Home Blog Page 4

Feminisme dan Kontroversialnya

0

Oleh: Daru Nurdianna
Alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) ke-12, Universitas Darussalam Gontor

Akhir-akhir ini, ada sebuah kontroversi, yang dimulai dari poster agenda diskusi film dari Komunitas Feminis Jogja. Komunitas ini membuat agenda bedah film ‘Ragate Anak (2008)’-sebuah film tentang pelacuran di Indonesia- yang diadakan di Toko Buku Gerak Budaya, Condong Catur, Yogjakarta 10 Juli 2019.

Tersebarnya wacana kontroversi ini penting untuk diperhatikan. Karena ia menyebar dan bisa mengotori banyak pikiran pemuda, jika dibiarkan saja.

Dalam poster tersebut tertulis dua orang pembicara, pertama adalah seorang feminis yang menggunakan nama akun @lavia.minora dengan keterangan ‘pelacur’, dan pembicara kedua adalah Elizabeth Sully, seorang aktivis feminis Jogjakarta. Kata ‘pelacur’ sebagai status salah seorang pembicara yang dengan jelas terpampang di poster, menyulut kontroversi dan mengundang banyak kritikan yang akhirnya direvisi oleh pihak Feminis Jogja menjadi:‘peneliti, penulis, pegiat isu perempuan’. Pihak pembicara, yang mengaku dirinya sebagai feminis-panteis memberikan komentar dan pembelaan demikian:

“Sebenarnya saya tidak berkenan, karena bagi saya, semua orang adalah Pelacur. Saya, hingga hari ini masih dengan bangga melacurkan akal, pikiran, tenaga, dan hati saya untuk ilmu pengetahuan. Namun apa boleh buat, lagi-lagi kita, manusia, harus mengiyakan perkataan Imam Ghazali dalam kitabnya “al-Kasyfu wa al-Tabyin”, bahwa dunia adalah tempatnya ketertipuan. Tabik.”

Jika diperhatikan, ada permainan logika yang tidak sehat pada pemaknaan terhadap semantik ‘pelacur’ dan cara penguatan argumen itu dengan dalil ulama besar Imam Ghazali. Uniknya lagi, nama kitabnya disebutkan, seolah mereka khatam dan mewakili seorang intelektualis yang religius dan bersahaja.

Pelacur dari kata dasar ‘lacur’ dalam KBBI bermakna negatif. Ia bermakna malang; celaka; sial; dan buruk akal. Namun dalam pernyataan itu, dianggap sebagai hal yang positif. Adapun ‘pelacur’, bermakna perempuan yang melacur atau wanita tunasusila. Tentu ini perbuatan yang tidak bermoral!. Maka, melacurkan ilmu, akal, pikiran, tenaga, dan hati adalah tindakan yang berkebalikan dari moral dan tujuan yang seharusnya dari konsep akal, pikiran, tenaga dan hati. Dengan demikian, makna pelacuran terhadap ilmu adalah penyelewengan yang terdapat di dalam ilmu pengetahuan.

Kemudian, kesimpulan premisnya tidaklah objektif dan nyambung. Orang-orang yang tertipu itu siapa? Imam al-Ghazali memperingatkan melalui kitabnya mengenai hal-hal yang benar dalam menjalani hidup, bukan yang salah. Terkhusus hal-hal benar yang banyak disalahpahami sehingga menjadikan manusia tertipu. Jadi, siapa yang tertipu sebenarnya?

Bukankah kaum feminis-lah yang tertipu? Mereka tertipu dengan ideologi mereka yang berpusat pada akal manusia (antroposentrisme-humanisme). Tertipu filsafat hidup orang Barat modern. Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan kontroversial yang mereka banggakan. Filsuf-filsuf Barat seperti nabi bagi mereka karena pendapat-pendapatnya sering dijadikan sebagai sandaran.

Mereka (kaum feminis) melihat dunia dari perspektif perempuan yang dalihnya ingin menjadi manusia modern yang maju (sesuai keadaan zaman) dan bebas (freedom). Ideologi mereka pun memiliki relativitas yang tinggi karena bertumpu pada kekuatan akal dan indra saja. Ini yang membuat mereka tidak bisa menerima kebenaran sejati Islam. Tersebab akal itu memiliki kemampuan yang terbatas maka ia harus senantiasa dikawal oleh wahyu (keimanan).

Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, yang memiliki pengalaman studi paskasarjana di Barat, dalam bukunya ‘Liberalisasi Pemikiran Islam’ menjelaskan:

“Asas Peradaban Barat adalah rasionalisme, sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dikotomi, dan humanisme. Perkembangannya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis, bukan pada Agama. Pemikirannya terbuka dan selalu berubah. Maka, makna realitas dan kebenaran hanyalah terbatas pada realitas sosial, kultural, empiris dan melulu bersifat rasional.”

Feminisme: Ideologi yang Tak Pasti

Ideologi Feminisme yang sekarang marak digulirkan dengan nama ‘Kesetaraan Gender’, merupakan ideologi yang tidak objektif dan relatif. Hal ini dikarenakan beberapa sebab.

Pertama, mengenai sejarah dan konsep ideologi feminisme itu sendiri. Gerakan feminis adalah sebuah gerakan sekumpulan aktivis perempuan di Barat yang memiliki tingkat subjektifitas dan relativitas yang tinggi. Ia dilandasi dengan semangat protes dan ketidakpuasan kaum feminis atas keadaan sosial kaum perempuan yang masih belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat Barat saat itu.

Kedua, posisi agama di Barat yang dijadikan pijakan nilai-nilai masyarakat ternyata menimbulkan persoalan karena dipandang tidak adil dalam menempatkan perempuan. Akhirnya, feminisme menghasilkan gerakan perlawanan atas sistem patriarki dalam agama yang merambah ke politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi lalu mengakar dalam sikap, nilai, bahasa dan pemikiran. Dalam urat nadinya, mengalir semangat modernisme-liberalisme.

Ideologi yang tercipta dari konstruksi sosial atas keinginan segelintir kaum ini, tentu akan merepotkan jika dibiarkan. Dr. Hendri merujuk pada Marlene LeGates, dalam ‘In Their Time, A History of Feminism in Western Society (New York & London: Routledge, 2001) menyebutkan bahwa feminisme terlihat sebagai paham yang beragam, tidak tunggal dan senantiasa berkembang. Jadi, seorang feminis memiliki pandangan pribadinya sendiri tentang feminisme.

Suatu paham yang miskin objektifitas namun kental dengan relativitas dan kerancuan ini, mana mungkin mampu menjadikan asas dalam bermasyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni mendekonstruksi tatanan masyarakat.

Dari Kemarahan Subjektif Menjadi Diskursus Publik

Yang perlu diwaspadai dari ideologi feminisme sekarang ini adalah, ia telah berkembang menjadi wacana akademik dan diikuti banyak orang dan bahkan telah melahirkan Rancangan Undang-Undang di negeri ini.

Salah satu fokus gerakannya adalah memperjuangankan kepentingan politik transnasional yang sengaja ingin melegitimasi ideologi mereka dan meminggirkan agama dari kehidupan. Hal ini karena agama dianggap sebagai salah satu hal mendasar yang menghambat perjuangan mereka, terutama Dīn Islam yang memiliki sistem ajaran yang mengatur segala lini kehidupan manusia.

Perjuangan feminis dan aktivis gender melalui jalur tokoh elit politik, sebut saja, jalur perjuangan atas, telah melahirkan beberapa wacana yang disalurkan melalui  Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan sejak 2011 diantaranya: RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender), memprotes RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS).

Ideologi ‘Feminis’ dan ‘Gender’ masyarakat Barat, telah bergulir menjadi wacana akademik sejak 90an. Hal ini membuat ketegangan  kontroversial, terutama di kalangan umat Islam. Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH peneliti INSISTS mengatakan dalam ‘Feminisme & Kesetaraan Gender; Tantangan Wanita Muslimah’ menjelaskan:

“RUU ini dipandang sangat meresahkan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Banyak sekali pasal-pasal kontroversial dan hanya mewakili kepentingan segelintir elit feminis. RUU KKG yang disusun tertanggal 24 Agustus 2011 ini cenderung seksis dan menyimpan semangat dekonstruktif terhadap nilai-nilai Agama dan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, menolak RUU KKG ini bukan berarti membenarkan atau bersikap acuh terhadap fenomena kekerasan yang menimpa perempuan.”

Selain dari wacana elit politik, gagasan kontroversial itu juga mereka sampaikan dengan tulisan yang nampak logis dan menarik di media-media, sehingga membuat anak-anak muda yang sedang mencari jati diri -dan tidak memiliki pemahaman terhadap agamanya- umumnya mudah terpengaruh. Meskipun gaya bicara mereka frontal, namun tulisan komentar dan gagasan mereka mengalir begitu deras.

Dengan dalih pembelaan dan pemberdayaan perempuan yang logis dan ilmiah -merujuk pada filosof-filosof Barat- membuat mereka terlihat keren di mata anak muda. Sebagaimana pernyataan kontroversial akun @lavia.minora yang kita bahas sebelumnya, juga mendapat dukungan dari sebagian kalangan anak muda.

Sebut saja agenda mereka ini sebagai jalur bawah perjuangan. Maksudnya adalah wacana-wacana yang mereka gulirkan di tengah-tengah masyarakat dengan membuat diskusi-diskusi publik yang dipunggawai oleh aktivis feminis lokal. Sebagaimana yang dilakukan komunitas-komunitas feminis di daerah-daerah, termasuk komunitas feminis Jogja yang kita bahas pada awal tulisan.

Kehebohan mereka juga tercatat  dalam aksi-aksi masal mereka di jalan yang membawa poster-poster bertuliskan: ”Bukan baju gue yang porno, tapi otak lo”, juga “My rok mini, my right, foke you” dan, “Aurat gue bukan urusan lo! Stop victim blaming, stop victim pelecehan seksual”.

Teriakan-teriakan itu sama sekali tidak beradab, tidak bermoral dan irasional. Membolak balikkan hukum ‘seenaknya’ mereka sendiri.

Dalih pemberdayaan dan pembelaan terhadap perempuan, tanpa mereka sadari dipenuhi dengan kerancuan dan ironi. Hal ini terlihat dari pertarungan definisi dan posisi mengenai feminisme dari setiap feminis yang biasa terjadi. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan emosional perempuan untuk memiliki kesetaraan dalam kiprahnya di ranah publik, justru sebagai cara pemanfaatan perbudakan kaum perempuan di dunia kerja.

Awalnya memang terlihat ‘wah’ slogan-slogan yang kononnya menentang kontrol ideologi patriarkat dan kapitalisme, namun dalam praktiknya, ternyata tidak ramah juga dengan kaumnya sendiri!

Maka, bagi para Muslimah, jadilah perempuan yang cerdas! Islam adalah hadiah terindah. Masyarakat Muslim tidak pernah mengalami sejarah sebagaimana yang dialami masyarakat Barat. Pun, hukum syariat Islam tentang perempuan memiliki tujuan untuk kemaslahatan dan memuliakan perempuan. Jadi, apakah kalian butuh ideologi feminis ini? Jawabnya adalah tidak perlu.

 

Tulisan ini pernah dimuat di hidayatullah.com

Book Review: “Delusi Kesetaraan Gender: Tinjauan Kritis Konsep Gender”

0

Oleh: Fajri Muhammadin*

Satu hal yang perlu dicamkan sebelum memulai membaca buku ini adalah bahwa “do not judge a book by its cover” adalah sebuah kaidah yang sangat penting. Sangat mungkin dan sangat sering sebuah slogan terdengar begitu indah, tapi maknanya sangat umum sehingga dapat diturunkan menjadi beraneka konsep yang sama-sama memenuhi slogan umum tapi ternyata saling bertabrakan.

“Kesetaraan gender” pun adalah istilah yang terdengar indah bak juru selamat apabila dihadapkan dengan penindasan masyarakat Eropa yang bahkan memperdebatkan apakah perempuan termasuk manusia atau bukan. Akan tetapi, perbandingan tersebut menjadi serasa seperti false dilemma apabila kita menyelam lebih lanjut terhadap apa sejatinya makna dan konsep “kesetaraan gender”.

Karena itu, ada dua konsekuensi:

  1. Bila ada yang menggaungkan slogan “kesetaraan gender”, kita harus membaca lebih lanjut bagaimana ia memaknai slogan tersebut.
  2. Bila ada yang mengkritik “kesetaraan gender,” tidaklah mesti ia bermakna “pro-diskriminasi gender.”

Poinnya: baca sampai tuntas buku ini, baru simpulkan.

Masalahnya, peneliti-peneliti terkemuka di Barat akhir-akhir ini mengatakan bahwa menyalahkan perempuan hamil yang merokok adalah salah dan ‘seksis’. Bahkan, ada klaim bahwa ideologi feminisme ala barat (sumber dari konsep “kesetaraan gender”) berdampak pada meningkatnya aborsi atau bahkan pembunuhan terhadap bayi. Apakah pandangan-pandangan gila ini adalah representative terhadap produk kesetaraan gender? Atau ia ‘penyimpangan’, sebagaimana ISIS adalah penyimpangan terhadap Islam?

Buku Delusi Kesetaraan yang ditulis oleh Dr Dinar Dewi Kania dkk yang dipublikasi tahun 2018 oleh BAZNAS ini menelaah secara objektif sejarah dan pemikiran konsep “kesetaraan gender” yang dibawa oleh feminis sekuler barat. Kemudian, dijelaskan juga bagaimana pemikiran konsep “kesetaraan gender” ternyata memiliki dampak serta produk turunan pada berbagai bidang. Ada tinjauan dari perspektif filsafat dan tafsir, ada dari perspektif psikologi, ada dari perspektif biomedik, ada dari perspektif sosiologi, dan banyak lagi. Yang membuat saya sangat excited adalah karena ada juga analisis terhadap instrumen hukum internasional yaitu the Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against Women (CEDAW).

Dari semua penjelasan yang dihuraikan dalam buku ini, kita dapat mempelajari beberapa hal yang sangat penting.

Pertama, bukanlah satu saja cara untuk memaknai “kesetaraan gender” atau “keadilan antar gender” atau semisalnya. Sedangkan, pemaknaan yang berbeda-beda ini banyak saling menabrak dalam berbagai level. Takkan dua pandangan yang bertabrakan secara diametrik bisa kesemuanya betul. Minimal pasti salah satunya salah.

Kedua, konsep “kesetaraan gender” yang digaungkan oleh feminis sekuler liberal memiliki banyak kekeliruan. Kekeliruan ini berakar baik secara epistemologis, metodologis, yang akan mengakibatkan banyak sekali masalah secara praktis. Tidak mungkin sebuah konsep dihasilkan dari kekeliruan berfikir, melainkan ia akan menghasilkan konsep-konsep atau produk-produk turunan yang bermasalah. Makanya, pernyataan-pernyataan gila pada paragraf 4 di atas tadi bukanlah penyimpangan melainkan konsekuensi logis.

Ketiga, ‘bermasalah’ ini tidak akan tampak apabila alat ukur yang digunakan adalah juga merupakan turunan dari kekeliruan berfikir yang sama. Buku ini menawarkan kritik bukan hanya pada substansi, melainkan juga pada kerangka berfikir yang banyak diamini sebagai ‘default’ pada banyak orang zaman sekarang padahal ia keliru.

Tentunya bukanlah manusia kalau tidak pernah bersilap. Ada beberapa hal yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan kualitas buku ini. Secara substansi, misalnya, sebetulnya saya menunggu-nunggu apakah ada analisis hegemonisasi konsep “kesetaran gender” ala feminis sekuler barat ini. Ada dua tulisan tentang CEDAW, bahkan salah satunya sudah memiliki sub-bab berjudul “CEDAW Sebagai Instrumen Pengarusutamaan Gender Internasional.” Andaikan sekalian dilanjutkan dengan menggunakan analisis Critical International Law, Postcolonialism, dan Realism, akan sangat mak nyus buanget! Sayangnya tidak sampai ke sana.

Selain itu, ada beberapa hal yang dapat diperbaiki dalam hal referensi. Pertama, di beberapa tempat ada beberapa informasi penting tapi sitasinya bersifat ‘tangan kedua’. Misalnya pada halaman 3-4 ada kutipan dari Tertullian dan St John Chrysostom tentang perempuan, tapi mengambil rujukan dari Abu ‘Ala Maududi. Tentu akan lebih baik mencari rujukan yang lebih primer.

Selain tidak seragamnya sitasi (ada sebagian bab yang memiliki banyak footnote, ada yang tidak ada footnote), juga kadang ada ketidaksinkronan antara sitasi dan bibliografi. Misalnya pada bab berjudul “Komplementer, Bukan Kompetisi: Telaah Biomedik Konsep Gender”. Tidak ada footnote sama sekali di bab ini, padahal kalau bisa diberikan footnote pasti akan lebih keren lagi plus ditambah lebih banyak referensi untuk koroborasi poin yang sama. Lalu, di halaman 133 ada disebut “Wagner dkk menyimpulkan…” tapi di bibliografi tidak ada penulis bernama “Wagner dkk,” padahal bisa menambahkan kredibilitas artikelnya.

Akan tetapi, masukan-masukan ini bukanlah akibat kekurangan dalam artian negatif. Ini hanyalah untuk meningkatkan kualitas buku yang sudah sangat baik untuk menjadi lebih baik lagi. Buku ini, bagi saya, adalah sebuah gebrakan awal untuk menantang hegemoni konsep “kesetaraan gender” ala feminis sekuler barat yang telah menghegemoni tapi bukan karena kebenarannya. Rasanya ia adalah titik tolak untuk memulai rekonstruksi pemikiran sebelum membaca buku-buku feminisme dan Islam yang lebih “berat” seperti misalnya karya Prof. Zeenath Kausar, Prof. Yunahar Ilyas, Prof Mahmudul Hasan, Sachiko Murata, dan lain-lain.

Intinya, buku ini sangat recommended untuk dibaca segala kalangan. Bagi akademisi atau aktivis yang meneliti terkait gender atau nyerempet soal gender, ini sangat penting. Bagi masyarakat awam yang berada di tengan ‘cross-fire’ diskursus soal gender dan HAM, ini juga sangat penting.

 

Jadi, make sure you get it and read it!

*Penulis merupakan dosen di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada dan kandidat doktor di Department of Islamic Law, Ahmad Ibrahim Kuliyyah of Laws, International Islamic University of Malaysia.

Problem Definisi Gender: Kajian Atas Konsep Nature Dan Nurture

0

Oleh: Moh. Khuza’i, M.A

 

PENDAHULUAN

Para feminis dalam membangun wacana kesetaran gender seringkali memulainya dengan pembedaan antara definisi seks dan gender.[1] Dua istilah tersebut lazim kita anggap sama, yakni bermakna jenis kelamin manusia yang terdiri dari lelaki atau perempuan dan sifatnya mutlak harus diterima sebagaimana mestinya.[2] Namun, menurut mereka hal tersebut hanya terbatas pada pembagian manusia secara biologis, inilah yang didefinisikan sebagai seks,[3] sedangkan gender diberi definisi baru sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki (maskulin) atau perempuan (feminim).[4] Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang meliputi perbedaan organ-organ seks dan juga hormon tidak menjadi perdebatan, namun pendapat tentang ada atau tidaknya pengaruh dari perbedaan tersebut dalam pembentukan sifat maskulin atau feminim masih belum menemukan kata sepakat. Akhirnya, dari dua argumen ini kemudian muncul konsep nature dan nurture.

Pemahaman yang tepat dan mendalam mengenai definisi gender serta konsep nature dan nurture merupakan faktor yang menentukan dalam memahami kajian feminisme. Pegiat feminisme yang jelas terpengaruh liberalisme pemikiran dan juga humanisme tentunya lebih condong pada konsep nurture.[5] Dari sanalah tatanan agama, budaya, dan norma yang awalnya dianggap mapan secara perlahan didekonstruksi karena dianggap sebagai bentuk hegemoni laki-laki dan sumber penindasan atas perempuan.[6] Kini, dengan maraknya wacana tentang kesetaraan gender, maka konsep tersebut juga semakin dibenarkan, sedangkan di sisi lain konsep nature dikaji dengan sangat hati-hati bahkan cenderung ditinggalkan.[7] Lazimnya, pemaknaan gender dan juga dua konsep tersebut dikaji secara netral dan komprehensif, agar perempuan yang dalam hal ini menjadi subjek sekaligus objek kajian mampu menimbang dengan bijak isu-isu feminisme yang berkembang, bukan dengan emosi karena asumsi ketimpangan gender, subordinasi perempuan, dan lain sebagainya.[8]

Makalah ini berusaha untuk mengkaji konsep nature dan nurture melalui pendekatan dan metode sebagai berikut: Pertama, dengan mengkaji definisi dari term gender, nature, dan nurture dari beberapa aspek yang bisa penulis jangkau sekaligus meninjau secara sosio-historis mengenai munculnya term-term tersebut dalam diskursus gender. Kedua, kritik terhadap definisi gender serta konsep nature dan nurture secara khusus dengan negasi dari wacana yang berkembang serta membandingkannya dengan realitas kekinian. Terakhir, menyimpulkan dengan perspektif Islam dan juga mencoba menyajikan alternatif dalam menyikapi perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau dengan memberikan bukti adakah kecondongan Islam kepada salah satu dari konsep yang diperdebatkan.

DEFINISI DAN RUANG LINGKUP

Istilah gender serta konsep nature dan nurture sebelumnya tidak dikenal dalam kebudayaan Indonesia. Term-term tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, makna yang dikandungnya merupakan asimilasi atau terjemahan langsung sebagaimana makna dalam bahasa aslinya. Berikut adalah penjabaran definisi dari kata-kata tersebut:

  1. Gender

Dalam kajian Feminisme, Gender bermakna ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu, baik berupa kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis, bukan perbedaan secara biologis.[9] Pegiat kesetaraan gender secara sederhana membedakan definisi seks sebagai jenis kelamin biologis sejak lahir yakni laki-laki atau perempuan berdasar alat kelamin yang dimiliki, sedangkan gender adalah “jenis kelamin” sosial berupa atribut maskulin atau feminim yang merupakan konstruksi sosial budaya.[10] Menurut mereka atribut maskulin tidak harus dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki dan sifat feminim juga tidak mesti untuk perempuan, karena atribut-atribut tersebut bukan merupakan bawaan yang bersifat kodrati, melainkan terbentuk secara sosio-historis yang sifatnya tidak tetap dan bisa dipelajari, sehingga bisa dipertukarkan lintas seks.[11] Pendefinisian semacam ini berbeda dengan makna awal kata tersebut dalam bahasa aslinya dan ketika diperkenalkan dalam bahasa lain juga terjadi problem, karena sebelumnya memang tidak ada bahasa dan kebudayaan yang membedakan antara jenis kelamin biologis dengan “jenis kelamin” sosial.[12]

Sejarah munculnya terminologi gender tidak bisa dilepaskan dari kajian ilmu humaniora, terutama psikologi dan juga terkait dengan tren transseksual.[13] Dalam bahasa Inggris, pembedaan makna antara sex dan gender pertama kali dikenalkan oleh para psikiater Amerika dan Inggris serta para petugas medis yang bekerja dengan pasien transseksual dan interseks pada tahun 1960-an dan 1970-an.[14] Istilah ini kemudian dipergunakan oleh para feminis sebagai sanggahan melawan argumen tentang faktor biologi gender sebagai takdir.[15] Sejak saat itu konsep ini diadopsi secara luas sebagai sistem analisa kajian pengembangan gender gerakan feminisme global.[16]

  1. Nature

Secara etimologi nature diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada seseorang atau sesuatu, diartikan juga sebagai kondisi alami atau sifat dasar manusia.[17] Dalam kajian gender, term nature diartikan sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat antar gender tidak lepas dan bahkan ditentukan oleh perbedaan biologis (seks). Disebut sebagai teori nature karena menyatakan bahwa perbedaan lelaki dan wanita adalah natural dan dari perbedaan alami tersebut timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminim yang melekat padanya secara alami.[18] Jadi, seharusnya dalam menyikapi perbedaan yang ada bukan dengan menghilangkannya, melainkan dengan menghapus diskriminasi dan mencipatakan hubungan yang serasi.[19]

Teori nature akrab dengan ilmuwan klasik dan religius. Terkadang teori ini juga dikaitkan dengan Rousseau, Kant, dan Hegel, namun yang dianggap sebagai peletak dasar teori ini secara ilmiah adalah Charles Darwin[20] dan didukung oleh teori hereditas Gregor Mendel.[21] Dalam kajian gender, teori ini dipopulerkan oleh Carol Gilligan[22] dan Alice Rossi[23] yang pada akhirnya membelokkan diskursus feminisme ke arah biological essentialism pasca tahun 1980-an yang ditandai dengan penerimaan kembali konsep perbedaan peran gender. Dibarengi dengan konsep ekofeminisme,[24] argumentasi ini mampu membawa konsep nature menjadi lebih dominan. Para penggagas teori ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan sosial, kesetaraan yang adil dalam keragaman.[25]

  1. Nurture

Secara etimologi nurture berarti kegiatan perawatan/pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak.[26] Terminologi kajian gender memaknainya sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminim bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruk sosial dan pengaruh faktor budaya.[27] Dinamakan nurture karena faktor-faktor sosial dan budaya menciptakan atribut gender serta membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu, hal tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua atau masyarakat dan terulang secara turun-temurun.[28] Karena adanya faktor budaya di dalamnya, argumen ini seringkali juga disebut sebagai konsep culture.[29] Tradisi yang terus berulang kemudian membentuk kesan di masyarakat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang alami.[30]

Perbedaan konstruk sosial dalam masyarakat mengakibatkan relatifitas tolak ukur atribut maskulin dan feminim antar budaya. Sifat tertentu yang dilekatkan pada suatu gender di suatu komunitas belum tentu sama dengan yang lainnya.[31] Dari sini feminis dan pegiat gender mulai membedakan gender dengan seks dan menyimpulkan bahwa gender–dengan definisi barunya–adalah sesuatu yang bisa berubah dan dipertukarkan antar jenis kelamin. Perubahan dan pertukaran tersebut menjadi mungkin karena perbedaan tempat, waktu, tingkat pendidikan, kondisi fisik, orientasi seksual, dan lain sebagainya.[32]

Definisi baru tersebut juga menjurus pada dekonstruksi norma dan tatanan yang ada.[33] Peraturan, kebiasaan, penilaian, dan perlakuan yang di dalamnya terdapat perbedaan dan pembedaan antara lelaki dan perempuan mulai dikaji ulang dengan sudut pandang feminisme dan kesetaraan gender, dari sinilah muncul istilah-istilah semacam ketimpangan gender,[34] bias gender,[35] hegemoni patriarki,[36] sexisme,[37] dan misogini.[38] Jadi, menurut mereka kesetaran secara kuantitatif dan menyeluruh tanpa memandang jenis kelamin adalah satu-satunya solusi dari perbedaan yang terjadi.[39]

Perkembangan konsep ini tidak lepas dari peran tokoh-tokoh pengusungnya. Di antaranya adalah Margaret Mead, Virginia Woolf, Simone de Beauvoir,[40] Sigmund Freud,[41] Hilary M. Lips, Ann Oakley,[42] Nancy Chodorow, Judith Butler, dan lain-lain.[43] Berbeda dengan teori nature yang kebanyakan tokohnya adalah ilmuwan yang agamis, teori nurture diusung oleh pakar ilmu-ilmu humaniora yang cenderung humanis dan dekonstruktifis.[44] Perbedaan metodologi yang digunakan dan juga cara pandang antar tokoh dalam kedua konsep ini menyebabkan perdebatan antara nature dan nurture belum menemukan titik temu dan belum dapat diketahui yang mana pemenangnya.[45]

Perdebatan antara dua konsep ini memiliki pengaruh dominan dalam mewarnai pergerakan feminisme, begitu pula perbedaan dalam memaknai term gender. Keduanya sudah berlangsung kurang lebih selama 50 tahun. Penganut konsep nurture yang didominasi feminis liberal dan sosialis mengklaim bahwa perkembangan teknologi kelak justru akan mampu membuktikan bahwa faktor biologis tidak memiliki peran dalam pembentukan karakteristik manusia serta menghilangkan batas-batas gender dan jenis kelamin.[46] Klaim berbeda diungkapkan penganut konsep nature, menurut mereka feminis penganut nurture justru merendahkan, merugikan, serta melenceng dari tujuan awal feminisme dan kelak akan ditinggalkan oleh perempuan.[47] Namun ada poin yang menarik dari tiga belas agenda manifesto [feminis] gelombang ketiga, salah satunya mengakui bahwa meskipun ada kemungkinan feminis berseberangan pendapat, namun kesemuanya berbagi tujuan yang sama yakni kesetaraan, dan saling mendukung sesama dalam usaha memperoleh kekuatan untuk menciptakan pilihan.[48] Jadi, seharusnya kedua konsep ini tetap harus dikaji lebih mendalam, bukan secara serta-merta diterima.

KRITIK TERHADAP DEFINISI GENDER SERTA KONSEP NATURE DAN NURTURE

Dari uraian-uraian sebelumnya, sekilas saja sudah cukup menggambarkan bahwa memang ada problem dalam definisi gender serta konsep nature dan nurture. Problem akibat feminisme yang dihadapi perempuan Barat, seharusnya tidak akan terjadi juga di Timur apabila pengarusutamaan gender dan feminisme global disikapi dengan kritis, baik dari sudut pandang agama maupun sosio historis. Namun, di saat konsep-konsep tersebut mulai ditinggalkan di negara-negara asalnya, ternyata justru merebak di negara-negara berkembang karena dianggap sebagai pembaharuan.[49]

Feminisme lahir di peradaban Barat dengan kondisi sosio-historis yang belum tentu sama dengan kondisi perempuan Timur, khususnya Islam. Namun, klaim penerapan kesetaraan gender sebagai satu-satunya solusi atas ketertinggalan perempuan Timur, ternyata diamini tanpa kritik dan kontrol.[50] Yang juga perlu disayangkan adalah hal-hal yang membawa dampak negatif seperti kebebasan dan anti kemapanan justru yang lebih banyak diambil, seakan kebebasan semacam itu yang menyebabkan kemajuan Barat. Adapun isu-isu tentang pengembangan pendidikan dan keterampilam perempuan serta masalah-masalah lain justru jarang menjadi fokus, jadi saat kesempatan memperoleh hak-hak yang sama dengan laki-laki terbuka lebar, ternyata belum dibarengi dengan kemampuan perempuan dalam menjalankan kewajiban yang melekat dengan hak-hak tersebut. Akhirnya, feminisme tidak lagi menjadi gerakan pemberdayaan perempuan melainkan memperdaya perempuan dengan klaim tentang ketertindasan, diskriminasi, dan lain sebagainya.

Konsep nature sekilas mengakui adanya “fitrah” yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik secara biologis maupun sosial, namun konsep yang ada tidak terintegrasi dengan worldview tentang Tuhan serta agama sehingga memungkinkan terjadinya miskonsepsi.[51] Konsep ini memang mengakui adanya kekuatan alam berupa kodrat biologis serta pengaruhnya dalam pembedaan peran serta perilaku antara laki-laki dan perempuan, namun konsep tersebut ternyata juga belum mampu memberikan batasan yang jelas. Akibatnya, perbedaan budaya yang dihasilkan manusia dalam memahami alam dapat mengaburkan konsep ini, meski secara garis besar ada kesamaan, namun perbedaan yang ditemukan juga banyak.[52] Universalitas ajaran dan syariat Islam dengan tauhiêd dan diên sebagai dasarnya adalah solusi untuk menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut dan mengantarkan manusia pada hakikat fitrah.

Makna dari term kodrat dan hukum alam dalam konsep nature masih lebih sempit cakupannya dibanding konsep fitrah dalam Islam. Penemuan-penemuan ilmiah dalam ilmu pengetahuan modern tentang perbedaan gen, fungsi hormonal, perbedaan psikologis antar jenis kelamin, dan lain sebagainya cukup dimaknai sebagai hikmah di balik pembedaan tata cara ibadah dan pembagian peran yang disyariatkan Islam. Iman dan ibadah semata-mata karena Allah harus tetap menjadi alasan dan tujuan dari ketaatan dalam menjalankan syariat-syariat tersebut. Konsep fitrah mewakili semua itu, penciptaan manusia dalam perspektif Islam lebih dari sekedar proses alami, tetapi dengan tujuan serta amanah khusus yang diemban, yakni sebagai wakil Allah di bumi juga sebagai hamba yang wajib mematuhi hukum-Nya.[53]

Definisi gender yang diwacanakan konsep nurture, ternyata memisahkan antara aspek biologis dan sosial. Padahal, ada pula aspek biologis yang bersifat kodrati yang turut mempengaruhi konstruk sosial dalam membedakan peran dan kebiasaan antara laki-laki dan perempuan,[54] Selain itu, pada kenyataannya feminis juga belum mampu memberi batasan yang jelas mana yang konstruk sosial dan mana yang kodrat.[55] Permasalahan lainnya, aspek budaya yang dianggap sebagai pembentuk gender bersifat relatif, sehingga setiap individu seakan mendapat pembenaran atas perbuatannya. Salah satu akibatnya adalah perilaku seksual menyimpang yang dulu dianggap tabu, sekarang justru dianggap modernitas dan hak asasi.[56] Banyak dari kalangan feminis sendiri yang tidak setuju dengan konsep ini, karena dianggap telah menyimpang dari tujuan awal dan justru mengakibatkan perempuan kehilangan jati diri dan moral. Tentang penyimpangan seksual yang terjadi, apabila kajian humaniora berpijak pada kebenaran ilmu pengetahuan harusnya tidak akan membenarkan hal tersebut.[57] Lagipula, pada kenyataannya tetap lebih banyak manusia dengan orientasi seks yang normal serta berpasangan dengan gender yang berbeda dengan tujuan mendapat keturunan adalah berlaku secara universal, lintas budaya dan peradaban, bahkan dalam dunia hewan dan tumbuhan yang tidak memungkinkan adanya kebudayaan sekompleks manusia sekalipun.

Islam tidak memisahkan gender dengan jenis kelamin dan agama tidak seharusnya disamakan dengan budaya. Menurut para feminis dan pegiat gender, doktrin agama berupa hal-hal yang mengatur hubungan antar gender[58] atau ketentuan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan[59] harus disesuaikan dengan sudut pandang kesetaraan gender.[60] Tidak jarang tuntutan tersebut disertai tuduhan bahwa syariat yang sampai pada kita sekarang bukan sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, melainkan rekayasa budaya patriarki melalui para mufassir dan fuqahá’ untuk melanggengkan hegemoninya.[61] Padahal, tidak semua orang dapat menjadi mujtahid, ada syarat yang ketat berupa ilmu dan juga akhlak, itulah mengapa dalam tradisi Islam sebelumnya meski terkadang ditemukan beberapa perbedaan pendapat antar mujtahid, namun tidak pernah ada tuduhan-tuduhan semacam itu sebelumnya. Akhirnya, karena syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para feminis dan pegiat gender, maka tidak mengherankan bila hasil “ijtihad” dengan dalih pembaharuan yang mereka lakukan selain melenceng jauh dari ijtihad ulama terdahulu ternyata juga lebih sarat kepentingan, terlalu memaksakan dalil-dalil agama sebagai pembenaran atas wacana feminisme dan humanisme yang mereka usung.[62]

PENUTUP

Masuknya faham feminisme harus disikapi dengan kritis, karena secara historis tidak membuat wanita menjadi lebih baik. Selain karena problem dalam konsepnya juga karena akibat negatif yang ditimbulkannya. Kehati-hatian juga sangat dibutuhkan, karena seringkali para pegiat gender menunjukkan fakta tentang ketertinggalan perempuan serta penindasan atasnya, namun dengan penyebab dan alasan yang telah diselewengkan. Dibanding feminisme, Islam memiliki konsep yang lebih baik dalam menyikapi perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yakni berupa konsep fitrah dan amanah.

Pada hakikatya, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. Keduanya memiliki tujuan serta amanah yang sama, adapun perbedaan peran dan perilaku antara keduanya adalah sesuai fitrah dan pembedaan dalam ibadah amaliyah serta syariat yang harus dijalankannya mengandung hikmah. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut bukan berarti salah satu gender diistimewakan dibanding yang lain, buktinya Allah menjanjikan surga yang sama bagi mereka yang beriman dan neraka yang sama bagi mereka yang ingkar, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Di antara feminis sendiri ada perdebatan dalam memaknai perbedaan antara laki-laki dan perempuan serta kesetaraan. Pertama, penganut konsep nature yang menganggap perbedaan adalah alami, sehingga kesetaraan yang dibutuhkan adalah keadilan sesuai konteks. Kedua, penganut konsep nurture yang menganggap perbedaan adalah buatan manusia, terutama oleh laki-laki, sehingga dalam menyikapi perbedaan kelompok ini menuntut penghapusan batas-batas gender dan memaknai kesetaran adalah persamaan secara kuantitatif.

Adapun definisi gender yang hendak dibedakan dari jenis kelamin memiliki efek negatif bagi perempuan. Ketika perbedaan peran dan perilaku dianggap tidak terikat dengan faktor biologis, justru mengakibatkan hilangnya jati diri perempuan, karena saat batas antar gender dihapus yang terjadi adalah perempuan merasa rendah diri dengan sifat feminimnya dan akhirnya meniru sifat maskulin. Definisi baru tersebut juga berakibat pada merosotnya moral, karena norma dan tatanan yang berlaku tidak lagi dianggap sifat alami manusia, karena budaya serta konstruk sosial juga sudah direlatifkan, akhirnya setiap individu memiliki standar moral sendiri.

Tidak seharusnya agama disamakan dengan konstruk sosial serta budaya dan tidak ada pembenaran untuk merubah-rubah hukum Islam dengan alasan kesetaraan gender atau dengan alasan yang lain. Bukan konstruk sosial dan budaya yang membentuk karakter seseorang, sebaliknya dari kesamaan sifat bawaan setiap individu terbentuklah budaya. Dari sifat bawaan maskulin dan feminim terbentuk budaya yang mengatur perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Hal tersebut berlaku global, perubahan atasnya pasti akan dianggap menyimpang oleh banyak orang. Budaya yang merupakan ciptaan manusia saja tidak semudah itu dirubah atas nama kesetaraan gender, apalagi untuk merubah peraturan agama ciptaan Tuhan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Depok: Gema Insani Press.

Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bryson, Valerie. 2003. Feminist Political Theory: an Introduction, Ed. II. New York: Palgrave Macmillan.

Butler, Judith. 2004. Undoing gender, Cet. X. New York dan London: Routledge.

Esplen, Emily dan Susie Jolly. 2006. Gender and Sex: A Sample of Definitions. Brighton: BRIDGE.

Freedman, Estelle B., (editor). 2007. The Essentsial Feminist Reader. New York: The Modern Library.

Gardner, Catherine Villanueva. 2006. Historical dictionary of feminist philosophy. Maryland: Scarecrow Press.

Gilligan, Carol. 2003. In a different voice: Psychological Theory and Women’s Development, (cet. 38; Cambridge, Massachusetts, & London: Harvard University Press, 2003)

Hastuti, Sugi dan Siti Hariti Sastriyani. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Yogyakarta: Çarasvati Books.

Hooks, Bell. 2000. Feminism is for Everybody: Passionate Politics. Cambrigde: South End Press.

Hornby, A S, et. al., 2010. Oxford Advanced Learner’s Dictionary: International Student’s Edition.

Humm, Maggie. 2007. Dictionary of Feminist Theories, penj. Mundi Rahayu. Yogjakarta: Fajar Pustaka.

Ilyas, Hamim, et. Al. 2009. Perempuan Tertindas?; Kajian Hadis-hadis “Misoginis” Cet. IV. Yogyakarta: eLSAQ.

Kuiper, Kathleen. 2010. The 100 most Influential Women of All Time. New York: Britannica Educational Publishing.

Lippa, Richard A., 2005. Gender, Nature, and Nurture, Ed. II. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc.

Mead, Margaret. 1963. Sex and Temperament in Three Primitive Societies, Cet. III. New York: Morrow.

Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Penerbit Mizan.

Mulia, Musdah. 2011. Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi. Jakarta: Penerbit MARJA.

Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. Depok: Gema Insani Press.

Pilcher, Jane dan Imelda Whelehan. 2004. Fifty Key Concepts in Gender Studies. London, California, dan New Delhi: SAGE Publications.

Plomin, Robert dan Gerald E. McClearn, (editor). 1993. Nature, nurture, and psychology. Washington DC: American Psychological Association.

Shalahuddin, Henri, et.al., 2012. Indahnya Keserasian Gender dalam Islam. Jakarta: KMKI.

Stanton, Elizabeth Cady. 1898. The Woman’s Bible. New York: European Publishing Company.

Sterling, Anne Fausto. 2000. Sexing the Body: gender politics and the construction of sexuality. New York: Basic Books.

Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, Cet. II. Jakarta: Penerbit PARAMADINA.

Wadud, Amina. 1999. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, Inc.

Worell, Judith, (editor). 2002. Encyclopedia of Women and Gender: Sex Similarities and Differences and the Impact of Society on Gender. California: Academic Press.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2010. Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Cet. II. Ponorogo: CIOS.

 

Arsip, software, dan referensi dari internet

Firdaus, Muhammad Royyan, “HAM untuk LGBT” (http://islamlib.com/id/artikel/ham-untuk-lgbti.htm.

Merriam-Webster 11th Collegiate Dictionaryز

Pappas, Theodore, et al., Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite, (Ed. XVI; Encyclopaedia Britannica, Inc., 2012) [DVD]

Rancangan Undang-undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (Agustus 2011) [PDF]

[1] Misalnya Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’ân, (Cet. II; Jakarta: Penerbit PARAMADINA, 2001), h. 33‐35. Dengan mengutip dari Tierney (tanpa tahun: 153), Lips (1993: 4), Lindsey (1990: 2), Wilson (1989: 2), dan Showalter (1989: 3), Nasaruddin menyimpulkan gender sebagai konsep untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Lihat juga Musdah Mulia, Muslimah Sejati Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi (Jakarta: Penerbit MARJA, 2011), h. 64‐55. Musdah yang juga mengutip dari Tierney dan Showalter menyimpulkan bahwa gender merupakan sesuatu yang dibentuk secara sosial dan bukan sesuatu yang kodrati dala diri manusia. Keduanya meletakkan penjelasan mengenai definisi gender sebelum masuk pada pokok pembahasan.

[2] Gender merupakan kosa kata baru yang belum ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada bahasa-bahasa lain kata tersebut lazimnya juga masih disamakan definisinya dengan seks.

[3] Seks merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris “sex” yang diterjemahkan sebagai jenis kelamin, yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian manusia secara biologis, yaitu lelaki atau wanita. Namun, dalam pemakaian sehari-hari oleh masyarakat Indonesia, kata ini disalahartikan sebagai hubungan badan. Lihat Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2004), h. 19.

[4] Maggie Humm, Dictionary of Feminist Theories, diterjemahkan oleh Mundi Rahayu dengan judul Ensiklopedia Feminisme (Jogjakarta: Fajar Pustaka, 2007), h. 177-180. Secara perlahan feminis kontemprer membedakan antara jenis kelamin dan gender. Berlandaskan pada Mead (1935), teori ini menempatkan pandangan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial.

[5] Bell Hooks, Feminism is for Everybody: Passionate Politics (Cambrigde: South End Press, 2000), h. 7 dan 19. Dengan semboyan “Feminists are made, not born.” Selain itu, Hooks juga berasumsi bahwa diskriminasi atas dasar perbedaan jenis kelamin senantiasa tersosialisasikan melalui orang tua dan lingkungan, maka atas dasar itu feminis harus segera melakukan tantangan dan perubahan.

[6] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis (Cet. II; Ponorogo: CIOS, 2010), h. 111-117., feminisme seringkali dibenturkan dengan doktrin keagamaan, yang ketika masuk ke dalam wacana pemikiran Islam justru menghasilkan “ijtihad” yang tidak merujuk pada pendapat ulama-ulama sebelumnya.

[7] Lihat Valerie Bryson, Feminist Political Theory: an Introduction (Ed. II; New York: Palgrave Macmillan, 2003), h. 186-187. Bryson mewanti-wanti dengan ungkapan “…fearing that in a patriarchal society this will always be used to the detriment of women.” Menurutnya, masyarakat kini masih didominasi budaya patriarki dan acap kali menjadikan konsep nature sebagai pembenaran atas “penindasan” perempuan.

[8] Lihat Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 93. Menurutnya, mengerti konsep gender dan dua konsep tersebut adalah faktor penting untuk membuktikan apakah kesetaraan gender 50/50 dapat terwujud atau tidak. Lihat juga “Feminisme dan Teori Kemarahan” dalam Henri Shalahuddin dkk., Indahnya Keserasian Gender dalam Islam (Jakarta: KMKI, 2012), h. 65-67.

[9] Lihat “Gender” dalam Merriam-Webster 11th Collegiate Dictionary (Ver. 3.0; Merriam-Webster, Inc., 2003) [DVD] Secara etimologi gender berasal dari Bahasa Inggris Abad Pertengahan “gendre,” dari Bahasa Anglo-French “genre,” “gendre,” dan dari Bahasa Latin “gener-,” “genus,” mulai dipergunakan sejak abad XIV dengan makna “The behavioral, cultural, or psychological traits typically associated with one sex.” Bandingkan dengan “Gender” dalam A S Hornby et. al., Oxford Advanced Learner’s Dictionary: International Student’s Edition (Oxford: Oxford University Press, 2010) hlm. 622., yang mengartikannya sebagai “The fact of being male or female, especially when considered with reference to social and cultural differences, not differences in biology.”

[10] Maggie Humm, op. cit., h. 177-178. Meski definisi semacam ini pertama kali dikenalkan oleh Mead pada tahun 1935, namun saat itu belum menjadi isu pokok feminisme. Lihat juga Margaret Mead, Sex and Temperament in Three Primitive Societies (Cet. III; New York: Morrow, 1963), h. 279-88. Studinya pada tiga suku primitif di New Guinea (Arapesh, Mundugumor, dan Tehambuli) mengarahkannya pada beberapa temuan tentang adanya perbedaan kontras lintas budaya dalam pelabelan maskulinitas atau feminitas dan hal tersebut senantiasa berlanjut ke generasi berikutnya. Ciri, peran, sifat, dan kebiasaan yang dikaitkan dengan jenis kelamin tertentu di suatu budaya belum tentu berlaku di budaya yang lain, bahkan dalam temuannya sebuah tatanan masyarakat tanpa batasan gender ternyata bisa berlaku. Akhirnya, Mead menyimpulkan bahwa kondisi sosial budaya setempat lebih berperan dibanding faktor biologis dalam membedakan kebiasaan laki-laki dan perempuan. Sayangnya, studi yang dilakukan Mead terlalu fokus pada perbedaan-perbedaan yang ia temukan, seandainya ia memberi porsi yang sama pada kesamaan antar suku kesimpulan yang dihasilkan pasti akan berbeda. Bandingkan dengan Richard A. Lippa, Gender, Nature, and Nurture (Ed. II; New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Inc., 2005) h. 54, 79-80, dan 259-260. Meski studinya dipengaruhi oleh asumsi Bem (1987: 309) “…masculinity and femininity do not exist ‘out there’ in the world of objective realities… [they] exist only in the mind of the perceiver.,” dan berargumen bahwa “Gender is not simply a matter of sex differences. It is also a matter of variations within each sex.,” namun tetap mengakui adanya “dogma” global bahwa laki-laki sebaiknya maskulin dan wanita sebaiknya feminim. Perbedaan antara atribut gender bukan berarti salah satunya lebih baik, melainkan lebih pada kesesuaian, yakni atribut gender yang melekat dirasa sebagai yang terbaik untuk masing-masing jenis kelamin.

[11] Judith Butler, Undoing gender (Cet. X; New York & London: Routledge, 2004), h. 1-2., menurutnya kelangsungan gender tidak lepas dari keinginan “desire” yang bisa berbeda tiap individu, menjadi gender tertentu adalah sama dengan melakukan suatu perbuatan, bukan bersifat otomatis atau melalui mekanisme alami. Definisi semacam ini juga ditemukan dalam draft RUU KKG 2012 dalam Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Point 1., meski setelah itu mengalami revisi dan untung saja tetap tidak disahkan, karena kenyataannya definisi semacam ini tidak hanya merusak norma tentang bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan, tetapi juga menjadi pembenaran atas transgender dan transsexuality.

[12] Misalnya, dalam Bahasa Indonesia term gender diserap menjadi gender atau jender, namun istilah baru ini belum dikenal dan masih dianggap satu makna dengan seks/jenis kelamin hal serupa juga ditemukan dalam Bahasa India. Dalam bahasa Melayu (Malaysia) kata sex dan gender juga diserap, namun keduanya hanya memiliki satu padanan kata yakni jantina (jantan atau betina), hal serupa juga berlaku dalam bahasa jepang dan Korea. Dalam Bahasa Arab, sex diterjemahkan menjadi الجنس “al-jins,” sedangkan gender diterjemahkan dengan kata turunannya yakni الجنسين “al-jinsain” atau الجنسانية “al-jinséniyyah,” hal serupa juga dilakukan Bahasa China dan Perancis.

[13] Baca Emily Esplen dan Susie Jolly, Gender and Sex: A Sample of Definitions (Brighton: BRIDGE, 2006), h. 2-4.

[14] Lihat Judith Butler, op. cit., h. 6, sejak gender dianggap sebagai konstruksi sosial budaya, maka pilihan untuk menjadi idenditas gender tertentu menentang bawaan jenis kelamin biologis menjadi isu yang sangat penting bagi kajian feminisme.

[15] Lihat Emily Esplen …, op. cit., h. 2.

[16] Lihat Richard A. Lippa, op. cit., h. 117-118., salah satu jargon yang digunakan adalah “Gender is not something we are; rather, it is something we do.”

[17] Lihat “nature” dalam Merriam-Webster, op. cit., berasal dari Bahasa latin “natura” yang berarti “dilahirkan.” Dipergunakan sejak abad ke-14.

[18] Lihat Ratna Megawangi, op. cit., h. 94. Baca juga Richard A. Lippa, op. cit., 138-140 dan 145-154., kesimpulan tersebut berdasar eksperimen pada hewan dan terutama pada penelitian tentang karakter genetik dan kinerja hormonal, baik sebelum maupun sesudah lahir.

[19] Ibid., h. 101., caranya adalah dengan menyadarkan masing-masing jenis kelamin agar menganggap sifat yang melekat padanya sebagai anugerah dan keagungan, tanpa menganggap maskulin atau feminim lebih tinggi atau lebih rendah dibanding yang lain.

[20] Lihat Gregory A. Kimble “Evolution of the Nature-Nurture Issue in the History of Psychology” dalam Robert Plomin and Gerald E. McClearn (ed.), Nature, nurture, and psychology (Washington DC: American Psychological Association, 1993), h. 5, dalam teori evolusinya, Darwin (1859) menyebutkan adanya tiga faktor yang memungkinkan terjadinya hal tersebut: Pertama, hereditas/keturunan (keturunan/anak selalu mirip orang tuanya). Kedua, variasi (meski cenderung ada persamaan, namun ada perbedaan pada keturunan/anak). Dan ketiga, seleksi alam (hanya varian/jenis terbaik/yang mampu menyesuaikan dengan alam yang akan bertahan, yang tidak mampu menyesuaikan diri akan punah dalam persaingan eksistensi. Lihat juga Stephanie A. Shields dan Kristen M. Eyssell “History of the Study of Gender Psychology” dalam Judith Worell (ed.), Encyclopedia of Women and Gender: Sex Similarities and Differences and the Impact of Society on Gender (California: Academic Press, 2002), h. 94, teori evolusi Darwin kemudian dikembangkan oleh Degler yang mengkaji secara aplikatif teori Darwin dengan mengutip dari Thomas (1897). Selain itu, juga dipopulerkan oleh Hardaker (1882), Cattel (1909), dan Thordike (1914). Lihat juga ibid., hlm. 95-99. Teori nature tidak disenangi oleh feminis dan pegiat kesetaraan gender karena condong mendiskreditkan perempuan dan kebetulan banyak penggagasnya adalah laki-laki. Boas (1911) mengambil jalan tengah dengan mengakui teori nature, namun berpendapat bahwa perbedaan biologis yang ada tidak membuat perempuan menjadi lebih inferior dibanding laki-laki.

[21] Ibid., studi Mendel (1866) mengenai genetika melengkapi detail dalam teori Darwin yang pertama. Teori Mendel menjelaskan perbedaan fenotip (ciri yang nampak) dan genotip (ciri bawaan gen) sebagai sesuatu yang bisa diperhitungkan.

[22] Lihat juga Carol Gilligan, In a different voice: Psychological Theory and Women’s Development (cet. 38; Cambridge, Massachusetts, and London: Harvard University Press, 2003), yang memuat sanggahan terhadap Lever (1976), Piaget (1968), Kohlberg (1969) atas wacana penentuan kematangan kepribadian berdasar standar maskulin yang berimbas pada krisis identitas dan moral yang terjadi di kalangan perempuan, terbukti dengan maraknya aborsi dan merebaknya kultur androgini (perempuan meniru laki-laki)

[23] Ibid., h. 98., pada tahun 1960-an Rossi menentang adanya perbedaan peran antar jenis kelamin, namun sejak 1976 berbalik mendukung konsep nature dengan ide pokok tentang keragaman antarseks sebagai faktor perbedaan peran gender dan tidak tergantikannya figur ibu sebagai pengasuh.

[24] Ibid., h. 181-183 dan 191-192., konsep ini berkembang sebagai respon atas “penghianatan” feminisme liberal dan sosialis serta menyeruhkan perempuan agar bangkit melestarikan kualitas feminim. Salah satu tokohnya adalah Vandana Shiva (1991) dengan konsep equality in diversity.

[25] Ibid., h. 225., setara di sini bukan berarti sama secara matematis, tetapi adil sesuai konteks.

[26] Lihat “nurture” dalam Merriam-Webster, op. cit., berasal dari Bahasa Inggris Abad Pertengahan “norture,” “nurture,” dari Bahasa Anglo-French “nureture,” dan dari Bahasa Latin “nutritura,” mulai dipergunakan sejak abad XIV. Selain itu juga dimaknai sebagi kegiatan memberi makan, terutama menyusui.

[27] Lihat Richard A. Lippa, op. cit., h. 187-188. Kesimpulannya “The research summarized here shows that social and environmental factors have a powerful influence on many of the phenomena described by the term gender.” Hasil dari banyak riset yang dilakukan olehnya dan juga peneliti-peneliti lain mengungkap kuatnya pengaruh faktor sosial dan lingkungan dalam fenomena tentang gender. Namun, metodologi ilmu humaniora yag berupa sosiometri dan pengambilan sampel responden yang dipakai masih bisa diragukan kebenarannya.

[28] Ibid., h. 157-172., stereotip timbul di antaranya karena pengaruh orang tua, teman sebaya, sekolah, media massa, bahasa, dan lain-lain. Di antara contoh dari pembentukan stereotip adalah penamaan anak dengan nama yang lazim sesuai jenis kelaminnya, pemilihan baju, mainan, dan lain sebagainya.

[29] Lihat Margaret Mead, op. cit., Mead (1935) sendiri yang dianggap sebagai peletak dasar teori nurture masih menyebutnya sebagai faktor budaya (culture).

[30] Lihat Judith Butler, op.cit., h. 2., menurutnya setiap orang punya hasrat untuk menjadi gender sesuai keinginannya, tetapi standar yang dianggap alami “memaksa” mereka menjadi gender sesuai jenis kelaminnya.

[31] Ibid., dalam penelitiannya, Mead (1935) menemukan 3 suku di New Guinea yang memiliki perbedaan sangat kontras dalam kebiasaan serta pembagian peran berdasar gender. Itulah yang menjadi landasan teorinya.

[32] Pengembangan radikal dari konsep ini adalah pembenaran atas transgender dan transsexual, jadi bukan hanya pertukaran sifat maskulin dan feminim lintas gender, bahkan pertukaran untuk antar jenis kelamin pun dimungkinkan dan harus dianggap wajar. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi bedah dan terapi hormonal, untuk menjadi lelaki atau perempuan sekarang adalah berdasar keinginan dan pilihan. Lihat “Of Gender and Genitals: The Use and Abuse of the Modern Intersexual.” Anne Fausto Sterling, Sexing the Body: gender politics and the construction of sexuality (New York: Basic Books, 2000) h. 77.

[33] Lihat Judith Butler, op.cit., h. 2, perbedaan dan pembedaan yang ada harus dihapus, karena itu adalah satu-satunya cara agar menjadi gender tertentu menjadi terserah keinginan dan bukan keterpaksaan sosial. Hala senada juga diungkapkan Mead (1949) “that only fairly complicated social arrangements can break it down entirely.” Lihat Judith Worell., op. cit., h. 234.

[34] Gender inequality; lawan dari kesetaraan gender, berupa pembedaan atau ketidakadilan berdasar gender. Misalnya, dari 560 anggota DPR RI hanya ada 102 anggota perempuan atau sekitar 18.2% (Inter-Parliamentary Union and UN Women: 2012), hal ini tidak adil menurut feminis dan pegiat kesetaraan gender, karena tolak ukur yang mereka gunakan adalah kesamaan secara kuantitatif.

[35] Gender bias; memberikan atau menghasilkan penilaian yang menyimpang atas gender tertentu, biasanya cenderung negatif dan belum tentu sesuai dengan kenyataan. Lihat Sugi hastuti dan Siti Hariti Sastriyani, Glosarium Seks dan Gender (Yogyakarta: ÇarasvatiBooks, 2007), h. 26. Hal semacam ini banyak ditemukan dalam Bibel, salah satunya adalah doktrin tentang dosa warisan yang menyebabkan gereja dan umat Kristen dulu merendahkan perempuan. Lihat kata pengantar Elizabeth Cady Stanton dalam The Woman’s Bible (New York: European Publishing Company, 1898)

[36] Hegemony, berasal dari bahasa Yunani hēgemonia, asal katanya hēgemēn yang berarti pembimbing atau pemimpin yang secara terminologi bermakna pengaruh dan otoritas yang bersifat superior. Patriarch, berasal dari Bahasa Inggris Abad Pertengahan patriark, bahasa Perancis Kuno patriarche, dab Bahasa Latin patriarcha, diserap dari Bahasa Yunani patriarchēs, yang berarti nasab, keturunan, klan, dan keluarga yang secara terminologi bermakna sekumpulan yang diatur laki-laki sebagai pemimpinnya.

[37] Sexism, penindasan dan diskriminasi berdasar jenis kelamin. Misalnya adalah tidak adanya hak bagi wanita untuk memilih dalam pemilihan umum di Amerika Serikat, kebijakan tersebut baru dihapus tahun 1920 setelah adanya gerakan yang dipimpin oleh Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton. Lihat Kathleen Kuiper, The 100 most Influential Women of All Time (New York: Britannica Educational Publishing, 2010)

[38] Lihat “miso-” dalam Merriam-Webster, op.cit., dari bahasa yunani misein yang berarti benci. Misoginy, kebencian terhadap perempuan. Antonym dari kata ini adalah misandry, kebencian terhadap laki-laki. untuk contoh, lihat Waryono dalam Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas?; Kajian Hadis-hadis “Misoginis” (Cet. IV; Yogyakarta: eLSAQ, 2009), 70-71., hadits-hadits tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hukum fiqih seperti dalam aqiqah, najis air kencing balita, aurat, dan lain sebagainya dianggap sebagai hadits misoginis.

[39] Judith Butler, op.cit., h. 2.

[40] Lihat “Beauvoir, Simone De (1908-1986)” dalam Catherine Villanueva Gardner, Historical dictionary of feminist philosophy (Scarecrow Press, Inc.: Maryland, 2006), hlm. 28-31., Beauvoir (1949) bisa dikatakan sebagai orang yang pertama kali melontarkan analisa atas penindasan berbasis gender, efek yang diakibatkan, serta penyebabnya. Klaimnya, tidak ada seorangpun yang terlahir sebagai seorang wanita, melainkan dibentuk oleh budaya sebagai gambar negatif [dari laki-laki], sebagai sesuatu “yang lain” yang lebih rendah atas sifat maskulin [yang tidak dimilikinya]. Konstruksi semacam ini lah yang menurutnya menjadi penyebab [baik sadar maupun tidak] atas penindasan perempuan. Selain itu, filsafat eksistesialis yang dianutnya dengan kebebasan manusia sebagai gagasan utama juga banyak mempengaruhi gerakan feminisme.

[41] Dalam psychosexual stages/phases Freud menyatakan bahwa seseorang menyadari tentang jenis kelaminnya pada antara umur 3-5 tahun. Beberapa argumen dalam teori Freud menjadi landasan dalam teori nurture, namun di sisi lain juga mendapat kritik hebat dari para feminis karena teori pe*** envy dan wacana tentang subordinasi sifat feminim atas maskulin; “Women held a status which not only was essentially masculinized, but also considered to be inferior to that of men.” Lihat Judith Worell., op. cit., h. 526 dan 597.

[42] Ann Oakley dan bukunya Sex, Gender and Society (1972) dianggap sebagai peletak konsep nurture dalam diskursus gender. Lihat “gender” dalam Jane Pilcher and Imelda Whelehan, Fifty Key Concepts in Gender Studies (London, California, & New Delhi: SAGE Publications, 2004), h. 56-59.

[43] Lihat “gender” dalam Maggie Humm, op. cit., h. 177-180.

[44] Bernice Lott dan Diane Maluso “Gender Development: Social Learning” dalam Judith Worell (ed.), op. cit., h. 537-550, terutama dalam point IV, The Reconstruction of Gender.

[45] Bandingkan dengan konsep nature dan nurture dalam ranah psikologi. Perdebatan antara dua teori yang sudah ada bahkan sebelum psikologi sendiri, ternyata terhenti–meski mungkin hanya untuk sementara–dengan sebuah konsensus dan dua varian rumus, “Of the many answers that are available, the one that seems best to embrace the diversity of psychology comes from behavioral genetics.” Lihat Gregory A. Kimble, op.cit., hlm. 21-22.

[46] Judith Butler, op.cit., h. 92.

[47] Sebagaimana dikutip Megawangi dari Kaminer (1993: 59), kepercayaan pada stereotip gender yang bukan karena faktor kodrati (alam), is at least ten years out of date. Lihat Ratna Megawangi, op.cit., hlm. 102. Lihat juga Carol Gillgan, op. cit., 124-127., menurutnya konsep nurture memicu nihilisme moral perempuan, salah satu indikasi yang dengan tegas dikritiknya adalah berkurangnya rasa tanggung jawab dan juga ikatannya [dengan ikatan-ikatan sosial dan juga individu lain, terutama dengan suami dan anak], perannya sebagai istri dan ibu ingin ditinggalkan sehingga hubungan tanpa pernikahan dan aborsi yang dipilih.

[48] Jennifer Baumgardner and Amy Richards “Manifesta: Young Women, Feminism, and the Future (United Status. 2000)” dalam Estelle B. Freedman (ed.), The Essentsial Feminist Reader, (New York: The Modern Library, 2007), h. 426., yang membedakan dua kubu dalam feminis ini hanya pada pemaknaan equality (kesetaraan)

[49] Misalnya di Indonesia, dengan dalih emansipasi wanita pengarusutmaan gender tidak hanya menjadi kegiatan sosial, tetapi sudah menjadi kajian akademis dan dipolitisasi, bahkan diajukan sebagai rancangan undang-undang.

[50] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Depok: Gema Insani Press, 2008), h. 103-115.

[51] Misalnya Muhammad Royyan Firdaus “HAM untuk LGBTI” dalam http://islamlib.com/id/artikel/ham-untuk-lgbti.htm, diakses pada tanggal 9 Desember 2012., yang membagi perilaku homoseks dalam dua kategori, yakni sebagai konstruksi budaya dan yang bersifat “given” yang merupakan hak mutlak Tuhan. Sebagaimana laporan yang ia kutip tentang potensi setiap laki-laki untuk “menjadi” perempuan tergantung kadar sel kromoson Y dalam sex chromosomes, akhirnya disimpulkan bahwa penyimpangan orientasi seksual adalah hal yang alami.

[52] Lihat “culture” dalam Merriam-Webster, op.cit. Budaya biasanya berasal dari apa yang dianggap bisa mewakili keseluruhan bentuk dari kebiasaan manusia berupa pemikiran, perkataan, perbuatan, dan artefak serta bergantung pada kapasitasnya dalam belajar dan menyerap pengetahuan dari alam, hal tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya melalui alat-alat, bahasa, dan sistem. Perbedaan kapasitas manusia dalam belajar dan menyerap pengetahuan mengakibatkan perbedaan antar budaya.

[53] Tugas manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi dengan hak untuk mengelola dan kewajiban untuk memelihara alam tidak bisa dipisahkan dari tugasnya sebagai Abdullah berupa tanggung jawab kepada Allah atas hukum-hukum yang diturunkan-Nya. Lihat Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 355.

[54] Untuk contoh aspek biologis yang bersifat kodrati yang turut mempengaruhi konstruk sosial lihat “estrogen,” “prolactin,” dan “mammary gland” dalam Theodore Pappas et al., Encyclopædia Britannica Ultimate Reference Suite (Ed. 16; Encyclopaedia Britannica, Inc., 2012) [DVD], dalam tubuh manusia terdapat hormon estrogen yang mempengaruhi perbedaan struktur tubuh laki-laki dan perempuan, hormon ini menstimulus hormon prolactin agar berproses bersama hormon-hormon lain untuk memproduksi ASI dalam kelenjar susu (mammary glands), kerja hormonal ini turut mempengaruhi bentuk fisik dan kondisi psikis ibu. Karena hal ini bersifat umum akhirnya timbullah konstruk sosial yang melazimkan seorang ibu menyusui anaknya. Proses serupa juga terjadi pada hewan-hewan mamalia.

[55] Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 111. Lihat juga “Ketentuan Umum RUU Gender Problematik!” dalam Henri Shalahuddin dkk., op. cit., h. 10.

[56] Orientasi seksual yang lebih terhormat, yang dibatasi ikatan pernikahan antara lelaki dan perempuan dengan bertujuan melestarikan keturunan dianggap sebagai Sex-negative cultures, lihat Patricia Whelehan “Cross-Cultural Sexual Practices” dalam Judith Worell., op. cit., h. 291-302. Selain itu, pelarangan terhadap perzinaan dan hubungan sesama jenis justru dianggap sebagai homophobia dan pelanggaran HAM.

[57] Metodologi yang dipergunakan seperti sosiometri, pengambilan sampel, dan studi kasus dibuat karena mustahil seorang peneliti meneliti seluruh orang di dunia. Apabila ada beberapa kasus atau banyak responden mengindikasikan kecondongan untuk menyimpang secara seksual, seilmiah apapun penelitian tersebut tidak seharusnya digunakan untuk menggeneralisirnya sebagai sebuah kelaziman.

[58] Seperti pernikahan, rumah tangga, dan lain sebagainya.

[59] Seperti tentang Shalat Jum’at, batasan aurat, hak waris, kesaksian, dan lain sebagainya.

[60] Berbeda dengan feminis Barat yang memisahkan agama dari feminisme, sebaliknya feminis muslim seringkali menjadikan dalil-dalil agama yang telah dirubah sebagai pembenaran atas pemikiran dan perbuatannya.

[61] Misalnya Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, Inc., 1999), h. 2, “…what concerns me most about ‘traditional’ tafasiris that they were exclusively written by males. This means that men and men’s experiences were included and women and women’s experiences were either excluded or interpreted through the male vision, perspective, desire, or needs of woman.”

[62] Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 112-117.

RUU P-KS: Antara Kekerasan atau Kejahatan Seksual?

0

Oleh: Kholili Hasib

 Isu seksualitas pada awal tahun 2019 tidak kalah ramainya dengan isu politik yang kian menghangat di pentas nasional. Isu itu tidak lain adalah tentang RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Pro dan Kontra RUU P-KS saling lempar wacana di media massa.

Hingga, pembahasan RUU P-KS sampai juga dalam forum sidang komisi Bahtsul Masail Qanuniyah PBNU pada pra-Munas NU yang diselenggarakan di Pesantren di Pesantren Al-Hasaniyah Rawalini, Teluknaga, Tangerang, Banten 16 Februari 2019. Di forum itu pun juga terjadi pro-kontra. Tetapi, kesalahan umum tetap terjadi, yaitu mis cara pandang konsep seksualitas itu sendiri. Atau lebih mendasar lagi yaitu, tentang konsep kekerasan seksual. Kelompok yang kontra mengajukan usul dengan term kejahatan seksual.

Pada dasarnya perbuatan pemaksaan yang membahayakan, termasuk dalam seksual, tidak memiliki tempat dalam Islam. Imam Nawawi Asy-Syafi’i, dalam kitabnya Al-Majmu’ Jilid 6 menjelaskan:

 

ولا يستمع بها إلا بالمعروف، فإن كانت نضو الخلق لم تحتمل الوطئ ولم يجز وطئها لما فيه من الاضرار

“Tidak boleh (suami) bersenang-senang (berhubungan seksual) kecuali dengan cara yang baik. Jika istri lemah tidak kuat untuk berhubungan badan, maka tidak boleh suami menjima’nya karena bisa mengakibatkan bahaya” (Imam Nawawi Asy-Syafii, Majmu’ jilid 6, hlm. 413).

Dalam kondisi istri tidak mampu/kuat tidak boleh ada pemaksaan. Sayyid Bakhri Syatha dalam I’anatu al-Thalibin (jilid 4) menerangkan bahwa istri tidak tidak jatuh dalam nusyuz (membangkan suami) dalam hal hubungan badan kecuali ada udzur, yaitu; alat kelamin suami yang over normal, istri dalam keadaan haidh, badan istri lemah, atau istri sedang sakit (I’anatut Thalibin jilid 4, hlm. 79).

Jadi, nusyuz itu dilarang. Bahkan dilaknat. Tetapi, dalam kondisi tertentu penolakan itu tidak jatuh dalam nusyuz. Kasus tertentu itu dikategorikan udzur. Artinya, relasi apa saja yang membahayakan istri tidak dibenarkan dalam hukum Islam. Bahkan, dalam kitab Tuhfahtu al-Muhtaj, jika si suami memaksakan diri hingga mengakibatkan meninggalnya si istri, maka suami terkena hukuman qishash. Artinya, sama dengan membunuh. (Ibnu Hajar al-Haitami,Tuhfatul Muhtaj, hlm. 441 jilid 8).

Jika ditelaah, larangan menjima istri dalam kondisi ada udzur di atas, semuanya seputar karena aspek kerugian fisik. Tubuh terlalu kurus lemah, sakit, haidh, dan lain-lain. Karena jima itu relasi fisik dengan fisik. Maka, jika istri menolak suami karena kurang selera misalnya, padahal suami normal, istri sehat, maka hukumnya haram/tidak boleh.

Dengan demikian, istri jatuh nusyuz jika tidak udzur di atas. Yaitu, dari pihak suami tidak ada problem. Sedangkan si wanita dalam keadaan sehat bugar. Tidak ada alasan dalam penolakan. Wanita yang nusyuz dimurkai oleh Allah Swt.

Relasi antara suami dan istri harus pada prinsip yang saling menyenangkan, tidak membahayakan keduanya. Prinsip nya adalah ma’ruf (dalam kebaikan). Adanya larangan istri menolak ajakan jima’ suami karena dikhawatirkan suami berbuat munkar.

Dalam konteks ini, term ‘kekerasan’ dalam bahasa hukum Islam sebetulnya tidak ditemukan. Apalagi ‘kekerasan seksual’ (al-‘anfu al-jinsi). Justru ada istilah ‘ma’ruf’ (mempergauli dengan baik). Dalam bahasa Arab, kekerasan artinya al-‘anfu, syiddah, atau qasawah. Mungkin terminologi yang mendekati adalah al-adza, yang artinya menyakiti. Tetapi yang digunakan dalam kitab fikih adalah al-idhrar yang artinya perbuatan membahayakan. Seperti perkataan Imam Nawawi Asy-Syafi’i ketika menjelaskan alasan larangan menjima istri: Kamaradhin qa’imin biha yadhurru ma’a wujudihi al-wath’u fala yahsul al-nusyuz (seperti karena wanita sedang sakit, hubungan badannya membahayakan. Maka (istri) tidak termasuk nusyuz).

Dalam kaidah fikih sesuatu yang membahayakan bisa menjadi diperbolehkan. Al-Dharuratu tubihu al-Mahdzurat. Sesuatu yang darurat membolehkan sesuatu yang dilarang. Jadi, asas penolakan istri terhadap suami itu dalam konteks darurat. Sebagaimana dijelaskan di atas.

Persoalannya kemudian, bagaimana dengan konsep kekerasan seksual dalam RUU P-KS yang sedang menjadi perdebatan? Dalam Naskah Akademik dan Draf RUU P-KS dijelaskan definisi kekerasan seksual: “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau perbuatan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan, secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan/atau politik”.

Dalam definisi tersebut dijelaskan sebab terjadi kekerasan seksual …’karena ketimpangan realasi kuasa atau relasi gender’. Pantas saja, dan logis, kelompok yang kontra RUU P-KS ini menilai RUU P-KS mengandung kampanye ideologi feminisme.

Istilah ‘relasi kuasa’ popular dalam pemikiran postmodern, identik dengan filosof postmo yaitu Michel Foucoult. Foucault menyatakan kebenaran dan kekuasan memiliki relasi. Dalam postmo, tidak boleh ada yang dominan atas yang lain. Kuasa yang dimaksud penganut feminisme adalah gender. Maka tidak boleh ada kuasa atas relasi gender. Lebih sederhananya, tidak boleh ada yang memimpin berdasarkan jenis kelamin. Berarti menolak konsep qowam (laki-laki pemimpin perempuan) dalam Islam.

Karena itu definisi ‘kekerasan seksual’ dalam RUU P-KS tersebut adalah definisi sekular. Tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Alias tidak Pancasilais. Konsep ini yang harus ditelaah secara kritis dan mendalam, sebab konsep ini mendasari pasa-pasal dan ayat di dalam RUU.

Jika disebutkan salah satu pasal bermasalah adalah seperti pasal tentang perkosaan. Dalam pasal perkosaan dijelaskan tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan. RUU P-KS mengafirmasi ada dua macam perkosaan, yaitu perkosaan di luar perkawinan dan perkosaan di dalam perkawinan.

Jenis perkosaan di dalam perkawinan ini yang harus didiskusikan. Jika prinsipnya adalah tidak boleh ada relasi kuasa gender, maka istri boleh menolak ajakan suami meskipun tanpa ada udzur apapun. Dalam paham gender equality (kesetaraan gender) ada prinsip my body is mine (tubuhku adalah milikku). Tidak boleh ada kontrol terhadap tubuh perempuan, bahkan dari suami pun.

Jadi, dalam faham gender equality, meski telah menikah, tetap ada semacam “privatisasi” tubuh antara suami dan istri. Ada kesan egoisme di antara keduanya. Tubuh istri adalah hak istri untuk mengontrolnya. Suami juga demikian tidak boleh saling mengontrol.

Jelas ini jenis relasi aneh. Bandingkan dengan Islam. Relasi yang diatur Islam lebih indah. Suami bagaikan baju atas istrinya. Begitu pula sebaliknya. Hunna libasun lakum wa antum lahunna (QS. Al Baqarah: 187). Jika sudah menikah, suami dan istri tidak ada ruang privat antara satu dengan lainnya. Justru saling menjadi baju. Baju adalah pelindung. Bahasa ini menunjukkan saling berbuat baik. Bukan saling ego seperti prinsip privatisasi itu.

 Sedangkan perkosaan di luar pernikahan jelas itu perbuatan zina. Perzinaan adalah dosa. Dan dosa termasuk kejahatan. Karena itu, untuk menghindari konsepsepsi-konsepsi yang kontroversial, maka masuk akal jika terminologi kekerasan diganti dengan kejahatan. Sebab, kejahatan sudah pasti melanggar hukum. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kejahatan artinya perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis.

Perzinahan, yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan harusnya adalah melanggar hukum. Karena keluar dari norma agama. Dengan demikian, zina harusnya masuk kategori kejahatan seksual. Jadi, dosa dalam bahasa agama itu perbuatan jahat.

Pergeseran Paradigma Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Batas Usia Perkawinan Perempuan

0
PERGESERAN PARADIGMA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG BATAS USIA PERKAWINAN PEREMPUAN
PERGESERAN PARADIGMA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG BATAS USIA PERKAWINAN PEREMPUAN

Oleh: Meyrinda Rahmawaty Hilipito, S.H., M.H.[1]
Email: mr.hilipito@gmail.com

Setelah berlaku selama kurang lebih empat puluh empat tahun, Mahkamah Konstitusi kembali  memutus pengujian konstitusionalitas frasa “umur 16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Frasa tersebut dianggap sebagai penyebab maraknya perkawinan anak yang melanggar hak-hak anak khususnya perempuan, sehingga batasnya perlu dinaikkan. Rasanya, baru tiga tahun, frasa yang semula dinyatakan konstitusional dalam Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014 justru menjadi inkonstitusional pada Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017. Yang pasti, langkah hakim tersebut dianggap sebagai pintu masuk untuk menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan.

Putusan ini tentu mengundang sejumlah tanya, karena pertimbangan Mahkamah Konstitusi berubah kontras dengan putusan sebelumnya. Beberapa pendapat yang sangat menonjol antara lain batas umur 16 tahun adalah kebijakan hukum (legal policy) yang diskriminatif dengan dalih gender. Selain itu dipandang tidak sejalan dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) karena lebih rendah dari batas usia anak yaitu 18 tahun. Puncaknya, batas usia tersebut dinilai tidak sesuai dengan UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (UU Ratifikasi CEDAW) yang telah merekomendasikan setiap negara untuk menaikkan dan mempersamakan batas minimal usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang implikasi yang muncul akibat putusan tersebut.

Sekilas bila dibandingkan dengan Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, tampak jelas perbedaannya. Dalam putusan ini, argumentasi hakim bukan hanya sarat dengan tinjauan hak asasi manusia semata dengan memaknai perkawinan sebagai hak setiap orang yang harus dijamin dan dilindungi negara, tetapi hakim juga menggunakan pendekatan normatif dengan merujuk pada tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan. Bahkan, yang sangat mencolok adalah digunakannya sudut pandang agama khususnya Islam. Hakim mengutip al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 21 dengan mengintepretasikan pernikahan dalam Islam sebagai sesuatu yang sangat diajurkan bagi siapapun yang sudah dewasa dan punya kemampuan untuk menikah demi menenangkan hati, jiwa dan raga serta melanjutkan keturunan. Menurut hakim, anjuran yang sama juga ditemukan pada al-Hadits yang mengajurkan secara khusus kepada kaum muda yang telah mampu untuk segera menikah. (Salinan Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hal. 227)

Hakim bahkan menegaskan, Islam tidak mengenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia zaman sekarang, kemungkinan kemudharatannya jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang. (Salinan Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hal. 229)

Selain itu, hakim meyakini bahwa tidak ada jaminan yang dapat memastikan jika batas usia bagi perempuan ditingkatkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalah kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Namun disisi lain, bukan berarti tidak perlu dilakukan upaya apapun, khususnya tindakan preventif untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak yang dikhawatirkan akan menimbulkan beragam masalah. Hakim justru mempercayai, beragamnya masalah kongkrit yang terjadi tidak murni disebakan aspek usia semata sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan.  Oleh karenanya, hakim berpendapat jika ada keinginan untuk merubah batas usia nikah perempuan, maka hendaknya diikhtiarkan melalui proses legislative review. (Salinan Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hal. 231)

Ironisnya, dengan putusan itu, para hakim yang mempertahankan standar usia menikah 16 tahun dianggap tidak berpihak pada isu dan kepentingan perempuan. Maria Farida Indrati tercatat sebagai satu-satunya hakim yang mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Menurutnya, berbagai dampak yang terjadi karena adanya praktik perkawinan anak terlihat bahwa pengaturan tentang batas usia perkawinan khususnya bagi anak perempuan dalam Pasal 7 UU Perkawinan tersebut telah menimbulkan permasalahan dalam implementasinya. (Salinan Putusan Nomor 30-74/PUU-XII/2014, hal. 236-237)

Human Right Watch dalam World Report 2016 turut menyorot Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan pernyataan sebagai berikut. (Human Rights World Report, 2016).

“In June. the Constitutional Court rejected a petition on increase the minimum age of marriage for girls from 16 to 18. Only one judge the sole women on the nine-member panel dissented. The Convention on the Rights of the Child, which Indonesia ratified in 1990 defines a child as anyone under age 18 and the CRC Committee has determined that 18 should be the minimal age for marriage regardless of parental consent”

Melihat dialektika dalam putusan tersebut seolah kembali mengingatkan pada masa saat rancangan undang-undang perkawinan hendak disahkan. Polemik yang terjadi bahkan sangat tajam. (Daniel S. Lev, 1986) Umat Islam dan Fraksi PPP yang ada di parlemen menentang keras rancangan undang-undang ini karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Salah satu substansi yang digugat adalah penetapan usia minimal perkawinan. Awalnya, batas usia yang diusulkan adalah 21 tahun dan 18 tahun sesuai rancangan undang-undang perkawinan yang lama. Alternatif lain yang muncul adalah 18 tahun dan 15 tahun. (Risalah Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perkawinan, 1973)

Alhasil, rumusan yang disetujui adalah sebagaimana yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Batas umur yang disepakati menjadi 19 tahun dan 16 tahun. Langkah tersebut adalah bentuk kompromi untuk mengakomodir pluralitas hukum yang ada di Indonesia. Oemar Seno Ajie, Menteri Kehakiman selaku wakil pemerintah bahkan menyebutnya sebagai jalan tengah yang disepakati pembentuk undang-undang di masa itu. (Risalah Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perkawinan, 1973)

Setiap negara tentu mempunyai alasan dan kepentingan yang berbeda dalam menentukan batas usia perkawinan. Dalam karyanya ‘Family Law Reform in The Muslim World, Tahir Mahmood mengakui bahwa UU Perkawinan di dunia Islam pun mengatur secara berbeda-beda umur yang dianggap ideal untuk menikah. Misalnya di Maroko, laki-laki dan perempuan harus berusia 18 dan 15 tahun. Negara-negara seperti Malaysia, Paksitan, Mesir dan Libya baik laki-laki dan perempuan ditentukan 18 dan 16 tahun. Lain halnya dengan Irak dan Somalia yang tidak membedakan usia nikah antara laki-laki dan perempuan, yaitu sama-sama 18 tahun. Dengan usia yang lebih muda, Yaman Utara menetapkan keduanya harus berusia 15 tahun. Aljazair dan Bangladesh menentukan batas usia nikah yang lebih tinggi untuk laki-laki dan perempuan, yaitu 21 tahun dan 18 tahun. (Tahir Mahmood, 1972).

Bervariasinya batas usia tersebut memang menjadi keniscayaan, karena selain sangat bergantung pada politik hukum dan kultur negara yang bersangkutan, sumber hukum yang dijadikan rujukan yaitu al-Qur’an maupun al-Hadits tidak secara ekplisit menetapkan batas usia nikah.  Namun jika dilihat dengan seksama, negara-negara tersebut tetap memberi jarak usia antara laki-laki dan perempuan. Umumnya batas usia bagi perempuan lebih muda beberapa tahun dibandingkan dengan batas usia laki-laki kecuali di beberapa negara yang menetapkan usia yang sama dimana hal ini kasuistik karena hanya berlaku di satu atau dua negara saja. Prinsipnya, inilah pengaturan batas usia menikah di dunia Islam yang juga mempengaruhi negara seperti Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam.

Dinamika pengaturan batas usia minimal perkawinan sejak dari penyusunan rancangan undang-undang yang kemudian berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi khususnya Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017, telah menyebabkan pembaharuan hukum perkawinan di Indonesia. Legislasi hukum perkawinan pada akhirnya tidak boleh memuat ketentuan usia 16 tahun sebagai usia minimal perkawinan bagi perempuan. Tentu ini berdampak pada aturan turunannya seperti Kompilasi Hukum Islam.  Perdebatan di lembaga legislatif tentang berapa batas usia minimal perkawinan bagi perempuan sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 1974 pun menjadi suatu keniscayaan. Apalagi, secara yuridis-normatif putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, dalam arti memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lain untuk dilakukannya banding atau kasasi. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat diwajibkan untuk merevisi norma yang telah dibatalkan sampai jangka waktu yang telah ditentukan. Jika tidak, usia 18 tahun dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara otomatis menjadi rujukan norma tentang batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Prinsipnya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh diabaikan, kendati demikian perlu dikritisi dengan menyampaikan beberapa catatan penting terhadap pertimbangan yang digunakan hakim konstitusi.

Pertama, argumentasi hakim yang menyatakan penentuan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan merupakan kebijakan hukum yang terbukti diskriminatif atas dasar perbedaan gender dikarenakan terhalangnya pemenuhan hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan – adalah argumentasi yang tidak beralasan. Sebab jika ditelusuri, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada normanya, akan tetapi lebih pada konteks penerapan atau implementasi norma yang dalam praktik ternyata tidak sesuai dengan asas dan tujuan perkawinan. Hakim tampaknya tidak menyadari bahwa perkawinan yang dilakukan para pemohon pada perkara tersebut justru tidak sesuai dengan batas umur minimal yang ditentukan UU Perkawinan yaitu 16 tahun.  Dalam hal ini para pemohon menikah di usia 13-14 tahun yang lazimnya digolongkan sebagai perkawinan di bawah umur. Perkawinan ini memang sah, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu, misal dengan meminta dispensasi pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki dan perempuan. Hanya saja, berdasarkan dalil pemohon, terungkap bahwa perkawinan yang dilangsungkan bukan karena kehendak sendiri melainkan dipaksa orang tua dengan alasan ekonomi. Ini merupakan bentuk perkawinan yang tidak dibenarkan UU Perkawinan, karena seharusnya sebuah perkawinan dilaksanakan atas dasar kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, dan kemitraan suami istri. Ketika itu dilanggar, maka sama saja mengingkari asas dan tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan, sehingga dapat dipastikan akan menciderai hak-hak perempuan itu sendiri.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya perkawinan anak bukan semata-mata disebabkan aturan batas usia minimal sebagai faktor utama, tetapi justru adanya faktor lain seperti kurangnya kesadaran (ketidakfahaman) atau kepatuhan (ketidaktaatan) terhadap UU Perkawinan itu sendiri. Upaya pencegahan atas praktik perkawinan yang tidak senafas dengan undang-undang seperti perkawinan paksa di usia dini yang dialami para pemohon dapat diminimalisir dengan cara membangun pemahaman yang benar tentang asas dan tujuan perkawinan serta maksud pengaturan batas usia minimal sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, yakni, untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturuannya. Kesehatan yang dimaksud tentu mencakup kesehatan lahir dan batin. Namun sayangnya, hal ini tidak menjadi pertimbangan hakim konsitusi dalam putusannya.

Disisi lain, hakim juga seharusnya tidak secara parsial melihat praktik perkawinan di usia muda yang diklaim sebagai perkawinan anak sebagai sesuatu hal yang membawa kemudharatan bagi perempuan terutama dengan menggunakan perspektif gender. Lebih-lebih dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengurangi hak atas perlakuan yang sama di depan hukum dengan berubahnya status perempuan yang menikah di usia 16 tahun yang masih digolongkan sebagai anak menjadi orang dewasa, sehingga berdampak pada haknya untuk tumbuh dan berkembang ataupun hak untuk memperoleh pendidikan yang setara. Tidak jarang ditemukan, perempuan-perempuan berusia muda yang telah akil balik dan dianggap telah cakap untuk menikah pada akhirnya memiliki rumah tangga yang langgeng dan harmonis tanpa dikurangi hak-hak konstitusionalnya seperti dalam hal memperoleh pendidikan. Artinya, batas usia minimal perkawinan tidak menjadi penghalang bagi setiap warga negara khususnya perempuan untuk mendapatkan pendidikan baik secara formal maupun informal. Oleh karena itu, usaha menaikkan atau mempersamakan batas usia antara laki-laki dan perempuan dengan alasan agar tidak terjadi diskriminasi berdasarkan jenis kelamin bukanlah pertimbangan yang bijak. Lagipula upaya demikian belum tentu sepenuhnya menjamin hak-hak perempuan.

Kedua, pandangan hakim yang menekankan perlunya sinkronisasi batas usia minimal perkawinan dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak dan UU Ratifikasi CEDAW adalah hal yang absurd. Sebenarnya jika dipahami secara utuh, UU Perkawinan mengatur batasan umur menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun. Bila terjadi perkawinan  dibawah umur, maka UU Perkawinan memberi peluang dengan menentukan batasan umur minimal kepada laki-laki dan perempuan yang hendak menikah yaitu 19 dan 16 tahun dengan syarat harus mendapatkan izin nikah. Perlu dicatat, batas usia minimal tersebut tidak berlaku secara mutlak. Jika dengan alasan tertentu terjadi perkawinan di usia yang lebih muda, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan harus memenuhi prosedur tertentu misalnya permintaan dispensasi nikah.

Artinya, UU Perkawinan tidak hanya sekedar memberi pilihan-pilihan hukum terkait dengan batas umur perkawinan, tetapi juga disertai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap warga negara yang hendak melangsungkan pernikahan. Dari sini dapat dikatakan, UU Perkawinan telah mengakomodir berbagai hal terkait perkawinan secara jelas dan tegas (expressive verbis). Hal ini tentu dapat dipahami, karena inilah undang-undang pertama yang mengatur masalah perkawinan secara nasional sehingga menjadi tolak ukur hukum keluarga bagi masyarakat Indonesia. (June S. Katz dan Ronal S. Katz, 1973). Dengan demikian, UU Perkawinan adalah undang-undang yang bersifat khusus, maka jika menggunakan pendekatan asas hukum, berlaku satu asas yang disebut lex specialis derogat legi generalis. Aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum.

Untuk itu, menjadi tidak relevan bila UU Perkawinan tunduk atau harus disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak. Karena UU Perlindungan Anak adalah aturan yang bersifat umum, dalam pengertian tidak secara spesifik menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan termasuk batas usia minimal perkawinan selain menegaskan definisi anak yang dimaknai seseorang yang berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sekalipun dapat dimaklumi sinkronisasi horizontal antara UU Perkawinan dengan UU Perlindungan Anak dimaksudkan hakim sebagai bentuk preventif dalam mewujudkan hak-hak anak perempuan, namun ikhtiar tersebut menjadi paradoks karena menabrak asas-asas hukum yang berlaku. Begitu pula sinkronisasi terhadap UU Ratifikasi CEDAW yang telah diadopsi dalam sistem hukum Indonesia sebagai sebuah undang-undang.

Satu hal tidak dapat dipungkiri adalah maraknya tuntutan global melalui ketentuan hak asasi manusia seakan menghendaki banyak negara untuk meninjau kembali batas usia minimal perkawinan dalam UU Perkawinannya. Apalagi banyak negara telah mengadopsi konvensi-konvensi atau perjanjian internasional dalam kebijakan hukummnya. UU Perlindungan Anak dan UU Ratifikasi CEDAW adalah dua produk perundang-undangan yang lahir dari rahim instrumen hukum internasional tersebut. Akibatnya, aturan tentang usia minimal perkawinan yang berlaku di negara-negara muslim atau negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam seperti Indonesia bisa dikategorikan tidak sehaluan dengan aturan hukum internasional seperti Konvensi Hak Anak atau UU Ratifikasi CEDAW. Perbedaan inilah yang kemudian memunculkan isu perkawinan anak bagi negara-negara yang menetapkan usia dibawah 18 tahun, dan tidak menutup kemungkinan merembet pada isu-isu Lesbian, Biseksual, Gay, Transgender, kekerasan seksual, legalisasi aborsi.

Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2015 telah mengingatkan, penerimaan konvensi dalam bentuk ratifikasi kadang-kadang menimbulkan masalah dalam implementasi karena tidak seluruh ketentuan dalam konvensi sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh bangsa Indonesia. (Hamdan Zoelva, 2005). Kondisi ini tentunya patut diperhatikan oleh hakim konstitusi ketika melakukan pengujian sebuah undang-undang terutama yang terkait dengan isu-isu transnasional. Akan tetapi, dalam putusan ini nampaknya hakim terjebak pada pertimbangan konstitusionalitas yang didasarkan pada prinsip dan instrumen hukum internasional yang hakikatnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang telah disepakati dalam UU Perkawinan.

Selain masalah pertimbangan hakim, hal lain yang juga mencuri perhatian terkait dengan putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 ini adalah proses persidangannya. Berdasarkan risalah yang diperoleh dari Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, sidang hanya digelar sebanyak tiga kali, yaitu pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan perbaikan permohonan dan pembacaan putusan. Hal ini jauh berbeda dengan sidang pada perkara Nomor 30-74/PUU-XII/2014 yang berlangsung sebanyak sepuluh kali. Tentu, hakim mempunyai argumentasinya sendiri terkait penalaran waktu yang dianggap wajar dalam memutus suatu perkara. Apalagi tidak ditemukan satu aturan yang mengatur batas waktu penyelesaian dalam pengujian undang-undang. Panjang pendeknya tergantung dari konstitusionalitas perkara yang ditangani hakim. Dalam praktik, Mahkamah Konstitusi bahkan perrnah memutus perkara pengujian undang-undang dengan proses yang cepat seperti putusan terkait syarat capres di tahun 2004 dan KTP sebagai alat verifikasi memilih. Dua putusan itu sangat dibutuhkan karena faktor kegentingan dalam pelaksanaan pemilu.

Namun dengan melihat seluruh catatan risalah perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 hingga dibacakannya putusan, tidak berlebihan rasanya jika muncul penilaian miring bahwa ada tahapan yang diabaikan oleh hakim dalam pengujian norma batas usia menikah bagi perempuan. Pada umumnya, ketika hakim hendak menjatuhkan sebuah putusan, maka ia akan berpijak pada apa yang dinamakan dengan fakta hukum. Pertimbangan dan keyakinan hakim salah satunya diperoleh dan dipengaruhi fakta yang terungkap dalam persidangan. Itulah sebabnya fakta hukum merupakan “conditio sine qua non” bagi terwujudnya putusan yang adil. Fakta hukum dapat berupa surat atau tulisan, keterangan para pihak, keterangan saksi, keterangan ahli petunjuk dan alat bukti berupa informasi atau komunikasi elektronik. (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 36 ayat (1)).

Anehnya, pada perkara Nomorr 22/PUU-XV/2017 sebelum mempertimbangkan pokok permohonan hakim konstitusi justru berpendapat “tidak terdapat urgensi” untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksudkan Pasal 54 UU MK. (Salinan Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017, hal.40). Patut diketahui, keterangan pihak-pihak yang dimaksud antara lain adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dua lembaga ini sebenarnya memegang peranan yang sangat penting dalam setiap pengujian undang-undang karena kedudukannya sebagai pembentuk undang-undang. Memang, tidak ada yang salah dengan langkah yang diambil Mahkamah Konstitusi, karena undang-undang dan hukum acaranya membuka peluang tersebut, apalagi hakim berdasarkan prinsip kebebasan hakim atau freedom and impartial judiciary seperti yang dinyatakan Peter. H Russel mempunyai independensi dalam memutus perkara termasuk dalam menilai apakah suatu perkara perlu didalami ataukah tidak. (Peter H. Russel, and David M. O’Brien, 1985).

Namun sikap seperti itu patut disayangkan. Karena keterangan dari pembuat undang-undang justru bisa jadi akan sangat membantu menjelaskan secara faktual baik dari sisi filosofis, yuridis, dan sosiologis terkait frasa dari norma yang sedang dipersoalkan. Kendati isu yang sama pernah diputus pada tahun 2015, yang perlu diingat adalah sebagian besar komposisi hakim konstitusi telah berubah pada saat perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 diputus. Muncul sosok-sosok baru dengan latar belakang masing-masing individu hakim yang berbeda dan boleh jadi dengan sudut pandangannya yang juga berbeda terhadap norma yang diuji. Para hakim itu tentu bisa saja menelusuri keterangan-keterapang para pihak berdasarkan putusan terdahulu atau dengan pengetahuan hukum atau pengalaman yang dimilikinya. Tetapi, bukankah dengan menelusuri keterangan secara langsung dari ruang persidangan, sikap dan suasana kebatinan yang dirasakan akan jauh terasa berbeda? sehingga hakim dalam membangun keyakinannya akan lebih mantap ketika membuat sebuah keputusan.

Dengan menggali kembali hal-hal yang lebih mendalam terkait latar belakang dan makna frasa “umur 16 tahun” hakim tentu akan memperoleh pandangan yang lebih komprehensif.  Dari tahap itulah hakim akan bisa menilai apakah frasa tersebut dalam konteks kekinian masih relevan atau tidak, harus dipertahakan maknanya ataukah justru harus dibatalkan. Keterangan lain bahkan juga bisa dielaborasi dari ahli atau pakar di berbagai bidang ilmu yang kompeten termasuk para pihak yang punya kepentingan terhadap persoalan batas usia nikah perempuan seperti Majelis Ulama Indonesia atau lembaga-lembaga terkait. Sayangnya Mahkamah konstitusi dalam perkara ini hanya mempertimbangkan dalil para pemohon. Padahal sejatinya fungsi sebuah peradilan itu adalah untuk mewujudkan putusan yang adil demi tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana yang menjadi tujuan didirikannya Mahkamah Konstitusi. Itu artinya, setiap putusan hakim harus berdasarkan fakta hukum yang jelas.

Maka bukankah menjadi suatu kesalahan yang fatal ketika hakim mengenyampingkan fakta hukum seperti keterangan saksi, keterangan para pihak, dan keterangan ahli yang harusnya dimuat dalam pertimbangan hukum? Apalagi hanya dengan alasan, bukan menjadi suatu hal yang penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak dalam pengujian batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Dengan melihat proses persidangan dan pertimbangan seperti itu barangkali kita perlu mempertanyakan, apakah Mahkamah Konstitusi benar-benar menjalankan fungsinya secara maksimal sebagai sebagai pengawal konstitusi dalam perkara ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (1973). ‘Rapat Kerja antara Panitia Kerja RUU tentang Perkawinan Bersama dengan Pemerintah’, Risalah Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Perkawinan Nomor Pokok 14A Tahun Sidang 1972/1973.

Human Rights, World Report Events of 2015 (2016) https://www.hrw.org/sites/default/files/world_report_download/wr2016_web.pdf, p. 308. diakses 11 Januari 2019.

Lev, Daniel S. (1986). Peradilan Agama Islam di Indonesia. Cet. Ke-2. Jakarta: Intermasa.

Katz, June S. and Ronal S. Katz. (1975), ‘The New Indonesia Marriage Law, A Mirror of Indonesia’s Poltical, Cultural, and Legal System’, The American Journal of Comparative Law, Vol.23. No. 4, Oxford University Press, p.653-683. https://www.jstor.org/stable/839240, diakses 14 Januari 2019.

Mahmood, Tahir.  (1972). Family Law Reform in The Muslim World. New Delhi: The Indian Law Institut.

Russel, Peter H. and David O’ Brien, ed. (1985). Judicial Independence, In the Age of Democracy Critical Perspectice from Around the Constitutional and Democracy Series. Mc.Graq-Hill. Toronto: Canada.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011  tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226.

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Zoelva, Hamdan. (2005). Konsekuensi Impelementasi HAM Dalam UUD 1945.  Makalah pada Seminar Hukum Nasional. Jakarta. Komisi Hukum Nasional 21-22 September 2005.

[1] Peneliti The Center for Gender Studies serta Anggota Bidang Kajian dan Hukum Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia

Gerakan Dakwah Muslimah dalam Elaborasi Wacana Gender

0

Oleh : Rahmatul Husni, S.Hum., M.Pd.I*

 

Gerakan feminis di lingkungan muslim hanya akan berhasil jika berorientasi pada ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah), bukan didasarkan atas ide-ide orientalis Barat, yang belum tentu cocok atau bahkan justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Pemikiran ini pernah digagas oleh Dr. Lois Lamya, istri dari Prof. Isma’il Raji al-Faruqi.

Pasalnya, isu-isu gender yang belakangan kian kencang dihembuskan oleh gerakan feminis, berawal dari rasa ‘sakit hati’ kaum wanita di Barat atas sejarah kelam yang mereka alami. Sejak zaman Plato dan Aristoteles hingga tokoh-tokoh abad pertengahan dan modern seperti St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus John Locke, Rousseau, dan Nietzche, semuanya seolah bermufakat bahwa wanita adalah makhluk yang hina-dina, biang kerok dari segala permasalahan. Stigma ini yang kemudian menjelma menjadi kemarahan bagi kaum feminis di Barat.

Sebutlah Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang dianggap sebagai nenek moyang kaum feminis, ia mengecam segala  bentuk diskriminasi terhadap wanita. Dalam pandangannya, wanita harus memiliki kesamaan hak dengan laki-laki dalam hal pendidikan dan politik. Kelemahan wanita terletak pada faktor lingkungan, bukan bawaan. Oleh karena itu, wanita harus sekolah sama seperti laki-laki agar tidak menjadi burung dalam sangkar. Ide ini pertama kali ia cetuskan dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman (Todd, 2000).

Gagasan Mary Wollstonecraft pada zamannya mungkin sudah dianggap tepat. Tidak ada yang salah dengan usahanya untuk menyadarkan para wanita agar tidak terpuruk dalam kebodohan. Yang jadi masalah adalah ketika gerakan feminis ini sudah melewati batas, maka yang terjadi adalah kebalikannya. Inilah yang dikatakan Imam al-Ghazali, ‘kullu syai’in idza balagha haddahu in kasa ‘ala dhiddihi’.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis nampaknya berubah haluan menjadi gerakan radikal yang anti laki-laki. Bukan sekedar menyamakan derajat intelektual dan sosial wanita, tetapi justru mengarah pada revolusi hegemoni atas kaum laki-laki.  Mereka mengutuk sistem patriarki, merayakan lesbi, dan mencemooh pernikahan. Bagi mereka pernikahan sama dengan ‘living with the enemy’. Seolah tak mau ketinggalan, beberapa tokoh Islam pun turut ‘terbawa arus’ pemahaman gender dengan perspektif feminis radikal. Terdapat nama-nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hasan dari Pakistan, Taslima Nasreen dari Bangladesh, dan yang paling terkenal adalah Amina Wadud dari Amerika yang menjadi khatib dan imam shalat jum’at di gereja beberapa waktu lalu (Arif, 2017).

Di Indonesia, radikalisme kaum feminis ini sudah sampai pada tahap konstitusi. Pada Bab VIII, pasal 67 RUU KKG disebutkan : “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”. Inilah yang dianggap sebagai keadilan gender dan pembelaan hak-hak wanita bagi kaum feminis. Dengan kata lain, keadilan yang dimandatkan Tuhan melalui kitab suci (al-Quran) dianggap sudah tidak relevan lagi karena pembatasan dari undang-undang tersebut. Konsekuensinya adalah pembagian waris laki dan perempuan adalah 50:50, wanita boleh menjadi imam shalat laki-laki, boleh menjadi khatib, boleh menjadi wali nikah, dsb (Shalahuddin, 2012).

Yang terbaru yaitu tentang Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Entah disengaja atau tidak, ada saja pihak yang ternyata gagal paham memberikan analisa dan tanggapan terhadap RUU ini. Misalnya saja dengan menganggap tidak ada kalimat yang menyatakan secara verbal pro perzinaan dan pro LGBT, walaupun mengakui tidak ada larangan untuk untuk itu. Ini sama saja dengan men-jaiz-kan perbuatan zina dan LGBT dengan alasan tidak ada anjuran dan tidak ada larangan, boleh-boleh saja. Yang lebih fatal sebenarnya adalah membuang worldview dan framework sebagai seorang muslim, dengan memberi kesan negatif bahwa pihak yang berseberangan dengan pendapatnya sebagai orang yang mendasari pemikirannya untuk memasukkan pertimbangan unsur agama dan moralitas. Perlu diingat bahwa sila pertama dan kedua pancasila berturut-turut adalah, “Ketuhanan Yang Maha Esa”; ”Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Artinya negara Indonesia ini berlandaskan atas nilai-nilai agama dan moralitas. Mengesampingkan pertimbangan unsur agama dan moralitas adalah tindakan inkonstitusi.

Isu-isu gender semacam ini memang menggoda untuk dicermati. Kata “equal” digunakan sebagai senjata mematikan, seolah orang-orang yang tidak pro adalah orang yang anti kesetaraan dan cenderung diskriminatif. Sadar atau tidak, gagasan anti diskriminasi dan pengangkatan derajat wanita sebenarnya telah ada sejak Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah wahyu.

Buktinya adalah, tidak ada satupun ayat al-Quran yang bias gender atau misogyny (pandangan miring ‘sebelah mata’). Dalam memandang masalah gender, Islam melihat derajat laki-laki dan wanita berdasarkan tingkat ketakwaannya (Q.S Ali-Imran : 195). Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan pakaian bagi wanita, dan begitu pun sebaliknya (Q.S al-Baqarah : 187). Di sisi lain, ketika memasuki kehidupan berumah tangga, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing yang tidak bisa dicampur aduk satu sama lain (Q.S al-Baqarah : 228). Ini berarti ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah memutus mata rantai adat kebiasaan kaum jahiliyah yang mengubur bayi perempuannya hidup-hidup, membatasi pernikahan bagi laki-laki yang tadinya memiliki istri sebanyak-banyaknya menjadi paling banyak 4 istri, mengharamkan praktik nikah syighar (saling tukar anak gadis untuk dijadikan istri), dsb.

Sampai disini, kita dapat menarik benang merah bahwa peran strategi gerakan dakwah muslimah tidak akan berarti apa-apa jika para wanita tidak mengetahui esensi ajaran Islam yang ternyata sangat membela hak-hak seorang wanita. Maka yang paling utama dikampanyekan adalah soal ilmu. Ilmu yang benar akan meniadakan sifat dan sikap jahil yang ada dalam diri seseorang. Dengan meng-ilmu-i hakikat dirinya diciptakan sebagai seorang wanita, ia akan dibimbing dengan taufik dan hidayah yang datang dari Allah sehingga tidak salah dalam berfikir, berkata, dan beramal. Kalau ilmunya saja sudah salah, bagaimana mungkin sikapnya akan benar?

Ilmu yang benar mesti diimbangi dengan adab. Bisa jadi, mereka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh Islam namun terlibat dalam gerakan feminis radikal itu, ilmu yang mereka miliki tidak diimbangi dengan adab. Adab disini bukan sekedar “sopan santun” atau baik budi bahasa. Adab menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas seperti yang dikutip oleh Dr. Adian Husaini adalah, “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” (Husaini, 2012). Adab itu pula yang membuat wanita muslimah berperan aktif dalam meng-counter pemikiran-pemikiran feminis barat. Karena tidak disebut beradab kalau ilmu yang baik itu tidak disebar dan didakwahkan kepada orang lain. Sungguh sederhana ajaran Islam bagi seorang wanita, jika ingin diangkat harkat dan martabatnya maka harus memenuhi dua syarat; berilmu dan beradab.

Selama ini, sistem dan pola pendidikan yang konvensioal agaknya kurang memperhatikan aspek detail dari persoalan wanita, sehingga menghasilkan output yang “kurang-lebih” sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, konsep pendidikan yang kohern dengan persoalan wanita adalah suatu hal yang patut dikaji. Wanita selain menjadi objek didik, ia juga mesti berperan sebagai pendidik. Mendidik wanita berarti berupaya mengembalikan fitrahnya menurut kehendak Allah. Dan Allah menghendaki wanita itu untuk diakui, dihormati, dan dimuliakan, melalui perannya sebagai wanita. Dengan demikian terciptalah keserasian dan keharmonisan gender, bukan kesetaraan.

 

*Artikel ini dimuat di Republika, 9 Februari 2019

* Peneliti The Center for Gender Studies (CGS), Kandidat doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Program beasiswa 1000 ulama BAZNAS – DDII

 

Usia Pernikahan: Haruskah Jadi Masalah?

0

Oleh: Dr. Dinar D. Kania (Direktur CGS & Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia)

Diskursus tentang pendewasaan usia perkawinan, yang lebih tepatnya disebut dengan peningkatan usia (minimal) pernikahan, akhirnya memulai babak baru dengan berhasilnya Judicial Review  Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada tahun 2015 lalu pernah  diajukan dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.  Pertimbangan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi yang  tercatat dalam Putusan Perkara No. 22/PUU-XV/2017 adalah demi terwujudnya kesetaraan gender dan menghapus diskriminasi  serta tercapainya salah satu tujuan  Sustainable Development Goals  (SDGs) yaitu menghapus perkawinan anak.  Hakim MK tersebut berargumen apabila kondisi pernikahan anak terus dibiarkan, maka akan terjadi darurat pernikahan anak. Padahal dalam kasus JR KUHP Pasal-Pasal Kesusilaan pada tahun 2016 lalu,  sepertinya MK tutup mata dengan adanya “darurat perzinaan”… “darurat LGBT”, dengan menolak JR tersebut dan  melempar tanggung jawab kepada DPR. (Mahkamah Konstitusi, 2018)

Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa ada yang begitu gigih berjuang untuk meningkatkan batas usia pernikahan seorang perempuan? Dalam UU Perkawinan Tahun 1974 batas pernikahan seorang perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 18 tahun. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi  tersebut maka usia minimal terjadinya pernikahan akan dinaikan menjadi 18 tahun untuk perempuan, sama dengan usia  minimal pernikahan laki-laki. Mempersamakan batas usia minimal pernikahan  perempuan dan laki-laki ini, dianggap sebagai sebuah bentuk “kesetaraan” dan juga menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Hal itulah salah satu alasan MK mengabulkan permohonan JR UU  No 1  tentang Perkawinan untuk menaikan batas minimal usia pernikahan bagi perempuan.

Jika kita menggunakan perspektif Islam,  debat ulama fikih terkait isu usia pernikahan,  lebih fokus kepada boleh tidaknya pernikahan yang dilakukan sebelum seorang anak mencapai pubertas (baligh).  Namun pada abad 19,  Turki Utsmani mulai mengadopsi sistem hukum yang terinspirasi dari model Eropa dan  tahun 1917- menjelangnya runtuhnya kekhilafahan-  terbitlah Ottoman Law of Family Rights (OLFR 1917).  Dari OLFR ini muncul pertama kalinya  aturan mengenai usia minimal pernikahan dan juga disyaratkan telah dicapai masa pubertas (baligh) apabila pernikahan dilakukan sebelum usia dewasa (rusyd) yaitu 17 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki. Sejak saat itu, pernikahan sebelum baligh menjadi ilegal dalam hukum negara Turki Utsmani dan pelakunya akan mendapatkan sanksi apabila melanggar aturan tersebut. (Welchman, 2011)

Among other things, the OLFR introduced as state law for the first time minimum ages of marriage and also required puberty to have been reached for any marriage before the age of full legal majority (rushd) at 18 for the male and 17 for the female. Marriage below puberty was thus prohibited in law, and there was no mention of wilayat al-ijbar.(Welchman, 2011)

Pada dasarnya, Jumhur ulama Islam tidak menetapkan batasan usia bagi pernikahan karena para fuqoha tidak mensyaratkan akal dan baligh bagi terlaksananya sebuah pernikahan.  Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili,  jumhur ulama termasuk di dalamnya Imam empat mazhab,  berpendapat boleh menikahkan anak kecil perempuan  dengan dalil berikut ini :

  1. Penjelasan iddah anak kecil perempuan, yaitu selama tiga bulan dalam QS ath-Thalaq: 4.
  2. Perintah untuk menikahkan seorang perempuan dalam QS An-Nuur : 32. “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (Al-Ayaam) diantara kamu.” Al-Aym adalah seorang perempuan yang tidak memiliki suami, baik anak kecil ataupun orang dewasa.
  3. Pernikahan Nabi Muhammad saw dengan Aisyah r.a. terjadi ketika Aisyah masih anak-anak. “Nabi mengawiniku ketika aku berusia enam tahun. Beliau menggauliku ketika aku berumur Sembilan tahun. (Muttafaq’alaih antara Bukhari, Muslim dan Ahmad).
  4. Atsar sahabat. Ali menikahkan putrinya yang masih kecil dengan Urwah Ibn Zubair. Urwah ibn Zubair juga mengawinkan keponakan perempuanya dengan keponakan laki-lakinya ketika keduanya masih kecil, dan contoh-contoh lainnya.
  5. Bisa jadi terkandung mashalat dalam mengawinkan anak kecil. Misalnya sang bapak telah menemukan pasangan yang setara untuk anaknya, maka ia tidak menunggu lagi sampai datang masa baligh.(Az-Zuhaili, 2011)

Namun, memang ditemui  pendapat yang berbeda dengan pandangan jumhur ulama tersebut. Misalnya pandangan Ibn Syubramah, Abu Bakar al-Ashamm dan Ustman al-Butti yang melarang pernikahan anak kecil laki-laki dan anak kecil perempuan sampai keduanya mencapai umur baligh. Dalil yang digunakan adalah QS  An-Nisaa : 4, “Sampai mereka cukup umur untuk kawin (balagul nikaah)”. Ibn Hazam berpendapat boleh menikahkan anak kecil perempuan sebagai penerapan atsar mengenai masalah ini, namun menikahkan anak kecil laki-laki adalah batil dan akan membatalkan pernikahan tersebut. Pendapat Ibn Syubramah ini telah diadopsi  menjadi hukum negara, salah satunya adalah negara Syiria. (Az-Zuhaili, 2011)

Ibn Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan usia nikah yaitu mencapai ihtilam  atau mimpi yang menimbulkan air mani memancar sebagai asal kejadian anak. (Muhammad Nasib Ar-Rifai, 1999).  Wahbah Zuhaili  dalam tafsir ayat ini mengatakan hal senada dengan Ibn Katsir bahwa balagh al- nikaah adalah usia akil baligh, ditandai dengan  mengalami mimpi basah atau telah genap mencapai usia akil baligh, yaitu genap 15 tahun menurut imam Syafii dan imam Ahmad untuk laki-laki. Sedangkan bagi perempuan ditandai dengan haidh atau hamil. (Az-Zuhaili, 2016). Meskipun demikian menurut Hatta (2016) dan Shodikin (2015),  para mufassir memiliki pandangan yang bervariasi dalam tafsir ayat ini,  karena ada yang berpendapat bahwa ukuran sampainya waktu nikah bukan semata kematangan fisik   tetapi juga kematangan secara psikis.

Oleh karena itu, kita perlu mengkritisi argumen  yang menyatakan bahwa menyamakan batas minimal usia pernikahan antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah upaya menghilangkan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Padahal dalam tradisi Islam, yang terbukti telah melahirkan ilmuwan dan tokoh-tokoh perempuan hebat, para fuqoha tidak tidak pernah berdebat mengenai batas minimal usia pernikahan. Jika pun ada pembahasan, maka para ulama lebih fokus pada penentuan batas usia baligh apabila tanda-tanda fisik tidak dialami oleh anak sebagai syarat sahnya sebuah pernikahan. Tetapi jika tanda-tanda fisik seperti haid sudah dialami oleh seorang perempuan, ulama sepakat akan sahnya pernikahan berapapun usia perempuan tersebut,  apalagi jika pernikahan  diniatkan untuk lebih lebih mendatangkan ketaatan pada Allah swt dan menghindarkan seseorang dari perilaku maksiat.  Al-Ghazali berpendapat bahwa apabila seorang penuntut ilmu (murid) lemah dari memejamkan pandangannya dan menahan pikirannya, maka sebaiknya ia menghancurkan nafsu syahwatnya dengan menikah karena banyak nafsu syahwat yang tidak dapat ditundukan dengan hanya menahan lapar (puasa). Namun beliau juga menegaskan, apabila seseorang ingin menikah, hendaknya diawali dengan niat yang baik, diikuti oleh keluhuran budi pekerti, kebenaran perjalanan dan  berusaha melaksanakan semua kewajiban. (Al-Ghazali, 2004)

Masing-masing individu, baik perempuan maupun pria tidak bisa dipukul rata tingkat kematangan fisik maupun kedewasaannya. Ada diantara mereka yang belum mecapai usia 18 tahun tetapi sudah memiliki kematangan fisik sekaligus memiliki kedewasaan. Namun ada juga orang yang sudah berusia lebih dari 18 tahun, tetapi belum  memiliki kedewasaan.  Jadi mempersamakan batas minimal usia pernikahan antara laki-laki dengan perempuan dengan dalih “kesetaraan gender” merupakan argumen yang absurd dan hanya mengekor pada konvensi-konvensi internasional tanpa mampu bersikap kritis. Meng-universalkan  usia  18 sebagai usia minimal pernikahan yang berlaku di seluruh negara,  justru berpotensi merampas hak dan tidak menghargai pilihan kaum perempuan yang tentunya berbeda-beda karena pengaruh  faktor lingkungan sosial dan budaya  serta nilai-nilai agama.

Dalam sidang JR di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015 tentang  batas  usia pernikahan,  seorang ahli mengatakan,  bagaimana mungkin anak perempuan berumur 16 tahun yang belum tamat SMA dapat melaksanakan fungsi (sosialisasi dan pendidikan) dalam pernikahan,  jika dia sendiri belum siap secara fisik, mental dan spiritual ?.[1] Pernyataan ahli tersebut tentunya didasari oleh asumsi, pendidikan di tingkat SMA telah mengajarkan perempuan agar siap secara fisik, mental dan spiritual. Padahal kenyataannya,  kurikulum SMA negeri  di Indonesia tidak pernah dirancang secara efektif untuk mendidik perempuan agar memiliki kematangan yang dibutuhkan untuk mengarungi sebuah pernikahan. Bahkan dalam lembaga-lembaga pendidikan formal saat ini, justru perempuan terus dimotivasi agar mengejar tujuan-tujuan materialistis seperti pekerjaan dan gaji yang tinggi agar dapat bersaing dengan kaum pria di ranah publik.  Hampir tidak ada sekolah-sekolah umum di Indonesia yang mendidik perempuan agar menjadi ibu atau istri yang baik. Hal yang sama berlaku untuk kaum laki-laki, tidak diajarkan bagaimana menjadi bapak dan suami yang baik dalam keluarga.

Salah satu hikmah tidak ditetapkannya batas minimal usia pernikahan oleh ulama  sebenarnya agar umat Islam lebih fokus pada upaya mempercepat proses kedewasaan anak-anak, yaitu mampu bertanggung jawab, memiliki adab dan ilmu yang berguna bagi kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Apalagi saat ini budaya konsumerisme telah memperumit kehidupan manusia sehingga standar kemandirian finansial pun menjadi semakin tinggi.   Kaum pria, terutama di wilayah perkotaan, tak sedikit yang berpikir untuk menunda pernikahan dengan alasan belum memiliki kemapanan materi. Padahal, gaya  hidup  masyarakat “modern”   telah  mempercepat  munculnya dorongan seksual/ libido pada diri anak-anak, namun tidak diikuti oleh   kedewasaan berpikir dan berperilaku akibat mudahnya akses terhadap konten pornografi dan pornoaksi. Hukum memang dapat disesuaikan dengan kondisi dan waktu, namun  ketika memutuskan suatu perkara terkait umat Islam, hendaknya nilai-nilai agama menjadi pertimbangan yang paling utama. Jangan sampai upaya menaikan batas minimal usia pernikahan perempuan justru akan menjadi bumerang ketika jalan kemaksiatan seolah terbuka lebar akibat tidak adanya perundangan di Indonesia yang melarang perilaku zina dan kejahatan seksual lainnya seperti LGBT.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali.  (2004) Ihya’ ‘Ulumiddin : Keajaiban Kalbu.  Jakarta : Republika Penerbit.

Az-Zuhaili, W. (2011) Fiqih Islam wa Adillatuhu; Jilid 9. Jakarta: Gema Insani Press & Darul Fikir.

Az-Zuhaili, W. (2016) Tafsir al-Munir: Akidah, Syari’ah, Manhaj. Jilid 4. Jakarta: Gema Insani Press.

Hatta, M. (2016) ‘Batasan Usia Perkawinan dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer’, al-Qanun, 19(1), pp. 66–88.

Mahkamah Konstitusi. (2018) Risalah Sidang Perkara Nomor 22/PUU-XV/2017,  Putusan Sidang Pengujian UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 7 ayat 1)

Muhammad Nasib Ar-Rifai (1999) Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2. Depok: Gema Insani Press.

Shodikin, A. (2015) ‘Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional tentang Batas Usia Pernikahan, Mahkamah, 9(1), pp. 114–124.

Welchman, L. (2011) ‘Muslim Family Laws and Women ’ s Consent to Marriage : Does the law mean what it says ?’, Journal of the Center for the Critical Analysis of Social Difference, 1(April), pp. 63–79. Available at: ttp://www.socialdifference.org/publications.

[1] http://quraishshihab.com/article/perkawinan-usia-muda/  diunduh 8 Januari 2019

Tentang Feminisme

0

Makalah Kajian Seru Tentu Berisi (Kasturi), diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Studi Islam, dan tema yang diusungnya kali ini sangat seru, yaitu “Feminisme ala Islam: Ilusi Atau Nyata?”.

assalaamu’alaikum wr. wb.

Jum’at, 20 April 2018, sedianya saya akan menjadi narasumber dalam sebuah kajian menarik di FISIP UI. Kajian Seru Tentu Berisi (Kasturi) adalah sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Studi Islam, dan tema yang diusungnya kali ini sangat seru, yaitu “Feminisme ala Islam: Ilusi Atau Nyata?”. Selain saya, kajian ini juga menghadirkan dua orang narasumber lainnya, yaitu Dr. Ani Widyani Soetjipto, M.A. dan Dra. Maria Ulfah Anshor, M.Hum.

Di luar perkiraan saya, beberapa hari sebelum acara, saya dikabari panitia bahwa ada kemungkinan acara dibatalkan. Alasannya karena fakultas tidak memperbolehkan mengundang saya sebagai narasumber. Di sisi lain, ada kemungkinan acara tidak perlu dibatalkan, asalkan, tentu saja, saya diganti dengan narasumber yang lain. Pada akhirnya, opsi kedua inilah yang terjadi.

Tidak jadi memaparkan pandangan di FISIP UI bukanlah masalah besar buat saya. Panitia sudah memberikan penjelasan dengan baik, bahkan narasumber pengganti saya pun sudah mengontak saya. Akan tetapi, saya sangat menyayangkan kampus sekelas UI begitu ketat mengatur kegiatan mahasiswanya, meskipun kegiatan tersebut dikemas dalam format yang ilmiah. Bagaimana pun, saya menghormati keputusan semua pihak, namun pada saat yang bersamaan juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyampaikan beberapa poin pandangan saya tentang topik feminisme.

Pandangan-pandangan yang hendak saya sampaikan telah saya susun menjadi sebuah makalah yang ringkas dan sederhana. Sejumlah rujukan yang digunakan sengaja saya ambil dari dunia maya demi mempermudah pembaca, namun tetap dengan memilih sumber-sumber yang terpercaya. Yang menjadi obyek kajian adalah aksi Women’s March 2018 di Jakarta, awal Maret 2018 silam, yang juga dapat dengan mudah ditemukan dokumentasinya di berbagai tempat di dunia maya. Mudah-mudahan, makalah ini dapat memenuhi tugasnya dengan baik untuk memahamkan para pembacanya akan pemikiran saya yang sesungguhnya.

Makalah tersebut dapat diunduh di sini.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

About Tying The Knot

0
About Tying The Knot
About Tying The Knot

Farraas Afiefah Muhdiar*

It turns out the last time I wrote something on my blog was more than a year ago. A lot has happened in a year. Like a lot, a lot. Like I-freaking-get-married, a lot. A year ago, I’d laugh if someone told me I’d be married within a year – but I did. Even weirder, I got married within 6 months with someone I barely knew, through a process called ta’aruf. And this blog post is all about it – to answer some questions I often get. A little disclaimer: This post is quite lengthy, so prepare yourself.

What’s ta’aruf?

If you haven’t heard of it, it literally means “introduction” in Arabic. But to put you in context, it usually means a process of getting married without dating; in a short period of time.

How does it work?

So basically, there are two mediators (in my case, my mom and his ustadz) who communicate and ask to exchange our CV. Ideally, the mediator is the one who knew the person really well (and can attest to their quality). My mom sent some background information about me through WhatsApp (I didn’t know anything about it) and she did receive a CV from him. My mom didn’t let me know because: 1) I kept telling her that I don’t want to get married before finishing my second post-grad while at the same time telling her that I might change my mind if I met the right guy; 2) She doesn’t want to hurt my feelings if I know she send my CV and the guy didn’t respond. She’s kind of sweet like that.

The CV contains any basic information you would find on a regular CV (organizational experience, educational background, job history, current salary), added with some other things, like what does that person seek in a partner, his life goal, his marriage goal, his family, etc.

Normally, when both parties are satisfied with the other parties’ CV, they decided to meet (accompanied by the mediators). In my case, as I didn’t know any of it, my parents decided to meet with him first, to make sure whether he’s someone I’d be interested to meet. A few weeks after, I met him, accompanied by my parents.

Is this something that you plan? Something you know you’d do to get married?

Actually, no. I wasn’t planning to date (I haven’t dated anyone before in my life), but I wasn’t planning to marry a stranger either. What I had in mind is to meet a great guy that completes all my checklist and just get married without all the dating-drama, but of course, life can’t always be planned.

Why did you agree to do this?

The most important reason is because of my parents, my role model, a living example that ta’aruf works. They met through the same process and they have the healthiest relationship I know. They got married not knowing each other, and now they’re inseparable.

The second reason is that I want a partner who’s going to get me closer to Allah. A partner who’s going to be a good father for my children. In order to find that kind of guy, I believe that I have to set my feelings aside and put on my logical hat.

Ta’aruf works for a reason: Because both parties agree that Allah is capable of anything, including turn someone’s heart and plant love in it. Because both parties share the same strong religious values and agree that any kind of problem is bearable if we wear the same glasses to see that through. Same book, same rules, same God. If you don’t believe in that, then ta’aruf is definitely not for you.

How do you know that you’re not buying a cat in a sack?

Well, as an aspiring psychologist, I was taught to interview and observe people. So that’s basically my main tool – I prepared a question list and tried my best to be observant. I also asked some of his friends and family about him; about what he’s like and what his flaws are. He also did the same thing. Additionally, I included all of my family members to be the judge. If one of them said no, then I might too.

Throughout the process, can you say ‘no’ if you find out something you don’t like about the guy?

Of course. The ta’aruf process takes place until the day of Akad. There’s a lot that could happen, and that’s why most of the couple who do ta’aruf don’t announce their wedding until at least two weeks before the D-day. Throughout the process, my parents kept asking me whether I still want to go on and reminding me to do the istikharah prayer to strengthen my decision.

How was it when you met for the first time?

It was actually not as terrifying as what I expected. My dad opened the “meeting”, but we didn’t need help to continue the conversation. Both of us asked plenty of questions that we wrote on our phone. One thing about ta’aruf is, everything’s clear. No question is off-limits, because we both know where we are going with this since our first meeting. And even better, as someone who’s terrible with small talks, we can go straight to the deep conversation as early as possible.

So I asked him about his aspirations in life, his relationship with his family, his view on women with high degree and a good career, his view about the role of husband and wife, and his opinion on parenting. Meanwhile, he asked me about my vision onmarriage, the way I’d treat his mother, and how do I express my anger, among other things. We also talked about political views and religious beliefs.

How often did you see him or contact him?

We met officially about five times before getting married: One time with my parents (only the four of us), one time with my whole family, once with his family, once during the engagement, and once about two weeks before the wedding (when I was in doubt and need to make sure a few things). But we met on a few other occasions related to the wedding-preparation.

He didn’t want us to directly contact each other, but I asked him to, because I need all the chance I can get to get to know each other and make sure that we’re right for each other. So we chat through WhatsApp quite regularly (though only to discuss important matters, nothing personal or affectionate at all), and we talk through a phone call once (when we kind of had a fight). That’s all, folks!

Did you have any doubt in the process?

I did, actually. Repeatedly. A lot of things make me feel too worried, from certain qualities I found out about him that I don’t really like, to questions from my friend who never knew anything about ta’aruf (Questions like… “Are you really sure you want to do this?”, “how would you know if He really is a good person?”, “Are you in love with him yet?”, etc.)

What was the biggest obstacle?

Myself. I was never in a relationship before, and my parents raised me to be ambitious and independent. Somehow it affects me to put a high expectation on people. It’s hard for me to accept people’s flaws. Until I realize that perfection just doesn’t exist. I’m not even perfect myself; so who am I to expect it from others?

So how did you learn to accept his flaws?

My mom taught me to stay focused on his strengths, while remembering that he accepted all my flaws, too. That work even better than I thought. Luckily he doesn’t mind me complaining (or at least he pretend not to), because marriage is also about growing together, right?


How did you talk about financial issues and other matters that are quite personal and yet is important to talk about?

We didn’t have that conversation in detail before we get married. I know it’s important, but I didn’t want to seem toomaterialistic (since we didn’t know each other well back then). But once we became a spouse, we had the conversation right away. It wasn’t awkward at all because we both know about a husband and wife’s rights and obligations in Islam.

How much did little things (like snoring or any other habits) matter in your decision making?

I didn’t really consider small things, because I divide my criteria into two categories: major/unchangeable and minor/changeable. I wouldn’t take anything under the minor/changeable category as a deal-breaker, because it would be unfair to. I put it under my to-complain-list, though, haha.

How could you be sure that he’s the right guy?

Honestly, I was never sure. I’m very logical, so it’s hard for me to be sure of something with lack of evidence. I’m also quite ruminative. The “what if” questions keep popping in my head, running around. What if he’s now someone he said he was? What if it’s just for show? What if I make the wrong decision here? What if everything I know is wrong? What if just another jerk? Etcetera.

Whenever I was in doubt, I reminded myself of what I look for a partner. It’s hard to say no when all of my checklists got ticked. 

Someone told me that love comes with consequences. There are consequences that we have to take if we want to be with a certain kind of person. For instance, if you want to be with a smart and independent woman, then you have to accept that she will be a bit stubborn. Someone also told me that whenever I see the bad in someone, know that at that very second, that person might see the bad in us, too. Another someone told me that if she wants to marry someone that fits her perfectly, she’d marry herself.


See where I’m going with this? 
Perfect guys don’t exist. People come with their own strength and baggage. It’s not like I’m perfect, anyway.

What are the things that you find helpful to banish all the doubts?

I found it helpful to talk to people who got married through ta’aruf, talk to people who are happily married and talk to my parents (who happen to be both). Luckily, I’m surrounded by a lot of people who are wise enough to help me see things through. 

Another thing that works is, of course, talking to Allah. I pray for him to always shower me with blessings in life and hereafter and protect me from harms. Keeping myself busy also works, as it prevents me from overthinking way too much.

In the end, I decided to just let things be. If the process is trouble-free, then perhaps it’s meant to be. In the end, I realize that no matter how much I use my logic to come up with reasons why this ta’aruf-thing won’t work, the universe keeps reminding me that even being where I am today with so little effort is beyond logical. That there really is Someone out there answering all of my prayers; watching me, guiding my every step, opening doors of opportunities, closing doors I don’t need, protecting me from harms, and making things easy for me. That I became the person that I am today not only because of me and what I do, but also because Allah has been helping me through it all. And He will continue to do so if I keep my faith strong and let Him do His wonders. So in the end, I kept reminding myself, why do I need to worry? When all my life, He has never wronged me, not even once?

And how is your marriage now?

This is too early to tell, and too long to describe in detail. But I assure you, I didn’t regret my decision. If not through ta’aruf, I don’t think I can meet a person this good. This pious, this patient, this kind, and this selfless; cause I haven’t found any guy like him in real life. And of course the fun thing about getting married this way is, every day after we get married, we learn something new about each other. Things get exciting that way. There are obviously some awkward moments as well, but only for the first few days. No big deal.

Any tips for anyone who is planning to do this (or is going through ta’aruf)?

Keep your faith strong. Keep reminding yourself what your marriage goal is, and what kind of person will be most suitable to walk with you towards that goal. Set your criteria in order, from the most important to something that’s just a bonus. If you need someone to discuss your problems with, pick some friends who are familiar or comfortable with ta’aruf process; ideally those who have gone through the same thing. Lastly, never stop praying. Ask for His guidance and protection, and I guarantee you, you’ll feel a lot better.

*Alumni Psikologi UI — Post Graduate University of York, Child Psychology, “Developmental Disorder”

Source: Farraas’s Blog http://farraas.blogspot.co.id/

Fatimah Al-Fihri

0

Oleh: Azalia Safira

Bagi sebagian masyarakat, nama Fatimah Al-Fihri masih asing di telinga. Padahal, ia salah satu muslimah di dunia yang sangat berjasa dalam bidang pendidikan. Ia orang pertama yang mendirikan universitas tertua di dunia yang terletak di Maroko.

Ia seorang putri dari saudagar kaya raya asal Tunisia yang dilahirkan pada tahun 800 M. Ayahnya bernama Muhammad Al-Fihri. Meskipun berasal dari keluarga kaya dan bangsawan, mereka memiliki kepedulian dan kepekaan pada sesama serta memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sering menyambung silaturahmi dengan semua kalangan dan gemar bersedekah.

Pada masa Raja Idris II, awal abad ke-9, Fatimah beserta keluarganya hijrah dari Qayrawan (Tunisia) ke kota Fez di Maroko. Fez kala itu terkenal sebagai kota metropolitan dengan penduduk Muslim non-Arab. Ia kota yang sangat maju. Aktivitas ekonomi saat itu berkembang sangat pesat.

Fatimah Al-Fihri
Fatimah Al-Fihri

Fatimah al-Fihri mempunyai saudara perempuan yang bernama Maryam. Kakak-beradik ini memperoleh pendidikan mumpuni. Mereka berdua tumbuh dalam lingkungan yang mencintai ilmu, keagamaan maupun  ilmu umum atau sains, khususnya arsitektur dan bangunan. Fatimah konon terkenal dengan jiwa pebisnis dan saudagar sukses. Di kota ini, mereka sukses berdagang dan menjadi salah satu pebisnis ternama. Agama menjadi ruh utama di keluarga besar Fihri.

Di Fez, keluarga Fatimah al-Fihri terus mengembangkan sayap bisnis. Mereka menjadi pengusaha Muslim yang sukses. Harta kekayaannya melimpah. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, Fatimah muda ditinggal oleh ayah dan suaminya tercinta.
Tinggallah Fatimah bersama saudara kandungnya, Maryam.

Fatimah memang tercatat tidak pernah belajar di luar rumah. Keluarga adalah madrasah utama yang mencetak karakternya selama ini. Sumbangsih terbesar yang dilakukan oleh dua bersaudara ini ialah mendirikan Masjid al-Qarawiyyin (al-Karaouine). Mereka berdua memiliki semangat, keinginan, dan misi yang sama.

Fatimah Al-Fihri
Fatimah Al-Fihri

Dua wanita muda ini sepakat akan menggunakan semua warisan kedua orangtuanya untuk membangun masjid dan universitas. Mereka bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Sejak awal menetap di distrik barat Fez, Maroko, Fatimah dan Maryam mempunyai tekad dan cita-cita untuk kemajuan masyarakat di kota tersebut.
Fatimah memilih untuk membangun masjid yang dinamakan al-Qarawiyyin. Masjid itu terkenal juga dengan julukan Masjid Jami’ al-Syurafa’. Sementara Maryam membangun masjid al-Andalus, di Spanyol. Dua masjid ini kemudian bertransformasi menjadi universitas yang kelak menjadi kiblat dunia pendidikan modern, mulai dari kurikulum, sistem pengajaran, sampai ke urusan simbol akademik.

Keduanya menginginkan agar harta warisan orangtuanya dapat bermanfaat dan pahalanya tetap mengalir. Fatimah berkarya melalui Masjid al-Qarawiyyin, sedangkan Maryam membangun Masjid al-Andalus. Kelak, kedua lokasi tersebut mempunyai posisi dan peran penting dalam penyebaran Islam di Maroko dan Eropa saat itu.

Terkait lokasi masjid, Fatimah menyadari sepenuhnya arti kota Fez, Maroko. Letaknya yang sangat strategis memungkinkan para sarjana dan cendekiawan Muslim datang ke masjid itu. Fez menjadi kota berpengaruh sepanjang abad dan berposisi sebagai pusat agama dan budaya.

Di tangan Fatimah, proses pembangunan masjid yang berdiri pada masa pemerintahan Dinasti Idrisiyah tersebut penuh dengan kisah-kisah spiritual. Konon, Fatimah berpuasa selama pembangunan berlangsung. Seluruh biayanya berasal dari kantong pribadinya.

Ia tak ingin mengambil material apapun yang diambil dari orang lain. Pasir dan air sebagai material pokok diperoleh di lokasi tempat masjid berdiri tegak. Seperti yang dinukilkan, Fatimah memerintahkan para pekerja agar menggali sedalam-dalamnya untuk mendapatkan pasir sehingga tidak mengambil hak orang lain.

Sejak itulah, al-Qarawiyyin mengundang ketertarikan para sarjana dan cendekiawan Muslim. Kajian ilmu sering berlangsung di sana. Penuntut ilmu pun berdatangan dari penjuru Maroko, negara-negara Arab, bahkan penjuru dunia. Dalam waktu yang singkat, Fez mampu bersanding sejajar dengan pusat ilmu pada masa itu, yaitu Cordova dan Baghdad.

Secara resmi pada masa al-Murabithi para ulama diberikan tugas formal untuk mengajar di al-Qarawiyyin. Data sejarah menyebut sistem pendidikan formal berlangsung di Masjid al- Qarawiyyin pada masa al-Murini. Ketika itu, dibangun banyak unit kelas lengkap dengan fasilitas pengajaran, seperti kursi dan beberapa lemari.

Universitas ini menghasilkan para pemikir ternama. Ada pakar Matematika Abu al-Abbas az-Zawawi, pakar bahasa Arab dan seorang dokter Ibnu Bajah, serta pemuka dari Mazhab Maliki, Abu Madhab al-Fasi. Ibnu Khaldun, sosiolog tersohor itu konon juga pernah belajar di kampus ini. Al-Qarawiyyin juga merupakan pusat dialog antara kebudayaan Barat dan Timur.

Selain itu, selama abad pertengahan, Universitas Al-Qarawiyyin dianggap sebagai pusat intelektual utama di Mediterania. Reputasinya sangat baik hingga menyebabkan Gerber dari Auvergne belajar di masjid. Gerber kemudian menjadi Paus Silvester II dan telah memperkenalkan angka Arab dan nol ke seluruh Eropa.

Seorang filsuf Yahudi Maimonides (Ibn Maimun) belajar di al-Qarawiyyin di bawah asuhan Abd al-Arab Ibnu Muwashah. Demikian pula, al-Bitruji (Alpetragius). Dengan kata lain, Fatimah meninggalkan warisan berharga bagi generasi Muslim di seluruh dunia. Hingga kini, nama sosok yang wafat pada 266 H/ 880 M itu abadi, sekokoh masjid sekaligus universitas (al-Karaouine) yang ia bangun.

Baca Juga: Nyai Dahlan: Pelopor Kesadaran Pendidikan Perempuan Jawa

Sumber:

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/05/31/mnnimp-fatimah-alfihri-muslimah-pendiri-universitas-tertua
https://www.whyislam.org/muslim-heritage/fatima-al-fihri-founder-of-worlds-very-first-university/

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now