Home Blog Page 3

Perempuan dalam Pusaran Krisis Ilmu

0
Perempuan dalam Pusaran Krisis Ilmu

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania[1]

Perempuan muslim di zaman ini  tanpa sadar telah terjebak  dalam krisis yang sama dengan perempuan Barat, menyangka bahwa paham kebebasanlah yang dapat membahagiakan perempuan. Padahal problem utama perempuan muslim saat ini adalah krisis ilmu. Syeikh Hamza Yusuf ketika berbicara pada konferensi Reviving Islamic Spirit di Malaysia pada tahun 2017 lalu, berulang-ulang mengafirmasi pendapat  Prof S.M. Naquib al-Attas, bahwa krisis ilmu di dunia muslim yang pertama kali harus diselesaikan agar peradaban Islam kembali bersinar. Krisis ilmu terkait erat dengan krisis adab dan krisis kepemimpinan. Apabila perempuan muslim tidak merespon terhadap akar permasalahan tersebut dan hanya bersifat reaktif terhadap isu-isu yang kurang fundamental, maka krisis di dunia Islam tidak akan pernah berakhir.

Kaum perempuan muslim (muslimah) yang mengalami krisis ilmu akhirnya berpaling dari Islam dan mengadopsi cara pandang Feminisme dalam menilai problematika perempuan. Padahal hanya peradaban Islam, yang sejak dari kemunculannya, telah menghasilkan para intelektual dari kaum perempuan.  Para intelektual muslimah memiliki kemampuan penalaran yang tinggi namun tetap menjaga fitrahnya sebagai perempuan. Mereka tidak pernah merasa inferior dilahirkan sebagai perempuan, tidak iri dengan apa yang dimiliki oleh  kaum lelaki, tidak pernah menganggap rendah pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebagaimana yang dilakukan para aktivis feminis saat ini. Akram Nadwi dalam bukunya al-Muhaddithāt : the Woman Scholars in Islam,[2]   mengatakan :

“I have worked through much material over decade to compile biographical accounts of 8.000 muhaddithāt. Not one of them is reported to have a considered the domain of family life inferior, or neglected duties therein, or considered being a woman undesirable inferior to being , a man, or considered that, given aptitude and opportunity, she had no duties to the wider society, outside the domain of family.”

Lebih lanjut ia mengatakan tentang para intelektual muslimah :

“I do owe to the women whose scholarly authority this book celebrates to say briefly what is necessary to distinguish their perspective. They were not feminists, neither consciously nor unconsciously. They were above all else, like the men scholars, believers, and they got and exercised  the same authority by virtue of reasoning with the same methods from the same source as the men, and by having at the same time, just as the men did, a reputation for taqwā (wariness of God), righteousness and strong intellect.”[3]

Para intelektual muslimah bukanlah seorang feminis secara sadar maupun tidak sadar. Mereka di atas semua itu, karena mereka adalah orang-orang beriman sebagaimana kaum intelektual dari kalangan muslim. Mereka memiliki dan dilatih dengan penalaran menggunakan metode dan sumber  yang sama dengan laki-laki. Mereka memiliki reputasi sebagai perempuan yang bertakwa dan memiliki intelek yang kuat.  Hal tersebut dapat terjadi karena kedudukan ilmu dalam peradaban Islam sangatlah tinggi, bahkan periode munculnya struktur ilmu pada pandangan alam Islam (Islamic worldview) dimulai pertama-tama dengan penekanan pada konsep ilmu sebagai elemen yang fundamental.[4] Dalam pandangan alam Islam, ilmu selalu berkaitan dengan amal saleh. Orang yang berilmu haruslah orang yang juga mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari dengan beribadah hanya kepada Allah SWT. Selain memiliki keterkaitan dengan amal, konsep ilmu dalam Islam selalu mengandung dimensi moralitas dan adab.[5] Hal inilah yang tidak disadari oleh para feminis yang menuduh agama Islam sebagai penyebab keterbelakangan dan penindasan terhadap perempuan.

Bagaimanakah tradisi keilmuan Islam yang tinggi dapat mengalami kemerosotan yang demikian hebat? Krisis ilmu yang menimpa umat muslim secara umum disebabkan oleh dua faktor; 1) faktor internal, yang berasal dari dalam diri seseorang,  2) faktor eksternal,  bersumber dari lingkungan fisik dan sosial. Permasalahan atau krisis keilmuan di dunia perempuan, akan dibahas  berdasarkan kedua faktor tersebut.

  1. Faktor Internal

Problematika keilmuan yang disebabkan oleh faktor internal, terkait dengan kondisi diri muslimah sebagai individu muslim. Krisis ini disebabkan karena kurangnya kontemplasi dan tradisi berpikir secara mendalam. Nilai-nilai ateistik di abad ke 20 menurut Jenkins[6] telah membentuk manusia-manusia bervisi mekanistis yang tidak memiliki makna atau tujuan hidup di dunia ini. Oleh karena itu kita jumpai banyak perempuan yang menjalani kehidupannya seperti robot, tanpa pernah terbersit untuk berpikir tentang visi yang benar dalam kehidupan, siapa kita, mengapa kita hidup di dunia, hendak kemana kita setelah kematian, dan pertanyaan eksistensial lainnya. Ataupun jika ada yang telah memikirkannya, namun tidak sampai kepada jawaban-jawaban yang benar karena terpengaruh kepada cara pandang materialistik (materialistic worldview).

Manusia dikatakan sebagai “a language animal” karena kemampuan mengartikulasikan simbol-simbol linguistik menjadi bentuk yang bermakna yang merupakan daya dari realitas yang tidak terlihat, yaitu ‘aql.[7] ‘Aql menurut al-Attas adalah substansi kognisi spiritual yang sinonim dengan qalb, yang letaknya ada dalam hati (heart). Sifat dasar dari ‘aql adalah substansi spiritual di mana jiwa yang rasional (al-nafs al-naatiqah) mengenali dan membedakan kebenaran (truth) dari kepalsuan (falsehood). Oleh karena itu, al-Attas menyimpulkan bahwa realitas seorang manusia pada hakikatnya adalah makhluk spiritual, dan bukan semata-mata fisik atau aspek-aspek kehewaniannya saja (animal aspect). Kemampuan rasio pada manusia membuat ia mampu memahami kata-kata dan memformulasikan makna dalam rangka memperoleh ilmu.[8] Menurut Hamza Yusuf, disinilah pentingnya penguasaan terhadap ilmu-ilmu trivium, yaitu logika, tata bahasa (grammar)  dan retorik, yang merupakan bagian dari tradisi pengajaran ulama-ulama Islam di zaman klasik.[9]

Minimnya kontemplasi dan berpikir mendalam untuk mengungkap makna, membuat para muslimah lemah dalam pengenalan terhadap sifat dan karakter diri. Pertanyaan-pertanyaan  seperti, apakah yang membedakan perempuan dengan laki-laki?  tipe  perempuan seperti apakah saya? apakah kekuatan dan kelemahan saya? hal-hal tersebut harus diketahui jawabannya oleh para muslimah. Muhammad Utsman al Huts menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan namun tidak menjadikan yang satu lebih mulia dari yang lainnya, melainkan keduanya setara dalam nilai, meskipun nilai masing-masing berasal dari jenis yang berbeda. Sunnatullah telah menjadikan laki-laki dan perempuan berbeda secara natural penciptaannya dan fitrahnya. Hal tersebut dimaksudkan apabila keduanya bertemu, masing-masing akan berusaha keras untuk bersatu dengan lawan jenisnya, untuk saling melengkapi dan demi mencapai kebahagiaan serta kesempurnaan percampuran tersebut.[10]

Perempuan meskipun secara umum memiliki kesamaan fisik dan psikologis, namun sebagai  individu, tentunya terdapat perbedaan sifat dan karakter  antara satu dengan yang lainnya. Kita tidak menafikan temuan-temuan ilmu psikologi Barat tentang tipe-tipe keperibadian, gaya belajar, dan lain-lain. Pengenalan terhadap sifat, minat dan bakat akan membuat seorang perempuan lebih fokus dalam memilih bidang-bidang yang ingin dipelajarinya. Waktu hidup manusia sangat terbatas, sehingga perlu prioritas dalam menuntut ilmu yang paling bermanfaat untuk dipelajari. Namun demikian, tentunya diharapkan para psikolog Islam dapat menemukan teori-teori kepribadian yang sesuai dengan Islamic worldview.

Problem internal lainnya, banyak perempuan tidak  mengetahui peran-peran apa yang cocok bagi dirinya, yang sesuai dengan fitrah perempuan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Problem ini terkait dengan dua problem sebelumya, yaitu kurangnya kontemplasi dan berpikir untuk mengenali hakikat dan tujuan hidup, serta karakter dan sifat diri. Banyak perempuan terlibat dalam aktivitas publik, semata-mata untuk menunjukkan eksistensi diri atau terbawa cara pandang feminis yang mengatakan bahwa wanita harus berkontribusi secara ekonomi demi kemajuan sebuah bangsa. Ada juga yang sekedar ikut-ikutan, tidak tahu kemana dan dimana ia harus menyalurkan potensinya. Profesi ibu rumah tangga akhirnya ditinggalkan demi mengejar status sosial di masyarakat.

Kita temukan juga  fenomena wanita yang memilih diam di rumah karena beranggapan Islam melarang perempuan untuk berperan dalam kegiatan publik, padahal sejarah peradaban Islam mencatat berbagai peran perempuan dalam aktivitas publik, terutama dalam bidang keilmuan. Sebagai contoh, Hafiz Ibn Najjaar, memiliki 400 guru perempuan, Hafiz Ibn ‘Asakir menarasikan hadits dari 80 perempuan, Hafiz Abu Thair al-Silafi mempelajari hadits dari 10 orang guru perempuan, dan Imam Ibn Taymiyah menerima hadits dari sejumlah ulama perempuan, dan masih banyak lagi.[11] Jadi kenyataan pada saat ini, ada perempuan yang berlebih-lebihan dan memaknai kebebasan secara kebablasan, namun ada juga yang terlalu ekstrim dan menutup diri dari peradaban karena penafsiran terhadap wahyu yang sempit.

 

  1. Faktor Eksternal / lingkungan

Faktor lingkungan fisik dan sosial, berperan banyak mempengaruhi lemahnya tradisi keilmuan di kalangan perempuan pada masa sekarang. Faktor-faktor fisik dan sosial, mencakup  filsafat dan sistem pendidikan yang masih berkiblat kepada pendidikan sekuler-Barat, kebijakan pemerintah yang tidak mendukung budaya ilmu, merupakan faktor primer dari tenggelamnya tradisi keilmuan Islam secara umum yang juga berdampak kepada kaum perempuan. Selain itu, beberapa faktor yang menyebabkan krisis keilmuan adalah :

  1. Lemahnya kepemimpinan laki-laki. Saat ini, banyak lelaki muslim kurang memiliki pemahaman tentang konsep keluarga dalam Islam, sehingga  perempuan dan anak-anak banyak yang menjadi korban dari ketidakharmonisan rumah tangga. Padahal kewajiban utama suami adalah mendidik keluarga dalam meniti jalan ilmu dan membimbing mereka agar selamat dari fitnah dunia. Tidak bisa dinafikan, salah satu penyebab feminisme begitu mudah diterima oleh kalangan muslimah, disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan  laki-laki karena mereka tidak lagi menjadi representasi dari keindahan ajaran Islam.
  2. Lingkungan fisik yang kurang mendukung perempuan untuk menuntut ilmu. Sebagai contoh, buruknya sarana transportasi umum yang menyebabkan sulitnya para perempuan untuk beraktivitas secara efektif dan aman dari ancaman kejahatan seksual. Meskipun saat ini banyak pilihan belajar online dari rumah, namun serbuan entertainment juga membuat perempuan mudah teralihkan dan tidak fokus dalam menuntut ilmu. Padahal  salah satu kunci keberhasilan dalam belajar menurut ulama  adalah “free yourself from worldly distraction.”
  3. Kurangnya otoritas keilmuan yang memahami permasalahan perempuan, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Hal ini menimbulkan banyak orang yang kurang berilmu namun menjadi otoritas, terutama dalam permasalahan fikih. Munculnya penulis-penulis yang sekedar “writer” dan bukan “author” –yaitu yang menulis dengan otoritas– sehingga banyak perempuan menuntut  “ilmu” pada orang-orang yang kurang kompeten baik secara ilmu maupun adab. Padahal menurut al-Attas, ilmu Islam dan  Islamic worldview  harus berdasarkan pada otoritas yang sebenar dan bukan yang palsu.[12]
  4. Kurangnya referensi tentang tokoh-tokoh intelektual muslimah di masa lalu yang bisa menjadi teladan bagi perempuan masa kini.  Salah satu strategi feminis liberal dalam mengkampanyekan ideologinya adalah dengan  menampilkan  ikon-ikon perempuan modern yang dikesankan sebagai perempuan cerdas, cantik, modis, bebas dan mandiri. Mereka berusaha mempengaruhi kaum muslimah untuk menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai idola dan mengikuti gaya hidup mereka yang jauh dari nilai-nilai agama. Oleh karena itu, umat Islam perlu  memperkenalkan dan mensosialisasikan biografi para ulama perempuan untuk membangkitkan semangat para muslimah dalam menuntut ilmu, terutama ilmu agama.
  5. Kurangnya perhatian terhadap upaya pembersihan jiwa di kalangan komunitas muslimah yang menyebabkan  munculnya penyakit hati seperti iri dan dengki, kurang bersyukur, tidak sabar dan lain lain. Penyakit hati tersebut akhirnya menjadi penyebab utama dari perpecahan di kalangan umat termasuk muslimah. Menurut Wan Abdullah, dalam tradisi intelektual Islam, ada dua pendekatan utama dalam menghadapi problem kejiwaan; pertama berdasarkan ajaran Islam dan pendekatan kedua mengikuti tradisi asing. Pendekatan pertama dapat ditemukan dalam berbagai tradisi keilmuan Islam, terutama kalam, fikih dan tasawuf. [13]  Kurangnya pengkajian terhadap kondisi jiwa tersebut disebabkan oleh penolakan  sebagian masyarakat muslim terhadap cabang  ilmu tentang ihsan, tazkia atau tasawuf.  Akibatnya, banyak  perempuan di zaman ini,  saling berlomba menampakan “kesalehan fisik”  namun  lupa untuk mengasah jiwa agar senantiasa ikhlas. Sejak dulu para ulama Islam menaruh perhatian khusus kepada ilmu makrifat ini karena keutamaannya yang tinggi. Ibnu Atha’illah berkata, “Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.”[14]

Sedangkan Imam al Ghazali telah membagi ilmu menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah ilmu yang sudah jelas kebenarannya, termasuk di dalamnya adalah ilmu agama Islam. Ilmu ini dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebijaksanaan dalam berpikir. Sifat manusia sebagai insan yang paling mulia terletak pada kerja akal. Hal inilah yang menjadikan manusia sebagai khilafah, pengemban amanah di muka bumi untuk memakmurkannnya. Kedua,  ilmu dinilai berdasarkan  kemanfaatan bagi manusia secara umum di dunia maupun di akhirat. Namun kita harus meninggalkan ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat. Manusia mulia bukan karena jasad fisiknya. Kemuliaan manusia terletak pada jiwanya. Maka, ilmu kategori ketiga ini terkait dengan tempat termulia dalam diri manusia, yaitu jiwa. Ilmu yang mengajarkan cara untuk membersihkan hati manusia dari kotoran dan kemaksiatan, membimbing manusia untuk mendekatkan manusia pada Allah SWT.  Berilmu adalah sifat hamba Allah ‘Azza wa Jalla, yang akan membawa dirinya masuk ke dalam surga.

Menurut Wan Daud dalam bukunya Budaya Ilmu, penanaman dan penyuburan budaya ilmu yang sempurna memerlukan keikhlasan dan kesungguhan karena upaya tersebut tidaklah mudah dan memerlukan proses yang lama. Membangun budaya ilmu juga memerlukan keberanian karena jika tidak maka timbul kompromi-kompromi terhadap hal yang sebenarnya tidak bisa dikompromikan, atau merubah pondasi dan institusi yang sebenarnya tidak boleh diubah.[15]  Oleh karena itu, bukan hanya laki-laki, namun kaum perempuan juga memiliki peran  sangat stategis dalam mewujudkan budaya ilmu. Caranya dengan menempa diri untuk menjadi “virtuous person”,  yaitu pribadi yang ikhlas dan sungguh-sungguh serta memiliki keberanian  dalam menempuh jalan ilmu, semata-mata  hanya untuk meraih cinta dan ridho dari Tuhannya, yaitu Rabb Semesta Alam.

REFERENSI

Acikgenc , Alparslan. 1996.  Islamic Science; Towards a Definition, Kuala Lumpur: ISTAC.

Al Husyt, Muhammad Utsman. 2003. Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan : Tinjauan Psikologi, Fisiologi, Sosiologi dan Islam, Jakarta : Cendekia Sentra Muslim.

Al-Attas, Syed M. Naquib, Islam: The Concept of Religion and The Foundation of Ethics  and Morality, Kuala Lumpur : IBFIM, 2013.

Al-Attas, Syed M. Naquib. 2002. Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, Kuala Lumpur : ISTAC.

Al-Ghazali,  Imam.  2011.  Ihya Ulumuddin 1: Ilmu dan Keyakinan, Jakarta : Republika.

Dinar Dewi Kania. 2018. Pemikiran Epistemologi Al-Attas & Schuon. Ponorogo : Unida Gontor Press

Jenkins, Muhammad Al-Mahdi & Abdul Aziz Azimullah. 2016. Positive Islamic Psychology, Kuala Lumpur :  Excellent Ummah Development Association.

Nadwi, Mohammad Akram. 2007.  Al-Muhaddithat : The Women Scholars in Islam, Oxford : Interface Publication.

Wan Abdullah,  Wan Suhaimi. 2015. “The Nature of Man and The Meaning of Happiness : an Obersvation on Some Major Keywords”,  A Companion to The Worldview of Islam : Course Materials for Wise Summer School 2015,  Selangor: Himpunan Keilmuan Muslim.

Wan Daud, Wan Mohd. Nor. 1989. Konsep Ilmu dalam Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.

Wan Daud, Wan Mohd. Nor. 2019. Budaya Ilmu : Makna dan Manifestasi dalam Sejarah Masa Kini. Kuala Lumbur : Casis – Hakim

 

FootNote:

[1] Peneliti Insists & Direktur CGS

[2] Mohammad Akram Nadwi. 2007.  Al-Muhaddithat : The Women Scholars in Islam, Oxford : Interface Publication, hlm. XV

[3] Ibid. hlm. XIV

[4] Struktur ilmu dalam  pandangan alam Islam (Islamic Worldview) dimulai dengan penekanan pada konsep ilmu. Alparslan mengemukakan apabila sejarah intelektual Islam pada masa awal dipelajari secara teliti maka akan terlihat benih dari beberapa ilmu/sains telah tampak sejak masa Rasulullah terutama pada periode ketiga seperti sejarah, hukum, kesusasteraan, grammar, falsafah, dan teologi yang kesemuanya masih pada tahap awal. Pada akhir abad kesatu Hijriah, kebanyakan ilmu telah terakumulasi dalam disiplin-disiplin ilmu tersebut dan berproses untuk menjadi ilmu/sains. Pada proses ini dapat disimpulkan bahwa struktur ilmu telah terbentuk pada Islamic worldview. Lihat Alparslan Acikgenc. 1996.  Islamic Science; Towards a Definition, Kuala Lumpur: ISTAC,  hlm. 76, 80

[5] Menurut Wan Daud, dilihat dari aspek linguistik, kata‘ilm bermakna luas.  Sejak dahulu umat Islam menganggap ‘ilm  (ilmu)  berarti al-Qur’an; syari’at; sunnah, Islam, iman; ilmu spiritual (‘ilm al-ladunni), hikmah dan ma’rifah, atau sering disebut juga sebagai cahaya (nūr); pikiran (fikrah), sains (khususnya ‘ilm yang jamaknya ‘ulūm), dan pendidikan – yang kesemuanya menghimpun hakikal ilmu. Ilmu dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-‘ilm, al-ma’rifah, dan al-syu’ūr (kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting karena ia merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan adalah al-‘Âlim, al-‘Alîm dan al-‘Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui; tetapi Dia tidak pernah disebut al-‘Ârif atau al-Syâ’ir. Wan Muhammad Nor Wan Daud. 1989. Konsep Ilmu dalam Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, hlm. 65

[6] Muhammad Al-Mahdi Jenkins & Abdul Aziz Azimullah. 2016. Positive Islamic Psychology, Kuala Lumpur :  Excellent Ummah Development Association,

[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf,  hlm. 3

[8] Dinar Dewi Kania. 2018. Pemikiran Epistemologi Al-Attas & Schuon. Ponorogo : Unida Press

[9] Syeikh Hamza Yusuf dalam berbagai lecturenya.

[10] Muhammad Utsman al Husyt. 2003. Perbedaan Laki-Laki dan Perempuan : Tinjauan Psikologi, Fisiologi, Sosiologi dan Islam, Jakarta : Cendekia Sentra Muslim, hlm. 14-15

[11] Mohammad Akram Nadwi, al-Muhaddithah, hlm. XXI dan 141

[12] Al-Attas, S.M. Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur : ISTAC. hlm. 107

[13] Wan Suhaimi Wan Abdullah. 2015. “The Nature of Man and The Meaning of Happiness : an Observation on Some Major Keywords”,  A Companion to The Worldview of Islam : Course Materials for Wise Summer School 2015,  Selangor: Himpunan Keilmuan Muslim. hlm. 42

[14] Ibnu Atha’illah as-Sakandari, Al Hikam : Kitab Rujukan Ilmu Tasawuf Edisi Lengkap 3 Bahasa, Jakarta : Wali Pustaka, 2016.

[15] Wan Mohd Nor Wan Daud. 2019. Budaya Ilmu : Makna dan Manifestasi dalam Sejarah Masa Kini. Kuala Lumbur : Casis – Hakim. hlm. 10-11.

Labelisasi itu Bernama Domestikasi

0

 Oleh: Sarah L. Mantovani S.H., M.P.I[1]

Kala banyak negara di dunia sedang sibuk dengan wabah virus baru yang berasal dari Cina bernama Corona, sejumlah perempuan pada awal Maret lalu sibuk meributkan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, bahkan menjadi salah satu tuntutan dalam perayaan hari perempuan sedunia yang dilaksanakan di Jakarta.

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menilai RUU Ketahanan Keluarga bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sementara itu menurut aktivis perempuan yang juga pendukung hak-hak LGBT, Tunggal Pawestri berpendapat bahwa RUU tersebut memunculkan stigma bahwa perempuan, khususnya para Tenaga Kerja Wanita, tak becus mengurus rumah tangga (hukumonline.com, 04/03/2020).

Belum lagi, justifikasi-justifikasi lain yang mereka kemukakan selama ini terkait perempuan diharuskan mengurus anak dan suami, kemudian berbagai pekerjaan domestik yang selalu diidentikkan dengan kasur, sumur dan dapur membuat perempuan terdiskriminasi.

Dalam RUU Ketahanan Keluarga, Pasal 25 ayat 3 adalah pasal yang paling mendapat banyak sorotan karena berisikan kewajiban yang harus dilaksanakan para istri, yaitu mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, kemudian memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami sesuai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundang-undangan.

Satu-satunya pasal inilah yang akhirnya menuai labelisasi bernama “domestifikasi” dari berbagai kalangan, khususnya Ombudsman. Domestifikasi dianggap merendahkan oleh mereka yang mengaku sebagai aktivis perempuan. Benarkah demikian?.

Domestikasi

Labelisasi bernama domestifikasi sesungguhnya tidak pernah dikenal dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia, khususnya sebelum Indonesia merdeka hingga orde lama. Pada saat itu pun istilah-istilah yang dikenal ialah vrouwen emancipation, suffragettes dan kemadjoean perempoean.

Organisasi Feminis, Istri Sedar, yang terpengaruh organisasi Feminis Sosialis Woman, Social and Political Union (WSPU) di Inggris, dalam koran-korannya bernama Sedar pada tahun 1930-an juga tidak pernah melabeli domestifikasi pada perempuan yang mengasuh anak dan mengurus rumah tangga.

Begitu pula jika mengetikkan kata ini dalam KBBI 2018 sebagai rujukan, jawabannya hanya entri tidak ditemukan. Lain halnya jika mengetikkan kata domestikasi, maka akan muncul yang artinya penjinakkan hewan, hewan yang dirumahkan.

Berbeda halnya dengan kamus merriam webster, domestication atau domestikasi salah satunya diterjemahkan sebagai proses adaptasi seseorang ke dalam kehidupan rumah tangga (domestic life). Kata ini, masih menurut merriam webster, digunakan pertama kali pada tahun 1718.

Merujuk pada KBBI dan merriam webster maka domestikasi dapat dipahami sebagai perempuan yang dirumahkan atau perannya hanya dipersempit pada ranah domestik saja dan tidak punya atau tidak diakui peran publiknya sama sekali.

Domestikasi dalam literatur Barat salah satunya pernah digaungkan oleh mantan Konsultan PBB, Barbara Rogers dalam bukunya the Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies yang diterbitkan Routledge pada tahun 1980 di London.

Kritik yang tajam, diungkapkan Barbara dalam bukunya ini. Diantaranya domestikasi perempuan yang dilakukan lembaga dan program pembangunan internasional, kemudian cara pandang masyarakat Barat dalam menggambarkan perempuan sebagai masyarakat primitif, sampai dominasi laki-laki dalam perencanaan pembangunan sehingga membuat perempuan terdiskriminasi.

Bagaimana dengan perempuan dalam Islam? Perempuan dalam Islam punya kewajiban sama seperti laki-laki, yaitu melaksanakan ibadah, beramar ma’ruf nahyi munkar dan mendakwahkan Islam kepada mereka yang belum memahami. Ajaran Islam pun tidak pernah merendahkan para perempuan yang lebih banyak mengambil peran domestik karena itu tugas yang berpahala dan mulia sekali.

Malah jika suami itu punya kemampuan ekonomi yang lebih, menurut ustadz Ahmad Sarwat Lc., M.A. dalam bukunya Istri Bukan Pembantu, maka ia harus menyediakan khadimah atau pembantu untuk istri yang bertugas membantu segala pekerjaan rumah tangga, namun jika suami belum mampu maka suami berkewajiban pula untuk membantu istrinya.

Walau demikian, perempuan dalam Islam bukan berarti tidak punya peran publik sama sekali. Tersebutlah dalam sejarah, nama-nama Ilmuwan Muslimah diantaranya Syifa’ bint Abdullah Al Quraisyiyah, Guru menulis dan membaca para Shahabiyah termasuk Ummul Mukminin Aisyah, kemudian ada Pustakawan di Negeri Andalus, Lubna Al-Qurthubiyah hingga Ahli Matematika asal Baghdad, Sutayta Al-Mahmali (muslimheritage.com).

Peran mereka dalam ranah publik tidak membuat mereka lupa diri, mereka sangat menjaga batasan-batasan yang telah Allah tetapkan, berhati-hati dan interaksi yang tidak perlu dengan lawan jenis pun mereka hindari, termasuk tidak mengajari kaum laki-laki tanpa adanya hijab sama sekali.

Sayangnya, para perempuan Barat sendiri yang telah membuat stigma domestikasi merupakan bagian dari diskriminasi perempuan. Tentu saja, stigma ini tak terlepas dari trauma perempuan Barat pada perlakuan masyarakat Barat yang sungguh menindas dan merendahkan.

Tidak hanya itu, perempuan yang memilih profesi sebagai ibu rumah tangga dinilai menunjukkan ketidakberdayaan dan oleh karenanya harus diberdayakan dengan diberikan pekerjaan yang membuat perempuan wajib ikut andil dalam pembangunan.

Sehingga tidak heran jika penolakan-penolakan yang diserukan sejumlah perempuan terhadap RUU Ketahanan Keluarga, melihat RUU ini sebagai ancaman, pelemahan dan memperpanjang diskriminasi hak-hak perempuan. Mereka hanya memikirkan perempuan sebagai individu yang harus dipenuhi haknya, bukan sebagai bagian dari makhluk sosial yang berkeluarga.

Keseimbangan

Jika seorang perempuan yang berstatus sebagai ibu dan istri keluar rumah bekerja sama seperti yang dilakukan suaminya dan lebih mementingkan pekerjaan daripada mengurus rumah tangga, apakah akan terjadi keseimbangan dalam keluarga? Apakah akan menghasilkan anak-anak yang bertakwa, beradab serta sehat mental dan fisiknya?.

Menurut data Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) menempati posisi paling pertama sebanyak 504 kasus.

Kemudian posisi kedua ada 325 kasus keluarga dan pengasuhan alternatif atau anak yang orangtuanya bercerai, setelahnya 255 kasus pornografi dan cyber crime. Total ada 1885 kasus pada semester pertama 2018. (detik.com, 23/07/2018).

Pola asuh orangtua dan ketidakseimbangan dalam keluarga menjadi salah satu penyebab yang paling disoroti dari kenakalan anak dan remaja. Faktor terbesar ini tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga negara tetangga seperti Australia.

Australian Institute of Family Studies menyebut pada tahun 2016 ada 61 persen orangtua yang keduanya bekerja (aifs.gov.au). Bahkan di tahun yang sama, satu dari tiga orang tua melaporkan konflik antara pekerjaan dan peran keluarga mereka, di sisi lain mereka juga sulit menyeimbangkan keduanya, demikian menurut penelitian Judith Lumley Center di Universitas La Trobe. (theage.com.au)

Akibatnya, Australia harus menghadapi youth disengagement yang dialami anak-anak dan dewasa muda berusia 12-25 tahun. Ketika faktor keluarga menjadi dampak paling besar untuk mereka, maka mereka yang termasuk youth disengagement ini bisa membuat masalah dalam pendidikan dan kehidupan sosialnya.

Oleh karenanya sangat penting bagi orangtua menciptakan keseimbangan dalam keluarga dan tidak hanya mementingkan karir semata, terutama sekali peran perempuan sebagai ibu karena ia adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya.

Meski perempuan punya kewajiban mengurus rumah tangga pun, saling membantu secara lahir maupun batin antara suami dan istri sangat perlu sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24 ayat 2 RUU Ketahanan Keluarga. Jika pasal ini diimplementasikan dalam kehidupan rumah tangga, maka labelisasi bernama domestikasi hanyalah delusi belaka.

Dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 19 Maret 2020

 

[1] Penulis merupakan Aktivis Yayasan Peduli Sahabat dan seorang Ibu Rumah Tangga

Sekularisasi Nilai-Nilai Keluarga

0

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania[1]

RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang masuk prolegnas pada tahun 2020 ini,  menuai kontroversi. Padahal RUU KK masih dalam tahap awal sehingga wajar apabila masih terdapat beberapa kekurangan. Pembahasan RUU KK tentunya masih terbuka  bagi berbagai masukan konstruktif.  Namun sangat disayangkan,  penolakan terhadap RUU KK  banyak terpengaruh oleh argumen kaum feminis. Feminisme memang  “alergi” terhadap  institusi keluarga, apalagi yang dibangun atas dasar nilai-nilai agama.  Tuduhan terkait domestifikasi perempuan, keluarga tradisional, simbol patriarki,  menjadi kata-kata favorit kelompok feminis ketika menyerang institusi keluarga. Kaum feminis melihat nilai-nilai keluarga “tradisional” dengan penuh kecurigaan. Pasalnya, dalam pandangan feminisme, nilai-nilai keluarga (family values) adalah sebuah upaya sistematis untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki, dan melemahkan kedudukan perempuan dan anak-anak dan merupakan penyebab kekerasan dan eksploitasi seksual dalam keluarga.  Feminisme liberal, radikal, dan sosialis atau marxis menganggap keluarga sebagai wujud diskriminasi terhadap perempuan pada unit terkecil. (Aulasyahied, 2019, pp. 93–94).

Suburnya gerakan feminisme, tak bisa dilepaskan dari agenda sekularisasi nilai-nilai keluarga (family values) di seluruh dunia,  termasuk Indonesia. Sekularisasi menurut Al-Attas, adalah  proses yang terbuka dan berkelanjutan dimana nilai dan worldview secara terus menerus diperbaiki menurut perubahan evolusi sejarah. Sekularisasi membebaskan manusia dari agama dan pengaruh metafisik yang mengontrol logika dan bahasa mereka (Al-Attas, 1993, p. 16). Sekularisasi merupakan ancaman serius bagi peradaban manusia karena telah mendekonstruksi konsep keluarga yang berdimensi spiritual. Selama ribuan tahun, konsep keluarga dibangun berdasarkan ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan, dimana melalui pernikahan tersebut, hubungan seksual mendapatkan legalisasi dari masyarakat, agama ataupun Negara. Konsep tersebut telah dipraktikkan secara universal. Sebagai contoh, dalam penelitian yang dilakukan oleh Shulgina dan Fang untuk melacak konsep keluarga secara linguistik dalam bahasa Cina dan Rusia, ditemukan bahwa terminologi keluarga dalam bahasa Cina terkait erat dengan Konfusionisme, sedangkan dalam Bahasa Rusia mengandung unsur-unsur agama Kristen (Shulgina & Fang, 2014, p. 152).

 Konsep Diverse Family ?

Proses sekularisasi dan permusuhan terhadap agama  secara masif telah mengubah konsep-konsep kunci terkait keluarga seperti konsep seksualitas dan jenis kelamin.  Sekularisasi juga menghasilkan konsep kesetaraan gender dan orientasi seksual  untuk melegitimasi jenis keluarga baru atau “diverse family”,  seperti keluarga homoseksual, keluarga tanpa ikatan pernikahan (cohabitation), dan lain-lain. Sekularisasi nilai-nilai  keluarga pada akhirnya menempatkan keluarga yang berdasarkan nilai-nilai agama dan moralitas, sebagai keluarga tradisional dan kolot. Sedangkan keluarga yang terlepas dari nilai moral dan agama disebut sebagai keluarga modern dan progresif.  Dampak sekularisasi nilai-nilai keluarga kemudian diikuti dengan sekularisasi hukum dan produk kebijakan publik.

Hukum keluarga saat ini menurut Voegeli telah mengalami individualisasi akibat proses sekularisasi. Di Negara Barat seperti Jerman, Undang-Undang keluarga semakin memberi ruang pada pengaturan pribadi/ individu menggantikan konsep keluarga tradisional yang berakar pada pernikahan (Voegeli, 2005, p. 27). Sedangkan di Indonesia sampai saat ini,  ikatan keluarga dan pernikahan masih  berdasarkan nilai-nilai agama.  Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan secara spesifik yang dimaksud dengan pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, memandang keluarga sebagai ikatan sakral dan berdimensi spiritual.

Keluarga, disebutkan beberapa kali dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR).  Artikel 16 menyebutkan bahwa keluarga adalah unit masyarakat yang bersifat natural dan fundamental yang berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara. Kalangan Pro-Family di Barat berpendapat bahwa artikel 16 tersebut secara jelas mengindikasikan bahwa keluarga hanya dapat dibangun berdasarkan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Namun, konsep keluarga yang selama ini dipahami secara universal oleh masyarakat dunia yang asasnya adalah pernikahan antara laki-laki dengan perempuan, dan bersifat natural serta fundamental  telah digugat oleh kelompok feminis dan para aktivis LGBT.  Artikel 16 UDHR tersebut menurut mereka tidak dimaksudkan untuk membatasi pada pernikahan heteroseksual. Jagger dan Wright berpendapat bahwa  keluarga tidak bersifat universal dan tidak stabil, serta bukan suatu entitas yang esensial (fundamental). Pengelompokan yang dinamakan “keluarga” hanyalah sebuah konstruk sosial dan tidak bersifat natural atau diturunkan secara biologis. Keluarga dan hubungan keluarga (family relations) bersifat fleksibel, cair dan kontingen (Jagger & Wright, 2004, p. 3).  Negara-negara Barat akhirnya satu per satu melegalisasi pernikahan sejenis dan mengakui keberagaman bentuk keluarga,  seperti keluarga homoseksual dan keluarga tanpa pernikahan (kumpul kebo).

 

Membendung Sekularisasi Nilai

Sebenarnya, perlawanan terhadap globalisasi dan sekularisasi nilai-nilai keluarga telah datang dari kelompok Kristen di Barat. Setelah Konferensi PBB tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo pada tahun 1994, berbagai organisasi Kristen bersatu untuk memerangi “agenda liberal global” yang disebarluaskan oleh “feminis radikal,” “humanis sekuler,” “globalis,” dan “sosialis” di konferensi PBB. Para anggota Christian Right menganggap kaum feminis dan homoseksual telah memasuki aliansi yang fundamental dengan keberhasilan mereka memasukan terminologi gender ke dalam dokumen PBB. Usaha tersebut bertujuan untuk menggantikan terminologi jenis kelamin biologis dengan lima jenis gender yang dikonstruksikan secara sosial, yaitu perempuan, laki-laki, gay, lesbi, dan transgender. Gender telah menjadi kata sandi bagi hak-hak homoseksual. Kelompok feminis beserta homoseksual telah menjadi penyokong utama dari “budaya kematian” yang mendukung perceraian, pengendalian kelahiran, aborsi, homoseksualitas, dan eutanasia (Hodgson, 2014, p. 167).

Perjuangan menolak sekularisasi nilai-nilai keluarga juga dilakukan oleh umat Islam.  Salah satu organisasi Islam yang kritis terhadap agenda sekularisasi adalah International Committee for Women and Child yang menerbitkan buku berjudul “Pandangan Kritis Syariah terhadap CEDAW”.  Buku tersebut merupakan  hasil Forum Group Discussion (FGD) 17 orang tokoh dan ulama Islam dunia.  CEDAW memang merupakan salah satu instrumen internasional yang dijadikan acuan bagi proyek liberalisasi perempuan dan keluarga. Walaupun ada beberapa isu dalam CEDAW yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, seperti hak pendidikan dan pekerjaan, namun permasalahan mendasar dari konvensi ini adalah; (1) Falsafah Barat berada di balik Konvensi dan pandangan umm mengenai manusia dan alam semesta yang termuat dalam konvensi; (2) konsep tunggal tentang kehidupan yang dimasukan, bahkan diwajibkan atas semua umat dan bangsa; (3) definisi dan istilah-istilah yang dipergunakan (ICWC, 2012, p. 21).

 

Keluarga Sekuler Vs Keluarga Islami

Namun, tidak  sedikit kalangan umat Islam yang justru terjebak oleh propaganda feminisme  dan ikut-ikutan mempromosikan agenda sekularisasi nilai-nilai keluarga. Padahal nilai-nilai keluarga dalam Islam tentunya berbeda dengan keluarga sekuler.  Bagi keluarga sekuler, nilai utama sebagai pengikat sebuah masyarakat adalah faktor ekonomi. Oleh karena itu,  keluarga dalam masyarakat sekuler telah terjebak pemahaman materialistik  dan menafikan  aspek spiritual yang bersumber dari agama. Keberhasilan laki-laki dan perempuan disetarakan menggunakan indikator-indikator yang bersifat materialistis. Peran-peran domestik yang tidak menghasilkan secara finansial dianggap sebagai peran marginal, kepemimpinan  keluarga pun jadi “rebutan” karena dianggap sebuah “privilege”.

Sejatinya, nilai-nilai keluarga Islam diikat oleh cita-cita ruhaniah, yaitu berlomba-lomba menggapai cinta dan rahmat Allah swt.  Syaikh Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa Allah swt mengatur  laki-laki dan perempuan  secara bersama-sama pada satu jalan kewajiban yang mencakup keuniversalan dalam pembebanan syariat bagi hamba-Nya (2005, p. 18).   Kelompok yang menuduh bahwa dalil-dalil dalam teks al- Qur’an maupun Hadits itu bias gender, biasanya disebabkan karena pemahaman yang parsial atau tanpa perangkat keilmuan dan wawasan yang menyeluruh. Sebab jika dipahami secara holistik, maka  dalil yang tampak misoginis,  justru mengandung unsur-unsur keadilan dan pemuliaan terhadap kaum perempuan (Aulasyahied 2019, pp. 93–94). Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban  untuk mencegah sekularisasi nilai-nilai keluarga dengan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. Jika tidak, sekularisasi nilai akan  menyebabkan berbagai permasalahan sosial di masyarakat dan mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang memusuhi institusi keluarga- terutama  keluarga yang berdasarkan nilai-nilai agama.

Dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 19 Maret 2020

 

[1] Penulis adalah Direktur CGS & peneliti INSISTS

 

Samara

0

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi[1]

Penganiayaan dan bahkan pembunuhan di dalam rumah tangga sudah jamak terjadi.  Istri membunuh suami dan sebaliknya, orang tua membunuh anaknya dan sebaliknya adalah kasus dan peristiwa sering terjadi. Orang kemudian membenci pernikahan, menggugat struktur rumah tangga dan bahkan merasa menemukan sebabnya yaitu gara-gara dominasi laki-laki atau suami.

Solusinya fatalistis. Karena di dalam tumah tangga terjadi kekerasan maka rumah tangganya yang dibuang. Tidak terbayang jika logika ini ditrapkan pada ekonomi. Jika ilmu ekonomi tidak bisa mensejahterakan masyarakat maka ilmu ekonominya yang dibuang.  Logika ini nampaknya terjadi di tengah-tengah masyarakat Barat. Daripada menikah dan cerai lebih baik hidup bersama tanpa nikah; ada yang memilih menikah tapi tidak mau mempunyai anak. Akhir-akhir ini ada “kreasi” baru yaitu menikah tanpa hubungan suami istri, tapi dengan berhubungan sesama jenis.

Islam mengajarkan suatu sistim pernikahan yang sehat untuk menghindarkan manusia dari kondisi-kondisi yang merusak seperti tersebut diatas. Dalam al-Qur’an (al-Rum 12) dijelaskan bahwa pernikahan adalah untuk hidup bersama dengan jiwa kebersamaan (sakinah). Tapi bersama bukan tanpa aturan dan aturan juga bukan tanpa otoritas. Otoritas diserahkan kepada suami dan suami akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya pada Allah di hari akhir (hadith).

Bagi Ismail R al-Faruqi dalam karyanya Tawhid struktur ini bukanlah diskriminasi atau degradasi. Keduanya dikaruniai kelebihan fisik dan psikis masing-masing yang tidak saling bertentangan. Bagi suami maupun istri yang tidak cerdas akan sulit memahami hal ini. Maka status suami terhadap istri bukan penguasa tapi penanggung jawab (ra’iy). Tanggung jawab memberi nafkah (nafaqah) materi dan non materi (QS al-Nisa 4 dan 24).  Kewajiban suami memberi makan dan pakaian pada istri dengan baik (QS al-Baqarah 233).

Jika suami sudah mampu membangun kebersamaan, Allah akan menciptakan rasa cinta kasih (ja’ala bainakum mawaddatan) diantara keduanya. Cinta akan menghasilkan kesanggupan berkorban. Cinta membuahkan rasa saling mengerti. Cinta adalah menghapus kebencian. Cinta adalah saling percaya. Cinta adalah keyakinan dalam diri.

Cinta tercermin dalam kehalusan budi dan kesantunan perilaku. Nabi mengakui bahwa “Aku adalah orang yang paling lembut dan santun terhadap keluarga” (hadidth).  Nabi juga mengajarkan “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap istri. (Riwayat at-Tirmidzi dari ‘Aisyah)

Jika suami istri hidup bersama dengan rukun (sakinah) dan saling mencintai dalam bahtera rumah tangga, maka cinta itu akan mendatangkan Rahmat atau kasih sayang dari Allah.

Masalahnya ketika Muslim gagal membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah mereka berpaling kepada sistim feminism dan kesetaraan gender. Mereka terprovokasi oleh pertanyaan feminist apakah sistim keluarga “tradisional” itu masih relevan untuk zaman sekarang?

Muslim tidak sadar bahwa arti institusi keluarga telah mereka sekulerkan. Sosiolog Amerika William F Ogbum menganggap keluarga hanya sekedar tempat pelampiasan seks dan melanjutkan keturunan. Pitirn A Sorokin bahkan dengan vulgar menyatakan bahwa keluarga adalah “a mere overnight parking place mainly for sex relationship”. Akhirnya rumah tangga tidak lagi sakral, suami tidak perlu dihormati istri dan sebaliknya. Bahkan kata “hormat menghormat” tidak boleh wujud dalam rumah tangga. Menikah tidak lagi memiliki dua hubungan vertikal (mithāq ghalīdan) dan horizontal.

Bahasa yang mereka selalu gunakan adalah kesetaraan. Bagi Randal Colin kelurga ideal adalah yang bebas dari sistim patriarki. Hubungan suami istri harus horizontah tidak hirarkis. Sebelum itu John Stuart Mill, sudah menyarankan agar wanita bebas dari kerja-kerja domestik. Lebih miris lagi timbul tuntutan dari feminis radikal agar kepuasan seks laki tidak lagi bergantung pada wanita dan sebaliknya. Muncullah sistim baru menikah tidak lagi antara laki-laki dan wanita. Itulah gay (homo) dan lesbianisme.

Jika mereka mempertanyakan relevansi keluarga Islam, sebenarnya mereka lupa bertanya apakah konsep kesetaraan gender dalam rumah tangga juga relevan dengan esensi kemanusiaan? Ajaran mana yang lebih memanusiakan wanita dan menghormati laki-laki? Apalah tujuan hidup berumah tangga berdasarkan kesetaraan itu? Siapakah yang bertanggung jawab atas kebaikan dan kebobrokan rumah tangga? Apakah sudah terbukti bahwa kesetaraan menjamin kebersamaan (sakinah)?

Jika sistim kesetaraan gender di Barat ditrapkan pada keluarga Muslim banyak hal yang perlu dipertanyakan. Dalam proses perkawinan siapa yang harus melamar siapa dan memberi mahar? Dalam rumah tangga siapa yang melindungi siapa? Siapa yang memberi nafkah siapa? Jika anak-anak laki-laki menjadi suami dan wanita menjadi istri siapa yang tanggung jawab pada orang tua? Dari kedua orang tua mana yang lebih diperhatikan oleh anak-anak? Walhasil, kesetaraan gender tidak menjanjikan struktur rumah tangga alternatif yang bisa menjadi pilihan umat Islam.

Setelah kita memahami tantangan diatas maka benarlah firman Allah bahwa “Sesungguhnya (dalam bahtera rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmat) itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS al-Rum 21). Artinya, hidup berislam dengan kendaraan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (samara) perlu akal sehat, pikiran jernih dan cerdas, hati yang ikhlāṣ dan iman yang kuat.

Dimuat dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam Republika hari Kamis, 19 Maret 2020

[1] Penulis merupakan Direktur INSISTS

RUU KK: Mengapa Banyak Yang Panik

0

Oleh: Dr. Adian Husaini[1]

Akhir-akhir ini, muncul banyak berita yang menolak Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU KK). Ini contohnya: “RUU KK Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan yang Sistematis”. (www.republika.co.id, 26 Feb 2020); “Komnas Perempuan: RUU Ketahanan Keluarga Seret Perempuan ke Ranah Domestik”.  (www.liputan6.com, 22 Feb 2020). Ada lagi judul berita: “Wakil Ketua MPR Minta RUU Ketahanan Keluarga Dicabut dari Prolegnas”. (www.hukumonline.com, 4 Maret 2020).

Berita-berita itu mengindikasikan adanya kepanikan dalam menyikapi RUU KK. Senin (24/2/2020), sejumlah kelompok bernama “Aliansi GERAK Perempuan” melakukan aksi tolak RUU KK di DPR. Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan, “RUU ini bermaksud mengembalikan perempuan ke dalam peran-peran domestik dengan beban tanggung jawab pengurusan rumah tangga ke tangan perempuan sebagai istri,” kata Citra.

Katanya lagi, RUU KK dianggap melanggengkan ketidakadilan gender. “RUU ini hendak menjiplak Orde Baru di mana negara mengisolasi perempuan di ruang domestik sebagaimana ideologi ibuisme, menempatkan perempuan sebagai pelayan suami, anak, keluarga, masyarakat, dan negara,” ujarnya.

Fobia keluarga?

Begitulah kepanikan beberapa orang tentang RUU KK.  Tentu, keberatan terhadap RUU KK perlu disikapi dengan adil dan bijaksana. Jika kritiknya baik, patut diterima. Jika tidak baik, perlu dijelaskan dengan bijak dan sabar.

Salah satu yang dipersoalkan adalah Pasal 25 ayat (3) RUU KK yang menyebutkan: “Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain: a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. menjaga keutuhan keluarga; serta c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berbagai berita tentang respon terhadap RUU KK tersebut memunculkan rasa keheranan. Mengapa pasal 25 (3) RUU KK — yang begitu indah – ditolak begitu keras?  Bahkan, sampai ada yang menuduh RUU KK itu akan melanggengkan ketidakadilan gender.  Ada yang berteriak: “RUU ini hendak menjiplak Orde Baru di mana negara mengisolasi perempuan di ruang domestik sebagaimana ideologi ibuisme, menempatkan perempuan sebagai pelayan suami, anak, keluarga, masyarakat, dan negara.”

Protes semacam itu sangatlah aneh! Kepanikan itu mengindikasikan adanya penyakit “fobia-keluarga”!  Padahal, bagi bangsa Indonesia, adalah suatu hal yang wajar jika perempuan berperan sebagai ibu, mengatur keluarga dengan baik, memenuhi hak-hak suami dan anak-anaknya! Apa yang salah dengan pasal itu?

Begitu banyak perempuan berbangga diri dan bahagia menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga, menjadi mitra yang harmonis bagi suaminya, dan pendidik bagi anak-anaknya.  Menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan rendahan yang hina. Itu bukan bentuk isolasi perempuan. Mengecam posisi ibu – sampai dikatakan sebagai idelogi ibuisme – bukanlah ucapan dan tindakan yang baik. Apalagi dilakukan oleh perempuan!

Kebencian!

Mengapa muncul kepanikan yang begitu hebat terhadap RUU KK? Itu bisa dipahami dari akar paham Kesetaraan Gender! Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Membiarkan Berbeda? (Bandung: Mizan, 1999), menjelaskan, bahwa ide Kesetaraan Gender bersumber pada ideologi Marxis, yang menganggap perempuan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas.

Paradigma Marxisme melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan. Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri.

Perspektif Marxisme inilah yang melihat laki-laki dalam nuansa kecurigaan. Para penganut paham ini di kalangan muslim telah banyak melakukan upaya penafsiran ulang terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang dianggap tidak sejalan dengan ide Kesetaran Gender. Menurut para pendukung ide ini, banyak ajaran agama yang selama ini ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki, sehingga merugikan perempuan.

Pola pikir fobia-keluarga itu berakar dari paham sekulerisme, yang membuang dimensi Ilahiyah dan ukhrawiyah dalam memahami konsep hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Oleh kaum sekuler, pekerjaan ”melayani suami” dianggap sebagai pekerjaan hina dan satu bentuk penindasan laki-laki atas perempuan.

Padahal, dalam perspektif Islam, aktivitas istri melayani suaminya adalah ibadah. Begitu juga kasih sayang suami pada istrinya. Amal baik, dapat balasan di akhirat. Orang mukmin akan bahagia menjalankan ibadah. Ia yakin akan pahala dan ridha Allah SWT.

Tapi, jika orang  sudah salah pikir dan kebencian memuncak, maka rasionalitas memudar. Sebagai contoh, berangkat dari kebencian dan pemberontakan terhadap laki-laki, tahun 2004, Pusat Studi Wanita satu Universitas di Yogyakarta, menerbitkan buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah.

Sampul belakang buku itu mencantumkan ungkapan berikut: “Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki: sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik patriakhisme dunia hingga saat ini.”

Buku ini menggugat berbagai bentuk pembedaan laki-laki dan perempuan sebagaimana yang selama ini diatur oleh hukum Islam.       Peran ibu untuk menyusui dan mengasuh anak-anaknya ditolak keras: ”Seorang Ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati  itu dapat dilakukan oleh seorang Bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum dan menjaga keselamatan keluarga.” (hlm. 42-43).

Tentu, banyak orang berpikir, bayi manusia lebih baik disusui ibunya sendiri, daripada menyusu pada sapi atau pada botol!

Yang jelas, kasus RUU KK ini telah membuka arena perjuangan untuk meraih keridhaan Allah SWT dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin di bumi Nusantara.  Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 7 Maret 2020).

Sumber: https://adianhusaini.id/detailpost/ruu-kk-mengapa-banyak-yang-panik

[1] Guru Pesantren Attaqwa Depok

Masih Seputar RUU P-KS dan ‘Ancaman Keluarga’

0

OlehAyu Arba Zaman [1]

Setelah pada periode lalu (2014-2019) DPR RI resmi memutuskan untuk tidak mengesahkan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masih harus tetap dibahas. Hal ini dikarenakan DPR RI periode baru (2019-2024) resmi telah menetapkan RUU P-KS menjadi Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2020. Pertanyaan-pertanyaan kemudian bermunculan, berkaitan dengan alasan mengapa DPR kembali menetapkan RUU tersebut menjadi Prolegnas setelah sebelumnya terjadi penolakan dan kritik dari masyarakat.

Materialisme dalam Relasi Kuasa/Relasi Gender

Naskah Akademik RUU P-KS menjelaskan bahwa teori hukum yang digunakan ialah feminist legal theory  yang merupakan kerangka kerja hukum yang berperspektif perempuan. Dari paradigma yang digunakan tersebut, selanjutnya, yang perlu diperhatikan di dalam RUU P-KS yaitu perumusan definisi yang merepresentasikan cara pandang atau paradigma individu atau kelompok dalam melihat realitas yang mengelilinginya—dalam hal ini kekerasan seksual yang beragam—sebagai sebuah fenomena yang perlu direspon. Kekerasan Seksual didefinisikan sebagai;

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Dalam definsi disebutkan bahwa sebab-sebab tubuh, hasrat seksual dan fungsi reproduksi diperlakukan secara paksa atau di luar kehendak individu ialah relasi kuasa dan/atau relasi gender. Masuknya frasa relasi kuasa atau relasi gender tersebut berangkat dari hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Penggagas RUU membaca bahwa penyebab terjadinya kekerasan seksual, khususnya pada perempuan, bukan perkara nafsu dan seks belaka—yang dianggap sering mengkambinghitamkan korban dengan alasan situasi dan kondisi korban yang mengundang terjadinya kekerasan—melainkan adanya keinginan pelaku untuk mendominasi atau menguasai korban.

Perempuan yang terlibat dalam praktik pelacuran, mengalami incest akibat sempitnya kondisi rumah dipandang sebagai korban kekerasan negara yang berkuasa dan mendukung akumulasi kapital korporasi yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemiskinan perempuan. Bentuk lain yang dinilai sebagai suatu bentuk penguasaan kelompok/individu terhadap perempuan yang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah tindak kekerasan seksual ialah misalnya Kawin Cina Buta yang terjadi di Provinsi Aceh, Kawin Lily di Nusa Tenggara Timur. Semuanya itu terjadi—menurut definisi Kekerasan Seksual dalam RUU P-KS—karena adanya relasi kuasa/relasi gender.

Nalar demikian berangkat dari pemikiran materialisme Engels yang menyimpulkan bahwa dunia ini bekerja karena suatu konstruksi sistematis yang membentuknya. Ia bersifat relatif dan akan terus berubah. Sejak runtuhnya rezim  mother-right gens  yang memakmurkan perempuan melalui garis keturunan ibu dalam tradisi kawin Punaluan, rezim laki-laki kini berbalik menguasai karena sebuah evolusi dalam sistem perkawinan. Selanjutnya, kesimpulan Engels tersebut dianalisis Marx dengan menggunakan teori relasi internal Hegel yang kemudian membuat Marx melihat esensi dari suatu entitas selalu mengkondisikan dengan relasi-relasinya. Di dalam relasi-relasi tersebut akan terbentuk pola berdasarkan kepemilikan satu kepada yang lainnya. Maka akan selalu ada subjek yang memiliki objek serta pembagian kerja di antara keduanya.

Dalam konteks RUU P-KS, esensi perempuan dikondisikan relasinya dengan laki-laki sebagai entitas yang memiliki interaksi dengannya dalam tatanan sosial. Melihat latar belakang yang diceritakan Engels dan analisis Marx, berbaliknya kekuasaan perempuan kepada laki-laki yang mana kontruksi sistem budaya berdiri sebagai terdakwa di antara keduanya, meneguhkan berbagai opini selanjutnya kepada pemikir dan gerakan-gerakan yang kemudian lahir, yakni penempatan perempuan dan laki-laki sebagai oposisi biner; subjek-objek, ordinasi-sub ordinasi, pemimpin-hamba, superior-inferior, aktif-pasif, publik-privat. Demikian konsekuensi yang dihasilkan jika pisau materialisme Marx digunakan dalam melihat fenomena yang di dalamnya terdapat perbedaan, ia akan dinilai sebagai ketimpangan dan ketidaksetaraan.

Ancaman Institusi Pernikahan dan Keluarga

Ide di atas kemudian terafirmasi di dalam RUU P-KS dengan masuknya frasa relasi kuasa dan relasi gender di mana di dalamnya sudah tentu menyinggung tentang peran laki-laki dan perempuan berkenaan dengan hubungan keduanya, serta sebuah konsekuensi diperluasnya makna perkosaan di dalam RUU. Hal ini akan membentuk tatanan baru dalam kehidupan masyarakat.

Selanjutnya, pernikahan—di mana ia merupakan manifestasi bentuk relasi laki-laki dan perempuan yang sah secara hukum agama dan hukum negara, secara implikatif ikut terseret dan dimaknai sebagai institusi yang dianggap menjadi sumber kekerasan. Konsep pernikahan yang telah mapan akan dibongkar. Hal demikian telah kita kenali dengan munculnya istilah marital rape atau perkosaan dalam pernikahan.

Konsep rape yang utamanya didefinisikan sebagai kejahatan karena bertentangan dengan kehendak individu, ditarik ke dalam suatu institusi yang memiliki konsep tersendiri yang telah mapan, yakni pernikahan. Maka dalam hal ini, ada atau tidaknya hak seseorang untuk melakukan seks dengan suami/istrinya, hanya berporos pada kehendak individu suami/istri tersebut terlepas dari status pernikahannya.

Dalam Islam, pernikahan memiliki konsep tentang hak dan kewajiban berkenaan dengan hubungan seks suami dan istri, di mana keduanya itu saling berkelindan. Hak diri dibatasi kewajiban diri atas pasangan, kewajiban diri dipenuhi untuk hak pasangan. Suami/istri memiliki hak atas seks karena pernikahan menghalalkan keduanya. Namun demikian, hak itu dibatasi dengan kewajiban yang juga harus dipenuhi, yakni suami atau istri diharamkan meminta haknya dengan cara yang tidak makruf seperti melakukan hubungan seks dengan memukul (masokisme), bukan pada tempatnya (oral, sodomi), dan pada saat istri nifas atau haid. Dalam konsep ini, kehendak individu tidak semata-mata dijadikan poros. Kewajiban suami melayani karena ada hak istri di dalamnya, begitupun sebaliknya. Oleh karenanya, umpamanya terjadi keengganan yang tidak syar’i dari salah satunya untuk memenuhi kewajibannya, hal itu tidak menghilangkan hak atas seks dari salah satunya. Dalam pembacaan RUU P-KS—di mana karakteristik RUU ini bersifat kuratif, konsep pernikahan yang bersifat preventif di atas kecil kemungkinan memperoleh tempat untuk dipertimbangkan, oleh karenanya muncullah istilah marital rape tersebuthal ini karena fenomena yang terjadi dibaca secara materialistis ala Marx; relasi kuasalah yang menciptakan kejahatan.

Padahal hakikatnya, kejahatan terjadi karena dua faktor, yaitu dari internal manusia; nafsu, dan eksternal; godaan iblis. Oleh karenanya ia bisa terjadi kepada manusia manapun, tidak mengenal jenis kelamin, peran, ataupun kekuasaan yang diempunya. Mereka yang tidak dapat mengendalikan nafsunya akan melakukan perbuatan dzalim (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya), tindak pemerkosaan adalah salah satu di antaranya. Dan keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Perlindungan yang diperlukanpun tidak hanya bersifat kuratif melainkan preventif.

 

 

Ketahanan Keluarga dalam Islam

Ibnu Katsir mengutip sebuah hadits shahih dari Jabir dalam Kitab Shahih Muslim, dikatakan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil perempuan dari orang tuanya untuk dinikahi, berarti dia telah melakukan perjanjian atas nama Allah sebagaimana Dia telah menghalalkannya dengan kalimat Allah.

Berkenaan hak dan kewajiban suami dan istri seperti yang telah dibahas di atas, hal tersebut tidak beralasan hanya semata berbalas materi dari apa yang telah diberikan antara keduanya, melainkan ada sebuah pembingkaian agung, yakni mitsaqan ghalizan. Oleh karenanya, segala bentuk pemberian hak terhadap pasangan, dan pelaksanaan kewajiban untuk pasangan adalah untuk sesuatu yang besar, berlepas dari segala bentuk penghambaan kepada materi; beribadah kepada Rabb.

Materialisme Marx yang juga telah kita bahas, tidak akan mampu mencapai aspek metafisis itu karena mengukur relasi manusia dengan manusia lainnya hanya terbatas pada apa yang zahir di antara keduanya, yang kemudian menciptakan kompetisi yang juga materialistis, duniawi dan bersifat sementara di antara keduanya. Sedangkan Allah menilai peran laki-laki dan perempuan di dalam hubungan antara keduanya berdasarkan bagaimana keduanya berlomba dalam kebaikan dan bertakwa. Oleh karenanya, dalam konteks pernikahan dan kaitannya dengan membangun keluarga, takwa dengan memahami hak dan kewajiban serta peran antara suami maupun istri adalah wajib hukumnya. Sebab terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah terkomposisi oleh relasi yang baik, kerjasama bukan semata sama-sama kerja. Inilah konsep yang mengenalkan pernikahan dan keluarga tidak hanya sebatas canda dan tangis karena salah satu darinya menyakiti, bukan pula yang hanya mengenalkan kemesraan dan cekcok karena satu di antaranya tidak memperoleh akses publik. Sebuah konsep yang tiada bisa dicari dalam tesis-tesis Marx yang fenomenal itu; Barakah. Wallahu a’lam bisshawab.*

 

Daftar Pustaka

  1. Naskah Akademik RUU P-KS
  2. Andrew Halpin. 2004. Definition in the Criminal Law. USA and Canada: Hart Publishing
  3. Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
  4. Magdaleneid, Mitos dan Fakta Pemerkosaan.
  5. Stevi Jackson. 2009. Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
  6. Rosemarie Putnam Tong. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra
  7. Ratna Batara Munti. 2005. Demokrasi Keintiman: Seksualitas Di Era Global. Yogyakarta: LKiS
  8. Michael Foucault. Disiplin Tubuh
  9. Michael Foucault. 2000. Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
  10. Mark Vernon. Post-Skriptum “Aku Bukanlah Aku”: Foucault, Asketisisme Kristen, dan “Jalan Keluar” dari Seksualitas dalam Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wacana Terpilih Foucault. 1999. Yogyakarta: Jalasutra
  11. Thisisgender. Marital Rape.
  12. Kania, dkk. Delusi Kesetaraan Gender. Jakarta: Yayasan AILA Indonesia
  13. Megawangi. Membiarkan Berbeda. Bandung: Penerbit Mizan
  14. Muslih. Bangunan Wacana Gender. Ponorogo: CIOS Gontor
  15. Salim A. Fillah. Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: Pro U-Media

 

 

Sumber: https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2020/02/10/177774/masih-seputar-ruu-p-ks-dan-ancaman-keluarga.html

[1] Peneliti Centre for Gender Studies, Divisi Kajian dan Hukum AILA Indonesia, Alumni Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati dan Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor.

Kemana Arah RUU P-KS?

0

Oleh: Meyrinda Rahmawaty Hilipito, S.H, M.H.[1]
Email: mr.hilipito@gmail.com

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU P-KS telah mengalami pro-kontra yang cukup panjang. Misalnya terkait judul, banyak kalangan mengusulkan mengganti terma “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual”. Pro-kontra ini disebabkan oleh kegagalan para pengusung RUU P-KS dalam menyajikan sebuah RUU bernafas Pancasila dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. RUU P-KS juga dianggap kurang selaras bahkan tumpang tindih dengan KUHP. Belum lagi definisi kekerasan seksual dalam RUU P-KS yang multi-tafsir dan bermasalah. Betapa tidak, dari definisi tersebut bukan hanya problem normatif yang menyeruak, tapi ada problem ideologis sehingga tidak heran muncul berbagai penolakan di seluruh wilayah Indonesia.

Dengan teks yang begitu panjang, pemahaman definisi kekerasan seksual justru menjadi lebih sulit dipahami. Kekerasan seksual adalah “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”(Pasal 1 angka 1 RUU P-KS).

Problem Normatif-Ideologis

Sejumlah problem normatif mulai terbaca di bagian awal definisi. Sebab, ditemukan kata-kata yang ambigu, berkenaan dengan unsur-unsur tindakan kekerasan seksual. Buktinya, kata “merendahkan”, “menghina”. Dua kata yang sebenarnya memiliki arti yang sama. Menghina bisa dimaknai merendahkan, begitu pun sebaliknya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007). Entah apa maksud disandingkannya dua kata tersebut secara bersamaan. Penggunaannya malah terkesan mubazir dan menimbulkan miskonsepsi.  Hal yang justru tidak sejalan dengan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang dimandatkan Pasal 5 huruf f UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan menggunakan rumusan tersebut, perbuatan merendahkan, menghina terhadap tubuh, hasrat seksual, fungsi reproduksi seolah bisa diartikan sesuka hati, tanpa ukuran-ukuran yang jelas.

Belum lagi dengan norma yang tumpang tindih. Indikasinya ada pada frasa “perbuatan lainnya” yang jika dicermati sebenarnya bertabrakan dengan Pasal 11 tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual. Intinya, penggunaan frasa tersebut dapat menyebabkan pemaknaan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah diatur secara limitatif dalam Pasal 11 menjadi luas, tanpa batas. Sebab, tidak ada interpretasi yang jelas mengenai perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan lainnya, sehingga sifatnya menjadi sangat subjektif. Apapun bisa digolongkan sebagai tindakan kekerasan seksual. Celakanya, dalam Pasal 11, perilaku-perilaku seksual yang dilarang dan diancam dengan pidana banyak mengandung subtansi yang kabur. Misal, aborsi secara paksa yang jika dimaknai sebaliknya bisa dianggap legal. Padahal, aborsi dalam keadaan terpaksa maupun tidak yang bukan didasari pertimbangan medis merupakan kejahatan sebagaimana yang diatur UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Rumusan demikian tentu akan menyebabkan kekacauan norma, bukan hanya terhadap pasal itu sendiri namun terhadap pasal lain dalam undang-undang yang sama ataupun ketentuan lain dalam undang-undang yang berbeda. Dampaknya pun akan dirasakan pada tataran implementasi, dalam proses penegakan hukum. Sebagai aturan yang akan diberlakukan secara khusus atau lex specialis, semestinya definisi RUU P-KS harus jelas dan tegas, memenuhi asas lex scripta, lex certa, dan lex stricta.

Persoalan selanjutnya semakin fatal. Karena disinilah akar masalah ideologis muncul dalam RUU ini. Pemicunya adalah frasa “hasrat seksual”. Kata-kata yang seolah menjadi sumber legitimasi atas segala macam penyimpangan perilaku seksual seperti perzinahan, pelacuran, termasuk disorientasi hasrat seksual LGBT. Bukan asumsi apalagi mimpi. Terkait poin terakhir misalnya, saat ini hegemoni LGBT untuk diakui orientasi seksualnya melalui hukum dan kebijakan suatu negara semakin menguat, bahkan menjadi tren yang mendunia, yang berlindung di balik isu hak asasi manusia.

India menjadi contoh negara kesekian yang baru-baru ini melalui putusan Mahkamah Agung pada akhirnya melegalkan LGBT, meski sebelumnya hubungan sesama jenis dinyatakan sebagai perbuatan ilegal bahkan diancam pidana sebagaimana yang dinyatakan Pasal 377  Undang-undang Hukum Pidana India.“Whoever voluntarily has carnal intercourse against the order of nature with any man, woman or animal, shall be punished with imprisonment for life, or with imprisonment of either description for term which may extend to ten years, and shall also be liable to fine.”

Demikian pula Amerika Serikat yang telah lebih dulu mengesahkan perkawinan homoseksual berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Padahal mulanya, perkawinan sejenis dilarang. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah perkawinan yang diakui negara menurut Defense of Marriage Act. “The word ‘marriage’ means only a legal union between one man and one woman as husband and wife, and the word ‘spouse’ refers only to a person of the opposite sex who is a husband or a wife.”

India dan Amerika memang dikenal sebagai negara sekuler. Tetapi, itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengatur LGBT dengan aturan hukumnya, walaupun ketentuan yang melarang praktik homoseksual akhirnya runtuh atas nama hak asasi manusia. Tentu, ini alarm bagi Indonesia yang hukum positifnya tidak secara tegas, melarang atau membolehkan perilaku LGBT. Sekalipun pernikahan sejenis belum dimungkinan terjadi dengan adanya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi nilai ajaran agama, adat, tradisi dan nilai-nilai lainnya sebagai living law mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat, namun celah hukum masih saja terbuka.

Bisa jadi, frasa hasrat seksual yang abu-abu menjadi kans bagi LGBT agar hak dan kebebasan pribadinya diakui, kendati tidak ditemukan satu kata yang mengabsahkannya. Karena, jika dicermati, kata-kata tersebut justru memberi ruang interprerasi, yang dapat dimaknai dan tidak terbatas pada hasrat heteroseksual saja, tetapi termasuk hasrat homoseksual. Apalagi, dalam RUU ini perilaku homoseksual tidak dinyatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual.

Sebuah anomali yang nyata. Entah sengaja atau tidak, nampaknya hal itu bertalian erat dengan konsep kekerasan seksual yang dalam definisi RUU ini hanya mensyaratkan unsur “pemaksaan”. Jadi, bukan merupakan kekerasan seksual jika dilakukan secara sukarela. Padahal, umumnya, hubungan sesama jenis dilandasi atas dasar suka sama suka, tentu selain perzinahan ataupun abrosi ilegal karena kehendak pribadi. Sekilas sebagai perbandingan, dalam Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia khususnya Pasal 377A, Pasal 377B dan Pasal 377C, selain unsur paksaan, sukarela atau persetujuan juga diadopsi sebagai unsur utama dalam tindak pidana persetubuhan, aturan yang juga berlaku bagi pelaku hubungan sesama jenis. Sebaliknya, di Indonesia, persoalan semakin pelik ketika perilaku tersebut digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime. Alasannya, karena dilakukan atas kemauan sendiri, yang tidak menimbulkan korban atau kerugian bagi orang lain sehingga sulit untuk dipidanakan.

Pandangan demikian jelas sangat keliru. Secara ideologis-filosofis tertolak dengan Pancasila yang mengedepankan nilai-nilai agama sebagaimana mandat sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Lagipula, dalam pandangan agama-agama yang diakui di Indonesia, setiap perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, melawan nilai-nilai kemanusiaan dan menyalahi fitrah manusia bukan saja dilarang namun dilaknat. Dalam Islam, homoseksual dan sejenisnya digolongkan sebagai perbuatan yang melampaui batas atau fahisyah. Perbuatan yang termasuk dosa besar dan sanksinya sangat berat. Karena, tidak hanya merugikan orang lain maupun masyarakat, tetapi justru merusak dan mencelakakan pelakunya.

Tidak sedikit fakta yang mengungkap, perilaku LGBT yang berujung pada gangguan kesehatan fisik berupa penyakit HIV/AIDS, penyakit kelamin lainnya, maupun kesehatan jiwa. Begitupula yang dialami oleh pelaku penyimpangan seksual lainnya. Inilah bentuk kezaliman dan kejahatan manusia terhadap dirinya sebagai individu. Karena itu, seseorang tidak boleh dengan dalih apapun merugikan dirinya sendiri. Inilah prinsip yang ditanamkan Islam sebagaimana yang ditegaskan Al-Quran, “dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 195).  Keberadaan nilai-nilai seperti ini tentu diharapkan dapat mewarnai ketentuan dalam RUU P-KS.

Klimaks permasalalahan ideologis RUU P-KS kian diperkeruh dengan munculnya gagasan “relasi kuasa atau relasi gender”, tanpa pemaknaan yang jelas, sehingga kata-kata tersebut dapat dimaknai perempuanlah yang senantiasa menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual, sementara laki-laki menjadi pelaku. Dikatakan demikian, karena berangkat dari pandangan relasi gender itu sendiri yang selama ini berkembang, bahwa dalam hubungan hirarkis antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung dirugikan adalah perempuan. (Reeves, Hazel & Sally Baden, 2000). Tentu, tak terkecuali dalam masalah kekerasan seksual.

Logika yang sangat naif. Karena jika mau jujur, tanpa bermaksud mengabaikan fakta bahwa kekerasan seksual yang dialami perempuan menunjukan intesitas yang meningkat, dalam perspektif tindak pidana, kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan oleh siapapun dan dimanapun tanpa harus distigmakan terhadap jenis kelamin tertentu. Lagipula, jika menggunakan pendekatan tersebut seakan mengabaikan fenomena kejahatan perkosaan terhadap laki-laki atau male rape. Perkosaan yang pelaku dan korbannya bukan hanya laki-laki melainkan pelakunya adalah wanita dan korbannya laki-laki.

Di Amerika Serikat, kasus Cierra Ross telah memicu kesadaran masyarakat bahwa perempuan pun bisa bertindak sebagai pelaku kejahatan seksual. Ia didakwa dalam tindak pidana perkosaan dan perampokan bersenjata terhadap korbannya­­ yang notabene adalah seorang laki-laki. (https://chicago.cbslocal.com, 2013). Tentu hal ini belum termasuk kejahatan seksual yang melibatkan pelaku sesama jenis yang berkelamin perempuan.

Jadi, sangat tidak tepat jika relasi kuasa atau relasi gender dinyatakan sebagai satu-satunya penyebab kekerasan seksual. Kalaupun ada maksud baik, harusnya faktor lain pun dapat dipertimbangkan dalam definisi RUU ini. Namun bila sebaliknya, kokoh dengan konsepsi tersebut, maka jelas ini adalah paradigma feminis. Dalam tradisi perjuangan feminis, khususnya teori hukum feminis atau feminist legal theory, gender adalah harga mati yang harus dijadikan standar semata wayang dalam pembentukan hukum dan kebijakan.

Mereka lazimnya akan bersikap apriori dan konfrontatif terhadap tatanan atau struktur tertentu yang identik dengan sistem patriarki, apalagi, jika tatanan itu dijadikan dasar acuan dalam peraturan perundang-undangan. Karena, dalam alam pikir feminis, sistem patriarki yang dijustifikasi oleh nilai-nilai sosial, budaya, dan agama justru melanggengkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Secara ekstrim mereka bahkan meyakini hukum negara yang bersumber dari hukum-hukum agama terutama Islam adalah pangkal masalah kekerasan seksual perempuan, dengan aturannya seperti kewajiban busana ataupun poligami.

Penutup

Meskipun ada wacana “definisi kekerasan seksual” ini  akan dihilangkan dari draft RUU P-KS, namun sayangnya unsur-unsur pidana maupun bentuk-bentuk kekerasan seksual yang muncul di Pasal 11 tidak mengalami perubahan dan tetap dibiarkan sesuai tafsiran definisi kekerasan seksual yang bermasalah itu. Perlu diingat, kedudukan sebuah definisi sangat vital, bisa diibaratkan jantung bagi undang-undang. Jika sejak awal perumusannya keliru, subtansi undang-undang pun bisa keliru. Hal ini pernah terjadi ketika seluruh materi UU No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi karena definisinya berjiwa korporasi, menghantam prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut UUD 1945. Oleh karena itu, jika usulan berbagai pihak terkait definisi ini tidak diakomodasi oleh pihak pengusung RUU P-KS, maka tentunya tidak sulit memahami kemana arah RUU P-KS hendak dibawa.

Artikel ini dimuat di Majalah Konstitusi No.151 Edisi September 2019

(link https://mkri.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah_161_1.%20Edisi%20September%202019%20.pdf)

 

[1] Peneliti The Center for Gender Studies (CGS), Anggota Bidang Kajian dan Hukum Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia

 

Islam Dan Marital Rape: Antara Kesalahfahaman Dan Kebenarfahaman

0

oleh Fajri M. Muhammadin, S.H., LL.M., Ph.D (Cand)*

PENDAHULUAN

Salah satu perdebatan pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) adalah terkait Marital Rape. Dalam perdebatan tersebut ada pihak pendukung konsep marital rape yang berhujjah dengan hukum Islam. Khususnya, dikatakan bahwa Islam mengakui larangan terhadap marital rape karena jelas sekali ada kewajiban mempergauli pasangan (suami atau istri) dengan baik dan haram hukumnya menyakiti suami atau istri. Dengan argumen tersebut, muncul fenomena menarik. Sebagian kalangan “Islamis” yang secara umum menolak RUU PKS justru turut mendukung kriminalisasi marital rape.

Akan tetapi, penulis menemukan bahwa pendapat seperti ini adalah akibat kesalahfahaman tentang konsep marital rape itu sendiri. Sebelumnya, penulis pernah menjelaskan masalah ini dalam tulisan yang telah disederhanakan untuk mempermudah pembaca.[1] Kali ini penulis mencoba untuk menguraikan dengan sedikit lebih mendalam agar menjadi jelas penarikan kesimpulan yang dimuat dalam tulisan singkat sebelumnya.

Sesungguhnya, pendapat yang lebih tepat terkait marital rape dan Islam adalah sebagai berikut:

Islam melarang menyetubuhi suami/istri dengan paksaan kekerasan, tapi tidak mengenal konsep “marital rape”.

Kesalahfahaman yang timbul biasanya adalah mengira bahwa marital rape sama dengan “menyetubuhi suami/istri dengan paksaan kekerasan”. Padahal terdapat perbedaan sangat fundamental yang membuat keduanya saling menyelisihi, sedangkan masih banyak yang belum memahaminya. Ada empat poin yang perlu difahami untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan fundamental ini.

 POIN 1: HUBUNGAN RAPE, SEXUAL AUTONOMY, DAN PERNIKAHAN

Pertama, harus difahami secara utuh dulu apa maksud “marital rape”. Karena sebuah term mewakili sebuah konsep yang khusus. Salah satu yang menjadi masalah adalah orang awam sering menilai keliru sebuah istilah dan memberi makna sendiri, misalnya kekeliruan mengira bahwa “Genosida” bermakna “pembantaian massal” padahal konsep legalnya bukan itu.[2]

Karena itu, kita harus memahami terlebih dahulu konsep hukum “rape” (perkosaan) karena banyak yang mengira bahwa ia bermakna melakukan seks dengan kekerasan fisik maupun psikis. Hal tersebut memang termasuk dalam perkosaan, akan tetapi ada poin fundamental yang tersirat dalam pemahaman tersebut dan akan menjadi tersurat apabila kita gali konsepnya lebih dalam.

Simpelnya: ‘perkosaan’ adalah seks di luar kehendak korban.

Jen Rubenfeld mengatakan bahwa ini adalah pandangan yang diterima secara umum.[3] Mahkamah Pidana Internasional untuk Yugoslavia (ICTY) menjelaskan bahwa, sesuai hukum yang diterima secara internasional, salah satu unsur dari perkosaan adalah tidak adanya persetujuan atau kesukarelaan korban.[4]

Sedangkan Marital Rape  merupakan rape (sebagaimana dipaparkan di atas) pada pelaku dan korban yang terikat pernikahan. Sehingga, seorang suami  yang menyetubuhi istri (atau istri menyetubuhi suami) di luar kehendak si istri atau suami itu dapat terkena hukuman pidana.

Kekerasan fisik dan psikis tentu merupakan unsur yang sering dibahas, apalagi dalam banyak kasus perkosaan melibatkan penganiayaan. Apabila korban perkosaan sampai cedera atau mengalami gangguan psikis, tentu hukumannya bisa bertambah berat. Akan tetapi, nampaknya kekerasan fisik dan psikis sekedar menjadi contoh-contoh dari unsur yang utama: dilanggarnya kehendak.

Karena itu, secara konseptual difahami bahwa ‘rape’ adalah kejahatan terhadap sexual autonomy (‘otonomi seksual’).[5] Sehingga untuk memahami ‘rape’ ini kita tidak bisa lepas dari memahami sexual autonomy.

Sexual autonomy sangat sederhana: “tiap orang berhak memilih mau berhubungan seksual dengan siapa dan dalam keadaan apapun”.[6] Maknanya, dalam keadaan apapun seseorang memiliki hak seksual mutlak atas dirinya sendiri dan tidak dapat diintervensi orang lain.

Bila difahami lebih lanjut akan kita sadari hal ini bermakna bahwa ikatan pernikahan juga termasuk dalam kategori “berhak memilih… dalam keadaan apapun.” Karena itu, difahami juga bahwa atas alasan sexual autonomy, pasangan suami-istri pada dasarnya tidak memiliki hak seksual atas pasangannya kecuali apabila pasangannya itu menginginkannya.[7] Inilah dasar pemahaman mengapa pelaku marital rape diberi hukuman pidana.

POIN 2: NIKAH, HALAL HARAMNYA SEKS, DAN SEXUAL AUTONOMY

Dalam Islam hukum asal hubungan seksual adalah haram kecuali bila sesuatu membuatnya halal, yaitu akad nikah.[8] Hubungan seksual yang haram disebut dengan zina sebagaimana dalam Firman Allah, Surah Al-Mu’minun ayat 5-7:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. ” (QS. Al Mu’minun: 5-7)

Dalam Islam sangat jelas bahwa suami memiliki hak bersetubuh atas istrinya, dan istrinya itu tidak boleh menolak kecuali ada halangan (haid, sakit, kecapekan, dan lain-lain). Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah dalam Sahih Bukhari dan Muslim:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.”[9]

Akan tetapi perlu dicatat bahwa Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 228:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.

Dari akad nikah (artinya, diperjanjikan oleh kedua belah pihak), lahirlah hak atas hubungan seks yang bersama-sama dimiliki oleh suami maupun istri. Hak ini sifatnya adalah satu ke atas lainnya, sehingga memunculkan kewajiban. Maka darinya jumhur ulama mengatakan bahwa wajib juga hukumnya suami untuk berhubungan seks dengan istrinya.[10] Dengan demikian, suami dan istri memiliki hak seksual atas satu sama lain, bukannya mutlak hak individu belaka.

Oleh karena itu dapat dikatakan dengan jelas bahwa konsep sexual autonomy adalah konsep bathil. Selain karena ia membebaskan perzinaan dilakukan asalkan suka sama suka, ia juga menolak/menafikan adanya hak seksual pasangan menikah atas satu dengan lainnya.

Tapi apakah lantas boleh memaksakan hubungan seksual apalagi sampai menganiaya?

POIN 3: IGHTISHAAB DAN PERKOSAAN

Dalam Islam dikenal istilah al-ightishab dan inilah yang mirip perkosaan sebagaimana dipahami pada umumnya. Para fuqaha menyebutnya sebagai Al-Ikrah ‘ala Zina (pemaksaan untuk berzina).[11]

Terkait al-ightishab, kuncinya ada pada dua term tadi: Al-Ikrah (pemaksaan) dan Zina (persetubuhan yang haram). Karena zina-nya, al-ightishab prinsipnya dikenai hukuman hudud.[12] Sedangkan karena Al-Ikrah-nya, korbannya tidak kena hukuman karena dipaksa, sedangkan pelakunya bisa dipaksa membayar kompensasi senilai mahar (menurut sebagian ulama) dan bahkan tergantung situasinya bisa dikenai hukuman tambahan sampai hukuman bunuh.[13]

Penjelasan singkat mengenai al-ightishab memberikan tiga poin penting yang harus diingat:

Pertama, pemaksaan untuk berzina adalah sesuatu yang sangat dilarang dalam Islam dan merupakan pidana yang hukumannya sangat berat.

Kedua, ‘pemaksaan’ pada al-ightisab bukanlah sebagaimana dalam rape. Ia bukan berakar pada konsep sexual autonomy (yang tidak dikenal dalam Islam). Justru, ‘pemaksaan’ di sini terkait dengan (a) pengecualian korban dari hudud, dan (b) tergantung caranya, cara dapat memperberat hukuman kepada pelaku di samping hukuman yang sudah ada.

Ketiga, zina menjadi unsur penting (di samping Al-Ikrah). Sedangkan hubungan seksual antara suami dan istri tidaklah dapat dikategorikan sebagai zina.

Dengan demikian, sampai di sini jelas bahwa Islam tidak mengenal marital rape. Term ‘rape’ atau perkosaan tidak masuk akal untuk terjadi dalam konteks hubungan suami istri, sebagaimana anehnya frasa “turun ke atas”.

Tapi apakah berarti Islam membolehkan menganiaya pasangan untuk memaksa berhubungan seks?

POIN 4: MEMILIKI HAK BUKAN BERARTI BOLEH MENGAMBILNYA DENGAN CARA BATHIL 

Secara umum, manusia diperintahkan berbuat segala sesuatunya dengan cara yang sebaik-baiknya. Shaddad ibn Aws meriwayatkan Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih.” (Sahih Muslim)

Selain mewajibkan ihsan pada segala sesuatu, hadits ini menyebut juga bahwa hewan dan pelaku kejahatan pun harus dibunuh dengan cara yang baik.[14] Apatah lagi antara suami dan istri yang seyogyanya saling mencintai dan mengasihi?

Firman Allah dalam Surah Al-Nisa ayat 19:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Maksud dari “bergaullah dengan mereka secara patut” ini mencakup semua hal, perkataan maupun perbuatan hingga pemenuhan hak dan kewajiban.[15] Tentunya ini juga termasuk dalam hubungan seksual yang mana Islam memiliki panduan supaya aktivitasnya bisa joss bagi kedua belah pihak.[16] Karena itu sudah pastilah haram hukumnya untuk melakukan apapun yang buruk, apatah lagi kepada suami atau istri sendiri.

Dalam Islam dikenal nusyuz atau perbuatan durhaka yaitu apabila suami atau istri tidak menjalankan kewajiban menurut syariat atau bahkan menyakiti satu sama lain.[17] Tergantung tingkat keparahan situasinya, bisa saja ini dijadikan dasar untuk menggugat cerai atau bahkan pemidanaan.

Penulis belum berhasil menemukan literatur atau dalil yang khusus membicarakan tentang suami yang memaksa istrinya (atau istri memaksa suami) bersetubuh hingga menganiayanya. Akan tetapi perintah yang umum harus diterapkan secara umum kecuali terdapat dalil yang mengecualikannya.[18] Jelas ada perintah umum berbuat ihsan dan larangan untuk menganiaya, apalagi kepada suami atau istri sendiri, dan tidak nampak ada pengecualian dalam memaksakan hubungan seks.

Memang ada kalanya suami dibolehkan memukul istri ketika terjadi nusyuz, tetapi tentu saja ada ketentuan-ketentuannya. Ia hanya boleh dalam nusyuz, merupakan alternatif terakhir, tidak boleh mengenai bagian-bagian sensitif dan memukulnya tidak boleh menyakitkan.[19] Terkait syarat “tidak boleh menyakitkan”, suami dibenarkan memukul istri hanya jika dua sub-syarat utama terpenuhi sekaligus, pertama yaitu ada nusyuz pada istri dan kedua, pukulan tersebut tidak menyakitkan istri. Sedangkan kalau tidak terpenuhi satu syarat saja, misalnya memukul dengan cara yang menyakitkan meskipun disebabkan istri yang nusyuz, maka suami bisa dikenakan hukuman.[20]

Kalau (misalnya) seorang suami memaksa istri untuk bersetubuh dengan menganiaya, tidak mungkin ia memenuhi standar memukul yang dibolehkan di atas. Pertama, belum tentu ada nusyuz. Kedua, kalaupun ada nusyuz, tapi pastilah ia menyakitkan. Ketiga, pastilah menyakiti organ sensitif (yaitu kemaluan). Sehingga, tidak mungkin seorang suami memaksa istri (atau pun sebaliknya istri memaksa suami) melainkan ia pasti melanggar syariat sebagaimana dijelaskan di atas.

Karena itu, sebagaimana dijelaskan di atas, Islam melarang suami menganiaya istri (atau istri menganiaya suami). Dengan atau tanpa melibatkan tindakan seksual, penganiayaan tersebut adalah bersifat salah.

Akan tetapi, kesalahan di atas tidak ada hubungannya dengan halal atau haramnya hubungan seks tersebut. Islam memisahkan kedua isu itu. Halal atau haramnya hubungan seks tidak terpengaruh oleh halal-haram cara melakukannya. Maksudnya, hubungan seks antara suami istri tidak akan berubah menjadi haram (yaitu jadi zina) serta mertakarena dilakukan dengan cara yang haram.

Dengan demikian, kasus pemaksaan seks dengan kekerasan fisik/psikis antara pasangan menikah ini tidak dikenai hudud zina melainkan dihukum karena penganiayaannya. Di sisi lain, melakukan perbuatan tersebut bila bukan dengan pasangan sahnya akan kena hukuman dobel: karena zina-nya juga karena Al-Ikrah-nya.

Hal ini berbeda dengan konsep marital rape dan sexual autonomy, di mana pemaksaan dan ‘kehalalan seks’ ternyata  berhubungan sebab akibat. Seksnya menjadi ‘haram’ (i.e. tanpa hak) walaupun korban dan pelaku berada dalam ikatan perkawinan. Karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam konsep sexual autonomy hak atas seks adalah mutlak milik individu dan bukan milik orang lain, terlepas status pernikahannya.

KESIMPULAN

 Sebagaimana dijelaskan di atas, seringkali ada keliru mengira bahwa “Islam juga melarang marital rape” karena “Islam melarang suami/istri menganiaya pasangannya secara seksual.” Padahal, itu adalah kesalahan pemahaman. Pemahaman yang benar adalah bahwa “Islam juga melarang marital rape” ternyata tidak sama dengan “Islam melarang suami/istri menganiaya pasangannya secara seksual.”

Telah dijelaskan bahwa “Islam melarang suami/istri menganiaya pasangan secara seksual” tidak berarti afirmasi Islam terhadap konsep marital rape. Marital rape menjadi bertentangan dengan Islam karena ia memiliki kaitan yang tidak bisa dipisahkan dari konsep sexual autonomy. Hal ini berbeda dengan Islam yang memandang bahwa urusan seksual dalam bingkai pernikahan bukanlah semata-mata hak mutlak individu dalam keadaan apapun, melainkan masing-masing pasangan juga memiliki hak atas satu sama lain.

Dalam Islam, paksaan untuk berhubungan seksual baik dari pihak suami atau istri berpotensi jatuh kepada penganiayaan dan bukan perkosaan, karena perkosaan hanya berlaku pada mereka yang tidak memiliki hak terhadap pasangannya. Sedangkan sepasang suami istri menyimpan hak satu sama lain, dalam diri istri tersimpan hak suami, begitupun sebaliknya. Namun perlu diingat, sekedar karena seseorang memiliki hak atas sesuatu (pada diri orang lain), tidaklah bermakna dia boleh mengambilnya dengan cara yang buruk, ini karena Islam begitu menjunjung tinggi ihsan bahkan dalam hal apapun.

*Dosen di Departmen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. dan peneliti The Center for Gender Studies.

[1] Dapat dilihat di tautan berikut ini: Fajri Matahati Muhammadin, “Apakah Islam Mengenal Konsep ‘Marital Rape’?,” UGM Staff Blog, 2019, http://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id/2019/10/13/apakah-islam-mengenal-konsep-marital-rape/.

[2] Fajri Matahati Muhammadin, “GENOSIDA: Istilah Secara Hukum vs ‘Penggunaan Populer,’” 2015, http://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id/2015/04/15/genosida-istilah-secara-hukum-vs-penggunaan-populer/. Lihat juga penjelasan Al-Attas tentang perbedaan makna agama dalam konsep Barat versus Islam (sekaligus penjelasan terminologis, kenapa ‘agama’ pun tidak zahir mudah difahami kecuali mengenal konsep dari Bahasa aslinya): Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), Perenggan 11-13.

[3] Jed Rubenfeld, “The Riddle of Rape-by-Deception and the Myth of Sexual Autonomy,” Yale LJ 122 (2012): 1376.

[4] Prosecutor vs Kunarac et al, Trial Chamber, Case No. IT-96-23, International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia, paragraph 453-456. Mahkamah ini adalah mahkamah pidana internasional ad-hoc, tapi penjelasannya pada poin ini merujuk pada praktek-praktek hukum pidana di dunia.

[5] Ibid, paragraph 457. Lihat juga tulisan Rubenfeld atau tulisan-tulisan lain tentang perkosaan apalagi yang terkait dengan HAM, semua menghubungkannya dengan sexual autonomy.

[6] Terjemahan bebas dari: Rubenfeld, “The Riddle of Rape-by-Deception and the Myth of Sexual Autonomy,” 1379.

[7] Perlu dicatat juga bahwa pemahaman ini juga bermakna bahwa tanpa adanya pernikahan, kehendak untuk melakukan hubungan seks pun tetap dibenarkan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa, menurut konsep sexual autonomy, pernikahan tidak berdampak apapun.

 

[8] Sa‘d bin Nāṣir Al-Shathri, Sharḥ Al-Manẓumatu Al-Sa‘diyah Fî Al-Qawā‘id Al-Fiqhiyyah, 2nd ed. (al-Riyāḍ: Dar Kanuz Ishbiliya, 1426), 81–87. Sebetulnya ada juga perbincangan mengenai raqabah, tapi itu memerlukan diskusi panjang tersendiri dan tidak relevan dalam topik ini.

[9] Muḥammad ibn Ismā‘īl Al-Bukhārī, Sahih Al-Bukhari, vol. 4 (Riyadh: Darussalam, 1997), hadits No. 3237; Muslim ibn al-Ḥajjāj Al-Naysābūrī, Sahih Muslim, vol. 4 (Riyadh: Darussalam, 2007), hadits no.3538.

 

[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, ed. Muḥammad Nāṣiruddīn Al-Albānī (tahqiq and takhrij), vol. 3 (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), 407–8. Menurut Sayyid Sabiq di atas, mazhab Syafi’i adalah yang berbeda posisinya. Tapi ternyata ada juga kitab Mazhab Syafi’I yang menyebutkan hal senada. Lihat: Abu ’Abdillah Muḥammad al-Tihāmī Al-Fāsī, Qurrat Al-‘Uyūn Bi Sharḥ Naẓmi Ibn Yāmūn (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1425), 125–26.

[11] ʿAbd Allāh b. Aḥmad ibn Qudāmah Al-Maqdīsī, Al-Mughni, vol. 9 (Maktabah Al-Qahirah, 1388), 59; Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abi Sahl Al-Sarkhasī, Al-Mabsūṭ Fī Al-Fiqh, vol. 24 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1409), 89. Ulama kontemporer semisal Wahbah Al-Zuhayli menggunakan juga istilah al-wath’u bi al-ikrah atau al-wath’u bi al-ightisab: Wahbah al-Zuḥaylī, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, vol. 7 (Damascus: Dar al-Fikr, 2006), 294. Akan tetapi, inti konsepnya sama saja.

[12] Yaitu rajam bila ia sudah menikah, atau 100 cambuk dan pengasingan bila belum menikah.

[13] Muhammad Saalih Al-Munajjid, “حكم جريمة الاغتصاب ؟,” islamqa.info, accessed October 16, 2019, https://islamqa.info/ar/answers/72338/حكم-جريمة-الاغتصاب.

[14] Yaḥya ibn Sharaf Al-Nawawī, Ṣaḥīḥ Muslim Sharḥ Al-Nawawī, vol. 13 (Beirut: Dār Ihya Al-Turath Al-‘Arabi, 1392), 107; ‘Alī ibn Muwaffaq ibn Al-ʿAṭṭār, Sharḥ Al-Arba‘īn Al-Nawawiyyah (Dār al-Bashā’ir al-Islamiyyah, 1433), 112.

[15] Jalāl al-Dīn Al-Maḥallī and Jalāl al-Dīn Al-Suyūṭī, Tafsīr Al-Jalālayn, ed. Ghazi bin Muhammad ibn Talal (Amman: Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, 2007), 87.

[16] Lihat misalnya: Abu Umar Basyier, Sutra Ungu : Panduan Berhubungan Intim Dalam Perspektif Islam (Rumah Dzikir: Surakarta, 2005); Yasir Qadhi, Like a Garment: Intimacy in Islam (Yasir Qadhi, 2019), https://d1.islamhouse.com/data/en/ih_books/single/en_Like_A_Garment.pdf.

[17] Musthafa Al-Bugha and Musthafa Al-Khin, Al-Fiqh Al-Manhaji, vol. 4 (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), 106; Wahbah al-Zuḥaylī, Tafsīr Al-Munīr, vol. 3 (Damascus: Dar al-Fikr, 2005), 57, 301.

[18] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Media Hidayah, 2008), 58–59; ‘Abd al-Karim Zaydan, Synopsis on the Elucidation of Legal Maxims in Islamic Law, trans. Md. Habibur Rahman and Azman Ismail (Kuala Lumpur: IBFIM, 2015), 25.

[19] Muhammad Saalih Al-Munajjid, “ضرب زوجته فغادرت البيت وذهبت إلى المحاكم الوضعية لتحكم لها بالطلاق,” islamqa.info, accessed October 16, 2019, https://islamqa.info/ar/answers/219574/ضرب-زوجته-فغادرت-البيت-وذهبت-الى-المحاكم-الوضعية-لتحكم-لها-بالطلاق.

[20] Untuk perinciannya dilihat di: “أقوال العلماء في القصاص من ضرب الزوج,” Islamweb.net, 1423, https://www.islamweb.net/ar/fatwa/25387/أقوال-العلماء-في-القصاص-من-ضرب-الزوج.

Pengalaman Ketertindasan dan Anopsia Nalar Gender

0

Oleh: Henri Shalahuddin

ADA dua tulisan yang menarik untuk disimak, pertama: “Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik” oleh Direktur CGS dan Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia; dan yang kedua: “Miskonsepsi (Kesesatan Membaca) tentang Feminisme dan Kekerasan Seksual” oleh komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan,Komnas Perempuan dan mantan Direktur Eksekutif YJP.

Tulisan kedua secara khusus ditujukan untuk menanggapi tulisan pertama. Menariknya adalah kedua tulisan ini dibuat oleh dua penulis yang sama-sama perempuan. Bedanya, tulisan pertama bertujuan mengajak pembaca berpikir kritis dan mewaspadai maksud terselubung dibalik kampanye penghapusan kekerasan seksual (P-KS). Sementara tulisan kedua menguatkan kampanye P-KS dan menafikan adanya muatan ideologi terselubung.

Tulisan kedua yang dibuat komisioner dari Komnas Perempuan, dimulai dengan mengekspos kasus-kasus dan pengalaman ketertindasan perempuan. Dengan cara ini barangkali pembaca akan terbawa emosinya dan menaruh empati. Strategi seperti ini biasa dilakukan feminis yang meyakini jargon: “Personal is Political“. Aksi memompa kemarahan kolektif ini dalam sejarah feminisme, sangat jamak dilakukan elit feminis dengan menyuarakan terus menerus pengalaman ketertindasan perempuan. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa “women are more oppressed“, dan dengan demikian pintu masuk perempuan menuju jalan “kebebasan” kian terbuka lebar.

Gaya-gaya personalisasi dunia perempuan dengan keberagaman permasalahannya sebenarnya sangat beresiko. Sebab membuat kaedah umum dan kebijakan publik berdasarkan kasus parsial bukan saja tidak ilmiah, tapi juga berpotensi mengesampingkan persoalan-persoalan yang terjadi pada perempuan yang berbeda.

Kasta dalam Gerakan Perempuan

“Miskonsepsi Feminisme dan Kekerasan Seksual” adalah fakta “kemarahan” feminis terhadap perempuan yang berbeda, sehingga seolah-olah berhak diperlakukan dalam kasta yang berbeda.Hal ini mengingatkan bagaimana dulunya feminis liberal menyebut perempuan-perempuan non bule dan dunia ketiga dengan stigma rasis, “women of color”.Kelompok wanita kulit hitam di Amerika Serikat yang tergabung dalam “Black Woman Organized for Action” (BWOA), dan “National Black Feminist Organization” (NBFO) bersama perempuan dunia ketiga mengenalkan diri mereka sebagai “the other Others” dan “inappropriated others”. Mereka mengkritik feminisme Barat yang secara naif berbicara mengatasnamakan perempuan dunia ketiga sebagaimana dinyatakan Gayatri Spivak dalam bukunya, In Other World: Essays in Cultural Politic.

Feminisme yang awalnya didirikan melalui gerakan perempuan tertindas, justru menindas dan membeda-bedakan sesama kaum perempuan (rasisme). Marlene LeGates dalam In Their Time, A History of Feminism in Western Society, menyatakan bahwa di antara kesalahan utama feminis adalah menganggap semua perempuan mempunyai karakter, kepentingan dan kepribadian yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap perempuan yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka. Masalah inkonsistensi dan rasisme kerap menjangkiti elit feminis.

Sebagai contoh, ketika Nelly Roussel menyuarakan pendapatnya tentang kesetaraan derajat di antara wanita pada awal abad 20, hampir semua perempuan dari kelas atas dan menengah memiliki budak perempuan. Bahkan secara rasis, Anne Kenney dan rekan-rekan feminisnya di Inggris menganggap superioritas mereka lebih tinggi dibanding perempuan Asia yang mereka pandang sebagai perempuan lemah.

Padahal Anne Kenney dikenal dengan seruannya tentang persamaan perempuan yang tidak memandang latar belakang negara, politik dan kelas. Beberapa feminis yang berlatar belakang seperti Roussel dan Kenney yang merupakan golongan wanita kelas atas, dikenal sebagai penindas wanita.

Frances Ellen Watkins Harper, seorang pembaharu Afrika-Amerika,mengingatkan dari pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih,termasuk setiap wanita kelas pekerja, boleh mendiskriminasikan Anda. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris, gerakan feminis mengembangkan keanggotaan yang relatif heterogen. Meskipun demikian, perempuan yang sadar terhadap pembagian kelas, biasanya tetap memilih untuk tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai feminis. Walaupun pada saat yang sama, mereka juga sama-sama berjuang melawan penindasan gender. Perempuan- perempuan ini menganggap diri mereka sebagai sosialis, dan feminis sering diidentifikasi sebagai musuh utama mereka, karena mereka melihat feminisme mengecilkan perjuangan kelas pekerja melawan kapitalis.

Perlakuan beda kasta dan merendahkan seperti yang diperagakan feminis bule terhadap women of color, juga menimpa peneliti AILA gara-gara mengkritik gagasan feminisme tentang kekerasan berbasis gender. Simak ungkapan yang bernada sarkastik berikut ini:

“… Misal, pantat Anda diremas-remas di dalam KRL, meskipun Anda berpakaian lengkap dan tertutup. Orang yang meremas tubuh Anda melakukan hal tersebut karena merasa tubuh Anda adalah obyek yang pantas untuk diperlakukan demikian. Bahwa tubuh Anda boleh-boleh saja dipegang-pegang. Apakah Anda tidak akan marah diperlakukan demikian?..”

 

Saya hampir tidak percaya jika ungkapan seperti itu ditulis oleh ibu komisioner di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk perempuan yang berbeda pandangan. Padahal dalam tulisannya itu, dia meminta kepada aparat hukum untuk tidak melemparkan pertanyaan-pertanyaan cabul pada korban.

Namun kenapa ungkapan sarkastik-cabul itu dilontarkan kepada peneliti AILA yang juga perempuan? Di sinilah syarat dan ketentuan kasta berlaku. Belum lagi tuduhan kepada peneliti AILA sebagai pihak yang tidak berpikiran terbuka, tidak berpengetahuan luas, tidak pernah melakukan kebaikan apapun untuk kaum perempuan, dan beragam ungkapan merendahkan lainnya.

Namun satu-satunya penggalan pernyataan dari ibu komisioner Komnas Perempuan yang agak ilmiah dan tidak emosional adalah:

“Bagaimana dengan spiritualis feminis seperti Nawal El Sadaawi, Amina Wadud dan Fatima Mernissi yang justru menganggap justru kebebasan perempuan adalah bagaimana mereka dapat bebas mencintai Tuhannya?”

 

Pernyataan ini dimaksud untuk menanggapi tulisan peneliti AILA yang membenarkan apa yang ditulis Yasmin Mogahed dalam bukunya Reclaim Your Heart, bahwa saat feminisme Barat menghapus Tuhan dari gambaran besar maka tidak ada lagi standar yang tersisa bagi kaum perempuan selain standar kaum laki-laki.

Saya katakan agak ilmiah karena ia sudah berusaha menunjukkan bukti bukan memaki. Meskipun bukti tersebut tidak memenuhi standar makna spiritulisme dalam agama yang diyakini oleh ketiga feminis di atas (Islam). Terlebih lagi Amina Wadud Muhsin yang dikenal dengan aksi akrobatnya mengimami shalat di gereja dengan makmum laki-laki dan perempuan bercampur-baur dalam deretan saf yang sama. Apakah ini yang dimaksud ibu komisioner dengan “kebebasan mencintai Tuhannya” meskipun diekspresikan dengan gaya bebas di luar aturan yang digariskan?

Pada Juni 2009, saya pernah berada dalam satu forum bersama Amina. Ternyata ia kurang banyak memahami Islam, bahkan untuk ajaran yang paling mendasar sekalipun, yakni tauhid. Saat itu Amina mempertontonkan adegan “sirkus” terhadap istilah baku dalam Islam. Tauhid menurutnya diartikan bahwa Allah mempersatukan segala sesuatu dalam alam semesta, termasuk mempersatukan antara moslem or not moslem, masculine-feminine, man-woman, homosexual – non homosexual, dst. Di samping itu dia sangat pemarah dalam menanggapi kritikan. Tentunya saya tidak hendak menyamakan Amina dan ibu komisioner.

Politisasi Tubuh di balik RUU P-KS?

Bagi feminis, tubuh perempuan termasuk organ reproduksinya diyakini mempunyai kuasa tawar (bargaining power) untuk membangun tradisi baru dalam kehidupan individu, keluarga dan sosial. Dora Russell, misalnya mengusulkan agar menjadikan tubuh perempuan sebagai alat politik untuk meraih tuntutan hak-hak perempuan. Ide pembebasan tubuh perempuan dalam menikmati kesenangan seksual adalah tema yang ditekankan berulang-ulang untuk memberi kemajuan perempuan ke arah kesetaraan dan kebebasan. Maka tugas penting feminisme modern menurut Russel adalah untuk menerima dan mempropagandakan seks. Dari sinilah muncul ide mempolitisasi tubuh perempuan untuk menguasai dunia.(lihat: The Body and Socialism: Dora Russell in the 1920s).

Shulamith Firestone dalam bukunya: The Dialectic of Sex berpendapat bahwa organ reproduksi membuat perempuan mudah dikontrol laki-laki, dan derajatnya dipandang lebih rendah sepanjang sejarah. Teori biologisme Firestone bagaimana pun telah mengenalkan teori dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui isu-isu tentang seksualitas dan reproduksi.

Solusi feminis untuk melawan hegemoni dan dominasi laki-laki dalam masalah seksual terangkum dalam jargon ”My Body My Rights”. Jargon ini merupakan kampanye global untuk menghentikan kontrol dan kriminalisasi seksualitas dan reproduksi. Tubuh perempuan adalah hak milik perempuan yang tidak boleh diintervensi oleh agama, negara dan laki-laki. Maka perempuan mempunyai kewenangan mutlak untuk mengelola, mengatur dan mengekspresikan tubuhnya sendiri secara bebas dan mandiri. Termasuk hak melakukan aborsi dan hak memilih melakukan atau menolak berhubungan seksual dengan suami atau orang yang dikehendaki.

Maka dari sini dapat dipahami kenapa istilah yang digunakan feminis dalam RUU P-KS adalah “kekerasan seksual”, bukan “kejahatan seksual”? Kekerasan seksual bisa berarti segala aktivitas seksual yang dilakukan terhadap korban atas dasar ketiadaan persetujuan dan kerelaan, atau karena keterpaksaan.

Maka dengan menggunakan istilah “kekerasan seksual” cakupan deliknya semakin luas, termasuk berpotensi memidanakan suami atas delik pemerkosaan terhadap istrinya; atau kepada suami yang selalu membujuk istrinya agar mau melahirkan anak. Juga termasuk tentang kebebasan perempuan melakukan aborsi, dan di sisi lain istilah kekerasan seksual berkecenderungan “melindungi” pegiat penyimpangan seksual, seperti prostitusi, LGBT, dll.

Menggunakan istilah “kejahatan seksual”, tentunya membawa beban kerja yang lebih berat untuk memahamkan masyarakat. Sebab sistem nilai keindonesiaan otomatis akan menolak segala macam delik di atas. Inilah maksud kekuatiran yang timbul di kalangan masyarakat bijak pandai sehingga perlu mewaspadai agenda tersembunyi dari feminis di balik perluasan definisi kekerasan seksual menjadi kekerasan berbasis gender dan keengganan mereka mengganti dengan istilah “kejahatan seksual”.

Penutup

Maraknya kasus kebebasan seksual yang berakibat pada pemerkosaan, kehamilan di luar nikah, fenomena penyimpangan perilaku seksual, dll., adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya menuntut penyelesaian secara arif. Bukan malah dipolitisasi untuk menancapkan ideologi yang berpotensi merusak ketahanan keluarga Indonesia. Segala bentuk kejahatan seksual adalah tindak kemungkaran dan berbasis nafsu, bukan gender. Sebab baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi pelaku atau korban kejahatan seksual. Maka memaksakan solusi hukum yang berangkat dari pandangan hidup (worldview) asing yang kosong dari nilai-nilai spiritualitas dan keindonesiaan merupakan bentuk anopsia nalar gender yang tidak berkeindonesiaan.

*Penikmat Studi Gender dan Pemikiran Islam

Sumber: https://m.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2018/03/04/137005/pengalaman-ketertindasan-dan-anopsia-nalar-gender.html/2

Ontologi Materialisme Dibalik Pemikiran Syahrur

0

Pada 4 September 2019 lalu, tim CGS yang diwakili oleh Rahmatul Husni, berkesempatan untuk mewawancarai Ustadz Imdad, kandidat doktor Universitas Ibn Khaldun, Bogor, yang pernah menulis tugas akhir skripsi S1 mengenai pemikiran Muhammad Syahrur pada tahun 2011. Karya tulisnya itu berupa Studi Kritis terhadap Metodologi Kajian al-Qur’an yang dilakukan Syahrur. Sudut pandang yang digunakan ialah melalui Islamic Worldview dengan mengkaji terlebih dahulu basis ontologis dan epistemologi kajian Syahrur.

Mengenai disertasi yang berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” yang sempat begitu ramai diperbincangkan karena menulai kontroversi, Ustadz Imdad menceritakan bahwa sebenarnya penelitian yang beliau lakukan mengenai pemikiran Syahrur tidak terlalu terkait dengan disertasi yang sedang diperbincangkan. Bagi beliau walaupun isu ini menyangkut karya ilmiah setingkat doktor, namun ini adalah isu yang tidak seharusnya terjadi dalam wacana Islam di Indonesia. Sebab, Syahrur sebagai tokoh yang diangkat dalam disertasi tersebut tidak layak dijadikan rujukan. Sambil mengingat penelitiannya 9 tahun yang lalu, ustadz Imdad mengatakan bahwa kecenderungan pemikiran Syahrur adalah materialis. “Basis ontologi dari pemikiran Syahrur sendiri adalah materialisme historis dan itu mewarnai semua gagasannya baik itu di bidang bahasa, di bidang penafsiran al-Qur’an, dan lain-lain”, jelasnya.

Kenyataan demikian tidak terlalu mengherankan sebab sebagaimana yang dijelaskan secara singkat oleh ustadz Imdad, riwayat pendidikan Syahrur berlatar belakang sarjana teknik di salah satu universitas di Uni Soviet kala itu, dan memperoleh gelar doktornya di Irlandia. Latar belakang pendidikannya ini memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikirannya, hal ini bisa terlihat dari cara berfikir ‘sains klasik’ yang menghegemoni pikiran Syahrur. “Dia (Syahrur) berusaha membaca al-Qur’an itu dengan nalar yang sama dengan ketika dia membicarakan teori teknik yang dia pelajari di kampus” terang Ustadz Imdad. Adapun klaim Syahrur bahwa ia banyak meminjam teori-teori para ulama klasik Islam seperti Abdul Qohir al-Jurjani, Ibn Faris, Tsa’lab, Ibn Jinni dll. menurut Ustadz Imdad hanyalah merupakan ‘kosmetik’ semata dikarenakan pada kenyataannya pemikiran-pemikiran tersebut tidak diterapkan secara konsisten, “Yang secara konsisten dia pegang itu adalah ontologi materialistiknya itu,” ungkapnya.

Bagi beliau, isu mengenai disertasi tersebut menandakan telah terjadi sesuatu yang memang serius dalam Insitusi Pendidikan Tinggi Islam, “Serius, tetapi kita tidak bisa menyelesaikannya secara gegabah” yang kemudian dilanjutkan, “Tentu saja tidak boleh dibiarkan, kita harus mengobati penyakit yang kelihatan, harus direspon dengan menjelaskan milkul yamin yang benar.. dan hal ini sudah dilakukan oleh beberapa teman kita”. Tetapi menurut beliau respon yang lebih urgen sebetulnya adalah dengan bekerja senyap untuk mengembangkan tradisi ilmu Islam.

Ini disebabkan, menurut Ustadz Imdad, yang sedang umat Islam hadapi sekarang ini ialah suatu penyakit dimana kasus mengenai disertasi ini sebenarnya ‘hanya’ salah satu symptom saja. Penyakit utamanya ialah the loss of adab, terutamanya ketidakberadaban kita dalam berilmu.  “Konsekuensi dari kita yang tidak beradab dan tidak adil terhadap tradisi keilmuan kita akan melahirkan satu dari dua kemungkinan; liberalisme atau radikalisme”, ungkapnya. Persoalan mengenai disertasi mahasiswa doktoral Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini hanyalah seperti permukaan gunung es yang akar atau inti masalahnya telah dianalisis oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas. Kekeliruan terhadap ilmu menurut Ustadz Imdad juga akan mengantarkan pada kekeliruan dalam memandang otoritas keilmuan, “Otoritas itu sama sekali tidak diindikasikan bahwa ia ditulis oleh seseorang yang bergelar doktor, profesor, atau bahwa ia ditulis dalam perguruan tinggi yang berlabelkan Islam. Tradisi keilmuan dalam Islam tidak ditentukan oleh itu.”

Beliau juga menjelaskan, “Tradisi keilmuan dalam Islam itu tidak ditentukan oleh itu melainkan ditentukan oleh satu komunitas ilmiah, karena itu ilmu dalam Islam selalu bersifat publik. Dalam tradisi Islam, kita terbiasa mendiskusikan ilmu itu di publik. Dalam tradisi hadis, fikih, dalam tradisi apa saja itu biasa.. terjadi diskusi publik itu hal yang seharusnya terjadi cuman sekarang ini sudah terlalu kompleks ya sehingga yang dibicarakan itu sudah terlalu banyak.”

Terkait momentum ramainya ketika kasus ini diperbincangkan oleh publik bersamaan dengan ‘memanasnya’ isu mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang mana kedua isu ini nampak memiliki hubungan di dalam wilayah kajian gender dan feminisme, Ustadz Imdad menanggapi dengan menekankan bahwa kedua isu ini lagi-lagi harus ditanggapi dengan adil dan beradab. “Ada begitu banyak isu dalam masalah gender ini. Dalam konteks Indonesia khususnya, gerakan feminisme itu sangat tidak relevan, dalam pengetian seperti yang selama ini dikampanyekan oleh sementara feminis” tegasnya, kemudian dilanjutkan, “Bahwa ada sebagian persoalan perempuan di Indonesia itu memang harus kita akui, tapi itu bisa kita selesaikan tidak melalui jalur feminisme, tapi harus melalui jalur tradisi kita sendiri dan itu sebetulnya tugas dari para perempuan”. Ia juga menyatakan bahwa saat-saat seperti ini kita butuh ulama-ulama perempuan yang cemerlang. Beliau menyebut nama Rahmah El-Yunusiyyah sebagai salah satu tokoh yang harus dijadikan contoh, “Itu kita butuh sekali, karena kalau yang berbicara kontra ketesetaraan gender itu laki-laki, itu akan dianggap mentah. Kalau perempuan lebih kredible.” Lanjutnya.

Mengenai wacana pengesahan RUU P-KS, Ustadz Imdad tidak banyak berkomentar, hanya beliau menduga melalui kesan yang muncul bahwa rancangan undang-undang tersebut seperti memuat agenda feminisme, “karena misalnya sampai harus ketika suami meminta istrinya untuk berkumpul, dan tidak mau, itu dianggap sebagai kekerasan, kan misalnya. Itukan jelas tidak sesuai dengan nilai yang diajarkan oleh hadits misalnya, semacam itu kan. Ya itu harus dijawab oleh perempuan sebenarnya dengan berlandaskan pada tradisi keilmuan yang kita miliki, dalam bahasa yang dipahami oleh orang sekarang.” Sebelum ditutup, beliau mengakhiri sesi wawancara ini dengan mengatakan, “kalau kata al-Attas tu yang kita harus lakukan sekarang adalah distatement dari tradisi yang kita punya, menyatakan ulang dengan bahasa yang difahami orang sekarang, yang audible, yang bisa didengar oleh orang sekarang.” Pungkasnya.

Rep. Sakinah
Ed. Rahmatul Husni

 

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now