Home Blog Page 24

Henri Shalahuddin : “Serasi Tidak Harus Setara”

0

ThisisGender.Com-Hari Sabtu pagi (19/05) INSISTS Jakarta mengadakan bedah buku “Indahnya Keserasian Gender dalam Islam”. Henry Shalahuddin, penulis buku, menguraikan perbedaan antara konsep kesetaraan dan keserasian Gender.

Henry, yang juga peneliti INSISTS tidak setuju dengan konsep kesetaraan gender. Yang tepat, menurutnya, adalah keserasian gender.

Para peserta yang hadir dalam bedah buku “Indahnya Keserasian Gender dalam Islam” menyambut dengan antusias agenda yang dilaksanakan di kantor pusat INSISTS, Kalibata, Jakarta itu.

Meski acara bedah buku yang dipandu oleh Muhammad Fauzy ini mayoritas diikuti oleh kaum Adam, namun tampaknya buku ini ditunggu-tunggu para perempuan. Ada salah satu peserta wanita yang datang dari kota Pelajar, Yogyakarta. Ia mengaku, sebenarnya ia menanti-nanti buku yang menjawab kekeliruan kesetaraan gender ini.  Para peserta yang hadir umumnya terdiri mahasiswa dan aktivis dari berbagai universitas di Jakarta dan sekitarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Henri Shalahuddin, penulis buku yang juga kandidat doktor di Akademi Pengkajian Islam, Universiti Malaya ini, memaparkan apa yang dimaksud dengan kata Keserasian yang ada dalam bukunya.

“Serasi tidak harus setara. Sebab keserasian tidak pernah menuntut kesamaan dan persamaan, apalagi penyamaan.Keserasian menggambarkan keharmonisan, kesepadanan, keselarasan dan kesesuaian. Keserasian mengasilkan keterpaduan yang utuh dan hubungan baik yang melahirkan ketentraman lahir batin, jauh dari perasaan iri hati dan ambisi untuk merebut apa yang dimiliki orang lain”, jelasnya.

Ia juga mengungkapkan, rendahnya angka kelahiran di negara-negara Barat seperti Jerman, Belanda dan USA karena para wanita di sana cenderung lebih memilih untuk tidak menikah dan berkeluarga adalah merupakan hasil dari feminism. Padahal, ungkapnya lagi, pemerintahnya menjanjikan subsidi bagi Ibu Hamil hingga melahirkan dan bagi mereka yang bekerja, mereka juga tetap digaji meski tidak masuk kantor karena cuti melahirkan.

Bahkan, saat menyinggung kewajiban antara suami dan istri, ia sampai mengutip pernyataan Khalifah Umar bin Khattab dalam kitab Imam Nawawi al-Bantani yang berjudul Syarh ‘Uqudul Lujjain, bahwa ternyata tugas memasak dan mencuci pakaian itu adalah tugas suami, bukan istri.

Bahkan istri yang menyusui anaknya harus diberi ganti ongkos oleh suami. Ini semata-mata untuk memuliakan kedudukan wanita. Ia juga berpesan kepada audiens laki-laki yang sudah berumah tangga agar bersabar atas sikap dan perilaku istrinya, sebagaimana yang diajarkan dalam kitab Syarh ‘Uqudul Lujjain.

Rep : Nunu Karlina

Red : Sarah Mantovani

Khadijah, Teladan Bagi Muslimah dalam Berkarir

0

ThisisGender.Com – Siapa yang tidak kenal dengan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu’anha? Istri pertama Rasulullah yang merupakan Ibunda dari Fatimah Az-Zahra radhiyallahu’anha ini ternyata adalah sosok yang tawadhu nan bersahaja meski dirinya adalah pedagang yang kaya raya.

Siapa yang menyangka bahwa Khadijah akan menjadi wanita pertama yang masuk Islam dan hatinya tunduk pada kebenaran wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam?. Siapa juga yang menyangka bahwa Khadijah adalah sosok pedagang Muslimah yang tangguh namun di sisi lain ia adalah sosok Istri yang taat dan ibu yang penuh cinta?.

Khadijah lahir sekitar lima belas tahun sebelum tahun Gajah. Ia lahir dari pasangan Fatimah binti Zaidah dan Khuwailid. Sedangkan nenek dari sang ibu bernama Halah binti Abdu Manaf dan Abdu Manaf ini adalah kakek ketiga Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam.

Ayahnya Khuwailid, terkenal sebagai sosok terpandang dari pemuka Bani Asad bin Abdil Uzza yang mulia, memiliki akhlak luhur, memiliki kekayaan yang melimpah serta dikenal sebagai sosok yang jujur dan dermawan.

Oleh karena itu, Khadijah radhiyallahu’anha mewarisi sifat-sifat yang agung dari ayahnya, seperti integritas diri, perilaku yang luhur dan kepribadian yang kuat.

Khadijah dan Kisah Bisnisnya yang Sukses

Selama hidupnya, Khadijah telah menikah tiga kali, yang pertama dengan Abu Halah An-Nabbasy bin Zararah At-Taimi dikaruniai dua putra, yang kedua dengan Atiq bin A’id Al-Makhzumi dikaruniai seorang putrid bernama Hindun dan yang terakhir ia habiskan sisa hidupnya bersama Nabi Muhammad.

Saat menjadi pebisnis yang sukses tidak membuat Khadijah lantas menjadi lupa diri dengan posisinya sebagai seorang Ibu dari ketiga anaknya. Banyak para tokoh dan orang kaya yang ingin meminang Khadijah serta menawarkan harta yang melimpah kepadanya namun ia menolak pinangan setiap pemuka Quraisy yang datang kepadanya. Ia lebih memilih untuk mencurahkan segala waktu, tenaga dan pikirannya guna mengasuh dan merawat ketiga anaknya serta mengurusi dan mengembangkan bisnis perniagaannya.

Hal tersebut terus berlangsung sampai ia mencapai usia 40 tahun dan menemukan pemuda cerdas dan tampan bernama Muhammad yang saat itu masih berusia 25 tahun yang akhirnya menikahi dirinya. Bahkan perdagangannya menjadi sangat sukses saat dijalankan oleh Nabi Muhammad.

Selama ia menjadi istri Nabi Muhammad, Khadijah adalah sosok yang taat dan percaya pada suami. Ia selalu memberikan dukungan dan bantuan dengan penuh semangat dan tekad yang kuat. Sementara Nabi sendiri meski memberikan waktu dan perhatian yang besar kepada aktivitas perniagaannya, selalu mengajak Khadijah untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat dalam segala urusan serta mendengarkan setiap pendapatnya dengan seksama. Beliau tetap memberikan perhatian yang sama besar kepada istrinya, selalu memenuhi apa yang diinginkan dan berusaha tidak mengecewakannya.

Khadijah sendiri sebagai istri sangat senang bahwa suaminya bisa menggantikan tugasnya serta menyerahkan segala urusan perniagaan kepada sang suami untuk mengembangkan dan mengurusi jalannya perniagaan. Sementara Khadijah mengerahkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk mengurusi rumah tangga, serta berusaha keras untuk membahagiakan suami dan anak-anaknya.

Khadijah adalah sosok wanita yang bisa dijadikan teladan. Umurnya yang lebih tua dari Nabi dan harta kekayaannya yang melebihi Nabi tidak lantas menjadikannya sombong dan ingin menguasai rumah tangga. Ia tetaplah wanita yang taat pada suami dan tunduk pada aturan Allah.

Khadijah adalah contoh bagaimana wanita bukanlah pencarai nafkah utama. Kisah hidupnya seperti menjadi pengingat bagi wanita-wanita muslimah yang berkarir agar tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang Ibu dan istri serta tetap tunduk pada aturan yang telah Allah tetapkan.

Referensi :

Syaikh Muhammad Hasan Salamah, Nisa’ Fadhliyyat Khalladahunna At-Tarikh.
Sirah Ibnu Hisyam, I/188.
Thabaqat Ibnu Sa’ad, Juz I, bagian pertama, hlm 71.

Disarikan dari buku Khadijah dan Aisyah : Pesona Dua Ummul Mukminin, Muslich Taman, Pustaka al-Kautsar, 2008.

Rep : Khalifatunnisa
Red : Kholili Hasib

Bedah Buku “Indahnya Keserasian Gender dalam Islam”

0

Presented by: INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization)

ThisisGender.Com – Dalam ideologi feminisme, lesbian ibarat maqam tertinggi yang dicapai seorang feminis. Lesbian membebaskan perempuan dari dominasi dan ketergantungan kepada laki-laki dalam meraih kepuasan seksual. “Keunggulan” lesbian adalah karena ia tidak berangkat dari peraturan mana yang benar dan mana yang salah. Lesbian adalah revolusi moral! Kata feminis. Bahkan seorang doktor terbaik IAIN Syarif Hidayatulah 1996/1997 menambahkan: “Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini!” Tidak cukup itu, Irshad Manji, praktisi lesbian dari Kanada yang mengaku mujaddidah pun didatangkan untuk menyadarkan umat Islam Indonesia bahwa tidak ada yang salah dengan lesbian.

Mau tahu tema-tema kontroversial seputar paham KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender) kaum Liberal? Dan bagaimana sejatinya paham keserasian gender dalam Islam? Mengapa ideologi gender yang semula hanyalah wacana akademik transnasional yang bersifat kontroversial tiba-tiba dipaksa untuk dijadikan UU yang harus dipatuhi oleh bangsa Indonesia? Silahkan hadiri acara bedah buku “Indahnya Keserasian Gender dalam Islam” langsung bersama penulisnya, Henry Shalahuddin, M.A.

Sabtu, 19 Mei 2012
Pkl. 09.00-12.00
Kantor Pusat INSISTS, Gedung Gema Insani Press, Jln. Kalibata Utara II No. 84, Jakarta.

Registrasi (hanya SMS) :
Ketik nama spasi asal Instansi/Universitas/Sekolah
Eko Heru Prayitno 087878147997

Peserta hanya dibatasi 40 orang!

Isu Gender : Sejarah Dan Perkembangannya

2

Oleh: Dinar Dewi Kania

PENDAHULUAN

Gerakan feminis pada mulanya adalah  gerak sekelompok aktivis perempuan barat, yang kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk  negara-negara Islam, melalui program ”woman studies”.  Gerakan perempuan  telah mendapat “restu”  dari  Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan dikeluarkannya  CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women). Negara dan lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan , walaupun  menurut Khan dukungan tersebut memiliki efek negatif bagi gerakan perempuan (baca-feminisme) karena aktivis perempuan telah kehilangan sudut pandang politik (political edge) dan juga untuk beberapa kasus telah kehilangan komitmennya.[1]

Meskipun demikian,  gerak kaum feminis di dunia Islam justru menunjukan tingkat agresivitas yang mengkhawatirkan. Dalam dua dekade terakhir ini perempuan pakistan telah menjadi target  gerakan feminis. Pada tahun 1975 pemerintah Pakistan  mendorong perempuan untuk mengikuti pemikiran feminisme, walaupun pada tahun 1977 ketika proses islamisasi dan militerisasi telah berhasil membendung pemikiran ini, tetapi pada tahun 1980, gerakan feminis kembali bermunculan di Pakistan secara signifikan.  Indonesia mengalami nasib serupa dengan Pakistan.  kesetaran jender disosialisasikan dengan gencar dan sistematis ke seluruh dunia melalui media, ormas, LSM, lembaga pendidikan formal dan non formal. Wilayah gerakan kaum feminis begitu luas, dari tingkat internasional sampai menjangkau institusi masyarakat yang terkecil, yaitu RT. Dengan mengatasnamakan HAM, para aktivis perempuan  kemudian berusaha mempengaruhi  pemerintah dalam masalah kebijakan sampai teknis operasional. Usaha mereka sepertinya mulai menampakan hasil dengan diratifikasinya  isi CEDAW sehingga keluarlah  UU no. 7 tahun 1984. Kemudian  Pemerintah Indonesia telah mengesahkan undang-undang nomor 23  tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak , dan mereka berupaya melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada dibelakang keluarnya  UU Pemilu  tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.

Bagaimanakah sebenarnya awal kemunculan gerakan feminis di Barat? Benarkah gerakan feminis menawaran solusi bagi berbagai permasalahan yang dialami kaum perempuan? Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa feminisme  yang mengusung isu jender, lahir dari latar belakang kultural-historis yang dialami dunia Barat.   Walaupun beberapa tokoh feminis bersikukuh bahwa jender bukan merupakan konsep Barat, tetapi berasal dari konstruksi linguistik dari pelbagai bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.[2] Namun kenyataannya, jender identik dengan gerakan feminis, dan feminisme adalah jender.

BARAT DAN PEREMPUAN

Untuk mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan berkembang, kita harus melihat kondisi Barat (dalam hal ini Eropa) pada abad pertengahan, yaitu masa ketika suara-suara feminis mulai terdengar. Pada Abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja, dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inkuisisi.[3] Nasib perempuan barat  tak luput dari kekejian doktrin-doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.

Menurut  McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan.  Studi-studi spiritual kemudian dilakukan  untuk memperbaharui konsep   Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa  pendapat pribadi dan hukum publik yang berhubungan degan status perempuan di barat cukup bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makluk inferior.  Sebagian besar perempuan diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau dianggap sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan  serius mengenai apakah perempuan itu  manusia atau bukan. Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan menikah di abad pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan apapun. [4]

Maududi berpendapat,  ada dua doktrin dasar  gereja yang membuat kedudukan perempuan di barat abad pertengahan tak ubahnya seperti binatang.  Pertama, gereja menganggap wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanitalah yang menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan menuntunya ke neraka. Tertullian (150M) sebagai Bapak Gereja pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita sebagai berikut :

Wanita yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan Tuhan.

St John Chrysostom (345M-407M) seorang bapak Gereja bangsa Yunani berkata :

Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketika beruntungan yang cantik.[5]

Tetapi, konsep utuh tentang  perempuan dalam doktrin kristen dimulai dengan ditulisnya buku Summa Theologia oleh Thomas Aquinas  antara tahun 1266 dan 1272.  Dalam tulisannya Aquinas sepakat dengan Aristoteles, bahwa perempuan adalah laki-laki yang cacat atau memiliki kekurangan (defect male).  Menurut Aquinas, bagi para filsuf, perempuan adalah laki-laki yang diharamkan,  dia diciptakan dari laki-laki dan bukan dari binatang. Sedangkan  Immanuel Kant  berpendapat bahwa perempuan mempunyai perasaan kuat tentang kecantikan, keanggunan, dan sebagainya, tetapi kurang dalam aspek kognitif, dan tidak dapat memutuskan tindakan mroral. [6]

Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubugan seksual antara pria dan wanita adalah peristiwa kotor walaupun mereka sudah dalam ikatan perkawinan sah.  Hal ini berimplikasi bahwa  menghindari perkawinan adalah simbol  kesucian dan kemurnian serta ketinggian moral. Jika seorang pria menginginkan  hidup dalam lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah dari serta istrinya, mengasingkan diri dan berpantang melakukan hubungan badani.[7]  Kehidupan keras yang dialami oleh perempuan-perempuan pada saat Gereja memerintah Eropa tertuang dalam essai  Francis Bacon yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri) pada tahun 1612.

Pada awal mula Abad Pencerahan yaitu abad ke 17, saat Bacon menulisnya esainya yang kondisi perempuan Inggris pada saat itu mengalami kehidupan yang sulit dan keras. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat itu yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia sangat membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran terhadap perempuan-perempuan yang dituduh sebagai ”nenek sihir”, yang dipelopori oleh para pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan. Hukuman yang brutal dijatuhkan kepada seorang perempuan yang melanggar perintah suaminya. Tradisi ini mengembangkan pemikiran bahwa perempuan menyimpan bibit-bibit ”keburukan” sehingga harus terus menerus di awasi dan ditertibkan oleh anggota keluarnya yang laki-laki atau suaminya bila ia sudah menikah. Pemikiran ini membawa konsekuensi bagi pemikiran lainnya seperti ide bahwa lebih baik seorang laki-laki tinggal sendiri, tidak menikah dan jauh dari perempuan. Hidup tanpa nikah ini merupakan kehidupan ideal laki-laki, jauh dari pengaruh buruk dan beban anak-anak sehingga laki-laki bisa berkonsentrasi pada dunia publiknya. Pemikiran-pemikiran seperti ini tercermin dalam karya Francis Bacon. [8]

Jelaslah, penindasan terhadap perempuan barat di bawah pemerintahan gereja membuat suara-suara perempuan yang menginginkan kebebasan semakin menggema di mana-mana. Perempuan barat, menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Hal itulah yang kemudian mendorong para perempuan barat bergerak untuk  mendapatkan kembali hak individu dan hak sipil mereka yang terampas selama ratusan tahun.

GERAKAN PEREMPUAN (WOMAN MOVEMENT)

Latar belakang perempuan barat yang kelam akhirnya memunculkan gerakan-gerakan perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan kaum laki-laki. Gerakan perempuan memunculkan sejumlah tokoh perempuan, sebut saja Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Staton, yang memiliki surat kabar sendiri yaitu The Revolution.  Melalui surat kabar ini perempuan-perempuan itu menuliskan pemikiran mereka yang mempersoalkan masalah perceraian, prostitusi dan peran gereja dalam mensubordinasi perempuan.[9]

Sebelum feminis digunakan sebagai ungkapan  umum dalam bahasa inggris, kata-kata seperti “womanism, the woman movement, atau woman questions telah digunakan terlebih dulu.[10]. Kata “feminist” pertama kali ditemukan pada awal abad ke 19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Ide yang diusungnya adalah transformasi perempuan oleh masyarakat berdasarkan saling ketergantungan dan kerjasama, bukan pada kompetisi dan mencari keuntungan.  Pemikirannnya ini mempengaruhi banyak perempuan dan mengkombinasikan antara emansipasi pribadi dengan emansipasi  sosial.

Revolusi yang terjadi di Eropa membuat gerakan perempuan mendapatkan kesempatan untuk ikut menyuarakan kepentingan mereka. Pada Revolusi Puritan di  Inggris Raya pada abad 17,  kaum perempuan puritan  berusaha untuk mendefinisikan ulang area  aktivitas perempuan dengan menarik legitimasi dari doktrin-doktrin yang menjadi otoritas bapak, laki-laki, pendeta dan pemimpin politik. Revolusi Puritan telah menghasilkan ferment  dimana semua bentuk hierarki ditulis oleh semua anggota sekte yang radikal di Inggris Raya.[11]  Pada tahun 1890, kata feminis digunakan  untuk mendeskripsikan kampanye perempuan pada  pemilihan umum  ketika  banyak organisasi telah didirikan  di Inggris untuk menyebarkan ide liberal tentang hak individual perempuan. [12]

Revolusi Perancis (1789) juga  telah memberi pengaruh besar pada gerakan perempuan di Barat. Kaum perempuan saat itu terus bergerak memanfaatkan gejolak politik di tengah revolusi yang mengusung isu liberty, equality dan fratenity. Pada bulan oktober 1789 perempuan – perempuan pasar di Perancis berjalan dari Versailles yang diikuti oleh pasukan keamanan nasional. Roti hilang dari pasaran, para perempuan miskin kemudian melakukan aksi masa  menuntut Raja agar mengontrol harga dan konsumsi dan  menyediakan roti murah bagi rakyat.  Di Perancis. Saat itu masyarakat terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok moderat yang masih menghendaki Konsitusi Monarki dan kelompok radikal yang mengingikan Monariki berakhir. Gerakan perempuan aktif mendukung kelompok radikal yang mendukung ide-ide Republik, walaupun kemudian akhirnya mereka terlibat dalam pertikaian politik antar faksi-faksi yang ada. Dan akhirnya pada tahun 1792, kaum perempuan memperoleh hak untuk bisa  bercerai dengan suaminya. [13]

Dua feminis yang terkemuka, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton, pada tahun 1848 mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca Falls  yang dihadiri oleh 300 peserta laki-laki dan perempuan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan  deklarasi yang menuntut reformasi hukum-hukum perkawinan, perceraian, properti  dan anak. Di dalam deklarasi tersebut mereka memberi penekanan kepada hak perempuan  untuk berbicara dan berpendapat di dunia publik. Konvensi di Seneca Falls merupakan bentuk protes kaum perempuan terhadap pertemuan akbar konvensi penghapusan perbudakan sedunia pada taun 1840, dimana kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. [14]

Pada awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang menekankan pada keistimewaaan” dan perbedaan perempuan, dari pada mencari kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan sosial, seperti  pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth control). Dari sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan  bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan professional.[15]

Kaum Feminis kemudian mengembangkan konsep  jender  pada tahun 1970 sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat  pada akhirnya berbeda-beda.[16] Kemudian wacana jender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977.  Sejak itu para feminis  mengusung konsep  gender equality atau kesetaraan jender sebagai mainstream gerakan mereka.  Jender  menurut Unger adalah, “a term used to encompass the social expectations associated with feminity and msculinity.“  Para feminis berpendapat jender merupakan konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi biologis.  Jender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya,  agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat serta  faktor-faktor lainnya.  Lips berpendapat,  jender tidak hanya terdiri dari dua jenis, yaitu  feminin dan maskulin, seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi beliau mengakui adanya jender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Jender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian jender lainnya).[17]

DASAR PEMIKIRAN DAN ISU-ISU FEMINISME

Pada mulanya para feminis menggunakan isu “hak“ dan “kesetaraan“ perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an mengunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian feminisme menyatakan dirinya sebagai ”gerakan pembebasan perempuan”.  Secara umum kelahiran Feminisme dibagi menjadi tiga gelombang (wave) yang mengangkat isu yang berbeda-beda.

Gelombang pertama ini ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft yang berjudul ”Vindication of the Rights of Women” tahun 1792 Wollstronecraft mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. [18]  Ada dua tokoh lainnya seperti Sejourner Truth, dan Elizabeth Cady  Stanton. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh  hak-hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan  memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Aksi politik feminis yang dimotori oleh kaum feminis liberal telah membawa perubahan pada kondisi perempuan saat itu.  Perempuan berhasil mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu pada tahun 1920, dan bukan hanya itu, kaum feminis  berhasil memenangkan hak kepemilikan bagi perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar  dalam bidang pendidikan dan profesional.[19]

Teori-Teori Feminisme Gelombang Pertama

Dasar PemikiranIsu-Isu FeminisTokoh Feminis & Karyanya
Feminisme LiberalManusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak individu.Akses pendidikan Kebijakan negara yang bias gender. Hak-hak sipil, politik.Mary Wollstonecraft : A Vindication Rights of The Woman (1779), John Stuart Mill & Harriet Taylor : Early Essay on Marriage and Divorce (1832), Enfranchisement of Women (1851). Betty Friedan : The Feminine Mistique (1974), The Second Stage (1981)
Feminisme RadikalSistem seks/jender merupakan dasar penindasan terhadap perempuanAdanya seksisme, masyarakat patriarki. Hak-hak reproduksi. Hubungan kekuasaan antra perempuan dan laki-laki (power relationships). Dikotomi Private/Public. LesbianismeKate Millet :Sexual Politics (1970). Shulamith Firestone ; The Dialectic of Sex (1970). Marilyn French : Beyond Power (1985). Mary Daly : Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation (1973). Ann Koedt : The Myth of the Virginal Orgasm (1970)
Feminisme Marxis/ SosialisMaterialisme Historis Marx yang mengatakan bahwa modus produksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran yang menentukan eksistensi seseorang tetapi eksistensi sosial mereka yang menentukan kesaaran mereka.Ketimpangan ekonomi. Kepemilikan property. Keluarga dan kehidupan domestik di bawah kapitalisme. Kampanye pengupahan kerja domestik.Friederich Engels : The Origin of The Family, Private Property and the State (1845). Margareth Benston : The Political Economy of Women’s Liberation (1960). Mararosa Dalla Costa & Selma James : The Power of Women and the Subversion of Community (1972).

Sumber :  Gadis Arivia, 2002

Gelombang feminis kedua pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s The Second Sex. Beauvior berargumentasi bahwa  perebedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. Pernyataan ini terefleksikan dari pernyataan klasiknya, ”(o)ne is not born, but rather becomes a woman;…. It is civilization as a whole that produce this creature… which is described as feminine.”  Bagi feminis gelombang ke-2 kesetaran politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. Dalam sudut  pandang mereka , penindasan sexist tidak hanya berakar pada hukum dan politk, tetapi penyebabnya emmbeded pada setiap aspek dari kehidupan sosial manusia , termasuk ekonomi, politik  dan sosial arrangements, serta norma-norma, kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan relasi personal. Mereka berpendapat bahwa feminisme harus mendapatkan kesetaraan ekonomi secara penuh bagi perempuan, dan bukan hanya sebatas untuk bertahan secara ekonomi. Feminis gelombang kedua juga mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heteresexual relationships), seksualitas perempuan dan lain-lain. Mereka berjuang keras untuk merubah secara radikal setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik.[20]

Teori-Teori Feminisme Gelombang Kedua

Dasar PemikiranIsu-Isu FeminisTokoh Feminis & Karyanya
Feminisme PsikoanalisaPenjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche perempuan, cara perempuan berpikir.Drama psikoseksual Oedipus dan kompleksitas kastrasi (Freud). Egosentrisme laki-laki yang menganggap perempuan menderita ”penis envy” Reinterpretasi Oedipus kompleks. Dual Parenting. Feminisme Gender-etika perempuan.Karen Horney:
Feminisme EksistensialismeKonsep ada dari Jean Paul Satre :Etre-en-soi, Etre-pour-soi, Etre-Pour-les-autresAnalisa ketertindasan perempuan karena dianggap sebagai ”other” dalam cara beradanya di entre-pour-les-autresSimone de Beauvoir : The Second Sex (1949)

Sumber :  Gadis Arivia, 2002

Feminis gelombang ketiga dimulai pada tahun 1980 oleh feminis yang menginginkan keragamaan perempuan (women’s diversity) atau keragaman secara umum., secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh  perempuan kulit berwarna dipertahankan ketika dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelompang kedua  yang didominasi oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan perempuan putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan kaum perempuan heteresexual berbeda dengan ketertindasan yang dialami oleh kaum lesbi, dan sebagainya.

Teori-Teori Feminis Gelombang Ketiga

Dasar PemikiranIsu-isu FeminisTokoh/Pemikiran dan Karya Feminis
Feminisme PostmoderenSeperti aliran postmoderenisme menolak pemikiran phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut yakni ”laki-laki” berreferensi pada phallus)”Otherness” dari perempuan yang dilontarkan oleh Simone de Beauvoir, merupakan sesuatu yang lebih dari kondisi inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara berada, cara berpikir, berbicara, keterbukaan, pluralitas, diversitas dan perbedaanHelene Cixious, ”L ’ecriture Feminine”. Luce Irigaray, “Speculum”-refleksi perempuan. Julia Kristeva, “to be able to “play” between semiontic and symbolic realm.” LindaNicholson, “Femini sme Postmodern”.
Feminisme MultikulturalSejalan dengan filsafat postmoderen tetapi lebih menekankan kajian kultural.Pemindasan terhadap perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dsb, (interlocking system). Di dalam Feminisme Global bukan saja ras dan etnisitas, tetapi juga hasil kolonialisme dan dikotomi ”dunia pertama” dan ”dunia ketiga”Audre Lorde :Age, Race, Class and Sex : Women Redefining Difference (1995).
Alice Walker : Coming Apart (1991).
Angela Y Davis : Women, Race and Class (1981).
Charlotte Bunch : Prospects For Global Feminism (1985).
Susan Brownmiller : Against Our Will : Men, Women and Rape (1976).
Susan Bordo : Feminism, Postmodernism, and Gender-Skepticsm (1990).
Maria Mies ; The Need for a New Vision (1993).

Sumber :  Gadis Arivia, 2002

FEMINISME DALAM TIMBANGAN

Isu kesetaran dan kebebasaan yang diperjuangkan kaum feminis merupakan konsep  abstrak, bias dan absurd karena  sampai saat ini para feminis sendiri belum sepakat mengenai kesetaraan dan kebebasan seperti apa yang diinginkan kaum perempuan. Terminlogi ”Feminis” sendiri memiliki beragam definisi berdasarkan latar belakang sejarahnya.[21]  Walaupun pada awal kemunculanya feminisme tampak seperti gerakan reaktif terhadap penindasan gereja, tetapi perkembangannya dikemudian hari memperlihatkan akar dari gerakan ini adalah paham relativisme yang menganggap bahwa  benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.

Salah satu efek dari paham relativisme yang dianut oleh kaum feminis, adalah  menyuburkan praktik-praktik homoseksual di dalam  masyarakat,  karena apa yang dulu dianggap salah, kini  dengan dalih penghormatan terhadap HAM,  telah berubah menjadi sebuah kebenaran.  Di Barat, pasangan lesbi kini dapat menikah secara legal dan diakui oleh negara secara sah.  Para feminis radikal berpendapat dominasi laki-laki berpusat dari seksualitas, karena dalam hubungan heteroseksual, perempuan menjadi pihak yang tersubordinarsi   Tetapi dengan menjadi lesbi, perempuan  memiliki kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual diantara mereka . Hal itu tertuang dalam pernyataaan Charlotte Bunch (1978),

The Lesbian is most clearly the antithesis of patriarchy-an offense to its basic tenets. It is woman-hating; we are woman-loving. It demans female obedience and docility; we seek strenght, assertiveness, and dignity for women. It bases power and defines roles on one’s gender and other physical attributes; we operate outside gender-defined roles and seek a new basis for defining power and relationship.[22]

(Lesbian adalah antitesis  paling jelas dari  patriarki yang menyerang doktrin dasarnya. Patriarki adalah pembenci perempuan, sedangkan kami pencinta perempuan. Patriarki menuntut kepatuhan dan kepasivan perempuan, kami mencari kekuatan, keasertivan dan harga diri bagi wanita. Patriarki didasarkan atas kekuatan dan pembagian peran sebuah jender dan atribut-atribut fisik lainnya, kami bekerja diluar pembagian peran jender dan mencari fondasi baru untuk …. kekuatan dan hubungan.)

Garnets  berpendapat kaum lesbian pada umumnya mengalami perasaaan bebas dari ikatan hambatan-hambatan peran jender. Pasangan lesbian memiliki kemampuan untuk menciptakan pola hubungan baru dan dapat mengurangi kekuatan yang tidak berimbang yang kadang ditemukan dihubungan tradisional heteroseksual.[23] Begitulah kira-kira pandangan para feminis terhadap kaum lesbian. Ketika ajaran agama menentang dengan keras  penyimpangan moral semacam itu, para aktivis feminis justru menyuarakan dengan lantang pembelaan terhadap praktik lesbian melalui tokoh-tokoh agama atas nama ’kebebasan“.

Gerakan feminis juga memunculkan masalah-masalah sosial baru yang membuat peradaban Barat  berada di ambang kehancuran. Isu kebebasan  telah membuat perzinahan diakui sebagai hak individu  dan negara tidak boleh memberikan sangsi hukum bagi para pelakunya. Kaum perempuan Barat banyak yang memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk  pengekangan terhadap kebebasan mereka. Penemuan alat kontrasepsi dan dilegalkannya praktik aborsi telah menjadikan perempuan barat terjerumus dalam pergaulan bebas tanpa takut resiko memiliki anak di luar pernikahan. Bagi perempuan yang masih memiliki sedikit hati nurani kemudian memilih untuk menjadi single parents walau konsekuensinya anak-anak itu terlahir dan tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya. Saat ini, eksploitasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak semakin merajalela, yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan perempuan dari kehangatan sebuah keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir dan bersaing dengan laki-laki untuk membuktikan eksistensi mereka. Banyak dari mereka kemudian mengalami alienasi, depresi dan masalah psikologis lainnya, karena melawan naluri dan kodrat sebagai perempuan. Masyarakat Baratpun akhirnya tersadar dari kekeliruannya dan gerakan feminis dituding sebagai biang kerok atas kehancuran moral yang menimpa kaum perempuan sehingga gerakan ini berangsur-angsur surut dan  kini hanya tinggal wacana saja.

PENUTUP

Melihat latar belakang sejarah, konsep dan isu-isu  feminisme, perempuan di dunia Islam sebenarnya tak perlu silau oleh pemikiran-pemikiran kaum feminis. Isu hak dan kesetaraan yang diagung-agungkan barat,  muncul karena penolakan perempuan barat terhadap dokrin gereja yang memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad.  Doktrin gereja telah pengekangan hak-hak perempuan untuk mengembangkan diri dan memiliki akses  kepada pendidikan. Begitu juga dengan hak-hak sipil perempuan yang terpinggirkan karena perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua.  Tentunya hal-hal tersebut tidak ditemui dalam ajaran dan doktrin-doktrin Islam.  Agama  Islam sejak abad ke-7 M telah menepatkan perempuan dalam posisi yang begitu mulia, seperti pendapat beberapa wanita Barat yang memeluk agama Islam karena tertarik oleh keadilan dan kemuliaannya. Annie Besants berkata tentang wanita Islam, ”Sesungguhnya kaum wanita dalam naungan Islam jauh lebih merdeka dibandingkan dalam mazhab-mazhab lain. Islam lebih melindungi hak-hak wanita daripada agama Masehi. Sementara kaum wanita Inggris tidak memperoleh hak kepemilikan-kecuali sejak 20 tahun yang lalu-Islam telah memberikan sejak saat pertama.” [24]

Isu ”kebebasan” telah membuat perempuan barat mengingkari kodrat mereka sebagai perempuan  Melihat problematika sosial yang melanda masyarakat Barat saat ini, terutama kaum perempuannya, sungguh naif jika masih ada saja orang-orang yang menganggap bahwa feminisme  dapat memberikan solusi bagi  permasalahan perempuan di dunia Islam. Kita sepatutnya merasa iba kepada Barat karena tanpa sadar mereka telah menjadi korban ideologi  yang merusak tatanan sosial kemasyarakatan dan mencabut nilai-nilai religius dari peradaban mereka.


[1] Suki Ali,et all (ed),  Global Feminist Politics ; Identities in Changing World, Routledge, New York, 2000, hal. 5.

[2] Endang W. Ramli, dalam Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma, Menembus Tradisi, Pustaka LP3ES,  Jakarta, 2006, hal.xxvii

[3] Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, Gema Insani Press, 2004, hal 158-159

[4] McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler,  A History of Western Society, Second Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1983, hal. 437 s/d 541

[5] Maududi, Abul A’la, Al-Hijab, Gema Risalah Press, Cetakan Kedelapan, Bandung, 1995, hal. 23.

[6] Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat berperspektif Feminis, Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok, 2002, hal. 95.

[7] Maududi, hal. 23-24.

[8] Ibid, hal. 52.

[9] Gadis Arivia, hal. 20.

[10]Rowbotham, Sheila,  Women in Movement: Feminism and social action, Rountledge, New York, 1992, hal. 11.

[11] Ibid,  hal 8.

[12] Ibid, hal 19.

[13] Ibid, hal. 27-29.

[14] Gadis Arivia, hal.114.

[15] Rowbotham, Sheila, hal. 9.

[16] Ibid, hal.12.

[17] Lips, Hilary M, A New Psychology of Women;Gender, Culture, and Ethnicity, Second Edition, McGrawHill, New York, 2003, hal. 6-7.

[18] Rowbotham, Sheila,   hal 8.

[19] Cudd, Ann E. and Robin O. Andreasen (ed), Feminist Theory; A Philosophical Anthology , Blackwell Publishing Ltd, Cornwall, 2005, hal. 7.

[20] Ibid, hal 8.

[21] Beasley, Chris, What is Feminisme ? An Introduction to Feminist Theory, Sage Publications, NSW, 1999, hal. 27.

[22] Chrisler, Joan C, et all, (ed), Lectures on the Psychology of Women, Second Edition, Mc Grawhill, Boston, 2000, hal. 174-175.

[23] Ibid, hal. 174.

[24] Ahmad Muhammad Jamal, Jejak  Sukses 30 Wanita Beriman, Pustakan Progressif, Surabaya, 1991, hal.1.

 

Umat Islam Harus Bersatu Tolak Paham Feminisme

5

ThisisGender.Com – Pada Ahad siang (08/04/2012), ribuan jama’ah yang mayoritas terdiri dari para muslimah, hadir memadati Masjid Sunda Kelapa yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka datang untuk berpartisipasi dalam acara Tabligh Akbar Tolak RUU KKG Liberal.

Acara Tabligh Akbar yang dihadiri oleh ulama dan intelektual muda dari Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) juga mengikutsertakan artis yang kini menjadi aktivis dakwah, Astri Ivo.

Dalam orasinya, Sekretaris jenderal (Sekjend) MIUMI, Bachtiar Natsir, MM., mengatakan, “Saat ini umat dihadapkan pada dua monster besar, yaitu freemasonry dan agama Majusi Persia, ini adalah tanggung jawab kita bersama”, ungkapnya dengan berapi-api.

Tidak hanya mengingatkan jama’ah yang hadir, dai kondang ini pun menekankan pentingnya persatuan umat, agar umat tidak berjuang secara sendiri-sendiri. “Kita (umat Islam) harus bersatu melawan faham Liberalisme. Bersatu saja kita belum tentu menang, apalagi sendiri-sendiri”, tegasnya.

Selain itu, Dr. Adian Husaini kembali mengingatkan tentang bahaya RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender ini, “Gender tidak ada istilahnya dalam Islam, ia datang dari Barat yang antagonis. Apabila RUU ini disahkan, maka akan banyak perbedaan yang dikriminalkan, misalnya pembatas (hijab) antara laki-laki dan perempuan di dalam masjid, ini bisa dikriminalkan juga”, tandasnya.

Tidak kalah dengan Bachtiar Natsir dan Adian Husaini, lima orator dan pembicara lainnya turut menyemarakkan acara yang dihadiri dari berbagai ormas dan majelis ta’lim ini, seperti H.M Zaytun Rasmin, M.A., Dr. Ahmad Zain an-Najah, H. Jeje Zainuddin, Henri Shalahuddin MIRKH dan Dr. Marwah Daud. Semuanya sepakat, menolak paham feminisme dan kesetaraan gender.

 

Rep : Khalifatunnisa
Red : Sarah Mantovani

Muslimah Harus Miliki Kekuatan Hadapi Ghazwul Fikri

0

ThisisGender.Com – Ahad (25/03/2012) lalu, muslimah KAMMI di bawah Departemen Pemberdayaan Perempuan (PP) KAMMI Daerah Jakarta mengadakan apel siaga. Agenda yang digelar di Bumi Perkemahan Ragunan ini dihadiri oleh para muslimah dari Komisariat Al-Hikmah, LIPIA, Madani dan UNJ.

Ketua KAMMJA, Ni’amu Robby, mengawali taujih dengan mengingatkan kembali mengenai perjuangan muslimah sejak zaman Rasulullah dan besarnya peran yang dimiliki oleh muslimah dalam pergerakan dakwah Islam.

Kemudian, April, mantan pengurus Departemen PP KAMMI Pusat turut hadir dengan memberikan taujih. Dalam taujihnya, April menyampaikan esensi dakwah dari sebuah buku berjudul “Menguatkan Komitmen Dakwah” karya Muhammad Abduh. Dakwah di KAMMI ataupun wajihah dakwah lain adalah sebuah kenikmatan sekaligus menjadi tantangan terbesar, utamanya bagi muslimah.

Berkaca dari kisah Bani Israil saat Thalut diberikan kepemimpinan oleh Allah, demikian halnya dengan dakwah kita sekarang. Terkadang terjadi krisis kepercayaan jundi (pasukan) terhadap qiyadahnya (pemimpin). Semestinya, kedua belah pihak saling mempelajari seni bagaimana menjadi qiyadah atau pun menjadi jundi yang baik.

Sebagai muslimah yang hidup di era globalisasi, para muslimah memiliki banyak tantangan. Memang pada saat ini, kebebasan muslimah dalam berhijab bukan lagi masalah besar secara general. Namun, tantangan dari segi ghazwul fikr (serangan pemikiran) misalnya, telah menyerang secara hebat di kalangan aktivis muslimah. Oleh karena itu, para aktivis muslimah harus selalu memiliki militansi dan komitmen yang baru.

Tidak hanya itu, agenda apel siaga ini juga diisi dengan diskusi (tanya-jawab), saling mengakrabi melalui permainan dan saling bertukar kado.

“Sebuah sapu lidi dengan lidi yang kuat terhimpun menjadi satu jauh lebih baik daripada hanya sebatang lidi. Begitu lah seharusnya kita sebagai akhwat tangguh KAMMI”, demikian ungkap Aisyah, Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan KAMMJA. (Sofistika Carevy Ediwindra)

Red : Sarah Mantovani

Pandangan Adnin Armas, M.A Tentang RUU-KKG

0

Pandangan Adnin Armas, M.A Tentang Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).

Pandangan DR. Adian Husaini Tentang RUU-KKG

0

Pandangan DR. Adian Husaini Tentang Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).

Mereka Memang Berbeda

0

Oleh: Rita Soebagio

Selama lebih dari lima dekade, para ahli melakukan penelitian tentang berbagai hal terkait dengan perbedaan laki-laki dan perempuan. Penelitian komprehensif pernah dilakukan oleh Sherman dengan melakukan Meta Analisis — sebuah pendekatan kuantitatif untuk meringkas dan mensitesiskan hasil dari berbagai studi empiris mengenai suatu topik – dalam hal ini studi tentang laki-laki dan perempuan.

Dari studi empiris mengenai aspek biologis dan psikologis dari perbedaan jenis kelamin, ia menyimpulkan semakin tampak bagaimana psikologi laki-laki tidaklah sama dengan psikologi perempuan. Ini perbedaan yang sebenarnya sudah tampak sejak neonatal yaitu sejak bayi lahir ke dunia. Perbedaan perilaku antara pria dan wanita yang disebabkan faktor bawaan sampai saat ini masih terus dikembangkan. (Nani Nurachman, dkk.,  Psikologi Perempuan, Pendekatan Kontekstual Indonesia. 2011).

Studi empiris seperti yang diteliti Sherman umumnya dilakukan di bawah bermacam kondisi eksperimental atau administrasi atas berbagai tes psikologi yang terkontrol. Karenanya, perbedaan hasil yang tampil karena perbedaan jenis kelamin umumnya relatif stabil. Berbeda halnya dengan perilaku sosial yang baru belakangan dikembangkan oleh para ahli Psikologi Sosial. Penelitian perilaku sosial tidak dapat dilakukan di dalam sebuah ruangan atau laboratorium terkontrol, namun harus dilakukan dengan berbagai cara di bawah kondisi yang berbeda-beda pula.

Observasi para psikolog sosial menunjukkan, bahwa dalam sebuah kehidupan sosial, ketika bertemu dengan orang baru, maka hal pertama yang kita lakukan pada umumnya adalah berusaha mengidentifikasinya sebagai laki-laki dan perempuan. Proses identifikasi  pada umumnya terjadi begitu saja secara otomatis dan tidak memerlukan pemikiran mendalam (Glick, P. & Fiske, S.T., Gender, Power Dynamis and Social Interaction. London: Sage Publication. 1999).

Itu terjadi karena Gender merupakan kategori paling dasar dalam kehidupan sosial. Proses mengkategorikan seseorang dan sesuatu menjadi maskulin dan feminin dikenal sebagai Gender Typing, yang dilakukan dengan melihat petunjuk  gender yang mudah dikenali dari karakteristik fisik yang ada seperti rambut, wajah, dada atau gaya busana. Gender Typing dimulai sejak manusia dilahirkan. Misalnya hasil sebuah riset ditemukan 90% bayi memakai baju bertipe gender, 75% bayi wanita mengenakan baju berwarna pink dan 79 persen bayi laki-laki mengenakan baju berwarna biru (Shakin & Sternglanz, 1985 dalam Taylor, Shelley E.,et.al. 2009). Seseorang akan menampakkan gendernya sebagai bagian utama dari presentasi diri. (Shelley E Taylor, et.al., Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas. Jakarta : Kencana, 2009).

Perbedaan antara pria dan wanita adalah prinsip universal dalam kehidupan sosial. Sejak masih kanak-kanak, anak laki-laki dan perempuan sudah diharapkan menguasai ketrampilan yang berbeda dan mengembangkan kepribadian yang berbeda pula. Saat dewasa, laki-laki dan perempuan biasanya mengasumsikan peran gender seperti suami dan istri, ayah dan ibu. Pada prinsipnya, Helgeson (2005) mengatakan bahwa  penggunaan gender untuk menata kehidupan sosial merupakan aspek yang mendasar dalam kehidupan manusia. (Helgeson,V.S. Psychology of Gender (2nd.ed). New York : Prentice Hall, 2005).

Untuk memahami konsep gender dengan lebih mudah, pranata sosial mengembangkan Stereotip Gender yang terkait dengan keyakinan unik kita tentang atribut laki-laki dan perempuan yang bersifat sangat personal (Personal Stereotype). Riset menunjukan bahwa laki-laki umumnya dinilai lebih tinggi ketimbang perempuan dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi dan keahlian seperti kepemimpinan, obyektifitas dan independensi (Deaux & LaFrance, 1998). Sebaliknya perempuan dinilai lebih tinggi dalam ciri-ciri yang berhubungan dengan kehangatan dan ekspresi seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. (K. Deaux & M. La France,  Gender: A Handbook of Social Psychology. Vol 2, pp 788-827. Boston : Mc-Graw Jill, 1998).

Gender adalah elemen dasar dari konsep diri. Mengetahui bahwa “Aku adalah perempuan” atau ”Aku adalah laki-laki” adalah bagian inti dari identitas personal kita. Orang sering memandang dirinya punya minat dan kepribadian yang sesuai dengan gendernya. Pengetahuan bahwa kita adalah pria dan wanita, pemahaman tentang gender identity (identitas gender) telah kita dapatkan sejak dini. Dalam istilah ‘Konsep Diri’, setiap individu akan memahami dengan baik apakah dirinya sebagai maskulin atau feminin. Individu yang sangat maskulin percaya bahwa mereka memiliki banyak atribut, minat, preferensi dan keterampilan yang oleh masyarakat biasanya diasosiasikan dengan kejantanan. Individu yang sangat feminin percaya bahwa mereka banyak memiliki atribut, minat, preferensi dan ketrampilan yang diasosiasikan dengan feminitas (R.A. Lippa,  Gender, Nature and Nurture,  Mahwah, New York : Erlbaum, 2002).

Kemampuan memahami identitas gender dengan baik merupakan kunci dari kesehatan mental individu. Whitley (1993 dalam Taylor, Shelley E.,et.al.2009) mengatakan bahwa agar mental seorang individu sehat maka lelaki harus memiliki atribut dan minat maskulin sedangkan wanita harus feminim. Dalam prakteknya ditemukan sedikit individu yang memiliki pandangan bahwa dirinya merupakan gabungan dari kualitas maskulin dan feminin. Fenomena ini disebut dengan Androgini secara psikologis. Ditinjau dari sisi kesehatan mental, individu dengan fenomena Androgini akan memiliki mental yang sehat selama dia mampu melakukan penyesuaian yang “pas” antara konsep gender dan konsep dirinya. Feminis memandang androginis psikologis sebagai konsep ideal untuk pengembangan diri. Namun demikian para Feminis sendiri mengalami kebingungan karena jika mereka menyokong konsep Androginis sama saja dengan mereka juga secara tidak langsung mengakui bahwa ada perbedaan kualitas diantara maskulinitas dan feminitas.

Dari berbagai riset terungkap juga fakta,  bahwa seorang perempuan – sekalipun dia seorang feminis sejati –  tetap akan mengembangkan sikap untuk menempatkan laki-laki sebagai pengendali keputusan atau dominasi. Karena pada dasarnya mereka tidak akan mampu untuk menolak kodrat sebagai perempuan yang membutuhkan perlindungan dan bantuan dari pihak yang dianggap lebih kuat.

Menuntut kesamaan pria dan wanita dalam berbagai aspek hanya akan melahirkan individu yang ambivalen. Dimana dalam ranah sosial dan publik  mereka menjadi individu yang terdepan menuntut semua kesamaan laki-laki dan perempuan hingga sadar atau tidak telah menyentuh perbedaan mendasar antara keduanya. Namun dalam urusan personal, seperti ketika berkencan atau dalam kehidupan perkawinan, para feminis sekalipun, tetap mengembangkan sikap yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan penentu keputusan. Secara naluri mereka tetap menjadi perempuan yang menuntut untuk dilindungi oleh laki-laki.

Ditinjau dari sisi kesehatan mental, laki-laki dan perempuan memang harus berbeda. Hal ini dikarenakan secara fisik dan psikis mereka berbeda. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para pakar diatas bahwa seseorang individu akan sehat mentalnya jika mereka mampu memahami atributnya dengan pas. Hal ini seolah-olah menunjukkan kepada kita semua, bahwa tuntutan yang berlebihan bahkan melewati batas untuk menjadi  sama,  hanya akan melahirkan pribadi yang galau, ambivalen dengan kesehatan mental yang patut dipertanyakan.

Tuntutan Kesetaraan Gender yang berdalih menjadi bagian dari pembangunan bangsa, pada dasarnya telah banyak mengabaikan faktor alamiah identitas gender. Tanpa sadar tuntutan ini sebenarnya sedang meruntuhkan berbagai sendi kehidupan dunia. Dan pada akhirnya konsekuensi terberat ketika pilihan itu sama sekali mengabaikan pertanggungjawaban akhirat seorang individu. (***)

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now