalam menilai hal tersebut.

Sebagaimana disebutkan di awal, Islam memiliki konsep tasamuh atau (kemudahan). Saat LSI melakukan survei, sebenarnya umat muslim sedang menerapkan konsep tasamuh. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan penolakan terhadap kesesatan (Homosex/Lesbian, Syiah dan Ahmadiyah). Sikap ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Yusuf Al-Qardhawi dalam Ghair al-Muslimin fii al-Mujtama’ Al-Islami (1992:53-55) yang mengatakan bahwa dalam bertasamuh, Islam harus tetap mengedepankan tauhid.

Sebab, pada dasarnya, konsep bertasamuh dalam Islam mengandung konsep-konsep yang rahmatan lil ‘alamin. Di antaranya konsep yang mengikat makna tasamuh yaitu ar-Rahmah (Kasih Sayang), QS. Al-Balad : 17, al-Salam (keselamatan), QS. Al-Furqan: 63, al-Adl (keadilan) dan al-Ihsan (kebaikan), QS. al-Nahl : 90 dan al-Tauhid (Menuhankan Allah SWT), QS. Al-Ikhlas : 1-4. Dan inilah yang sedang dipraktekkan oleh sample (Muslim).

Ini berarti jelas bahwa masyarakat yang disurvei tidak sedang menerapkan toleransi ala Barat tapi mereka bertasamuh. Dan apabila itu tidak disadari oleh LSI maka itu menunjukkan bahwa LSI tidak berimbang dalam menilai data survei. Sebab, LSI telah menggunakan kaca mata Barat untuk menilai umat Islam yang hasilnya akan selalu negatif.

Penutup

Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa antara toleransi dan tasamuh memiliki perbedaan yang mendasar. Toleransi ala Barat merupakan sikap menahan tanpa protes meskipun dalam hal kebaikan dan kesesatan. Baik dalam hal bersosial maupun berkeyakinan.

Hal yang berbeda dengan Islam. Dalam hal bermasyarakat, Islam harus menerapkan konsep tasamuh. Artinya, Islam memberi kemudahan kepada orang lain yang tidak mengusik keimanan umat Islam.

Adapun sikap yang ditunjukkan oleh umat Islam yang disurvei –bagi penulis- adalah sudah sangat tepat dan harus tetap dijaga (bila perlu ditingkatkan). Sebab seperti itulah seharusnya hidup bertasamuh, yaitu tidak menjual tauhid dengan toleransi semu.

Jadi, prinsip toleransi yang menjadi pegangan LSI sangat bertolak belakang dengan prinsip tasamuh dalam Islam. Dengan demikian, menurut hemat penulis, jauh lebih baik bertasamuh dari pada bertoleransi. Dan satu hal yang tak kalah penting, masalah kerukunan antar umat beragama, Islam tidak perlu belajar dari Barat. Islam telah memiliki prinsip tersendiri yang tidak bisa diganti dengan model kerukunan agama lain yang selama ini terkesan mendikte kaum Muslim.

Sebagai penutup, penulis meminta kaum Muslim tidak perlu ragu. Selanjutnya juga menghimbau pihak LSI bisa bersikap adil dalam menilai sikap kaum Muslim. Itupun jika mau melakukan. Hanya saja, biasanya akan sulit. Karena biasanya semua survey dan program-program kalangan LSM di Indonesia sudah merupakan paket dari sponsor yang agendanya jelas bertolak-belakang dengan nilai Islam itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.*

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor

Red: Cholis Akbar

Sumber: Hidayatulah.Com

Survei LSI Anjurkan Bertoleransi dengan Liwath?!

3

Henri Shalahuddin, MIRKH*

Zaman berubah begitu cepat. Dulu, pecinta sesama jenis dianggap sakit mental dan menyimpang. Sekarang kondisinya berbalik, penikmat homoseksual dianggap sah dan normal. Orientasi seksual sejenis yang dipraktekkan kaum gay dan lesbi kini diyakini sebagai pilihan hidup yang harus dihormati dan berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Mereka sebagaimana kaum minoritas lainnya juga berhak mengekspresikan hasrat seksualnya di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang tidak setuju dengan perilaku homoseks dicap intoleran, sakit jiwa dan homophobia.

Baru-baru ini, Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah merilis hasil surveinya yang dianggap bertujuan membidik masyarakat Islam tentang sikap terhadap pelaku liwath (homoseksual), penganut Syiah dan Ahmadiyah. Dari survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden pada 1 hingga 8 Oktober 2012, LSI menyebutkan telah terjadi peningkatan cukup drastis tentang ketidaksukaan bertetangga dengan kaum gay dan lesbian. Hasil survei pada tahun 2005 menunjukkan 64,7% dari responden menyatakan tidak nyaman bertetangga dengan komunitas homoseksual. Namun angka tersebut melonjak menjadi 80,6% pada tahun 2012.

Ardian Sopa, peneliti LSI menyimpulkan bahwa hasil survei tersebut menunjukkan sikap tidak toleran di kalangan masyarakat meningkat. Dan responden yang menyatakan tidak toleran itu kebanyakan adalah laki-laki, berpenghasilan rendah dan tidak terpelajar, katanya di sela-sela konferensi pers pada minggu sore, 21/10/2012.

Mengamini pendapat Ardian Sopa, direktur “Denny JA Foundation” mengatakan bahwa hasil survei tersebut menunjukkan betapa jalan panjang yang harus ditempuh Indonesia untuk bisa menerima homoseksualitas. Sebab tingkat penerimaan masyarakat terhadap homoseksual jauh lebih rendah berbanding dengan tingkat penerimaan mereka kepada penganut agama lain. Sebagai solusinya, ia menyarankan agar pemerintah meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Sebab sikap tidak toleran biasanya hanya dilakukan orang miskin saja, jelas tokoh muda JIL yang juga alumni al-Azhar dan UI ini. (lihat: http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/22/homophobia-rise-survey-says.html).

Homoseksual dan Naluri Kriminal

Peran media massa sebagai garda terdepan penyalur informasi yang sehat, mendidik dan membangun nampaknya kian terkikis. Pasca reformasi 1998, kebebasan pers dalam menyampaikan informasi sangat longgar, nyaris tanpa batasan. Di satu sisi hal ini  tentu berdampak positif, tetapi kebebasan pers seperti ini juga sangat rentan menimbulkan anarkhisme, menampilkan keruwetan pola hidup dan menawarkan sistem nilai sekular dengan judul yang bombastis dan sensasional.

Alih-alih berfungsi sebagai mediator pendidik masyarakat, media massa justru terseret ke limbah liberalisme yang tidak bertanggung jawab. Media massa sering terlibat provokasi kebebasan tanpa memperdulikan nilai-nilai agama dan budaya, bahkan sering menjelek-jelakkan komunitas muslim dengan pencitraan yang buruk sekali. Label-label seperti preman berjubah, ekstrimis dan intoleran selalu disematkan kepada kaum muslimin. Bahkan dengan data yang serampangan pesantren dan rohis dikaitkan dengan lumbung teroris, kemudian menyusul ide aneh tentang sertifikasi muballigh.

Berkenaan dengan hasil survei LSI di atas, kesimpulan yang patut digarisbawahi adalah upaya terang-terangan untuk menggambarkan orang yang tidak menyukai perilaku liwath sebagai kelompok yang tidak toleran. Tidak puas sampai di sini, LSI menggambarkan orang-orang yang tidak toleran itu berlatarbelakang pendidikan rendah dan berpenghasilan kecil. Jelas sekali LSI ingin menampilkan opini bahwa orang yang tidak mau dekat-dekat dengan para pelaku liwath adalah kaum bodoh dan miskin. Kalaulah benar ini merupakan target dari survei LSI, maka sama saja LSI ingin mengajarkan “toleransi” dengan cara-cara yang tidak toleran. Sebab semua agama tidak membenarkan liwath dan mengutuk pelakunya, apalagi mensosialisasikan liwath sebagai tindakan yang wajar. Maka survei LSI ini ibarat mengutuk tamu yang tidak mau makan hidangan daging babi, lalu menyebutnya tidak menghormati perasaan tuan rumah.

Orientasi seksual sesama jenis adalah salah satu bentuk sakit jiwa (mental disorder). Bahkan jika merujuk QS. Al-A’raf 80-81 dalam tafsir al-Kasysyaf disebutkan bahwa homoseksual merupakan tindakan kejahatan yang melampaui batas akhir suatu keburukan (al-sayyi’ah al-mutamadiyah fi l-qubhi). Bahkan homoseksual adalah salah satu perbuatan jahat yang tidak dilakukan setan. Sebab ketika setan meminta ditangguhkan sampai hari kiamat, ia berjanji akan beranak pinak dan menggoda manusia untuk menemaninya di neraka kelak. Maka bagaimana mungkin menyebut intoleran terhadap orang yang tidak menyukai perbuatan -yang setan pun enggan melakukannya?

Pelaku homoseks bukan saja jahat secara moral, tapi juga berpotensi berbuat kriminal yang berlebihan, terlebih ketika mereka cemburu atau putus dengan pasangannya. Naluri kriminal pelaku homoseksual patut diwaspadai. Sebab bukan hal mudah untuk mencari kekasih baru yang berorientasi seksual yang ganjil seperti ini. Kasus-kasus pembunuhan berantai yang sangat sadis sering melibatkan mereka yang memiliki orientasi seksual menyimpang. Sebut saja nama-nama seperti Robot Gedhek, Ryan, Mujiyanto dan lain-lainnya. Maka bertetangga dengan pelaku homoseks pun berkemungkinan besar membawa bahaya laten bagi masa depan anak-anak usia dini.

Penutup

Kebebasan berbasis HAM akhir-akhir ini selalu digunakan pers dan LSM-LSM liberal sebagai payung untuk menyebarkan kejahatan moral. Sebab bagi kaum liberal, kejahatan yang terlarang hanya dimaknai secara empirik dan berhubungan langsung dengan kriminal. Sedangkan hal-hal yang berkenaan dengan moralitas dan pembangunan spiritual bukan termasuk prioritas yang penting. Bisa jadi setelah ini akan bermunculan lomba survei menghujat ajaran Islam hanya karena tidak bisa dikompromikan dengan paham-paham modern sekular, seperti feminisme, HAM dan lain-lain.

Maka akan lebih fair jika setiap survei disebutkan sumber dana, target dan tujuannya, sehingga masyarakat dapat mengenal pasti kepentingan yang berperan di baliknya. Budaya dan agama yang berkembang di Indonesia senantiasa menolak berkompromi dengan segala jenis kejahatan, baik berupa kejahatan moral maupun kriminal. Jika kemudian bermunculan “survei” yang memandang buruk terhadap pihak-pihak yang menolak perbuatan amoral, maka ia tidak lebih dari hasutan berkedok survei. Dan di sinilah bedanya antara survei yang hakiki dan syuurr pay, wani piro?!

*Peneliti INSISTS

Nafisah binti Hasan al-Anwar: Guru para Fuqaha

0
Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Rira Nurmaida

Di antara para guru Imam Syafi’i tercatat nama seorang muslimah. Namanya Nafisah, seorang ulama’ wanita yang menjadi guru para ulama’-ulama’ besar. Ia adalah putri dari Hasan al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pada tahun 145 H, ia dilahirkan di Mekkah al-Mukaramah, dan pada usia lima tahun ayahnya membawanya ke Madinah. Di kota itulah ia menghapal al-Qur’an dan mempelajari tafsirnya. Selain dikenal karena keluasan dan kedalaman ilmunya, ia juga terkenal sebagai seorang yang zuhud, dan tekun beribadah sepanjang hayatnya.

Zainab binti Yahya, putri saudaranya yang selalu menyertai dan menemaninya sepanjang hidupnya, saat berbicara tentang Nafisah, mengatakan, “Bibiku hafal Al-Qur’an dan menafsirkannya, ia membaca Al-Qur’an dengan menangis sambil berdo’a, ‘Tuhanku, Mudahkanlah untukku berziarah ke tempat Nabi lbrahim as.”

Nafisah datang ke Mesir pada tahun 193 H. Ia tinggal di kota al-Arisy. Penduduk kota itu menyambut dan senantiasa mengunjunginya untuk menimba ilmu darinya. Saking banyaknya orang yang mengunjungi untuk belajar darinya, ia merasa kesulitan dan kehabisan waktu untuk bertaqarrub kepada Allah sehingga ingin kembali ke Madinah.

Ia berkata, “Dulu, aku memang ingin tinggal di tempat kalian, tetapi aku ini seorang wanita yang lemah. Orang-orang yang mengunjungiku sangat banyak, sehingga menyulitkanku untuk melaksanakan wirid dan mengumpulkan bekal untuk akhiratku. Lagi pula, rumah ini sempit untuk orang sebanyak itu. Selain itu, aku sangat rindu untuk pergi ke raudhah kakekku, Rasulullah Saw.”

Untuk mengatasi hal tersebut, penguasa Mesir saat itu, Sirri al-Hakam mendatanginya untuk menghibahkan padanya sebuah rumah yang luas untuk menerima tamu dan mengusulkan agar dia menetapkan jadwal dua hari dalam seminggu untuk menerima mereka sementara hari-hari lainnya digunakan untuk beribadah.

Selama di Mesir, Nafisah dikunjungi oleh banyak fuqaha, tokoh-tokoh tasawuf, dan orang-orang saleh. Di antara mereka adalah Imam Syafi’i, Imam ‘Utsman bin Sa’id al-Mishri, Dzun Nun al-Mishri, Al Mishri as-Samarqandi, Imam Abubakar al-Adfawi dan lain-lain.

Ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir dan tinggal di sana, ia biasa mengunjungi Nafisah bersama beberapa orang muridnya. Terutama ketika berangkat menuju halaqah-halaqah pelajarannya di sebuah masjid di Fusthath, yaitu Mesjid ‘Amr bin al-‘Ash. Imam Syafi’i juga mendengarkan hadist darinya. Jika Imam Syafi’i pergi ke tempat Nafisah, ia meminta dido’akan olehnya. Bila berhalangan hadir karena sakit, Imam Syafi’i mengutus muridnya sebagai penggantinya.

Nafisah terus mengajar dan menyebarkan ilmunya di Mesir hingga menjelang wafatnya. Ketika sakit, ia menulis surat kepada suaminya, Ishaq al-Mu’tamin, yang sedang berada di Madinah dan memintanya datang. Suaminya pun datang bersama kedua anak mereka, al-Qasim dan Ummu Kultsum. Pada pertengahan pertama bulan Ramadan 208 H, sakitnya semakin parah. Pada saat itu ia dalam keadaan berpuasa. Orang-orang menyarankannya untuk berbuka demi menjaga kekuatan dan mengatasi sakit yang dideritanya. Ia pun menjawab,

“Sungguh aneh! Selama tiga puluh tahun aku meminta kepada Allah agar Ia mewafatkan aku dalam keadaan berpuasa. Maka bagaimana mungkin aku berbuka sekarang? Aku berlindung kepada Allah. Hal itu tidak boleh terjadi selamanya”. Kemudian ia membaca surah al-An’am. Ketika sampai pada ayat, “Untuk mereka itu kampung keselamatan (surga) di sisi Tuhan mereka. Dia penolong mereka berkat amalan yang mereka perbuat,” (QS. al-An’am: 127) Nafisah lalu mengucapkan kalimat syahadat, dan naiklah rohnya keharibaan Tuhannya.[]

Kemana Arah Pendidikan Kita?

0

Oleh : Dinar Kania

 

Berbicara tentang pendidikan bukanlah hal yang mudah karena setiap orang merasa memiliki kepentingan terhadapnya.  Masing-masing berhak  berbicara meskipun terkadang hal itu justru menambah problem baru ketimbang menawarkan suatu solusi.   Kita menyadari bahwa problem pendidikan di Indonesia saat ini seperti tumpukan benang kusut yang sulit diuraikan.  Sudah banyak kritik dilontarkan kepada Pemerintah. Berbagai upaya dan terobosan terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun jalan itu sepertinya  masih panjang dan tiada berujung apabila kita tidak  segera melakukan perbaikan secara  mendasar yang menyentuh akar permasalahan.


Satu hal  yang sering luput dari perhatian kita adalah  pentingnya mengevaluasi tujuan dan arah pendidikan di Indonesia. Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam filsafat pendidikan. Secara umum tujuan diartikan sebagai perbuatan yang diarahkan kepada suatu maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktivitas. Tujuan akan mengarahkan tindakan dan perumusan tujuan pendidikan yang  benar merupakan inti dari seluruh pemikiran pedagogis dan perenungan filosofis. Oeh karena itu,  tanpa merumuskan tujuan dan arah pendidikan yang tepat,   maka semua usaha  perbaikan hampir pasti akan berakhir dengan kegagalan.


Tujuan pendidikan  tidak pernah lepas dari tujuan hidup itu sendiri, sebab pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia.  Pada saat kita merumuskan tujuan pendidikan,  kita harus berangkat dari pertanyaan paling mendasar yang ada di setiap benak manusia,  yaitu apa tujuan hidup kita ?. Pendidikan pada hakikatnya adalah segala  bentuk aktivitas yang dilakukan untuk mentransformasikan berbagai nilai. Disinilah worldview atau pandangan hidup seseorang akan sangat berpengaruh dalam perumusan tujuan dan pelaksanaan aktivitas tersebut.  Masing-masing  peradaban mendefinisikan tujuan pendidikan sesuai dengan kacamata yang mereka gunakan untuk memandang dunia.


Sebagai contoh, meskipun teori pendidikan Barat  membagi tujuan pendidikan menjadi  dua pandangan besar  mengenai tujuan pendidikan yaitu  Society-centered  yang melihat pendidikan sebagai kendaran untuk menciptakan warga Negara yang baik,  maupun padangan kedua, yaitu child atau person-centered position, yang lebih menekankan kebutuhan, kemampuan dan ketertarikan dari si murid itu sendiri,  namun kedua pandangan tersebut tentu saja sama-sama disemangati oleh tujuan hidup masyarakat Barat-Sekuler. Bagi mereka, pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia semata  tanpa pernah menghubungkannya dengan kebahagiaan di akhirat karena mereka tidak mengakui status  ontologis atau keberadaan realitas non-fisik dalam pandangan hidupnya (worldview).


Sedangkan  Islam memiliki worldview yang berbeda dengan Barat-Sekuler. Pendidikan Islam  diarahkan untuk membentuk pribadi-pribadi muslim yang sempurna. Sebagaimana diturunkannya Rosulullah saw  sebagai sebaik-baiknya manusia, maka tujuan pendidikan Islam harus mampu membentuk individu-individu muslim yang paham hakikat eksistensinya di dunia ini serta tidak melupakan hari akhir dimana dirinya akan kembali. Sejak dahulu, pendidikan Islam selalu menjadikan keberhasilan indvidu dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan yang terpenting.  Imam al-Ghazali menekankan bahwa pendidikan harus diarahkan kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan taqarrub kepada Allah, dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sedangkan Ibn Khaldun melihat pendidikan sebagai  usaha transformatif  potensialitas (attaqah al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya. Namun beliau juga  memandang pentingnya pendidikan diletakkan sebagai bagian integral dari peradaban (al-umran) karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan. Ulama-ulama Islam generasi terdahulu telah sepakat, bahwa pendidikan merupakan sarana bagi manusia  untuk mengenal Allah swt dan  mengetahui hukum-hukum Allah swt  yang telah disyariatkan  atasnya.

Namun menurut Wan Daud, filsafat pendidikan yang lebih memfokuskan individu ini secara perlahan-lahan berubah bentuk  kepada pemenuhan kebutuhan dan minat masyarakat sejak umat Islam dibawah pengaruh pemikiran dan institusi-institusi Barat. Setelah Negara-negara Islam dapat memerdekakan diri dari cengkraman kolonialisme, kebijakan pendidikan tidak langsung terlepas dari pengaruh Barat, namun masih menganut pendekatan yang digunakan Barat. Indonesia, Malaysia, Nigeria, Turki,  Mesir, menerapkan pendidikan sekular dengan mengadopsi  tujuan pendidikan  pendangan society-centered  ala Barat.  Hanya Pakistan yang berani menyatakan bahwa mereka akan mengabadikan ciri khas ke Islaman mereka, walaupun pada tahap implementasi, tidak ada bedanya antara Pakistan dengan negara-negara Islam lainnya. Hal ini telah banyak menimbulkan permasalahan dalam pendidikan Islam.

Sejatinya, tujuan pendidikan Islam tidak boleh sama dengan  tujuan pendidikan Barat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam memahami hakikat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia, yang ternyata sangat berkaitan dengan banyaknya pertanyaan mengenai hakikat  ilmu dan realitas mutlak. Permasalahan ini merupakan persoalan mendasar yang  sedang dihadapai dunia pendidikan Islam dan harus segera dicarikan solusinya. Tujuan yang salah akan menghantarkan pendidikan kita  mencapai output yang bertentangan dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu menjadi khalifah di bumi sebagaimana tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an. Sebaliknya, dengan   tujuan pendidikan yang tepat, maka materi, metode atau kurikulum yang digunakan, tentunya akan  memiliki corak, isi dan  potensialitas yang sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam tujuan tersebut.

Oleh karena itu, hendaknya kita semua menyadari bahwa  langkah awal untuk  memperbaiki pendidikan di dunia Islam adalah dengan merumuskan kembali tujuan pendidikan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah Rosulullah saw  serta mengacu kepada tradisi intelektual Islam yang telah membawa kegemilangan dan kesejahteraan kepada umat manusia selama berabad-abad.  Jika perubahan pada hal  mendasar ini tidak segera dilakukan, maka sebaik apapun fasilitas, teknologi, kurikulum, dan dana yang tersedia untuk pendidikan,   tidak akan mampu mencetak manusia-manusia beradab yang mampu menjadi rahmat  bagi semesta alam.

Tips Mudah Mengatur Pekerjaan untuk Para Ibu

0

Oleh: Umi Suci

Bagi seorang wanita, ibu khususnya, seringkali waktu 24 jam sehari sangat kurang.  Mulai dari bangun tidur, hingga tidur kembali, dirasa banyak pekerjaan yang belum selesai. Saat seorang ibu hendak tidur, sering terbayang pekerjaan-pekerjaan yang belum diselesaikan.

Karena begitu banyaknya pekerjaan, seorang ibu bahkan sering tercenung, bingung sendiri harus memulai pekerjaan dari mana, dan kapan pekerjaan demi pekerjaan ini akan berakhir. Pagi hari adalah saat-saat yang begitu sibuk. Bangun tidur harus menyiapkan anak-anak ke sekolah, menyiapkan sarapan keluarga, belum lagi jika tidak punya asisten rumah tangga.

Ketika anak dan suami sudah berangkat meninggalkan rumah, saatnya beres-beres. Harus mulai dari manakah?

Dari pada bingung-bingung, akan lebih baik jika para ibu mempunyai “daftar kerja” sehari-hari. Daftar ini disiapkan sesaat sebelum tidur. Ada beberapa ibu yang membuat list atau daftar hanya dipikiran saja. Namun, pikiran kita terbatas, daya ingat pun terbatas.

Tips menyiapkan daftar pekerjaan harian :

  1. Sebelum tidur, sediakan waktu sebentar saja, bisa 10 – 15 menit untuk merenungkan apa saja yang sudah dikerjakan hari ini. Setelah itu evaluasi, pekerjaan apa saja yang masih belum dikerjakan. Jika sudah evaluasi, saatnya kita menuliskan daftar pekerjaan.
  2. Daftar pekerjaan hendaknya diletakkan di tempat yang sering terlihat. Misalnya di tempel di pintu kulkas, di lemari makan, atau di cermin. Daftar pekerjaan ini bisa ditulis menarik, misalnya menggunakan spidol warna warni, atau bisa juga menggunakan checkboard.
  3. Menulis daftar pekerjaan, lebih baik jika lebih detail. Misalnya, untuk memasak. Apa saja masakan hari ini, berapa jenis masakan, apa saja bahan-bahan yang dibutuhkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berbelanja bahan makanan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memasak, dll. Dengan detailnya daftar pekerjaan, dapat menghemat waktu, serta kita dapat lebih cepat melanjutkan ke perkerjaan berikutnya.
  4. Konsistensi sangatlah di butuhkan dalam mewujudkan pekerjaan yang rapi dan terkelola dengan baik. Karena itu, setelah selesai shalat subuh, baiknya langsung melihat apa saja daftar pekerjaan hari ini.
  5. Menunda apa yang sudah di tuliskan dalam daftar juga harus dihindari. Karena dengan menunda pekerjaan, maka pekerjaan-pekerjaan berikutnya tidak akan selesai. Hal ini justru akan membuat kita stres memikirkan pekerjaan yang tak kunjung habis.
  6. Bagi yang belum terbiasa dengan daftar pekerjaan, ada baiknya jika kita tidak menuliskan waktu pekerjaan, cukup perkiraan waktu yang dibutuhkan saja. Misalnya, memasak butuh waktu satu jam, membereskan pakaian setengah jam, mengantar anak ke sekolah lima belas menit, begitu seterusnya.
  7. Jangan lupa untuk memasukkan waktu “me time” atau waktu istirahat. Bisa dilakukan di sela-sela pekerjaan kita. Perkirakan juga waktu yang dibutuhkan untuk istirahat berapa lama. Selain tidur, istirahat atau “me time” dapat diartikan juga, melakukan hal-hal yang menjadi hobi, atau penghilang penat. Misalnya membaca buku, menyulam, menulis dll.
  8. Jika ada pekerjaan yang tertunda atau tidak dikerjakan, jangan menyalahkan orang lain, anak dan suami misalnya. Kita yang harus evaluasi. Dimanakah letak kegagalannya, mengapa sampai tidak dikerjakan, langkah selanjutnya bagaimana, dan seterusnya. Ini juga membuat kita tidak berburuk sangka pada orang lain dan membuat kita sering bermuhasabah.
  9. Jika sudah terbiasa dengan pekerjaan yang terdaftar, ada baiknya kita tingkatkan lagi dengan  menetapkan target untuk setiap pekerjaan yang telah kita susun. Misalnya, target memasak setengah jam saja, target merapikan pakaian sepuluh menit saja, dan seterusnya.

Sekilas, tampaknya hal ini mengada-ada, namun jika kita praktekkan dengan baik, Inysa Allah akan sangat membantu pekerjaan kita sebagai seorang ibu.

Hal ini diakui oleh Ida Rosana, 39 tahun, seorang ibu yang mempunyai sembilan anak perempuan. Setiap hari Senin, Rabu dan Jumat, Ida berangkat dari rumahnya di daerah Cikarang, menuju kampus Al-Hikmah yang terletak di Jl. Bangka 2, Jakarta Selatan.

Dengan sembilan anak perempuan, mengatur waktu yang baik menjadi suatu keharusan bagi Ida. Karena itulah, Ida mempunyai daftar pekerjaan apa saja yang harus ia lakukan setiap harinya. Selain kuliah, Ida juga harus membantu pekerjaan suaminya yang berprofesi sebagai seorang akuntan.

Daftar pekerjaan ini juga sangat membantu, karena sejak dulu, Ida tidak pernah mempunyai asisten rumah tangga.

Selain Ida Rosana, ibu hebat lainnya yang selalu menuliskan daftar pekerjaan harian adalah Hindun, 38 thn. Hindun juga merupakan teman Ida Rosana di kampus Al-Hikmah. Namun, tempat tinggal Hindun lebih jauh, yaitu di Karawang.

Butuh waktu lebih dari tiga jam untuk menuju kampus. Walau tidak mempunyai anak sebanyak Ida Rosana, namun kegiatan Hindun tak kalah padatnya. Hindun dan suaminya mempunyai usaha toko kelontong di pasar Cikampek. Selain itu, mereka juga membuka usaha herbal.

Hindun sendiri, hampir setiap hari Senin dan Kamis berbelanja pakaian di pasar Tanah Abang, yang ia distribusikan pada ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Kegiatannya tidak berhenti sampai disitu. Karena saat ini ia bergabung dengan sebuah perusahaan travel umroh dan haji, sebagai tenaga marketing yang tentu saja sangat menyita waktu.

Daftar pekerjaan yang tertata rapi, sangat membantu Hindun dalam kegiatannya sehari-hari. Dengan daftar pekerjaan juga, Hindun mengetahui mana yang harus diprioritaskan.

Tidak ada salahnya membuat daftar pekerjaan mulai sekarang. Dalam pelaksanaannya, yang terpenting adalah motivasi kita. Semua hal diatas adalah untuk ibadah, kebaikan diri dan keluarga.

Selamat mencoba…

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now