Home Blog Page 23

This is Gender, Kritisi Feminisme Secara Akademik

0

Thisisgender.com, Isu tentang Kesetaraan Gender masih berlanjut hingga saat ini, bahkan para Feminis masih terus menyebarkan pemikiran-pemikirannya, salah satunya seperti mengadakan seminar Feminisme di Auditorium Gedung I, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Selasa lalu (01/05), dengan Prof. Musdah Mulia dan Dr. Gadis Arivia sebagai salah satu pembicaranya.

Namun, pada faktanya, hingga saat ini masih belum ada Pusat Studi Kajian Gender di Indonesia yang bisa meneliti secara lebih jauh dan serius terhadap ide-ide feminisme serta mendasarkan penelitian tersebut pada worldview Islam ataupun para muslimah yang bisa mengcounter pemikiran-pemikiran Feminis tersebut.

Oleh karenanya, perempuan Indonesia, khususnya Muslimah membutuhkan informasi memadai mengenai segala hal tentang Feminisme agar pemahaman mereka tidak tersesat pada ide-ide nyeleneh para feminis.

Thisisgender.com, sebagai salah satu situs kajian feminisme dan media online kemuslimahan pertama di Indonesia akan menjawab tantangan yang sedang dihadapi oleh para Muslimah Indonesia saat ini.

“Alhamdulillah, kini telah lahir sebuah website khusus yang membahas masalah gender dan hal-hal yang berkaitan dengan tema-tema kewanitaan yang dikupas berdasarkan perspektif Islam. Website ini lahir karena kegelisahan yang sama yang dirasakan masyarakat muslim dari berbagai organisasi Islam di Indonesia akibat upaya-upaya kaum liberalis, feminis dan posmodernis yang semakin gencar menyebarkan pemikiran-pemikirannya mengenai gender dan peranan-peranan wanita melalui tangan-tangan media, lembaga sampai negara”, jelas Sakinah Fithriyah, Juru Bicara This is Gender, the Center for Gender Studies (CGS) kepada media belum lama ini.

Bahkan, rencananya situs yang digawangi oleh Muslimah-muslimah dari beberapa organisasi Islam ini akan mengadakan launching pertamanya di Gedung Program Doktoral, Univ. Ibn. Khaldun, pada Selasa besok (29/05/2012), bersamaan dengan digelarnya acara Kuliah Umum “Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi” yang rencananya akan diisi oleh Prof. Malik Badri, Pakar Psikologi Internasional asal Sudan dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, Direktur Pascasarjana ISID Gontor.

Mendapat Sambutan                                                             

Melihat antusiasme yang ditunjukkan oleh para Muslimah terhadap kelahiran CGS, justru mendapatkan sambutan dari Penanggung Jawab Divisi Perempuan Ghurabaa (Militant Tauhid), ia menyatakan dukungan yang luar biasa terhadap gerakan perempuan anti feminis ini.

“Kalau laki-laki yang menolak feminis seperti kurang greget, justru dengan hadirnya gerakan anti feminisme dari kalangan muslimah ini akan semakin mengokohkan perjaungan bahwa penolakan terhadap feminisme ini datang dari berbagai elemen umat Islam, tolak RUU KKG adalah harga mati”, jelasnya, sebagaimana dikutip dari situs undergroundtauhid.com, Minggu lalu (13/05).

Proyek Pertama CGS

Tidak hanya itu, sebelumnya, CGS sudah menerima proyek pertamanya. Para pengurus bersama dengan INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) membuat kritikan terhadap RUU KKG yang dituangkan ke dalam tulisan analisis. Rencananya, tulisan analisis tersebut akan diserahkan ke Komisi VIII pada hari ini (28/05).

Bagaimanapun, DPR, khususnya Komisi VIII harus tahu secara lengkap info mengenai Kesetaraan Gender ini, mulai dari definisi Gender yang bermasalah dan didekonstruksi sedemikian rupa, makna Keadilan, Kesetaraan, membedah konsep Diskriminasi, pertentangan RUU ini dengan Pancasila sila Pertama dan UUD 45 Pasal 28 J ayat (2) tentang HAM hingga masalah overlapping (tumpang tindih) dengan UU lain. [Sarah Larasati mantovani]

Pembahasan RUU Kesetaraan Gender Harus Transparan

0

Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) masih menimbulkan pro dan kontra. Karena itu, partisipasi masyarakat harus disertakan dan pembahasan harus dilakukan secara transparan.

Dalam pembahasaan RUU KKG di Komisi VIII, Senin (28/5) yang mengundang sejumlah ormas dan LSM perempuan, tampak adanya perbedaan itu. Adnin Armas dari Institute for The Study Islamic Thought and Civilization (Insists) mempersoalkan materi dan draft RUU, seperti soal hak perempuan untuk menentukan pasangan hidupnya dan juga dari sisi definisi soal ‘gender’.

Menurut Adnin, hal ini bisa saja menjadi persoalan, karena dalam Islam dan juga Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, jelas disebutkan bahwa perempuan muslim tidak boleh menikah dengan lelaki nonmuslim. “Pasal ini bisa saja melegalkan bahkan melindungi perzinahan, sementara sebagian orang yang tidak setuju dengan perkawinan sejenis bisa saja dikriminalkan,” kata Adnin. Karena itu, Adnin berharap pembahasan RUU ini harus dilakukan dengan hati-hati.

Sementara, perwakilan dari Cedaw (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women) Working Group Indonesia mendorong agar RUU ini segera dibahas, dengan tujuan memberikan perlindungan hukum, kesetaraan, dan keadilan bagi perempuan. ;

Menurut Rita Serena Kalibonso dari Cedaw Working Group, tujuan dari RUU ini harus memberikan perlindungan hukum kepada perempuan dan juga korban. Cedaw menginventarisasi 16 persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Termasuk di dalamnya soal tingginya angka kematian ibu melahirkan.
(nwk/nwk)

Dikutip dari: news.detik.com

Homoseksual dan Gender dalam Perspektif Islam dan Psikologi (Studium Generale)

0

 

Pembicara :

  1. Prof. Malik Badri (Sudan), Pakar Psikologi Internasional
  2. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ISID Gontor

Moderator: Adnin Armas, MA

Acara ini terselenggara atas kerjasama:

  • Program Pascasarjana UIKA
  •  Insistute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
  •  The Centre for Gender Studies (www.thisisgender.com)

Acara ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya.

Informasi pendaftaran:

Kirim data berupa Nama, email, No. Telp/HP dan nama instansi ke email: admin@thisisgender.com

Atau via sms:

  • Sakinah (Akhawat) : 08561670521
  • Lukman (Ikhwan) : 085717079887

Tempat terbatas! (kursi hanya untuk 100 orang)

Peta Lokasi:

Klik disini untuk melihat Peta Lebih Besar

Rute transportasi menuju lokasi:
o> Kereta Api
Turun di Stasiun Cilebut (sebelum Stasiun Bogor (dari arah Jakarta)). Naik angkot ke arah Jalan Baru dan turun di Jalan Baru, selanjutnya naik angkot sampai Yogya Dept. Store. UIKA berada di seberangnya.

o> Bus
Dari Terminal Baranang Siang naik Bus Pusaka jurusan Tangerang-Ciputat, turun di depan UIKA. Atau naik Trans Pakuan, berhenti di Jl. Sholeh Iskandar di depan Yogya Dept.Store, UIKA berada di seberangnya.
Dari terminal Laladon, naik angkot 32 jurusan Cibinong, turun persis di depan UIKA.

o> Kendaraan pribadi dari Tol Jagorawi, keluar di pertigaan (Terminal Bus Baranang Siang) belok kanan (kalau ditutup, belok kiri untuk putar balik). Ikuti jalan, melewati Kebun Raya Bogor (di sebelah kiri jalan) sampai ketemu pertigaan (ke kiri Kebun Raya, kanan Mall yg sudah ditutup), lurus terus sampai bertemu pertigaan Warung Jambu (ada terminal angkot), lurus terus, hingga bertemu lagi pertigaan (ke kiri ke Parung, ke kanan tol Jagorawi, lurus ke Cibinong). Ambil arah ke kiri (arah Jalan Baru/ Parung). Ikuti jalan hingga bertemu UIKA di sebelah kanan jalan.

Sampai di kampus UIKA, bisa minta bantuan satpam untuk menunjukkan Gedung Doktoral yang baru, yang berada di paling belakang, dekat Asrama. Agak jauh masuk ke belakang, melewati lapangan.

Semoga lancar dan dipermudah Allah swt. sepanjang perjalanan sampai ke tujuan.

Konsep Waris tidak Merendahkan Wanita

0

Oleh Moh. Hamdi*

 ThisisGender.Com-Salah satu topik yang menarik diperbincangkan dalam isu kesetaraan gender (gender equality) adalah hukum waris. Aktifis feminisme meyakini bahwa hukum waris tidak memihak perempuan. Hukum ini tidak adil karena laki-laki mendapatkan bagian yang lebih dibandingkan perempuan.

Dalam konteks hukum Islam, mereka menggugat hukum waris antara laki-laki dan wanita. Hukum waris harus diganti, kata mereka. Anggapan bahwa pembagian harta warisan bagi seorang anak laki-laki sebanding dengan dua orang anak perempuan merupakan sebuah kedzaliman terhadap perempuan. Amina Wadud Muhsin, seorang tokoh feminis, memandang bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel asal memenuhi asas manfa’at dan keadilan. Dengan demikian, bisa berubah sesuai realitas zaman. Namun pertanyaannya sekarang adalah benarkah demikian?

Sistem Pembagian Hak Waris dalam Islam

Untuk memperjelas suatu pemahaman, terlebih dahulu akan dikemukakan definisi tentang waris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia. Sesuatu yang diwariskannya itu, seperti harta dan nama baik disebut warisan. Kedua kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu waritsa, yaritsu wirâtsatan. Menurut Ibnu Faris dalam bukunya Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, akar kata waw ra tsa maknanya berkisar pada perpindahan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain, baik karena keturunan atau sebab lain.

Sesuatu yang dipindahkan/diwariskan itu dapat berbentuk materi seperti harta dan kerajaan, atau lainnya seperti ilmu, kebaikan atau kesalehan. Yang bersifat materi biasanya disebut dengan mîrâts atau turâts, dan yang bersifat nama baik disebut al-irts. Dalam QS. Al-Naml: 16 disebutkan Nabi Sulaiman mewarisi Nabi Daud (wawaritsa Sulaymânu Dâwûda), yaitu warisan yang berupa kenabian dan kerajaan, bukan berupa harta menurut sebagian ahli tafsir, sebab para nabi tidak mewariskan harta. Menurut sebagian lain, termasuk juga harta

Dalam Al-Qur`an kata yang terbentuk dari akar kata waratsa terulang sebanyak 35 kali. Al-Wârits adalah salah satu nama Allah yang terbaik (al-Asmâ al-Husnâ). Kata ini hanya ditemukan sekali dalam bentuk tunggal, yaitu dalam QS. Al-Baqarah: 233, dan lima kali dalam bentuk jamak. Tiga di antarnya menunjuk kepada Allah Subhânahu wata`âlâ, yaitu QS. Al-Hijr: 33, Al-Anbiya: 89 dan Al-Qashash: 58, dan dua lainnya menunjuk kepada manusia, yaitu Al-Mu`minun: 10 dan Al-Qashash: 5.

Imam Ghazali memahami kata al-Wârits dalam arti, “Dia yang kembali kepada-Nya kepemilikan, setelah kematian para pemilik”. Allah adalah al-Wârits yang mutlak, karena semua akan mati dan hanya Dia yang kekal abadi. Semua kekuasaan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Mu`min : 16). Oleh Nabi Zakaria, ketika berdoa agar dianugerahi keturunan, Allah disifati olehnya dengan Khayr al-Wâritsîn (sebaik-baik yang mewarisi) (QS. Al-Anbiyâ: 89). Dalam kehidupan dunia, Allah tidak hanya mewariskan bumi dan semua yang ada di atasnya (QS. Maryam : 40), serta seluruh alam raya (QS. Ali Imran : 180), tetapi juga pengajaran al-kitab / kitab suci (QS. Fathir : 32).

Demikian betapa luasnya cakupan makna waris dalam Al-Qur`an. Tentu bukan waris yang berupa ilmu, kebaikan atau kesalehan yang dimaksud dalam tulisan ini, tetapi hak-hak perempuan yang berupa peninggalan harta benda.

Salah satu ayat tentang pembagian waris yang selalu dijadikan alat probaganda untuk memojokkan Islam adalah ayat 12 surat An-Nisa’ (yushîkumullâh fî awlâdikum, li adz-dzakarayni mitslu hazzil untsayayni). Ayat ini dipandang bertentangan dengan prinsip persamaan dan keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh peradaban modern.

Menurut Shahrur, pemikir Liberal asal Syiria, firman Allah (li adz-dzakarayni mitslu hazzil untsayayni), menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali lipat jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki; dalam pengertian bahwa terdapat jumlah objektif (mawdu’i) bukan jumlah hipotesis (iftirâdi) untuk menyatakan jumlah satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah himpunan jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

[  1 laki-laki  + 2  perempuan ]

[  2 laki-laki  + 4  perempuan ]

[ 3 laki-laki   + 6 perempuan….dst. ]

Apabila jumlah perempuan lebih besar dari dua kali jumlah laki-laki, seperti seorang laki-laki dengan 3, 4, atau 5 perempuan dan seterusnya. Menurut  Shahrur, dalam hal ini berlaku firman Allah (fa in kunna nisâ’an fawqa itsnatayni fa lahunna tsulutsâ mâ taraka (maka jika mereka adalah lebih dari dua orang wanita, maka mereka mendapat dua pertiga dari apa yang ia tinggalkan). Dalam hal ini, jumlah perempuan berubah dan berganti dan jatah laki-laki tidak mencapai dua kali lipat jatah perempuan. Misalnya, jika kita tentukan jumlah harta warisan bagi empat anak, yang terdiri dari satu laki-laki dan tiga perempuan, tentulah jatah laki-laki mencapai 33,33% dari harta tinggalan, dan jatah perempuan, masing-masing adalah 66,66% : 3 = 22,22%. jika kita tentukan, misalnya, harta waris bagi enam anak yang terdiri dari satu laki-laki dan lima perempuan, tentulah laki-laki mendapat jatah sebesar 33,33%, sedangkan jatah perempuan 66,66% : 5 = 13,33%.

Adapun jika seorang mayit meninggalkan hanya satu anak perempuan, maka ia mengambil setengah harta tinggalan dan setengah sisanya diambil laki-laki. Kata Shahrur, Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya : wa in kânat wâhidatan fa lahâ an nisfu (dan jika dia adalah satu orang perempuan, maka baginya separuh)

Pandangan-pandangan tersebut di atas, bertentangan dengan sistem waris dalam Islam. Dalam ajaran Islam, besar kecilnya bagian waris tidak ditentukan oleh jenis kelamin, baik itu laki-laki atau perempuan. Akan tetapi lebih ditentukan oleh beberapa faktor berikut ini:

  1. Tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) dan orang yang meninggal. Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar juga bagian warisan yang ia terima.
  2. Kedudukan tingkat generasi. Maka generasi muda dari kalangan pewaris yang masa depannya masih panjang terkadang memperoleh bagian warisan yang lebih besar dibanding generasi tua, tanpa memandang kelelakian atau kewanitaannya. Sebagai contoh, anak perempuan (bint) mendapatkan warisan yang lebih banyak dari ibunya atau ayahnya; anak laki-laki (ibn) mendapatkan warisan lebih banyak dari ayahnya.
  3. Tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Poin inilah yang terkadang membuahkan perbedaan bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, walaupun berada pada tingkat kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung nafkah istri dan keluarganya. Sedangkan anak perempuan tidak diberi tanggung jawab seperti laki-laki.

Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitabnya Al-Mâwarits fî Asy-Syarî’ah al-Islamiyah fi dhaui al-Kitâb wa as-Sunnah mengatakan bahwa anak laki-laki menerima bagian lebih besar dua kali lipat dari pada anak perempuan adalah karena beberapa hal :

  1. Perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya.
  2. Perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya.
  3. Belanja laki-laki dan pengeluaran keungannya lebih besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
  4. Laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.
  5. Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami (laki-laki).

Kendati demikian, hak waris perempuan tidak selamanya lebih sedikit dari laki-laki. Sebaliknya dalam banyak hal, perempuan mendapatkan bagian harta waris lebih banyak dari laki-laki. Sebagaimana hasil penelitan Prof. Dr. Shalahuddin Sulthan, guru besar Syariah, Universitas Kairo, bahwa hanya dalam empat kasus saja perempuan mewarisi setengah bagian waris laki-laki. Sementara itu terdapat 30 kasus perempuan mendapat hak waris sama dengan laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki, atau perempuan mewarisi sementara laki-laki tidak. (Penjelasan lebih jauh baca: Shalahuddin Sulthan, Mîrâts al-Mar`ah wa Qadhiyyat al-Musâwât, Kairo : Nahdhat Mishr, 2004).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam hak waris antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat penindasan, diskriminasi, ketidakadilan ataupun “bias gender”, sebagaimana yang dituduhkan para feminis terhadap hukum Islam.

Adanya tuduhan bahwa dalam hak waris terdapat ketidakadilan atau kedzaliman itu lebih disebabkan  karena melihat perempuan secara individual, bukan sebagai bagian dari anggota keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang saling melengkapi. Pemikiran seperti ini disebabkan karena pengaruh peradaban Barat. Barat memandang manusia secara individualis; hanya melihat perempuan sebagai individu dan sebagai manusia. Lebih dari itu, peradaban Barat mengajarkan paham equality (kesetaraan) yang tidak melihat sisi kodrat dan fitrah wanita. Sedangkan Islam, meskipun mengakui sisi kemanusiaan perempuan dengan segala hak yang terkait dengannya, Islam tetap menghargai fitrah yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Karenanya Islam memperlakukan perempuan sebagai manusia dan sebagai pasangan laki-laki secara proporsional. Demikian pula yang terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum dan etika pergaulan.[]

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor

Telah dimuat di Majalah Gontor edisi Mei 2012

Red: Kholil

Feminisme dan Lady Gaga

0

Assalamu’alaikum wr. wb.,

Bunda Rita,

Kenalkan nama saya Bunga, saya seorang siswi di sebuah sekolah menengah pertama di Jakarta.

Ada yang ingin saya tanyakan tentang Feminisme dan Lady Gaga, langsung saja ya.

  1. Saya pernah membaca sebuah tulisan yang membahas tentang Feminisme tapi saya sendiri ga mengerti apa yang dimaksud dengan Feminisme itu?
  2. Saya punya teman, dia fans berat Lady Gaga, dia sudah tahu bahwa Lady Gaga itu pemuja Setan tapi dia tetap saja mendengarkan lagu-lagunya. Saya sangat ingin membantu dia agar ga nge-fans lagi sama Lady Gaga tapi saya ga tahu bagaimana caranya. Apakah Bunda bisa punya tips tentang itu?.
  3. Waktu itu saya pernah nonton video clipnya Lady Gaga. Bunda tau kan kalau video clipnya itu gimana, vulgar dan gerakannya ga senonoh. Nah, kalau saya nonton itu dosa ga, Bun? Saya nonton hanya sebentar aja, setelah itu saya pergi dan ga melanjutkan lagi.

Terima kasih atas jawabannya, Bunda.

Wassalamu’alaikum wr. wb.,

Bunga

Jakarta

 

Wa’alaikumussalam wr.wb.

Ananda Bunga yang Bunda sayangi…..

Sebelumnya Bunda ingin mengucapkan selamat untuk ananda, dalam usia remaja sudah memiliki kepedulian yang besar tentang apa yang terjadi di sekitarnya.

Menjawab pertanyaan Ananda tentang feminisme, diperlukan penjelasan yang lengkap dan utuh agar dapat memahaminya dengan baik. Namun singkatnya, Bunda ingin terangkan. Mengutip tulisan Dr Hamid Fahmi Zarkasy, Fe-Minus, disebutkan bahwa Istilah feminisme sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan. Konon dari kata fides dan minus yang kemudian menjadi fe-minus. Kata Fei artinya iman dan minus artinya kurang. Jadi Feminis atau Femina mengandung arti kurang iman. Inilah pandangan yang dimiliki barat terhadap kaum perempuan. Berbagai teks yang terdapat di dalam Bible juga menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan dalam pandangan barat. Hal ini semakin diperparah juga dengan sikap yang ditunjukkan pada masa itu oleh tatanan masyarakat baik para pemuka agama dan laki-laki secara umum yang menempatkan perempuan dalam kedudukan yang rendah.

Akibat kondisi ini maka lahirlah sebuah gerakan pada sekitar abad 18 yang dikenal sebagai FEMINISME. Singkatnya Feminisme adalah Gerakan perlawanan yang ditujukan untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam tatanan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Jadi gerakan feminisme dapat dikatakan merupakan sebuah gerakan kemarahan perempuan terhadap penindasan yang dialaminya. Persoalannya, gerakan ini semakin bersifat liar dan bebas, dan sering menabrak aturan-aturan agama. Sehingga apabila Feminisme disandingkan dengan nilai Islam, akan banyak yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, bagaimana aktifis feminis menuntut untuk disamakan seluruh haknya dengan laki-laki. Sehingga kerap menolak untuk menyusui atau melahirkan sekalipun. Dengan kata lain, dapat dikatkan gerakan ini adalah gerakan yang mengancam struktur yang ada di dalam masyarakat dan keluarga.

Untuk lebih rinci dan jelas, ananda dapat mengikuti dan membaca terus di website ini, sehingga akan diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang gerakan feminisme.

Mengenai temannya yang menyukai Lady Gaga, kekhawatiran Bunga untuk menghentikan kesenangan temannya  adalah hal yang luar biasa dan patut diacungi jempol.

Bagaimana cara menghentikannya?? Mungkin tips di bawah ini dapat membantu Bunga membantu temannya :

  1. Coba ajak temannya berdiskusi tentang kesenangannya itu. Apa yang menjadi alasan dari temannya menjadikan Lady Gaga idola. Dialog sangat diperlukan, karena pada masa remaja memang terjadi proses pencarian jati diri, salah satunya dengan melakukan “modelling” atau peniruan dari seseorang yang dapat diidolakan. Bunga tidak usah menampakan antipati yang berlebihan, tetapi terus diajak ngobrol temannya. Mempunyai idola tidak salah, asalkan tidak membuat kita melupakan kewajiban sebagai mahluk Allah. Apalagi jika kita melihat asal kata idola sendiri yang memiliki arti sebagai berhala. Dan memang benar adanya, karena kerap idola-idola menjadikan kita lupa tentang kewajiban kita sebagai mahluk Allah, seperti lupa sholat, belajar, dll.
  2. Kembangkan diskusi dengan teman Bunga, tentang siapa saja artis-artis yang saat ini diidolakan oleh para remaja. Carilah informasi salah satunya bertanya pada orang tua atau guru yang dapat membantu temannya, bahwa tokoh yang diidolakan tidak sebaik yang kita kira. Misalnya Lady Gaga tidak pantas untuk dijadikan idola karena banyak menampilkan adegan yang berbau pornoaksi, kata-kata dalam lagunya kasar dan mendukung gerakan homoseksual sampai informasi tentang pemujaan syaithan yang biasanya remaja tertarik dengan cerita-cerita yang seru.
  3. Kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dengan tidak meninggalkan sikap bertanya terutama kepada orang-orang yang tepat seperti orang tua, guru, ustadz dan lain-lain. Sehingga Bunga dan temannya memiliki wawasan berpikir yang luas dan serta mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah yang membantu dalam mengambil keputusan.
  4. Saling menanamkan kebanggaan diantara Bunga dan temannya, bahwa menjadi anak Muslim yang gaul bukan berarti harus  ikut dengan apa yang menjadi trend atau budaya. Padahal budaya yang diikuti tidak sejalan dengan adat dan agama. Beritahu temannya, bahkan menjadi muslim saja sudah sangat keren sesuai dengan yang dikatakan oleh Allah, bahwa kita adalah mahluk yang terbaik yang diciptakan.
  5. Ajak temannya untuk melakukan aktifitas alternatif yang dapat mengalihkan perhatiannya yang terfokus pada idolanya. Kembangkan hobi bersama seperti berolahraga bersama, memasak bersama atau bahkan ikut dalam kumpulan diskusi remaja mesjid di sekitar rumah Bunga dan temannya.

Mungkin itu sedikit tips yang dapat bunda berikan, semoga apa yang disampaikan dapat sedikit membantu Bunga memahami hal-hal yang jadi pemikiran Bunga.

Pertanyaan Bunga terakhir tentang tidak sengaja melihat materi yang dianggap sebagai Pornografi, maka Bunga dapat memperbaikinya dengan tidak mengulanginya. Karena memang melihat materi pornografi dalam hukum Islam sudah termasuk berdosa. Rasulullah bersabda : “Allah Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang memperlihatkan auratnya.” 

Namun kita harus ingat bahwa tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni selama kita melakukan taubat yaitu dengan : mengetahui bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa, menyesali telah melakukan dosa tersebut, berjanji untuk tidak mengulanginya dan terus menerus melakukan perbuatan baik.

Demikian jawaban dari bunda, jika masih ada hal yang ingin ditanyakan, dengan senang hati Bunda selalu menunggu surat dari Bunga…

Tetap semangat dan terus belajar ya….

Wassalam

Rita Soebagio

Lesbian Dalam Pandangan Hukum Fikih

1

Oleh : Dr. Ahmad Alim, Lc,M.A*

Akhir-akhir ini masalah lesbianisme telah menarik perhatian masyarakat luas, baik dari  kalangan media, tokoh agama, akademisi, dan bahkan menjadi topik hangat dalam kampanye politik Obama. Bahasan mengenai lesbianisme  kemudian dikaji secara intensif dalam  diskusi dan forum-forum akademik, terkait dengan adanya RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KG) serta kedatangan tokoh Lesbi Kanada  ke Indonesia.  Persoalan ini tentunya harus dilihat dari perspektif hukum Islam, bukan pandangan sekularisme atau humanisme. Karena, hukum Islam adalah pedoman yang sesuai dengan fitrah manusia. Sekularisme dan humanisme hanya menilai persoalan secara parsial, bahkan menyesuaikan diri dengan nafsu manusia.  Sedangkan jiwa manusia akan terus menuruti hawa nafsu jika tidak dibimbing oleh wahyu atau aturan Allah. Hukum Islam ditegakkan dalam rangka mengendalikan hawa nafsu, agar manusia tetap pada fitrahnya.

Lesbian, telah lama dikaji oleh para ulama’, baik dari sisi pengertian maupun hukumnya. Ia telah disepakati sebagai perilaku menyalahi fitrah dan hukumnya haram. Istilah  lesbian dalam  Lisaanul ‘Arab  disebut   اَلسَّحْقُ  yang artinya ialah lembut dan yang halus. Kemudian  dari kata ini, berkembang kalimat  مُسَاحَقَةُ النِّسَاء,  yang berarti hubungan badan yang dilakukan oleh dua orang wanita sebagaimana yang dilakukan oleh kaum luth(gay) (Ibn Mandzur, Lisan Al-A’rab, Entri Sahq (سحق). Sebagian ulama seperti Imam Alusy menyamakan antara sihaq(lesbi) dengan perilaku kaum luth (gay), karena illah (alasan) perbuatannya sama, yaitu penyimpangan seksual yang dilaknat oleh agama (Alusy, Ruhul Ma’ani, Volume VIII, hlm. 172-173).

Keji dan Haram Mutlak

 Kedua perilaku menyimpang ini, baik lesbi dan gay sama-sama dikutuk oleh Islam. Oleh karenanya Rasulullah Salallahu alaihi wasallam telah memberikan peringatan kepada umatnya agar menjauhi perbuatan ini. Hal itu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah Salallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth”.(HR. Ibnu Majah : 2563). Dalam hadist yang lain, Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)”. (HR Nasa’i. No. 7337)

Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama telah sepakat bahwa praktek lesbi adalah haram secara mutlak, dan tidak ada khilaf diantara mereka dalam masalah ini, bahkan perbuatan ini disebut sebagai zina perempuan(زِنَى النِّسَاءِ). Hal itu berdasarkan sabda Nabi Salallahu alaihi wasallam:

” السحاق زنى النساء بينهن “.

“Praktek lesbi adalah zina perempuan diantara mereka” (Hadis dikeluarkan oleh Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Pustaka Dar Al-Sa’adah, Vol.IX, hlm.30). Dalam hadis yang lain, Nabi salallahu alaihi wasallam bersabda:

” إِذَا أَتَتِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَهُمَا زَانِيَتَانِ “

“Apabila seorang wanita mendatangi (menyetubuhi) seorang wanita maka keduanya berzina” (Ibn Qayyim, Al-Jawab Al-Kafi, Dar Al-Ma’rifah,1997, hlm.177)

Menyimpulkan hadis tersebut, Ibn Hajar menggolongkan perbuatan lesbian ini sebagai bentuk penyimpangan fitrah manusia, dan  pelakunya termasuk dalam  kategori pelaku  dosa-dosa besar yang mewajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah (Ibn Hajar, Al-Zawajir A’n Iqtiraf  Al-Kaba’ir, Mesir : Al-Azhariyyah Al-Mishriyyah, Vol.2,hlm.119).

Dari sisi yuridis (hukum), para ulama telah sepakat bahwa hukuman bagi pelaku sihaq (lesbi) adalah ta’zir, dimana pemerintah yang memiliki wewenang untuk menentukan hukuman yang paling tepat, sehingga bisa memberikan efek jera bagi pelaku perbuatan haram ini. Ibn Qayyim berkata dalam Al-Jawab Al-Kafi sebagaimana berikut :

وَلَكِنْ لاَ يَجِبُ الْحَدُّ بِذَلِكَ لِعَدَمِ الإِيْلاَجِ، وَإِنْ أُطْلِقَ عَلَيِهِمَا اسْمُ الزِّنَا الْعَامُ

“Akan tetapi, tidaklah wajib padanya (yaitu dalam perbuatan lesbi) hukuman (bunuh) karena tidak adanya ilajj (solusi/obat, yaitu jima’) walaupun disematkan kepada keduanya (yakni homo dan lesbi) nama zina secara umum” (Ibn Qayyim, Al-Jawab Al-Kaf, hlm.177). Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan bahwa lesbi termasuk kategori zina, meski hukumannya berbeda. Ia mengatakan :

وَإِنْ تَدَالَكَتْ امْرَأَتَانِ، فَهُمَا زَانِيَتَانِ مَلْعُونَتَانِ; لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: إذَا أَتَتْ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ، فَهُمَا زَانِيَتَانِ. وَلا حَدَّ عَلَيْهِمَا لأَنَّهُ لا يَتَضَمَّنُ إيلاجًا يعني الجماع. فَأَشْبَهَ الْمُبَاشَرَةَ دُونَ الْفَرْجِ، وَعَلَيْهِمَا التَّعْزِيرُ. انتهى

“Apabila dua perempuan saling bergesekan (lesbi), maka keduanya adalah berzina yang dilaknat, karena telah diriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda :” jika perempuan mendatangi perempuan, maka keduanya adalah berzina”. Keduanya tidak dihadd, karena tidak adanya ilajj yaitu jimak. Maka hal itu serupa dengan mubasyaroh ( مُبَاشَرَةٌ ) – bersentuhan – tanpa farji dan keduanya harus dita’zir”( Ibn Qudamah,Al-Mughni, Vol.10, hlm.162).

Jadi, hukuman bagi lesbi adalah ta’zir. Hukuman ta’zir tidak sampai membunuh pelakunya, tidak sebagaimana rajam bagi pezina laki-laki dan perempuan. Meski begitu, bukan berarti ini dosa sepele. Justru lesbi juga perbuatan keji. Ia bentuk dari zina yang dilaknat oleh Allah. Ia disamakan dengan liwath – zina yang pernah dilakukan kaum nabi Luth. Lesbi dan liwath adalah perbuatan keji, yang bisa mengundang adzab Allah.

Apabila hukuman  ta’zir tersebut tidak terlaksana di dunia, maka hukuman tersebut akan dilaksanakan di akhirat. Dalam hal ini Allah berfirman :

وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَشَقُّ

Dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 34).

Konsekuensi Hukum

Selain ta’zir seperti dijelaskan di atas, perbuatan lesbian mengakibatkan beberapa konsekuensi hukum, menyangkut ibadah dan mu’amalah. Telaah dijelaskan bahwa hukum lesbi adalah haram mutlak dan ia bentuk dari zina. Dalilnya jelas, dan tidak ada ulama’ yang melegalisasinya. Maka, legalisasi dan penghalalan lesbian melalui media,buku,seminar,  merupakan kategori bentuk kekufuran. Pelaku pelegalan seperti ini dikecam oleh agama. Rasulullah salallahu alaihi wasallam menyebut orang yang menyebarkan kekufuran itu sebagai sebagai “Duat Ila Abwabi Jahanam” (para penyeru kepada pintu jahanam). Beliau bersabda:

قال رسول الله  : (دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ, مَنْ أَطَاعَهُمْ قَذَفُوْهُ فِيْهَا)

“Mereka itu, para penyeru menuju pintu neraka jahanam, barangsiapa yang taat kepada mereka niscaya mereka menjerumuskannya di dalamnya” (HR. Bukhari hadis No.  3606, 7084 dan Muslim, hadis no. 1847).

Jika ada dua wanita yang melakukan pernikahan, maka bentuk nikah itu tidak sah. Tidak ada dalil yang membenarkannya. Dalam perspektif fikih, pernikahan lesbian termasuk dalam kategori nikah sejenis dan hukumnya batal, alias tidak sah secara hukum Islam karena telah keluar dari Al-Maqasid Al-Syar’iyyah Al-Kubra yaitu hifdz al-nasl (melestarikan keturunan) (Izz Al-Din Abd Al-Salam, Al-Qawaid Al-Kubra ,hlm.15).

Hal lainnya yang juga perlu diketahui – khususnya pelaku lesbian – bahwa perilaku lesbi dapat membatalkan wudhu. Imam Malik berkata :

لَمْسُ امْرَأَةٍ لأِخْرَى بِشَهْوَةٍ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ، لأِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا تَلْتَذُّ بِالأْخْرَى

“Menyentuh wanita sesama wanita jika diiringi dengan syahwat, maka hal itu dapat membatalkan wudhu, karena keduanya saling merasakan kenikmatan birahi”( Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin ,Vol.I, hlm.99). Maka, hendaknya para muslimah berhati-hati, jika bersentuhan dengan sesamanya jangan sampai kepada jatuh kepada kenikmatan birahi. Sebab bisa menggiring kepada kesenangan sejenis.

Selain membatalkan wudlu, pelakunya juga wajib mandi, sebagaimana wajibnya seorang lelaki dan wanita berhubungan. Jika pelaku sihaq (lesbi) tersebut terjadi inzal (keluar mani) maka baginya kewajiban untuk mandi hadast besar (Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin, Vol.I, hlm.107). Jika melakukannya sedang dalam puasa, maka puasanya batal. Praktek sihaq ini dapat membatalkan puasa jika terjadi inzal(keluar mani), dan baginya wajib membayar kafarat puasa ramadhan (Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin, hlm.100).

Begitulah, lesbian sungguh keji, termasuk pelakunya. Pelakunya tidak mendapat kehormatan. Misalnya, kredibilitasnya dalam hukum ditolak. Pelaku lesbi ditolak  kesaksiaannya di pengadilan, karena termasuk wanita yang fasik. Sebagaimana yang telah maklum bahwa syarat menjadi saksi adalah adil(al-‘adalah), sementara perilaku sihaq (lesbi) mengeluarkan pelakunya dari sifat al-‘adalah menuju kefasikan sehingga persaksian tidak sah dengan sifat fasik yang melekat padanya (Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin ,Vol.IV, hlm.238).

Karena begitu keji praktik lesbian itu, maka hukum fikih mengatur dan berusaha mencegahnya sejak dini jika ada wanita yang memiliki potensi lesbian. Jika telah terjadi, maka dua pelaku harus dipisah dengan wanita yang lain, sampai ia benar-benar sembuh. Pelaku sihaq (lesbi) dilarang memandang dan bergaul dengan  wanita muslimah, sebagaimana laki-laki yang memandang wanita yang bukan mahramnya, karena dikhawatirkan terjadinya fitnah(Ibn Abidin, Hasyiah Ibn Abidin ,Vol.V, hlm.238).

Penulis adalah Ketua Progam Kader Ulama PPMS Ulil Albaab UIKA (Universitas Ibnu Khaldun ) Bogor

Red: Kholili

Postmodern dan Aurat Wanita

0

ThisisGender.Com – Pada hari ahad (18/09/2011), anggota Perkumpulan Pembela Hak Perempuan mengadakan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI) untuk  memprotes pernyataan Gubernur DKI, Fauzie Bowo, tentang himbauan tidak memakain rok mini bagi perempuan.

Himbauan ini dilatarbelakangi terjadinya kasus pemerkosaan di angkot. Ia menghimbau agar penumpang wanita tidak menggunakan pakaian mini saat berada di angkutan umum agar tidak mengundang reaksi negatif.

Akan tetapi pernyataan pak Gubernur tersebut mengundang reaksi keras kaum liberal dan feminisme.  Aktivis pro feminisme meyakini bahwa pakaian minim adalah hak asasi perempuan.  Sehingga mereka tidak terima jika pakaian minim dikaitkan dengan penyebab pelecehan terhadap wanita

Pernyataan-pernyataan  aktivis liberal dan aktivis Perkumpulan Pembela Hak Perempuan tersebut merupakan ciri khas kaum postmodern. Disebut  postmodern sebab filsafat postmodern dijadikan sebagai ‘akidah’-nya. Ciri khas model pemikiran itu adalah; kesetaraan, humanis-sekular, dualisme, anti otoritas, hukum Islam relatif, anti universalisme, menolak pengetahuan non-empiris dan pluralisme.

Model-model begitu sesungguhnya telah lama berkembang di Barat. Akan tetapi dalam dunia Islam, model Islam itu mencuat setelah muncul gerakan Liberalisasi di dunia Arab. Islam model postmo ini dikenalkan oleh Mohammed Arkoun pada sekitar tahun tujuh puluhan dari Aljazair dan M.Syahrour dari Syiria. Arkoun termasuk pengagum berat filsafat postmodern. Dibanding dengan tokoh liberal lainnya, ia sangat gandrung dengan epistemologi  postmo. Studi Islamnya dinamakan Islamologi Terapan (al-Islamiyyat al-Tathbiqiyyah). Ciri utamanya menggunakan metode dekonstruksi. Yang dimkasud dekonstruksi teologi dan syari’ah.

Dalam Islamologi Terapan konsep totalitas dan universalime Islam dihapus. Hak dan batil dirobohkan. Tidak ada hukum yang pasti. ‘Syari’ahnya’ adalah humanisme. Hukum Tuhan didiskualifikasi. Humanisme-Sekuler diangkat menjadi otoritas penentu nilai.

Asumsinya, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an mengandung mitos, sebagaimana kitab Injil kaya dengan mitologi. Di samping itu, hukum-hukum fikih dan tafsir dinilai bias ideologis dan politis. Maka dari itu, “Postmodern” menolak kemapanan hukum. Semua hukum Islam adalah berkepentingan menindas kaum minoritas dan lemah.

Kecurigaan berlebihan kepada mayoritas dan kaum lelaki adalah ciri khas lainnya. Perasaan itu bersumber dari epistemologi filsafat postmodern, yaitu dekonstruksi oposisi binner. Oposisi binner mulanya terapan linguistik strukturalis, ditolak dengan alasan memelihara konsep totalitas dan keberpihakan kepada kaum mayoritas atau pihak yang dianggap kuat.

Beginilah jika epistemologi yang diterapkan salah alamat alias salah sasaran. Linguistik poststruktrualis oleh para filsuf mulanya diterapkan dalam bidang sastra dan seni. Linguistik poststruktrualis itu lantas oleh para cendekiawan liberal diterapkan ke dalam agama. Akibatnya, agama layaknya fenomena bahasa. Tidak ada kaitan dengan hal-hal non-empiris. Berubah-ubah, seperti halnya ejaan bahasa yang bisa berubah.

Konsep oposisi binner tersebut dianggap menimbulkan pemikiran yang berpotensi untuk menguasai. Oleh sebab itu dibongkar (didekonstruksi) oleh mereka. Dalam urusan pakaian, hukum pernikahan dan hal-hal terkait lainnya, kecurigaannya selalu dialamatkan kepada lelaki.

Protesnya, jika aurat lelaki lebih terbuka kenapa wanita tidak terbukan seperti laki-laki. Jika lelaki bebas keluar kenapa wanita dibatasi harus didampingi mahram. Logika-logika ini adalah sesungguhnya logika kaum postmodern. Dimana pandangan hidupnya sama sekali tidak terkait dengan Tuhan. Tuhan dalam pikiran manusia dalam bahasa John Hick adalah ‘the real phenomenon’, tidak absolut.

Muhammad Syahrour, pemikir Liberal Arab lainnya asal Syiria, adalah pengusung aliran postmo yang paling getol mendekonstruksi konsep aurat wanita. Bahkan dalam teori batas minimal (nadzariyyat hudud) mengatakan bahwa batas minimal aurat wanita yang wajib ditutup adalah payudara, ketiak dan dubur-qubul saja.

Karena teologi didiskualifikasi dalam fikih, dibuang dalam epistemologi, maka “Islam Postmodern” justru jatuh kepada eksklusivisme. Eksklusivisme itu muncul karena perjalanan akidah postmodernisme selalu berdiri secara konfrontatif dengan akidah dan hukum Islam. Kemunculannya memang sangat mencurigai doktrin agama. Kecurigaan berlebihan ini menimbulkan reaksi radikal.

Maka, ketika para pengikut postmodern ini membela diri, mereka selalu bertindak radikal atau mengeluarkan pernyataan yang menukik agama. Dalam demo menolak himbauan memakai pakaian sopan beberap waktu lalu, aktifis Perkumpulan Pembela Hak Perempuan justru menunjukkan pakaian-pakaian minim bahkan ada yang berlebihan minimnya. Meneriakkan yel-yel menyalahkan laki-laki.

Mereka menyebut pihak yang membela aurat muslimah diksebut kaum konservatif. Mirip komentar pengusung Islam Postmodern, Mohammed Arkoun, yang menyebut kaum ortodok  tradisionali untuk mereka yang mengusung kebenaran universal dan ketetapan hukum Islam.

Karena menolak kemapanan itu, sesungguhnya tidak ada kepastian yang diperjuangkan pengusung postmodernisme tersebut. Epistemologinya hanya mencapai tataran syakk dan spekulatif. Jika yang disebut itu liberal saat ini, maka sesungguhnya mereka bukan lagi penganut modernisme tapi postmodernisme.

Oleh sebab itu, bagaimana mungkin mengamalkan pengetahuan agama yang masih dalam tataran tidak pasti.  Akan tetapi pengusung Islam Postmodernisme tidak mempersoalkan pengetahuan agama yang tidak pasti itu, baginya kehancuran agama bukan problem, sebab semangatnya adalah humanisme-sekular. Oleh sebab itu aktivis liberal dan feminism serta para pembela rok mini tidak mempermasalahkan aurat. Sebatas minim apapun bagi mereka bukan problem sosial. Karena memang sudah mendiskualifikasi norma hukum dalam pandangan hidup mereka. Maka dari itu, problem sosial sesungguhnya dipicu oleh filsafat  postmodern ini, sebab mereka anti kemapanan.

Kholili Hasib

Peneliti InPas, lulusan Magister Aqidah dan Pemikiran ISID Gontor.

 

 

Kesetaraan Gender bukan Solusi

0

ThisisGender.Com – Doktrin sentral yang dibawa oleh kaum feminisme adalah equality (persamaan). Elemen ini merupakan salah satu unsur worldview (pandangan alam) Barat postmodern. Doktrin equality tersebut yang mewarnai Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender (RUU KG) yang sedang digodok DPR-RI saat ini. Pasal 1 ayat 2 RUU KG menyatakan perlu adanya kesamaan posisi, kondisi dan partisipasi pria-wanita dalam setiap aspek kehidupan. Doktrin equality semacam ini bukan keadilan, sebab dalam fitrah dan kodratnya pria dan wanita berbeda.

Tafsir’ Kebencian

Jika ditelusuri, equality dalam feminisme memang bukanlah doktrin yang mengusung keadilan yang sesungguhnya, tetapi sejak semula berdasarkan ideologi kebencian. Asal-usulnya dari Barat, bukan dari tradisi Islam. Dipicu oleh pandangan buruk (misogynic) orang Barat terhadap wanita. Buku John Mary Ellmann, Thingking About Women, yang terbit pada tahun 1968 di New York mengungkap pelecehan-pelecehan orang Barat sejak zaman dahulu terhadap wanita. Gereja menuding perempuan sebagai makhluk pembawa sial dan malapetaka (Syamsuddin Arif,Menyikapi Feminisme dan Isu ender). Korban inkuisisi (lembaga yang mengeksekusi para pembangkang Gereja) ternyata banyak dari kalangan wanita. Sejak lama, Barat membenci wanita.

Kebencian ini lantas direspon secara ekstrim. Mary Wollstonecraft pada abad ke-17 disebut-sebut wanita Barat yang paling getol melawan misoginisme itu. Mary kemudian diikuti oleh yang lain seperti Helene Brion (Prancis), Clara Zetkin (Jerman), Anna Kuliscioff (Italia) dan lain-lain. Semua memiliki frame pemikiran sama; wanita harus bebas dari laki-laki, sebebas-bebasnya. Misalnya, kepuasan biologis tidak harus dari laki-laki tapi dari sesama perempuan (lesbianisme), mencemooh institusi pernikahan, dan tidak mau menyusui. Bahkan mantan capres AS, Pet Robertson, memprovokasi wanita agar meninggalkan suami, membunuh anak-anaknya, dan menjadi lesbian. Wanita Barat, yang sekian abad dilecehkan, mendapatkan angin baru.

Hanya, ‘angin baru’ yang mereka dapatkan bukanlah pencerahan tapi respon yang traumatik. Buktinya, yang terjadi dalam masyarakat Barat adalah semacam ideologi balas dendam terhadap lelaki yang telah lama membenci wanita. Lelaki adalah biang penistaan itu. Segala hal yang berbau kelaki-lakian dibenci. Ini artinya, paham feminisme atau kesetaraan gender dipicu oleh respon traumatik terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya orang Barat terhadap wanita.

Jadi worldview feminisme adalah equality sedangkan ideologinya adalah benci kelaki-lakian. Di kalangan aktifis feminis Indonesia, lahir pemahaman ‘tafsir’ gender. Ayat poligami, konsep iddah,dan konsep waris didekonstruksi. Iddah memihak laki-laki, waris Islam merendahkan perempuan dan poligami merupakan bentuk kekerasan laki-laki pada perempuan. Ayat al-Qur’an dibongkar atas dasar rasa curiga berlebihan terhadap lelaki. Feminis Indonesia, Siti Musdah Muliah dalam buku Gender Dalam Perspektif Islam,terpengaruh ideologi kebencian itu. Ia Mengusulkan perlunya penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur’an karena penafsiran yang ada dituding sebagai konspirasi ulama’ – yang berjenis kelamin laki-laki – untuk menempatkan wanita sebagai pihak subordinat.

Ideologi kecurigaan tersebut akhirnya melewati batas-batas kodrat dan fitrah kemanusiaan. Lesbian dan homoseks dihalalkan asalkan dilakukan tanpa merusak kemanusiaan (Musdah Mulia, Islam Agama Rahmat Bagi Alam Semesta). Kepuasaan biologis kenapa harus dengan lelaki, jika dengan sesama perempuan bisa diperoleh? Apalagi lelaki itu cenderung merendahkan wanita. Begitu kira-kira logika kaum feminis, yang justru merusak kodrat manusia itu sendiri.

Frame pemikiran tersebut hanyalah adopsi pengalaman masyarakat Barat. Dalam tradisi Islam tidak dicumpai misogynic, budaya patrriarkhi dan lain-lain. Jadi, feminisme adalah paham yang dihasilkan dari pengalaman lokal, tapi dipasarkan secara global. Pengalaman manusia Barat belum tentu sama dengan pengalaman masyarakat yang bertradisi Islam. Akibatnya, banyak timbul ketimpangan-ketimpangan. Masyarakat muslim yang telah lama memulyakan wanita, menempatkan pria dan wanita secara proporsional sesuai kodrat, tiba-tiba dipaksa ikut-ikutan mencurigai pria.

Problem Keadilan 

Kesetaraan yang diusung feminis bukan keadilan yang sesungguhnya. Problemnya, kesetaraan dalam hal apa saja. Tidak ada penjelasan. Jika disebut dalam RUU KG kesetaraan dalam semua aspek kehidupan, maka yang terjadi adalah ketimpangan dan kerusakan tatanan sosial. Mungkinkah olah raga sepak bola tidak memandang jenis kelamin? Laki-laki dan wanita bebas membentuk tim. Tidak mungkin juga olahraga tinju dan pencak silat tidak dibedakan laki-laki dan perempuan. Tenis dan bulu tangkis saja dibedakan regu pria dan wanita. Bahkan toilet pun dipisah. Kenapa dibedakan? Karena secara kodrat, fitrah, kekuatan badan dan biologis memang berbeda. Ini harus diakui.

Padahal keadilan itu tidak haru sama persis, sama-sama warna, sama berat, sama tempat dan sama wajah. Adil itu menempatkan sesuatu sesuai porsi, kodrat, dan potensi. Jika ada perbedaan disebabkan potensi itu, maka hal itu tidak dapat ditafsirkan sebagai perbedaan kedudukan dan derajat.

Laki-laki menjadi imam shalat bagi wanita, tidak dapat ditafsirkan bahwa imam itu pahalanya lebih besar daripada makmum yang wanita. Ini sekedar pembagian tugas berjamaah. Posisi laki-laki di depan dan jamaah wanita di belakang. Ini juga bukan pembedaan kedudukan di sisi Allah. Ini sekedar strategi managerial dalam mengatur kekhusyukan. Wanita itu, semua kalangan mengakui, jika ‘dipublish’ akan menarik perhatian pria.

Begitu pula kepemimpinan dalam rumah tangga. Kedudukan dan derajat suami sebagai pemimpin rumah tangga tidak dapat dinilai bahwa suami lebih tinggi derajatnya dibanding istri. Ini juga hanya pembagian tugas. Masing-masing memiliki tugas. Persoalan yang terjadi dalam pikiran kaum feminis adalah cara pandang. Mereka mengira, derajat dan kedudukan itu semata-mata dikukur secara material dan empirik. Mereka menganggap jabatan pemimpin itu tanda kemulyaan. Seperti halnya mengira harta yang banyak itu membahagiakan, padahal belum tentu. Dalam Islam, jabatan kepempimpinan dan harta itu amanah, tugas dan perintah yang harus dijalankan dengan baik.

Dalam Islam, meski istri itu pihak yang dipimpin, bukan berarti ia rendah. Justru ia begitu dimulyakan. Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Syarh ‘Uqudul Lujjanin, mengutip pernyataan Khalifah Umar bin Khattab, bahwa ternyata tugas memasak, mencuci pakaian itu tugas suami, bukan istri. Bahkan istri yang menyusui anaknya harus diberi ganti ongkos oleh suami. Ini semata-mata untuk memulyakan kedudukan wanita.

Jadi, kenapa harus menjadi feminis untuk mencari keadilan wanita jika dalam konsep Islam telah jelas diterangkan. Apalagi sampai merombak syari’ah dan ayat-ayat al-Qur’an. Konsep equality bukan solusi, akant tetapi kita dapat menafsirkan itu sebagai proyek hegemonik penguasaan Barat terhadap dunia global, bukan semata-mata ikhlas mencarikan wanita keadilan dan kemulyaan.

Kholili Hasib

Peneliti InPas, lulusan Magister Aqidah dan Pemikiran ISID Gontor.

“Gender”, Dekonstruksi ala Feminis yang Tidak Tepat

0

ThisisGender.Com-Istilah “Gender” yang definisinya telah didekonstruksi oleh para Feminis, menuai banyak kritikan dari Peneliti INSISTS yang juga merupakan mahasiswa S3 di Univeristi Malaya, Henri Shalahuddin.

Dalam acara bedah bukunya, Sabtu (19/05) lalu, ia mengungkapkan, Feminisme berawal dari pernyataan perempuan tentang kekuatannya, dimana awalnya bukanlah teori tapi ia berasal dari tindak personal sendiri. Ia dipicu oleh ketertindasan wanita di Barat dengan adanya inkuisisi, yang memang sangat menyakitkan. Sejarah gender, awalnya digunakan untuk menjelaskan pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika Bahasa Inggris. Lalu pada 1955 seksolog Jhon Money memperkenalkan istilah sex untuk menunjuk pada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan dan memperkenalkan istilah gender untuk menunjuk pada perbedaan perilaku berdasar jenis kelamin. Namun, Ide Jhon Money baru menyebar luas pada tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis mengurai perbedaan antar jenis kelamin biologis dan konstruksional gender. Barulah kemudian pada akhir 1990-an melalui proses pengulangan, “Gender” telah membentuk Commonplace Wisdom (kebijakan umum) dari sebuah disiplin keilmuan.

Selain itu, ia juga menjelaskan tentang definisi Gender menurut World Health Organization: Gender is used to describe characteristics of woman and men, which are socially constructed. “Itu kan tidak tepat!” sanggahnya. Kemudian ia melanjutkan, “jika  gender adalah jenis kelamin sosial yang dibentuk sejak masa kanak-kanak dalam keluarga dan lingkungan sosialnya, itu menentang kodrat. Bahkan ada para penafsir liberal yang menggunakan QS an-Nisa: 34, Arrijalu qowwamu ‘alannisaa’ yang artinya laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan menafsirkan rijal  itu yang mobilitasnya tinggi. Maka, jika ada perempuan yang mobilitasnya tinggi maka dia bisa disebut rijal dan berhak memimpin laki-laki. Gender dipandang sebagai cara utama untuk menandai hubungan kekuasaan, maka Joan W. Scoff membangun konsep gender melalui konstitusi. Inilah wacana kontroversial yang dijadikan undang-undang”.

Istilah gender sendiri digunakan untuk meruntuhkan asumsi bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan lebih ditentukan secara biologis dan kultural. Kemudian, konsep gender yang diarahkan untuk menyamai, menyaingi bahkan merebut peran laki-laki di ranah publik. Sebab perempuan cenderung dikategorikan sebagai simbol yang lemah dan bergantung. Hal tersebut memungkinkan kepala rumah tangga boleh istri, misalnya jika istri memiliki penghasilan lebih besar daripada suami.

Di sela-sela penjelasannya, Ia tersenyum lalu bertanya kepada audiens perempuan, “Ibu-ibu, Khadijah sama Nabi gajinya tinggian siapa?” kemudian dengan serentak audiens menjawab “Khodijah….”. Beliau bertanya lagi “yang jadi pemimpin rumah tangga Khadijah atau Nabi?” pun audiens serentak menjawab “Nabi… ” mereka pun baru sadar kalau pertanyaan itu retoris. “Jadi saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar lagi ya” tambahnya.

Lalu ia kembali mengungkapkan, “Agenda Feminis mainstream adalah mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif (50/50) yaitu pria dan wanita harus sama berperan baik di luar maupun dalam rumah. Dasarnya adalah bahwa perbedaan peran gender adalah produk budaya, bukan kodrati. Perbedaan pria wanita hanya pada 3 M (Menstruasi, menyusui, melahirkan) dan ini bukan alasan bagi wanita untuk menjadi ibu. Lagi-lagi ini tidak tepat”.

Ia juga mengkritik para feminis yang kalah berdebat selalu menggunakan tameng dengan kalimat, “itu kan perspektifnya laki-laki” atau menganggap penafsiran yang digunakan adalah penafsiran yang berasal dari laki-laki. “Seakan-akan bagi para feminis, ilmu pengetahuan itu berjenis kelamin”, ungkapnya.

Rep : Nunu Karlina

Red : Sarah Mantovani

GENDER

0

“Tidak adil” dan “tertindas” adalah dua bekal gerakan feminism dan kesetaraan gender. Wanita diseluruh dunia ini dianggap tertindas dan diperlakukan secara tidak adil. Wajah peradaban umat manusia memang diwarnai oleh dua kata tersebut. Tapi masing-masing peradaban memiliki solusi masing-masing.

Islam lahir disaat peradaban jahiliyah tidak dan salah menghargai wanita. Anak wanita yang tidak dikehendaki harus dikubur hidup-hidup. Tapi wanita saat itu juga berhak menikah dengan 90 orang suami. Keperkasaan Hindun, otak pembunuhan Hamzah, sahabat Nabi, adalah bukti keperkasaan wanita.

Itulah sebabnya tidak ada alasan bagi Islam untuk menyamakan hak laki dan wanita secara mutlak 50-50. Misi Islam tidak hanya membela wanita tertindas tapi juga mendudukkan wanita pada tempatnya. Meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam Islam, disifati sebagai adil. Islam justru meneguhkan hubungan laki dan wanita dengan merujuk pada watak dasar biologis dan implikasi sosialnya.

Barat lahir disaat wanita ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Sebutan feminis, konon memiliki akar kata fe-minus. Fe artinya iman, minus artinya kurang. Feminus artinya kurang iman. Terlepas dari sebutan itu, yang pasti nasib wanita di Barat sungguh buruk. Mayoritas korban inquisisi adalah wanita. Wanita dianggap setengah manusia. Contoh kasus penindasan tidak sulit untuk ditelusur lebih lanjut.

Dari negara-negara Barat solusi tidak lahir dari ajaran agama. Solusinya datang dari tuntutan masyarakat wanita, berbentuk gerakan feminisme. Mulanya hanya ingin memberantas penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan. Tapi, tidak puas dengan itu, para feminis di London tahun 1977 merubah strategi. Mungkin mengikuti teori Michael Foucault, feminism bisa menghemoni dunia dengan menjual wacana gender (gender discourse). Persis seperti Amerika memberantas teroris. Biaya meliberalkan pikiran umat Islam lebih murah dibanding biaya menangkap teroris.

Nalarnya cemerlang, penindasan dipicu oleh pembedaan dan pembedaan disebabkan oleh konstruk sosial, bukan faktor biologis. Jadi, target wacana gender adalah merubah konstruk sosial yang membeda-bedakan dua makhluk yang berbeda itu.

Konon, gender juga membela laki-laki yang tertindas, tapi ketika wacana ini masuk PBB tahun 1975 konsepnya berjudul Women in Development (WID). Sidang-sidang di Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995) malah meningkat menjadi Convention for Eliminating Discrimination Against Women (CEDAW), bukan CEDAM. Namun, ketika dijual ke pasar internasional programnya diperhalus menjadi Gender and Development. Dan ketika menjadi matrik pembangunan menjadi Gender Development Index (GDI). Suatu Negara tidak bisa disebut maju jika peran serta wanita rendah. Untuk mengukur peran politik dan social lain wanita dibuatlah neraca Gender Empowerment Measure.

Indonesia, tak ketinggalan segera ikut arus. Pemerintah lalu membuat Inpres No.9/2000 tentang pengarus utamaan Gender dalam pembangunan. Kini bahkan sudah akan menjadi undang-undang. Padahal enam Peraturan Pemerintah, empat Peraturan dan satu Instruksi Menteri serta satu kebijakan Kementerian tidak berjalan. Tidak semua wanita menginginkan kesetaraan.

Memang preseden historis gerakan ini memang hanya di Barat. Gerakan seperti ini tidak pernah ada dalam sejarah Islam. Tapi, wacana ini tiba-tiba menjadi universal dan menjelma menjadi gerakan internasional dan wajib diikuti oleh umat Islam. Bahkan ketika wacana kesetaraan gender ini disorotkan kepada agama-agama semua agama seperti diam. Semua agama bias gender. Nyatanya memang dalam Islam tidak ada Nabi wanita, dalam Katholik tidak pernah ada Paus wanita. Juga sami dalam Hindu, Bhiksu dalam Buddha adalah laki-laki.

Ketika Negara-negara di dunia diukur prosentase kesetaraan gendernya, tidak ada satu negarapun yang dapat mencapainya secara sempurna. Jika pun tercapai tidak menjadi indikasi bahwa Negara itu maju. Keterlibatan wanita di negara Cuba dibanding Jepang terbukti lebih tinggi, tapi tidak terbukti Jepang lebih mundur. Bahkan Indonesia lebih besar dari Jepang atau sama, tapi tidak ada pengaruh pada kemajuan.

Di Indonesia wanita-wanita di kampung dianggap tertindas karena mereka mengerjakan kerja laki-laki. Tapi di Pakistan, khususnya di kawasan utara, wanita tidak boleh bekerja dan hanya tinggal dirumah. Ini pun dianggap tertindas.

Masyarakat Islam secara konseptual maupun historis tidak menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Dihadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surgaNya. Meski tidak berarti peran wanita dalam Islam dikalahkan oleh laki-laki, Islam mengatur peranaan sosial wanita dari aspek yang paling mendasar yiatu biologis. Sebab dalam konsep Islam aspek biologis terkait erat dengan aspek psikologis dan bahkan saling mempengaruhi.

Bahkan, seperti dikutip Ratna Megawangi, Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel berjudul The Real Truth About Women Bodies. Ide pokoknya wanita secara alamiyah, biologis dan genetik memang berbeda. Tidak mudah merubah factor ini dalam kehidupan social wanita. Maka dari itu perjuangan meraih kesetaraan gender bukan hanya tidak mungkin tapi juga tidak realistis.

Jika demikian adanya, kita berhak bertanya. Apakah gerakan pengarus utamaan gender benar-benar untuk membela kepentingan wanita sesuai aspirasi dan kodratnya? Ataukah hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan tren kultural dan ideologis dunia yang kini dibawah hegemoni Barat? Pendek kata apakah wanita benar-benar memerlukan kesetaraan?

Bagi Muslim apa yanag salah pada gerakan ini? Salahnya ketika merubah konstruk sosial, agama tidak diperdulikan. Tafsir-tafsir para pemikir liberal bersifat sepihak, tendensius dan melawan arus para mufassir yang otoritatif dalam tradisi ulama Islam. Jika para anggota DPR meluluskan undang-undang ini tanpa mempertimbangkan dampak keagamaan maka Undang-undang itu dijamin sedang menabur angin dan segera menuai badai.

 

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Phil

Ketua MIUMI (Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia)

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now