Home Blog Page 22

Video: Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi-Part 2

0

Berikut update video  Studium Generale “Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi”,  pembicara kedua:

Dr. Hamid Fahmy dari ISID Gontor.

Sebagai lanjutan dari posting sebelumnya: Video: Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi-Part 1.

Part 1

Part 2

Part 3

Part 4

Part 5

Video: Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi-Part 1

0

 

Prof.Malik Badri – Part 1

Prof.Malik Badri – Part 2

Prof.Malik Badri – Part 3

Prof.Malik Badri – Part 4

Prof.Malik Badri – Part 5

Kisah Melly dan Satu Kakinya

0

Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi*

Kisah Melly seperti menjadi saksi bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk meraih impian.

ThisisGender.ComAirmata para dosen jatuh. Standing applause di ruang teater Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membahana. Diantara mereka sampai tidak ada yang sanggup berdiri. Tiada kebanggaan dimiliki seorang dosen dan keluarga menyaksikan ujian hidup sesosok mahasiswi dengan predikat Indeks Prestasi (IP) tertinggi meski selama bertahun-tahun dihantam keterbatasan. Sejarah telah tercatat. Melly dianugerahi Alumni Terbaik FIDKOM 2010 pada saat pelepasan Wisudawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kendati selama ini hidup dengan satu kaki. Sebelah kakinya harus diamputasi setelah penyakit kanker tulang menyerangnya di pertengahan kuliah. Ya meski begitu, Melly tidak mau menyerah pada kenyataan. Ia mendapat gelar cumlaude jauh di atas para mahasiswa lainnya, termasuk mahasiswa yang kedua kakinya masih lengkap.

Melly akhirnya keluar setelah memberi pidato sambutannya di ruangan teater Profesor Aqib Suminto. Ia dipapah dengan kursi roda. Memang tidak ada lagi gerak enerjiknya, tapi semua mahasiswa UIN mengelu-elukan namanya. Lebih dari Ahmadinejad ketika mengunjungi UIN Jakarta 2008 silam. Sedangkan beberapa dosen masih terdiam, hanya lelehan air mata turun dari keikhlasan hati melepas Melly dari UIN. Melly tersenyum, tangannya terkepal. Di hatinya, ia puas berhasil membuktikan kepada semua orang bahwa jarak antara keterbatasan diri dan kecintaan terhadap ilmu lebih tipis dari kulit bawang!.

Perjalanan Awal Melly

 Nama aslinya adalah Nurmeilita. Tipikal mahasiswi berkerudung lebar yang tidak percaya bahwa hidup tidak bisa ditaklukan. Bahwa satu-satunya cara menaklukan ketakutan adalah dengan menghadapinya. Sayyid Quthb berkelamin feminim yang menyatakan lebih baik mati daripada menyerah pada keterbatasan. Namanya kini tertanam pada seluruh mahasiswa FIDKOM. Bahwa Allah, Kita, dan Arti Sebuah Perjuangan adalah keniscayaan.

Alumni salah satu SMA Negeri favorit di Bekasi ini memang unik. Kalau banyak jebolan SMA memilih untuk kuliah di kampus umum, Melly lebih memilih kuliah di UIN. Itupun bukan di Fakultas Kedokteran, Sains, dan MIPA. Ia memilih jalur Ilmu Dakwah dengan jurusan Konseling Islam. Dengan akal yang masih polos, banyak orang bertanya padanya, “Mau cari mati dengan gaya apa seorang siswa lulusan SMA masuk ke Fakultas Keislaman di UIN yang ketat dalam studi keagamaan. Modal Rohis kuliah disini belum cukup. Hasan Al Banna bisa menjadi Sartre di UIN.” Maklum kala itu UIN Jakarta mendapat kekhawatiran tingkat tinggi setelah para mahasiswa jurusan Akidah Filsafat di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melakukan penistaan terhadap Allah. Kala itu stigma kampus kami berubah dari Institut Agama Islam Negeri (sebelum menjadi UIN) diplesetkan menjadi “Ingkar Allah Ingkar Nabi”. Cibiran itu terasa betul. Lebih pedas dari cabai rawit sekalipun.

Melly kali pertama masuk UIN Jakarta pada tahun 2004. Memulai karir sebagai mahasiswa semester satu seperti pada umumnya: polos, manut kata senior dan pasrah mengikuti Program Pengenalan Studi dan Almamater (Propesa atau Ospek sebagaimana kita mengenalnya). Saat tiba giliran bagi tiap mahasiswa baru memberikan pandangan tentang jurusan barunya di UIN, Melly tampil memberikan beberapa patah kata. Dari situ orang sudah berkesimpulan bahwa Melly bukan orang sembarangan. Gaya bicaranya bukan seperti anak SMA. Ia sudah berani membeberkan bahasa-bahasa ilmiah di tiap kalimat pembukanya. Tampaknya ia sadar, ia bukan lagi anak remaja.

Detik-detik Menghadapi Ujian

 Setelah berjalan satu tahun kedepan, Melly berkembang menjadi mahasiswi UIN yang berbeda. Kecintaannya terhadap ilmu membawanya menjadi mahasiswi yang melebihi usianya. Melly seperti bukan mahasiswi UIN berumuran 19 tahun pada umumnya. Kecintaannya terhadap ilmu membuatnya sering terlihat nongkrong di perpustakaan ketimbang menghabiskan waktu di bioskop. Mengutak-atik isi buku daripada larut dalam pergaulan semu.

Nilai semester awalnya selalu diatas 3,5. Berkat kecerdasannya, sebagai presiden BEM (Sistem di UIN mengharuskan menyebut pemimpin BEM, dengan sebutan presiden bukan ketua) saya mengamanahkannya untuk mengisi pos Departemen Keilmuan. Sebuah departemen yang tentunya terhitung danger bagi tiap-tiap BEM di UIN. Departemen ini harus aktif mengadakan seminar, kuliah umum, pelatihan, hingga diskusi-diskusi mingguan yang temanya pun tidaklah ringan. Selain tema ke-Islaman, beberapa kali kajian ini juga membahas tentang Pendekatan Rasional Emotif, Behavioris, hingga Logoterapi. Kami ingin mahasiswa memiliki framework seimbang antara kuat dengan spirit keislaman tapi tidak awam jika suatau saat dihantam oleh gagasan Barat. Dan Melly menikmati itu. Ia memang sangat menyukai diskusi dengan nalar kritisnya yang tajam. Maklum Melly besar di Lembaga Dakwah Kampus, ia memiliki framework Islam yang cukup kuat untuk tidak begitu saja menerima pandangan di luar Islam.

Waktu berganti waktu, hingga kemudian Melly mulai mengidap penyakit misterius. Teman-temannya tidak lagi melihatnya di kampus. Aura tidak sedap mulai meliputi perasaan kami semua. Kabar angin tidak begitu jelas memberitahu dimana keberadaan Melly saat itu. Hingga kemudian kami mendapat informasi, Melly kini menderita kelumpuhan dalam arti sebenarnya. Ya mahasiswi penikmat panjat gunung itu terbaring tidak bisa kemana-mana. Kakinya terdiam tak dapat bergerak, sedangkan di dalam kerudungnya kerontokan mulai meliputi mahkotanya satu per satu. Mata kami tercengang mendengar berita menyakitkan itu.

Kawan-kawan kami pun kemudian bergegas mengunjunginya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Setelah membuka pintu kamar, rekan-rekan sekelas Melly menutup mulut kecilnya. Mereka jatuh haru berderai air mata melihat sosok gadis enerjik dan periang tersebut telah terkulai lemah. Sebagian civitas akademika mahasiswa Konseling Islam tidak mampu berkata apa-apa. Jiwa kami terbungkam. Melly yang kami kenal sebagai mahasiswi solehah sedang diberi ujian maha dahsyat oleh Allah. Sampai-sampai kami beranggapan inikah akhir dari perjalanan hidup Melly? Melihat beratnya ujian yang ia alami.

Ketegaran Seorang Pecinta Ilmu Yang Pantang Menyerah

 Uniknya, keharuan dari para sahabat dengan cepat ia tepis. Melly dengan gaya tomboynya menyadarkan kawan-kawan untuk tidak bersusah payah menangisi dirinya. Melly adalah tipikal wanita tegar, ia benci air mata. Apalagi sengaja disuguhkan untuk dirinya. Bahkan berkali-kali Melly harus menyadarkan temannya bahwa ia tidak seburuk yang kami perkirakan. Walau Melly sadar betul kankernya bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu. “Tapi sumpah, Mel baik-baik aja kok.” ucapnya menyiratkan ia tidak ingin kita semua larut dalam kesedihan panjang.

Di tengah keterbatasan itu, ada cita-cita yang tidak ikut lumpuh seperti kakinya. Sekalipun kondisinya amat lemah, namun kecintaannya terhadap ilmu membuatnya tetap ingin melanjutkan kuliah. Meski pada akhirnya, ia harus siap menganggung beban: bolak-balik ke perpus, naik lift dengan kursi roda, mengejar mata kuliah meski harus bertarung dengan harapan!. Itu pun belum dihitung rasa sakitnya. Namun, bukan Melly namanya jika menyerah pada kenyataan. Ia telah berikrar untuk tidak menangis. Keinginan terkuatnya adalah memberikan kado manis kepada Allah dan keluarga tercinta tentang makna terindah seorang pecinta ilmu. Meski tak berapa lama lagi ia hanya memiliki satu kaki. Beberapa kali ia sempat mendiskusikan skripsinya dengan saya. Kala itu saya sendiri sudah dalam tingkat akhir menyelesaikan kuliah. saya memang memiliki pengalaman diskusi panjang dengan Melly. Menurut penulis, Melly adalah salah satu mahasiswi yang cukup berani hadir untuk diskusi dengan mahasiswa yang lebih senior. Ia cukup “tahan” diajak untuk menelanjangi psikoanalisis. Ya psikologi vulgar yang mengatakan tuhan itu hanya hasil ilusi manusia.

Tidak hanya disitu, sebelumnya Melly sadar. Ia harus diuji kembali oleh beberapa nilai kuliahnya yang belum ia ambil di semester tujuh. Termasuk mata kuliah lainnya yang mesti mengulang di semester awal. Hingga jika ditotal keseluruhan ada tujuh mata kuliah yang harus ia ambil. Bayangkan di tengah kondisi kaki tak bisa digerakkan, ia tetap rajin ke kampus menyelesaikan segala kekurangannya. Dan itu benar-benar dilakukannya lebih dari ikhlas, meski jarak Bekasi-Ciputat terlalu jauh bagi seorang perempuan yang diuji dengan keterbatasan. Namun sekali lagi, kesabaran dan kekuatan memupuskan segala ketakutannya. Melly yakin Allah akan memperlakukannya dengan baik, jika ia selalu berusaha dan berdoa, meski ia kini berkursi roda.

Seiring berjalannya waktu, ujian Allah betul-betul menyentuh titik terlemah tubuhnya. Melly harus menerima kenyataan pahit bahwa dokter pengasuhnya di RSCM memberi tahu sang keluarga bahwa kaki si buah hati harus segera diamputasi. Dengan penuh ketegaran, Melly memasrahkan dirinya kepada Allah. Aktifis dakwah kampus ini bersiap hidup dengan kaki pincang. Kanker bisa jadi adalah keladi yang menggagalkan kehidupannya. Tapi Melly paham betul bahwa kita harus selalu berbaik sangka kepada Allah. Melly boleh kecewa, tapi tidak untuk kecewa kepada Allah.

Setelah operasi selesai dilaksanakan, Melly sadar dari pembiusannya. Dengan kekuatan mentalnya, ia memberanikan diri mengangkat kepala untuk melihat kakinya. Melly tersenyum meratapi sebelah kakinya telah menghilang. Namun ia tetap tidak mau menyerah. Bagaimanapun hidup harus terus berlanjut. Tak berapa lama ia kemudian mengerjakan segala tugas kuliah di pembaringan RSCM. Ya tujuh mata kuliah yang belum sempat usai ia ambil, karena keburu menjalani operasi. Semuanya berjalan beriringan ditengah rintihannya menahan rasa sakit pasca operasi.

Setelah semua mata kuliahnya selesai, ujian kembali datang. Ia ingat masih ada satu lagi hutangnya kepada kampus, yakni membuat skripsi. Subhanallah lagi-lagi Melly tak putus asa. Ia sama sekali tak berniat melempar handuk lalu memilih berkutat dengan rasa sakitnya. Bayangkan Melly pun juga tidak memelas kepada pihak kampus agar ia dibebaskan dari skripsi. Inilah yang melatarbelakangi saya tidak menyesal memberinya posisi Departemen Keilmuan kepadanya saat saya menjadi ketua BEM. Bahkan di BEM, Melly juga ikut membantu bidang departemen yang lain. Dalam acara training motivasi, safari dakwah, mabit, pelatihan, ta’aruf mahasiswa baru, dan sebagainya. Melly selalu hadir disitu. Ibarat kata Melly selalu memberi semangat jika BEM kami “kurang darah”. Sampai disitu, kami sama sekali tidak terfikir tentang bakal ujian apa yang akan menimpanya. Tidak ada satupun tanda-tanda mengarah kesana.

Kado Terindah Dari Allah

Akhirnya dengan kerja kerasnya selama ini, Melly berhasil menyelesaikan skripsi dengan baik. Semuanya dilakukan di kasur pembaringan, lengkap dengan rasa sakit yang terus menggerogoti tubunya. Keletihan pasca operasi dan proses menjalani Kemoterapi tiap harinya.

Melly kemudian menjalani Sidang Munaqosyah. Di hadapan para penguji, ia menjelaskan tentang penelitiannya. Dosen tidak merasakan betapa di tengah presentasinya, Melly sebenarnya menahan rasakan sakitnya. Senyum Melly membuat orang lupa bahwa ia masih menjalani Kemoterapi secara intens di RSCM. Semua keluarga hanya bisa bangga dalam hati betapa Melly begitu trengginas menjawab pertanyaan penguji. Mereka bangga bukan karena Melly adalah mahasiswi pintar, mereka bukan bangga karena sang buah hati adalah bidadari cinta yang berhasil bertahan di tengah kondisi tak berperi, tapi mereka bangga telah dikaruniai seorang buah hati yang kuat imannya dan tak pernah sekalipun terlontar dari mulutnya tentang arti kekecewaannya kepada Allah.

Sampai pada waktu setelah selesai sidang, ia tidak sadar bahwa nilai skripsinya tergolong tinggi. Baginya, ia sudah cukup bersyukur dengan bisa menyelesaikan skripsi ini. Namun sapa nyana, logika seorang Melly masih jauh dibawah rencana Allah. Kejutan itu datang, saat ia diwisuda. Melly mendapat kabar gembira bahwa ia telah berhasil mencatatkan dirinya sebagai mahasiswa dengan indeks prestasi tertinggi di fakultas (cumlaude) dan berhak atas gelar alumni terbaik. Ya mahasiswi satu-satunya dalam sejarah UIN yang mendapatkan gelar mahasiswa terbaik meski hanya memiliki satu buah kaki. Satu-satunya mahasiswa yang tidak memberi ruang bagi air mata untuk menyerah. Melly adalah bukti bahwa tauhid bukan sekedar kata kunci, tapi juga kata kerja. Kerja nyata untuk membangun harapan kepada Allah setelah diuji dengan pemaknaan.

Saya mengucapkan tasbih berkali-kali. Bagaimana mungkin orang yang saya kenal hidup dengan keterbatatsan, meski bolak-balik RSCM-Ciputat untuk Kemoterapi, meski menahan sakit dalam mengerjakan skripsi, harus tetap semangat meski harapan diguncang kenyataan, bisa memiliki IP cumlaude dan menduduki peringkat IP tertinggi Se FIDKOM serta yakin Allah dibelakang ini semua. Melly adalah kata. Fragmentasi keterpecahan rasa takut untuk menjadi energi. Jangan pernah katakan tidak pada keterbatasan.

Ketika saya mengkonfirmasi kepada Ketua Jurusan apakah gelar terbaik itu hanyalah kado dari Dekanat atas jerih payahnya selama ini. Ketua Jurusan itu menampik dengan keras. Ia mengatakan bahwa Melly lulus murni, tanpa ada bantuan keringanan nilai atas simpati dosen meski secuil. Subhanallah. Inikah janji Allah atas seorang pecinta ilmu yang mengerahkan segala daya ikhtiarnya hanya kepada Allah.

Kita mungkin kemudian mencoba bertanya, bagaimana dengan masa depan Melly seterusnya. Sebagai seorang wanita, adalah lumrah bahwa mungkin cinta adalah kata yang jauh jika melihat kondisinya. Saat itu saya membuka HP dan mengirim pesan selamat kepadanya. Saya kemudian malah terkejut saat diberi tahu bahwa ada bonus dari Allah untuk dirinya. Bahwa ternyata ia telah menikah sesaat setelah dirinya diwisuda. Seorang dosen dari IPB telah berhasil memikat hatinya. Subhanallah dengan kondisi seperti ini, Melly masih sanggup menikah dan yakin bahwa keadilan Allah adalah nyata.

Saya kemudian bertanya-tanya inikah yang dijanjikan Allah tentang orang-orang yang bersabar, tentang kisah orang-orang yang memakai akalnya untuk berfikir, bukan untuk kecewa.

Betatapun Hancurnya Kita, Yakinlah Allah Tetap Bersama Kita.

 Ikhwah fillah, ada satu fase dalam hidup kita, betapa kekecewaan bisa menghadapkan kita pada jalan kenistaan. Kadang ujian dan cobaan Allah menjadi buah bibir kita atas sumpah serapah kita kepada Allahuta’ala. Ikhwah fillah, sadarlah, Allah akan menguji kita di titik terlemah kita. Allah akan menyentuh di bagian terpenting yang menjadi ciri ketidakberdayaan kita. Apakah itu kehilangan anggota tubuh kita, kehilangan fungsi tubuh kita, hingga kehilangan daya tubuh kita. Namun yakinlah ikhwah jika itu tidak dapat kita tanggulangi dengan hati jernih, bukan tidak mungkin hal itu akan berdampak pada konten yang lebih dalam lagi. Dimulai dengan kehilangan iman kita, kehilangan fungsi iman kita, hingga kehilangan daya iman kita. Namun yakinlah ikhwah, sekalipun Allah menguji di titik terlemah kita, Allah tidak akan tega membiarkan hambaNya sampai betul-betul menjadi lemah.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al Baqoroh 286)

Ikhwah fillah, sadarkah kita, bahwa Allah sebenarnya punya rencana indah di tengah keterbatasan kita. Buat apa kita kecewa, mengeluh, membenci, toh mengeluh dan kecewa tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kita. Yang terbaik bagi seorang mukmin ialah selalu beranggapan bahwa ujian pasti akan ada jalan keluarnya, baik yang bersifat jangka pendek maupun panjang.

Salah satu bentuk solusi jangka pendek adalah bahwa kita selalu bersabar dan mendirikan shalat ketika kecewa hadir menyapa kita. Kita bisa membaca Qur’an dan mentadabburinya, belajar bagaimana perjuangan Rasulullah saat getir-getir menyapanya dalam perjuangan hidup ini. Ingatlah ikhwatifillah sebaik-baiknya kententraman dimulai dari bagaimana kita selalu setia untuk mengingat Allah.

“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al Baqarah 153)

 Sedangkan bentuk jangka panjang itu dimulai dari bagaimana kita selalu menjauhi diri dari kemaksiatan dan bersyukur atas nikmat Allah yang telah turun kepada diri kita. Banyaknya maksiat akan menghalangi masuknya ilmu kedalam hati kita. Kebeningan hati hanya mungkin dapat ditempuh dengan memperbanyak ingatan kepada Allah SWT. Sementara berdzikir kepada Allah tidak mungkin bisa dilakukan tanpa ada prakondisi sebelumnya. yaitu, adanya kesiapan untuk tunduk dan patuh kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT. Jangan pernah menyerah ya Ikhwah, betapapun terpuruknya kita, betatapun hancurnya hidup kita, betapapun jauhnya harapan kita, yakinlah ada sebuah Zat yang selalu setia menemani kita: Allahu maa ana!

 Dan kisah perjuangan Melly patut menjadi teladan bagi kita, khususnya Muslimah.

 “Maka ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu ingkar kepadaKu” (Q.S Al Baqarah: 152).

 “Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” Al Baqarah 155

 

Konselor Muslim dan Redaktur IslamPos.com

Siapa Bilang Nikah Muda itu Susah?

0

ThisisGender.Com – “Suami saya menyuruh saya meneruskan kuliah, supaya saya menjadi mubalighah di kalangan kaum wanita, tetapi saya ingin mencurahkan perhatian untuk merawat rumah dan mengurus anak-anak dengan meninggalkan bangku kuliah. Manakah yang lebih bijak dan lebih utama, apakah saya harus menuruti keinginan suami ataukah berhenti kuliah?”.

Begitulah kira-kira isi dari curhatan salah seorang akhwat yang dijadikan sebagai contoh kasus dalam buku “Muda, Nikah, Bahagia! : Romantika Rumahtangga Muda” yang ditulis oleh Zaenal Abidin Lc.

Di era globalisasi seperti sekarang, Perempuan seperti harus dituntut untuk mengejar prestasi dan kesuksesan duniawi, seperti pendidikan dan karier. Bahkan sampai ada yang rela untuk menunda pernikahannya karena harus menyelesaikan pendidikannya sampai S2 atau karena ingin mengejar karier yang lebih tinggi, padahal ada yang tidak kalah penting selain mengejar prestasi dan kesuksesan duniawi, yaitu menikah.

Menikah, bagi anak muda, masih terdengar seperti film horror, menakutkan dan menyusahkan. Padahal banyak manfaat yang bisa diambil dari menikah, salah satunya adalah bermanfaat bagi kesehatan, seperti yang ada di halaman 72 pada buku ini. Dan rupanya hal ini tidak hanya sekedar teori belaka, contohnya, “The American Journal Of Epidemiology” merilis berbagai data hasil dari 90 penelitian yang dilakukan para peneliti dari University of Louisville. Ternyata pria lajang memiliki risiko kematian 32% lebih tinggi dibandingkan pria yang menikah. Itu artinya, kemungkinan mereka meninggal 8 – 17 tahun lebih cepat dari rata-rata pria yang sudah menikah. Penelitian juga menunjukkan bahwa wanita lajang memiliki harapan hidup sebanyak 23%, atau 7 – 15 tahun lebih rendah dibandingkan mereka yang telah memiliki pasangan hidup, sebagaimana hal ini pernah dikutip dari situs http://id.berita.yahoo.com.

Tidak hanya itu, buku yang ditulis oleh lulusan Fakultas Syariah LIPIA Jakarta ini. Juga memuat segala problematika yang dialami oleh anak muda yang sudah punya keinginan untuk menikah tapi masih ragu untuk melangkah. Seperti dalam Bab Serba Serbi Kawin Muda yang memuat sub bab seperti Cilik-cilik Dadi Nganten (Kecil kecil Jadi Pengantin), Dosakah Aku Bila Membujang, Lika Liku Menikah Sambil Kuliah, Alasan Segera Menikah, Karirku Tersandung Pernikahan, Yang Belum Pantas Menikah dan-lain lain.

Selain mengupas tuntas problematika rumah tangga, buku ini juga membahas bagaimana mencari calon suami atau calon istri yang sesuai dengan syari’at Islam, bagaimana menciptakan keluarga Samara sebagaimana yang tergambar dalam Q.S ar-Ruum ayat 21 dan apa saja bekal yang perlu dipersiapkan dalam berumah tangga selain persiapan ilmu yang cukup.

Buku setebal 196 halaman ini selain dilengkapi footnote sebagai panduan referensi dalil-dalil apa saja yang dipakai oleh si penulis juga dibanderol dengan harga Rp. 25.000, sehingga rasanya sangat ‘pas’ di kantong anak muda. Nah, artis seperti Marshanda saja juga sudah membuktikan bahwa ternyata ia lebih bahagia dengan menikah muda. Jadi, siapa bilang nikah muda itu susah?.

Red : Sarah Mantovani

Adnin Armas : RUU KKG Mensubordinasikan Agama

0

ThisisGender.Com – Meski komisi VIII dalam keterangannya saat hearing (dengar pendapat) di Gedung DPR, pada hari Senin (28/05), RUU KKG baru berbentuk draft dan masih mentah tapi RUU KKG sudah menuai kontroversi. Dimana hal ini terkait dari substansi dari RUU tersebut yang dipandang oleh Direktur Eksekutif INSISTS (Insititute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) sangat bermasalah, baik dari segi definisi gender itu sendiri maupun aturan-aturannya yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam.

Berikut ini adalah petikan wawancara CGS dengan Adnin Armas M.A terkait hearing atau dengar pendapat di DPR tentang RUU KKG, belum lama ini.

CGS   : Assalamu’alaykum, ustadz. Saat melakukan hearing ke DPR pada Senin lalu, poin-poin apa saja yang ustadz sampaikan pada komisi VIII terkait RUU KKG?

Adnin : Wa’alaykumsalam, poin-poin yang saya sampaikan dan saya persoalkan adalah kosakata Gender, pada draft RUU KKG tertulis pengertian Gender adalah perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan wanita karena budaya, selain itu boleh berbeda-beda dan bisa bertukar-tukar menurut waktu dan keadaan. Padahal, Allah sudah menetapkan dan tidak boleh ditukar-tukar, kosakata Gender menafikan perbedaan secara biologis, antara laki-laki dan wanita. Di sini perbedaan biologis juga dinomorduakan, dianggap tidak penting.

Selain itu, RUU ini dianggap sebagai persoalan yang universal, dipaksakan, dijadikan sebagai masalah yang mendesak. Padahal di sisi lain, masih banyak undang-undang sebelumnya yang jalan di tempat dan masalah-masalah masyarakat masih banyak daripada kesetaraan gender itu.

Saya juga sampaikan bahwa saya tidak setuju dengan ruu ini bukan berarti mengaminkan diskriminasi terhadap wanita. Naskah yang saya pegang, juga dibuat oleh teman-teman saya yang wanita. Kami menolak karena ruu ini mensubordinasikan, meminggirkan agama. Kita negara yang punya Tuhan dan agama.

Yang sangat saya sayangkan, Komisi VIII juga menghambur-hamburkan uang untuk membuat ruu dengan studi banding ke Norwegia dan Denmark.

CGS   : Kemudian, siapa saja yang hadir pada saat hearing tersebut selain dari INSISTS, ustadz?

Adnin : Kaukus Perempuan Parlemen RI dan Perwakilan dari CEDAW Working Group of Indonesia, CWGI ini terdiri dari perwakilan-perwakilan LSM yang ditunjuk. Yang pasti mereka mendukung RU KKG disahkan.

CGS   : Adakah tanggapan dari mereka yang menyetujui RUU ini saat ustadz menyampaikan pendapat?

Adnin : Tidak ada sanggahan karena kami di sana hanya menyampaikan pendapat kepada pimpinan sidang dan anggota komisi VIII,

CGS   : Ada tidak fraksi yang sudah menyetujui atau pun yang menolak, ustadz?

Adnin : Karena RUU ini masih berupa draft dan masih mentah jadi belum ada persetujuan atau pun penolakan dari Komisi VIII. Draft ini masih harus direvisi lagi oleh DPR.

CGS   : Kapan kira-kira Komisi VIII akan memberikan keterangan atau info bahwa RUU ini telah direvisi?

Adnin : belum, Komisi VIII belum memberikan info selanjutnya terkait revisi RUU ini.

CGS   : Apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh ustadz dan INSISTS?

Adnin : Akan terus mengawal dan memperhatikan bagaimana mereka (Komisi VIII) memperbaiki draft RUU KKG. Selain itu, kita juga akan terus mengkaji soal RUU ini dan mensosialisasikan bahaya RUU ini kepada masyarakat.

CGS   : Apa harapan ustadz mengenai RUU ini?

Adnin : Ya, saya harap semoga draft  RUU ini tdk lagi mengandung pasal-pasal yang mencederai umat Islam dan tidak mengulangi kembali dengan membuat kesalahan-kesalahan pasal yang sebelumnya banyak terdapat dalam RUU ini.

 Red : Sarah Mantovani

Yang Harus Diberdayakan Bukan Perempuan, Tapi Laki-Laki

0

ThisisGender.com“Saya akan tolak RUU KKG, bila sampai pada urusan keluarga, imam sholat atau urusan yang terkait dengan syariah Islam.” Janga keliru, pernyataan ini bukan keluar dari seorang ulama atau aktifis remaja masjid. Justru datang dari Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Gresik, Drs. H. Chumaidi Ma’un dalam acara Halaqoh Islam dan Peradaban (HIP)  bertempat di Rumah Makan Pring Gading di atas puncak Gunung Giri Gresik, belum lama ini.

Acara diskusi yang bertajuk, “RUU KKG: Bertentangan dengan Islam, Berbahaya dan Merusak” yang dihadiri sekitar 150 orang yang terdiri dari pria dan wanita yang sangat serius mengikutinya.

Selain dihadiri Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Gresik Pembicara dari DPD I HTI Jatim, acara juga menghadirkan Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim) dan Muhib Hamid Rusdi (DPD HTI Kab. Gresik).

Dalam paparanya, Hanif Kristianto membeberkan masalah asal-usul munculnya RUU KKG. Menurutnya RUU yang kini tengah digodok di DPR itu merupakan turunan (nyotek) dari CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), yang menurutnya undang-undang gender ala Barat.

“RUU KKG jelas-jelas impor dari Barat dan akan menghancurkan sendi-sendi keluarga Muslim di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Muhib Hamid Rusdi menyoroti bahwa RUU KKG itu tidak perlu bagi bangsa Indonesia. Karena kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang terjadi sekarang ini akibat penerapan sistem kehidupan yang kapitalistik sekuler liberal.

“Bukan pemberdayaan perempuan yang seharusnya dilakukan, yang harusnya dilakukan adalah pemberdayaan laki-laki. Sehingga tidak ada perempuan yang bekerja sampai malam hari sementara suaminya menganggung di rumah.” */Maswin

Sumber: Hidayatullah.Com

Homo Phobia

4

Oleh: Rita Soebagyo 
ThisisGender.Com – Wahai umat Muslim, hati-hati dan waspadalah!. Mungkin inilah penyakit baru  yang akan direkomendasikan para psikolog sekuler sebagai “mental disorder” (gangguan jiwa) namanya Homofobia!. Contoh kasusnya  menimpa Darrun Ravi. Ia mantan mahasiswa Rutgers University Amerika,  yang dituntut 10 tahun dengan 15 tuntutan yang bermuara pada kesimpulan menderita Homophobia. Dharun Ravi dianggap bertanggungjawab terhadap tewasnya Tyler Clementi, teman sekamarnya yang bunuh diri pada 2010 (New York Time, 12 Maret 2012). Ravi dengan latar belakang budaya India yang kuat, mengaku tidak nyaman melihat perilaku seksual Clementi yang kerap membawa teman Gay-nya di kamarnya. Ketidaknyamanan itulah yang dianggap juri di pengadilan, sebagai bermasalah.

Istilah Homophobia adalah salah satu buah dari Gerakan Revolusi Seksual Modern yang mengarah pada legalisasi perilaku seks sejenis. Homofobia memandang aneh perilaku seksual seperti Lesbian, Gay, Transeksual, Biseksual, Seks Pranikah, Pornografi dan Fantasi Seksual lainnya. (David Allyn, Make Love, Not War: The Sexual Revolution: An Unfettered History, Little, Brown and Company. 2000; Malik Badri,  The Aids Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual revolution. Kuala Lumpur : Medeena Books 2000).

Istilah Homophobia sendiri dicetuskan pada tahun 1960an oleh seorang Psikolog George Winberg, untuk menggambarkan ketakutan yang terus menerus ada dan tidak rasional terhadap lesbian dan gay.  Pada tahun 1972 Winberg menulisnya dalam bukunya “Society and the Healthy Homosexual”. Pada saat hampir bersamaan, dari sisi prasangka sosial muncul istilah Heteroseksisme, istilah yang mengandung analogi seperti seksisme dan rasisme. GM Herek mengambarkan bahwa heteroseksisme merupakan sistem ideologi penolakan, pencemaran dan stigmatisasi terhadap berbagai perilaku, identitas, hubungan dan komunitas non-heteroseksual. Ini merupakan bentuk diskriminasi instutisional terhadap gay dan lesbian (GM. Herek, The context of anti-gay violence: Notes on cultural and psychological heterosexism,  1990. Journal of Interpersonal Violence, 5, 316-333.)

Pasca kasus diatas, Clementi dianggap Martir bagi dunia LGBT (Lesbian, gay, Biseksual dan Transgender)  sementara tindakan Ravi dinilai oleh kelompok Gay Equality Forum sebagai shocking, malicious and heinous” (mengejutkan, berbahaya dan keji). Penilaian kaum homoseksual terhadap kelompok heteroseksual sudah dilakukan melalui  propaganda homoseksual selama 50 tahun ini. Puncaknya terjadi pada tahun 1989 dengan terbitnya sebuah buku yang sangat populer dalam komunitas homoseksual sehingga dianggap sebagai “kitab suci” atau “manual book”nya mereka, “After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays  karya pasangan psikolog Gay,  Marshall Kirk and Hunter Madsen (Albert Mohler, After the Ball–Why the Homosexual Movement Has Won. Crosswalk.com. June 3, 2004. Posted on Fri Jun 04 2004)

Pasangan Psikolog Gay, Marshal dan Hunter, memberikan pedoman bagaimana para aktifis homoseksual didorong untuk melakukan berbagai propaganda untuk merubah opini publik agar homoseksual dipandang normal, tidak lagi dipandang sebagai “mental illness” tetapi dipandang “sehat”. Dengan itu, masyarakat akan menerima perilaku mereka sampai  mendapatkan hak khusus, tunjangan, dan hak istimewa.

Propaganda mereka dilakukan dengan cara  menempatkan kaum LGBT sebagai pihak teraniaya dan korban dari sebuah tatanan masyarakat yang heteroseksis. Terhadap orang yang tidak setuju dengan LGBT, mereka memberikan stigma sebagai orang “bigot, hatters and  ignorants” (fanatik, pembenci dan bodoh). Dalam buku ini para  aktivis dibenarkan menggunakan setiap taktik, termasuk penipuan massal, berbohong, fitnah, kedengkian, intimidasi, kekerasan dan lain-lain..  Meskipun banyak aktivis pada awalnya mengutuk pendekatan ini, namun setelah dirasakan manfaat dari keberhasilan kampanye propaganda mereka, maka berbagai aktifis menjadi pembela utama di depan publik.

Sukses

Puncak keberhasilan kampanye LGBT, adalah ketika mereka berhasil mengeluarkan homoseksual dari DSM (Diagnostic and Statistic Manual of mental Disorder). DSM-I yang disusun pada tahun 1952 oleh APA(American Psychiatric Association) dan  Edisi keduanya yang keluar pada tahun 1968, masih memasukkan Homoseksual sebagai  penyimpangan dalam perilaku seksual. Homoseksual pertama kali dikeluarkan pada 15 Agustus 1973,  yang kemudian diganti dengan istilah  Ego-dystonic homosexuality pada DSM-III.

Istilah ini ternyata menuai kritik dari berbagai kalangan. Sehingga pada akhirnya istilah Ego-dystonic homosexuality kemudian dikeluarkan pada tahun 1986 dan diperkuat dengan revisi DSM-III -R pada tahun 1987. Dukungan terhadap DSM semakin menguat ketika pada 17 Mei 1990, WHO mencabut kata ‘homoseksualitas’ dari International Classification of Diseases (ICD). Pada tahun 1994 APA mengeluarkan lagi DSM-IV, yang akhirnya di revisi kembali manjadi DSM-IVTR (text revision) pada tahun 2000, yang seluruhnya sudah benar-benar tidak ditemukan Homoseksualitas sebagai kelainan seksual.

Sementara itu, Indonesia sendiri dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, sejak 1993, telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian seksual yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. PPDGJ-III merujuk pada standard dan system pengkodean dari International Classification of Disease (ICD-10) dan system multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV).

Jika pada DSM-I dan DSM-II homoseksual masih dianggap sebagai “mental disorder” yang didukung oleh 90% anggota APA. Maka pada DSM-IV keadaan menjadi berbalik ketika hanya tersisa 10% anggota APA yang mendukung homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Dengan Normalisasi Homoseksual oleh berbagai kalangan maka penerimaan kelompok homoseksual oleh masyarakat bergerak ke arah positif. Dunia menjadi terbagi kedalam dua opini, kelompok Homoseksual dan Anti Homoseksual atau kerap disebut dengan Homofobia.

Berlindung di balik wacana Hak Asasi Manusia, kelompok yang menentang Homoseksual distigma sebagai Penindas HAM. Jika kelompok homoseksual dianggap normal, maka bagaimana pandangan dari sisi kesehatan mental tentang kelompok anti homoseksual atau homofobia ?

Sampai saat ini Homofobia memang belum dimasukkan ke dalam penyimpangan perilaku di dalam DSM. Namun melihat wacana yang semakin menguat dalam membela hak kelompok LGBT sekaligus diiringi dengan propaganda untuk menstigma kelompok yang menentang mereka, maka bisa jadi suatu hari nanti Homofobia dimasukan ke dalam DSM.

Kekhawatiran ini tidak berlebihan dan mengada-ngada, karena diskusi publik tentang kemungkinan dimasukannya Homofobia ke dalam DSM V yang sudah mulai disusun sejak tahun 2010, dan akan dirilis pada tahun 2012 semakin menguat.

Kasus Darrun Ravi menjadi pembuktian bagaimana sistem hukum di dalam masyarakat sudah mengarah kepada pembelaan kelompok LGBT. Media-media ternama di Amerika, sejak awal tahun 2000-an, terus menerus mengangkat pendapat para pakar Psikiater dan Psikologi tentang hal ini. Mereka mulai mencoba mengkaji ulang dengan didukung riset yang sesuai dengan kepentingan mereka, untuk menempatkan Homofobia sebagai Mental Illness (Lihat Psychiatry Ponders Whether Extreme Bias Can Be an Illness, By Shankar Vedantam The Washington Post, Saturday, December 10, 2005).

Jika wacana Homofhobia sebagai kelainan jiwa semakin menguat, demikian juga dengan “bigotry” atau fanatik yang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab Homofobia. Dalam sejarah peradaban, Homoseksual selalu berhadapan dengan konsep keagamaan.  Maka stigma fanatik dalam hal ini ditujukan kepada para pemuka dan kelompok agama yang menentang.

Salah satu tulisan yang dirilis oleh New York Times adalah satu bukti bagaimana fanatisme agama juga dapat mereka giring menjadi kelainan jiwa (Lihat  Bigotry as Mental Illness Or Just Another Norm oleh  Emily Eakin, New York Times 15 Januari 2000). Maka bisa jadi Homophobia Bigotry menjadi penyakit jiwa baru yang akan dimasukkan kedalam DSM oleh para anggota APA.

Inilah dampak buruk ilmu pengetahuan yang tidak dilandasi wahyu Allah SWT. Kaum Muslimin yang berpegang teguh pada agamanya dan mengutuk perilaku homoseksual akan bisa dituduh menderita gangguan jiwa. Dan itulah yang dulu dituduhkan kepada Nabi luth as. (QS Al A’raf:80-84 dan QS Hud:82-83)

(Tulisan ini telah dimuat di Republika 24/5/2012)

 Daftar Pustaka

Allyn, David. (2000). Make Love, Not War: The Sexual Revolution: An Unfettered History. Little, Brown and Company.

Badri, Malik. The Aids Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual revolution. Kuala Lumpur : Medeena Books.

Eakin, Emily. 2000. Bigotry as Mental Illness Or Just Another Norm ? Published: January 15, 2000.http://www.nytimes.com/2000/01/15/arts/bigotry-as-mental-illness-or-just-another-norm.html?pagewanted=all&src=pm

Herek, G. M. (1990). The context of anti-gay violence: Notes on cultural and psychological heterosexism. Journal of Interpersonal Violence, 5, 316-333.

http://www.hidayatullah.com/read/11195/27/03/2010/homoseksual-dan-lesbian-dalam-perspektif-fikih.html

Mohler, Albert Jr.  Dr. 2004.  After the Ball–Why the Homosexual Movement Has Won. Crosswalk.com  . | June 3, 2004. Posted on Fri Jun 04 2004 20:38:28 GMT+0700 (SE Asia Standard Time).


Khuntsa, Mukhannats, dan Homo dalam Islam

0

Ingin Keluar dari Gay

sayapuntaktahu85@xxxx

Assalamu’alaikum wr.wb Saya mohon bantuannya, saya mempunyai orientasi sex yang tidak normal, saya benar-benar bingung, mengapa saya begini, mengapa saya tidak bisa mencintai lawan jenis. Saya takut untuk bicara sama teman atau orang lain, saya takut mereka akan membenci saya. Selama ini, orang sering mencemooh atau menghujat orang seperti saya, tanpa bisa merasakan betapa perihnya perasaaan ini, perasaan yang saya sendiri tidak mau. Saya takut menata masa depan, takut untuk berkeluarga, takut bersosialisai, takut memasuki lingkungan yang baru, takut kalau mereka menganggap saya lain dan menertawakan saya.

Bagaimana solusi Islam dalam hal ini? Mohon bantuannya. Terima kasih. Wassalam.

============

Wa’alaikum salam wr. wb.

Bapak “sayapuntaktahu85” yang baik, ini adalah pertanyaan yang cukup rumit dan kompleks. Untuk itu, sebelum menjawab, kami akan menjelaskan agak panjang lebar tentang sejumlah hal yang berkaitan dengan pertanyaan bapak.

Pada dasarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk berpasang-pasangan; siang-malam, api-air, jantan-betina, panas-dingin, besar-kecil, dan sebagainya, termasuk laki-laki dan perempuan. Dalam Al-Qur`an disebutkan,

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ .

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu ingat kebesaran Allah.” (Adz-Dzariyat: 49)

Khusus tentang laki-laki dan perempuan, Allah berfirman,

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى .

“Dan sesungguhnya Dia menciptakan laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan.” (Adz-Dzariyat: 45)

Itulah, para ulama memasukkan “gender ketiga” ke dalam salah satunya, ke dalam jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Tidak ada gender ketiga, tidak ada manusia berjenis kelamin lain selain laki-laki dan perempuan.

Namun begitu, dalam kitab tafsir Ahkam Al-Qur`an, Imam Ibnul Arabi berkata, “Orang-orang awam mengingkari keberadaan gender ketiga. Mereka mengatakan; ‘Tidak ada yang namanya khuntsa (semi laki-laki atau semi perempuan), karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan.’ Kami katakan, ini adalah kebodohan terhadap bahasa dan ketidaktahuan akan kefasihannya. Selain itu, ini merupakan ketidakmengertian akan luasnya kekuasaan Allah. Padahal sesungguhnya kekuasaan Allah itu ia sangatlah luas dan Dia Maha mengetahui.

Tentang zhahirnya ayat dalam Al-Qur`an, sebetulnya ia tidak menafikan keberadaan khuntsa. Karena Allah Ta’ala berfirman;

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ .

‘Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, Dia menciptakan apa saja yang Dia kehendaki.’ (Al-Maa`idah: 17).

Jadi, ini sifatnya umum. Ia tidak boleh dikhususkan, karena kemahakuasaan Allah menuntut demikian.

Adapun firman-Nya;

يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ . أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ .

‘Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.’ (Asy-Syura: 49-50)

Maka, ini adalah pengabaran tentang sesuatu yang mayoritas/sering terjadi di alam, dan Dia tidak menyebutkan sesuatu yang jarang terjadi  karena ia bisa masuk kepada yang umum, pada firman-Nya yang pertama. Fakta membuktikan hal ini, dan apa yang disaksikan mata mendustakan orang yang mengingkari.” [Ahkam Al-Qur`an/Ibnul Arabi]

Jadi, menurut Ibnul Arabi, yang namanya “khuntsa” itu ada, dan dia mempunyai hukumnya tersendiri, selama dia tidak bisa dimasukkan atau dikelompokkan ke dalam salah satu jenis kelamin: laki-laki atau perempuan. Adapun jika dia sudah bisa digolongkan ke dalam salah satu jenis kelamin, maka dia dihukumi dengan salah satu jenis kelamin tersebut; laki-laki atau perempuan.

Al-Khuntsa

Dalam Islam, ada istilah “al-khuntsa” dan “al-mukhannats.”

Al-khuntsa, secara umum para ulama mendefinisikannya sebagai orang yang mempunyai dua alat kelamin, laki-laki dan perempuan. Atau, bahkan tidak mempunyai alat kelamin, baik kelamin laki-laki maupun perempuan. Artinya, dia bukan laki-laki juga bukan perempuan.

Tetapi, Imam Al-Kasani berpendapat bahwa seorang manusia tidak bisa menjadi laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Dia mesti laki-laki, atau mesti perempuan. [Bada`i’ Ash-Shana`i’/Al-Kasani]

Al-khuntsa ada dua macam, yaitu: al-khuntsa “ghairul musykil” (tidak sulit) dan al-khuntsa “al-musykil” (sulit).

Pertama; al-Khuntsa ghairul musykil, yaitu orang/khuntsa yang jelas tanda-tanda kelelakiannya atau tanda-tanda keperempuanannya. Tanda-tanda ini bisa dilihat secara fisik, mana yang lebih dominan. Untuk yang belum baligh, biasanya dilihat dari saluran mana dia kencing. Jika air kencing keluar dari kemaluan laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika keluar dari kelamin perempuan, maka dihukumi sebagai perempuan.

Sedangkan setelah baligh, jika dia mimpi junub, (maaf) penisnya lebih menonjol dari sebelumnya, suaranya lantang, menyukai tantangan, keluar jenggot atau kumis, dan sebagainya; maka dia dihukumi sebagai laki-laki.

Adapun jika dia mengalami menstruasi, payudaranya membesar, suaranya lembut, menyukai permainan atau aktifitas yang cenderung disukai wanita, suka berdandan, dan sebagainya; maka dia dihukumi sebagai perempuan.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah [XX/22] disebutkan, “Siapa yang tampak jelas pada dirinya tanda-tanda maskulin atau feminin, maka diketahui bahwa dia adalah laki-laki atau perempuan. Yang seperti ini, bukan khuntsa yang musykil (sulit). Karena sesungguhnya dia adalah lelaki yang memiliki anggota tubuh (kelamin) tambahan, atau perempuan yang memiliki anggota tubuh (kelamin) tambahan. Hukum khuntsa jenis ini dalam masalah waris dan dalam semua masalahnya adalah sesuai dengan hukum yang tampak pada tanda-tanda yang ada padanya.”

Kedua; al-khuntsa al-musykil, yaitu orang/khuntsa yang mempunyai tanda-tanda maskulinitas dan feminitas dalam dirinya, misalnya; dia buang air kecil dari saluran kencing perempuan dan laki-laki secara bersamaan, atau tumbuh jenggot dan payudara dalam satu waktu; sehingga tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan. Dan, sejatinya yang dimaksud dengan kata al-khuntsa dalam kitab-kitab fiqih adalah khuntsa ini, yakni khuntsa musykil.

Namun demikian, jika seorang khuntsa musykil mengaku sebagai laki-laki, maka dia dihukumi sebagai laki-laki. Dan jika dia mengaku sebagai perempuan, maka dia dihukumi sebagai seorang perempuan.

Ibnu Qudamah berkata, “Apabila seorang khuntsa musykil mengatakan; ‘saya laki-laki’, maka dia tidak boleh dihalangi jika hendak menikahi perempuan. Dan, dia tidak boleh menikahi selain perempuan (maksudnya, menikahi laki-laki) setelah itu. Begitu pula jika seorang khuntsa musykil mengatakan; ‘saya perempuan’, maka dia tidak boleh menikah kecuali dengan laki-laki.” [Al-Mughni fi Fiqhi Al-Imam Ahmad ibn Hanbal Asy-Syaibani]

Al-Mukhannats (dan Al-Mutarajjil)

Al-mukhannats berbeda dengan al-khuntsa. Al-Mukhannats (yang kewanita-wanitaan) yaitu orang yang secara fisik adalah lelaki tulen, dan memiliki satu alat kelamin, yakni kelamin laki-laki. Tetapi, dia berperilaku layaknya perempuan atau menyerupai perempuan dalam tingkah lakunya, gerak-geriknya, suaranya, dan gaya bicaranya. Adapun untuk perempuan yang menyerupai laki-laki, disebut sebagai al-mutarajjil (yang kelelaki-lakian). Dalam istilah kita, al-mukhannats sering disebut sebagai banci atau bencong atau waria. Sedangkan al-mutarajjil, biasa disebut sebagai tomboy, atau mungkin lebih tepatnya tomboy yang ekstrim, alias betul-betul seperti laki-laki dalam hampir segala hal.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخَنَّثِي الرِّجَالِ الَّذِينَ يَتَشَبَّهُونَ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ الْمُتَشَبِّهِينَ بِالرِّجَالِ .

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat mukhannats kaum laki-laki yang menyerupai perempuan, dan mutarajjil dari kaum perempuan yang menyerupai laki-laki.” [HR. Ahmad]

Dan, dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma disebutkan,

لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ .

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat mukhannats dari kaum laki-laki dan mutarajjil dari kaum perempuan. Beliau bersabda; ‘Keluarkanlah mereka dari rumah kalian’.” [HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah]

Menurut para ulama –sebagaimana dikatakan Imam An-Nawawi–, al-mukhannats ada dua macam. Yang pertama; Adalah orang yang memang pada dasarnya tercipta seperti itu. Dia tidak mengada-ada atau berlagak dengan bertingkah laku meniru perempuan; dalam gayanya, cara bicaranya, atau gerak-geriknya. Semuanya alami. Allah memang menciptakannya dalam bentuk seperti itu. Yang demikian, dia tidak tercela, tidak boleh disalahkan, tidak berdosa, dan tidak dihukum. Mukhannats jenis ini dimaafkan, karena dia tidak membuat-buat menjadi seperti itu. Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari seorang mukhannats jenis ini berkumpul bersama para perempuan. Beliau juga tidak mengingkari tingkah lakunya yang seperti perempuan, karena dia aslinya memang seperti itu. Tetapi kemudian beliau mengingkari mukhannats ini, setelah dia menceritakan apa-apa yang dilihatnya dari kaum perempuan. Namun, beliau tidak mengingkari keberadaannya sebagai seorang mukhannats.

Yang kedua; Yaitu mukhannats yang pada dasarnya tidak tercipta sebagai seorang mukhannats. Tetapi, dia membuat-buat dan bertingkah laku layaknya perempuan dalam gerakannya, dandanannya, cara bicara, dan gaya berpakaian. Inilah mukhannats yang tercela, di mana terdapat hadits-hadits shahih yang melaknatnya. Adapun mukhannats yang pertama, maka ia tidak dilaknat. [Syarh Shahih Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar menggarisbawahi, “Namun hendaknya ia (si mukhannats) berusaha keras untuk menghilangkan sifat kewanita-wanitaannya itu.” [Fath Al-Bari]

Al-Khuntsa dalam Sejarah Islam

Al-Khuntsa tidak tercela, dan orang yang mengalaminya tidak boleh dilecehkan. Sebab, ia adalah ciptaan Allah. Ia tercipta dengan keadaan yang demikian atas kehendak Allah. Bukan karena keinginannya sendiri.

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwasanya Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu ‘Anhu pernah didatangi beberapa orang utusan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menanyakan masalah warisan seorang khuntsa. Umar berkata, “Dia (khuntsa itu) mewarisi dari jalan mana dia kencing.” [Al-Mushannaf, VII/374]

Pada masa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, ada seorang laki-laki menikahi perempuan yang ternyata adalah seorang khuntsa. Si istri memiliki dua kemaluan, kemaluan perempuan dan kemaluan laki-laki. Sang suami memberi mahar kepada istrinya berupa seorang budak perempuan. Layaknya sebuah keluarga, si istri lalu hamil dan melahirkan anak. Akan tetapi, tak lama berselang, si budak perempuan yang menjadi mahar itu juga  hamil dan melahirkan anak.

Madinah gempar. Peristiwa ini pun diajukan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Ali bertanya tentang keadaan si istri yang ternyata seorang khuntsa tersebut. Ali mendapat keterangan bahwa si istri haid, menyetubuhi, disetubuhi, mengeluarkan sperma dari dua kemaluannya, dan dia juga bisa hamil maupun menghamili. Masyarakat bingung dengan kondisi si khuntsa.

Ali pun mengirim dua orang utusan untuk menemui si khuntsa dan memerintahkan agar memeriksa tulang rusuknya dari kedua sisi. Jika tulang tersebut sama, berarti dia perempuan. Dan kalau sisi kiri lebih pendek, berarti dia laki-laki. Ternyata didapati bahwa tulang rusuk sebelah kiri si khuntsa lebih pendek, beda satu tulang. Maka, Ali memutuskan bahwa si khuntsa adalah laki-laki. Lalu, Ali memisahkan si istri itu dari suaminya.

Dalilnya adalah, saat Adam masih tercipta seorang diri, Allah ingin memberikan pasangan untuk Adam dari jenisnya, agar mereka bisa saling memberikan ketenangan dan cinta kasih. Oleh karena itu, ketika Adam tidur, Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Hawa dari tulang rusuk kirinya. Itulah makanya, tulang rusuk kiri laki-laki kurang satu, sedangkan tulang rusuk perempuan sempurna. Pada perempuan terdapat 24 buah tulang. Sementara pada laki-laki terdapat 23 tulang, dua belas di sebelah kanan dan sebelas di sebelah kiri. Dan, perempuan itu tercipta dari tulang yang bengkok. [Nur Al-Abshar fi manaqib Aali Bayti An-Nabiy Al-Mukhtar/Mukmin Hasan Asy-Syabalankhi]

Al-Mukhannats Pada Masa Nabi Saw

Al-Mukhannats yang tercela dan dilaknat adalah yang dibuat-buat. Adapun seorang mukhannats yang memang sudah aslinya tercipta demikian dan dia tidak mengada-ada dalam ke-mukhannatsan-nya, maka tidak mengapa. Mukhannats yang disebutkan terakhir tidak boleh dicela. Namun hendaknya sebisa mungkin dia menghilangkan sifat kewanita-wanitaannya, sebagaimana kata Ibnu Hajar.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ayyasy bin Abi Rabi’ah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada tiga orang mukhannats, yaitu; Mati’, Hidm, dan, Hit. Mati’ adalah budak Fakhitah binti Amr, bibi Rasul. Dulu, mati’ sering masuk ke rumah Nabi dan bertemu dengan istri-istri beliau, sebelum akhirnya dilarang. [As-Sunan Al-Kubra/16760]

Disebutkan dalam hadits, bahwa ada seorang mukhannats yang mengecat kuku-kuku kedua tangan dan kakinya dengan daun pacar didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bertanya, “Ada apa dengan orang ini?” Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, dia ini menyerupai perempuan.” Maka, Nabi pun memerintahkan agar orang tersebut diasingkan ke Naqi’ (satu tempat dekat Baqi’). Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kita boleh membunuhnya?” Kata Nabi, “Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang yang shalat.” [HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah]

Homoseksual (al-liwath) dan Lesbian (as-sihaq)

Banyak orang salah paham, dikiranya seorang laki-laki yang homo dan perempuan yang lesbi, termasuk dalam kategori khuntsa atau mukhannats yang mendapatkan pengakuan dan ada hukumnya dalam Islam. Ini adalah anggapan keliru. Sebab, jika seorang laki-laki yang secara fisik adalah lelaki tulen; berkelamin laki-laki (bukan ganda), suara laki-laki, badan laki-laki, tumbuh jenggot dan kumis, serta menyukai kegemaran yang biasa disukai laki-laki; tetapi dia mencintai sesama laki-laki; maka inilah yang pernah terjadi pada kaum Luth ‘Alaihissalam. Apabila mereka melampiaskannya dengan berhubungan badan sesama jenis, maka ini adalah perbuatan terlaknat dan orangnya pun terlaknat. Begitu pula dengan perempuan yang demikian. Hukumnya sama.

Adapun jika itu masih berupa perasaan dan belum dilakukan, di mana seorang lelaki mempunyai kecenderungan seksual mencintai sesama lelaki (demikian halnya perempuan), maka belum ada dosa yang dia lakukan, selain penyakit hati. Mudah-mudahan Allah memaafkan dan segera membimbingnya kepada kebenaran, serta mengaruniakan cinta yang fitrah kepada lawan jenis.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ . أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ .

“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya; ‘Kenapa kalian melakukan perbuatan keji itu sedang kalian bisa berpikir? Mengapa kalian berhubungan dengan sesama lelaki untuk melampiaskan syahwat dan menelantarkan perempuan? Sebenarnya kalian adalah kaum yang bodoh’.” (An-Naml: 55)

Jelas berbeda, antara khuntsa dan mukhannats dengan praktik kaum Luth. Orang yang homo atau lesbi, sama sekali bukan khuntsa ataupun mukhannats. Secara fisik mereka lelaki tulen dan perempuan tulen, tidak ada yang diragukan. Kecenderungan seksual mereka yang menyukai sesama jenis, tak lain adalah hawa nafsu semata. Mereka menyalahi fitrahnya. Mereka digelincirkan setan. Perbuatan buruk mereka dihiasi oleh setan sehingga tampak baik. Hendaknya mereka segera bertaubat dan berusaha mencintai lawan jenisnya.

Solusi

Bapak “sayapuntaktahu85” yang baik, setelah sekilas uraian di atas, kini kembali kepada diri bapak sendiri. Bertanyalah pada diri bapak; bapak masuk yang mana? Maaf, apakah khuntsa, mukhannats, atau homo? Kita tidak berjumpa langsung, jadi sulit bagi kami untuk menentukan bagaimana keadaan bapak yang sesungguhnya.

1. Baiklah, jika bapak seorang khuntsa (musykil), maka para ulama membolehkan bapak untuk melakukan operasi ganti kelamin. Namun, ini SYARATNYA SANGAT KETAT. Bapak harus meminta pendapat kepada dokter ahli, psikolog, psikiater, dan ulama yang tsiqah (dipercaya dan mumpuni). Akan lebih baik lagi, jika masing-masing dokter ahli, psikolog, psikiater, dan ulama; jumlahnya lebih dari satu. Setelah mereka menyimpulkan, bahwa; hormon kewanitaan bapak lebih dominan, sifat kewanitaan bapak lebih menonjol, kecenderungan seksual bapak adalah kepada lelaki dan tidak kepada perempuan, dan sebagainya; maka bapak boleh melakukan operasi ganti kelamin menjadi perempuan, atau lebih tepatnya operasi penyempurnaan kelamin. Dan, menurut para ulama, sejatinya ini bukanlah operasi ganti/penyempurnaan kelamin, melainkan pengobatan. Sebab, yang dialami orang seperti bapak adalah penyakit, sehingga tindakannya adalah mengobati penyakit. Ini boleh. Adapun operasi ganti kelamin yang tanpa alasan kuat, serta tanpa rekomendasi dari para pakar (dokter ahli, psikolog, psikiater, dan ulama), maka para ulama sepakat bahwa ini tidak boleh. Karena ini adalah tindakan mengubah ciptaan Allah.

Di antara para ulama yang membolehkan operasi penyempurnaan (ganti) kelamin ini, adalah: Syaikh Athiyah Shaqr (Fatawa Al-Azhar), Fatawa Lajnah Daimah (fatwa nomor: 2688/ditandatangani oleh: Syaikh Abdullah Qa’ud, Syaikh Abdullah Ghadiyan, Syaikh Abdurrazaq Afifi, dan Syaikh Bin Baz), para ulama di Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (lihat: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=31679), dan para ulama di Markaz Al-Fatwa (lihat: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&lang=A&Id=151375&Option=FatwaId).

2. Apabila bapak seorang mukhannats, maka tidak ada alasan untuk berganti kelamin. Sebab, seorang mukhannats tetap mempunyai kecenderungan terhadap lawan jenis. Dan dari pertanyaan bapak, kami melihat bapak bukan seorang mukhannats.

3. Dan sekiranya bapak seorang (maaf) homo atau gay, maka tidak ada yang bisa kami sampaikan selain menyarankan kepada bapak agar lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbanyaklah ibadah. Mintalah kepada-Nya agar diberikan rasa cinta kepada lawan jenis, dan agar dibuang jauh-jauh rasa suka terhadap sesama jenis. Selain itu, bapak juga sebaiknya berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater. Sampaikanlah permasalahan bapak, dan tanyakan solusinya. Mudah-mudahan Allah segera memberikan pertolonganNya kepada bapak. Amin..

Wassalam.

ThisisGender.Com

Dijawab oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Mewaspadai Fundamentalisme Post-Patriarkal

1

ThisisGender.Com-Dalam buku Spirituality and Society: Postmodern Visions (edisi Indonesia Visi-Visi Postmodern) Catherine Keller menulis sebuah catatan tentang tujuan utama (big goal) dari gerakan feminisme.  Menurut pengajar teologi di Theological School Drew University Amerika Serikat ini, perang wacana gender terkait dengan cita-cita masyarakat postmodern, yakni masyarakat tak mengenal kelas, menjunjung kebebasan tak terbatas dan pluralis. Big goal gerakan feminisme sendiri terstruktur dalam sebuah masyarakat yang ia sebut dengan istilah ‘masyarakat post-patriarkal’.

Di antara kesamaan erat antara postmodern dan post-patriarkal yang disebutkan Keller adalah keduanya sama-sama mengusulkan struktur nilai dan kelembagaan sosial yang didasarkan atas hak indiviudalisme dan diakhirinya hubungan-hubungan yang mendominasi.  Mungkin karena ada kemiripan dengan gerakan dan praksis postmodern ini Keller menyebutnya dengan istilah post-patriarkal. Post artinya sesudah dan pasca. Sedangkan patriarkal adalah sistem hubungan pria wanita yang didominasi pria secara otoriter.

Makna kata “post” di sini adalah dekonstruksi (pembongkaran). Yakni mendekonstruksi dominasi laki-laki (patriarkisme) dalam setiap aspek kehidupan. Kata “post” sejatinya kata Catherine Keller bukan makna yang baik. Ia mengatakan kata ini menyiratkan via negative – yaitu cara negatif dalam merumuskan tujuan yang dihendaki. Ternyata benar kata Keller. Buktinya, metode dekonstruksi lantas disalah gunakan untuk membongkar konsep etika agama. Karena ‘alatnya’ adalah dekonstruksi, maka gerakan menuju masyarakan post-patriarkal terkesan radikal-fundamental — lebih radikal daripada saat kaum modernisme mengkampanyekan feminisme pada awal kemunculannya pada abad ke-17.

Tampaknya pilihan istilah post-patriarkal ingin menegaskan wajah yang membenci kelaki-lakian. Laki-laki dituding sebagai pembentuk wacana dominasi pria atas wanita. Titik sentral yang menjadi sasaran di sini jelas laki-laki. Dan sejatinya perjuangan feminisme berujung kepada ‘pembunuhan’ terhadap peran dan tanggung jawab laki-laki. Pemikirannya didasarkan oleh sikap ‘iri’ dan ‘benci’. Maka tepat  apa yang dikatakan Keller bahwa puncak perjuangan feminisme adalah masyarakat yang bernama post-patriarkal. Tanda-tanda bangkitnya masyarakat ini adalah legalisasi lesbiansime dan homoseksual.

Meski sekarang ini belum terstruktur, namun arah gerakan feminisme makin lama makin menunjukkan kepada pembentukan masyarakat post-patriarkal. Tahun lalu, peringatan gubernur DKI Jakarta agar wanita tidak memakai rok mini ditolak aktifis feminisme. Mereka mencemooh, bahwa otak laki-laki-lah yang harus dibenahi jika memang  syahwat mereka bangkit saat melihat rok mini. Sebuah kecamaan yang lebih mengedepankan emosional daripada rasio. Sebab, jelas sekali porno itu membangkitkan syahwat namun tidak diakuinya. Tapi memang, itulah salah satu ciri gerakan post-patriarkal. Emosional tapi terkadang dikemas seakan rasional, hanya karena digerakkan oleh kaum ‘intelektual’.

Belum lama ini, ketika kedatangan Irshad Manji — pelaku lesbian asal Kanada — ditolak masyarakat, aktifis liberal dan feminis ini membela. Suara pembelaannya diatasnamakan kebebasan berbicara. Lagi-lagi ini pembelaan yang sejatinya tidak mengedepankan akal sehat. Sebabnya, Irshad secara terbuka dalam tulisannya merendahkan al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Tulisan-tulisan seperti itu yang bisa memantik konflik sosial.  Ia juga mendapat penolakan masyarakat. Ia ditolak masyarakat karena buku-bukunya melegalisasi lesbian dan homoseks. Praktik hubungan sejenis sesungguhnya tidak diterima golongan manapun yang memakai nurani dan akal sehat. Gedung Putih AS sempat heboh. Presiden Barrack Obama dikecam keras aktifis partai Republik dan tokoh Kristen Konservatif karena sang Presiden mendukung pernikahan sejenis (Republika 11/05/2012).

Prof. Dr. Malik Badri — pakar psikologi asal Sudan pada seminar “Homoseks dalam Perspektif Psikologi dan Islam” di Universitas Ibnu Khaldun Selasa (29/05/2012) menjunjukkan data-data kuat bahwa homo/lesbi bukan genetis tapi pengaruh lingkungan. Ia termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan. Alasan genetis hanya mengada-ada.

Maka, sebaiknya kita belajar memakai akal sehat. Pendukung Irshad Manji harusnya berhati nurani, hilangkan ego dan kembali kepada etika agama. Semua demi kepentingan masa depan bangsa yang beradab. Anak bangsa harus dikendalikan agar tetap pada tatanan adab. Jika dibiarkan sebebas-bebasnya, bisa melahirkan radikalisme gaya baru yang anti moralitas.

Begitulah watak post-patriarkal mirip dengan karakter postmodern, merelatifkan moral. Model kebebasannya muncul dalam bentuk kekaburan dan secara logis lebih permisif (Ernest Gellner, Menolak Postmodern, hal. 49). Permisifme dan relativisme post-patriarkal selalu menampakkan diri dengan wajah yang selalu menyalahkan kelaki-lakian. Jika wanita dilarang memakai pakaian mini, kenapa lelaki tidak. Harusnya semua dibebaskan. Jika seks adalah naluri manusia, maka manusia dibebaskan untuk memilih dengan siapa ia disalurkan  —  tidak peduli dengan sesama jenis atau lain jenis. Logika-logika ini tidak dikontrol oleh etika agama.

Logika permisifsme dan relativisme dekonstruksi postmo sangat berbahaya. Sebab menawarkan logika-logika pembebasan tubuh (emancipation of body) dan pembebasan hasrat (liberation of desire) dari pembatasan-pembatasan melalui industri media massa (Zaitunah S, 2005: hal. 74).

Post-patriarkal sesungguhnya menginginkan spiritualitas, namun sama sekali anti-agama, dan selalu makna hak asasi manusianya dihadap-hadapkan dengan agama. Jelas sebuah keinginan yang utopis. Semestinya spiritualitas, keadilan, dan keharmonisan hubungan pria-wanita dalam masyarakat dikembalikan kepada etika agama, kepada aturan Allah. Bukan justru menolak syari’at Allah. Jika tetap memaksakan kampanye lesbian dan homo, maka mereka dapat dikategorikan gerakan radikalisme — memaksa masyarakat untuk mengakuinya.

Apresiasi pembentukan masyarakat post-patriarkal oleh feminis muslim dilakukan dengan pembebasan dari kekuasan yang disebut kekuasaan monolitis. Kitab-kitab klasik, tafsir al-Qur’an dan Sunnah dituduh bersifat patriarki memihak laki-laki (M. Maufur dkk, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, hal. 56).

Meskipun metafisika dan informasi-informasi ghaib agama dinilai tidak rasional bagi orang sekuler. Tapi nyata nya yang harus diakui, di tangan agamalah nilai-nilai spiritualitas, keadilan dan harmonisasi masyarakat ditemukan. Ajaran-ajaran praksisnya justru lebih rasional.

Kodrat, dan potensi biologis antar pria dan wanita berbeda. Maka, tugas, tanggung jawab dan perlakuan juga berbeda – disesuaikan dengan kodrat dan fitrahnya.  Jika disamakan justru menimbulkan ketidak adilan. Adil tidak harus sama fifty-fifty. Adil adalah suatu perbuatan menempatkan sesuatu pada porsinya sehingga sesuatu itu tidak keluar dari koridor yang semestinya. Dalam Islam, wanita dan pria diberi tugas dan tanggung jawab sesuai kodrat dan porsinya (Majid Khodduri,Mafhum al-‘adl fi al-Islam, hal. 21).

Keadilan gender semestinya dimaknai suatu kondisi dimana antara laki-laki dan perempuan ditempatkan sesuai dengan potensi, naluri, kodrat dan fitrahnya masing-masing. Menyamakan secara fifty-fifty dalam setiap segi kehidupan justru menjadikan kondisi itu tidak adil. Karena secara biologis dan kodratnya berbeda maka, tanggung jawab dan potensi melakukan kewajiban juga berbeda.

Relasi dan pembagian tugas antara pria dan wanita tidak didasarkan oleh kebencian, dan iri terhadap lainnya. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (Q.S. An Nisa (4) : 32).

Jadi dalam Islam, tidak ada tradisi patriarki. Sebab masing-masing pria dan wanita diberi tugas dan tanggung jawab sesuai kondisi biologisnya. Tidak ada kebencian wanita atas pria menyangkut peran dalam sosial masyarakat dan keluarga. dalam hukum Islam hak dan kewajiban dalam beberapa bidang dibedakan. Pembedaan ini tidak menafikan kesamaan (musawah) dalam kehormatannya, kemanusiaannya dan keahliannya. Sebab, penerapan hukum didasarkan atas tabiat bilogis dan potensi masing-masing. Dalam melaksanakan tanggung jawab antar laki-laki dan perempuan saling mengisi (Sa’ad Ibrahim Shalih,Ahkamu Ibadati al-Mar’ah fi al-Syariah al-Islamiyah Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, hal. 52). Perempuan adalah mitra kerja suami (qarinah). Begitu pula sebaliknya. []

Kholili Hasib

Peneliti InPas, lulusan Magister Aqidah dan Pemikiran ISID Gontor.

Homoseksual Bukan Karena Faktor Genetis

0

ThisisGender.Com-Salah satu alasan feminis atau pelaku Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) untuk melegalkan aktivitas homoseksual dan lesbian adalah karena sudah kodrat, karena mereka sudah dilahirkan dalam keadaan seperti itu dan kondisi demikian tidak bisa dirubah.

“Omong kosong bahwa Homo dan Lesbi adalah bawaan sejak lahir! Tidak mungkin seperti itu”, tegas Pakar Psikologi Internasional dari Sudan, yang menjadi pembicara bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, dalam acara Studium Generale (kuliah umum) “Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Psikologi dan Islam” di Gedung Program Doktor Pendidikan Islam, Universitas Ibn. Khaldun, Bogor, pada Selasa kemarin (29/05).

Kalau memang penyebab homoseksual dan lesbian adalah karena faktor genetis, berarti kita telah memvonis Tuhan tidak adil, padahal kenyataannya tidak demikian.

Banyak Estrogen Penyebab Homo?

Para Psikolog Barat mengklaim, pelaku LGBT menjadi demikian karena hormon estrogen lebih banyak daripada hormon endrogen. Namun, hal ini langsung dibantah kembali oleh Prof. Malik Badri sendiri.

“Padahal faktanya, manusia yang punya hormon estrogen lebih banyak tidak menderita homoseksual”, tegas Pria yang menamatkan pendidikan Doktornya di Universitas Leicester, Inggris, pada tahun 1961 ini.

Hormon estrogen sendiri adalah hormon yang pada umumnya diproduksi oleh rahim wanita yang merangsang pertumbuhan organ seks perempuan, hal ini dikenal sebagai karakteristik seks sekunder. Selain itu, estrogen mengatur siklus menstruasi.

Hal ini juga disetujui oleh Rushdi Kasman M.Si., Dosen mata kuliah Psikologi dan Konseling di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, yang mengikuti jalannya acara kuliah umum tersebut sampai selesai.

“Memang, kadar hormon estrogen yang lebih banyak di dalam tubuh seorang laki-laki tidak menentukan seseorang menjadi homoseksual. Contohnya saja seperti dokter Boyke yang agak kemayu tapi ternyata beliau bukan seorang homoseksual. Jadi kecenderungan perilaku seperti tomboy dan feminin tidak menentukan seseorang itu punya kelainan seksual (heteroseksual)”, terang pria lulusan UPI Bandung ini.

Sehingga seseorang yang mengalami kelainan seksual bukan karena faktor genetis melainkan karena faktor lingkungan.

Tidak hanya itu, Prof. Malik juga mengungkapkan bahwa dalam psikologi Barat orang yang kontra dengan homoseksual dan mengkritisinya termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan disebut homophobia.

“Sekarang ini dalam Psikologi Barat, orang yang kontra dengan Homoseksual sudah bisa dikatakan termasuk dalam salah satu penyakit kejiwaan”, ungkapnya

Padahal menurut Yadi Purwanto, salah satu Psikolog Islam Indonesia dalam bukunya “Psikologi Kepribadian, integritas aqliyah dan nafsiyah Perspektif Psikologi Islam”, Dalam perspektif Psikopatologi (gangguan kepribadian) perspektif Islam homoseksual termasuk dalam kategori jiwa yang abnormal atau jiwa yang sakit.

Korelasinya Dengan Kesetaraan Gender

Poin penting yang juga harus digaris bawahi dari kuliah umum kemarin adalah, perilaku homoseksual ada korelasi dengan paham kesetaraan gender. Karena paham kesetaraan gender, perilaku homoseksual seperti mendapat pelegalan dan membuatnya semakin marak, sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Dr. Hamid, saat diwawancarai oleh CGS, Selasa kemarin (29/05),

“Asal mula Homoseksual diperjuangkan dalam kesetaraan gender yaitu berasal dari feminis aliran radikal, feminis aliran radikal ini mempunyai tuntutan bukan hanya kesetaraan untuk perempuan tapi kesetaraan untuk memperoleh kepuasan seks, jadi karena tidak memerlukan laki-laki dia bisa memperoleh kepuasan seks tersebut dan tidak ada ketergantungan karena merasa mempunyai hak untuk memperoleh itu. Feminis ini memperoleh penguatan lagi dengan konsep equality, feminisme kan membela hak perempuan, bukan hanya membela hak perempuan tetapi juga menyamakan hak perempuan dengan laki-laki, nah itu dalam semua aspek, termasuk dalam homoseksual ini”, terang penulis buku Misykat ini.

Bisa disembuhkan

Menariknya, saat diwawancarai oleh CGS seusai makan siang, Selasa kemarin (29/05), Profesor yang mendirikan International Association of Muslim Psychologists dan pernah menjadi anggota dewan pakar UNESCO ini, dengan wajah optimis mengatakan bahwa penyimpangan seksual seperti homoseksual dan lesbian bisa disembuhkan, yaitu dengan cara memberikan terapi kognitif, seperti dibangunkan kesadarannya bahwa apa yang dia perbuat salah tanpa menyudutkan dan menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku, kemudian dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik, yang mendukung kesembuhannya dan dijauhkan dari komunitasnya. (Sarah Mtv)

Rep : Khalifatunnisa

Red : Sarah Mantovani

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now