Home Blog Page 5

Ideologi di Balik Tiga Pasal Susila KUHP

0

Oleh: Akmal (Peneliti INSISTS)

Setelah lebih dari 20 kali sidang, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan uji materi (judicial review) tiga pasal kesusilaan dalam KUHP. MK memandang DPR sebagai lembaga yang tepat untuk melakukan perubahan sebagaimana yang dimohonkan. MK pun merekomendasikan agar semua keluhan, pandangan, pertimbangan dan saran yang berkaitan dengan ketiga pasal tersebut diajukan ke DPR.

Sebelumnya, persidangan judicial review di MK memang sangat alot dan mengundang perhatian banyak orang, termasuk media di dalam dan luar negeri. Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, yang memiliki perhatian besar terhadap proses persidangan ini, turut mendapat sorotan. Meski tidak semua pemohon adalah aktivis AILA Indonesia, namun tak pelak lagi, organisasi yang satu ini kadung diidentikkan dengan judicial review pasal-pasal kesusilaan KUHP. Tidak heran, aliansi yang satu ini menerima muntahan kemarahan dari kelompok-kelompok sekuler-liberal.

Sebuah surat kabar berbahasa Inggris terbitan Jakarta, pada edisinya di akhir bulan Agustus 2016, memuat sebuah artikel opini yang diberi judul sangat provokatif: “Why AILA is a Bigger Threat to Freedom Than the FPI”! Intisari pemikiran yang mendasari sang penulis untuk menyimpulkan bahwa AILA itu sangat berbahaya tergambar dengan jelas dalam salah satu paragraf singkatnya:

Unlike the FPI, which often acts outside or above the law, AILA is exploiting the existing legal system to turn law enforcers into a morality police, so that later they will practically do what the FPI has been doing for years.

Dengan demikian, agaknya dalam pandangan sang penulis, akar masalah sesungguhnya bukanlah FPI atau bukan FPI, tidak juga bertindak melanggar hukum atau menaatinya, melainkan segala usaha untuk mengatur moralitas masyarakat; suatu hal yang sangat dibenci oleh para penganut sekularisme.

Tiga Pasal Kesusilaan

Ketiga pasal kesusilaan dalam KUHP yang dipersoalkan adalah pasal 284, 285 dan 292. Persoalan mendasar dari KUHP yang digunakan di Indonesia saat ini adalah karena ia bersumber dari hukum kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie yang telah diberlakukan sejak tahun 1918. Dari segi waktu, undang-undang ini sudah kedaluwarsa dan layak diperbarui. Sedangkan dari segi ideologi, ia tidak sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Secara ringkas, perubahan pasal-pasal kesusilaan yang dimohonkan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pasal 284 yang melarang perselingkuhan perlu diperluas menjadi larangan terhadap perzinaan. Sebab, tidak semua perzinaan itu berupa perselingkuhan. Banyak orang yang tidak terikat dalam pernikahan melakukan zina, dan karena mereka tidak dalam pernikahan, maka mereka tidak terancam dengan pasal ini. Padahal, segala perzinaan, dan bukannya hanya perselingkuhan, telah mengancam keutuhan keluarga di seluruh dunia, yang berdampak langsung pada kondisi bangsa.

Kedua, pasal 285 berfungsi melindungi masyarakat dari tindak pemerkosaan, hanya saja, definisi pemerkosaan yang dimaksud adalah memaksa seorang perempuan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh. Padahal, sebagai contoh kasus saja, dengan semakin merebaknya penyimpangan homoseksual sekarang ini, semakin banyak laki-laki yang mengalami pemerkosaan. Karena itu, pengertian dalam pasal ini perlu diperluas sehingga korban pemerkosaan bukan lagi sebatas perempuan, melainkan juga mencakup laki-laki, atau dengan kata lain semua orang tanpa pembedaan.

Ketiga, pasal 292 melarang orang dewasa melakukan perbuatan cabul sesama jenis dengan orang yang belum dewasa, sehingga tidak melindungi masyarakat dari perbuatan cabul sesama jenis yang dilakukan oleh sesama orang dewasa atau sesama orang yang belum dewasa. Para pemohon judicial review berpandangan bahwa larangan semestinya diperluas kepada hubungan sesama jenis tanpa batasan umur, karena hubungan sesama jenis bagaimana pun membahayakan bagi masyarakat dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang religius.

Ancaman

Sejak awal, pertimbangan yang diajukan oleh para pemohon melalui tim kuasa hukumnya tidak main-main. Para ahli yang diundang dan menyampaikan pandangannya di hadapan Majelis Hakim MK pun menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam akan kondisi kesusilaan di negeri ini. Dr. Adian Husaini, pakar pendidikan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan Indonesia sebagaimana tercantum dalam undang-undang sesungguhnya sangat mulia, yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, dan seterusnya.

“Tujuan ini begitu mulia. Sayangnya kemudian, kami yang (bergerak) di bidang pendidikan ini, merasakan betapa beratnya menghadapi tantangan-tantangan moral, baik melalui media, bahkan juga di lingkungan-lingkungan di lembaga pendidikan itu sendiri,” ujarnya saat itu.

Menurut Adian, hal yang tidak kalah berbahayanya dari menjangkitnya perilaku asusila adalah usaha-usaha untuk melegislasi perilaku semacam itu. Adian mengambil contoh seorang pemikir liberal dari tanah air, yang secara terang-terangan menghalalkan seks bebas. Pemikiran-pemikiran semacam ini sangat berbahaya dan kerap dijadikan pembenaran bagi tindakan asusila, termasuk juga penyimpangan seksual.

Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater senior tanah air, juga pernah menyampaikan pandangannya dalam sidang ke-4 (26/07/16) bahwa pendapat yang menganggap LGBT karena faktor genetis dan tidak dapat disembuhkan tidaklah benar. Banyak orang menjadi gay lantaran pernah menjadi korban pencabulan, dan juga karena lingkungan. Pandangan bahwa LGBT itu normal juga tidak dapat diterima. Faktanya, perilaku ini telah menularkan begitu banyak penyakit, mulai dari HIV/AIDS hingga kanker anal. Hal itu menunjukkan bahwa perilaku yang demikian memang tidak pada tempatnya.

Penyakit sosial lainnya, yaitu penggunaan miras dan narkoba, juga memiliki hubungan erat dengan penyimpangan ini. Prof. Dadang mengutip sebuah temuan yang menunjukkan bahwa pelaku LGBT sangat rawan miras dan narkoba. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa semua persoalan kesusilaan ini seringkali saling berhubungan satu sama lainnya.

Dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK., yang hadir dalam persidangan di awal bulan Agustus 2016, mengatakan bahwa zina adalah persoalan besar yang menghantui bangsa Indonesia. Begitu berbahayanya zina, sehingga Dewi mengingatkan bahwa “sekarang pembunuh nomor satu wanita Indonesia adalah kanker mulut rahim atau kanker serviks. Itu penyebabnya adalah virus HPV tipe tertentu, tipe 16, tipe 18. Dan itu terjadi penularannya melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan atau zina. Kalau dia tidak berzina, suaminya yang berzina.”

Berdasarkan pengalamannya bekerja di tengah-tengah komunitas gay dan waria beberapa tahun silam, Dewi menyatakan bahwa yang benar-benar merasa dirinya gay itu hanya sebagian kecil saja, selebihnya terjebak dalam kehidupan yang demikian. Menurut Dewi, jika laki-laki disodomi, maka yang disodomi lama-kelamaan akan merasa nikmat dan bisa ejakulasi juga, karena yang dirangsang adalah prostatnya. Karena itu, setelah diperkosa, lama-lama ia malah bisa menikmati, bahkan ketagihan. Itulah sebabnya dibutuhkan perubahan pada pasal 285 dan 292 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Keseluruhan paparan dr. Dewi Inong telah membuktikan bahwa seks bebas, apalagi LGBT, adalah perilaku yang sangat berbahaya bagi kesehatan individu, yang kemudian juga membahayakan masyarakat karena begitu cepat berjangkit.

Dr. Asrorun Ni’am, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), juga sempat menyumbangkan pemikirannya. Menurut beliau, Pasal 292 bisa dimaknai secara a contrario bahwa ketika terjadi pencabulan sesama jenis saat sudah dewasa akan dibiarkan oleh hukum. Padahal, pembiaran terhadap perbuatan cabul dan kejahatan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh orang dewasa ini akan melahirkan kesan di mata anak-anak bawa perbuatan tersebut memang diperbolehkan, sehingga mereka mencontohnya. Asrorun juga berharap perzinaan dilarang sepenuhnya, sebab, dalam kasus lahirnya anak di luar nikah, maka yang menjadi korban sesungguhnya adalah anak-anak tersebut. Karena itu, perzinaan tidak boleh dipandang sebagai hak individu, sebab nyata-nyata menghasilkan penderitaan bagi pihak lain yang tidak terlibat.

Penentangan

Seperti yang telah diketahui, dalam proses persidangan, hadir juga sejumlah pihak terkait yang menganggap bahwa judicial review yang diajukan ini justru merugikan bangsa. Azriana, Ketua Komnas Perempuan, misalnya, menyatakan bahwa perluasan pasal 284 yang berkaitan dengan perzinaan berpotensi mengkriminalisasi pasangan yang perkawinannya masih belum dianggap sah oleh negara. Kekhawatiran yang sama juga disampaikan pada kesempatan berbeda oleh Kemala Chandrakirana yang diundang sebagai ahli oleh Komnas Perempuan.

Kekhawatiran ini sebenarnya telah dibantah oleh pakar hukum Universitas Indonesia (UI), Dr. Neng Djubaedah. Menurutnya, orang-orang yang melakukan perkawinan yang tidak dicatat atau perkawinan di bawah tangan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Neng juga menambahkan bahwa perkawinan yang tidak tercatat hanya akan mendapatkan sanksi karena pelanggaran administratif, namun pada hakikatnya perkawinan itu diakui jika sudah sah menurut agama.

Dr. Irwanto, dosen Universitas Katolik Atma Jaya, menolak kriminalisasi terhadap mereka yang melakukan komersialisasi seks. “Posisi sosial, ekonomi dan budaya merekalah yang menyebabkan mereka mudah terinfeksi, karena mereka cenderung menderita stigma dan diskriminasi, dan ketika mereka berada dalam suatu hubungan seks, apalagi komersial, mereka tidak dapat dengan semau mereka sendiri untuk memakai kondom karena pelanggan sering tidak mau, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.

Irwanto juga berpendapat bahwa berjangkitnya HIV/AIDS bersumber dari kecerobohan dan rendahnya disiplin dari laki-laki yang disebutnya ‘berisiko tinggi’. “Ketika mereka berhubungan dengan istrinya sendiri, mereka cenderung tidak melakukan hubungan yang aman,” ujarnya seraya menambahkan hanya empat belas persen dari kelompok ini yang selalu menggunakan kondom saat berhubungan.

Dari ungkapan semacam ini jelas terlihat bahwa ada ideologi yang sangat berbeda antara pemohon dan penolak judicial review. Para pemohon judicial review menjadikan ketahanan keluarga sebagai tujuan perjuangannya, dan karena itu, setiap perzinaan mesti ditolak. Adapun kelompok penolaknya, seperti yang terlihat jelas dalam pernyataan Irwanto di atas, menjadikan pencegahan berjangkitnya penyakit sebagai prioritas utama, sehingga menjadikan kondom sebagai solusi, dan bukannya mencegah perzinaan itu sendiri.

Anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, S.I.Kom, M.A., yang hadir sebagai ahli atas pengajuan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa aktivitas seksual adalah ranah privat seseorang. “Hal ini berlaku bagi perilaku seksual dari seseorang dalam ranah privat atau konsumsi pornografi dalam ranah privat,” katanya.

Amanah MK

Seluruh argumen di atas telah cukup untuk menunjukkan bahwa persoalan judicial review ini lebih daripada sekedar persoalan beda pandangan atau perspektif, melainkan juga telah menyentuh permasalahan yang jauh lebih mendalam, yaitu ideologi. Para penolak memahami permasalahan kesusilaan ini melalui kacamata sekuler, yang memaknai perilaku seksual, termasuk yang menyimpang, sebagai bagian dari hak privat seseorang. Adapun para pemohon memegang teguh kepribadian bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa demi mewujudkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Sebagai catatan akhir, dalam Amar Putusan-nya, MK menyatakan bahwa penolakannya terhadap permohonan judicial review tidaklah berarti MK menolak gagasan pembaruan para pemohon, tidak pula berarti MK berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam pasal-pasal kesusilaan KUHP tersebut sudah lengkap dan tidak butuh penyempurnaan (hlm. 452). Hanya saja, MK berpendapat bahwa yang dimohonkan adalah perluasan sejumlah makna yang lebih tepat jika diajukan kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.

Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika kini kita menyampaikan harapan bangsa Indonesia akan disahkannya RUU KUHP berupa perbaikan terhadap KUHP versi kolonial, dalam hal ini mencakup tiga pasal kesusilaan yang jelas-jelas bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Sesuai sila kedua Pancasila, manusia Indonesia dituntun menjadi manusia yang adil dan beradab. Manusia yang adil dan beradab adalah yang mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dengan betul. Laki-laki berpasangan dengan perempuan. Itu beradab namanya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Artikel ini telah dimuat di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 15 Februari 2018).

Pidana Zina, Mengapa Takut?

0

Oleh: Dr. Adian Husaini

(Pendiri Pesantren for The Study of Islamic Thought and Civilization/PRISTAC)

Menyusul keluarnya draf revisi RUU-KUHP tahun 2003, sebuah majalah mingguan, edisi 6-12 Oktober 2003, menulis laporan utama dengan judul: “Rancangan KUHP: Kitab Yang Semakin Menakutkan”. Di pekan yang sama, majalah mingguan lainnya, memuat sejumlah komentar aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan Zina diatur dalam KUHP. Kata mereka, zina itu masalah pribadi.

Majalah Mingguan terkenal itu menulis soal pasal-pasal Zina dalam RUU-KUHP tahun 2003 tersebut: “Jeratan Buat Para Pezina”.  Tulis majalah ini:  “Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. Aroma hukum Islam, minus sanksi.”

Ada sejumlah pasal RUU KUHP tahun 2003 yang dipersoalkan. Misalnya, pasal 419, yang menyatakan, bahwa akan dikenai pidana penjara lima tahun: (a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.

Sementara pasal 420 RUU KUHP 2003 itu menyatakan: “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu).”

Entah kenapa, RUU-KUHP 2003 itu kemudian tenggelam. Kini di tahun 2018, kembali muncul RUU-KUHP (RKUHP) yang juga memperluas cakupan pidana pasal-pasal perzinahan serta homoseksual. Maka, kini, lagi-lagi, muncul protes.

Logika bahwa soal soal zina adalah masalah privat kembali muncul. Para penolak pasal-pasal zina dalam RUU-KUHP itu seperti tak menyadari, bahwa saat ini begitu banyak masalah privat yang diatur oleh hukum negara. Pecandu narkoba, meskipun mengkonsumsi untuk dirinya, dan tidak mengganggu orang lain, tetap ditangkap dan diadili. Mereka pun tak protes ketika dipaksa mengenakan helm atau sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan bermotor. Tidak ada argumentasi bahwa itu soal privat.

 Musuh agama

 Dalam Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad saw bersabda: “Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri”. (HR Thabrani dan Al Hakim).

Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan super berat.  Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati, dan bahkan beberapa jenis perzinahan dijatuhi sanksi hukuman bakar hidup-hidup. Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22, menyebutkan:

“(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati – sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.” (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).

Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:8-15 disebutkan semua bentuk dan jenis perbuatan zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatangpun, harus dihukum mati, termasuk binatangnya. ”Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga.” (ayat 15).

Jadi, menjatuhkan sanksi pidana berat kepada pezina, bukan hanya perintah al-Quran. Aneh, jika ada pemeluk Islam atau Kristen menolak RKUHP pasal zina ini. Sebagian penolak beralasan bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi kelompok tertentu.

Misalnya, pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan pidana. Pasal 488 menyatakan, bahwa seseorang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak ketegori II.

Alasan penolakan kali ini tak lagi menuduh pasal-pasal itu “beraroma hukum Islam”. Tetapi, pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi kaum perempuan, anak dan remaja. Juga, menurut mereka, pasal ini bisa menyasar orang-orang yang perkawinannya tidak tercatat oleh negara dengan berbagai alasan.

Kekhawatiran kelompok penolak RKUHP ini perlu diperhatikan, karena tidak secara terbuka mendukung perzinahan. Mereka tidak secara tegas menyatakan, bahwa berzina merupakan Hak Asasi Manusia – asal sama-sama dewasa dan suka sama suka.  Sebaliknya, yang mempidanakan zina  dituduh sebagai pelanggar HAM.

Pandangan bahwa zina tidak melanggar HAM itu aneh. Zina itu jelas perbuatan maksiat, durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak kapan manusia punya hak untuk bermaksiat kepada Tuhannya? Inilah cara pandang manusia modern, yang oleh Prof. Syed Naquib al-Attas dirumuskan: deity is humanised, god is deified? (Tuhan dijadikan sebagai manusia, dan manusia dijadikan Tuhan). Demi memuja hawa nafsu,  manusia sampai berani melawan Tuhan.

LGBT dan Yahudi

Senin (12/12/2018), sekelompok massa yang mengatasnamakan “Aliansi Masyarakat Sipil” melakukan aksi di DPR, menolak rancangan KUHP baru. Massa menuduh RKUHP kali ini merupakan bentuk diskriminasi kepada minoritas. Tampak beberapa spanduk pembelaan terhadap LGBT dibentangkan.

Satu spanduk berbunyi: “LGBT punya hak sama dengan masyarakat yang lainnya. LGBT bukan penyakit.” Pendemo lainnya membentangkan spanduk berbunyi: “Kami menolak RKUHP. Tidak sesuai HAM.”

Para pendukung LGBT itu tak henti-hentinya berkampanye bahwa LGBT bukan penyimpangan. Karena itu, mereka merasa punya hak untuk melaksanakan praktik seks sejenis. Jargon “persamaan” dan “kesetaraan”  digunakan para pendukung LGBT di berbagai negara. Dengan jargon “equal”, pendukung LGBT di Irlandia yang mayoritas Katolik, akhirnya memenangkan referendum. Perkawinan LGBT di negara itu kemudian dilegalkan, meskipun dikecam keras oleh Vatikan.

Saat menjadi Saksi Ahli di MK dari pihak AILA, saya memohon kepada hakim MK agar mengambil pelajaran dari kasus legalisasi LGBT di Amerika Serikat (AS). Pada 26 Juni 2015, secara resmi AS  mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20 negara lain sebelumnya.

Perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis (https://www.cathedral.org/press/PR-60QF1-3I0018.shtml).   Awal Juni 2015, pun, baru sekitar 30 negara bagian di AS yang melegalkan perkawinan sejenis.

Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Sebab, AS selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup religius.  Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and Religious Views in the United States (California: Regal Books, 1991), memberikan gambaran tingkat religiusitas rakyat AS yang masih lumayan. Terhadap pertanyaan, “apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda”, sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab “sangat setuju”.

Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.”  Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004).

Bagaimana bangsa AS bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan sejenis? Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: “Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes”. Dikatakan, bahwa, “Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues.”

Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah.  Prof. Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor menulis, “Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six.

Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, “If there is Jewish power, it’s the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers.” (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper,  Washington, DC: American Free Press, 2004).

Laman http://www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita “US Jews among the most supportive of gay marriage”.  Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei “Pew Research Center for the People and the Press.”

Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan sesama jenis; sedangkan 18 persen menentang, dan 8 persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).

Tidak mengherankan jika pakar psikologi AS, Prof. Kevin McDonald, dalam bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa, gerakan intelektual abad ke-20, — yang sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – ‘have changed  European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man.”

Semoga kafilah pemerintah dan DPR tetap berlalu, maju tak gentar membela yang benar, meskipun harus menghadapi berbagai teriakan, tekanan dan ancaman dalam perumusan pasal-pasal kejahatan zina – baik sejenis atau lain jenis.

Yakinlah, bahwa jika penduduk satu negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, pasti Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan dari bumi! (QS 7:96). Allahu Akbar! (Artikel ini telah dimuat di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 15 Februari 2018).

Sumber: republika.co.id

Nyai Dahlan: Pelopor Kesadaran Pendidikan Perempuan Jawa

0

Oleh: Dina Farhana

 Siti Walidah atau biasa dikenal sebagai Nyai Dahlan merupakan salah satu tokoh perempuan Muslim yang telah mengukir sejarah dalam pergerakan perempuan di Indonesia.  Bersama dengan suaminya, Kyai H. Ahmad Dahlan, Siti Walidah turut berperan dalam mendidik kaum perempuan melalui aktivitasnya di Muhammadiyah dan Aisyiyah.

Nyai Dahlan dilahirkan di Yogyakarta dengan nama Siti Walidah tahun 1872 M di tengah-tengah keluarga santri yang taat beragama. Ayahnya seorang penghulu Keraton, H. Muhammad Fadlil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim. Sementara itu, ibunya, dikenal dengan sebutan Nyai Mas berasal dari Kampung Kauman[1].

Keluarga Siti Walidah adalah keluarga sederhana. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, di samping bekerja sebagai penghulu keraton, Kiai Fadlil juga berdagang batik. Layaknya penduduk kampung Kauman pada umumnya, masa kecil Siti Walidah dihabiskan untuk belajar mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab agama dalam Arab Pegon (berhuruf hijaiyah dan berbahasa Jawa).

Sejak kecil, ia tidak pernah mendapat pendidikan formal di sekolah umum. Ini disebabkan adanya pandangan masyarakat Kauman pada waktu itu, bahwa belajar di sekolah umum (sekolah yang didirikan Belanda) dianggap haram karena orang Barat (Belanda) itu dianggap kafir. Semua produk dan tiruan barat dinilai haram, termasuk juga sekolah. Akibatnya, generasi yang hidup semasanya tidak sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah. Di samping itu, terdapat anggapan bahwa kaum wanita tidak dibenarkan keluar dari rumahnya, harus tinggal di kamar atau di dapur. Di Kauman sampai dengan sekitar tahun 1900-an, belum luas diterima pandangan tentang pentingnya pendidikan formal di sekolah.

Pada masa itu masyarakat Kauman berpendapat bahwa pendidikan formal di sekolah bagi anak perempuan dipandang akan menurunkan kesusilaan. Oleh karena itu, pendidikan yang diterima Siti Walidah cukup dari lingkungan keluarga yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Selain pendidikan keagamaan, ia juga belajar keterampilan, seperti menjahit, menyulam, membatik, dan keterampilan-keterampilan lainnya yang dapat dikerjakan di dalam rumah[2].

Siti Walidah menikah dengan Ahmad Dahlan pada 1889 M di umurnya yang ke-19. Dari hasil pernikahannya, ia dikaruniai 6 orang anak. Nyai Dahlan tidak hanya berperan sebagai istri dan juga ibu dalam rumahnya. Ia menempatkan dirinya sebagai bagian dan teman bagi perjuangan suaminya, yaitu dengan merintis perkumpulan perempuan untuk membangun kesadaran dalam berpendidikan. Nyai Ahmad Dahlan menyadari bahwa suaminya mengemban tugas yang besar dalam memperjuangkan dakwah Islam maka sebagai istri ia berusaha dapat mengimbangi dan mendukung cita-cita suaminya. Apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh Nyai Dahlan tidak terlepas dari izin serta dukungan suaminya, dan tentu pula tidak menutup perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya. Nyai Dahlan tetap memegang peran penting dalam mendidik dan mengawasi pendidikan putra-putrinya.

Setelah menikah dengan Ahmad Dahlan, kehidupan sehari-hari Siti Walidah menjadi perhatian banyak orang karena ia mengikuti suaminya dalam pergerakan Muhammadiyah. Seringkali Kiai Dahlan menyerahkan pekerjaan-pekerjaan Muhammadiyah yang terkait dengan perempuan kepada Nyai Dahlan. Oleh karena itu, ia kerap dijuluki Ibu Muhammadiyah[3]. Bagi Nyai Dahlan, Kiai Dahlan adalah suami sekaligus gurunya. Ia merasa belajar banyak dari pengalamannya mendampingi sang suami yang tekun dan gigih membesarkan Muhammadiyah.[4]

Kiai  Dahlan menyadari betul betapa pentingnya melibatkan semua golongan, baik pria maupun wanita, dalam membangun bangsa dan mendakwahkan agama. Kesadaran ini ditanamkan pada istrinya dengan mengajarkan pengetahuan mengenai wanita dalam perspektif Islam. Bersamaan dengan itu, Kiai Dahlan juga memberikan kesempatan yang sama agar para wanita mampu mengurus dirinya. Ia berpendapat, kalau saja para wanita memiliki wadah sendiri untuk mengurus dirinya maka mereka akan mampu menyinergikan potensi yang ada pada diri mereka. Untuk itu, kehadiran sebuah perkumpulan wanita merupakan suatu keharusan.[5]

Mendirikan Aisiyah                                                                     

Perjuangan Nyai Dahlan muncul dari kehidupan perempuan di kampung Kauman yang ketika itu mereka tidak diperkenankan keluar rumah sebagaimana laki-laki, termasuk dalam soal pendidikan. Aktivitas yang dilakukan perempuan hanya sebatas dalam rumah saja. Oleh sebab itu, Kyai Dahlan bersama dengan Nyai Dahlan memiliki gagasan tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam urusan pendidikan. Dengan diberikan pendidikan maka perempuan akan lebih cakap dalam menggerakkan tugasnya sebagai seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya dan mengerti tentang agamanya.

Pada tahun 1914, Nyai Dahlan membuat perkumpulan kelompok perempuan yang diberi nama Sopo Tresno. Sopo Tresno belumlah menjadi sebuah organisasi, hanya kelompok pengajian perempuan yang terdiri dari gadis hingga perempuan-perempuan tua yang belajar Al-Qur’an, ilmu agama, dan keterampilan.

Melalui Sopo Tresno, Nyai Dahlan mencoba menyadarkan kaumnya bahwa pandangan seperti itu tidak berdasar. Dalam pandangannya para wanita adalah partner kaum lelaki dan mereka sendirilah yang harus mempertangungjawabkan hidupnya kepada Allah kelak. Argumentasi Nyai Ahmad Dahlan ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] : 228 dan Surah An Nahl [16] : 97 yang artinya[6]:

Dan para wanita itu mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yag ma’ruf.  (Q.S. Al Baqarah [2] : 228)

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An Nahl [16] : 97)

Melalui perkumpulan Sopo Tresno inilah Nyai Dahlan berusaha menanamkan kesadaran kepada kaum perempuan tentang guna dan tujuan pendidikan. Usaha yang dilakukan ialah dengan mengadakan pengajian keagamaan bagi kaum perempuan dengan membahas ayat-ayat Al-Quran dengan isu-isu seputar perempuan dan keluarga, belajar mengaji, membaca, menulis, serta mempelajari keterampilan seperti menjahit, menyulam, dan membatik. Kelompok Sopo Tresno mampu merambah hingga kalangan  masyarakat bawah, seperti para buruh dan pembantu rumah tangga.

Melihat perkembangan positif dari perkumpulan tersebut, dalam sebuah pertemuan di rumah Nyai Ahmad Dahlan yang dihadiri oleh Kiai Muchtar, Kiai Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Haji Fachrudin dan pengurus Muhammadiyah lainnya, mereka sepakat untuk mengembangkan perkumpulan pengajian Sopo Tresno menjadi sebuah pengajian organisai wanita islam yang mapan dan dilengkapi dengan anggaran dasar dan peraturan organisasi lainnya. Awalnya, ada yang mengusulkan nama Fatimah, tetapi banyak yang tidak setuju. Lalu diusulkan nama Aisyiyah oleh Almarhum Haji Fachruddin. Nama terakhir itulah yang diterima oleh forum karena diambil dari nama istri Nabi Muhammad Saw., Siti Aisyah. Dari nama itu diharapkan agar perjuangan Siti Aisyah dalam mendakwahkan Islam dapat diwarisi oleh pergerakan Aisyiyah. Setelah semua setuju maka tanggal 22 April 1917 M bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1355 H Organisai Aisyiyah diresmikan[7].

Aisyiyah menjadi organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Organisasi ini diketuai oleh Nyai Dahlan, dengan anggota-anggotanya yang merupakan gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sudah berumah tangga.

Dari kepemimpinan dan perjuangannya itulah perempuan-perempuan merasa terangkat derajat dan kedudukannya. Mereka mengerti status mereka sebagai istri terhadap suaminya. Sebagai ibu, mereka bertanggung jawab dengan memberikan dan memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya. Nyai Dahlan selalu menekankan bahwa menjadi perempuan itu haruslah pintar karena seorang anak tentu akan mendapat pendidikan pertamanya lewat orangtua dan keluarganya. Maka dari itu, peran ibu sangatlah penting dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Nyai Dahlan selalu memberikan nasihatnya kepada para murid perempuannya, yakni agar perempuan jangan memiliki jiwa yang kerdil tetapi berjiwa srikandi.

Perhatian Nyai Dahlan terhadap pendidikan Islam sangat besar. Sebagaimana Ahmad Dahlan, Nyai Dahlan menyepakati suatu formula yang dikenal dengan istilah “Catur Pusat”, yaitu pendidikan di dalam lingkungan keluarga; pendidikan di dalam lingkungan masyarakat; dan pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah.[8] Kyai Dahlan dan Nyai Dahlan sangatlah tegas dalam pendidikan. Bagi mereka, perempuan atau laki-laki sama saja dalam urusan pendidikan. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang Muslim, laki-laki atau perempuan, tua ataupun muda, mereka tetap mempunyai kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Kenyataannya, karena pengaruh cara pandang diskriminatif  penjajah Barat terhadap kaum wanita, saat itu pada umumnya pendidikan banyak dimonopoli kaum lelaki. Sedikit sekali kaum wanita yang dapat mengenyam pendidikan. Hal ini yang mendorong Kiai Dahlan untuk memperluas pendidikan hingga kepada kaum wanita. Bagi Kiai Dahlan, wanita merupakan aset umat dan bangsa. Ia berpendapat tidak mungkin membangun peradaban umat manusia apabila para wanita hanya dibiarkan berdiam diri di dapur dan rumah saja. Untuk itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah mempersilakan kaum wanita dan pria untuk belajar di sekolah. Keduanya memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu pengetahuan[9].

Nyai Dahlan mempunyai ide untuk mendirikan asrama khusus bagi kaum wanita. Pendidikan formal untuk wanita pada waktu itu sudah ada yang dikelola Muhammadiyah maka Nyai Dahlan mempunyai pikiran lain. Untuk penyempurnaan pendidikan bagi kaum wanita, perlu diadakan pendidikan nonformal atau asrama (pondok) sebab pada waktu itu asrama yang ada hanya menampung kaum laki-laki. Asrama khusus kaum wanita itu diperkirakan berdiri pada tahun 1918 karena saat itu sudah banyak wanita yang bersekolah, khususnya di sekolah Pawiyatan. Namun, pendidikan di luar rumah, terutama kejuruan, umumnya masih diabaikan orangtua. Asrama yang didirikan oleh Nyai Dahlan di rumahnya itu diharapkan dapat mendidik kaum wanita, khususnya di bidang pendidikan agama dalam segala hal yang menyangkut bidang keputrian.[10]

***

Nyai Dahlan merupakan sosok teladan perempuan dalam sejarah. Kecerdasannya, kelembutan bahasa, dan baik budi pekertinya membuat beliau menjadi sosok yang dicintai oleh banyak orang. Nyai Dahlan adalah seorang Muslimah yang berjuang dalam  menegakkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan sosial. Organisasi Aisyiyah yang saat ini masih berdiri, dalam tumbuhnya telah membuktikan banyak munculnya generasi-generasi ulama perempuan yang cerdas, yang tentu ini tidak terlepas dari semangat perjuangan Nyai Dahlan dalam mendidik perempuan-perempuan Aisyiyah.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Nyai Dahlan tentu sangatlah besar dan tentu memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat, terutama kaum wanita. Atas jasa-jasa yang telah dilakukan Nyai Dahlan kepada agama, bangsa, dan negara, pemerintah RI memberinya gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 22 September 1971.

Nyai Dahlan wafat pada 13 Mei 1946 di usianya yang ke-72 tahun. Wafatnya Nyai Dahlan tidak seketika mematikan perjuangannya. Beliau berpesan kepada murid-muridnya untuk selalu menjaga dan memperjuangkan Aisyiyah.

“Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiah kepadamu sebagaimana almarhum K.H. Ahmad Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan.”[11]

[1]M. Yunan Yusuf, Ensiklopedi Muhammadiyah,  Rajawali Press, 2005, hal : 392

[2] Ibid. hal: 392

[3]H.M. Yunus Anis, Nyai A. Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisiyah Pelopor Pergerakan Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Mercusuar, 1968, hal 8-9

[4]Kamajaya, Sembilan Srikandi Pahlawan Nasional, hlm. 40

[5]Jajat Burhanudin, Ulama perempuan Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2002, hal:47

[6]M. Yunan Yusuf, Ensiklopedi Muhammadiyah, hal:394

[7] Ibid. hal : 395

[8]Jajat Burhanudin, Ulama perempuan Indonesia,  hal : 53

[9]  Ibid. hal: 54

[10] Ibid. Hal : 56

[11] Ibid. hal : 61

Perlukah Feminisme Islam?

0

Oleh: Farhan Abdul Majiid
Mahasiswa Universitas Indonesia

Tidak menjadi seorang feminis bukan berarti tidak menghargai hak-hak perempuan. Untuk menghargai perempuan tak perlu mengikuti feminisme. Sayangnya, banyak feminis yang mengampanyekan feminisme dengan mengambil titik ekstrem. Gagasan tersebut kemudian diadopsi oleh sebagian Muslim sehingga mereka berupaya untuk “mengawinkan”  feminisme dengan Islam yang bertujuan agar ajaran Islam lebih ramah perempuan. Mereka menganggap ajaran Islam yang telah dipraktikkan pada masa lalu  adalah sumber penindasan terhadap perempuan karena kentalnya budaya patriarki dalam peradaban Islam. Ada pula yang menggunakan paradigma feminisme dalam memahami Al-Quran dan sunnah. Padahal, posisi al-Quran dan sunnah sebagai sumber ilmu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan isme-isme yang sanadnya datang dari tokoh-tokoh sekular Barat yang liberal dan cenderung ateistik. Oleh karena itu, apakah benar Islam membutuhkan feminisme?

Kehadiran feminisme

Hadirnya feminisme di Barat sebenarnya merupakan akibat dari ketidakmampuan masyarakat Barat dalam menghargai perempuan. Perempuan dalam masyarakat Barat dahulu tidak dipandang setara dengan laki-laki. Perempuan hanya berurusan dengan pekerjaan rumah tangga saja dan tidak boleh merasakan kebebasan. Dalam politik, perempuan pun tidak memiliki hak untuk dipilih apalagi memilih. Di titik ekstrem, ada anggapan bahwa perempuan hanyalah penjelmaan dari setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia.[1] Akhirnya, muncullah sebuah pergerakan yang ingin menuntut hak untuk perempuan. Hasilnya, perempuan pun mendapatkan hak politik meski belum sepenuhnya setara dengan laki-laki. Inilah gelombang pertama dari feminisme yang hadir pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Berikutnya, gerakan feminisme sempat memudar seiring dengan adanya Perang Dunia I dan II. Pasca-rekonstruksi akibat perang cukup berhasil. Pada tahun 1960-an muncul kembali gerakan menuntut kesetaraan di Amerika dan Eropa. Mereka pun menuntut hak dalam pekerjaan sampai dalam masalah seksualitas. Salah satu pengaruh dari pergerakan pada masa ini ialah mulai diperkenankannya perempuan menggunakan hak suara dalam pemilu. Pada masa ini, gerakan feminisme pun bergabung bersama dengan para penuntut hak lain, mulai dari hak terhadap kulit hitam hingga terhadap LGBT, dimulai dengan munculnya istilah Lesbian Feminism.[2] Inilah gelombang kedua dari feminisme.

Perkembangan terakhir, setelah terwujudnya hak yang sama di berbagai bidang antara laki-laki dan perempuan, gerakan feminisme belum berakhir. Mereka pun semakin meluaskan gerakannya dan kampanyenya. 8 Maret ditetapkan sebagai  hari perempuan internasional. Namun, kampanye pada gelombang ketiga ini semakin  tidak rasional.[3] Di Barat, terdapat kelompok feminis yang menggaungkan kebebasan untuk tidak berpakaian. Mereka bahkan berani berkampanye tanpa busana untuk menunjukkan kebebasan mereka atas tubuhnya. Dari sini, terlihat gerakan feminisme tidak lagi sekadar menuntut kesetaraan, tapi menuju pada kebebasan yang kebablasan.

Feminisme Islam (?)

Feminis menurut Miriam Cooke adalah perempuan yang berpikir dan melakukan sesuatu untuk mengubah ekspektasi terhadap perempuan berdasarkan pada pembagian peran gender dalam masyarakat.[4] Feminisme sendiri merupakan ideologi perjuangannya. Gerakan feminisme ini merupakan pergerakan yang memperjuangkan agar peranan perempuan disetarakan dengan laki-laki. Di masyarakat, tidak boleh ada pembagian peran berdasarkan pada konstruksi gender.

Bagi masyarakat Barat, pada awalnya mungkin gerakan feminisme diperlukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan  yang tidak terakomodasi oleh agama, budaya, dan unsur-unsur peradaban mereka lainnya. Akan tetapi, bagi masyarakat Islam, tampaknya feminisme tidak dibutuhkan sebab sedari awal Islam telah hadir sebagai sebuah sistem yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya untuk laki-laki, bukan hanya untuk perempuan, melainkan juga untuk semesta. Apabila ada penyimpangan pada praktik dalam masyarakat Islam maka yang perlu dilakukan adalah kembali memahami dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam, bukan justru mengadopsi feminisme yang filosofinya banyak bertentangan dengan worldview of Islam. Maka sungguh absurd apabila ada pihak-pihak  yang mencoba menilai Islam dari cara pandang feminisme. Usaha itu mereka namakan dengan feminisme Islam.

Beberapa aktivis feminisme Barat yang beragama Islam ada yang mengajukan terma ‘Islamic Feminism’. Mirriam Cooke misalnya, mengajukan pemahaman Islamic Feminism sebagai seseorang yang berupaya menyatukan dua identitas sekaligus. Di satu sisi dia memiliki komitmen keimanan terhadap agama dan di sisi lain dia juga berkomitmen untuk memperjuangkan hak perempuan di dalam maupun luar rumah.[5] Dari pengertiannya sendiri pun terdapat kerancuan sebab mereka memang berupaya menyatukan dua hal yang saling bertolak belakang.

Salah satu keinginan para aktivis Islamic Feminism adalah menafsir ulang Al-Quran dengan menggunakan sudut pandang perempuan. Amina Wadud misalnya, menggunakan metodologi tafsir hermeneutika dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Quran. Dalam penggunaan metodologi ini, mereka memahami ayat Al-Quran dengan melihat apa yang Al-Quran katakan, bagaimana hal tersebut dikatakan, apa yang dikatakan tentang Al-Quran, dan siapa yang melakukan apa yang Al-Quran katakan.[6]  Padahal, metode hermeneutika dalam tafsir Al-Quran masih diperdebatkan dan menurut banyak ulama tidak tepat untuk digunakan dalam memahami Al-Quran sebagai firman Allah.

Memahami Al-Quran dengan cara seperti ini membuat Al-Quran tidak dipahami sebagaimana mestinya. Tradisi keilmuan Islam yang sudah dibangun berabad-abad digantikan dengan pandangan yang berakar pada tradisi Barat yang di Barat sendiri pun masih diperdebatkan. Jika Al-Quran dipahami hanya pada latar konteks ayat saja, hanya akan membawa penafsiran Al-Quran dibuat sekehendak nafsunya saja. Padahal, Nabi Muhammad Saw. sudah mewanti-wanti sejak dahulu, dalam sebuah hadits dari Ibnu Jarir,

من قال فى القرآن برأيه فقد أخطأ

“Barangsiapa yang berkata tentang Al Quran (hanya) dengan ra’yu (logika) semata maka ia berdosa”[7]

Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim, untuk menafsirkan Al Quran, harus melalui beberapa tahapan. Pertama ialah menafsirkan Al-Quran dengan ayat Al-Quran lainnya. Kedua, apabila tidak ditemukan penjelasannya di dalam Al-Quran, penafsiran dilakukan dengan merujuk pada sunnah Rasulullah Saw. Ketiga, bila masih tidak ditemukan maka rujuklah pendapat para sahabat radhiyallahu’anhum.[8] Salah satu sahabat utama yang Allah berikan pemahaman Al-Quran yang terbaik ialah Ibnu Abbas ra. Bila tidak juga ditemukan, dapat merujuk pada perkataan para tabi’in, yakni para ulama yang hidup sampai tiga abad hijriah.

Sayangnya, para aktivis Islamic Feminism ini amat bermudah-mudahan. Mereka cenderung meringankan dan tidak melihat secara cermat dalam menggunakan mekanisme ijtihad. Padahal, ijtihad adalah jalan terakhir dan ijtihad pun memiliki syarat-syarat yang ketat. Dalam kaidah tafsir misalnya, disebutkan ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi dalam menafsirkan Al-Quran. Memahami Bahasa Arab misalnya, tidak sekadar paham kosa kata saja. Harus jauh memahami nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain sebagainya. Dalam memahami ayat Al-Quran juga harus memahami asbabun nuzul (sebab khusus turunnya ayat), nasikh wa mansukh, memahami juga hadits-hadits yang berkaitan beserta ilmu turunannya (asbabul wurud, derajat keshahihan hadits, dsb.), dan ilmu-ilmu lain seperti fiqh, aqidah, dan lainnya. Selain syarat keilmuan pun, ada syarat seputar akhlak seorang penafsir, seperti menjauhi bid’ah, tidak takabur, dan tidak cinta pada dunia.[9]

Dari buku-buku kaum feminis yang diklaim berupaya memahami Al-Quran dari sudut pandang perempuan, tidak tampak penggunaan kaidah ilmu dalam Islam. Mereka  justru mengampanyekan penggunaan hermeneutika yang merupakan metode tafsir bible dalam memahami aspek kebahasaan Al-Quran. Menitikberatkan pada aspek kebahasaan dengan menafikan metode yang lain menimbulkan kerancuan dalam penafsiran. Penafsiran semacam ini selain tidak sesuai dengan kaidah keilmuan Islam, hasilnya akan menjadi sangat relatif. Seseorang bisa bebas dengan menafsirkan Al-Quran karena tidak menggunakan kaidah penafsiran yang benar. Akhirnya, penafsiran Al-Quran tidak terarah dan hanya menunjukkan ketidakhormatan terhadap kesucian Al-Quran.

Perlukah Feminisme Islam?

Gerakan Islamic Feminism bukan saja tidak perlu, melainkan juga tidak patut. Keberadaan gerakan ini seolah-olah menjustifikasi bahwa Islam, sebelum datangnya feminisme, tidak dapat menghargai perempuan. Padahal, Islam sejak dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw. tidak sebatas mengatur hubungan transendental dengan Allah saja. Islam pun memberi tuntunan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, tidak pantas bila Islam yang telah ribuan tahun hadir disandingkan dengan gerakan feminisme yang hadirnya pun sebagai jawaban atas rendahnya moral bangsa Barat pada masa lampau.

Penyandingan Islam dan feminisme pun semakin dirasa hanya untuk melancarkan agenda para feminis saja. Bahkan di dalam banyak kasus justru mereka memelintir ajaran Islam untuk kepentingan mereka. Klaim rancu mereka yang mengatakan bahwa Khadijah dan para Muslimah lain adalah feminis hanyalah bagian dari kampanye mencari dukungan kalangan Muslimah. Saat ini gerakan feminisme telah menjadi sebuah gerakan pembebasan atas dasar kelamin. Membebaskan perempuan untuk menggunakan tubuhnya semaunya. Membebaskan perempuan untuk berbuat semaunya. Serta kebebasan-kebebasan lain yang tak sesuai fitrah.

Tak jarang, kefitrahan manusia pun diragukan oleh para penyokong gerakan ini. Kefitrahan dianggap hanya sebagai konstruksi dari para pemuka agama untuk melegitimasi sistem patriarki. Pemahaman kaum feminis  atas Islam dibangun dari sudut pandang perempuan Barat yang memang  memandang rendah sistem keagamaan.  Kebanyakan pula mereka melihat Islam dari cara perilaku sebagian kalangan umat Islam yang menjalankan agamanya dengan salah. Maka wajar bila pemahaman mereka atas Islam menjadi bias.

Konsep feminisme mengenai kesetaraan gender pada masa kini semakin radikal. Di Barat, konsep feminisme ini telah merasuki berbagai lini. Tidak hanya membagi manusia ke dalam laki-laki dan perempuan, sebagian feminis turut memperjuangkan “kelahiran” jenis kelamin baru, yang tidak laki-laki maupun tidak perempuan. Mereka pun turut memperjuangkan kesetaraan bagi penyuka sesama jenis. Homoseksualitas dianggap sebagai sesuatu yang normal dan diperjuangkan untuk dilegalkan. Hingga tahun 2017, sudah ada 25 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, dengan Belanda sebagai negara pelopor yang pertama kali melegalkan pada tahun 2000.[10] Negara-negara yang tidak melakukan pelegalan pernikahan sesama jenis dianggap tidak menghargai HAM dan mendiskriminasi manusia berdasarkan orientasi seksual. Ini tentu sebuah kekacauan yang sedang dibuat oleh gerakan ini, disadari ataupun tidak.

Kekacauan yang dibuat dari kerancuan jenis kelamin ini dapat kita cermati. Di satu sisi, mereka menentang kebolehan Islam atas poligami, namun di sisi lain mereka justru memperbolehkan pernikahan sejenis. Pada kasus lain, mereka juga menentang adanya pembagian waris menurut Islam, namun mereka juga menentang kewajiban perempuan sebagai seorang ibu. Bisa dibayangkan bila tatanan semacam ini telah rusak, hancurlah keadilan yang telah digariskan. Sehingga dengan konsep gender yang diusung feminisme munculah stigma bahwa perempuan yang menjalani perannya sesuai perintah agama adalah perempuan lemah dan tertindas oleh laki-laki. Akhirnya banyak perempuan ragu untuk menjalani perannya sebagai perempuan[11]  dan terbawa oleh propaganda feminis yang menyatakan bahwa sumber ketidakbahagiaan perempuan adalah peran domestik mereka sebagai ibu rumah tangga. Mereka berlomba-lomba untuk mengejar standar kesuksesan yang dibuat kaum feminisme Barat, yaitu kesetaraan dengan laki-laki dan kemerdekaan untuk mengontrol tubuh dan aktivitas seksualnya.

Gagasan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak sepatutnya mengikuti standar kaum feminis yang sangat materialitis dan mengabaikan nilai-nilai moral serta agama.  Tak dapat dipungkiri, manusia memiliki kecenderungan mengikuti nafsu. Nafsu yang tak dipimpin oleh bimbingan wahyu dan akal yang sehat hanya akan membawa pada jalan yang salah. Pada akhirnya, bukanlah kedamaian dan kebaikan yang diraih, justru kemudharatan yang didatangkan dari cara berpikir semacam ini.

Klaim mereka atas penindasan Islam terhadap perempuan pun mudah untuk dibantah. Bila dianggap kewajiban berhijab sebagai suatu penindasan maka itu bisa dilihat bukan lagi upaya mengemansipasi perempuan, melainkan keinginan agar perempuan terlepas dari syariat agamanya. Jika mereka menganggap perbedaan waris antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu bentuk diskriminasi, artinya mereka tidak paham dengan hak dan kewajiban Muslim maupun Muslimah dalam ruang lingkup yang lebih luas. Intinya, kritik mereka terhadap syariat Islam justru menunjukkan ketidakpahaman mereka atas Islam itu sendiri. Setidaknya, pemahaman mereka atas syariat Islam parsial belaka. Mereka mengeksploitasi sisi-sisi yang menunjukkan seolah-olah kekurangan ajaran Islam dan mereka justifikasi melalui perilaku sebagian kalangan umat Islam yang keliru. Mereka beranggapan bahwa untuk memperbaiki kondisi umat Islam, gunakanlah paradigma feminisme. Padahal, cukuplah kembali pada ajaran Islam dengan baik, Insya Allah perbaikan umat Islam akan berhasil.

Di dalam Islam, laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan perlakuan. Akan tetapi, itu bukanlah bentuk diskriminasi. Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan. Di sana, Islam telah membuktikan bahwa pembagian peran antara laki-laki dan perempuan bukan untuk mengunggulkan sekelompok dan menindas kelompok lain. Justru, itu menunjukkan adanya pemuliaan terhadap masing-masing yang sesuai dengan fitrah yang telah diturunkan. Penentuan itu bukan karena adanya diskriminasi, melainkan perwujudan keimanan kita kepada Allah sebab kita meyakini bahwa tidaklah mungkin Allah memerintahkan sesuatu tanpa adanya manfaat di baliknya.

Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa feminisme pada masa kini telah sampai pada suatu titik yang tidak dapat dipatuti lagi. Klaim mereka yang ingin memanusiakan manusia justru terlihat seperti ingin menuhankan manusia. Bukan lagi menjadikan manusia mengikuti kefitrahan, justru menjerumuskan manusia untuk menuruti keinginan syahwat semata. Tidak lagi memperjuangkan perempuan agar setara, tetapi sampai-sampai menjadikan manusia melampaui batas. Keinginan mereka agar Islam disusupi oleh feminisme pun tidak perlu kita turuti. Kita cukup membuktikan bahwa memuliakan perempuan tidak perlu dilabeli feminis. Berislam secara kaffah itulah cara kita menghargai seluruh makhluk Allah sesuai dengan kepatutannya.

Wallahu a’lam.

[1]Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 19

[2]Margaret Walters, Feminism: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2005), hlm. 107

[3]“A Brief History: The Three Waves of Feminism”, Progressive Women Leadership. https://www.progressivewomensleadership.com/a-brief-history-the-three-waves-of-feminism/

[4]Miriam Crooke, Women Claim Islam: Creating Islamic Feminism Through Literature, (New York: Routledge, 2001), hlm. vii

[5]Crooke, hlm. 59

[6]Amina Wadud, Quran and Woman: Rereading the Sacred Text from A Woman’s Perspective, (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. xiii

[7]Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Adzhiim Juz 1, hlm. 11

[8]Ibnu Katsir, hlm. 7

[9]Yusuf Al Qardhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al Quran, (Jakarta: Al Kautsar, 2000), hlm. 222

[10]“Gay Marriage Around the World”, Pew Research Center, http://www.pewforum.org/2017/08/08/gay-marriage-around-the-world-2013/ (diakses pada 24 November 2017)

[11] Erma Pawitasari, Salah Kaprah Pendidikan Gender, Islamia, Harian Republika, 18 Juni 2015

 

LGBT dan Moralitas

0

Dr. Dinar Dewi Kania

Peneliti Insists & Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia

 

Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT),  akhir-akhir ini terus menjadi sorotan publik, baik di media nasional maupun internasional.  Penangkapan oleh pihak kepolisian terhadap 144 lelaki yang  diduga melakukan perbuatan pornografi dan homoseksual, membuat para aktivis HAM  kembali mengkritisi  penegakkan HAM  di Indonesia terkait  hak-hak kaum homoseksual.  Belum lagi pada pertengahan 2016 lalu, sejumlah akademisi dan aktivis keluarga yang diinisiasi oleh AILA Indonesia,  mengajukan  Judicial Review  (JR) beberapa pasal kesusilaan yang mencakup  perbuatan cabul sesama jenis.  Pengajuan JR tersebut membuat  para aktivis  LGBT  dan media Pro LGBT  semakin meradang dan menganggap fenomena tersebut sebagai sinyal   kebangkitan  ekstrimisme Islam di Indonesia.

Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di masyarakat, diskursus seputar LGBT sebenarnya  mengerucut  pada satu pertanyaan, “apakah perilaku LGBT merupakan perbuatan buruk/ salah?”.  Pertanyaan tentang status moral  perbuatan homoseksual  termasuk dalam ranah filsafat moral atau etika normatif. Etika normatif  terdiri dari 3 teori utama, yaitu Etika Keutamaan (virtue ethics), Utilitarianisme, dan  Deontologi. Teori Etika Keutamaan (virtue ethics)  dalam konsepsi  al-Attas,  sangat sesuai dengan  konsep manusia beradab yang tertera pada sila ke -2 Pancasila.   Menurutnya,  terminologi adab memiliki akar pada tradisi Islam,  yang bermakna perilaku yang benar yang timbul dari pengawalan diri sendiri  berasaskan ilmu dan diperoleh dari  kebijaksanaan (hikmah).  Prinsip-prinsip etika atau moralitas yang benar, hanya bisa diperoleh ketika jiwa  berhubungan dengan Allah swt, dalam bimbingan wahyu dan akal yang sehat (Al-Attas, 2013, 2015) .

Dengan menggunakan pendekatan Teori  Keutamaan (virtue ethics), perilaku homoseksual  merupakan  tindakan yang  tidak beradab   karena  menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Seorang Homoseksual tidak bisa dikategorikan sebagai   manusia  beradab  karena manusia  beradab,  kekuatan jiwa rasionalnya  akan mengontrol  kekuatan jiwa  binantang (animal soul) yang terdapat pada diri manusia . Tindakan homoseksual merupakan  refleksi dari ketidakseimbangan  fakultas  syahwat (hasrat) ,  sehingga aktivitas  seksual  tidak dapat lagi  dikendalikan  akal  atau rasio. Perilaku homoseksual juga merupakan bentuk kezaliman kepada diri sendiri karena manusia telah diberikan pengetahuan   dan petunjuk oleh Tuhan, agar mampu membedakan benar dan salah. Konsep kezaliman terhadap diri sendiri ini,  merupakan ciri khas etika Islam yang tidak ditemui dalam etika Barat sekuler .

Apabila kita menggunakan  perspektif   Utilitarianisme,   perilaku homoseksual juga  dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak bermoral. Utilitarianisme menganggap sebuah kebaikan adalah apa yang memberikan manfaat terbesar bagi orang banyak (the greatest good of the  greatest number). Perilaku homoseksual merupakan merupakan perilaku berbahaya yang  mengancam keberlangsungan hidup manusia. Fakta-fakta empirik   menunjukan bahwa homoseksual merupakan perilaku seksual yang  paling beresiko tertular  HIV-Aids dan penyakit kelamin  lainnya.  Penyakit HIV-Aids ditemukan pertama kali pada kelompok Homoseksual di Amerika dan saat ini  bermunculan berbagai jenis penyakit kelamin mematikan  yang hanya ditemui pada kelompok homoseksual.  Meskipun fakta  tersebut diakui oleh World Health Organizations (WHO),  namun tidak menyurutkan  Negara-negara Barat  untuk  mempromosikan LGBT ke seluruh dunia. Sejak tahun 1973,  perilaku homoseksual tidak lagi dikategorikan sebagai perilaku abnormal oleh  Asosiasi Psikiatri Amerika (APA). Mereka  berargumen  bahwa  orientasi seksual  adalah ‘given’ dan tak bisa diubah.  Padahal  gen homoseksual  (gay-gene )  dan konsep gender ke-3 merupakan  konsep  pseudo-ilmiah yang sudah banyak ditentang oleh para saintis yang masih memiliki moralitas.

Bahkan apabila kita “terpaksa” menggunakan  kacamata  etika kaum subjektivis (relativisme), perilaku homoseksual  tetap saja tidak bisa dilegalkan  di Indonesia. Pihak Barat tidak boleh memaksa  suatu Negara untuk mengakui hak-hak  homosekual karena  menurut  etika relativisme budaya (cultural relativism),  benar atau salah sangat  bergantung kepada budaya di mana tindakan tersebut dilakukan.  Nilai-nilai agama dan budaya di Indonesia secara umum menolak homoseksual. Meskipun  aktivitas  homoseksual ditemukan di beberapa kelompok masyarakat,   namun hal tersebut tidak menujukkan  penerimaan mayoritas masyarakat Indonesia  terhadap penyimpangan tersebut.

Apabila kita membaca sejarah kebudayaan Barat , perilaku homoseksual tidak pernah diterima oleh masyarakat Barat sebelum adanya proganda homo politics pada abad 20.  Barat  selama ratusan tahun memiliki anti-sodomy  law yang terkenal dengan Code of Justinian dan  Act of 25 Henry VIII.   Bahkan  menurut Adonis dalam bukunya Homosexuality in ancient Greece (2004),  perilaku homoseksual bukan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat   Yunani kuno secara umum,  meskipun selama ini Barat mencitrakan sebaliknya.  Bukti-bukti sejarah menunjukan bahwa perilaku homoseksual sangat identik dengan pedofilia  karena mereka cendrung menyasar anak dan remaja laki-laki. Masyarakat Yunani kuno di Kota Athena,  memiliki hukuman yang tegas terhadap pelaku homoseksual, bahkan dalam beberapa kasus pelaku homoseksual  akan diganjar dengan hukuman mati.

Satu-satunya  argumentasi “favorit” pendukung LGBT adalah Teori Hak  yang merupakan turunan dari Teori Deontologi. Teori ini menjadi dasar lahirnya konsep Hak Asasi Manusia (HAM).  Konsep HAM sendiri  tidak bisa dilepaskan dari agama, karena dari manakah  hak tersebut berasal jika bukan Tuhan yang menganugrahkan kepada manusia ? Dan secara umum,  seluruh agama mengharamkan perilaku homoseksual, kecuali agamawan yang sudah berpandangan liberal. Teori HAM juga tidak tunggal, namun ada   yang bersifat  universal dan ada yang  partikular,  bergantung pada situasi dan kondisi negara masing-masing. Hak asasi  menurut perspektif  HAM bukanlah hak yang an sich namun  disertai dengan kewajiban  atau tanggung jawab sosial.

Saat ini,  mereka  yang menolak LGBT,  dianggap sebagai  orang–orang  fanatik yang  tidak rasional dan sok moralis.  Namun kenyataannya, argumentasi para pendukung LGBT  tidak memiliki landasan  filosofis, empiris, historis apalagi teologis. Gerakan pendukung homoseksual di Barat semakin gencar di era 1960 dan 1970-an seiring dengan penghapusan anti-sodomy law yang  selama ribuan tahun telah mengkriminalisasi aktivitas homoseksual . Homoseksual sejak kemunculannya di berbagai belahan dunia,  telah dianggap sebagai penyimpangan seksual karena bertentangan dengan moralitas dan agama. Namun sayang di zaman postmodern ini, moralitas dan agama dipaksa tunduk pada argumentasi pseudo-ilmiah  dan  propaganda kaum anti-moral.  Sehingga apabila kita tidak melakukan upaya strategis untuk membendung gerakan tersebut, maka kita akan menyaksikan keruntuhan peradaban manusia. Wallahualam.

 

Artikel ini pernah dimuat dalam rubrik opini Koran Republika.

 

 

Memakai Hijab Karena Ingin Semakin Cantik

0

Tanya:

Seorang teman mengirimi kami sebuah gambar yang isinya adalah pertanyaan seputar hijab. Apakah benar alasan kita berhijab agar kita semakin cantik?

Jawab:

Kalimat “Kamu lebih cantik kalau pakai hijab” atau yang senada dengannya sering sekali terlontar sebagai alasan untuk menyemangati muslimah yang ingin berhijab. Manis memang, menyesuaikan dengan jiwa manusia yang senang bila dipuji keelokannya. Tapi jika kita cermati lebih mendalam, kalimat itu mengajak kita melakukan sebuah ibadah bukan karena Rabb. Namun karena makhluk. Motivasi semacam ini adalah pondasi yang sangat rapuh.

Bayangkan jika alasan kita berhijab karena tergiur dengan kalimat-kalimat senada itu. Kemudian ada yang mengatakan kita tak seelok saat tak berhijab. Lantas apakah akan kita tanggalkan hijab kita? Atau ketika di suatu kesempatan kita membaca bahwa salah satu tujuan berhijab justru untuk melindungi kecantikan kita, sangat mungkin menyebabkan pondasi yang selama ini kita miliki akan goyah. Ujungnya kita jadi akan mempertanyakan, mengapa harus berhijab?

Memakai hijab adalah salah satu perintah Allah. Perintah kepada muslimah yang mempercayai Allah sebagai Tuhan, Pemilik diri dan hidup kita yang patut disembah dan didengarkan perintah-Nya.  Ketika muslimah memakai hijab, dasar ia melakukannya haruslah karena ingin mentaati perintah dari Tuhan yang ia percaya. Bukan atas dasar kata orang, pujian, apalagi ikut-ikutan artis yang diidolakan. Jika kita melakukan sesuatu karena  dorongan manusia, maka kita akan lelah dengan sendirinya. Sebab harus terus menerus menyesuaikan dengan manusia yang berubah-ubah.

Sementara jika dasarnya karena taat, karena mengharap cinta, meski ribuan manusia menentang kita tak akan goyah. Contohnya dalam memakai hijab. Ketika dasar memakai hijab adalah taat pada perintah Allah, maka meski beribu orang melarang kita berhijab, kita akan tetap memakainya karena ingin Allah mencintai kita. Sebab memahami hanya Allah yang memiliki kita. Allah yang memiliki hak penuh atas diri kita. Kita sebagai hamba akan berupaya sekuat tenaga untuk melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Untuk meraih cinta-Nya.

Sebab kita faham, ketika Allah mencintai hamba-Nya, seluruh makhluk di langit dan bumi pun akan ikut mencintainya. Bukankah itu sebuah hal yang patut didambakan? Jauh dibandingkan penilaian manusia terhadap keelokan fisik kita maupun penilaian lainnya.

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuannya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niatnya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)“(HR. Ibnu Majah)

Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk melakukan segala kebaikan hanya karena-Nya semata, lillahi ta’ala.

(Tim CGS)

Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik

0

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania (Direktur CGS dan Ketua Bidang Kajian AILA Indonesia)

Download PDF

Akhir-akhir ini berbagai aktivitas dilakukan untuk mengampanyekan penghapusan kekerasan seksual. Aktivitas tersebut sangat bervariasi, mulai dari acara nonton film bersama, seminar,  pengumpulan tanda tangan di kampus,  mall,  serta media sosial, sampai agenda  yang bersifat serius, yaitu pengajuan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).  Kampanye tersebut  digalakkan karena adanya pihak-pihak yang menyatakan bahwa di Indonesia terjadi “Darurat Kekerasan Seksual”.  Alasannya karena maraknya pemberitaan terkait perkosaan, pencabulan, dan penyiksaan bernuansa seksual yang kadang berujung pada pembunuhan terhadap korban.

Benarkah di Indonesia terjadi darurat kekerasan seksual? Untuk menilai kebenaran sebuah pernyataan, kita harus memiliki pengetahuan konseptual tentang istilah-istilah yang digunakan. Kekerasan seksual  menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didefinisikan sebagai  berikut:

“ … any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work. Coercion can cover a whole spectrum of degrees of force. Apart from physical force, it may involve psychological intimidation, blackmail or other threats. [1]

Komnas Perempuan sebagai salah satu penggagas kampanye penghapusan kekerasan seksual  di Indonesia merumuskan arti kekerasan seksual sebagaimana  definisi PBB, namun ditambahkan  frasa “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”.

“ … setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau perbuatan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”[2]

Dalam penjelasannya, kedua definisi tersebut mengafirmasi bahwa kekerasan seksual merupakan  bentuk dari  kekerasan berbasis gender. Gender merupakan jenis kelamin sosial yang merupakan sebuah konstruksi sosial, berbeda dengan seks yang mengacu kepada organ biologis seseorang. Kekerasan berbasis gender bukan berarti semua korbannya  berjenis kelamin biologis perempuan, melainkan dapat meliputi  kondisi  di mana laki-laki menjadi korban kekerasan seksual, yaitu lelaki yang dilecehkan, dipukul, dibunuh karena laki-laki tersebut berperilaku sesuai dengan padangan maskulinitas yang diterima oleh lingkungan sosial.[3]

Komnas Perempuan mengafirmasi 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual yaitu: 1) perkosaan; 2) intimidasi seksual; 3) pelecehan seksual; 4)  eksploitasi seksual; 5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; 6) prostitusi paksa; 7) perbudakan seksual; 8)  pemaksaan perkawinan; 9) pemaksaan kehamilan; 10)  pemaksaan aborsi; 11) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) penyiksaan seksual; 13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; 15) kontrol seksual. Namun, draf RUU P-KS yang diajukan hanya mengakomodasi 9  (sembilan) bentuk kekerasan seksual. Kelima  bentuk lainnya seperti indimidasi seksual, pemaksaan kehamilan, penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual,  kontrol seksual, dan tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan  tidak dimasukkan sebagai bentuk kekerasan seksual. Meskipun demikian, Naskah Akademik RUU tersebut tetap mencantumkan kelima belas  bentuk kekerasan seksual dalam penjelasan  kasus-kasus yang dipaparkan dalam Naskah Akademik RUU P-KS.

Ada Apa dengan Kekerasan Seksual ?

Pengaruh feminisme dalam kampanye penghapusan kekerasan seksual tampak jelas dari penggunaan kata-kata “relasi kuasa atau relasi gender” dalam definisi kekerasan seksual yang menyiratkan peperangan terhadap konsep patriarki. Kekerasan seksual yang dimaksud para feminis merupakan  bentuk dari  gender-based violence atau kekerasan berbasis gender, yaitu mencakup orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender.[4] Dalam konsep kekerasan seksual, dominasi historis, sosial, dan politik laki-laki atas perempuan (patriarki) adalah akar penyebab kekerasan berbasis gender. Norma gender yang merendahkan peran perempuan dalam masyarakat dan peran keluarga juga dianggap sebagai penyebab kekerasan seksual.[5] Upaya penghapusan kekerasan seksual menurut mereka  harus dimulai dengan mendefinisikan ulang norma dan kultur  gender karena di dunia modern  masih terdapat banyak bias gender, kekuasaan atau kontrol terhadap perempuan dan anak perempuan.[6]

Filosofi yang mendasari munculnya konsep kekerasan seksual adalah pandangan bahwa  kebebasan sejati perempuan hanya bisa diwujudkan  apabila perempuan dapat mengontrol tubuhnya sendiri, my body is mine. Salah satu elemen penting patriarki adalah kontrol terhadap aktivitas seksual dan reproduksi dari tubuh perempuan.[7] Pandangan tersebut merupakan ciri khas “worldview” kaum feminis radikal.  Menurut Simone de Beauvoir, meskipun perempuan telah memperoleh haknya untuk dapat berperan di ranah publik, berpendidikan tinggi, serta memiliki hak politik, hal tersebut belum cukup untuk memberikan kebahagiaan sejati bagi  kaum perempuan. Baginya, struktur sosial tidak pernah bisa dimodifikasi atau diubah dengan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan tersebut.[8]   Wanita hanya  akan selalu menjadi pelengkap laki-laki dan tertindas jika perempuan belum memiliki kekuasaan penuh atas tubuh dan aktivitas seksual mereka.

Tidak sulit untuk menilai kuatnya pengaruh feminis radikal apabila kita lebih kritis dalam membaca definisi dari bentuk-bentuk kekerasaan seksual yang mereka kampanyekan,  seperti perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, kontrol seksual, dan lain-lain. Perkosaan sebagai kekerasan seksual, tidak lagi dipahami sebagai perkosaan yang dikenal selama ini oleh masyarakat luas. Gerakan feminisme dan revolusi seksual di Barat telah berhasil memperluas makna perkosaan dan mengubah definisi hukumnya. Sebagian negara di dunia menyetujui untuk mengadopsi “standar internasional” tentang perkosaan ini. [9] Kaum feminis di mayoritas negara bagian Amerika Serikat telah berhasil mengganti definisi hukum perkosaan. Begitu pula dengan Inggris Raya (UK) yang telah mengadopsi perubahan tersebut dengan disahkannya Sexual Offences Act 2003. Dalam Undang-Undang tersebut definisi perkosaan diperluas dan menggunakan definisi hukum “persetujuan” (concent). Namun, pada pelaksanaannya, Undang-Undang tersebut dianggap ambigu sehingga mengundang banyak kontroversi bagi masyakarat Barat sekalipun mereka sangat liberal dalam hal seksualitas. [10]

Definisi perkosaan yang diperluas ini merupakan revolusi yang berhasil dilakukan feminis Barat karena telah mengubah cara pandang masyarakat tentang perkosaan. Kini, revolusi tersebut dipropagandakan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan cara mem-blowup kasus-kasus perkosaan guna memperoleh dukungan terhadap kampanye penghapusan kekerasan seksual. Definisi perkosaan semacam ini di satu sisi memunculkan “ancaman” bagi pihak yang melakukan hubungan seksual secara legal, namun di sisi lain justru memunculkan “perlindungan” terhadap penyimpangan seksual, seperti pelaku prostitusi. Perkosaan dapat terjadi apabila aktivitas seksual tidak dilakukan sesuai kesepakatan, misalnya apabila laki-laki tidak menggunakan kondom padahal ia telah setuju untuk menggunakannya. [11]

Tugas penting dalam agenda feminis adalah menyangkal bahwa apa yang perempuan kenakan, ke mana dia pergi, dan dengan siapa, atau pilihan seksual di masa lalu memiliki relevansi dengan persetujuannya untuk melakukan seks pada suatu kesempatan tertentu.[12]

Oleh karena itu, pakaian perempuan yang provokatif, tindakan flirting atau perilaku menggoda dari pihak perempuan, dan datang dengan sukarela ke kamar seorang laki-laki tidak dikategorikan sebagai tindakan berisiko (unsafe behaviour) yang dapat memicu terjadinya perkosaan. [13] Menurut mereka, penyebab utama dari perkosaan atau kekerasan seksual lainnya adalah rape culture yang selama ini tertanam dalam pikiran laki-laki untuk mengontrol dan menindas perempuan dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Dalam banyak aksinya, kaum feminis kerap melakukan aksi telanjang dada sebagai simbol penguasaan penuh akan tubuh mereka.

Kata kunci dari konsep kekerasaan seksual yang diusung feminis adalah adanya paksaan atau tidak adanya persetujuan dari seseorang, bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya yang terdapat pada suatu masyarakat. Akibatnya, perilaku seksual yang selama ini dianggap menyimpang dan berisiko tinggi tertular penyakit kelamin mematikan, seperti perzinaan dan LGBT, justru tidak dianggap sebagai bagian dari bentuk kekerasan seksual karena perzinaan pada umumnya dilandasi suka sama-suka dan bukan paksaan. Perilaku LBGT tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual apabila dilakukan dengan kesadaran dari pelakunya. Bahkan, orang-orang yang menolak perilaku LBGT  dianggap telah melakukan kekerasan seksual karena tidak dapat menerima pilihan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Begitupun dengan tindakan pelacuran, aborsi, dan nudity yang dilakukan atas kemauan sendiri tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur pemaksaan. Menurut konsep kekerasan seksual, yang termasuk bentuk kekerasan adalah tindakan pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, pemaksaan nudity, dan lain-lain sehingga apabila ditafsirkan secara a contrario atau kebalikan maka perbuatan-perbuatan tersebut jika dilakukan dengan kesadaran dan tanpa tekanan atau paksaan maka dapat dilegalkan secara hukum.

Ketika dilakukan upaya  Judicial Review (JR) pasal-pasal KUHP tentang kesusilaan untuk membuat suatu norma hukum baru terkait perilaku LGBT dan perzinaan,  kelompok pendukung feminisme di Indonesia justru menolak upaya JR tersebut dengan dalih penghormatan pada Hak Asasi Manusia. Mereka menganggap hubungan seks di luar perkawinan (perzinaan) rata-rata bersifat ambigu dan dapat digunakan sebagai sarana kultural yang akan membebani perempuan. Beban tersebut diakibatkan oleh tuntunan masyarakat pada perempuan untuk menjaga kesuciannya karena kesucian perempuan dianggap sebagai simbol kesucian masyarakat.[14]

Pandangan semacam ini tentu sangat keliru. Seks di luar nikah dalam budaya Indonesia tidak pernah menjadi suatu hal yang ambigu, apalagi dianggap membebani perempuan. Kajian sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sejak dulu menentang perilaku seks bebas karena mereka berusaha mengamalkan ajaran moral dan agama yang dianutnya. Suatu ajaran moral atau agama hanya menjadi beban bagi seseorang apabila orang tersebut tidak meyakini kebijaksanaan atau manfaat yang terkandung dari ajaran moral dan agama tersebut. Ambiguitas tentang seks di luar nikah merupakan fenomena modern, bahkan di dunia Barat sendiri, ketika moralitas dan agama tidak lagi mewarnai produk hukum di suatu negara dengan dalil kebebasan atau kemerdekaan seksual.

Kekerasan Seksual VS Kejahatan Seksual

Agar kita tidak tersandera oleh terminologi kekerasan seksual dalam wacana perkosaan dan kejahatan bermotif seksual maka diperlukan terminologi dan konsep yang lebih sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan norma masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, penggunaan terminologi kejahatan dan penyimpangan seksual menjadi alternatif yang lebih baik untuk menghindari ambiguitas dan kontroversi dalam penafsirannya karena lebih mengakomodasi nilai-nilai moral dan agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI ) online, kekerasan diartikan sebagai: 1) yang bersifat keras; 2) perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; 3) paksaan. Secara bahasa, walaupun kekerasan bermakna negatif karena berpotensi menimbulkan kerusakan fisik, kekerasan dapat dimaknai juga sebagai pemaksaan terhadap seseorang yang lebih bersifat psikologis.

Adapun kejahatan diartikan sebagai: 1) perbuatan yang jahat; 2) sifat yang jahat; 3) dosa; 4) perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis. Oleh karena itu, arti kejahatan secara bahasa terkait erat dengan dosa dan perbuatan melanggar hukum atau norma yang telah disepakati masyarakat. Definisi kejahatan secara bahasa menyiratkan aspek moralitas dan juga religiositas. Orang disebut berdosa apabila melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai atau ajaran agama. Jika kita bandingkan arti kata kekerasan dan kejahatan dalam kamus Oxford, maknanya kurang lebih sama. Namun, definisi kejahatan versi Oxford tidak dikaitkan dengan sin (dosa), tetapi hanya disebutkan perbuatan jahat (evil act), memalukan (shameful), dan salah (wrong) yang secara implisit masih mengakomodasi aspek moralitas atau etika.

Sebenarnya, apabila masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim mampu memahami ajaran dan nilai-nilai universal Islam maka mereka akan tegas menolak konsep kekerasan seksual yang ditawarkan feminisme. Islam mengatur bagaimana manusia memuliakan tubuh mereka melalui aktivitas seksual yang sehat, tidak mengeksploitasi tubuh atas nama kebebasan yang semu. Dalam Islam, tidak terdapat dualisme antara tubuh dan jiwa, sehingga kemuliaan jiwa seseorang tercermin dari bagaimana ia memuliakan tubuhnya, memberinya pakaian terbaik dan menghiasinya dengan adab.

Kejahatan seksual dalam perspektif Islam sangat jelas dan tidak mengalami perubahan makna sejak zaman Rasulullah saw. sampai saat ini apabila kita mengacu kepada penafsiran ulama-ulama yang otoritatif. Menurut Henri Salahuddin,[15] kejahatan seksual dalam Islam didefinisikan sebagai segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak ma’ruf dan tidak legal. Bentuk-bentuk kejahatan seksual dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu berdasarkan perbuatannya dan objeknya.

Dari sisi perbuatan, kategori kejahatan seksual meliputi: 1) berhubungan seks di luar nikah, baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan; 2) berhubungan seks secara menyimpang seperti sodomi, meskipun terhadap istrinya; 3) berhubungan seks yang dilakukan dengan cara sadistik dan disertai penyiksaan; 4) berhubungan seks yang dilakukan ke faraj istri di saat datang bulan (haid); 5) segala bentuk perbuatan dan perkataan yang bersifat melecehkan martabat dan harga diri seseorang, baik perempuan maupun laki-laki. Adapun kategori kejahatan seksual yang berkenaan dengan objeknya antara lain: 1) Berhubungan seks dengan hewan; 2) berhubungan seks dengan mayat; 3) berhubungan seks sesama jenis (homoseksual); 4) berhubungan dengan anak-anak di bawah umur (pedofilia); 5) berhubungan dengan orangtua sendiri atau saudara satu mahram (inses).

Kita sangat berharap pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia tidak mudah tepengaruh oleh  kampanye penghapusan kekerasan seksual yang mengadopsi cara pandang sekuler-liberal terhadap seksualitas. Kita tidak menyangkal bahwa di Indonesia telah terjadi berbagai kasus perkosaan yang memilukan, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Namun,  pemerintah Indonesia  justru harus kembali kepada  nilai-nilai spiritual serta  moralitas  untuk menekan angka kejahatan seksual dan mewaspadai adanya “penumpang gelap” yang menggunakan musibah tersebut untuk memaksakan ideologinya kepada masyarakat Indonesia.

Benarlah apa yang dituliskan oleh Yasmin Mogahed dalam bukunya Reclaim Your Heart,  yakni saat feminisme Barat menghapus Tuhan dari gambaran besar maka tidak ada lagi standar yang tersisa bagi kaum perempuan selain standar kaum laki-laki. Sebagai hasilnya, kaum feminis Barat dipaksa menemukan nilai diri mereka dalam hubungannya dengan kaum lelaki. Dengan demikian, mereka telah menerima asumsi yang keliru ketika menganggap seorang perempuan tidak akan pernah bisa menjadi manusia utuh kecuali ia telah menjadi “sama” seperti laki-laki, bahkan mungkin malah ingin melampaui batas-batas kemanusiaan.

[1] Krug,  Etienne G., 2002.  World Report on Violence and Health, Geneva : World Health Organization.  Dapat juga  dilihat dalam dokumen resmi PBB lainnya  .

[2] Berbagai sumber kampanye komnas perempuan, Naskah Ademik dan Draft  Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,  dll.

[3] (http://www.irinnews.org/feature/2004/09/01/definitions-sexual-and-gender-based-violence)

[4] Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Februari 2017

[5] Dinah Douglas, et all.  2015. United Nation Women Background Guide.

[6] (http://www.irinnews.org/feature/2004/09/01/definitions-sexual-and-gender-based-violence)

[7] Dijelaskan pada  https://plato.stanford.edu/entries/feminism-rape/Feminist views of rape can be understood as arrayed on a continuum from liberal to radical. Liberal views tend to regard rape as a gender-neutral assault on individual autonomy, likening it to other forms of assault and/or illegitimate appropriation, and focusing primarily on the harm that rape does to individual victims. More radical views, in contrast, contend that rape must be recognized and understood as an important pillar of patriarchy. Johnson defines patriarchy as a social system in which men disproportionately occupy positions of power and authority, central norms and values are associated with manhood and masculinity (which in turn are defined in terms of dominance and control), and men are the primary focus of attention in most cultural spaces (2005, 4-15). Radical feminists see rape as arising from patriarchal constructions of gender and sexuality within the context of broader systems of male power, and emphasize the harm that rape does to women as a group.”

[8] Simone de Beauvoir. 1956.The Second Sex, LondonLowe and Brydone (Printers) Ltd.

[9] Debusscher,  Petra. 2015. Women’s Rights and Gender Equality : Evaluation of  the Beijing Platform for Action +20 and the opportunities for achieving  gender equality and  the empowerment of women in  the post-2015 development agenda.  Directorate General For Internal Policies Policy Department C: Citizens’ Rights And Constitutional Affairs.

[10] http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10319902/Did-you-know-the-legal-definition-of-rape-and-consent-is-changing-Heres-how.html

[11] Sebagaimana diberitakan oleh daily telegraph :  “A man could be guilty of rape if he ‘tricks’ a women into bed; if he agrees to use a condom but then removes it or damages it; or, if he agrees to withdraw from her but refuses to at the end. So the offence of rape now definitely does not just concern the knife-wielding maniac in the alleyway. http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10319902/Did-you-know-the-legal-definition-of-rape-and-consent-is-changing-Heres-how.html

[12] in sexual encounters, rape exists where consent is lacking, the question then becomes what counts as consent. Women’s sexual consent has in many instances been understood quite expansively, as simply the absence of refusal or resistance; feminists have criticized this approach on the grounds that, among its other untoward implications, it regards even unconscious women as consenting (MacKinnon 1989b, 340; Archard 1998, 85). Furthermore, it has too often been assumed that a woman’s appearance, attire, status, location, prior sexual history, or relationship to the man in question either function as stand-ins for consent (that is, as “asking for it”) or render her consent irrelevant or unnecessary. A vital task on the feminist agenda has been to challenge and discredit such ideas—to deny that what a woman wears, where she goes and with whom, or what sexual choices she has made in the past have any relevance to whether she should be seen as having consented to sex on a particular occasion.” https://plato.stanford.edu/entries/feminism-rape/

[13] Lihat mitos dan fakta  tentang kekerasan seksual https://www.law.georgetown.edu/campus-life/advising-counseling/personal-counseling/sarvl/general-information.cfm

[14] Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Judicial Review KUHP Pasal 284, 285 dan 292 tahun 2016

[15] Henri Salahuddin, 2016. Wacana Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Islam di Intuisi Pengajian Tinggi Indonesia: Kajian Kes di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Disertasi University of Malaya, Kuala Lumpur.

Tubuh

0

Download File PDF

Oleh: Tri Shubhi A

Manusia ialah makhluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Selain memiliki jasad yang wadak, manusia juga memiliki sisi batin yang lembut dan halus. Jasad wadak manusia bersifat benda, dapat dicerap indera. Sementara jiwa, sisi batin manusia, bukanlah benda. Ia berhubungan dengan jasad tapi tak tercerap indera. Baik jiwa maupun raga, keduanya dicipta oleh yang Maha Kuasa. Manusia tidak pernah menciptakan tubuhnya sendiri.

Semua manusia yang hidup hari ini, pada 200 tahun lalu tidaklah ada. Manusia hadir dari ketiadaan. Kita diciptakan, hadir di dunia melalui wasilah ibu dan bapak. Kita tak berkuasa mengubah seketul darah di rahim ibu, menjadi nyawa yang berdetak yang kemudian ditumbuhi tulang dan diselimuti daging dalam satu tata detak hidup yang rumit sekaligus megah. Tata hidup yang selalu sealun dengan gerak semesta. Indah. Jantung yang khusyu berdenyut dan darah yang setia mengalir.

Kita tak berkuasa atas semua itu. Kita tak berkuasa atas kelahiran, atas pertumbuhan, dan kini kita dapat membaca, menulis, dan menghardik manusia lannya. Kita tak berkuasa atas setiap denyut nadi atau peredaran darah. Kita berawal dari ketiadaan, menjadi ada tanpa berkuasa atas keberadaan itu sendiri. Kita dijadikan ada oleh Yang Maha Kuasa, Allah Swt. Kita tak berkuasa atas tubuh kita sendiri. Bukan kita yang menjadikan daging darah dan seluruh jasmani ini.

Dan Allah, dengan segala kasih cinta kepada manusia mengajarkan tentang pemuliaan tubuh. Dalam Islam, tubuh bukan sekadar wadak badan yang dapat diperlakukan sekehendak nafsu. Tubuh mulia, perlu diperlakukan penuh kemuliaan. Islam mengajak penganutnya untuk memuliakan tubuh. Pengurusan badan menjadi bagian penting dalam Islam. Tubuh harus senantiasa dibimbing oleh jiwa yang jernih, bukan diarahkan oleh hasrat kesemenaan manusia.
Tubuh yang hidup perlu diperlakukan dengan wajar. Kita perlu makanan yang wajar, perlu pakaian yang wajar, perlu perlakuan yang wajar terhadap jasmani. Kita perlu kewajaran. Perlu kepantasan dan kesesuaian dengan sifat-sifat alami kita. Perlakuan yang semena-mena dan tak beraturan akan menghasilkan ketidaktepatan, ketidakalamian, dan ketakwajaran.

Tubuh yang hidup, perlu ditutup dari yang tak berhak melihat. Aurat perlu disembunyikan. Tak boleh diumbar. Islam mengajarkan bahwa tubuh manusia ialah mulia, ia tak pantas dipertontonkan secara terbuka demi kesenangan dan nafsu rendah. Tubuh bukan sebentuk lencana yang pantas dipamerkan di muka umum. Bukan pula sebuah karya seni yang perlu dipertunjukkan. Tubuh ialah wadah kemanusiaan. Ia perlu dimuliakan dengan pakaian yang pantas dan wajar.
Rupa yang menawan atau tubuh yang molek bukanlah hak kita untuk memperlakukannya secara semena. Kita harus ingat dan mengulang dengan sabar, bahwa tubuh tidak pernah benar-benar milik kita sendiri. Kita tidak pernah menciptakannya. Tuhanlah, Allah, yang menciptakannya. Taat kepada Allah atas perlakuan terhadap tubuh ialah bentuk kesyukuran tertinggi, sekaligus pemuliaan terhadap keadaan asli (fitrah) kemanusiaan kita lahir dan batin.
Kita perlu memberi tubuh pakaian yang pantas bagi tubuh itu sendiri, bagi jiwa kita, dan sekaligus bagi kemanusiaan kita. Manusia sewajarnya menutup tubuhnya dengan saksama di hadapan manusia lain yang tak berhak. Rasa malu ialah mahkota kemuliaan kemanusiaan kita. Tanpa rasa malu dan kebebasan membabi buta merayakan hasrat, kita telah merubuhkan kemanusiaan kita. Tanpa pakaian yang pantas, kita akan melata di dunia. Tubuh yang tak terjaga, membuka keterpurukan batin yang pilu.

Kita harus tahu diri bahwa kita tak pernah menciptakan tubuh kita sendiri. Tak perlu merayakan kebebasan atas tubuh sebab kita tak pernah memilikinya. Kita hanya berutang atas keberadaan tubuh kepada Sang Pencipta. Bersikukuh merasa memiliki jasad ini hanya akan menghasilkan ketidakwajaran. Kita tak akan mampu menanggung setiap desah nafas, setiap desir darah, dan denyut nadi di badan kita. Kita tak pernah mengatur dan mengurusnya. Kecuali setelah sakit dan perlu cuci darah. Itu pun hanya sedikit dan mahal. Tuhanlah yang mengatur semuanya. Pada desir, pada detak, pada desah, pada alir, dan pada denyut kita berutang pada Tuhan.

Dan kelak semua akan berhenti. Tak ada lagi nafas, darah berhenti berdesir dan mengalir, jantung tak lagi berdetak. Tubuh akan selesai di dunia ini. Suatu saat, jasad yang berada di luar kuasa kita ini akan terbujur kaku, tak mampu sekadar menggerakkan jari. Kita akan kehilangan daya hidup dan kehilangan hidup itu sendiri. Suatu saat kita akan selesai dengan segala keangkuhan dan kepongahan kita selama hidup. Tak ada lagi perayaan dan kegembiraan atas tubuh ketika kita tak lagi bernyawa. Semua kesenangan dan pengumbaran hasrat atas tubuh akan berhenti. Semuanya selesai, menghadap Tuhan dengan segala kelakuan semasa hidup. Tubuh kita membujur kaku, tak bernyawa, tak berjiwa.
Orang-orang hiduplah yang akan mengurus jasad yang membujur kaku itu. Akan tetapi, Islam memberi keindahan pada tubuh yang tak lagi berdaya itu. Dalam ajaran Nabi, setiap yang terlahir dan mati sebagai manusia akan diperlakukan dan dihargai secara wajar dan pantas sebagai manusia. Kemanusiaan senantiasa dijunjung tinggi. Tubuh yang telah menjadi jenazah akan dimandikan secara layak. Jasad yang telah kehilangan daya itu akan dibersihkan untuk yang terakhir kali. Tak ada kain berwarna-warni atau bermodel gaya. Kelak, kita akan berbalut kain putih, kafan namanya, 3 atau 5 lapis banyaknya. Orang-orang akan mensholatkan, mendo’akan, dan mengantar kita ke kuburan. Mungkin ada isak tangis. Namun, tubuh tak bernyawa masih perlu dimuliakan. Dihadapkan ke kiblat di liang lahat. Takbir, tahlil, tahmid, dan doa-doa suci dilantunkan dalam kematian.

Dalam Islam, tubuh yang hidup dan bahkan tubuh yang telah menjenazah senantiasa dimuliakan. Manusialah yang kemudian membangun kepongahan, memperlakukan tubuh semau nafsunya, seumbar hasratnya. Pemuliaan atas tubuh ialah juga pemuliaan atas jiwa, atas seluruh kemanusiaan kita lahir dan batin. Pemuliaan tubuh ialah bentuk kepasrahan dan rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan hidup, memberikan kematian, dan memberikan pengaturan amat rumit namun sangat megah pada setiap peristiwa ketubuhan.

Maka pada desah nafas, pada detak jantung, pada desir urat saraf, pada alir darah, pada denyut nadi seharusnya kita dapat merasakan Tuhan. Khusyu menyebut Allah, Allah, Allah….

Sumber: https://nuun.id/tubuh

Integrasi Gender Studi Islam: Perlukah?

0

Paham kesetaraan gender—meskipun penuh kontroversi—terus dicobakan di Indonesia. Dengan sokongan pendanaan melimpah dari berbagai lembaga asing dan anggaran negara, gerakan gender tampak semakin bergairah merambah berbagai lini kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, maupun pendidikan.

Artikel “Perkuliahan Responsif Gender” di harian Republika yang ditulis oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA dan Koordinator Tim Ahli Pengarusutamaan Gender di Sembilan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) pada 1 Oktober 2016 lalu menarik untuk dicermati. Menurut kedua penulisnya, “perkuliahan responsif gender” merupakan bagian kebutuhan pengembangan kultur akademis yang relevan. Tujuannya untuk pengembangan sikap dan perilaku adil gender, khususnya di lingkungan PTKI.

Gagasan itu sepintas tampak menarik. Padahal, jika ditelaah—dalam perspektif pemikiran Islam—gagasan itu sangat bermasalah. Patut dipertanyakan, misalnya, apakah langkah itu merupakan solusi terhadap problem yang ada atau justru menjadi problem baru di dunia akademis? Berikut ini adalah ringkasan hasil penelitian penulis tentang sejarah studi wanita dan pengalaman sebuah PTKI yang melakukan integrasi gender kedalam mata kuliah keislaman.

Sejarah dan “Tabiat” Studi Wanita
Sejarah berdirinya studi wanita tidak bisa dipisahkan dari peran sarjana feminis Amerika Utara ketika merancang disiplin akademis ini (Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, 2002: 81). Gagasan studi wanita pertama kali dilontarkan Sheila Tobias di sebuah Konferensi Wanita, Cornell University, pada Januari 1969. Gagasan Tobias mendapat sambutan dari beberapa college dan universitas sebagai jawaban atas gerakan feminis dekade 1950-an dan 1960-an untuk menawarkan studi tentang hak-hak sipil dan pelajar, isu-isu tentang hak dan status perempuan di masyarakat, diskriminasi di ruang publik dan domestik, serta bias gender dalam budaya dan pendidikan. Materi studi ini pada awalnya ditawarkan untuk berbagai disiplin ilmu, kemudian menjadi kursus yang terpisah secara khusus, dan kemudian disebut kajian wanita.

Sejak tahun 1970, studi wanita mulai banyak diminati di Amerika Serikat. Dan pada tahun 1979 terdapat 80 program yang ditawarkan untuk sarjana muda di bidang kajian wanita, 21 program untuk tingkat MA, dan 5 program untuk tingkat PhD. Kemudian, pada tahun 1971 didirikan pengajaran kajian wanita di Universitas Toronto.

Banyak penerbit yang mendukung disiplin kajian ini dengan penuh semangat. Dari 1970-1976 penerbitan karya-kaya feminis membanjiri pasaran dengan jumlah spektakuler, misalnya: Jurnal Feminist Studies, Women’s Studies, Signs, Quest, Sex Roles, Women’s Studies Newsletter, Canadian Resources for Feminist Research, Atlantis, dan Canadian Women (The Feminist Mistake: The Radical Impact of Feminism on Church and Culture, 2005:142).

Di awal sejarahnya, studi wanita di Amerika Serikat ditolak dan diragukan validitasnya sebagai disiplin akademis. Bahkan, hingga awal tahun 1970-an, semua universitas dan college di Amerika Serikat menolak aktivitas dan tulisan feminis yang ada dalam departemen akademik studi wanita.

Pada waktu itu, feminisme tidaklah dipandang sebagai sebuah gerakan dan teori akademik yang memerlukan kajian intelektual. Namun, bersamaan dengan semakin kokohnya perjuangan feminis menyebarkan ide-ide wacana gender, secara perlahan kajian wanita di kelas-kelas mulai bertambah dan berkembang pada akhir tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an.

Studi wanita merupakan pergerakan feminis popular yang berhubungan erat dengan perubahan masyarakat mencakup perubahan undang-undang, sosial, ekonomi, serta politik dan budaya. Sebagai contoh dibuatnya UU tentang pelecehan seksual, tingkah laku dalam keluarga, wanita karier dan tugas-tugas keibuan. Hal-hal tersebut hampir menjadi isu-isu yang tidak terpikirkan pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, khususnya di bidang akademik. Feminis telah memainkan peranan penting dalam perubahan ini, dan kelas-kelas studi wanita telah membantu dalam pembentukan ide, analisis baru, serta diskusi tentang peran wanita dalam masyarakat.

Pada akhir 1970-an hingga 1980-an, studi wanita mulai mengubah kurikulumnya dan menantang kalangan homofobia dengan memberikan jawaban berbasis studi seksualitas dan budaya lesbian. Para akademisi feminis mengarahkan isu ras dan bias kelas dalam program kajian wanita dengan mengganti kandungan kurikulum yang memfokuskan studi wanita di luar kulit putih (women of color) dan kelas pekerja wanita. Dalam dekade 1990-an, kurikulum studi wanita diperluas hingga meliputi kajian tentang wanita cacat serta komunitas transgender dan biseksual. (An Introduction to Women’s Studies: Gender In a Transnational World, 2002: xvii).

Perspektif gender dalam Studi Islam
Tujuan studi Islam berbasis gender sebenarnya untuk menata ulang pemahaman teks-teks agama yang dituduh sebagai sumber kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, tidak sedikit aktivis gender yang melecehkan fikih dengan menuduhnya menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan (lihat: Islam dan Konstruksi Seksualitas, 2002: 201). Aturan ibadah yang disusun dalam kitab-kitab fikih dicurigai sangat diskriminatif karena melarang mutlak perempuan menjadi imam bagi laki-laki, menjadi muazin, khatib Jumat dan lain-lain (lihat, Membina Keluarga Mawaddah Wa Rahmah dalam Bingkai Sunah Nabi, 2003: 137)

Sebagian aktivis gender juga menyatakan bahwa teks Alquran dan hadis mempunyai standar ganda dalam menempatkan perempuan. Oleh karena itu, metode feminis dalam studi Islam diharapkan bisa mengungkap bagaimana ketertindasan perempuan dilestarikan dalam syariah dan fikih (lihat, Modul Belajar Bersama: Islam dan Gerakan Perempuan, 2007:33). Hal ini, menurut pegiat gender lainnya, disebabkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu yang sejak awalnya mengalami bias gender, baik dalam kosakata (mufradat) maupun dalam strukturnya (lihat, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an, 2001:277)

Padahal, bukanlah perkara yang sederhana untuk mengintegrasikan agama dan feminisme. Menurut Rita M Gross, agama dan feminisme mempunyai tema kajian yang sama kompleksnya dan sama-sama membangkitkan emosi. Feminisme dan agama adalah sistem kepercayaan yang saling bertentangan dan sarat emosi yang memberi pengaruh langsung terhadap kehidupan orang banyak (lihat, Feminism and Religion: An Introduction, 1996: 5)

Tanpa diintegrasikan dengan studi agama, sebenarnya studi wanita sendiri mempunyai masalah yang sangat kompleks. Hal ini diakui oleh Inderpal Grewal dan Caren Kaplan. Menurut mereka, rata-rata kendala feminis dalam menjalankan kurikulum studi wanita adalah memilih dan memutuskan isu-isu gender yang dianggap urgent bagi perempuan di seluruh dunia dari masa ke masa (internasionalisasi kurikulum gender).

Hingga kini, internasionalisasi kajian wanita dilakukan dengan dua cara. Pertama, menekankan kesamaan di antara perempuan di seluruh dunia. Isu-isu yang disetujui difokuskan pada masalah keibuan dan struktur keluarga. Walaupun isu tersebut dialami semua perempuan dan disuarakan untuk kepentingan mereka, tetapi ia juga berkaitan erat dengan keberagaman budaya, kelas, bangsa, dan orientasi seksual sehingga menghasilkan perbedaan pandangan tentang arti ibu dan struktur keluarga.

Kedua, yaitu pendekatan yang lebih hierarkis dengan melihat budaya Barat sebagai model ideal sehingga budaya-budaya lain harus dipahami dari sudut pandang Barat. Pendekatan ini melahirkan program women and development. Walaupun demikian, banyak kalangan feminis yang tidak mampu membantah bahwa program-program pembangunan di negara-negara termiskin, tidak menyebabkan peningkatan kehidupan wanita. Sebaliknya, wibawa dan pengaruh wanita dalam rumah tangga semakin merosot (lihat, An Introduction to Women’s Studies: Gender In a Transnational World, 2002: vii-viii)

Hingga kini, masalah internasionalisasi kurikulum berbasis gender masih dipertikaikan dan memunculkan banyak pertanyaan. Misalnya, subjek apakah yang seharusnya dikaji dan ditinggalkan? Apakah isu-isu perempuan di Amerika Serikat dan Eropa bisa dianggap inklusif untuk merumuskan isu-isu perempuan di negara-negara lain, sekaligus menjadi solusi yang ideal? (ibid, xix).

Masuknya perspektif gender ke dalam studi Islam pada awalnya sarat dengan intrik dan strategi. Salah satu mantan ketua PSW di sebuah PTKI di Indonesia menyatakan bahwa awalnya istilah yang digunakan bukanlah “teologi feminis” dalam studi Islam, tetapi “perspektif perempuan dalam agama” atau “analisis gender dalam agama”. Sebab, penggunaan istilah “teologi feminis” akan menimbulkan penolakan di kalangan umat Islam di Indonesia. Sebab, kata “teologi” lebih identik untuk agama Kristen, sedangkan “feminisme” lebih dipahami sebagai ideologi kebebasan perempuan Barat yang free-sex, aborsi, dan anti-institusi keluarga (lihat, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, 2002: 5-7).

Meskipun demikian, integrasi gender dalam studi Islam di beberapa PTKI sejauh ini cenderung menggunakan perspektif feminis Barat yang ekstrem. Agama dan kitab suci dianggap mengajarkan kebencian terhadap wanita dan melegitimasi hak istimewa untuk laki-laki. Sejarah munculnya feminisme yang dilatarbelakangi marginalisasi perempuan di Barat telah memunculkan semangat antagonisme terhadap agama dan laki-laki. Ideologi ekstrem seperti ini banyak dijumpai dalam corak baru studi Islam berbasis gender yang dikembangkan oleh beberapa PTKI.

Penelitian penulis terhadap buku panduan perkuliahan berbasis gender di sebuah PTKI, mendapati beberapa masalah, di antaranya:

(i)
Cenderung memaksakan keterkaitan antara bahan mata kuliah dan perspektif gender. Hal ini berdampak pada bergesernya karakter studi Islam yang didasarkan teks-teks wahyu perlahan-lahan bergeser kepada realitas sosial dan modernitas. Dalam mata kuliah ‘ulum Alquran I, misalnya, diuraikan bahwa di antara judul yang dikaji adalah teori evolusi syariah dengan pendekatan gender. Tafsir Amina Wadud juga dikenalkan sebagai metodologi tafsir Alquran. Kurikulum usul al-fiqh yang seharusnya dimaksudkan untuk membahas konsep, sumber, dan metode istinbat hukum Islam didekonstruksi dengan perspektif gender melalui pendekatan kesejarahan. Konsekuensinya, arah perkuliahan akhirnya digiring untuk mengkritik dan menafsirkan ulang hukum Islam yang bersifat qat’i (final) dan tsabit (permanen).

(ii)
Munculnya perubahan tabiat dasar dan tujuan mata kuliah yang awalnya berfokus kepada pencapaian skill kebahasaan, berubah sekadar menjadi pengamat. Materi bahasa Arab yang seharusnya bertujuan mencapai kemahiran membaca, bertutur, dan menulis, akhirnya dipaksakan mempelajari hal-hal di luar maksud pembelajaran, seperti membahas latar belakang patriarkisme bangsa Arab dan bias gender dalam kaidah bahasa Arab.

(iii)
Kurangnya SDM yang mampu memahami bidang studi Islam dan gender secara komprehensif, sehingga berdampak pada penentuan buku-buku rujukan. Penulis menjumpai empat kasus buku, di mana satu buku dijadikan rujukan untuk tiga hingga enam jenis mata kuliah (lihat, Pengarusutamaan Gender Dalam Kurikulum IAIN, 2004).

Walhasil, sekiranya perkuliahan responsif gender merupakan program wajib pemerintah yang harus diterapkan, hendaknya kuliah itu tidak menyasar hal-hal yang kontraproduktif. Kuliah lebih baik difokuskan pada penguatan institusi keluarga, mendorong kebijakan yang memberikan jaminan kesehatan untuk kehamilan dan persalinan, insentif bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai balita, menghukum sindikat rumah sakit yang membujuk pasien melakukan operasi caesar tanpa alasan yang dibenarkan, sedangkan bagi wanita karier diberikan cuti melahirkan minimal setahun bergaji, memberi masa kerja yang lebih fleksibel, dan lain-lain yang membawa kemaslahatan luas bagi bangsa dan negara.

Menjadikan pola pikir feminis Barat sebagai kiblat studi gender adalah kekeliruan yang sangat mendasar. Dalam Islam dan tradisi masyarakat Indonesia, perempuan ditempatkan pada tempat terhormat, sebagai hamba Allah yang setara kedudukannya dengan laki-laki, meskipun dengan peran yang berbeda. Kekeliruan dasar dan arah studi gender di Perguruan Tinggi Islam akan berdampak pada hilangnya adab pribadi, keluarga, dan masyarakat. Bukan manusia yang adil dan beradab yang dituju, tetapi manusia tak beradab. Na’udzubillah.

Oleh: Dr Henri Shalahuddin
(Peneliti Insists; Doktor Bidang Pemikiran Islam dan Studi Gender)

Equality (Persamaan)

0

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya seorang profesional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai ibu rumah tangga dengan 2 orang anak Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera.

Tapi, Nancy ternyata telah “kerasukan” paham kesetaraan gender. Ia menjadi tidak nyaman berkeluarga. Mengurus rumah tangga tiba-tiba serasa seperti pembantu atau budak.

Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Berger The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape; motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power. (Keluarga sekarang nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan).

Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu tidak secuil pun terbesit dalam pikiran suaminya.

Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih di urusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah dihadapi.

Di dalam benaknya terdetik penyesalan “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya terasa pincang. Benarlah wisdom dari Nabi: ”Sungguh miskin! wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin! laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadis ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berpikir panjang untuk cerai. Asalkan dia tidak membaca hadis itu dengan hermeneutika.

Mimpi Nancy adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmo yang sarat kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Mimpi Nancy adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total.

Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyama-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting pot postmodern.

Tapi penyamaan adalah utopia fatamorganis. Menjanjikan tapi tidak menjamin. Membela tapi untuk menguasai. Sebab para pakar di Barat yang sadar mengkritik misi ini.

Di tahun 1715-1747 Marquis De Vauvenargues sudah wanti-wanti “Alam tidak mengenal kesamaan; hukum, yang berlaku adalah subordinasi dan ketergantungan”. Hampir seabad kemudian James Anthony Fuller, (m. 1894) mengulangi pesan Marquis “Man are made by nature unequal, it is vain, therefore to treat them as if they were equal”.

Fakta sosial juga menunjukkan bahwa in-equality antara sesama laki-laki sekalipun bisa diterima. Apalagi antara laki-laki dan wanita. Fakta biologis menjelaskan strukur tubuh laki-laki dan perempuan berbeda dan membawa perbedaan psikologis. Karena itu Dr. Ratna Megawangi dengan tepat dan cerdas memberi judul bukunya “Membiarkan Berbeda”.

Jika demikian apa berarti tuntutan equality tidak universal? Memang! Sebab kebebasan dan persamaan adalah bagian dari America’s core culture (Fukuyama).

Malahan, kata Ronald Inglehart dan Pippa Norris kesetaraan gender, kebebasan seks, perceraian, aborsi, dan hak-hak gay adalah ciri khas Barat. Maka benturan Islam–Barat adalah Sexual clash of Civilization”, tulisnya. Itulah, equality memang tidak universal.

Tapi mengapa kini tiba-tiba menjadi seperti universal? Sebab equality satu paket dengan Westernisasi, modernisasi dan globalisasi. Mulanya (abad 19 hingga awal abad 20) hanya sekedar menuntut kesamaan hak pilih, tapi kemudian (1960an-1980an) persamaan bidang hukum dan budaya. Periode selanjutnya (1990an) adalah evaluasi kegagalan gerakan pertama dan intensifikasi gerakan kedua.

Penyebarannya berbasis teori Foucault “untuk menjajah pemikiran kuasai wacana!”. Caranya, semua bangsa dan bahkan agama didorong untuk bicara gender. Yang menolak berarti ndeso alias kampungan. Strategi dan aplikasinya menjadikan kesetaraan gender sebagai neraca pembanguan di PBB. Pembangunan diukur dari peran wanita didalamnya dalam bentuk GDI (Gender Development Index).

Tapi benarkah peran wanita dapat menjadi neraca pembangunan?, Ternyata tidak. di Negara-negara seperti Jepang, Korea, Singapura, Amerika Serikat dan sebagainya telah ada equality dan equal opportunity dalam pendidikan dan pekerjaan. Tapi itu tidak juga mengangkat share income dalam keluarga.

Korelasi antara equality dan kemajuan pembangunan tidak terbukti. Prosentase anggota parlemen di AS misalnya hanya 10.3%, di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. Meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang, dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi.

Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dan sebagainya total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang antara wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara.

Lucunya, di negeri ini ulama, kyai dan cendekiawan Muslimnya tergiur untuk “mengimpor” paham kesetaraan ini. Mereka menjadi pongah lalu melabrak syariat. Fikih empat mazhab itu “dicaci” sebagai terlalu maskulin dan harus dirombak. Ayat-ayat gender ditafsirkan ulang demi equality. Yang muhkamat (pasti) diangggap mutasyabihat (ambigu).

Akhirnya, lahirlah konsep fikih berwawasan gender, lesbianisme dianggap fitrah dan perilaku homoseks dianggap amal saleh. Lucu! bak shalawat dilantunkan secara rap atau R&B, atau bagaikan masjid dihias pohon natal.

Jika para pegiat feminisme, mendapat berbagai awards dari Barat tidak aneh. Semakin galak menista syariat semakin bertaburan awards-nya. Tapi ide penerima awards tidak berarti benar dan sebaliknya. Sebab dari penelitian Yayasan Ibu Harapan di 6 kota besar di Indonesia, gagasan fikih itu ditolak oleh 90% responden dari 500 muslimah.

Ide persamaan hak waris pun ditolak 91% responden. Bahkan mayoritas (97.4%) tidak sepakat dengan ulah Aminah Wadud menjadi Imam. Apalagi perilaku Irsyad Manji yang lesbi dan pendukungnya di negeri ini.

Masalahnya apakah tuntutan kesetaraan itu setingkat 50-50? Jika benar, apakah tuntutan hak juga perlu disamakan dengan pelaksanaan kewajiban, khususnya dalam agama?, Padahal dalam Islam ada hak-hak (huquq) dan kewajiban (waajibat). Jika kesetaraan penuh tidak mungkin, apa saja yang harus disamakan?.

Mungkin benar pepatah Latin kuno yang berbunyi Omne Simile claudicate itaque de singulis verbis age (Semua persamaan itu pincang, oleh karena itu jelaskanlah secara rinci). Dan sungguh benar firman Allah bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita meski tidak harus beda surga.

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now