Home Blog Page 2

Apakah Patriarki Merupakan Warisan Islam?

0

Oleh: Putri Silaturrahmi, S.Sos., M.HSc.*

Patriarki merupakan kosakata yang disadur dari Bahasa Inggris yakni, Patriarchy. patriarki dapat diartikan laki-laki sebagai pemilik kuasa utama atau ia mendominasi segala peran dalam bermasyarakat. Elgenaidi (2019) mendefinisikan patriarki sebagai sistem sosial budaya dimana laki-laki dipandang secara kodratnya menjadi dominan atas perempuan. Kodrat ini melepaskan unsur kemampuannya dan ia masuk dalam posisi otoritas dan posisi kekuasaan kaum laki-laki. Sementara itu, perempuan dianggap sebagai anak-anak, ia perlu dilindungi atau dirawat, atau sebagai alat kekuasaan dalam melayani laki-laki, tidak pernah benar-benar utuh atau mandiri dari laki-laki, apalagi setara dengan mereka. Dengan demikian, dari sudut pandang ini, patriarki itu sistem sosial yang problematik dan tidak adil.

Gagasan patriarki dalam sistem sosial di seluruh dunia memilki level eksistensi yang berbeda-beda. Patriarki eksis sejak zaman Yunani. Pada zaman itu konsep patriarki merupakan konsep bermasyarakat dimana kekuasaan dipegang dan diwariskan oleh kaum laki-laki dan dilegalkan oleh kaum gereja. Inilah awal dari tercetusnya konsep patriarki (Napikoski, 2019).

Sementara itu, patriarki pada zaman Romawi mendapatkan pertentangan dari kaum perempuan Romawi yang melakukan perlawanan. Mereka memprotes besar-besaran kebijakan Hukum Oppian, yang membatasi kepemilikan perempuan atas emas dan barang-barang lainnya. Bahkan saat itu konsul Romawi Marcus Porcius Cato melayangkan pendapat mengenai hukum tersebut bahwa “Begitu mereka mulai sederajat, mereka akan menjadi kaum yang superior!”(Olson, 2019). Menurut kaum feminis, eksistensi patriarki dibangun dalam agama. Ia ada melalui ayat-ayat suci, legitimasi negara dan ekstrimnya mereka berpendapat bahwa adalah kehendak Tuhan dalam membenarkan budaya patriarki ini. Ini sama saja kaum feminis menuding bahwa agama dan Tuhan turut menyumbang tumbuhnya sistem patriarki. Melihat konteks tersebut, tulisan ini berusaha membatasi spesifikasi penjelasan melalui kajian historis-filosofis bagaimana patriarki itu bisa terbentuk dalam sebuah sistem sosial.

Kaum feminis meyakini bahwa patriarki dipahami bukan hanya sebagai sistem sosial yang diwarisi oleh budaya klasik dari abad pertengahan melainkan juga diperkuat oleh perkembangan Renaissance. Tahun 1450-1500M merupakan awal baru di Eropa dengan ditandainya perluasan kapitalisme pra-industri dan reformasi Protestan. Feminisme lahir sebagai wujud protes kekecewaan kepada pihak gereja dan eksis mulai dari periode modern awal (Wiesner and Hanks, 2008).

Tiga puluh tahun lalu, patriarki digambarkan sebagai sesuatu yang “Maha” atau sebagai sistem kunci yang melatarbelakangi masyarakat dalam bersikap dan mengambil keputusan.  Ia akan sangat mudah ditemui pada setiap hak istimewa yang diberikan kepada setiap laki-laki dikarenakan mereka merupakan kepala rumah tangga. Hak istimewa itu diberikan secara eksplisit dan implisit. Wujud dari pemberian hak istimewa ini lah yang menjadi cikal bakal lahirnya pergerakan kaum feminis pada masa awal Eropa Modern (Wiesner and Hanks 2018).

Dalam hal politik, kuasa turun temurun yang dimiliki laki-laki menjadikan mereka ahli dalam berpolitik baik secara teoretikal ataupun praktis. Peran mereka tumpang tindih serta mengikat satu dengan lainnya. Misalnya saja, raja dan pejabat kerajaaan tidak memiliki skat antara melaksanakan peran menjadi suami dan pemilik otoritas kerajaan yang penuh. Sistem sosial patriarki beranggapan bahwa Negara diibaratkan seperti rumah tangga. Perumpaan ini juga dinyatakan oleh Robert Filmer (1680) dalam karyanya Patriarcha ;

“Negara sama seperti halnya dalam sebuah rumah tangga yang suami atau bapaknya memiliki otoritas dan kekuasaan ilahi untuk semua angota keluarganya. Begitu pun pada sebuah negara, ia bagaikan seorang raja laki-laki yang harus selalu berkuasa. Saat itu anggota parlemen Inggris dan kaum revolusioner Prancis umumnya sepakat dengan kaum royalis bahwa kekuatan suami atas istri mereka adalah hal yang saleh dan ‘alami’, patriarki dianggap menciptakan apa yang dicap Christiane Faure ‘demokrasi tanpa perempuan’” (Gordon, 1975).

Kebanyakan gerakan feminis selalu menggunakan pendekatan ‘pembongkaran sistem patriarki’. Pendekatan ini merupakan misi umum kaum feminis untuk mempertahankan argumen mereka atas patriarki. Ternyata mereka juga sadar betul bahwa pendekatan ‘pembongkaran sistem patriarki’ ini merupakan medan yang rapuh. Seiring dengan perkembangan zaman, mereka menyusun gerakan baru yang menyentuh suatu definisi yang tepat yaitu “komunitas perempuan dan laki-laki”. Singkat kata mereka memperjuangkan perempuan sebagai mitra sejajar bagi kaum laki-laki. Akan tetapi, mitra sejajar ini tidak dapat menjadi tempat konflik yang dapat dihindari dikarenakan perbedaan kodrat. Faktor ini lah yang melahirkan sebuah ketidaksetaraan (Neuenfeldt, 2015).

Feminis juga sangat kental mengkritik bagaimana posisi perempuan dalam praktek Gereja. Mereka berpendapat bahwa struktur keagamaan dalam Gereja itu sangat hierarkis. Dalam tatanan hierarki yang sakral pada Gereja, laki-laki memiliki kuasa atas semua hal dan juga manusia. Skema hierarkis ini membutuhkan Tuhan yang memiliki kekuasaan atas segalanya dalam menentukan, membatasi, dan memaksakan keinginan, peraturan, dan perintah “-Nya”. Dalam tatanan masyarakat abad pertengahan hubungan laki-laki dan perempuan erat kaitannya dengan menghukum dan menyelamatkan. Laki-laki dianggap dapat menyelamatkan citra perempuan sebagai ‘Hawa’ sang penggoda menuju ‘Marry’ yang taat dengan berbakti kepada suaminya. Sementara terdapat hukuman apabila perempuan tidak mampu mengangkat martabat laki-laki. Hal ini digambarkan dalam konsep Saint Paul’s bahwa perempuan dianggap sebagai makhluk penuh dosa karena ia mampu menggoda Adam sehingga turun ke Bumi. Selain itu istri harus menyerahkan diri kepada suaminya sendiri sebagaimana ia mengorbankan kehidupannya untuk Tuhan. Karena suami adalah kepala istri sebagaimana Kristus adalah kepala gereja sehingga istri harus mematuhi dan menuruti suaminya.   Keduanya (Kristus dan suami –red) menghukum dan menyelamatkan. Dari narasi ini dapat disimpulkan bahwa kritik mereka terhadap patriarki merupakan wujud kekecewaan kaum perempuan terhadap Gereja.

Dalam kajian teologi Feminisme, wacana iman dan agama juga memainkan peran utama dalam diskusi kesetaraan gender dengan bekerja sama secara positif menuju redefinisi peran dan struktur. Peran mereka sangat penting dikarenakan redefinisi menuntut perempuan sebagai mitra sejajar bagi laki-laki. Pada telaah kajian modern, feminis Gereja mengambil posisi penting dalam mencegah dan mengatasi kekerasan terhadap perempuan, berdasarkan etika perlawanan terhadap ketidakadilan. Hal ini merupakan salah satu contoh peran aktif dan wewenang mereka.

Selain itu peran Gereja untuk kaum feminis modern ini sangat membantu mulai dari refleksi teologis yang digunakan untuk melakukan pendekatan kritis terhadap iman dan agama, hal ini dapat membantu membongkar hubungan yang berbahaya antara agama dan budaya sebagai penyebab perempuan terasing di ruang privat, ruang dimana kekerasan paling sering terjadi. Mengapa saat itu perempuan terasing pada ruang privatnya? karena keadaan perempuan di Abad Medieval diharuskan untuk mampu melayani suami. Hal ini dapat terlihat ketika suami gagal dalam melindungi istrinya dari marabahaya. Kencenderungan pertama dari kolektif sosial akan mempertanyakan sejauh mana sang istri patuh terhadap suaminya. Peran suami dalam kemampuan melindungi istrinya berbanding lurus dengan kemampuan istri dalam melayani suaminya. Sikap seperti ini terbukti dalam dokumen pengadilan Henry Cook dan istrinya (yang tidak ingin disebutkan namanya). Istrinya menyatakan bahwa suaminya memiliki pikiran jahat terhadapnya dan terlibat dalam hubungan zina dengan banyak perempuan. Ironinya, pengadilan memutuskan bahwa sang istri harus tetap bersama suaminya, rendah hati, tidak menghina suaminya, dan tidak bersikap kejam terhadap suaminya karena sang istri telah mengabaikan tugas domestiknya dan meninggalkannya (Halsall, 1996).

Organisasi Gereja pada masa modern mendukung penuh partisipasi perempuan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial dengan menyangkal sikap yang melanggengkan ketidaksetaraan. Mereka merangkul perempuan untuk merumuskan resolusi konflik, dan pembangunan perdamaian. Sementara itu kaum Gereja tetap gemar mengkampanyekan kesetaraan gender melalui kosakata teologis ‘Justice’ (Keadilan):

“Keadilan gender menyiratkan perlindungan dan promosi martabat perempuan dan laki-laki yang, diciptakan menurut gambar Allah, manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling bertanggung jawab, laki-laki dan perempuan mampu menjadi mitra sejajar. Keadilan gender diungkapkan melalui kesetaraan dan hubungan kekuasaan yang seimbang antara perempuan dan laki-laki dan penghapusan sistem kelembagaan dan budaya antar pribadi dan penindasan yang menopang diskriminasi” (Neuenfeldt, 2013 p.7).

Pada saat ini, kaum feminis mencoba mengkonsep keadilan gender dan menyamakan persepsi mereka dengan kaum Gereja. Mereka menggarisbawahi bahwa perlu ada kajian mendalam mengenai hubungan kuasa dan kekuasaan dalam sudut pandang teologis dan alkitabiah. Dalam upaya menyentuh ranah teologis mereka berharap penyalahgunaan kekuasaan yang dimanifestasikan melalui struktur hierarki dan androsentris gereja akan berganti menjadi istilah inklusif ‘mitra sejajar’. Selain itu mereka juga menginginkan hubungan yang lebih adil dan merata bagi kaum perempuan dan laki-laki. Saat ini gerak feminis menyadari bahwa proses, srategi dan kebijakan itu sangat penting dalam hal usaha mereka untuk meredefinisi makna gender.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa feminisme ini lahir dikarenakan kuasa patriarki yang sangat mendominasi. Ia merupakan produk dari sistem sosial budaya Eropa saat itu yang ingin melepaskan diri dari ikatan doktrin agama serta perempuan yang dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Mereka dianggap kaum rendah dan tidak dapat diandalkan. Menempatkan posisi perempuan sebagai peran sekunder. Konsepsi yang merendahkan derajat kaum perempuan menimbulkan sikap protes yang diskriminatif dan tidak adil bagi perempuan sehingga feminisme lahir menjadi sebuah gerakan. Ia menjadi teori sosial yang lahir dari realitas sosio-kultural masyarakat Barat. Pada masa sekarang kaum Feminis berafiliasi dengan kaum gereja untuk merumuskan kembali makna ‘Justice’ atau keadilan bagi kaum perempuan. Dari perumusan teologis ini lahir lah kesetaraan gender.

Pandangan Islam tentang Relasi Perempuan dan Laki-Laki

Islam lahir sebagai sistem kehidupan yang sempurna. Secara kekeluargaan, kondisi sosial-politik, hak ekonomi bagi perempuan, dan relasi gender di dalam Islam tidak dapat sepenuhnya dipahami dan dihargai kecuali Islam dilihat sebagai sebuah sistem yang lengkap dan sempurna bagi kaum laki-laki dan perempuan (Al-Mawdudi, 1992). Islam yang bermakna penyerahan diri kepada Allah Swt, mengamanatkan kepada seluruh ummat dimana di dalamnya termasuk perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak. Islam sebagai sistem menyajikan aspek kehidupan universal sepanjang masa. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya “Islam laki-laki” atau “Islam perempuan”. Penyerahdirian kepada Allah Swt. yang sempurna justru akan menjawab berbagai permasalahan dalam pandangan manusia termasuk permasalahan diskriminasi laki-laki dan perempuan.

Islam adalah sistem yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, ia terintegrasi secara holistik berlandaskan ilmu Tauhid, Ke-Esaan Allah Swt, dan kesatuan dalam mencapai tujuan dalam penciptaan. Pesan Tauhid dalam Islam “tidak ada Tuhan selain Allah Swt” merupakan amanah bagi seluruh makhluk hidup yang tunduk dan patuh terhadap Allah Swt sebagaimana juga dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai wahyu dari-Nya dan As-Sunnah pengajaran dan praktek dari Rasullulah Saw. Pesan Tauhid ini adalah berkah untuk setiap insan di muka bumi baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Berdasarkan pesan tauhid tentang Ke-Esaan Allah Swt dan misi universal kekhalifahan Allah Swt di bumi, Islam menyajikan rancangan yang komprehensif untuk mengembangkan potensi manusia. Rancangan program pengembangannya tidak didasarkan pada keterpusatan laki-laki (berkonsentrasi pada pengembangan laki-laki saja dengan tidak mengacuhkan aspek keterbelakangan perempuan), ataupun sebaliknya yaitu tidak pada keterpusatan perempuan (hanya memfokuskan pengembangan perempuan dengan tidak mengacuhkan keterbelakangan laki-laki). Singkatnya Islam tidak lahir atas kuasa patriarki sehingga kaum perempuan menjadi masyarakat kelas dua.

Allah Swt adalah Pembuat Sistem terbaik dan Pemiliki Pengetahuan Absolut mengenai pengembangan semua makhluk hidup. Dia Subhanahu wa Ta’ala telah mempresentasikan rancangan pembangunan terpadu yang diperuntukkan bagi setiap laki-laki dan perempuan. Islam tidak memandang laki-laki dan perempuan secara bertentangan, oleh demikian sudah tentu Islam juga tidak pernah mengajarkan kaum laki-laki dan perempuan untuk saling membakar kebencian dan berjuang untuk memberdayakan satu sama lain, sementara yang lainnya terlalu unggul dan terlalu terbelakang. Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi dalam pengembangan keluarga dan masyarakat.

Islam tidak mengajarkan untuk meniupkan isu-isu antipati baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kekuasaan Islam hanya milik Allah Swt sementara laki-laki dan perempuan hanya lah agen Allah di bumi, menjadi wakil khalifah-Nya, seluruh makhluk hidup tidak perlu mengklaim kekuasaan dan otoritas untuk pemuliaan dan peningkatan diri mereka sendiri. Kinerja kita sebagai hamba-Nya ialah untuk menjadi khalifah Allah Swt. Hal ini sendiri menyiratkan bahwa kita sedang menjalankan otoritas penuh sebagaimana yang diamanatkan Allah Swt,  demikian juga halnya dalam menjalin hubungan laki-laki dan perempuan pada semua bidang kehidupan. Dengan cara ini laki-laki dan perempuan hanya memiliki kekuasaan dan otoritas yang didelegasikan, yang ditugaskan kepada mereka oleh Allah Swt.

Istilah feminisme sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap kaum laki-laki, hadir sebagai mimbar atas kekecewaan kaum perempuan karena direndahkannya harkat, martabat, dan derajat perempuan. Dimana hal ini sangat kontradiktif dengan filosofi ke-Islaman mengenai kuasa dan otoritas. Konsep mengenai hak, kuasa dan otoritas ini perlu dikembalikan kepada pandangan Islam (Islamic Worldview). Ada dua hal yang harus dedifinisikan kembali dari sudut pandang ke-Islaman. Pertama, sebagaimana telah didiskusikan di atas bahwa dalam Islam semua kuasa dan otoritas hanya milik Allah Swt. Hal ini dikarenakan Allah Swt adalah Sang Pencipta, Maha Pemelihara, Penopang, dan Allah Swt adalah Tuan yang menetapkan hukum bagi seluruh ciptaan-Nya. Manusia diperintahkan untuk membangun sistem yang diwahyukan kepadanya dan amanah ketika menjadi khalifah di muka bumi ini. Dikarenakan kapasitasnya sebagai pemimpin di dunia ini diharapkan ia dapat membuat ijtihad yang berlandaskan kepada sumber ilmu dan hukum Islam. Kadar otoritas yang diberikan Allah pada manusia tidak boleh menjadikan manusia berlaku sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Dalam merancang sebuah peradaban yang sehat dan mengacu kepada Firman-Nya, setiap insan baik laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang besar menjadi Khalifah yang mampu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kedua, Islam mengajarkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menikmati haknya yang diberikan oleh Allah Swt. Mengacu kepada Islam, bahwa setiap insan tidak memiliki kuasa untuk diberikan atau untuk mengambil hak dari insan lainnya. Ini merupakan karunia yang Allah Swt berikan dan ini merupakan tugas yang sesuai kepada seluruh ummat. Tidak satupun dari penciptaannya yang boleh mencabut hak-hak yang dapat dinikmati oleh insan lainnya karena hak-hak itu pada hakikatnya adalah dari Allah Swt. Ini dapat dicontohkan untuk perempuan dan laki-laki bahwa mereka tidak boleh melampui batas, sehingga dua jenis kelamin ini tidak bertengkar untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang sebetulnya sudah diatur oleh Allah Swt. Perempuan tidak boleh mengemis untuk mendapatkan hak nya; karena sejatinya mereka juga memiliki hak sebagai khalifah di muka bumi ini.

Berbicara mengenai hak maka akan selalu terkait dengan hakekat Islam dalam memandang ilmu. Ilmu dinilai sebagai sarana yang penting untuk mengenal dan mengetahui Al-Haqq. Hak yang berasal dari kata haqq dalam pandangan Islam merupakan hakekat sekaligus kebenaran dalam dua wilayah penilaian atau hukum. Ia menunjuk kepada sebuah realitas yang mengacu kepada tatanan eksistensi ontologis dan logis (Al-Attas, 1995). Hak bukan saja suatu sifat dasar dan juga posisi alamiah (fitrah), ia juga berarti ‘tugas’ atau ‘kewajiban’ yang mengikat sesuai dengan realitas yang dikenali itu (Al-Attas, 1984). Dalam kaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat kecenderungan alami yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, karena itu kedua belah pihak dituntut untuk saling mengenali dan memenuhi tuntutan fitrah masing-masing. Jika dua jenis kelamin ini dapat memahami hak dan berusaha memenuhinya maka dengan sendirinya keadilan itu akan tercapai. Sebab dengan memenuhi tuntutan haqq ini, berarti juga seseorang telah melakukan kebenaran.

Akan tetapi, hegemoni kolonialisme barat membuat masyarakat Islam hampir berpaling dari konsep Islam terhadap ilmu yang Tauhidi. Barat telah mampu membuat ummat cenderung lebih memilih untuk mengadopsi konsep ilmu pengetahuan yang sekuler yang dianggap lebih maju, open minded, dan ‘dewasa’. Hegemoni Barat ini terus menerus berlangsung hingga berdampak kepada kepada pendangkalan pemahaman masyarakat Islam terhadap hakekat ilmu. Ummat tidak lagi mampu membedakan mana yang hak dan mana yang bathil. Pada akhirnya ummat perlahan akan kehilangan identitas Ke-Islam-annya. Seperti yang sekarang ini terjadi menggabungkan paham-paham isme dengan Islam. Termasuk juga di dalamnya paham Feminimse. Kemudian berusaha menggabungan feminisme dengan Islam. Padahal isme-isme ini sangat kontradiktif dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.

Cara Ummat dalam meraih ilmu juga akan berdampak pada pendidikan yang akan diraihnya. Hakekat pendidikan yang merdeka adalah manusia yang beradab, Insan Kamil yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt sebagai Sang Pencipta. Manusia beradab ini dicirikan dengan kehidupannya yang seimbang baik dari dimensi kepribadiannya dan juga dimensi yang membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosialnya. Manusia seimbang akan menghasilkan masyarakat seimbang yang tidak dapat memilah milih jenis kelamin mana yang lebih baik. Masyarakat seimbang ini akan terdapat pada jiwa-jiwa manusia yang memiliki kualitas dalam berpikir, zikir dan amalnya. Jika ibadahnya baik maka kehidupan sosialnya juga akan baik.

Dengan kata lain, ada hal-hal yang menjadi landasan penting dalam ber-Islam bahwa agama ini merupakan sistem kehidupan terbaik bagi laki-laki dan perempuan. Berbicara mengenai gender pada sudut pandang ke-Islaman tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja melainkan dari sebuah sistem yang penuh. Tujuan hidup dalam ber-Islam yaitu menjadi khalifah adalah sebuah amanah untuk laki-laki dan perempuan dalam meregulasi seluruh aktivitasnya mengacu kepada cara hidup yang Islami untuk memenuhi amanah tersebut. Terakhir, Allah Swt telah menempatkan setiap hak-hak penciptaannya yang sifatnya adalah mutlak. Sehingga hamba-Nya mampu menikmati setiap karunia yang Allah Swt berikan. Ketika insan satu dengan yang lainnya mampu menjalankan perannya masing-masing, keadilan dapat tewujud.

Singkat kata Islam tidak memisahkan laki-laki dan perempuan secara dikotomis. Keberadaan mereka tidak bisa dialamatkan sebagai permasalahan sosial, tidak juga sebagai sebuah konflik gender. Islam juga tidak menghendaki konflik antara keduanya dalam hal memperjuangkan hak-hak nya karena kuasa sepenuhnya hanya milik Allah Swt. Meskipun Islam menyajikan prinsip-prinsip khusus bagi setiap peran manusia, pada dasarnya sifat prinsip tersebut adalah wajib karena prinsip tersebut yang mengatur setiap manusia untuk menjadi utuh. Mengacu kepada landasan filosofi ke-Islaman di atas dapat disimpulkan bahwa patriarki bukan warisan Islam dan kesetaraan gender merupakan sebuah distopia.

Jakarta, 28 September 2019

*Penulis merupakan Alumni KOFI (Kuliah Online Feminisme & Islam) dan anggota komunitas Calami Veritatis—The Center for Gender Studies.

Ed: Sakinah/CGS

BAHAN BACAAN:

Elgenaidi, Maha (2019). The Case Against Patriarchy in Islam: Fitra, Vicegerency, and Universal Principal Akses pada laman https://ing.org/case-patriarchy-islam/

Gordon Schochet, Patriarchalism in Political Thought: The Authoritarian Family and Political Speculation and Attitudes especially in Seventeenth Century England (New York: Basic Books, 1975).

Gender Justice Policy, ed. Elaine Neuenfeldt (Lutheran World Federation, 2013), 7, at https://www.lutheranworld.org/sites/default/files/DTPW-WICAS_Gender_Justice.pdf

Halsall, 1996. Gratian:    On    Marriage    (dictum    post    C.32.2.2),”    in    Medieval    Sourcebook,    edited    by    Paul    Halsall,    Jan    1996.    http://www.fordham.edu/Halsall/source/gratian1.asp.

Neuenfeldt, Elaine (2015). Identifying and Dismantling Patriarchy and Other Systems of Oppression of Women Gender Analysis, Feminist Theology, and the Church in Mission. International Review of Mission: World Council of Churches pp 18-25.

Napikoski, Linda (2019). Patriarchal Society According to Feminism; Feminist Theories of Patriarchy akses pada laman https://www.thoughtco.com/patriarchal-society-feminism-definition-3528978

Olson, John (2019). Feminism. Akses laman https://www.history.com/topics/womens-history/feminism-womens-history

Syed Abdul Ala Mawdudi (1992). Islamic Was of Life. Lahore: Islamic Publications.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Islam dan Filsafat Sains. Bandung: Mizan (1995).

Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan (1984).

Merry E. WiesnerHanks, ‘Do Women Need the Renaissance?’, Gender & History 20 (2008), pp. 539–57; and Martha Howell,‘The Gender of Europe’s Commercial Economy, 1200–1700’, Gender & History 20 (2008), pp. 519–38.

Wiesner, Merry and Hanks (2018). Forum Introduction: Reconsidering Patriarchy in Early Modern Europe and the Middle East. Gender and History, Vol 30 No 2 July 2018, pp 320-330.

RILIS CGS Mengenai Sexual Consent dan Efektivitas Sexual Consent

0

Jakarta, 21 September 2020
Nomor: 010/RPH-CGS/II-1442

RILIS THE CENTER FOR GENDER STUDIES

Terkait kontroversi yang berkembang di masyarakat tentang pemahaman mengenai
sexual consent dan efektivitas sexual consent dalam menekan angka kejahatan seksual di
kampus dan lingkungan masyarakat.

download di sini.

Perempuan Indonesia Dijajah, Salah Siapa?

0

Oleh: Indah Febryyani*

Topik mainstreaming gender awalnya hanyalah isu transnasional saja. Namun 5–10 tahun belakangan ini menjadi sebuah wacana yang dipolitisasi untuk menjadi UU. Gaungnya semakin menjadi (ngawur) setelah beberapa serial Women’s March dilangsungkan. Kita bisa melihat betapa besar geliat kaum feminis serta kaum sekular-liberalis berbondong-bondong menciptakan RUU yang katanya ‘melindungi korban’ tetapi sayangnya mencoba menutupi fakta bahwa RUU tersebut tidak bisa diuniversalisasikan pada rakyat Indonesia. Terutama ketika pendukung kesetaraan beranggapan bahwa ketidakadilan yang dialami wanita berasal dari ketimpangan gender yang semakin jauh, berakar dari sistem patriarki.

Patriarki seakan ‘biang keladi’ yang sudah ada secara orisinil di Indonesia yang terus berlanjut hingga era modern sekarang. Tapi apakah benar bahwa patriarki yang menyebabkan perempuan Indonesia “terjajah”? Apakah benar bahwa sistem patriarki adalah sistem orisinil yang ada di masyarakat Nusantara?

Patriarki menurut Merriam-Webster dictionary,

1: social organization marked by the supremacy of the father in the clan or family, the legal dependence of wives and children, and the reckoning of descent and inheritance in the male line

Menurut definisi di atas dapat diringkas bahwa patriarki adalah penandaan supremasi laki-laki atau kaum ayah terhadap keluarga dan harta keturunannya. Menurut kaum feminis, patriarki menjadi penyebab rendahnya partisipasi para puan dalam ranah publik, hambatan terhadap akses pendidikan, sulitnya menapaki tangga karir, hingga beban ganda rumah tangga. Tentu semua pengkambinghitaman patriarki di atas dapat kita lacak lebih jauh dari bagaimana negara-negara di Barat memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua atau hanya sebagai objek. Celakanya, upaya menghancurkan patriarki tidak berhenti di negara Barat saja tetapi juga berlanjut ketika nilai-nilai liberalisme disuntikan kepada negara-negara Muslim, terutama negara Muslim bekas jajahan kolonialisme.

 Penjajahan dan Kemerdekaan Wanita

Sekarang mari mundur beberapa abad ke era kolonialisme. Apakah saat penjajah datang semua perempuan yang ada di Nusantara saat itu mengalami penindasan? Tidak!

Mengutip buku Peter Carey yang berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX yang ditulis bersama Vincent Houben, terdapat bukti bahwa kaum perempuan Jawa memiliki banyak peran penting. Buku tersebut menyebutkan sebelum meletusnya Perang Jawa (1825–1830), perempuan masuk ke berbagai peran baik politik, perdagangan, militer, budaya, keluarga, dan kehidupan sosial istana Jawa tengah selatan.

Menurut telaah Carey, priayi dan perempuan kelahiran keluarga kerjaan di Jawa Tengah selatan pada era akhir Perang Jawa telah menikmati kebebasan dan kesempatan hidup yang berlimpah dibandingkan dengan perempuan yang lahir pada akhir abad ke-19. Berbeda di Pulau Jawa, berbeda pula contoh di Sumatera. Kita bisa melihat bagaimana Kesultanan Pasai (sekarang Aceh) menempatkan perempuan dalam posisi terhormat dan akses yang luas terhadap partisipasi publik, tanpa embel-embel dipenjara oleh patriarki tentunya.

Ada catatan tentang Sultanah Nahrasyiyah yang memerintah Samudra Pasai selama 22 tahun (1406–1428 M). Ayahnya yang juga merupakan seorang sultan telah membimbingnya dengan baik sehingga ia menjadi wanita yang terlatih dan terdidik. Pengangkatan Nahrasyiyah sebagai seorang sultanah mendapatkan dukungan dari rakyat Samudra Pasai, khususnya para ulama. Dapat dilihat dalam sejarah Sultanah Nahrasyiyah absennya patriarki di budaya Kesultanan Pasai. Bahkan digambarkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan/ayah dan anak perempuannya/ratu dan masyarakatnya saling mendukung dan menopang. Tentu kondisi masyarakat ideal seperti inilah yang diimpikan cikal bakal aktivis feminis di Eropa. Sayang sekali, mereka terlambat 200 tahun untuk dapat mengecap manisnya komunitas masyarakat Islam dalam memperlakukan wanita.

Kemudian selanjutnya pada tahun 1641, Kesultanan Aceh Darussalam diperintah oleh raja perempuan, yakni Sultanah Safiatuddin. Ia adalah anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M) yang lahir dengan nama Putri Sri Alam pada 1612 M. Putri yang bergelar Sultanah Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641–1675 M) memberikan dampak politik yang signifikan terutama atas penempatan 16 wanita dari 73 kursi anggota Majelis Mahkamah Rakyat.

Penempatan 16 wanita tersebut tidak dilatarbelakangi politik kesetaraan gender seperti yang terjadi di era modern ini dimana pengusulan kuota legislatif perempuan terkesan “dipaksakan” menjadi 30% bahkan 50%! Padahal seyogyanya, penempatan kursi politik bukan karena seseorang tersebut perempuan atau bukan tetapi menyoroti pada kompetensi yang dimiliki tiap individu. Lagi-lagi, yang disalahkan adalah sistem patriarki. Salah patriarki sehingga perempuan modern sebelum tersentuh feminisme tidak bisa sekolah dan berperan dalam ranah publik. Salah patriarki bahwa wanita selalu terjajah.

Delusi Kemerdekaan

Esai-esai Katrin Bandel dalam bukunya yang berjudul Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial menekankan secara tegas pentingnya posisionalitas dalam dikursus gender terutama di negara bekas jajahan. Katanya, alih-alih memperjuangkan persamaan hak, individu yang mengkaji malah akan terjebak praktik pelanggengan hegemoni Barat, menganggap Eropa lebih unggul daripada negara jajahan sehingga negara dunia ketiga tersebut perlu “diselamatkan”. Meskipun Katrin adalah akademisi yang bergerak dalam kajian gender, tetapi poin yang diutarakannya cukup menarik tetapi juga kontradiktif, karena menekankan isu keperempuanan yang hadir di Indonesia adalah karya cipta kolonialisme, lalu melakukan infiltrasi “how their society works to their colony” sehingga menciptakan delusi berasaskan Western Supremacy yang masih terjadi hingga sekarang. Wong ketika aktivis feminis mencoba melempar diskursus mengenai upaya penyejahteraan perempuan, lagi-lagi kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori-teori feminisme. Bukankah ini sama saja dengan mengatakan bahwa perempuan Indonesia sekarang hanya merdeka fisiknya tetapi jiwa dan mentalnya masih terjajah?

Kenyataannya paham feminisme yang dianut pengusungnya di Indonesia masih terhegemoni oleh feminis Barat. Isu yang diangkat pun senantiasa berulang dari aktivis feminis Barat sehingga belum menghasilkan gagasan orisinil yang merepresentasikan Indonesia. Hal ini telah lama disoroti oleh Prof. Saparinah Sadli yang meragukan bahwasanya feminis Indonesia telah mengembangkan teori feminisme secara mandiri untuk menyelesaikan masalah keperempuanan di negaranya sendiri (Lihat: Saparinah Sadli, “Feminism in Indonesia in an International Context”, dalam Women in Indonesia: Gender, Equity, and Development, (ed) Kathryn Robinson dan Sharon Bessell, 2002: hlm 80).

Bagaimana bisa feminis mengobati problem (kemerdekaan) perempuan Indonesia bila khazanah berpikir untuk memecahkan masalah tersebut saja masih membeo dari Barat? Inilah mengapa feminisme menjadi paham yang rapuh dan tidak bisa bersanding dengan Islam.

Penjajahan Terselubung

Belum lagi persoalan orientalis Barat yang berteriak meminta agar negara dunia ketiga meratifikasi bebagai macam kebijakan terkait ketimpangan gender, padahal masyarakat mereka saja belum paham bagaimana menyelenggarakan dunia yang adil bagi perempuan. Mereka lupa berkaca pada “peradaban” milik sendiri. Mereka juga terkesan khilaf bahwa karena kolonialisme pula, perempuan di Indonesia di framing seolah tertindas oleh patriarki. Mereka yang berbuat, tetapi yang disalahkan untuk berbenah malah negara jajahanya. Solusi yang ditawarkan juga datangnya dari mereka yang berujung omong kosong belaka.

Salah satu fakta menggelikan yang ditemukan dalam kegiatan bedah buku Joseph Massad — Islam in Liberalism terkait cara-cara liberal masuk ke negara Islam adalah dengan Developmental Action atau ‘misi pemberadaban’Dalam buku itu disebutkan bagaimana perwakilan Inggris di Mesir, Lord Cromer, memanfaatkan wacana emansipasi wanita sebagai justifikasi perlunya kehadiran Inggris di Mesir. Lord Cromer mempropagandakan bahwa tanpa kehadiran Inggris, tatanan sosial masyarakat Mesir akan selalu menindas perempuan. Sayangnya, pengembangan peradaban yang dimaksud kaum liberal bukannya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru. Salah satu contoh bahwa liberal hanya memberikan pengembangan palsu kepada negara dunia ketiga adalah ratifikasi CEDAW. Seberapa banyak yang mengetahui negara mana yang BELUM meratifikasi CEDAW ke dalam UU mereka?

Seven member-states of the United Nations have yet to ratify it: Iran, Nauru, Palau, Somalia, Sudan, Tonga — and the United States. This makes the US the only industrialized democracy in the world that has not ratified CEDAW.

Adalah Amerika Serikat. Negara yang gencar melakukan liberalisasi ke negara kita, negara yang mengeluarkan CEDAW tetapi sampai sekarang belum juga meratifikasinya! Bukankah ini terlalu janggal? Ketika Indonesia begitu bersemangat melawan “penjajahan” perempuan dan melepaskan diri dari “kekerasan seksual”, negara yang memproklamirkan CEDAW sendiri justru belum terusik untuk meratifikasinya! Hebat bukan semangat kaum feminis Indonesia?

Ketika kita sudah sadar bahwa Barat yang menebar racun, kenapa pula kita harus mengikuti gerakan mereka menghapus “patriarki”? Semua itu tidak perlu terjadi karena “obat” yang mereka tawarkan akhirnya adalah produk sekuler dan liberalisme. Turunannya ya paham bertajuk feminisme.

Paham-paham rusak tersebut yang berusaha memisahkan otoritas agama untuk mengatur hidup manusia dan pembebasan hak manusia tanpa batas. Dengan demikian, bukankah yang diper-Tuhankan adalah justru manusia yang menghasilkan kerusakan itu sendiri?

Pendakuan Feminisme as the only one Problem Solver

Tapi di akhir zaman ini, fakta sejarah akan sangat mudah dicomot secara asal bagi pemangku kepentingan, termasuk politik feminisme. Meskipun negara Islam sudah memiliki catatan sejarah perempuan merdeka tanpa kungkungan sistem patriarki, tentu feminisme punya akal untuk melanggengkan pahamnya. Sebut saja perempuan merdeka sebelum adanya feminisme tersebut merepresentasikan semangat mereka. Mudah bukan? Istilah kerennya adalah proto-feminist.

Edward DuBois memaparkan definisi proto-feminisme sebagai berikut,

“an ancient or early author/thinker who, despite cultural and societal beliefs to the contrary, promoted or endorsed beliefs dealing with the equality of women to men in key aspects regarding social status and function.”

Tentunya definisi proto-feminisme menuai kritik di ranah konseptual. Hal tersebut seakan memaksakan kepercayaan modern kepada orang-orang yang tidak merasa berada di lingkup istilah-istilah tersebut, dan memang beberapa proto-feminis memiliki pandangan yang sangat tidak sejalan seperti apa yang disuarakan aktivis feminisme. Contohnya sosok Fatimah al Fihri dan Aisyah radhiyallahu anha yang diklaim sebagai tokoh proto-feminisme padahal jelas pandangan hidup beliau semua bertentangan dengan semangat feminisme. Tentu saja bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep proto-feminisme adalah hasil kegagalan Barat berafiliasi dan mencari jejak penindasan perempuan yang tidak pernah ada terutama dalam peradaban Islam.

Ironi, ketika sebuah semangat menghapus patriarki yang berakar dari budaya ‘berperadaban’ Western countries dipaksakan menjadi universal values terhadap negara-negara yang justru menjunjung martabat wanita, seperti yang dapat kita contoh pada era Kekhilafahan. Sebenarnya bukan masalah pengimporan paham feminisme yang perlu kita kritisi, tapi lebih jauh adalah bagaimana sebenarnya sebuah paham “lokal” hasil protes masyarakat di bagian negara tertentu yang tidak mengecap indahnya penghormatan wanita dalam tatanan sosial harus pura-pura hadir sebagai obat penindasan perempuan. Padahal feminisme dan semua wacana turunannya bukanlah obat yang bisa dicerna oleh negara Muslim.

Harusnya sekarang kita bisa lebih banyak berkaca dari segi sejarah maupun keagungan Islam dan syariat tentang bagaimana Islam menjaga wanita di posisi yang bermartabat. Seharusnya para muslimah feminis bisa lebih teliti melihat permasalahan perempuan abad ini bukanlah berasal dari sistem patriarki yang orisinil buatan Indonesia. Tetapi perlu dipahami bahwa kolonialisme lah yang menjadi biang kerok perubahan tatanan masyarakat kita mengikuti socio-culutural ala Barat. Maka, bila kita paham bahwa fenomena “perempuan tertindas” masa kini adalah efek dari kolonialisme, kita harus cerdas menolak feminisme yang diproklamirkan sebagai problem-solver tools.

Islam sudah memberikan kita “tools” tersendiri baik dalam cara berpikir hingga bermasyarakat tentang bagaimana memperlakukan wanita secara mulia tanpa tapi. Sebagai Muslim/Muslimah seharusnya kita bangga untuk memiliki pijakan berpikir yang mandiri tanpa mengusung feminisme atau menghancurkan patriarki sebagai alat meraih kesejahteraan.

Masyarakat Islam tidak mengenal patriarki sebagaimana patriarki tidak pernah tercermin dalam syariat Islam.

*Penulis merupakan Alumni KOFI (Kuliah Online Feminisme & Islam) dan anggota komunitas Calami VeritatisThe Center for Gender Studies.

 

Daftar Pustaka

Amnesty USA. A Fact Sheet on CEDAW: Treaty for the Rights of Women (https://www.amnestyusa.org/files/pdfs/cedaw_fact_sheet.pdf diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 17:29)

Dinar Dewi Kania, dkk. 2018. Delusi Kesetaraan Gender: Tinjauan Kritis Konsep Gender. Jakarta: Yayasan Aila Indonesia.

Henri Shalahuddin. 2020. Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta: INSISTS.

Iswara N Raditya. Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah (https://tirto.id/ketika-serambi-mekkah-diperintah-para-sultanah-cqkW diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 15:37)

Joseph Massad. 2015. Islam in Liberalism. USA: University of Chicago Press

Lisa Baldez. Why Hasn’t the US Ratified the UN Women’s Rights Convention? APSA 2011 Annual Meeting Paper (https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1900265 diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 16:21)

Saparinah Sadli. 2002. Feminism in Indonesia in an International Context, dalam Women in Indonesia: Gender, Equity, and Development, (ed) Kathryn Robinson dan Sharon Bessell. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Sarah Mantovani, Sejarah Partisipasi Politik Perempuan Indonesia Bagian I, (https://thisisgender.com/sejarah-partisipasi-politik-perempuan-indonesia-bagian-i/ diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020 15:29)

Pergerakan Antikeluarga dalam RUU P-KS

0

Oleh: Sarah Mantovani*

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang sering diakronimkan dengan RUU P-KS telah memasuki episode baru. RUU kontroversial yang telah diusung oleh Komnas Perempuan dan draftnya dirumuskan serta disusun oleh berbagai organisasi Feminis maupun LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) sejak tahun 2012 ini diputuskan oleh DPR untuk ditarik pembahasannya dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional) prioritas 2020.

Sebelumnya, DPR mengaku penarikan RUU ini atas usulan dari Komisi VIII. Penarikan ini tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang, sebagaimana dilansir nasional.kompas.com, menyebut pembahasan RUU ini agak sulit dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi lobby-lobby ke berbagai fraksi menemui jalan buntu. Kedua, selalu terjadi perbenturan saat membahas tentang judul dan definisi kekerasan seksual. Ketiga, masih terjadinya perdebatan mengenai pemidanaan terhadap pelaku. Lantas karena ketiga alasan ini, Komnas Perempuan menuduh DPR tidak punya kemauan politik yang kuat untuk memberikan keadilan pada korban.

Walau demikian, Rapat Paripurna yang digelar pada 16 Juli 2020 lalu menghasilkan keputusan bahwa RUU P-KS akan dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 dengan alasan lain untuk mempercepat pengesahan RUU Penanggulangan Bencana yang lebih prioritas, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com.

Saat mendengar hal ini, banyak orang khususnya umat Islam mungkin belum menyadari, ada pergerakan antikeluarga dalam RUU ini. Antikeluarga yang dimaksud ialah para pengusung maupun pendukung RUU P-KS menolak relasi antara laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan fitrahnya.

Misalnya, laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga, ataupun laki-laki sebagai pencari nafkah sehingga jika perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin atau pencari nafkah meski suaminya mampu maka dianggap sebagai bagian dari kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender.

Selain itu, mereka juga menolak larangan atas pornografi sebagai penyebab adanya kekerasan atau kejahatan seksual yang terjadi, mereka malah menyalahkan patriarki dan relasi kuasa yang konon dimiliki laki-laki sebagai biang keladi. Pun ketika ada orangtua ingin mengarahkan anaknya yang punya orientasi seksual berbeda agar kembali ke fitrahnya, maka oleh RUU ini termasuk ke dalam kekerasan seksual.

Komnas Perempuan dan berbagai organisasi feminis lainnya yang sangat memaksa DPR untuk segera mensahkan RUU P-KS mengingatkan kembali pada situasi sebelum Deklarasi Beijing dan Platform untuk Aksi (Beijing Declaration and Platform for Action) disahkan pada tahun 1995.

Berbagai wakil Negara yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dari tanggal 4 sampai 15 September 1995 bertemu di Beijing dalam rangka Konferensi Dunia keempat tentang perempuan. Salah satu yang menjadi wakil dalam konferensi tersebut ialah Presiden organisasi Pro-Keluarga Family Watch International yang juga seorang ibu rumah tangga, Sharon Slater.

Sharon pada saat itu membantu delegasi PBB pro-keluarga untuk mendukung posisi mereka selama negosiasi yang berlangsung sangat panas. Tentu sangat panas karena ada bentrokan nilai, pandangan hidup maupun pemikiran yang terjadi antara pendukung pro-keluarga dan Antikeluarga.

Dalam buku saku yang ditulisnya, Stand for the Family: a Call to Responsible Citizens Everywhere, Sharon mengaku konferensi dunia tersebut adalah salah satu poin penting dalam hidupnya dan ia menjadi saksi hidup bagaimana Negara tercintanya, Amerika Serikat, menyetujui hasil konferensi tersebut yang memasukkan hak-hak seksual untuk kaum homoseksual dan lesbian.

Sebagian besar oposisi terhadap keluarga diprakarsai oleh feminis radikal dan kelompok pendukung lainnya yang hadir, mewakili organisasi non-pemerintah (LSM) dari berbagai negara.

Sharon menyebut feminis radikal ini sebagai kelompok wanita yang mendukung (feminisme) secara militan, (mengusung) ideologi anti-patriarki yang menindas semua pria dan wanita. Mereka juga bekerja untuk melegalkan aborsi dan mempromosikan hak-hak lesbian, transgender dan homoseksual.

Perwakilan LSM ini bekerja erat dengan mayoritas anggota negara-negara anggota PBB, tujuan mereka adalah untuk memastikan bahwa dokumen yang akan dinegosiasikan akan mempromosikan pandangan anti-keluarga yang mereka bawa. Tentu Sharon merasa terkejut dengan taktik mereka.

Semangat menihilkan agama yang dibawa dalam RUU P-KS telah dikampanyekan sejak lama oleh para feminis di Eropa dan Amerika. Bahkan, Feminis Elizabeth Cady Stanton menyebut jika Bibel dan Gereja merupakan batu sandungan terbesar pada emansipasi wanita. Maka tidak heran jika semangat ini mereka bawa kemana saja.

Kaum feminis radikal, ungkap Sharon, melihat agama — dan khususnya kelompok keagamaan (mereka pertimbangkan sebagai pelaku yang melanggengkan patriarki) — sebagai penghalang utama bagi “pemberdayaan” wanita.

Pada saat itu, Sharon mengaku tidak tahu bahwa “menghormati nilai-nilai agama dan budaya​​” adalah salah satu ungkapan paling kontroversial sewaktu negosiasi dalam konferensi dunia yang diadakan PBB ini.

Jelas saja, menurut Sharon, hal ini karena agenda feminis radikal yang sedang berjalan langsung bertentangan dengan semua agama-agama besar dunia. Jika negara-negara diharuskan menghormati nilai-nilai agama, maka (semestinya) para feminis tidak dapat memaksakan agenda mereka.

Pemaksaan agenda antikeluarga ini diperlihatkan secara terang-terangan oleh para feminis radikal saat ada wakil dari Vatikan tidak setuju dan membawa nilai-nilai agama dalam konferensi tersebut kemudian ditekan agar ia ikut menyetujui agenda antikeluarga yang bertentangan dengan nilai-nilai agama tersebut, sebagaimana dikisahkan oleh Sharon,

“Dia berdiri melalui beberapa jam negosiasi yang melelahkan, dan dia tampak sangat lelah. Dia ditekan oleh semua wakil negara di dalam ruang untuk menyetujui ketentuan homoseksual. Dia telah dengan kuat mempertahankan posisinya hingga saat itu, tetapi karena negosiasi ini memerlukan konsensus, maka seluruh ruangan menekannya hingga ke dalam gua (merasa terpojok, red.).

Tekanan terhadapnya meningkat sampai, akhirnya, dia meninggalkan ruangan. Untuk menghubungi atasannya melalui ponselnya. Dia kemudian masuk kembali ke ruangan dan menghentikan proses. Dengan semua mata tertuju padanya, akhirnya dia mengumumkan bahwa “Vatikan menarik tentangannya terhadap ketentuan homoseksual”,. Saya tertegun. Saya bertanya-tanya bagaimana seorang perwakilan Vatikan bisa telah menyerah pada masalah yang begitu penting bagi iman Katolik.

Sulit dipercaya bagi saya bahwa tekanan teman sebaya dan intimidasi bisa memainkan peran penting dalam negosiasi PBB yang memengaruhi seluruh dunia.”

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Setelah RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang diusung pada tahun 2010 gagal, kini mereka membawa RUU baru dengan semangat yang tidak berbeda namun jauh lebih halus : keadilan untuk korban kekerasan seksual. Meski demikian, penguatan atau ketahanan keluarga pun tidak mereka jadikan sebagai solusi, mereka langgengkan zina dan pornografi atas nama hak asasi, bahkan nilai-nilai agama yang ada di Negara ini pun ingin mereka ganti. Mereka yang pro-keluarga dituduh melanggengkan patriarki dan menyetujui kekerasan seksual yang terjadi.

*Penulis merupakan Aktivis Yayasan Peduli Sahabat

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi Agustus 2020

Makna Persetujuan dalam RUU P-KS: Sebuah Kritik

0

Oleh: Ayu Arba Zaman, S.Pd.*

Awal bulan lalu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) resmi ditarik oleh DPR dari Prolegnas Prioritas 2020. DPR mengatakan bahwa, “Kami menarik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena pembahasannya agak sulit.”

Dari awal kemunculannya, RUU P-KS memang telah mengundang banyak kontra dari banyak lapisan masyarakat. Hal itu terkait judul dan pendefinisian Kekerasan Seksual yang dipisahkan dari norma-norma moral dan agama. Kekerasan seksual yang mereka maksud adalah aktivitas seksual yang menyalahi kehendak individu atau tidak atas persetujuan. Akibat dari adanya basis persetujuan ini, jenis-jenis kekerasan seksual yang diakomodasi oleh RUU P-KS hanya yang bersifat pemaksaan. Padahal dalam agama-agama, ada bentuk-bentuk aktivitas seksual yang disebut jahat walau tanpa pemaksaan, misalnya zina, homoseksual, atau kawin kontrak. Tentu saja ini ditimbulkan karena adanya paradigma body authority yang menyerahkan keseluruhan kontrol atas kehidupan seksualitas individu kepada individu itu sendiri. Maka sistem-sistem yang sifatnya membatasi kontrol individu atas dirinya, misalnya wahyu, akan dipinggirkan.

Persetujuan dalam Diskursus Feminisme

Dalam diskursus feminisme, orang dianggap memiliki otoritas atas tubuhnya jika dia memiliki kontrol atasnya, pihak-pihak di luar dirinya harus melakukan konfirmasi jika hendak melakukan akses atas diri tersebut. Dan persetujuan adalah bentuk konfirmasi individu yang pada masa ini dianggap sebagai sesuatu yang valid sekaligus menggambarkan kesediaan seseorang atas resiko-resiko yang mungkin akan muncul. Tetapi, wacana body authority ini sebetulnya membawa jurang yang tajam bagi feminis, karena pada gilirannya telah membangun paradigma “perempuan boleh melakukan apa saja asal dia setuju dan bertanggung jawab”. Tapi benarkah yang terjadi akan seteratur itu?

Sheila Jeffreys seorang feminis Inggris, tampaknya sangat kesal dengan konsep persetujuan dalam kaitannya hubungan seksual ini. Konsep persetujuan yang dipropagandakan feminis radikal menimbulkan beberapa masalah baru dalam diskursus feminis itu sendiri. Perspektif feminis selalu menegaskan bahwa perempuan tidak pantas menerima pelecehan bagaimanapun mereka berperilaku, dan bahwa tanggung jawab atas pelecehan selalu terletak pada pelaku. Sebuah penegasan ia tulis dalam Consent and the Politics of Sexuality, “Consent is a tool for negotiating inequality in heterosexual relations. Women are expected to have their bodies used but the idea of consent manages to make this use and abuse seem fair and justified.” Tentu saja, ini otokritik yang tajam mengingat relasi kuasa adalah common enemy yang mesti diberantas dalam wacana feminisme, tetapi feminis radikalis malah berselingkuh dengannya melalui negosiasi-negosiasi yang kemudian melahirkan wacana sex by consent (seks dengan persetujuan).

Persetujuan yang bagi Jeffreys merupakan kedok dari relasi kuasa ternyata memang benar banyak merugikan perempuan karena konsep ini memvalidasi segala bentuk perlakuan perempuan terhadap diri atau tubuhnya, padahal ia belum tahu apa yang akan terjadi ke depan. Agaknya feminis radikalis denial terhadap fakta-fakta bahwa sejatinya konsep persetujuan bersifat fluid dari waktu ke waktu, tentu saja, ini konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan tanpa komitmen yang jelas atau ikatan halal. Hari ini misalnya seorang perempuan bisa memberikan persetujuan kepada seorang laki-laki, tetapi dia tidak tahu jika keesokan harinya ia tertular suatu penyakit atau hal merugikan lainnya. Akhirnya, persetujuan yang abstrak dan cair itu kemudian ia sesali. Tetapi ia tidak bisa mengatakannya karena ketika ia menyetujui aktivitas itu berarti ia siap menanggung resiko. Sifat konsisten demikianlah yang seharusnya dilakukan pure-blood radical feminist. Akan tetapi, lagi-lagi, feminis radikal malah menjalin persahabatan dengan agen-agen kapital dan membentuk rancangan undang-undang untuk melegitimasi fakta-fakta tentang konsep persetujuan  yang mereka tolak sehingga mereka tidak bisa disalahkan.

Denial yang kedua yang mereka lakukan setelah membentuk rancangan undang-undang adalah mereka lupa bahwa—meski telah ada undang-undang yang mampu menangkap para pelaku pelecehan—sejatinya korban-korban perempuan terus berjatuhan karena konsep persetujuan ini. Hal ini juga diyakini Carmody yang ia tulis dalam Ethical Erotics: Reconceptualizing Anti-rape Education bahwa meskipun beberapa dekade feminis, aktivis dan reformis hukum telah melakukan penelitian tentang diskursus persetujuan ini, sejatinya fakta yang terjadi tidak beralih, insiden pelecehan seksual tidak juga menurun.

Fakta-fakta itu agaknya membuat teoritikus feminis seperti Catharine MacKinnon dan Carol Pateman kesal dan ingin menghancurkan gagasan-gagasan terkait kontrak, pilihan, persetujuan, dan privasi yang semakin populer menjadi slogan-slogan perjuangan feminis. Dalam bukunya Toward a Feminist Theory of the State, MacKinnon mengatakan bahwa tidak mungkin bagi perempuan untuk memberikan persetujuan kepada laki-laki karena sentralnya relasi kuasa di antara keduanya. Sistem patriarkilah yang membuat laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan untuk memberikan persetujuan, karena mereka bukan subjek bebas. Maksudnya, secara halus MacKinnon ingin, pandangan feminis tidak semudah itu menguniversalisasi makna persetujuan mengingat adanya sistem budaya partiarki yang telah mendahului tatanan sosial yang ada. Sedangkan secara radikal, keduanya ingin mengatakan bahwa diskursus persetujuan sejatinya ialah sebuah mahar yang harus dibayar agar sebagian besar wacana feminisme bisa menumpangi agenda-agenda kapitalisme dengan mengabaikan celah-celah kemungkinan buruk yang akan terjadi kepada perempuan. Kekhawatiran Catharine MacKinnon dan Carol Pateman nampaknya masuk akal. Sayangnya cara mereka melihat fenomena ini masih parsial dan belum mampu melampaui realitas empiris.

Persetujuan, sebelum digunakan menjadi asas dalam kaitannya dengan aktivitas seksual, seharusnya dibongkar terlebih dahulu secara epistemologis. Karena keabstarakan konsep persetujuan ini, Melanie A. Beres juga mempertanyakan terkait apa itu persetujuan seksual, dan bagaimana hal itu didefinisikan? Bagaimana definisi itu digunakan untuk meningkatkan (atau menutupi) pemahaman tentang kekerasan seksual? di dalam jurnalnya yang berjudul ‘Spontaneous’ Sexual Consent: An Analysis of Sexual Consent Literature.

Kesadaran dan Persetujuan dalam Timbangan Islam

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab tentang konsep persetujuan, setidaknya harus meliputi: Apakah persetujuan itu? adakah syarat seseorang bisa memberikan persetujuan? Jika ada, seperti apa? Apakah semua persetujuan bisa dikatakan valid? Dan lain sebagainya.

Syarat seseorang bisa memberikan persetujuan kepada orang lain adalah ia harus memiliki kesadaran. Sekurang-kurangnya, manusia bisa dikatakan sadar ketika dia; pertama, dapat merasakan sensasi di luar dirinya. Misal bisa merasakan panas, dingin, sakit dan lain-lain. Kedua, sensasi yang dirasakan tadi dia olah menjadi tindakan. Misalnya, jika tubuh kita merasakan panasnya api kita menghindarinya. Ketiga, tindakan tadi memiliki koherenitas dengan premis-premis yang mengelilinginya. Bagian ini yang membedakan kita dengan orang gila. Mereka yang ketika diajak bicara mampu merespon, namun respon yang dia berikan tidak berkaitan dengan topik pembicaraan.

Tetapi dalam Islam, kesadaran tidak cukup sampai di sana. Manusia harus mampu mencapai kesadaran tertinggi, yaitu kesadaran spiritual. Untuk mencapai kesadaran spiritual yang pada gilirannya menjadi pondasi kita dalam bertindak, termasuk saat memberikan respon setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu, kita memerlukan pengetahuan akan realitas yang benar. Oleh karenanya, dalam Islam, kesadaran erat kaitannya dengan ilmu. Artinya, kesadaran tidak sekedar mampu merasakan sensasi di luar dirinya atau mampunya manusia dalam bertindak, tetapi kesadaran adalah bagaimana manusia mampu mengenal diri, hakikat diri, apa yang harus dilakukannya dan apa saja batas-batas diri tersebut agar ia tidak melampaui batas. Dalam konteks ini, seseorang yang setuju melakukan aktivitas seksual tanpa ikatan yang halal karena hal itu mendatangkan sensasi bagi dia, dapat dipastikan tingkat kesadaran dia masih pada level kedua seperti yang telah disebutkan. Belum sampai pada level tiga karena tidak mempertimbangkan batas-batas moral, kesehatan dan lainnya. Maka sudah barang tentu, kesadaran sejatinya membutuhkan referensi yang benar (wahyu), bukan semata-mata realitas empiris yang nampak di masyarakat, agar kemudian kita mengerti tabi’at diri, nilai benar dan salah serta batasan-batasan yang pada akhirnya menjadi dasar dalam menyetujui atau tidak menyetujui suatu perbuatan. Seperti yang dikatakan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam al-Iman wa al-hayat bahwa seorang muslim yang mencintai tabi’at terwujud dalam kesadarannya. Yaitu ia senantiasa melihat Allah dalam semua keteraturan alam dan menyadari tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Pemahaman demikian penting, karena jika tidak, manusia akan buta saat mengklasifikasi realitas apa yang hidup dalam pikirannya. Akhirnya dia akan mengalami bias saat memutuskan atau menyetujui suatu tindakan karena terpengaruh oleh ‘awaiq-‘awaiq misalnya lingkungan, hawa nafsu, perasaan marah dan kecenderungan-kecenderungan hewani lain yang menurut Imam al-Ghazali dalam Qistas al-Mustaqim menjadi sebuah hijab bagi manusia dalam melihat hakikat realitas. Maka seharusnya, penyusunan rancangan undang-undang mestilah bersifat holistik, tidak dikotomis dengan aspek-aspek moral dan agama yang memiliki peran preventif, karena dalam hal ini RUU P-KS telah menguniversalkan tingkatan-tingkatan kesadaran manusia sehingga persetujuannya dianggap valid (yang mau tidak mau hukum mesti mengakomodasinya) dengan melompati tahapan-tahapan epistemologi yang penting. Jika demikian, sejatinya kita hanya berlelah-lelah menangkap parasit-parasit di bantaran sungai, tanpa benar-benar menghentikan sumber kemunculannya. Wallahua’lam bisshowab.

*Penulis adalah alumnus Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor & Peneliti Cluster Family and Sexuality the Center for Gender Studies

Tulisan ini telah dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 16 Juli 2020.

Distorsi Kisah Kaum Nabi Luth

0
sumber: hidayatullah.com

Oleh: A. Kholili Hasib*

Menyikapi fenomena kaum homo yang sedang ramai di media akhir-akhir ini, beberapa lembaga kenegaraan dan pakar psikiatri pun sudah memberi warning media-media yang mempromosikan budaya homo. Kita bergembira, ada kesadaran massal akan “horor kaum homo” ini, khususnya bagi anak-anak. Saya katakan horor, karena sudah memakan banyak korban anak di bawah umur dengan mengancam kejiwaan sang korban dan masa depannya. Dalam hal ini saya memang lebih cenderung menggunakan istilah homo (selanjutnya saya gunakan istilah ‘homoseks’) dari pada istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual) yang jamak kita gunakan selama ini.

Pertama, term homoseks menurut saya lebih singkat, jami’ wa mani’. Melingkupi pelaku seks sesama jenis baik sesama laki-laki maupun sesama wanita. Kedua, istilah gay masih mengandung makna lain selain berarti lelaki homoseks. Dalam bahasa Inggris gay bisa berarti “gembira”, “senang” dan lain-lain. Karena itu, dari pada makna itu  (LGBT) diperdebatkan, lebih baik saya gunakan istilah yang tidak bisa ditafsir lagi.

Menyikapi pro-kontra kaum homoseks di Indonesia ini, seperti biasa ada saja aktivis liberal yang mencari-cari justifikasi dari teks-teks agama dengan cara paksa. Dalam hal ini, kisah nabi Luth yang diceritakan dalam beberapa ayat al-Qur’an menjadi bahan diskusi.

Baru-baru ini, kelompok pro kaum homoseks menolak pendapat bahwa kaum nabi Luth diadzab oleh Allah Subhanahu Wata’ala  dikarenakan perilaku homoseksualnya. Akan tetapi mereka diadzab karena dosa lain menentang dakwah nabi Luth. Sehingga, kelompok pro homoseks menolak kisah nabi Luth untuk dijadikan argumen pengharaman hubungan sejenis.

Sebetulnya, kisah kaum nabi Luth ini tidak perlu didiskusikan lagi. Ribuan tahun sarjana Islam dan Ulama telah membicarakannya dengan tafsir yang sama. Ayat nya pun amat jelas sekali. Lalu tafsir, sejumlah hadis juga menerangkannya. Tak satu pun yang mempermasalahkan kisah kaum nabi Luth. Para sarjana Islam dan ulama ini bukan orang bodoh-bodoh.

Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum Nabi Luth atas perbuatan kejinya. Beberapa ayat saya kutipkan di sini. QS. Al-A’raf: 80-81 : “Dan (ingatlah kisah) nabi Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (kejahatan keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat-umat semesta alam. Sesungguhnya kamu menggauli lelaki untuk memenuhi syahwat, bukan (menggauli) istri. Sebenarnya kamu adalah kaum berlebihan”. Kisah ini juga diulangi dengan redaksi yang sedikit berbeda pada QS. Al-Ankabut:  28-29, QS.Al-Naml: 45-55, QS. Al-Syu’ara: 156-66 dan lain-lain.

Semua mufassir satu pendapat bahwa yang dimaksud fahisyah (kejahatan keji) dalam ayat-ayat tersebut adalah dosa homoseks. Di mana, perilaku homoseks ini belum pernah dijumpai pada umat-umat sebelum Nabi Luth. Sehingga, ayat tersebut menyebutnya perilaku ini sebagai perbuatan melampaui batas.

Batas-batas hubungan seks sudah jelas dalam diktum kitab suci dan ajaran para nabi. Laki-laki dengan perempuan dalam ikatan pernikahan. Tidak susah sebetulnya menangkap kisah kaum nabi Luth dalam ayat di atas. Tidak perlu ‘pisau’ metode hermeneutika yang merumitkan itu. Lihatlah kalimat… ”Sesungguhnya kamu menggauli lelaki memenuhi syahwat, bukan (menggauli) istri..” Mereka ini tidak mau menggauli istrinya (berjenis kelamin perempuan) tetapi meluapkan syahwatnya kepada lelaki. Lalu apanya yang kurang jelas tentang kisah ini?

Hal yang pokok dalam kisah nabi Luth di atas adalah kaum Luth ini melakukan fahisyah, melawan dakwah Nabi dan kemudian diadzab oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah faktanya. Tidak seorang pun mufassir berpendapat mereka tidak diadzab karena berbuat homoseks. Jadi super aneh jika kemudian ada yang membolehkan homoseks dengan alasan kaum nabi Luth diadzab bukan karena perilaku homoseksual itu. Apakah semua sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, mufassir, ulama, sarjana Islam adalah orang bodoh tidak tahu kandungan ayat-ayat tersebut?

Tentang kejinya perbuatan homoseksual itu, mari kita telaah satu persatu dari hadis Nabi Saw sampai pendapat para ulama. Ibnu Mas’ud meriwayatkan: “Janganlah seorang perempuan bersentuhan kulit dengan perempuan  lain (dalam satu kain/berhubungan seks) lalu ia membayangkan bahwa dia itu suaminya (padahal seorang perempuan) yang melihatnya” (HR. Bukhari). Dari Abu Musa berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Apabila lelaki menggauli lelaki, maka keduanya berzina . Dan apabila wanita menggauli wanita, maka keduanya berzina.” (HR. Al-Baihaqi). Dari Watsilah ibn Al-Asqa’ berkata: “Hubungan seksual wanita dengan sesama wanita itu zina” (HR. al-Baihaqi).

Begitu pula terdapat hadis shahih yang menjelaskan hukuman bagi orang yang berperilaku seperti perilaku kaum nabi Luth. “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw bersabda: ‘Barang siapa yang menemui mereka berperilaku seperti perilaku kaum nabi Luth, maka hukumlah dengan hukum mati pelakunya” (HR. Tirmidzi). Selain Tirmidzi, hadis ini juga ditransmisi dari jalur Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud hadis no. 4462, Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah hadis no. 2561. Hadis-hadis tersebut di atas menjelaskan tentang kejahatan keji yang dikisahkan dalam beberapa ayat al-Qur’an di atas.

Jika pun, kaum pro homoseks menilai ayat al-Qur’an yang berkisah tentang kisah nabi Luth sebagian kalimatnya dzanni (ambigu), maka ada jalan keluar metodologis yaitu merujuk kepada penjelasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam melalu hadis, karena fungsi hadis adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an. Jika ada jalan metodologis, kenapa kaum pro homoseks menolak fungsionalisasi hadis ini? Di sinilah saya membaca ada kepentingan ideologis kaum pro homoseks, akibatnya a-metodologis (tidak sesuai metodologi yang berlaku). Menafsir al-Qur’an itu bukan seperti membaca Koran. Ada ilmu dan metodologinya. Seorang sarjana semestinya berargumen berdasar ilmu dan metodologi. Ketika tiba-tiba a-metodologis, maka patut diragukan kesarjanaannya.

Ibnu Hazm — ulama madzhab Malikiyah asal Andalusia — disebut-sebut menolak pandangan yang mengaitkan azab kaum Luth disebabkan perbuatan seks sesama laki-laki melainkan karena penolakan mereka terhadap ajakan Nabi Luth dan misi kenabiannya. Benarkah demikian?

Lagi-lagi, cendekiawan yang pro homoseks ini pura-pura tidak tahu fatwa Ibnu Hazm ataukah sengaja melakukan manipulasi? Mari kita buka lembar per lembar Kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm. Bagi yang bisa membaca teks bahasa Arab, silahkan dipelajari kalimat per kalimat fatwa tersebut.

Dalam Kitab Al-Muhalla itu, Ibnu Hazm tegas menyatakan bahwa perilaku homoseksual itu haram dan dosa besar. Bahkan dikatakan barangsiapa yang menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Allah Swt maka dia kafir, musyrik. Ternyata, Ibnu Hazm dalam kitab tersebut mendiskusikan hukuman bagi pelaku homoseks. Apakah dita’zir ataukah hudud atau cambuk. Di sinilah Ibnu Hazm berbeda dengan ulama lain. Karena sudah ma’lum para ulama memang ikhtilaf (berbeda) dalam soal jenis hukuman yang diberikan, bukan soal hukum perilaku homoseks itu sendiri. Semua mufakat homoseks adalah haram, kejahatan yang keji. Tetapi hukuman pelakunya yang berbeda-beda pandangan. Ibnu Hazm berpendapat bahwa hukumannya adalah ta’zir  (Baca Ibnu Hazm, al-Muhalla jilid 12 tentang hukuman ta’zir).

Namun mayoritas berpendapat hukumannya adalah hukuman mati. Beliau melemahkan hukuman hudud dan bakar yang difatwakan beberapa ulama lainnya. Ini persoalan ijtihad, bukan perkara yang aksiomatis. Sehingga, tidak perlu dibesar-besarkan.

Jadi, cukup disayangkan, masih ada cendekiawan Muslim yang terbilang terdidik, memeras daya otak, kecerdasan dan kepintarannya hanya sekedar untuk melegitimasi “horor kaum homo” ini. Suatu pemerasan otak yang sia-sia, bahkan menghina kepintarannya. Ada kemaslahan yang jauh lebih besar jika kepintarannya itu digunakan secara positif. Terbukti, ada manipulasi terang-terangan penjelasan tentang fatwa Ibnu Hazm. Maka ini merupakan sebuah keprihatinan, memanipulasi teks-teks keagamaan demi membela mati-matian kelamin kaum homoseks. Wallahu a’lam bis showab.

Tulisan ini pernah dimuat di Hidayatullah.com tahun 2016

*Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya dan The Center for Gender Studies

 

Miskonsepsi Kekerasan Seksual

0

 Oleh: Helmi Al Djufri*

Pada tahun 2016-2019 masyarakat Indonesia disibukkan dengan adanya Rancangan Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Kontroversi tersebut bersumber dari pemahaman ideologis dan paradigmatik konsep kekerasan seksual di dalam naskah akademik dan rancangan undang-undangnya. Walaupun saat ini RUU P-KS sudah tidak dilanjutkan pembahasannya karena berisi pasal-pasal kontroversial dan bertentangan dengan Pancasila serta nilai-nilai Ketuhanan, tetapi secara semangat ideologis, konsep dan paradigma kekerasan seksual yang ada dalam RUU P-KS selalu digaungkan di media sosial, terutama jika ada kasus pelecehan seksual. Penulis sangat tertarik menyoroti diskursus yang dikemukanan berbagai pihak; baik yang pro maupun yang kontra. Dalam hal ini penulis akan memberikan pandangan secara teori,  normatif maupun praktiknya.

KRITIK PARADIGMA RUU P-KS

Paradigma kekerasan seksual sebagaimana dapat ditemukan dalam draft awal RUU P-KS (sebelum direvisi), yang mendefinisikan sebagai berikut:

“Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.

Dari definisi tersebut, kemudian dijabarkan terdiri dari 9 bentuk kekerasan seksual, sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 ayat (2):

  • Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. pelecehan seksual;
  2. eksploitasi seksual;
  3. pemaksaan kontrasepsi;
  4. pemaksaan aborsi;
  5. perkosaan;
  6. pemaksaan perkawinan;
  7. pemaksaan pelacuran;
  8. perbudakan seksual; dan/atau
  9. penyiksaan seksual.

Dalam draft terakhir Pasal 11 ayat (2) ini pun sudah mengalami perubahan dengan menghapus beberapa bentuk kekerasan seksual, Penulis tetap mengkritisi draft pertama sebagai rujukan pada tulisan ini, karena menurut penulis draft pertama merupakan draft orisinil dari para penyusunnya, dan kehendak dari adanya RUU P-KS tersebut juga dapat mudah dipetakan, sehingga kritik terhadap gagasan maupun paradigmanya dapat dibaca secara teoritik, normatif maupun secara praktik.

Definisi maupun sembilan bentuk kekerasan seksual tersebut didasari pada praktik empiris atau masalah faktual yang kebanyakan dialami kaum perempuan, hal ini dapat ditemukan dalam naskah akademiknya halaman 34-44.

Naskah akademik dan RUU P-KS nya tidak menguraikan bentuk kekerasan seksual tersebut sebagai konsep kejahatan seksual. Sehingga muatan substansinya berperspektif perempuan, tidak berperspektif objektif dan normatif. Secara objektif, kejahatan seksual banyak juga dilakukan oleh perempuan, bukan saja laki-laki, seperti kasus perkosaan; ada juga perempuan yang memerkosa laki-laki, ada juga kasus homoseksual memerkosa orang lain yang sejenis. Sedangkan  hubungan seks bebas yang lebih dominan telah menjadi realitas sosial masyarakat tidak disinggung sedikitpun dalam naskah akademik dan RUU nya.

Secara normatif, bentuk hubungan seksual itu termasuk dalam kategori kejahatan. Maka, nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai yang dianut masyarakat adat, sepatutnya menjadi sumber nilai dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan seksual. Bukan bersumber dari laporan dan pengaduan masyarakat khususnya perempuan ke Komnas Perempuan atau Forum Pengada Layanan. Hal ini mengaburkan konsep kejahatan seksual yang sebenarnya. Karena itu paradigma yang digunakan dalam RUU P-KS cenderung tendensius dan bernuansa emosional (perasaan), bukan bertujuan untuk membangun peradaban mulia dengan cara mencegah terjadinya hubungan seks bebas dan penyimpangan seksual. Penulis secara tegas mendasarkan pandangannya secara teoritik hukum pidana dalam bahasan berikutnya.

TEORI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

Menurut Utrecht (1994: 82-83) KUHPidana membagi delik-delik (peristiwa pidana) itu dalam: kejahatan (misdrijf) dan pelanggaran (overtreding). Menurut Memorie van Toelichting (KUHP) pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarakan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechts delict) dan apa yang disebut delik undang-undang (wets delict).

Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas daripada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana. Oleh sebab itu, maka termasuk azas-azas hukum positif itu jugalah azas-azas hukum yang tidak dicantumkan secara tegas dalam undang-undang pidana. Dengan kata lain: termasuk azas-azas tersebut jugalah perbuatan-perbuatan yang dapat disebut strafwaardig (bukan strafbaar), yaitu perbuatan-perbuatan yang seharusnya dikenai hukuman tetapi undang-undang pidana tidak menyebutnya sebagai delik.

Contoh: permohonan pengujian undang-undang terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan, dalam kesadaran hukum masyarakat bahwa zina adalah dilarang menurut agama, adat dan moral Pancasila, pemohon meminta agar makna zina diperluas, tidak terbatas atau menjadi suatu sarat perbuatan pidana yang pelakunya salah satunya terikat perkawinan. Dasar pemikiran pemohon sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung, makna zina yang diperluas oleh Mahkamah Agung sebagaimana Yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1976 tanggal 19-11-1977 dinyatakan: “Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan pidana yang mempunyai bandingannya dengan KUHP. Delik adat zina merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti disyaratkan oleh Pasal 281 KUHP ataupun terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP”. Begitupun dengan  perbuatan cabul, pemohon meminta agar perbuatan cabul dengan anak bukan menjadi suatu sarat perbuatan pidana, melainkan cabul dengan sesama orang dewasa pun merupakan kejahatan yang harus diatur dalam KUHP. (pen.) 

Yang dimaksud dengan delik undang-undang (wets delict) itulah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana, terlepas dari pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat.

Contoh: undang-undang lalu lintas, yang menentukan berbagai sarat pengemudi dapat mengendarai kendaraannya di jalanan harus memenuhi ketentuan undang-undang; memakai helm, menyalakan lampu besar, memiliki dua kaca spion, memiliki SIM, STNK, dan sebagainya. Orang yang melanggar salah satu ketentuan tersebut disebut sebagai pelanggaran (wets delict), bukan kejahatan (rechts delict). Sebagai misal, di wilayah Bali penggunaan simbol agama untuk penutup kepala (peci/ songkok, atau ikat kepala untuk ibadah orang Hindu) sebagai pengganti helm dapat dibolehkan oleh penegak hukum karena menghargai nilai-nilai lokal yang berkembang di masyarakat, dan orang yang tidak memiliki SIM atau tidak terdapat dua kaca spion di motornya tidaklah dapat dikatakan sebagai pengendara yang jahat, karena pelanggaran atas hal tersebut tidaklah melanggar norma agama, adat atau nilai-nilai sakral yang diyakini oleh masyarakat. (pen.)

Menurut Gewin (1913) sebagaimana dikutip Utrecht (1994: 89) ia melihat kejahatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan, sedangkan pelanggaran lebih boleh dilihat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum (publik) yang dibuat manusia.

Pembagian delik pada kejahatan dan pelanggaran sudah ada sejak abad pertengahan, yang terkenal juga pembagian delik dalam Freidensbruche dan Rechsbruche. Dalam Rechsbruche dapat diadakan komposisi, yaitu hukuman dapat ditebus atau dibeli (afkoop) dengan membayar sejumlah uang. Dalam Islam hal ini dikenal dengan hukuman diyat (pen.). Pada abad ke-17 seorang ahli hukum bernama Carpzovius menurutnya, di Jerman, delik dapat dibagi dalam:

  1. Delicta atrocissima, yang dihukum dengan menjatuhkan hukuman mati istimewa (hukuman mati yang dijalankan secara paling keras) –hal ini mirip dengan hukum Islam mengenai hukuman rajam bagi pelaku zina yang terikat perkawinan (pen.)-
  2. Delicta atrocia, yang dihukum dengan menjatuhkan hukuman mati biasa atau hukuman badan (lijsstraffen).
  3. Delicta levia, yang dihukum dengan dengan menjatuhkan hukuman ringan.

(Utrecht, 1994: 85).

Menurut De Beccaria (1764) sebagaimana dikuti Utrecht (1994) seorang ahli kejahatan dan hukum pidana membagi kejahatan terdiri dari dua macam:

  1. Kejahatan ganas, yang ditujukan kepada jiwa manusia, dan
  2. Kejahatan biasa.

Dalam perundang-undangan hukum pidana di Negeri Perancis pada tahun 1971, delik dibagi dalam tiga macam: crimes, delits, contraventions. Pembagian delik ini kemudian diikuti juga di Jerman. Hukum pidana Jerman membagi delik itu dalam Verbrechen, Vergehen, dan Ueberttretungen. Perbedaan antara tiga macam delik ini dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan. (Utrecht, 1994: 85). Karena Code Penal berlaku juga di Negeri Belanda, maka sampai tahun 1886 terkenal juga pembagian delik dalam tiga macam tersebut, karena KUHPidana tahun 1866 dan KUHPidana tahun 1872 di Indonesia adalah tiruan dari Code Penal Perancis, yang sebelum tahun 1886 masih berlaku di Negeri Belanda, maka disini juga terkenal pembagian delik dalam tiga macam tersebut sampai tanggal 1 januari 1918, hukum pidana di Indonesia mengenal:

  1. Misdrijven (crimes)
  2. Wanbedrijven (delits)
  3. Overtredingen (contraventions).

Namun, pembagian delik ini dalam Code Penal Perancis hanyalah untuk menyesuaikan kekuasaan menghukum dengan hirarki badan-badan pengadilan di Negeri Perancis, tidak ada alasan hukum dan prinsipil atas pembagian ini. Atas pembagian itu, menurut Utrecht (1994: 87) bahwa pada hakekatnya setelah tahun 1915 di Indonesia tetap mengenal tiga macam pembagian delik, yaitu:

  1. Kejahatan,
  2. Kejahatan enteng,
  3. Pelanggaran

Lebih lanjut Utrecht (1994: 94) menjelaskan bahwa pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” seperti diadakan oleh KUHPidana itu menimbulkan beberapa akibat penting dalam hukum pidana positif. Dalam hal “kejahatan” maka harus dibuktikan adanya sengaja (opzet) atau kealpaan (culpa, schuld) pada pembuat delik, yakni dalam hal kejahatan maka dipersoalkan apakah pembuat delik melakukan perbuatannya dengan sengaja atau delik terjadi karena pembuat kurang berhati-hati (kurang teliti, lalai, onachtzaam), yang harus membuktikan adanya sengaja atau kealpaan itu Jaksa (dan Hakim).

Dalam hal pelanggaran biasanya ada sengaja atau kealpaan itu tidak perlu dibuktikan. Di sini sengaja atau kealpaan itu dianggap ada. untuk pembuktian pelanggaran Jaksa dibebaskan dari kewajiban membuktikan adanya sengaja atau kealpaan itu. Tetapi, apabila Terdakwa dapat membuktikan dirinya tidak bersalah maka ia dibebaskan dari hukuman. Azas ini terkenal dengan rumus “tiada hukuman dengan tiada kesalahan” (geen straf zonder schuld). Azas ini diterima di Negeri Belanda maupun di Indonesia sejak tahun 1916.

 

*Penulis adalah

  • Sekretaris dan Advokat dan Konsultan Hukum pada Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Cabang DKI Jakarta (PAHAM Jakarta),
  • Sekretaris Bidang Hukum dan Legislasi PP KB PII,
  • Mahasiswa Doktoral SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Daftar Pustaka

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan, tahun 2017.

Permohonan Pengujian Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016 (KUHP).

Putusan Nomor: 46/PUU-XIV/2016. Jakarta, Mahkamah Konstitusi RI, putusan dibacakan tanggal 14 Desember 2017.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, (draft awal).

Soerodibroto, R. Soenarto, (2009). “KUHP dan KUHAP”. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.

Utrecht, E., (1994). “Hukum Pidana I”. Surabaya, Pustaka Tinta Mas.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 16 Juli 2020.

Jadi … Perempuan atau Wanita?

0

Oleh: Ayu S Larasaty*

Buku berjudul Perempuan-perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa karya Khrisna Bayu Aji dan Sri Wintala Achmad bisa dikatakan cukup menarik perhatian, karena selain penulisan buku ini dimaksudkan untuk mengikuti tren penyetaraan gender dengan memunculkan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah kerajaan Indonesia, buku ini juga menyimpan jawaban dari sebuah klaim feminis atas kata ‘perempuan’ yang kini seolah merupakan bagian dari pergerakan feminisme di Indonesia.

Terminologi yang Dipertentangkan

Barangkali sebenarnya hal tidak terlalu penting untuk dibahas, tetapi ia menjadi penting karena adanya upaya-upaya kelompok feminis untuk merebut kata ‘perempuan’, supaya terlihat identik dengan pergerakan feminisme di Indonesia. Maka tidak heran hampir di semua gerakannya, feminis Indonesia lebih memilih menggunakan kata ‘perempuan’ dibandingkan ‘wanita’. Hipotesa ini juga diperkuat dengan bukti sebuah konten dari akun Indonesia Perlu Feminisme bulan September tahun 2019, yang isinya kurang lebih seperti ini [1],

“Wanita dalam etimologi bahasa Jawa, diartikan sebagai ‘wani ditoto’, artinya ‘berani diatur’, ‘berani ditata’. Jika dilihat dari etimologi ini, penggunaan kata ‘wanita’ membuat seseorang menjadi OBJEK, karena tidak merdeka atas dirinya sendiri, padahal setiap orang merupakan SUBJEK HUKUM yang memiliki kewenangan untuk bertindak.[…]

Kata perempuan berasal dari kata EMPU yaitu gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’ atau ‘orang yang sangat ahli’. Kata ini berarti bahwa perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri.”

Kelompok feminis Indonesia lebih memilih ‘perempuan’ karena menurut mereka dalam kata tersebut terkandug arti kepemilikan atas dirinya sendiri sehingga pemiliknya bebas dan merdeka atas kendali terhadap tubuhnya sendiri. Hal ini tentu sejalan dengan wacana otonomi tubuh yang menjadi fokus utama pergerakan feminisme. Wacana tersebut menjadi dasar atas jargon-jargon khas feminis yaitu “My body is mine”, atau kalau ‘feminis muslim’ narasinya menjadi “Setelah milik Allah, tubuhku adalah sepenuhnya milikku”, “Don’t tell me how to dress, tell men not to rape”, “Sex work is a work”, “Yes means yes, no means no”, hingga jargon turunannya seperti normalisasi “free sex” menjadi “consensual sex” dan kebebasan aborsi menjadi “pro-choice”.

Di sisi lain, penolakan kelompok feminis terhadap kata ‘wanita’ adalah karena menurut mereka, kata ‘wanita’ dalam etimologi Jawa tidak menempatkan perempuan sebagai subjek, melainkan sebagai objek. Penempatan perempuan sebagai objek ini seringkali diidentikkan dengan ketertindasan untuk memperoleh haknya, kontrol terhadap tubuh perempuan, pembatasan peran perempuan di ranah publik berdasarkan fungsi biologis tubuh mereka dan apapun yang bersifat mengatur perempuan.

Namun, apakah penolakan kelompok feminis pada kata ‘wanita’ ini sudah benar?

Siapa sih Perempuan itu?

Apa yang muncul dalam benak Anda semua saat membaca pertanyaan di atas? Mungkin banyak dari Anda akan menggambarkan perempuan itu adalah ibu, istri, saudari, teman perempuan, sosok yang sedang Anda doakan agar menjadi teman hidup, atau juga sosok yang Anda kagumi dari kisah sejarah perempuan-perempuan yang disebut namanya dalam Al Qur’an, ummahatul mukminin, shahabiyyah, para ilmuwan atau mungkin perempuan tangguh yang menjadi pejuang di Indonesia.

Namun, tak sedikit dari kita semua masih terjebak dalam gambaran bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, yang harus dilindungi, yang berhati lembut hingga mudah tersakiti, dlsb. Hal tersebut boleh jadi benar jika menggunakan sudut pandang yang bertujuan untuk memuliakan dan melindungi perempuan. Hanya saja, memang kondisi sosial tidak selalu ideal sehingga alih-alih memuliakan dan melindungi, hal tersebut malah menjadi alasan bagi banyak orang menganggap remeh dan bahkan secara sadar ingin menindas perempuan.

Hal ini yang sepertinya menggerakkan Khrisna Bayu Aji dan Sri Wintala Achmad untuk mengangkat tokoh penguasa kerajaan di tanah Jawa, Aceh dan daerah lainnya dalam buku mereka, Perempuan-perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa. Meskipun para pembaca tentu tidak akan puas dalam mendapatkan gambaran keseluruhan peristiwa sejarah yang urut dan rinci dalam buku dua ratus halaman tersebut, tapi setidaknya dapatlah tergambar beratnya kewajiban dan tugas yang harus mereka tanggung saat memimpin kerajaan, memberikan keputusan disaat kegentingan politik di kerajaannya, berstrategi melawan penjajah, mengatur perekonomian, menegakkan hukum dengan adil, menanggapi orang-orang yang menentang kekuasaannya, bahkan di saat yang sama ada beberapa di antara mereka yang harus mengalami kisah cinta yang bisa dibilang tidak indah.

Dengan demikian  terbuktilah bahwa wanita bukanlah sekedar orang kedua dalam kehidupan di dunia, melainkan juga bisa menjadi orang pertama yang berperan sebagai pemimpin negara.

Yang menarik dalam buku ini, pada bagian awal penulis menjelaskan bahwa terwujudnya simbiosis mutualisme antara wanita dan pria ialah kunci dalam menciptakan stabilitas kehidupan. Wanita dan pria adalah dua unsur yang saling melengkapi untuk menciptakan keselarasan hidup bersama. Sebaliknya, bila kedua unsur itu tidak terjalin dinamis, maka bukan kedamaian yang tercipta. Melainkan petaka besar yang dapat menghancurkan bangunan rumah tangga, negara, dan bahkan dunia. [2]

Simbiosis mutualisme yang dinamis seperti diungkapkan penulis terjadi karena perempuan-perempuan tangguh tersebut tidak menyandang predikat perempuan, namun wanita, yang dalam pemahaman orang Jawa berarti wani ditata (berani diatur) dan sekaligus wani nata (berani mengatur) sebagaimana kaum pria. Pengertian wani ditata adalah wanita wajib mendengarkan dan melaksanakan petuah-petuah yang baik dari guru laki (suami). Sementara wani nata berarti wanita harus mampu memberi pertimbangan atas pemikiran suami hingga lahirlah sebuah keputusan yang arif demi kebaikan bersama dalam satu keluarga. [3]

Jadi, apabila seorang perempuan mampu menjalani perannya dengan baik dalam berumahtangga, tentu saja akan menjadi mudah baginya berperan dalam urusan lain yang terkait dengan kehidupan sosial bahkan dalam bernegara. Konsep keseimbangan dan hubungan simbiosis mutualisme yang bersifat dinamis tersebut lah yang menyebabkan penulis tidak menggunakan kata perempuan dalam pembahasan kisah-kisah di bukunya, melainkan menggunakan kata wanita.

Quo Vadis Kebebasan?

Dalam penjelasan di atas, kita sudah bisa dengan mudah memahami bahwa sebenarnya kaum feminis di Indonesia tidak terbuka dan tidak adil dalam memberikan informasi kepada pengikutnya yang lugu dan pragmatis. Seandainya dijelaskan bahwa arti kata ‘wanita’ tidak hanya wani ditata (berani diatur) mungkin tidak sedikit yang akan berpendapat bahwa arti kata ‘wanita’ bukanlah suatu hal yang buruk.

Tapi karena ini bukan pertama kalinya kaum feminis menuntut keadilan dengan cara yang tidak adil, maka patut kita pertanyakan, mengapa kaum feminis tidak terbuka dalam menggiring pengikutnya agar menggunakan terminologi perempuan dibandingkan wanita?

Yap, benar. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah pengenalan wacana dan konsep otonomi tubuh yang membebaskan perempuan untuk melakukan apapun terhadap tubuhnya. Karena menurut pandangan kelompok feminis, perempuan akan selamanya terjebak dalam ketertindasan jika mereka tidak mendapatkan kebebasan atas tubuhnya.

Konsep kebebasan tubuh ini adalah ciri khas individualisme barat yang hanya bertumpu pada aspek jasmani dan mengesampingkan aspek ruhani. Hal ini juga sejalan dengan filsafat etika barat yang secara sosial mengutamakan kemerdekaan individual (jasmani) untuk menentang segala intervensi yang berupa norma masyarakat, negara bahkan agama. Sehingga orang-orang yang cenderung pada kebebasan ala barat tidak menyukai standar norma yang diberlakukan negara (undang-undang) dan norma agama (adab).

Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dasar konsep kebebasan dalam Islam adalah pemulihan atau pengembalian manusia (kepada fitrah) [4] karena seluruh manusia terlahir dalam keadaan fitrah dan ruh manusia juga telah terikat perjanjian dengan Allah sebagaimana diterangkan dalam QS. Al A’raf ayat 72, yang artinya:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”

dan juga dalam hadits berikut,

“Semua bayi (yang baru lahir) dilahirkan di atas fitrah (cenderung kepada Islam), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani atau Majusi.” [5]

Manusia terlahir dalam keadaan fitrah, namun saat dewasa mereka lalai sehingga banyak yang bermaksiat atau kufur kepada Allah. Oleh karena itu, fungsi agama adalah memulihkan manusia supaya kembali kepada fitrah. Pemulihan atau pengembalian kepada fitrah ini lah yang menjadi dasar konsep kebebasan dalam pandangan Islam.

“… sehingga begitu pula paham kebebasan yang merujuk kepada kepribadian diri insan itu. Pengikut pandangan Islam merupakan kebebasan diri ruhani dan dari itu maka kebebasan berarti kepada pemulihan serta penyaksian diri akan hakikat semula jadinya. Gerak daya yang digelar bebas itu adalah gerak daya yang menyerahkan diri jasmani niscaya tunduk takluk kepada diri ruhani dengan cara mematuhi undang-undang serta hukum akhlakiyyah yang ditetapkan oleh agama.”

Jadi kita akan melihat perbedaan yang signifikan antara konsep kebebasan dalam Islam dan konsep kebebasan a la barat. Kebebasan dalam Islam berarti sebuah proses menyerahkan diri kepada satu konsep kebenaran kemudian tunduk dan patuh pada kebenaran tersebut. Proses penyerahan diri tersebut kemudian tercermin pada upaya-upaya untuk membuat pilihan-pilihan yang baik, sehingga makna kebebasan dalam Islam adalah kebebasan dalam memilih yang paling baik di antara pilihan-pilihan baik.

Upaya kita untuk membuat pilihan-pilihan yang baik itu disebut ikhtiyar. Kata ikhtiyar merupakan terminologi kebebasan dalam Islam yang berasal dari kata ‘khoyr’ yang berarti ‘kebaikan’, sehingga ikhtiyar berarti memilih yang baik.

Dengan demikian, jika kita senantiasa dinasehatkan untuk melakukan sholat istikhoroh disaat sedang bimbang, kebimbangan kita itu harus memenuhi indikator ada di antara pilihan-pilihan yang baik, bukan di antara pilihan baik dan buruk atau di antara pilihan-pilihan buruk. Karena muslim tidak diperintahkan untuk memilih kepada selain yang terbaik untuk dirinya. Jadi, kebebasan dalam Islam adalah hal yang membebaskan jiwa atau ruh manusia dari segala pilihan yang buruk. Memilih hal yang buruk bukanlah kebebasan melainkan sebuah kedzoliman dan kecelakaan.

Kebebasan Wanita dalam Islam

Upaya kelompok feminis dalam menerapkan kebebasan yang biasanya dinampakkan ke permukaan adalah bagaimana mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan, inklusivitas dalam pelayanan kesehatan untuk perempuan dan anak, menolak diskriminasi kepada buruh perempuan, dan seolah bersuara paling lantang pada kasus kejahatan seksual. Sehingga banyak perempuan (terutama perempuan muslim) yang terpesona untuk ikut berperan dalam gerakan yang diusung para feminis.

Upaya yang dilakukan oleh aktivis feminis Muslim pun juga serupa, mereka menarik tafsir-tafsir ayat Al Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan perempuan hingga sejajar dengan konteks kesetaraan gender, sehingga menimbulkan kesan bahwa dalam Islam laki-laki lebih diutamakan dari wanita. Seolah tidak ada bedanya Islam dengan agama lain yang mendiskriminasi dan menindas wanita. Itulah sebabnya mengapa banyak perempuan Muslim yang mudah mengabaikan kalimat “Islam sudah memuliakan perempuan”, mereka menganggap kalimat tersebut utopis, tidak sama dengan kenyataan, tidak sama dengan apa yang ia rasakan setelah mengenal kesetaraan gender.

Mereka bingung dalam membedakan mana yang merupakan sebuah hukum, mana yang merupakan implikasi sebuah hukum dan mana yang merupakan masalah. Dalam bidang pendidikan misalnya, Islam tidak melarang perempuan untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan terbaik, Allah berfirman dalam QS. Al Mujadillah : 11 yang artinya, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Pada ayat tersebut, ilmu tidak dilekatkan pada jenis kelamin tertentu, baik perempuan saja atau laki-laki saja. Sehingga baik perempuan atau laki-laki apabila berilmu maka akan Allah tinggikan derajatnya di antara manusia yang lain. Ketiadaan pelekatan kewajiban menuntut ilmu pada jenis kelamin tertentu juga termaktub pada hadits riwayat Muslim yang berbunyi, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” [7]

Jadi dapat disimpulkan bahwa  Islam tidak melarang bahkan mendiskriminasi perempuan untuk menuntut ilmu dan mendapatkan pendidikan yang baik. Implikasi dari hukum ini tentu saja berupa fakta sejarah dimana perempuan muslim sejak dulu telah memiliki kebebasan dalam menuntut ilmu. Lantas, bagaimana cara sebagian kelompok feminis Muslim bertanggung jawab pada pernyataan mereka yang kerap menimbulkan kesan bahwa Islam tidak memperlakukan perempuan dengan adil, sedangkan fakta sejarah menyatakan sebaliknya?

Bahwa di masa Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam perempuan Muslim menghadiri sholat isya’ dan sholat shubuh di masjid Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam, perempuan Muslim menghapalkan surat Qaaf langsung dari mulut Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam, perempuan memenuhi undangan ke masjid yang disampaikan oleh muadzin, perempuan menuntut Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk menyediakan waktu khusus untuk perempuan, banyak perempuan yang langsung mendatangi Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk menanyakan pertanyaan yang bersifat umum atau pribadi.

Lalu yang tak kalah mencengangkan, jika kaum feminis mengklaim bahwa perempuan Muslim mengalami diskriminasi, bagaimana bisa mereka ikut serta dalam beberapa peperangan bersama Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam? Oke, mungkin sebagian dari feminis Muslim akan berkilah dengan mengatakan bahwa jelas saja perempuan mendapatkan haknya karena mereka dekat dengan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wassalam. Tapi, bagaimana mereka menjelaskan fakta sejarah tentang Ratu Aceh Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat? Beliau adalah anak seorang Raja Aceh bernama Iskandar Muda, singkat cerita saat Raja Aceh meninggal dunia, di Aceh terjadi kekosongan kekuasaan. Sehingga pada saat itu, ulama-ulama Aceh berijtihad untuk menjadikan Shafiatuddin sebagai Ratu yang memimpin Aceh pada saat itu.

Ijtihad ini bukanlah tanpa alasan, melainkan karena sosok Shafiatuddin terkenal sebagai seorang yang sangat cerdas, mumpuni, menguasai banyak ilmu agama, bahasa, beliau dinilai mampu memimpin Aceh pada saat itu dan beliau memimpin Aceh selama 32 tahun. [9] Bisa kita bayangkan? Aceh yang sejak dahulu sampai sekarang terkenal dengan ketatnya hukum Islam yang berlaku disana, ulamanya malah berijtihad untuk menjadikan seorang perempuan memimpin kerajaan di masa itu?

Lalu, sekitar seratus tahun sebelum Ratu Aceh Tajul Alam Shafiatuddin Johan Berdaulat, kita mengenal Laksamana Malahayati, mungkin banyak dari kita hanya mengetahui namanya, tapi tahukah bahwa beliau adalah seorang pelaut, laksamana, pemimpin perang melawan VOC. Yang lebih keren lagi, ternyata pasukan beliau tidak semuanya laki-laki melainkan juga para perempuan yang terdiri dari para janda dan para gadis yang masih belia. Jika hukum Islam mendiskriminasi dan membatasi perempuan dalam banyak hal tentu saja fakta sejarahnya akan sesuai dengan hukum tersebut.

Persoalan lainnya, mengenai perempuan yang tidak sekolah atau putus sekolah tentu nyata adanya dan itu merupakan sebuah masalah yang harus kita selesaikan bersama. Akan tetapi, kenyataan tidak bisa melanjutkan dan akhirnya putus sekolah itu tidak hanya dialami perempuan, bahkan persentasenya lebih besar laki-laki. [10] Penyebab terjadinya putus sekolah adalah kemiskinan, sulitnya akses ke sekolah, minimnya tenaga pendidik, dlsb.

Kalau memang Islam mendiskriminasi perempuan sehingga mereka menjadi terhalang untuk sekolah tentu hal tersebut akan berimplikasi pada banyaknya perempuan yang tidak bisa sekolah hingga sekarang. Tapi nyatanya tidak demikian. Banyak sekali perempuan yang mendapatkan kemudahan dan kebebasan untuk meraih pendidikan. Mungkin salah satunya  adalah Anda yang membaca tulisan ini. 🙂

Saatnya Menentukan!

Meski panjang, tetapi semoga apa yang berusaha disampaikan melalui tulisan ini cukup jelas dan dapat menjawab beberapa pertanyaan. Tujuan tulisan ini adalah untuk menjabarkan minimnya literasi kelompok feminis dalam menentukan terminologi ‘perempuan’ untuk mendukung gerakannya, sifat destruktif konsep kebebasan barat yang diusung oleh feminisme, fakta sejarah perempuan Islam yang tidak akan pernah bisa apple to apple dengan konsep kesetaraan gender, juga himbauan agar kita mampu membedakan ‘mana hukum’ dan ‘mana masalah’ yang harus kita selesaikan bersama.

Lantas apa perlu kita membuat gerakan dengan menggunakan terminologi ‘wanita’? Jawabannya tidak, yang kita perlukan adalah tetap menggunakan dan menggemakan agar semua kata yang merujuk pada perempuan, wanita, feminim, putri hanya melekat kepada mereka yang secara biologis terlahir sebagai perempuan.

Meskipun menampilkan diri sebagai penyelamat dan pejuang hak perempuan, kelompok yang kita hadapi sebenarnya adalah kelompok yang tidak ragu untuk merekonstruksi definisi arti kata ‘perempuan’ tersebut.

 

Referensi

[1] Konten Indonesia Perlu Feminis pada September 2019, https://www.instagram.com/p/B17eEywADQl/ (diakses pada 15 Mei 2020)

[2] Khrisna Bayu Aji dan Sri Wintala Achmad. 2018. Perempuan-perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa. Yogyakarta: Araska Publisher

[3] Ibid

[4] Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 2014. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: IBFIM (perenggan 30)

[5] HR. Al-Bukhâri, 1/465 dan Muslim, no. 2658

[6] QS. Al A’raf : 172

[7] HR. Muslim, no. 2699

[8] Abdul Halim Abu Syuqqoh. 1997. Kebebasan Wanita Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press

[9] Tiar Anwar Bachtiar. 2018. JAS MEWAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan Dakwah). Yogyakarta: Pro-U Media

[10] Badan Pusat Statistik. 2018. Potret Pendidikan Indonesia: Statistik Pendidikan 2018

 

*Penulis adalah Biro Agiprop Aliansi Cerahkan Negeri

 

Memperingati Ulang Tahun yang Kedelapan, The Center for Gender Studies (CGS) Gelar International Lecture

0

Belum dapat mendatangi pembicara asal United Kingdom ini ke Indonesia sejak beberapa tahun lalu, alhamdulillah CGS berhasil menyelenggarakan kuliah online internasional bersama Zara Faris, aktivis Muslimah asal UK yang dengan konsisten secara vokal mengkritik faham feminisme. Mengambil tema “Muslim Feminist: False Hope or Obsolete Utopia” dengan dipandu oleh moderator dari CADIK Indonesia, Zakiyus Shadicky, acara yang diselenggarakan via Webinar Zoom ini menarik perhatian sampai dengan 500 peserta hanya dalam waktu 2 hari. Boleh jadi ini menandakan bahwa isu gender dan feminisme masih memiliki daya tarik masyarakat lintas negara. Selain Indonesia, acara ini juga diikuti oleh masyarakat di negara-negara lainnya seperti Pakistan, Inggris, Malaysia dan Mesir.

Pada saat pembukaan,  Dr. Dinar Kania selaku direktur CGS menyampaikan dipilihnya tema ini adalah karena masih ramainya umat Muslim khususnya di Indonesia yang dengan bangga menyatakan dirinya feminis-Muslim secara bersamaan. Bahkan upaya-upaya untuk ‘menyatukan’ kedua pandangan (feminisme dan Islam) yang sejatinya bertolak belakang ini masih terus dilakukan secara militan. Meski singkat, dalam kuliah online yang diselenggarakan di malam ke 17 Ramadhan ini, Dr. Dinar yang mengusung tema “Muslim Feminist in Indonesia: Call to Islam or Secular Agenda?” mengingatkan kembali poin-poin krusial dan penting mengenai faham feminisme yang dengan atau tanpa disadari telah merasuki pandangan hidup (worldview) sebagian masyarakat Muslim sehingga mempengaruhi mereka dalam melihat realitas dan kebenaran.

Cara pandang yang dikotomis didasarkan perbedaan gender perempuan – laki-laki  ini telah membuat kaum feminis tidak seimbang dalam melihat realitas. Ketimpangan cara pandang itu justru terus dipelihara dalam tubuh beragam disiplin ilmu dan diperjuangkan melalui segala sektor dan bidang agar nampak semakin natural dan mapan, tidak terkecuali bidang keagamaan. Feminis yang tergolong akademis, bahkan melalui dalil-dalil agama terus berupaya mencari jalan untuk melegitimasi produk-produk dan juga praktek-praktek yang lahir dari paham feminisme. Golongan inilah yang sebagaimana disampaikan Dr. Dinar, masuk ke dalam Tipe A feminis-muslim. Berdasarkan pengalaman CGS dan juga riset yang dilakukan para penelitinya, gradasi pemikiran feminisme yang menjangkiti umat Muslim dapat dibagi menjadi 3 kategori besar, yaitu: A (Obsolete Utopia), B (Half Blood Feminist), dan C (False Hope Follower). Sejatinya ketiga kategori tersebut telah terpengaruh agenda sekular dengan membiarkan worldview sekularisme ikut mewarnai pandangan hidup mereka sebagai seorang muslim.

Zara Faris membuka sesi kedua yang berjudul “Do Women Need Feminism?” dengan menerangkan keadaan masyarakat di UK dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, bahkan bagi masyarakat sekuler-liberal Barat (western secular liberal) sendiri istilah feminism secara terminologi sudah mengandung masalah. Jika feminism diartikan sebagai “equal rights and opportunities for women and men”, maka tidak perlu lagi ada feminisme, aktivis perempuan dan kemanusiaan atas nama social justice activist seharusnya bersatu untuk menjadikan ini isu bersama di bawah egalitarianism. Inilah yang membuat masyarakat UK tidak banyak melirik feminisme, di tahun 2015-2016 berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, kaum wanita yang mengidentifikasi dirinya sebagai feminis hanya berkisar 7% saja. Karena definisi yang tidak jelas ini, feminisme akhirnya terbiarkan menjadi istilah yang terbuka oleh berbagai macam interpretasi.

Jika bagi masyarakat sekular Barat term feminisme sudah bermasalah, seharusnya bagi kaum muslimin kesalahan itu nampak lebih nyata lagi. Sebab permasalahan ini bukan hanya menyangkut aspek fisik semata, tetapi lebih dalam daripada itu ia menyentuh sampai ke tataran metafisik. Sis Zara memandang, feminisme bukan hanya sebagai salah satu pendekatan yang digunakan untuk menghadapi isu hak-hak perempuan, feminisme adalah sebuah pendekatan idelogis (ideological approach) yang berakar dari pandangan hidup sekular-liberal (secular-liberal worldview) dan dikemas seindah dan semulia mungkin seakan-akan merepresentasikan perjuangan kemanusiaan melalui term-term equality, freedom dan empowernment. Padahal mereka menggunakan istilah-istilah ini sebagaimana bahasa kaum liberalis yang penuh dengan kontradiksi. Sis Zara menggunakan analogi permainan Rock Paper Scissors sebagai simbol-simbol yang saling berbenturan satu sama lain layaknya konsep equality, freedom dan empowernment, karena itu ia disebut erroneous rational.

Rights and Justice

Paham individualisme sebagai pondasi dari sekularisme menjadi tujuan besar feminisme yang tercermin melalui ambisi bahwa tidak ada kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar dari diri sendiri. Individualisme inilah yang menurut Zara Faris sangat berbahaya bagi seorang muslim karena menempatkan ketidaktergantungan pada apapun (absolute independent) sebagai kebebasan manusia yang paling tinggi (liberation). Bagi feminisme segala bentuk aturan dan pengontrolan selalu bersumber dari problem of gender yakni patriarki, itu sebabnya kaum feminis memiliki agenda lain dalam memperjuangkan individualismenya, yaitu: maximizing the autonomy of the feminist female. Konsep ini yang nantinya menjadi landasan sekaligus pembeda kaum feminis dan Muslim dalam memandang body ownership, yang mana dalam Islam ia bukanlah kepemilikan mutlak melainkan sebuah amanah.

Zara Faris menyatakan bahwa paham individualisme pada hakikatnya adalah the biggest delusion karena akan memutus manusia dari tujuan tertingginya. Dalam worldview Islam, manusia dan alam adalah bukti adanya the higher truth (the metaphysical reality) yang mana kita menjadi bagian di dalamnya, “we didn’t create our nature, we did not create our own genetics…naturally humans are mostly passive recipients …..”, jelas Sis Zara.  Karena itu manusia sebenarnya adalah makhluk yang sangat bergantung kepada Tuhan dan juga saling bergantung dengan manusia lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Penciptalah yang memiliki Hak paling besar dan utama dalam mengatur diri manusia, mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, dan menentukan benar dan salah. Melalui ini Islam memberikan makna yang paling jelas mengenai keadilan (justice). Bukan hanya sebagai sebuah konsep, Islam juga memberikan metode paling detail dan holistik untuk mencapai keadilan itu dengan cara terbaik yang bisa dicapai seluruh manusia tanpa memandang ras, gender dan golongan masyarakat tertentu.

Sis Zara juga menjelaskan tentang makna equality yang kononnya menjadi kendaraan Barat untuk mencapai quality of life. Sebaliknya, jika ditinjau secara kritis terdapat beberapa hal pokok yang mengungkap bahwa kesetaraan yang dituntut pada akhirnya menuju kepada cara pandang kebendaan yang menghadirkan injustice pada sisi yang lain, karena itu ia tidak lepas dari liberal conception of equality. “Our concept is totally different, we use the term balance instead of equality” Ujar sis Zara dengan mengingatkan keseimbangan hak dan kewajiban yang diterima oleh masing-masing individu muslim.

“Islamic Feminism”

Sebagaimana disampaikan Dr. Dinar dalam pembukaan, Sis Zara juga memberikan ulasan khusus mengenai ‘Islamic Feminism’ yang ‘diperjuangan’ golongan akademisi merujuk kepada tulisan dalam artikel beliau berjudul Do Women Need Feminist Theology?. Menurut  Zara, memaksakan ideologi feminisme pada tataran teologi Islam sebenarnya adalah usaha untuk menggantinya dengan teologi feminis melalui metodologi mereka. “Yang mereka lakukan bukan untuk memahami (comprehending) dan memaknai (understanding), tetapi untuk menginterpretasi ulang al-Qur’an dan Sunnah dalam timbangan nilai-nilai liberal atau feminis”, ujarnya. Menanggapi hal ini Sis Zara mengeluarkan statemen-statemen yang cukup keras untuk memperlihatkan tidak adanya celah sama sekali (mutlak) untuk mentolerir hal itu, seperti pernyataan beliau “what Islamic feminist trying to do is not acting in objective to Allah’s Revelation but to liberal-feminist reconcile.” Sehingga apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan calling to reviving Islam as it is melainkan to reforming it.

Ini sebabnya seorang muslim harus mengenali otoritas dalam Islam, dan kualifikasi yang harus dipenuhi jika seseorang ingin melakukan ijtihad atau legal reasoning terhadap hukum-hukum Islam. Islam membuka peluang itu bagi siapa saja tanpa dibatasi oleh gender selama ia memiliki kualifikasi tersebut. Kualifikasi yang tidak mumpuni dalam melakukan ijtihad dan menafsiran ayat Qur’an dan hadits berpotensi merusaknya seperti yang dilakukan beberapa golongan akademisi feminis yang menghakimi Qur’an berdasarkan egalitarianism-liberal framework.

Keindahan Islam

Dalam penyampaiannya yang berdurasi lebih kurang 60 menit, Sis Zara banyak mengingatkan kembali mengenai keindahan ajaran Islam. “Implementing Islam secured women’s rights to Muslim women”. Hal ini terutama berguna bagi muslim yang menerima feminisme disebabkan ketidaktahuan atau kelupaan mereka dari kesempurnaan ajaran Islam. Bagaimana Islam mengatur relasi suami-istri dimana keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Seorang istri punya hak terhadap suaminya sebagaimana juga suaminya, hak untuk mendapatkan penghormatan, kasih sayang dan waktu, hak untuk mendapatkan kepuasan, terpenuhinya kebutuhan makanan dan pakaian dan juga hak untuk memperoleh perlindungan fisik. Pemenuhan akan hak dan kewajiban masing-masing akan melahirkan hubungan yang seimbang antar sepasang suami-istri. Sungguh ironi, katanya, jika seorang muslimah harus menggunakan istilah-istilah asing seperti patriarki, misogini,dsb. dengan alasan untuk membuat laki-laki lebih berdaya. Istilah-istilah tersebut nyatanya malah akan mengasingkan atau memojokkan (alienate) mereka.

Pandangan yang memisahkan secara dikotomis intelek perempuan dan laki-laki (sexist differentiation between male & female intellect) juga tidak pernah dikenal dalam Islam. Sister Zara mengutip buku Syaikh Akram Nadwi sebagai bukti sejarah bahwa peradaban Islam pernah memiliki 8000 muslimah yang melakukan pengembaraan untuk menekuni ilmu hadits. Ia juga mengingatkan kembali bahwa sekitar 300 tahun yang lalu (abad ke-18 M), seorang travel writer wanita berkebangsaan Inggris menulis surat di era Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman Caliphate) yang menyatakan bahwa ia belum pernah melihat wanita  bisa sangat menikmati kebebasannya sebagaimana yang dirasakan wanita muslim di Turki. Tidak hanya di ranah keilmuwan, para muslimah bahkan dari berbagai strata ekonomi memainkan peranan penting dalam lembaga-lembaga amal (charity foundation) dan juga pendistribusian kekayaan, kontribusi mereka hingga mencapai 20-30% dalam instrumen wakaf untuk pembangunan sekolah, rumah sakit, masjid, dll.

Kenyataan-kenyataan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan dalam peradaban Islam, sebab Islam tidak pernah ‘mengasingkan’ dan juga ‘mempersaingkan’ perempuan dan laki-laki apalagi dalam kuantitas, “Gender was not really a question in this thing which Allah has permitted both genders to engage”, ungkap Zara Faris. Pada akhirnya, ukuran terletak pada kualitas pribadi masing-masing seorang muslim. Setiap manusia diciptakan Allah dengan kelebihannya masing-masing, kelebihan inilah yang akan menjadi penentu kualitas dirinya apabila dapat ia gunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Dan kelebihan ini kelak akan dimintai pertanggung jawaban di yaumil akhir.

*Diterjemahkan dan diulas kembali oleh Sakinah Fithriyah/CGS

🌟🌟

Celebrating its 8th anniversary, The Centre for Gender Studies (CGS) held an International Lecture event

Thanks to Allah, CGS was finally able to held an international online lecture with sister Zara Faris, a Muslim activist from the UK who has been consistently vocal in criticizing feminism. Themed “Muslim Feminist: False Hope or Obsolete Utopia”, the event that was held via Zoom Webinar and moderated by Zakiyus Shadicky from CADIK Indonesia, had attracted the attention of up to 500 participants that registered just within 2 days. Perhaps this indicates that the issues of gender and feminism do still have a cross-border community appeal. Besides Indonesia, this event was also attended by people in other countries such as Pakistan, the United Kingdom, Malaysia, and Egypt.

During the opening, Dr. Dinar Kania as the director of the CGS said that this theme was chosen because there were still a lot of Muslims, especially in Indonesia who proudly declared themselves feminists and Muslims simultaneously. Even efforts to ‘unite’ the two views (feminism and Islam) which are actually contradictory are still being carried out militantly. Although brief, in the online lecture held on the 17th night of Ramadan, Dr. Dinar which carries the theme “Muslim Feminists in Indonesia: Call to Islam or Secular Agenda?” recalls crucial and important points regarding feminism which has or unwittingly penetrated the worldview of some Muslim societies so that they influenced them in seeing reality and truth.

This dichotomous perspective based on gender differences between women and men has caused an imbalance in feminists when seeing realities. This skewed perspective is in fact maintained throughout diverse scientific disciplines and is fought through all sectors and areas to appear more natural and established, including in the religious discipline. Feminists who are classified as academics even use religious arguments to try to find a way to legitimize the products and practices that were born out of feminism. This group is as stated by Dr. Dinar, is categorized into the Type A Muslim-feminist. Based on the research and experience conducted by CGS researchers, the Muslims infected with the feminism worldview can be graded into 3 broad categories, namely: A (Obsolete Utopia), B (Half-Blood Feminist), and C (False Hope Follower). In truth, these three categories carry a secular agenda since it allows the worldview of secularism to stain their view of life as a Muslim.

Zara Faris opened the second session entitled “Do Women Need Feminism?”, by explaining the condition of UK societies in recent years. According to her, even for secular liberal western societies, the term feminism itself already contains problems. If feminism is interpreted as “equal rights and opportunities for women and men”, then according to her there is no need for feminism any longer, and women and human activists on behalf of social justice activity should unite to make this a joint issue under egalitarianism. This is why the UK society is rather indifferent towards feminism, where observation conducted in the year 2015-2016 shows that there are only 7% of women in the UK that would identify themselves as feminists. Because of this unclear definition, feminism has been left open to a variety of interpretations.

If for a western secular society the term feminism is already problematic, then this feminism flaw should appear even clearer to Muslims. This is because this problem does not only involve the physical aspects, but deeper than that it also touches the metaphysical aspects. Sister Zara views that feminism is not only used to deal with the issue of women’s right but further than that feminism is an ideological approach that is rooted in a secular-liberal worldview and is packaged to appear as beautiful and as noble as possible, as if it is representing the humanitarian struggles through the terms of equality, freedom, and empowerment. Yet, as a matter of fact, they shared the language of liberalism and its contradictions as well. Sister Zara uses the analogy of the Rock Scissors Paper game to illustrate the clash that exists within the concepts of equality, freedom and empowerment. Where like in the game, those three concepts similarly would cancel each other, hence it is called a erroneous rational.

Rights and Justice

Individualism as the foundation of secularism is a great goal of feminism which is reflected in the ambition that there is no strength and power greater than that of oneself. It is this individualism that according to sister Zara Faris is very dangerous for a Muslim since it places absolute independence as the highest form of human freedom (liberation). For feminism, all forms of regulation and control always perceived to arise from the problem of gender, namely patriarchy, and that is why feminists have another agenda in their fight for individualism, namely: to maximize the autonomy of female feminists. This concept will later become the basis and differentiator between feminists and Muslims in viewing the ownership of the body, where in Islam human is not given absolute ownership, but rather a mandate of it (amanah).

Zara Faris stated that the view of individualism is essentially the biggest delusion because it will cut people off from their highest purpose. In the worldview of Islam, humans and nature are evidence of the higher truth (the metaphysical reality) of which we are a part of, “we didn’t create our nature, we didn’t create our own genetics … naturally humans are mostly passive recipients … “, explained sister Zara. Therefore humans are actually creatures that are very dependent on God and are also interdependent with other humans. Allah Subhanahu wa Ta’ala as the Creator who has the greatest and foremost rights in regulating human beings, regulates relationships between men and women, and determine rights and wrongs. Through this Islam gives the clearest meaning regarding justice. Not only as a concept, Islam also provides the most detailed and holistic method to achieve justice in the best way that can be achieved by all human beings regardless of race, gender, and certain groups of society.

Sister Zara also explained about the meaning of equality which supposedly became a Western vehicle in achieving the quality of life. Conversely, if critically reviewed, there are a number of main points that reveal that the equality demanded ultimately leads to a material perspective that presents injustice on the other side, hence it cannot be separated from the liberal conception of equality. “Our concept is totally different, we use the term balance instead of equality,” said sister Zara while reminding the balance of rights and obligations received by each individual Muslim.

“Islamic Feminism”

As similarly stated by Dr. Dinar in the opening of the talk, sister Zara also gave a special commentary on ‘Islamic Feminism’ that is ‘fought’ by academics by referring her article entitled ‘Do Women Need Feminist Theology?’. According to Zara, imposing an ideology of feminism on the level of Islamic theology is actually an attempt to replace it with feminist theology through their methodology. “What they do is not to comprehend and understand, but to reinterpret the Qur’an and the Sunnah in light of the liberal or feminist values,” she said. Responding to this, sister Zara had issued strong statements to show that there is no chance whatsoever in tolerating such action, for example in her statement “what the Islamic feminist is trying to do is not acting in objective to Allah’s Revelation but to liberal-feminist reconcile. So what they do is not actually calling to revive Islam as it is, but to reform it”.

This is why a Muslim must recognize authority in Islam, and qualifications that must be met if someone wants to perform ijtihad or legal reasoning against Islamic laws. Islam opens such opportunities for anyone unlimited by gender, as long as he/she has such proper qualifications. Lack of qualifications in performing ijtihad and in interpreting the Qur’anic verses and hadith have damaging potential as what has been done by some feminist academics who judge the Qur’an based on the egalitarianism-liberal framework.

The Beauty of Islam

In her delivery which lasted approximately 60 minutes, sister Zara gave a lot of reminders about the beauty of Islamic teachings. “Implementing Islam secured women’s rights to Muslim women”. This reminder is especially important for Muslims who accept feminism due to their lack of knowledge or obliviousness regarding the perfection of Islamic teachings. Islam regulates marital relations where both husband and wife have their respective rights and obligations. A wife has the right to her husband and vice versa, such as the right of respect, affection and time, the right to satisfaction, the fulfillment of the need for food and clothing, and also the right of physical protection. The fulfillment of these rights and obligations for each other will give birth to a balanced relationship between a husband and a wife. It is indeed an irony, she said, if a Muslim woman has to use foreign terms such as patriarchy, misogyny, etcetera, with an excuse to make men feel more empowered. In fact, these terms will actually alienate them (the men).

The dichotomous view that separates the female and male intellect (sexist differentiation between male & female intellect) is also never known in Islam. Sister Zara quoted Shaykh Akram Nadwi’s book as the historical evidence that Islamic civilization once had 8,000 Muslim women who took a journey to pursue the science of hadith. He also recalled that around 300 years ago (18th century CE), a British female travel writer wrote a letter in the era of the Ottoman Caliphate (Ottoman Caliphate) stating that she had never seen women who could enjoy freedom as much as Muslim women in Turkey. Not only in the realm of knowledge, but Muslim women from various economic levels also play important roles in charity institutions and also in the distribution of wealth, where their contributions even reached a 20-30% amount of waqf instruments used for building schools, hospitals, mosques, etc.

These facts are not something that is surprising in Islam, since Islam has never ‘alienate’ nor ‘compete’ women against men, especially in quantity. “Gender was not really a question in this thing, which Allah has permitted both genders to engage “, said Zara Faris. In the end, the measure lies in the personal qualities of each Muslim. Every human being created by God with their respective strengths, and it is these strengths that will be the determinant of the quality of him/herself if he/she could utilize it for good and kindness. It is these strengths that will be held accountable in the day of judgment.

*English version translated by Ariesa Ulfa/CGS

 

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now