Home Blog Page 20

RUU KKG: Dari Pembodohan Akademis menjadi Konstitutif

0

Oleh : Henri Shalahuddin, MIRKH*

ThisisGender.Com – Selasa, 10 Juli 2012, saya diminta menjadi narasumber dalam acara dialog tentang RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) di sebuah TV kabel berbayar, Alif TV. Sedianya bersama saya ada narasumber lain, Jazuli Juwaini, wakil ketua komisi VIII DPR RI. Namun sayangnya di menit-menit terakhir, diberitakan beliau berhalangan hadir karena ada kesibukan mendadak.

Dalam dialog tersebut saya diminta menjelaskan alasan penolakan terhadap RUU KKG. Beberapa poin penting kenapa RUU ini harus ditolak adalah sebagai berikut:

  1. Secara filosofis, definisi istilah “Keadilan dan Kesetaraan Gender” seperti yang tertulis dalam ketentuan umum Draf RUU KKG sarat dengan masalah, yakni menuntut kesamaan, penyamaan dan persamaan dalam fungsi, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan secara kuantitatif 50-50 (full equality). Sedang Gender sendiri adalah istilah transnasional yang bertentangan dengan semua ajaran agama, budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Bahkan banyak pasal-pasal draf RUU yang menjiplak dari asing, di antaranya definisi tentang “diskriminasi” yang mengkopi dari CEDAW.
  2.  RUU KKG bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menghormati hak-hak mayoritas umat Islam. Misalnya dalam bidang perkawinan, setiap orang berhak memilih pasangan secara bebas, baik sesama jenis maupun beda agama (lihat: pasal 12:a). Perempuan juga bebas berhak atas perwalian, termasuk menjadi wali nikah dan bebas mengadopsi anak, termasuk bagi pasangan homoseksual. (lihat: Pasal 12:e)
  3.  RUU ini sangat rentan disusupi penumpang gelap ekstrimis gender yang tidak ramah perempuan dan institusi keluarga. Di antaranya adalah konsekwensi logis dari pemaknaan diskriminasi yang melarang penghambatan kesamaan laki-laki dan perempuan, terlepas dari status perkawinan. Hal ini akan membuka jalan bagi ekstrimis gender untuk mengkampanyekan isu-isu liberal, di antaranya: a) istri tidak wajib mematuhi suami, b) hak mengadukan suami atas tuduhan pemerkosaan terhadap dirinya jika hubungan seksual tidak atas keinginan istri (marital rape), c) hak perempuan untuk memiliki dan mengelola tubuhnya tanpa intervensi agama dan  negara, d) menuntut dilegalkannya aborsi secara UU, e) kebebasan mengakses alat kontrasepsi di luar nikah, e) hak istri sebagai kepala rumah tangga.
  4.  RUU KKG hanya mengakomodir kepentingan kalangan elitis feminis dan tidak berhubungan langsung dengan peningkatan kesejahteraan dan hajat hidup kaum perempuan Indonesia.
  5.  RUU KKG adalah bentuk pemaksaan UU yang seksis, intervensi negara pada ruang privat, anti kebhinekaan dan merusak demokrasi. Misalnya, menuntut keterwakilan perempuan minimal 30% di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga lainnya (PASAL 4 AYAT 2). Padahal gender baru masuk ke Indonesia sebagai wacana akademik pada tahun 1990-an yang menuai kontroversi hebat, kemudian dipaksakan menjadi kurikulum dan tiba-tiba sekarang dipaksakan menjadi RUU.
  6.  RUU KKG yang dijiwai oleh Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan upaya sistemik- konstitutif untuk menjadikan gender sebagai “asas tunggal” kegiatan pembangunan (the gender regime). Contoh, pejabat instansi dan lembaga-lembaga pemerintah, baik pusat/daerah yang tidak melaksanakan PUG, akan dikenai sanksi administratif tindakan disiplin. (lihat Bab IV, pasal 19).
  7.  RUU ini kurang diperlukan, sebab sudah banyak UU yang melindungi kepentingan perempuan (UU  No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, UU No.  39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan manusia, dll.
  8.  RUU ini merugikan perempuan karena ia mendorong untuk mengesampingkan sifat-sifat feminin perempuan dan sifat-sifat ini dipandang sebagai pengaruh lingkungan dan budaya, bukan bersifat kodrati.
  9.  RUU ini tidak berpengaruh langsung dengan maju-mundurnya pembangunan. Sebab tanpa adanya UU KKG pun perempuan tidak pernah dilarang bekerja, belajar maupun berorganisasi. Bahkan pembahasan RUU KKG hanya menghambur-hamburkan uang rakyat untuk elit kalangan terbatas.
  10.  Jika RUU ini dipaksakan menjadi UU maka diperlukan dana yang sangat besar untuk kegiatan sosialisasi dan pelatihan gender kepada masyarakat luas. Sebab selama ini gender hanya dipahami sebagai jenis kelamin biologis dan bukan sebagai jenis kelamin sosial.

Di samping itu, munculnya RUU KKG yang dinahkodai para aktivis feminisme merupakan preseden buruk bagi cara berfikir generasi bangsa Indonesia kedepan. Penelitian kaum feminis yang memfokuskan kepentingan analisanya pada jenis kelamin perempuan adalah gerakan pembodohan akademis. Misalnya penelitian tentang diskriminasi, KDRT, kemiskinan, buta huruf, dan sebagainya, selalu dititikberatkan pada korban perempuan dan diabaikan jika korbannya adalah laki-laki. Seakan-akan orang menjadi bodoh, miskin, disiksa dan dizalimi gara-gara masalah jenis kelamin.

Padahal sebagai institusi yang ilmiah, seharusnya lembaga penelitian mengajak masyarakat luas berfikir dengan akal, bukan berdasarkan jenis kelamin. Fenomena ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan memang tidak dinafikan. Tetapi jika kasus-kasus parsial ini kemudian dijadikan kaedah umum, maka yang terjadi adalah pembodohan berbasis akademis dengan memanfaatkan sisi emosional wanita. Dan jika komisi VIII DPR RI tidak menghentikan pembahasan tentang RUU KKG ini dan bahkan mengesahkannya menjadi UU dengan dalih kuatnya tuntutan kaum feminis, maka terjadilan pembodohan kuadrat. Yakni dari pembodohan akademis menjadi pembodohan konstitutif. Inilah contoh jika kekuasaan mendahului keilmuan. Wallahu a’lam bi l-sawab.

*Penulis adalah peneliti INSISTS bidang Gender

Workshop Qur’anic Parenting

0

Workshop Qur’anic Parenting

Menikah Hebat itu Mudah

0

Seminar Menikah Hebat itu Mudah

Family Mainstreaming Solusi Kesetaraan Gender

0
Family Mainstreaming Solusi Kesetaraan Gender

Family Mainstreaming Solusi Kesetaraan Gender

ThisisGender.Com-Sabtu (30/06/2012) lalu bertempat di Sekretariat INSISTS, Kalibata, Jakarta Selatan. INSISTS kembali adakan diskusi dwipekanan dengan mengundang Dr. Saiful Bahri M.A, alumnus dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini, lebih fokus membahas metodologi yang digunakan oleh para pengusung ide dan gerakan-gerakan kesetaraan gender. Dalam pemaparannya, Dr. Saiful Bahri, M.A menyebutkan metode-metode yang digunakan kaum liberal dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga mengakibatkan berbagai klaim bahwa terdapat banyak ayat yang mysoginis.

“Metode yang digunakan ialah metode Hermeneutika, yaitu terbukanya pentakwilan secara bebas karena Al-Qur’an diposisikan sebagai teks dan bukan wahyu. Selain itu, mereka juga menggunakan beberapa pendekatan untuk menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an seperti pendekatan sejarah, pendekatan psikologi, sosiologis dan antropologis dengan memposisikan agama sebagai objek sejarah dan anggapan Al-Qur’an sebagai produk budaya. Sehingga makna yang terkandung  di dalam Al-Qur’an menjadi relatif dan dapat berubah-ubah sesuai konteks dan konstruk sosial masyarakat saat itu. Semua ini berangkat dari pemahaman yang parsial dan tidak komprehensif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an sehingga mengakibatkan penafsiran yang jauh melenceng dari makna yang sebenarnya”, jelas Doktor yang mengambil jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur’an ini kepada para peserta yang hadir.

Ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mereka klaim sebagai bias gender dan terkesan diskriminatif, bila ditelaah secara kritis bermakna jauh dari apa yang mereka tuduhkan. Seperti contohnya, tuduhan kaum feminis terhadap kata ‘Zauj’ yang sering muncul dalam Al-Qur’an yang mereka artikan sebagai suami. Padahal jika ditelaah, ‘Zauj’ berarti pasangan yang serasi, yang sama-sama baik di hadapan Allah. Pasangan serasi merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah karena berkat izin-Nyalah dua jenis manusia yang serba berbeda, baik jenis kelamin, latar belakang dan hubungan keluarga bisa menyatu. Karunia seperti ini akan mendatangkan rasa syukur saat membina rumah tangga. Berbeda dengan masyarakat Barat yang mengakui segala jenis pernikahan dengan membebaskan pemilihan pasangan, tidak peduli sesama jenis, mempunyai hubungan darah bahkan ekstrimnya membolehkan memilih hewan peliharaan sebagai pasangannya. Maka, kebebasan seperti ini tidak akan mendatangkan karunia Allah.

Memanipulasi Istilah

Menurut pria yang menyelesaikan program doktoralnya tahun 2011 lalu ini, cara-cara yang dilakukan untuk menyebarkan ide-ide kesetaraan gender sangat halus dan rancu yaitu dengan memanipulasi serta membungkus makna asli ideologi mereka dengan istilah-istilah yang terdengar baik dan terkesan membela hak-hak kaum wanita, seperti kesetaraan, keadilan, pembangunan dan lain-lain.

“Kalau dulu mereka menggunakan pendekatan filosofis itu mudah dipatahkan, sekarang mereka gunakan pendekatan bahasa”, ujar pria yang juga menjadi Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta ini. Inilah yang menurutnya disebut sebagai perang terminologi. Maka, menjadi suatu keharusan memahami bahasa khususnya akar bahasa Arab agar mampu menemukan kesalahan-kesalahan mereka dalam penafsiran ayat-ayat dalam Al-Qur’an.

Jika ditelaah secara kritis, apa yang mereka perjuangkan sebenarnya berujung pada desakralisasi agama yaitu dengan cara melakukan pengrusakan dan disharmonisasi institusi keluarga. Wacana-wacana mereka hanya berkutat pada tataran teoritis saja yang banyak terpengaruh oleh kondisi emosional. Padahal pada prakteknya, banyak terjadi ketidakkonsistenan antara wacana dengan aplikasi kehidupan mereka.

Kuatkan Family Mainstreaming

Menurut pria yang juga aktif di Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta ini, permasalahan gender bukan hanya soal keperempuanan dan isu-isu LGBT. Tetapi yang lebih mendasar ialah pengupayaan desakralisasi keluarga yang berpuncak pada wacana anti keluarga. Dengan memaksakan persamaan secara mutlak antara laki-laki dan perempuan, seorang istri akan merasa berhak untuk melakukan hal yang sama dengan sang suami, dan ini akan memicu berbagai konflik keluarga yang dampaknya akan menimpa rusaknya keluarga itu sendiri. Inilah yang menjadi tujuan jangka panjang kaum feminis dalam mengkampanyekan kesetaraan gender.

“Jika kesamaan secara mutlak itu tidak mungkin terjadi, lebih baik hapuskan saja kata kesetaraan dan ubah dengan keadilan dan keseimbangan gender”, tegas pria yang juga aktif dalam berbagai training-training tentang keluarga tersebut. Menurutnya, solusi untuk mengatasi isu kesetaraan gender ini ialah dengan mengadakan pengarusutamaan keluarga (family mainstreaming).

“Jika harmonisasi keluarga sudah kuat, insya Allah tidak akan ada isteri yang membangkang suami, tidak akan ada perselingkuhan, hilang kepercayaan, dan faktor-faktor lain yang menyebabkan rusaknya sebuah rumah tangga”, ungkapnya.

Beliau juga menegaskan, bahwa family mainstreaming itu bukan keluarga tanpa percecokkan, tetapi bagaimana cara untuk saling bertahan dan mampu mengambil sikap yang tepat dari setiap konflik yang terjadi.

“Intinya, family mainstreaming ini adalah kembali ke rumah, bagaimana menciptakan rasa nyaman di rumah, dan menjadikan rumah sebagai basis pendidikan anak. Sehingga terciptalah keharmonisan keluarga”, tutupnya.

Rep: Sakinah

Ed: Sarah Mantovani

Kesetaraan Gender dan Desakralisasi Agama

0

Dr. Saiful Bahri, M.A.(1)

 

Pendahuluan

Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan. Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:

Artinya, ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)

Ayat di atas dianggap mengandung makna perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, padahal kata “tidaklah seperti” ( ليس ك ) berarti umum. Perbedaan yang dimaksud bisa dari struktur fisik, fungsi-fungsi yang diperankan, serta fitrah dan tabiatnya sudah tentu tidak bisa sama persis. Maka, perbedaan antara keduanya adalah suatu keniscayaan. Namun, perbedaan di atas tak menandakan bahwa derajat perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak kesamaan lainnya dalam hak dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)

Maka, menjadi hal yang sangat prinsipil untuk dikatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan sebagaimana juga tak sedikit persamaan di antara keduanya. Keduanya tak mungkin disamakan secara mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu dibedakan dalam segala hal. Keseimbangan dalam hal persamaan dan perbedaan inilah yang menempatkan perempuan di bawah naungan syariat Islam menjadi mulia dan bermartabat. Sebelumnya, perempuan tak pernah mendapatkan hak warisnya. Islam datang untuk mengatur hal-hal ini, termasuk memberikannya hak waris yang merupakan sebuah aturan menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu, hak keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan hadits dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang, sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)(2). Islam bahkan tak pernah melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.

Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi laki-laki -saja- tidak termasuk bagi perempuan, sebagai bentuk diskriminasi lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat adalah sebuah bentuk keringanan (rukhshah) yang diberikan kepada perempuan. Namun, bukan berarti Islam melarang perempuan untuk mendatangi Shalat Jumat. Karena ada sebuah kaidah “man shahha zhuhruhû shahhat jum‟atuhû” (Barang siapa yang shalat zhuhurnya sah, maka sah pula Shalat Jum‟atnya)(3).

Istilah dan Sejarah Gender

Dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.(4) Istilah gender berasal dari “Middle English”, gendre, yang diambil dari era penaklukan Norman pada zaman Perancis Kuno. Kata „gender‟ berasal dari bahasa Latin, genus, berarti tipe atau jenis. Kedua istilah gendre dan genus, memiliki arti tipe, jenis, dan kelompok. Gender adalah himpunan karakteristik yang terlihat membedakan laki-laki dan perempuan. Kata Gender dapat diperpanjang dari sekedar kata “seks” sampai dengan “peran sosial atau identitas gender.” Kata, „gender‟ memiliki lebih dari satu definisi yang valid. Dalam pidato umum, biasa digunakan bergantian dengan „seks‟ untuk menunjukkan kondisi fisik sebagai laki-laki atau perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial, kata „gender‟ secara khusus mengacu pada konstruksi sosial dan perbedaan kelembagaan, seperti perbedaan peran gender(5)(6).

Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari berbagai kalangan untuk mendefinisikan gender. Maka sebagai sesuatu yang baru, batasan-batasan gender menjadi sangat debatable. Gender bisa merupakan peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).Dan tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang dan implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat.

Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal, wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Yayasan Kartini”(7).

Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI. Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia kebebasan pasca reformasi 1998.

Sasaran Penyetaraan Gender

Wacana Pengarusutamaan Gender (PG) atau kemudian menjelma di mana-mana menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai sektor kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen dan bermula dari kesadaran perempuan atau pembela hak-hak perempuan. Tapi hal tersebut lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya yang paling mendasar adalah desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”. Maka wacana-wacana tersebut diperjuangkan sampai final memasuki ranah konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para pejuang kesetaraan gender.

Komitmen PBB untuk menjamin hak-hak perempuan secara khusus ditunjukkan ketika Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang kemudian dikenal dengan CEDAW pada tanggal 18 Desember 1979. Konvensi tersebut memuat tiga puluh poin materi yang terbagi menjadi enam pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan diskriminasi terhadap perempuan(8).

Pemerintah Indonesia pun telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia II di Kopenhagen. Konvensi tersebut kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984. Di samping meratifikasi Konvensi Perempuan, Indonesia bersama 188 negara lainnya telah menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/ BPFA) yang merupakan hasil Konferensi Perempuan se-Dunia IV yang diselenggarakan di Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan perdamaian (equality, development, and peace). Dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September 2000, juga tak luput dari isu dan tekanan kesetaraan gender sebagaimana sebelum-sebelumnya.

Dengan isu gender, terselubung proteksi terhadap perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan melakukan aktivitas seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui di PBB dengan tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai pengekangan dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia (9).

Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender

1. Asal kejadian manusia

Dalam persoalan manusia pertama yang diciptakan Allah pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam „alaihissalam bukanlah manusia pertama tersebut.

Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal tersebut dianggap sangat diskriminatif. Maka, klaim yang disosialisasikan adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan oleh Allah, dan bukan laki-laki (Adam). Menurut Musda Mulia pemahaman distortif dan sarat dengan bias gender ini muncul dari penafsiran literal terhadap ayat Al-Quran. Dan sayangnya pemahaman seperti ini justru dianut oleh kebanyakan kaum muslimin(10). Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ”nafsun wahidah” dalam awal surat An-Nisa‟ adalah Adam alaihissalam. Sebagian kecil saja dari para ulama yang berpendapat selain itu. Di antaranya adalah Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Mu‟tazily, ”Jika Allah mampu menciptakan Adam dari debu/tanah, maka tentu Allah sanggup mencipta Hawa juga dari tanah. Jika demikian, lalu apa faidah penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam”(11). Sedangkan Abu Muslim al-Asfahany (254-322 H) mengatakan, ”lafazh „nafs‟ di dalam Al-Quran diulang sebanyak 295 kali. Dan tidak ada yang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah Adam „alaihissalam. Demikian juga kata ”nafsun wahidah” yang diulang sebanyak lima kali. Tak ada satupun yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah Adam „alaihissalam”(12).

Para pejuang gender ini merasa makin kuat ketika mendapatkan dukungan dari Muhammad Syahrur yang sangat terpengaruh teori evolusi Darwin. Menurutnya bahwa Allah menciptakan manusia setidaknya melalui dua tahap. Pertama, Allah ciptakan semua unsur jantan (dzakar) dan betina (untsa) dari semua makhluk-Nya, yang berakal maupun yang tidak. Pada tahap kedua, Allah membedakan antara jenis manusia dan yang lainnya ketika meniupkan ruh. Kemudian Allah menegaskan kemuliaan manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra‟: 70)(13).

Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan Allah(14). Pendapat ini juga didukung dalil-dalil hadis yang kuat yang menunjukkan bahwa Adam adalah manusia pertama ciptaan Allah yang akan mendapat pengaduan anak-anak Adam ketika hari kiamat(15).

Adapun penciptaan Hawa, di dalam Al-Quran secara implisit disebut sebanyak tiga kali dengan redaksi ”khalaqa minhâ” atau “ja‟ala minhâ”(16). Sedangkan secara eksplisit hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki(17).

Pilihan penulis terhadap pendapat jumhur bukan hanya karena banyak yang berpendapat demikian. Tapi karena pendapat ini argumentatif dan didukung dalil yang kuat. Dan permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan Allah jauh setelah Adam dan nabi-nabi utusan-Nya bahkan menjadi utusan pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.

2. Tema perwalian dan mahar dalam nikah

Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus diamandemen aturannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 30 disebutkan, “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”. Musdah Mulia mengusulkan amandemen pasal ini dalam Counter Legal Draft (CLD), pasal 16 dengan menawarkan, ”(1) Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak sesuai dengan kemampuan pemberi”(18). Hingga saat ini usulan CLD ini masih belum diterima, tetapi jika suatu saat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) disahkan tidak mustahil butir-butir aneh tersebut termasuk usulan-usulan lainnya akan kembali diperjuangkan. Mahar yang merupakan salah satu syarat nikah, maka hukum memberikan mahar adalah wajib, baik tunai ataupun ditunda. Mahar bukanlah sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan. Justru Islam menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Maka mahar adalah kepemilikan penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya.

Selain masalah mahar, mereka juga banyak menyebut unsur-unsur diskriminatif lain dalam ajaran agama Islam. Masalah perwalian misalnya, juga hak menolak atau meminta hubungan badan (jima‟) atau menikmatinya sama seperti suaminya (laki-laki). Maka hak aborsi juga perlu diberikan kepada perempuan, bahkan kesediaan untuk hamil atau menundanya atau menolaknya adalah hak setiap perempuan. Sebagaimana hak untuk keluar rumah dan beraktivitas serta mendapatkan pendidikan yang lain.

Tentunya pembahasan masalah mahar, perwalian juga aborsi (pengguguran janin) tidaklah bisa disamakan dengan masalah hak perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan aktivitas publik. Terlebih masalah hubungan badan yang merupakan hak keduanya secara sama, yang oleh Rasulullah SAW ditegaskan ”pada kemaluan kalian terdapat shadaqah”(19). Karena Rasul menambahkannya bahwa jika dilampiaskan pada yang haram maka akan berdosa. Hasrat seksual sengaja Allah ciptakan pada manusia sekaligus diberikan jalan pemenuhannya secara halal dan aman. Sedangkan, wacana kesetaraan gender punya kepentingan untuk melegalkan kebebasan seksual tanpa batas.

Poin lain dalam masalah sensitif ini adalah tentang masalah nusyuz yang sering disalahartikan dan tak jarang justru dituduhkan sebagai dasar normatif KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dalam Islam. Menurut bahasa, nusyuz diambil dari suatu dataran tinggi di bumi. Maka bisa diartikan nusyuz terjadi bila salah satu pihak dari masing-masing suami maupun istri merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Nusyuz disebut secara spesifik sebanyak dua kali, yaitu dalam QS. An-Nisa: 34-35 bila terjadi dari pihak istri (perempuan) dan di dalam An-Nisa‟: 128, jika terjadi dari pihak suami (laki-laki).

Ini adalah solusi penawaran dalam sebuah masalah yang terjadi di tengah keluarga. Jika permasalahan berat atau kesalahan dari pihak perempuan maka sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki disarankan untuk menyeselaikannya dengan santun, melalui tiga tahap: menasehati dan berdialog, jika tak mempan maka diambil langkah berikutnya yaitu “pisah ranjang”. Adapun langkah ketiga “memukul” terdapat banyak aturan, di antaranya: tidak menyakiti dan tidak memukul wajah serta tidak menghinakan. Imam Malik bahkan menyaratkan boleh memukulnya dengan sehelai tisyu. Hal tersebut bukan dimaksudkan sebagai pelampiasan kemarahan atau hukuman tapi untuk mencairkan suasana dan mengembalikan keakraban serta keharmonisan. Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadis Nabi SAW, ”Orang-orang pilihan di antara kalian takkan pernah memukul –istrinya-”(20). Nusyuz istri ini tidaklah dikarenakan semua bentuk kesalahan istri, tapi kesalahan besar yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ar-Ragib Al-Asfahany menegaskan, ”bahwa nusyuz terjadi bila istri merasa tinggi di depan suaminya sehingga berdampak ketidaktaatan, atau jika hatinya sudah tak berhasrat padanya dan berpaling pada laki-laki lainnya”(21). Demikian sebaliknya jika tanda-tanda nusyuz ditemukan seorang perempuan dalam diri suaminya, serta ada masalah disharmonisasi di tengah biduk rumah tangga, maka cara damai diutamakan untuk ditempuh. Jika dalam dua kondisi nusyuz di atas tak terelesaikan secara internal, maka dibolehkan minta mediasi (dari keluarga masing-masing mereka) untuk ikut menyelesaikan masalah. Dan jika cara ini tak menemui solusi yang baik, maka berpisah pun diperbolehkan dengan cara yang makruf. Sedang ketiadaan tahapan-tahapan penyelesaian nusyuz (bagi perempuan) mengandung hikmah yang sangat arif. Karena, jika perempuan disarankan memukul tentu rumah tangga akan berubah menjadi ring pertarungan yang tak seimbang. Dengan hal ini justru perempuan dilindungi dari kekerasan dan pelecehan martabatnya sebagai manusia yang terhormat.

Tak jarang, sebagian orang menukil beberapa data perceraian yang diakibatkan oleh KDRT sebagai argumen untuk mendelegitimasi aturan agama. Mereka mengatakan bahwa perilaku KDRT ini meningkat bisa jadi karena sandaran aturan normatif yang salah. Padahal, jika mau jujur orang-orang yang melakukan KDRT tesebut sama sekali tidak memahami aturan agamanya, bahkan mungkin tidak terbersit bahwa apa yang mereka lakukan memiliki pembenaran dan dalil. Dengan demikian kesimpulan di atas menjadi sangat prematur dan merupakan bentuk generalisasi yang tidak argumentatif.

3. Masalah thalaq (perceraian)

Sebagai tindak lanjut masalah sebelumnya, kali ini talak atau perceraian diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan. Karena –menurut mereka- laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang setara.

Maka menurut para pejuang penyetaraan gender, sebagai bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak percerian hanya bisa dilakukan oleh pengadilan. Maka, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bunyi keadilan dan kesetaraan gender. Di samping itu mereka juga menghendaki adanya iddah yang diberlakukan juga bagi laki-laki.

Salah satu pejuang penyetaraan gender, Nawal Sa‟dawi mengatakan, ”Sesungguhnya talak merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan sebagian masalah rumah tangga. Tapi apakah sebuah keluarga hanya berisi satu pihak saja yaitu laki-laki? Mengapa penyelesaian masalah justru merugikan pihak lain?”(22). Sementara yang lain –Aminah Wadud- memandang bahwa peraturan ini hanya bersifat temporer, mengingat kondisi saat turun wahyu sangat tidak memihak perempuan(23). Maka di zaman saat kesetaraan dijunjung tinggi hal itu perlu direvisi dan diubah. Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi tertentu yang tidak diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih emosional dan lebih sering menuntut untuk diulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman. Ini belum membicarakan hak asuh anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan persusuan serta persoalan rujuk, jika terjadi keinginan antar keduanya untuk memulai membangun kembali mengurai disharmonisasi.

Di samping itu, jika dalam kondisi perempuan menjadi pihak yang dirugikan jika terpaksa bertahan dalam keadaan disharmonisasi yang menjeratnya, ia bisa melakukan khulu‟ (tuntutan cerai kepada suaminya).

4. Hijab/Jilbab

Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini didesakralisasi oleh para slogan perangusutamaan gender dengan meluaskan wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) dari yang sudah maklum di kalangan umat Islam; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan muslimah. Khilafiyah ini diperluas dengan redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu; yaitu bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.

Orang-orang yang sering menyebut diri mereka kalangan modernis, di antaranya Muhammad Syahrur, meredefinisi ”az-zinah” yang dikecualikan dalam ayat ( walaa yubdiina ziinatahunna illa maadhoharo minhaa ) [QS. Al-Ahzab: 31] terbagi dalam dua hal: yaitu, 1. Az-zinah yang zhahir dan 2. Az-Zinah yang tersembunyi. Lalu apakah yang dimaksud zinah di sini yang sesuai dengan ruh dalam ayat QS. An-Nisa‟: 22 dan 23. Setelah membagi jenis-jenis perhiasan/zinah, Syahrur juga menjelaskan apa yang dimaksud kata ”juyub” dalam Al-Qur‟an yang dianggapnya aurat kubra. Ia lalu mengatakan, ”Jika ada pertanyaan: bolehkah seorang perempuan membuka auratnya (telanjang) di depan mahram-mahramnya. Maka saya jawab: boleh, jika tidak mengganggu atau ada keperluan. Jika ada rasa tak enak maka itu termasuk bagian dari adat, kepatutatan/aib atau malu. Tapi hal ini tidak ada hubungannya dengan halal dan haram, karena suami dan ayah termasuk di dalamnya. Jika seorang ayah melihat anak perempuannya demikian, ia jangan mengatakan: ini haram. Tapi katakanlah hal tersebut aib!”(24).

Sementara Muhammad Said al-Asywamy mencoba mengritisi argumen disyariatkannya jilbab yang menurutnya secara global bermula dari dua hal: melindungi kaum muslimat yang merdeka dari pelecehan seksual atau disamakan dengan budak atau pelacur pada saat mereka hendak menunaikan hajat (buang air). Inilah –menurut Asymawy- maksud yang sesungguhnya dan bukan untuk mewajibkan pakaian islami sebagaimana banyak diklaim orang. Apalagi saat ini untuk membedakan identitas seseorang sangat mudah karena ada kartu identitas, juga karena hampir semua model kamar kecil (toilet) sekarang berada di dalam rumah atau ruang yang sangat tertutup (privasi). Dengan demikian perlu peninjauan ulang terhadap klaim kewajiban jilbab(25).

Penulis takkan menjawab syubhat ini, karena kewajiban tentang jilbab sudah demikian jelas sejelas kewajiban shalat dan zakat. Jika ada perdebatan maka wilayahnya menjadi sangat kecil, yaitu hanya wajah dan kedua telapak tangan. Jika sebagian muslimah atau banyak di antara mereka enggan mengenakan pakaian iffah ini maka tidak menjadi tolok ukur bahwa kewajiban jilbab kemudian tereduksi dan mengalami perubahan hukum atau dikatakan hukumnya belum final.

5. Waris

Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam masalah waris dalam frame kesetaraan gender adalah bahwa dalam masalah perwarisan seorang perempuan –hanya- mendapatkan jatah setengah bagian laki-laki. Maka ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang lain. Padahal dalam agama Islam hukum waris adalah sebuah sistem komprehensif dan tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial saja. Aturan-aturan tersebut dikemas dalam al-Qur‟an yang kemudian dipelajari perkembangan kasus-kasusnya yang oleh para ulama kemudian dinamakan dengan sebuat disiplin ilmu ”Fara‟idh”. Para pejuang gender tersebut hendak menggeneralisasi kondisi perwarisan, atau dimaksudkan untuk memblow up, beberapa kondisi yang sangat sedikit saja sehingga mendukung tujuan mereka serta menempatkan Islam dalam posisi tembak dan tak ubahnya seperti perundang-undangan yang bisa direvisi dan diamandemen. Secara umum Islam mengatur hak perempuan dalam waris sebagai berikut, jika diperhatikan justru yang terjadi sebaliknya, perempuan menjadi sangat dimuliakan dan dijunjung derajat dan martabatnya.

a. Hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki

b. Ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki

c. Ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki

d. Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya(26).

6. Poligami

Adapun poligami yang dihalalkan Allah sudah tentu menjadi musuh utama para pejuang gender. Karena selain dianggap perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, poligami dianggap tidak manusiawi dan merendahkan martabat perempuan. Tak heran, jika di mana-mana poligami disosialisasikan untuk diperangi, karena merupakan bentuk perbudakan dan perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Juga karena perempuan tidak diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.

Termasuk pula dalam pengertian ”mâ anzalallah” adalah hukum poligami. Dalam banyak pandangan di dalam masyarakat hukum poligami bukan sekedar dibolehkan, tetapi juga sunnah karena pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW” (27).

Gerakan anti poligami ini sangat mudah untuk digulirkan. Dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan yang memang sulit menerima untuk diduakan, maka tak perlu berpikir panjang seolah-olah poligami adalah dilarang dan dimusuhi bersama. Di saat yang sama para pejuang gender tersebut ingin melegalkan dan melindungi praktek perselingkuhan dan perzinahan, termasuk perilaku seksual yang sangat bebas tanpa batasan tertentu karena dipandang sebagai wilayah yang sangat privat.

Padahal poligami adalah sebuah solusi sebagaimana perceraian yang diperbolehkan dalam Islam. Adanya syarat keadilan yang tak bisa ditawar merupakan bentuk pengetatan dan rem keberanian seorang laki-laki sebelum melangkah mengambil keputusan untuk menikah lagi. Nabi Muhammad SAW sendiri tetap bertahan monogami selama kurang lebih 27 tahun. Sulitnya kondisi perceraian tak menyebabkan seseorang harus mengatakan bahwa talak diharamkan. Maka demikian halnya dengan poligami, yang jika –terpaksa- dilakukan karena suatu sebab dan diikuti dengan pemenuhan keadilan yang maksimal maka adalah bentuk prestasi. Meski pandangan yang mengatakan bahwa poligami adalah sunnah, tetap harus dikritisi dan dikaji ulang. Karena poligami merupakan salah satu solusi masalah sosial dan juga kebutuhan pribadi di waktu yang sama. Maka secara proporsional –justru- akan kembali menempatkan perempuan dalam kehormatannya. Berbeda dengan perselingkuhan dan perzinahan yang merupakan bentuk hubungan yang sulit dipertanggungjawabkan secara manusiawi sebelum di hadapan hukum Allah.

7. Kepemimpinan (qawwamah)

Masalah qawwamah cenderung dibahasakan sebagai penguasaan atas perempuan. Kepemimpinan yang dimaksud adalah pengayoman didistorsis sebagai hegemoni dan diktatorisme. Parahnya pembahasan kepemimpinan lokal dalam skup rumah tangga kemudian diluaskan ke mana-mana seolah menjadi genderang perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para perempuan. Gerakan dan perjuangan para pembela kesetaraan gender ini bahkan sangat berlebihan. Sebagai contohnya, ranah politik dipaksakan harus mengakomodir 30% jatah khusus perempuan. Ini di Indonesia, di saat negara-negara maju di dunia ini tak sampai menetapkan kuota dengan angka seperti itu.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik28 mengakomodasi beberapa paradigma baru Indonesia. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) yang menyebutkan :

(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan perempuan.

(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% keterwakilan perempuan.

Islam tak melarang perempuan untuk menggunakan hak politiknya juga tak melarang rincian-rincian di atas. Namun, jika ditilik dari munculnya undang-undang tersebut maka tak bisa dilepaskan dari semangat pengarusutamaan gender, atas nama kesetaraan gender.

8. Persaksian perempuan

Isu yang diangkat dalam masalah persaksian juga tak jauh berbeda seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif) terhadap perempuan dalam masalah persaksian didakwa sebagai pembedaan/diskriminasi perempuan sekaligus sama halnya menempatkan perempuan sebagai setengah manusia.

Banyaknya wilayah perbedaan dalam masalah ini di kalangan para ulama mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan yang konstruktif. Dan semakin menegaskan pemahaman para ulama akan hal-hal yang konstan (tsâbit) yang tak bisa berubah yang tidak menjadi wilayah ijtihat serta mana yang termasuk wilayah yang berubah (mutaghayyirât). Sebagai contoh sederhana, seorang murid yang sangat setia pada gurunya seperti Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, banyak berbeda pendapat dengan gurunya, Ibnu Taimiyah dalam masalah ini(29).

Metode yang Digunakan

Untuk disebut sebagai sebuah metode, dalam kajian apapun yang diperlukan adalah konsistensi dan nilai ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Secara khusus penulis tidak menemukan metode yang digunakan para pejuang gender untuk mencari sandaran normatif dalam rangka mendukung dan menguatkan propaganda mereka dari perspektif agama. Meskipun pada dasarnya agama dan etika adalah dua hal yang dihindari, dikritisi dan dijauhi.

Secara global pembahasan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perempuan dikaji dalam perspektif kesetaraan gender dengan beberapa pendekatan dan metode berikut.

1. Hermeneutika

Secara umum hermeneutika adalah penakwilan bebas dan tak ada yang final dalam penafsiran teks (relativisme). Wahyu telah berubah menjadi teks dan masuk ke dalam ranah manusia karena sudah diturunkan ke bumi. ”Sebuah ilmu tentang penakwilan teks-teks suci atau teks agama manusia, seperti sebuah tafsir atau ilmu filologi, pemaknaan literal (harfiyah), atau pendekatan marfologi dan gramatikal. Atau yang dikenal sebagai penafsiran per lafazh”(30). “… yaitu dengan menanyakan banyak hal dari sumbernya atau dari pembacaan di lain sisi”(31). Maka bagi para penganut ”tafsir hermeneutika” ada lima unsur pokok: (1). Matinya pengarang, karena penakwilan dibebaskan sesuai pembacaan pembaca; (2). Wahyu telah beralih menjadi teks manusia, maka bisa dikritisi sebagaimana karangan manusia; (3). Tak ada yang zhahir, semuanya bisa ditakwilkan; (4). Relativisme dan tidak ada yang final dalam penakwilan, karena akan terus berkembang; (5). Maka sebagaimana para mufassirun berkarya, semua yang datang setelahnya boleh berkata apa saja. Di antara pelopor hermeneutika: Schleirmacher (1768-1834 M), Martin Heidegger (1889-1976 M), Gadamer (1900-2002 M). Oleh para sarjana muslim yang belajar ke Barat, hermeneutika dianggap sebagai penemuan atau ilmu baru yang dibutuhkan dalam penafsiran Al-Quran.

2. Kritik sastra dan kebahasaan Al-Quran

a. Strukturalisme (al-binyawiyah):

Dengan pendekatan strukturalisme, Al-Quran bagaikan teks yang berdiri sendiri terlepas dari berbagai ikatan ideologis. Atau menjadikan teks harus dikembalikan kepada kaidah kebahasaan yang memiliki aturan gramatikal dan sebagainya. Tidak finalnya Al-Quran ditunjukkan dengan adanya qira‟ah sab‟ah (tujuh) atau asyrah (sepuluh). Maka bagi kritikus strukturalis tidaklah memiliki misi mengungkap hakikat sesuatu yang terkandung dalam bahasa teks, tapi misinya adalah menyesuaikan bahasa teks dengan bahasa modern saat ia hidup di tengahnya(32). Di antara para pelopor aliran kritik sastra ini: Ferdinand De Sausure (1857-1913 M) dan Roland Barthes (1980-1915 M).

b. Dekonstruksi (at-tafkîkiyah):

Adalah sebuah metode pembacaan teks yang beranggapan, setiap teks/ungkapan selalu kontekstual. Di antara tokohnya: Jacques Derrida (1930-2004 M) menunjukkan bahwa kita cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap setiap teks. Derrida sendiri banyak terpengaruh oleh Nitche (1844-1900 M)(33) dengan filsafat nihilismenya(34).

c. Stylistik (al-uslûbiyah):

Yaitu dengan menempatkan Quran dalam kritik sastra dan kebahasaan. Wahyu yang semula adalah kalam Allah, ketika disampaikan kepada Muhammad (manusia), maka yang digunakan adalah bahasa manusia. Adanya kesenjangan antara dua bahasa tersebut (antara sumber dan penerima) dimediasi oleh Jibril. Maka yang menjadi pusat kritik bukan asal sumbernya (wahyu/kalam Allah), juga bukan penerimanya (Nabi Muhammad), juga bukan mediatornya (Jibril), tapi teks yang sampai kepada Umat Islam. Al-Quran yang diterima Nabi Muhammad dari Jibril, pasti berbeda pemaknaan dari yang diterima sahabat langsung dari Nabi SAW, demikian seterusnya para tabi‟in hingga sampai ke zaman sekarang. Maka kritik gaya bahasa (uslub) dijadikan poin penting dalam kritik. Meski terjadi perbedaan serius di antara para pelopor aliran ini(35), tapi tetap bisa dipakai para pejuang gender untuk mengangkat kebenaran relatif dan perlunya amandemen isi al-Quran.

d. Semiotika (as-simiya`iyyah):

Dengan metode ini yang dipusatkan adalah unsur bahasa yang sering disebut kode atau simbol(36). Maka unsur-unsur yang dimuat dalam al-Quran juga demikian, menjadi sangat relatif. Sebagai contoh: definisi khamr, aurat dalam kebahasaan Arab akan berkembang dan mungkin berubah jika dilakukan dengan pendekatan bahasa lain dan di tengah komunitas lain.

3. Pendekatan sejarah

Dengan pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan sebagai unsur sejarah(37) dan budaya yang mengalami perkembangan. Maka kandungan ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan direvisi untuk menyesuaikan perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian muncul istilah ”muntaj tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran(38). Artinya sebagai produk budaya Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di dalamnya tema-tema perempuan dan gender.

Tak heran jika kemudian, para pejuang kesetaraan gender mencoba memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam wilayah budaya dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender). Jika nantinya RUU ini disahkan, maka bisa dijadikan pintu untuk merevisi atau mengamandemen aturan-aturan agama yang sudah pakem. Apalagi jika ditekankan bahwa Islam adalah bagian dari sejarah dan budaya(39), maka sudah selaiknya ditinggalkan dan diganti dengan yang baru. Atau jika tak memungkinkan setidaknya diperbarui dan diubah kandungannya.

4. Pendekatan sosiologis dan antropologis

Dengan pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah fenomena sosial(40), maka perilaku keagamaan orang Arab tak bisa disamakan dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Targetnya adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi). Termasuk di antaranya kondisi perlakuan terhadap perempuan dan kentalnya sistem laki-laki dalam Arab. Maka dengan sendirinya, dalam konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern perlu diatur perlakuan manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan.

5. Pendekatan psikologis

Dalam pendekatan ini, yang diutamakan dalam tataran realita adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang memeluk agama tertentu apa. Dari sini akan dimunculkan sebuah madhab baru dalam beragama, yaitu madzhab pluralisme(41). Yang terpenting adalah keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang agama yang dianutnya. Atau dengan kata lain mereka mengklaim mengambil intisari kebaikan dari berbagai agama.

RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)

Target dari pengesahan RUU KKG adalah kriminalisasi segala bentuk pelanggaran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan(42), tanpa memandang kondisi. Maka dengan rujukan RUU ini kelak akan berimplikasi terevisi dan teramandemennya beberapa Undang-Undang di negara ini, khususnya secara mendasar akan terjadi perubahan besar dalam UU Perkawinan (Ahwal Syakhshiyyah). Target dan sasaran ini bisa diendus dengan masuknya unsur budaya dalam berbagai poin dalam RUU tersebut. Dengan pendekatan budaya dan sejarah, maka segala bentuk aturan agama adalah unsur budaya yang terus mengalami perkembangan.

Meskipun belum bisa digeneralisir, namun patut dicermati sebuah fakta yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Angka perceraian di Indonesia pasca reformasi (di atas tahun 2000) meningkat empat hingga sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, terdapat 250 ribu perkara perceraian, atau sebanding dengan 10% angka pernikahan di tahun yang sama. Tujuh puluh persen di antara perceraian tersebut adalah bentuk cerai gugat, yaitu pihak istri (perempuan) yang menggugat cerai suaminya dengan berbagai sebab(43). Padahal para pejuang dan pembela kesetaraan gender sering mengemukakan bahwa terjadi perbaikan dan peningkatan dalam penerapan kesetaraan gender serta penekanan angka perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.

Penutup

Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati perempuan, di dalam Al-Qur‟an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat an-Nisa‟, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan perlakuan yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung martabat perempuan. Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan para pejuang gender, tapi yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut berbau politis dan ideologis, dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme serta mendobrak nilai dan tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga dalam masyarakat.

 (Makalah disamaikan dalam acara Diskusi Dwipekanan INSIST 30 Juni 2012)

Daftar Pustaka

(1) Alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat, Divisi Kajian Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta, Dosen di Sekolah Tinggi An-Nuaimy, Jakarta, Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta, aktif di Asia Pasific Community for Palestina di Jakarta.

(2) Dr. Ali Muhammad Shalabi, As-Sirah An-Nabawiyyah; Ardh Waqa‟i wa Tahlil Ahdats, Darut Tauzi‟, Cairo, Cet. II, 20023 M-1424 H, Jilid 2, hlm. 363-364. Suhailah Zainal Abidin, al-Mar‟ah al-Muslimah wa Muwajahah Tahaddiyat al-Aulamah, Ubaikan, Riyadh, Cet.I, 2003 M-1424 H, hlm. 190-191.

(3) An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu al-Muftin, Darul Ma‟rifah, Beirut, 1986 M-1406 H, J.1, h. 21.

(4) Lihat Helen Tierney (Ed.), “Women’s Studies Encyclopedia”, Green Wood Press, New York, Vol. I, hlm. 153.

(5) Lihat Wikipedia Online, dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Gender, diakses tanggal 17 September 2010.

(6) dikutip dari Naskah Akademis RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), Tim Kerja PUU-Deputi Perundang-undangan DPR RI, 24 Agustus 2011, hlm. 11

(7) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200 – 2008 M), Serambi, Jakarta, Cet. I, 2008, hlm. 341

(8)United Nations, The CEDAW and its Optinal Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003, hlm. 9, 13

(9)International Commision of Jurists, Sexual Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners Guide No. 4, Geneva, 2009, hlm. 52, 53

(10) Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, Cet.II, Agustus 2007, hlm. 62, 63

(11) sebagaimana dinukil oleh Imam Fakhrurrazi dalam tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, Darul Fikr, Beirut, Cet. I, 1980 M – 1401 H, Jilid 9, hlm. 167)

(12) Yaitu QS. An-Nisa‟:1, QS. Al-An‟am: 98, QS. Al-A‟raf: 189, QS. Luqman: 28, QS. Az-Zumar: 6 (13) Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah, 596-597 (14) QS. Ali Imran: 59

(15) HR. Bukhori dalam shahihnya, Bab Lima Khalaqtu bi Yadayya, hadis nomer 6975, dan Muslim dalam Kitâb al-Iman, Bâb Adnâ Ahli al-Jannah Manzilatan, hadis nomer 193.

(16) QS. An-Nisa‟: 1, QS. Al-A‟raf: 189 dan QS. Az-Zumar: 6

(17) HR. Bukhori, Kitâb Bad‟i al-Wahyi, Bâb Wa Idz Qâla Rabbuka, hadis nomer: 3084, Muslim, Kitâb Ar-Radha‟, Bâb al-Washiyyah bi an-Nisa`, hadis nomer: 1468, At-Tirmidzi, Kitâb Ath-Thalâq, Bâb Mâ Jâ`a fi Mudârah an-Nisa`, hadis nomer: 1188, hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, Imam Ahmad dan ad-Darimy.

(18) Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistyowayi Irianto, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor, Jakarta, Cet II, 2008, hlm. 158

(19) HR. Muslim, Kitâb Az-Zakâh, Bâb Bayân Ismi as-Sadaqah, hadis nomer: 1006, hadis ini diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar al-Ghifary ra.

(20) Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan mengatakan bahwa sanadnya shahih (2/208), juga Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, hadis nomer: 14553

(21) Ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, Maktabah Nazar Musthafa, Riyadh, Cet.I, 1997, hlm. 493.

(22) Dr. Nawal Sa‟dawi, Qadhaya al Mar‟ah wa al-Fikr wa as-Siyasah, Maktabah Madbuli, Cairo, 2002, h. 218.

(23) Dr. Aminah Wadud, Al-Qur‟an wa Al-Mar‟ah: I‟adah Qira‟ah an-Nash al-Qur‟any min Manzhur Nisa‟iy, Maktabah Madbuli, Cairo, Cet.I, 2006 hlm. 129-132.

(24) Dr. Muhammad Syahrur: Al-Kitab wa al-Quran: Qira‟ah Mu‟ashirah, Syarikah al-Mathbu‟at li Tauzi wa an-Nasyr, Beirut, Cet.I, 1992 M – 1412 H, hlm. 605-606.

(25) Muhammad Said al-Asymawy, Ma‟alim al-Islam, Sina li an-Nasyr, Cairo, Cet.I, 1989, h. 124-125

(26) Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar‟ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, Nahdhah Misr, Cairo, Cet.I, 1999, hlm. 10-11

(27) Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Penerbit LkiS, Yogyakarta, Cet. II, 2007, h. 29-30

(28) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tentang Partai Politik

(29) Seperti yang beliau tulis dalam karyanya, Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syar‟iyyah, Tahqiq: Nayif Ahmad al-Hamd, Dar Alam al-Fawa‟id, Makkah, Cet.I, 1428 H.

(30) Dr. Ahmad Idris Ath-Tha‟an, Al-Qur‟ân al-Karîm wa at-Ta‟wîliyah al-Almâniyyah, hlm. 2.

(31) Dr. Nashr Hamib Abu Zaid, Isykaliyât al-Qirâ‟ah wa Âliyât at-Ta‟wîl, Al-Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, Casablanca, 2005, hlm. 13

(32) Manal Shalih al-Muhaimid, Tahawwulât an-Nash Baina al-Binyawiyah wa at-Tafkîkiyah, hlm. 1.

(33) lihat: Megan ar-Ruwaily, Dalil an-Naqid al-Adaby, al-Markaz ats-Tsaqafy al-Araby, Casablanca-Maroko, Cet.III, 2002, hlm. 108

(34) Nihilisme (al-Adamiyah) sebuah paham dan aliran yang didasarkan pada pengingkaran/penafiyan terhadap nilai-nilai atau pemikiran sebagai sesuatu yang absolut, nilai atau norma tersebut sangat relatif, maka tak perlu diatur oleh undang-undang atau negara karena menyangkut kebebesan dan privat (Akademi Bahasa Arab Mesir, al-Mu‟jam al-Falsafy, Al-Mathabi‟ al-Amiriyah, Cairo, 1983 M- 1403 H, hlm. 118)

(35) Seperti yang ditulis oleh Dr. Shalah Fadhl, Manâhij an-Naqd al-Mu‟âshir wa Mushtalahâtihi, Merit, Cairo, Cet. I, 2002, hlm. 111-112.

(36) Ibid, hlm. 121-122.

(37) Nuruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983, hlm. 13.

(38) Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur‟an, Elsaq Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 100.

(39) Lihat, misalnya: BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1, dan BAB III (Hak dan Kewajiban) pasal 14 dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender)

(40) Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Scared, Suhail Academy, Lahore, 1988, hlm. 66.

(41) Madzhab yang memandang bahwa semua agama adalah sama benar, terpengaruh dengan falsafah relativisme yang menafsirkan eksistensi, perilaku dengan perspektif yang berbeda-beda (Al-Mu‟jam al-Falsafi, Ibid, hlm. 48).

(42) Seperti termaktub dalam: BAB IX (Ketentuan Pidana), Pasal 70-72 dalam RUU KKG . (43) lihat: International Islamic Commitee for Women and Child (IICWC), Tatanan Keluarga dalam Islam, Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I), Jakarta, 2012, hlm. vii

Henry Shalahuddin Jelaskan Kekeliruan RUU KKG di Konvensi Nasional Gender 2012

0

ThisisGender.Com-Konvensi Nasional Gender 2012 tahun ini diramaikan dengan perdebatan isu RUU KKG. Rabu (27/06/2012) kemarin, Konvensi Nasional Gender 2012 menggelar seminar nasional berjudul Gender dalam Perspektif Agama dan Budaya di Smesco Exhibition and Convention Hall Jakarta. Henry Shalahuddin, salah satu anggota MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia), berkesempatan mengkritik isi RUU tersebut di hadapan para aktivis perempuan.

Henry yang juga peneliti INSISTS bidang gender ini memaparkan kesalahan mendasar RUU KKG.  Definisi feminis dan gender yang tertulis bertentangan dengan Islam. Menurutnya, dari berbagai definisi istilah gender sendiri selalu berubah-ubah. Awalnya istilah gender digunakan hanya untuk membedakan jenis kelamin biologis antara perempuan dan laki-laki. Namun beberapa puluh tahun belakangan ini makna gender mengalami perubahan bukan lagi perbedaan jenis kelamin biologis, melainkan jenis kelamin sosial.

Menurutnya, pengesahan RUU KKG ini hanya akan menimbulkan permasalahan baru bagi perempuan Indonesia. Beliau juga memaparkan bukti bahwa perempuan Indonesia tidak mengalami diskriminasi sosial seperti perempuan di Barat.

Pengadopsian RUU KKG ini menjadi sebuah Undang-undang hanya seperti upaya politik. Beberapa pasal membuktikan bahwa pengarusutamaan gender akan menyebabkan perempuan Indonesia meninggalkan rumah tangganya secara penuh. Padahal Islam tidak melarang perempuan untuk keluar rumah jika tetap memperhatikan peran utamanya sebagai pengatur rumah tangga. Yang benar untuk konsep di Indonesia bukanlah kesetaraan gender, melainkan sebuah keserasian gender.

Seminar yang dihadiri aktivis gender dari 7 Provinsi dan 27 kabupaten seluruh Indonesia ini jadi ajang kampanye ide-ide kesetaraan gender. Sontak, penjelasan Henry menjadi ramai didiskusikan aktifis gender dan pemateri seminar yang lain.

Konvensi Nasional sendiri ini merupakan acara tahunan yang telah terselenggara 8 kali sejak tahun tahun 2005. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Mitragender dan Inersia sebagai kelanjutan program Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan masa pemerintahan Indonesia Jilid 1.

Selain Henry, seminar juga menghadirkan Prof. Dr. Nazaruddin Umar (Wakil Menteri Agama RI) dan H.M Busro (Komisi VIII DPR RI) yang pemaparannya mendukung ide-ide kesetaraan gender.

 

Rep: Anita

Red: Kholili

Dekonstruksi Feminisme Terhadap Konsep Tafsir

0

Oleh: Kholili Hasib*

Metode dekonstruksi digunakan beberapa tokoh feminis muslim untuk memasukkan ide-ide kesetaraan gender dalam Islam. Di antaranya adalah Aminah Wadud, Rifa’at Hasan, Fatima Mernisi, Asghar Ali Engineer.  Metode tersebut digunakan sebagai ‘pisau’ analisa untuk membedah konsep tafsir dan hukum Islam. Tafsir klasik beserta hukum-hukumnya dibedah karena diasumsikan bias gender. Tulisan ini menjelaskan kritik terhadap logika-logika dekonstruksi aktivis feminisme untuk pembacaan teks al-Qur’an dan teks-teks agama.

Pembacaan Dekonstruktif

Teori dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai metode pembongkaran terhadap realitas yang mengandung logika oposisi binner. Oposisi biner adalah dua realitas yang dipandang secara berhadap-hadapan, bertolak belakang dan memiliki kedudukan yang berbeda. Paradigma ini menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang disandang subyek dan memandang rendah terhadap obyek, sebagai pihak kelas kedua (Christopher Norris,Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, hal. 9).

Paradigma ini meyakini adanya pertentangan antara subyektifitas dan obyjektifitas, ucapan dan tulisan, makna dan bentuk, jiwa dan badan, transendental dan imanesi, induksi-deduksi, baik dan buruk dan lain sebagainya.

Logika oposisi biner inilah yang dibongkar oleh dekonstruksi. Alasannya, yang realitas yang pertama (subyek) dianggap superior sedangkan yang pihak kedua (obyek) hanya representasi palsu dari kebenaran atau sesuatu. Konsep seperti ini menimbulkan pemikiran yang berpotensi untuk ‘menguasai’ kepada yang lain (the other). Atau mengharuskan adanya otoritas tunggal dan melegitimasi universalitas doktrin.

Terkait dengan aplikasi terhadap teks, teori ini meyakini bahwa teks adalah simbol yang tidak mengandung makna utuh tapi menjadi arena pergulatan yang terbuka. Maka, metode ini membuka ruang yang bebas untuk mencari makna-makna di dalam teks. Sementara realitas yang tampak di hadapan kita — termasuk teks — sesungguhnya bukan realitas hakiki, akan tetapi hanya sekedar trance atau sign saja (Noeng Muhadjir,Filsafat Ilmu, Positivisme,Postpositivisme dan Postmodernisme hal. 204).

Metode ini yang kemudian diaplikasikan oleh tokoh feminsime muslim terhadap relasi pria dan wanita, teks al-Qur’an dan kaidah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan wanita. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki, tentang waris dan hukum-hukum keperempuanan dibongkar, karena berparadigma oposisi binner itu.

Pola relasi antar pria dan wanita yang selama ini berjalan dalam Islam dimasukkan ke dalam logika oposisi binner. Tentu saja pandangan miring  ini tidak tepat dan salah sasaran. Pria dinilai sebagai subyek dan wanita sebagai obyek. Dimana posisi subyek menjadi pihak yang superior, memiliki otoritas dan berhak ‘menguasai’ wanita – yang dalam konteks ini berposisi sebagai the others.

Islam tidak pernah membuat relasi seperti itu. Pandangan semacam ini sesungguhnya mengikuti bahasa  posmo yang menyatakan ‘segala sesuatu’ dianggap sebagai teks, termasuk fenomena relasi antara pria dan wanita. Akibatnya,  relasi tersebut  layak untuk dibongkar. Tentunya pandangan tersebut merupakan sebuah kerancuan karena dekonstruksi yang digunakan untuk membaca teks-teks biasa (manusia), kemudian dimanfaatkan untuk pembacaan realitas yang sakral, perkara tsawabit (perkara pokok yang tetap dalam urusan agama) dan bahkan metafisik.

Alat Sekularisasi

Paradigma seperti itu membuka peluang besar bagi kaum feminis dalam membuat kesimpulan bahwa teks al-Qur’an dan tafsirannya bias gender sebagaimana yang dilakukan oleh Amina Wadud — feminis asal Amerika Serikat. Dalam bukunya berjudul Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (edisi Indonesia berjudul Qur’an Menurut Perempuan),  Wadud berusaha membongkar  metode klasik dan menggantinya dengan metode tafsir gaya baru yang diberi nama “Hermeneutika Tauhid”. Inilah yang menjadi pisau bagi dekonstruksi. Terminologi “Tauhid” di sini tidak berarti model pembacaannya mengikuti pokok-pokok akidah Islam, namun  justru sebaliknya, Wadud  berusaha membongkar pokok-pokok agama Islam dengan metode ciptaannya itu.

Menurut Wadud, tidak ada metode tafsir al-Qur’an yang benar-benar obyektif. Masing-masing ahli tafsir melakukan beberapa pilihan subjektif. Dia juga menyatakan bahwa untuk menjamin al-Qur’an senantiasa sesuai dan relevan dengan  perkembangan jaman, maka al-Quran harus terus direinterpretasi. Teksnya dibiarkan tetap, tetapi maknanya terus-menerus diperbaharui – seperti dalam tradisi pembacaan Bibel. Anjuran untuk menafsir ulang ayat-ayat al-Qur’an dilatarbelakangi pemikirannya yang meyakini teks al-Qur’an hanyalah simbol belaka dan kalimat-kalimat yang dzaniyyat (samar-samar maknanya) diyakini sesungguhnya peluang untuk melakukan pemaknaan secara kreatif.

Pandangan Wadud ini tentunya sangat merusak karena hal ini bukan sekedar persoalan pemikiran tapi sudah masuk pada perkara keyakinan.  Persoalan ini menyangkut kepercayaan terhadap konsep kesakralan al-Qur’an. Pemikiran bahwa nash al-Qur’an simbol kosong adalah adopsi dari teori dekonstruksi. Padahal kata Ibn Taimyah setiap huruf dalam al-Qur’an itu suci dan benar-benar wahyu Allah, bukan sekedar simbol yang kita bisa ‘bermain-main’ di sana. Kalimat dzanni dalam al-Qur’an pun bukan berarti setiap orang bisa menafsirkan namun ada kaidah penafsiran yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alai wa sallam. Di sinilah tempat ijtihad para fuqaha (ahli fikih) dan mufassirin (ulama ahli tafsir) yaitu mereka yang memiliki otoritas dan bukan sembarang muslim.

Aplikasi dekonstruksi semacam itu sesungguhnya bukan sekedar mencari makna, tapi justru akan merusak konsep tentang al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang suci. di Indonesia metode seperti itu telah banyak dikembangkan. Salah satu contoh adalah buku berjudul “Argumen Kesetaraan Gender”. Di halaman  66 buku tersebut ditulis langkah-langkah teknis mendapatkan makna baru dari teks al-Qur’an agar tidak bias gender. Langkah-langkah tersebut, pertama; mendudukkan teks al-Qur’an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian. Kedua; ‘mencurigai’ atau skeptis terhadap bahasa Arab, pemahaman para ulama terdahulu dan para sahabat Nabi. Ketiga;  mendasarkan kepada ideologi relativisme. Keempat ; membuat dikotomi tekstual-kontekstual.

Mendudukkan teks al-Qur’an sederajat dengan teks biasa,  sama saja berarti merendahkan kitab suci al-Qur’an yang dijamin penjagaannya oleh Allah swt. Langkah ini mungkin bertujuan bersikap adil, tapi sejatinya mereka tidak mampu berposisi adil. Buktinya, mereka malah merendahkan dan tidak memposisikan al-Qur’an pada tempat yang sebenarnya. Ini bukan keadilan, tapi perendahan. Metode ini juga mengajak untuk mencurigai bahasa Arab, ulama dan para sahabat. Ajakan ini lebih bernuansa arogansi. Kita diajak mencurigai ulama dan sahabat sementara di sisi lain diseru untuk mempercayai feminis.

Salah satu ide yang dilontarkan dalam buku tersebut adalah bahwa bahasa Arab — yang digunakan al-Qur’an — memihak laki-laki. Contoh, kata ganti Tuhan selalu menggunakan kata ganti laki-laki. Si penulis buku lantas berkesimpulan, Tuhan salah dalam meminjam bahasa Arab sebagai media menyampaikan firman-Nya.

Pernyataan yang murni subyektif ini gagal menjelaskan apa parameter benar dan salahnya Tuhan. Sehingga logikanya tidak menjunjukkan kejelasan benar dan tidaknya. Misalnya, di satu sisi mengklaim bahwa bahasa Arab yang digunakan sebagai media firman-Nya adalah bias jender, namun di sisi lain menyatakan Tuhan tidak memihak laki-laki. Memperdebatkan kalimat-kalimat bahasa Arab yang feminis dan maskulin juga tidak logis dan tidak berguna. Sebagai contoh apabila kita menyebut kata, misalnya, “hadzihi sabburotun” (ini papan tulis) yang menggunakan kata feminim, dan ”hadza qalamun” (ini pena) yang menggunakan kata maskulin apakah lantas  kita berfikir bahwa kita telah melakukan diskriminasi terhadap papan tulis karena disebut dengan kata feminis? Sungguh perdebatan semacam ini  adalah sebuah kesia-siaan dan tidak akan mendatangkan manfaat.

Relativis tafsir juga akan merusak otoritas kenabian. Jika makna teks al-Qur’an berubah-ubah, maka otoritas Nabi Muhammad tentu  tidak diperlukan lagi. Bagitu pula dengan  penafsiran Nabi SAW yang kemudian ditransmisi kepada generasi berikutnya secara mutawatir akan dianggap sebagai sesuatu  yang ‘kadaluarsa’.  Maka tamatlah doktrin-doktrin vital yang diajarkan Nabi SAW melalui perawi sahabat itu. Dalam penafsiran juga tidak dikenal dikotomi tekstual dan kontekstual. Tafsir itu tekstual sekaligus kontekstual. Salah satu buktinya adalah penerapan kaidah bahasa Arab sekaligus memperhatikan asbabun nuzul. Tapi kontekstual di sini bukan bermakna terbuka, moderat dan realtif, seperti dipahami kaum liberal. Kontekstualisasi tafsir tetap setia kepada kaidah, dan otoritas Nabi saw.

Harusnya kita semua menyadari bahwa Al-Qur’an turun dengan bahasa al-Qur’an, sehingga untuk  memahaminya tidak mungkin  terlepas dari kaidah bahasa Arab. Agar penafsir memahami hakikat kalimat-kalimat bahasa Arab, maka seorang Mufassir harus mengetahui makna asli, sejak kata itu belum digunakan oleh wahyu sampai kemudian ia digunakan oleh al-Qur’an. Mufassir  juga harus mengetahui sinonim, makna musytaraq. Syarat  lain untuk menjadi seorang Mufassir diantaranya,  menguasai ilmu tauhid, ushul fikih, dan ilmu hadis. Tanpa kualifikasi tersebut, penafsiran akan berakibat fatal. Sebagaimana fatalnya menganalisis bahasa inggris dengan kaidah bahasa jawa. Bahasa menjadi rusak.

Terakhir, apabila teks al-Qur’an dikontekstualisasikan, maka hal tersebut berarti  memasukkan teks suci ke dalam ruang budaya. Tindakan semacam ini sama saja dengan ‘melempar’ agama  menjadi produk budaya. Padahal dalam ajaran Islam, budaya harus disesuaikan dengan nilai dan ajaran agama,  bukan sebaliknya. Sejatinya, yang terjadi disini adalah sebuah upaya sekularisasi dan  bukan sekedar kontekstualisasi kerena Feminisme dengan teori dekonstruksinya  berusaha  ‘membebaskan’ manusia dari agama dan pengaruh metafisik yang mengontrol  logika dan bahasa mereka.

Ed: Dinar

Workshop Feminisme: Menjadi Ibu Adalah Fitrah

0

ThisisGender.Com-Belum lama ini, INSISTS mengadakan Workshop Training for Trainers untuk para aktivis dakwah, di Pesantren Peradaban Islam Fakhruddin ar-Razi, Desa Cirende, Purwakarta.  Pada materi kedua,  Henri Shalahuddin, pakar gender dan kandidat doktor di Akademi Pengkajian Islam, Universiti Malaysia ini, memaparkan pentingnya mendalami isu-isu gender dan feminis.

Selain dari INSISTS Jakarta, para peserta workshop datang dari berbagai daerah seperti Bogor, Depok, Tangerang Bekasi, Bandung, Solo, dan Surabaya. Para aktivis dakwah ini mewakili lembaga atau komunitas seperti PIMPIN Bandung, InPas Surabaya, PSPI Solo, JITU (Jurnalis Islam Bersatu), Indonesia Tanpa JIL, Kajian Zionis Internasional, dan CGS (the Center for Gender Studies).

Gender telah menjadi basis beberapa kebijakan di negeri ini. Lihat saja ulah Menteri Kesehatan dengan gebrakan bagi-bagi alat kontrasepsi (kondom) kepada remaja 14-24 tahun, “orang tidak sehat koq disuruh mengurus kesehatan. Menkes bukan makelar kondom”. Kata Henri yang juga peneliti INSISTS bidang gender tersebut.

Gebrakan Menkes memperlihatkan pada kita bagaimana paham kesetaraan gender ketika menyatu dengan kekuasaan dan bisnis. Alasan untuk meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi di kalangan remaja sejatinya telah memperjelas nilai-nilai yang diusung kesetaraan gender. Kesehatan reproduksi lebih ditujukan kepada hak seks bebas dan melakukan aborsi dengan mempermudah akses mendapatkan alat kontrasepsi seperti kondom. Maka kebijakan Menkes hanya memastikan tidak terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan perempuan. Sebab, doktrin kesetaraan gender mengajarkan bahwa perempuan berhak untuk memiliki dan mengelola tubuhnya sendiri tanpa adanya intervensi dari agama dan negara.

“Agenda Kesetaraan dan Keadilan Gender menyentuh ranah domestik dan publik. Tujuannya mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria wanita harus sama berperan baik di luar maupun di dalam rumah. Hal ini memungkinkan menghilangkan sifat-sifat feminin, bahwa perempuan dianggap terikat, dependen, rela berkorban, mengasuh, dan tidak mempu kontrol kendali. Sifat-sifat tersebut dipandang sebagai pengaruh lingkungan dan budaya”, jelasnya. Menurutnya, dengan menghilangkan sifat tersebut justru akan merugikan perempuan sendiri.

Tujuan selanjutnya adalah menghapus institusi keluarga yang menganut sistem struktural laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang dipandang sebagai “biang” ketimpangan dan bias gender.

“Di balik perombakan makna gender bertujuan membangun opini bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan tidak ditentukan secara biologis. Gender diarahkan untuk menguasai atau menyaingi bahkan merebut peran laki-laki di ranah publik dan domestik. Serta, untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang hanya cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat”, papar pria kelahiran Jember ini.

Henri menyebutkan adanya arogansi gender. Indikatornya adalah dengan menuntut keterwakilan perempuan minimal 30% di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga lainnya (pasal 4:2). Hal tersebut menunjukkan bentuk Undang-Undang seksis, pemaksaan atau intervensi negara pada ruang privat, anti kebhinekaan, merusak demokrasi, dan minta belas kasihan.

Ia pun menyadarkan peserta untuk mempertanyakan mengapa harus ada RUU KKG. Jika alasannya untuk perlindungan hak perempuan dan anak, sudah ada dalam beberapa Undang-Undang. Misalnya, UU no. 7 tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW, UU no.39 tahun 1999 tentang HAM, UU no.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, UU no.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, UU no. 21 tahun 2007 tentang pemperantasan perdagangan manusia (human trafficking).

Isu gender juga memperjuangkan lesbianisme sebagai simbol kemandirian. Karena berpendapat perempuan tidak perlu bergantung kepada laki-laki dan perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang normal.

Di akhir sesi, Henri mengutip kalimat dari seorang ibu di Melbourne, “Saya seorang ibu yang punya mimipi untuk diri sendiri, tapi saya memiliki mimpi yang lebih besar untuk anak-anak saya”.

Inilah salah satu keindahan sesuai fitrah, menjadi istri dan ibu sesuai peran dan tanggungjawab yang diberikan Robb padanya. Indahnya keserasian gender dalam Islam.

Rep: Nunu Karlina

Red : Sarah Mantovani

Kamilia Helmy: “Kesetaran Gender Penyebab Tingginya Perceraian di Negara Barat”

1

ThisisGender.Com-Sudah 33 tahun yang lalu, PBB mengharuskan banyak negara untuk meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita).

Secara sekilas, konvensi yang mengusung ide kesetaraan gender ini sangat mengistimewakan perempuan dan menghargai perempuan. Tapi siapa yang mengira bahwa ternyata konvensi yang disusun pada 1979 ini sangat berbahaya bagi keluarga Muslim dan menghancurkan tatanan keluarga Muslim yang sudah terbangun dengan baik?.

Pernyataan tersebut disampaikan Ir. Kamilia Helmy saat menjadi pembicara dalam Dialog “Temu Pakar Keluarga Dari Mesir” yang diadakan oleh PP Wanita Islam di Aula Komp. DPR RI pada Senin (25/06/2012). Ia memaparkan banyak kejangggalan dan bahaya dari isi konvensi yang mempunyai pengaruh besar terhadap isi RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender  (RUU KKG) ini.

“Kalau kita melihat judul dari konvensi ini, sepertinya ini adalah judul yang sangat indah, konvensi ini sepertinya mengistimewakan perempuan, siapa yang tidak ingin perempuan diistimewakan? Namun, apakah konvensi ini memang benar-benar mengistimewakan perempuan?”, tanya wanita yang menjabat sebagai President of the International Islamic Committee for Woman And Child (IICWC), Organization in Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations kepada para pengurus Ormas dan Komunitas Perempuan yang hadir di Aula Komp. DPR, Senin (25/06/2012).

Ia mengungkapkan bahwa melalui konvensi CEDAW, Barat menginginkan agar anak-anak perempuan tidak menjadi seorang Ibu. Padahal menjadi seorang Ibu adalah fitrah. “Ibu adalah ikatan yang membelenggu seorang wanita. Sementara masyarakat Muslim tidak sama dengan masyarakat Barat. Barat membuat persepsi-persepsi negatif pada perempuan. Seperti, perempuan itu lemah karena menghabiskan waktunya dengan hamil dan melahirkan. Dan menganggap hal tersebut sebagai diskriminasi”, tegasnya.

 

Legalisasi Kondom

Melalui makalahnya, Sarjana lulusan Teknik ini memaparkan sejumlah negara yang sudah mempraktikan paham kesetaraan gender. Rata-rata Negara-negara tersebut mengalami problema yang membahayakan.

Contohnya seperti di India yang sudah melegalkan kondom dengan menyediakan ATM-ATM Kondom. Lain lagi dengan sebuah Rumah Sakit di Kanada yang sudah mengaborsi secara legal, hanya dalam waktu setengah hari saja 6 bayi dibuang begitu saja ke tempat sampah.

Sementara di Kuwait, para pegiat LGBT terus menyuarakan hak-hak mereka, dengan membawa sejumlah poster. “Mereka menginginkan LGBT diakui oleh Undang-Undang dan diberikan hak secara penuh dengan memperbolehkan perkawinan secara resmi. Mereka tidak akan berhenti memperjuangkan sebelum negara mengakui mereka. Mereka memaksakan diri untuk memasukkan hak-hak mereka ke dalam Undang-Undang”, terangnya.

Sedangkan, apabila kita lihat di Israel, orang-orang Yahudi melakukan pendidikan terhadap anak laki-laki dan perempuannya dengan cara dipisah. Masing-masing laki-laki dan perempuan punya tugasnya sendiri.

Ibu-ibu dan mahasiswi yang hadir tambah bergidik ngeri saat Kamilia mengungkapkan bahwa anak-anak pra sekolah di Barat sudah diberikan pelajaran seks dalam satu kelas, seperti bagaimana melakukan hubungan seks yang aman, pengenalan kondom dan bagaimana cara memakai kondom.

“Barat juga memperbolehkan aborsi yang legal dan aman. Kalau ada anak-anak yang melakukan aborsi maka ia harus dilayani dan apabila dilarang maka ia boleh melapor ke Polisi”, jelasnya.

Selain itu, sebagian negara sudah memberikan aturan bahwa menikah hanya pada usia tertentu atau dengan kata lain tidak ada “Nikah Muda” dalam kamus mereka. “Berubahnya usia layak menikah bagi remaja maka akan memberikan peluang-peluang bagi remaja untuk melakukan hubungan-hubungan di luar nikah”, tanggapnya lagi.

Tentu, praktik Kesetaraan gender tidak akan berjalan secara maksimal tanpa adanya dukungan besar dari PBB. PBB memberikan pendanaan yang luar biasa kepada lembaga-lembaga yang mendukung mereka.

Namun, di tengah maraknya negara peratifikasi CEDAW yang berlomba-lomba untuk mencapai MDG’s (Millenium Development Goals) dan masyarakat berperspektif gender, ada 3 negara yang tidak meratifikasi CEDAW. Menurut keterangan Kamilia, negara-negara tersebut adalah Amerika, Sudan dan Somalia.

 

Membahayakan Keluarga

Gender Equality dalam pandangan masyarakat Barat adalah tidak hanya persamaan mutlak antara laki-laki dan Perempuan tapi juga kesetaraan gender bagi LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender). Mereka menuntut pengakuan.

Sedangkan dalam Islam, Persamaan laki-laki dan perempuan sebagai persamaan yang fitrah sebagai manusia.

Kemudian, jika seorang Ibu menikahkan anaknya yang masih berusia di bawah 18 tahun maka negara berhak untuk menolak, karena dalam anggapan PBB, seorang anak sudah dikatakan dewasa apabila ia sudah berusia 18 tahun.

Kamilia juga mengatakan bahwa PBB juga membiarkan anak-anak yang hamil di luar nikah tanpa harus ada ayahnya.

“Keputusan PBB ini akan kita dukung kalau keputusan ini menjauhkan remaja-remaja kita dari zina”, tegasnya.

Hal yang mengkhawatirkan dari konvensi ini adalah adanya istilah-istilah multitafsir seperti kesehatan reproduksi yang diartikan sebagai kebebasan seksual, menghalalkan zina dan aborsi,  contohnya seperti bagaimana mereka memberikan perlindungan pada pelaku zina atau bagaimana aborsi bisa masuk dalam Undang-Undang.

Membatalkan secara keseluruhan perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Ada istilah KDRT atau kekerasan pada perempuan. “Yang diiinginkan oleh PBB, kekerasan adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut dianggap sebagai suatu diskriminasi. Diskriminasi itu yang dimaksud dengan kekerasan”, jelasnya.

Tidak diragukan lagi bahwa menurut Kamilia, bahwa kesetaraan gender sudah menjadi penyebab perceraian di negeri Barat semakin marak dan meningkat

“Tingkat perceraian yang tinggi ini akan menyebabkan anak-anak kita takut untuk menikah. Anak-anak dan perempuan-perempuan di Barat merindukan keharmonisan keluarga seperti keluarga di negara-negara Muslim”, ungkapnya.

Bahkan, ia juga menceritakan pengalamannya, ada Pemuda Amerika yang berpendapat bahwa perempuan Islam seperti malaikat, enak-enak di rumah dan bekerja.

Masyarakat di negara-negara Barat sudah bosan dengan perlakuan-perlakuan negaranya sekarang. Banyak juga yang sudah masuk Islam karena perlakuan Islam terhadap Perempuan begitu istimewa. “Mereka (perempuan barat) ingin menikmati hidup sebagai perempuan”, ungkapnya lagi.

 

Tinjau Ulang Konvensi CEDAW

Kamilia tidak hanya memaparkan sejumlah kejanggalan dan bahaya dari isi konvensi tetapi ia juga memaparkan solusi, salah satunya adalah dengan meninjau ulang CEDAW.

“Saat ini sedang kita upayakan agar bagaimana negara-negara Islam melakukan tinjauan ulang terhadap konvensi CEDAW, menyuarakan kepada pemerintah Indonesia agar melakukan tinjauan ulang terhadap konvensi ini. Kita-ormas tidak hanya bertanggung jawab terhhadap diri kita sendiri tapi juga kepada masyarakat luas. Kita juga harus memikirkan generasi-generasi yang di bawah kita”.

Selain itu ia juga mengungkapkan solusi lain, seperti memberikan pemahaman kepada laki-laki apa yang dinamakan kepemimpinan dalam rumah tangga (kursus pranikah).

Setiap ormas harus memiliki bidang khusus perlindungan terhadap keluarga. Dimana melalui bidang ini, setiap ormas menyuarakan perlindungan terhadap keluarga.

Kemudian melakukan kampanye besar-besaran di media. “Saya yakin bahwa kita bisa melawan itu semua. Saya sangat yakin bahwa suara hati masyarakat bisa mengalahkan apapun”, tutupnya dengan penuh optimis.

Rep: Sarah

Ed: Kholili

Menkes, Kesetaraan Gender dan Alat Kontrasepsi

0

Oleh : Henri Shalahuddin*

Orang tidak sehat, kok disuruh ngurus kesehatan!

ThisisGender.Com-Itulah kesan pertama saya ketika mengomentari gebrakan bagi-bagi alat kontrasepsi (kondom) ke remaja usia 14-24 tahun. Aksi Menkes ini mengingatkan cerita warga muslim Melbourne yang berpesan kepada anaknya saat mau menghadiri farewell party di sekolahnya, “Hati-hati, jaga kemaluanmu”. Itulah nasehat orang tua kepada anaknya agar tidak tergelincir pada perzinahan. Sementara pada saat yang sama, seorang guru di sekolahnya juga berpesan pada murid-murid agar berhati-hati dan tidak lupa memakai kondom. Itulah cerita seorang ayah tentang beratnya tantangan menanamkan nilai-nilai agama kepada buah hatinya di negara sekular seperti Australia. Agama selalu dihadapkan langsung dengan sekularisme. Bahkan sekularisme terlalu jauh mencampuri urusan keluarga.

Cerita di atas bukannya tidak mungkin akan menimpa remaja di sekitar kita, bahkan anak-anak kita, na’udzu billah! Sebab seperti yang telah terencanakan, ide gila ini justru dipelopori oleh Menteri Kesehatan yang baru, Nafsiah Mboi. Tentunya gerakan Menkes ini tidak sekedar ingin menyaingi Julia Perez yang menyisipkan kondom dalam album perdananya, tapi seolah-olah ia ingin memperolok-olok Meutia Hatta (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan saat itu) yang menegur Julia Perez karena dinilai Meutia mempromosikan gaya hidup seks bebas (http://www.sctv.co.id/infotainment/bagi-bagi-kondom-julia-perez-ditegur_19673.html).

Dalam penjelasannya, Menkes yang baru dilantik ini beralasan bahwa kampanye kondom ini untuk meningkatkan kesadaran kesehatan reproduksi untuk remaja. Sebab menurutnya, data di lapangan menunjukkan 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya. Oleh karena itudia tidak sependapat dengan Undang-Undang yang melarang pemberian kontrasepsi bagi yangbelum menikah.

Menkes juga berdalih bahwa gebrakannya itu sebagai langkah untuk memastikan terjaminnya hak setiap anak yang dikandung sesuai UU Perlindungan Anak. Maka, mempermudah akses remaja untuk mendapatkan kondom diharapkan dapat menekan angka aborsi dan kehamilan yang tak diinginkan. Lucunya dalam menanggapi kekhawatiran bahwa pemberian kondom kepada remaja dapat memicu seks bebas, Menkes berpendapat, jika pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi sudah cukup baik, tidak perlu ada kekhawatiran idenya iniakan memicu seks bebas (http://www.gatra.com/kesehatan/73-kesehatan/14162-menkes-nafsiah-galakkan-kondom).

Pernyataan di atas rancu sekali, sebab bagaimana mungkin bagi-bagi kondom ke remaja tanggung usia 14 tahun tidak berpengaruh langsung kepada promosi seks bebas. Siapa pun tahu kegunaan kondom bukan untuk ngupil. Membagikan kondom kepada remaja tanggung sama saja membagikan parang kepada preman. Tapi kenapa Menkes masih saja mengelak kalau dirinya ingin mempromosikan seks bebas di kalangan remaja? Ataukah ia mempunyai definisi sendiri tentang seks bebas yang selama ini dipahami masyarakat sebagai kegiatan seksual di luar nikah?.

 Paham Kesetaraan Gender dan Seks Bebas

 Penjelasan Menkes di atas menguatkan bagaimana paham kesetaraan gender ketika menyatu dengan kekuasaan dan bisnis. Alasan untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja sejatinya telah memperjelas nilai-nilai yang diusung kesetaraan gender. Kesehatan reproduksi dalam ideologi gender bukan sebatas ingin meningkatkan pelayanan persalinan yang sehat, aman dan terjangkau bagi semua kalangan. Tapi lebih ditujukan kepada hak melakukan aborsi dan seks bebas dengan mempermudah akses mendapatkan alat-alat kontrasepsi seperti kondom. Dalam paham ini, masalah pengaturan kehamilan adalah hak perempuan yang tidak boleh dikurangi sedikit pun. Maka kebijakan Menkes hanya memastikan tidak terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan perempuan. Sebab, doktrin kesetaraan gender mengajarkan bahwa perempuan berhak untuk memiliki dan mengelola tubuhnya sendiri tanpa adanya intervensi dari agama dan negara.

Lebih lanjut, indikasi adanya kampanye syahwat merdeka terlihat jelas melalui program penyasaran bagi-bagi kondom kepada remaja tanggung dan ketidaksetujuan Menkes dengan UU yang melarang pemberian kontrasepsi bagi yang belum menikah. Begitulah jika paham kesetaraan gender menempati kekuasaan. Ia hanya melahirkan kebijakan berbasis gender. Mereka tidak lagi memperdulikan suara rakyat yang mengongkosi jalannya roda pemerintahan. Karena memang dalam demokrasi bar-bar, rakyat bebas bersuara dan pemerintah juga bebas untuk tidak mendengarkan suara rakyat. Namun apakah gebrakan ini menjamin untuk mengerem laju penularan AIDS/HIV? Bagaimana dengan kaum pria dengan usia 24 tahun keatas? Kenapa objek kampanye ditujukan kepada remaja yang baru puber? Dan kenapa harus pria bukan wanita yang dijadikan sasaran kampanye?.

Penutup

 Apa yang diprogramkan Menkes, sejatinya merupakan gerakan yang sangat parsial dalam menanggulangi problem besar tentang dekadensi moral generasi muda. Bahkan dalam tataran parsial pun, keberhasilan program ini masih dipertanyakan. Sementara dampak pastinya yang mendorong kehidupan seks bebas di kalangan remaja tanggung tidak diragukan lagi. Terlepas dari berhasil tidaknya gebrakan Menkes baru ini, yang jelas pola pikir yang dianutnya sangat liberal-sekular. Sebab yang ditanganinya hanyalah salah satu dampak seks bebas yang hanya terfokus pada penyakit fisik-empirik. Sementara kesehatan mental dan moral tidak menjadi prioritas sama sekali.

Jelas hal ini merupakan tragedi di negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukankah dalam kitab suci agama yang dianut Menkes ini disebutkan: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!” (Mark 10:19). Maka akan lebih baik jika Menkes bekerjasama dengan Menag untuk mengintensifkan pendidikan kesehatan reproduksi berbasis agama di lingkungan sekolah. Sebab saya yakin bahwa keberadaan Menkes bukan sebagai makelar kondom dan alat-alat kontrasepsi lainnya. Maka persepsikanlah sosok Menkes sebagai pribadi yang paling perduli dengan segala bentuk kesehatan, baik fisik, mental maupun spiritual. Wallahu a’lam bi l-shawab.

*Peniliti INSISTS bidang Gender

 

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now