Home Blog Page 6

Si “Feminis” Muslim (yang sebenarnya bukan benar-benar seorang “Feminis”)

0

“Feminisme” telah menghantui para perempuan Muslim. Diam-diam, ia telah membisikkan was-was bahwa ia mengerti betul kebebasan yang dicari oleh para Muslimah – bahwa ia memahami mereka lebih baik daripada Muslimah lain (dan jauh lebih baik daripada Sang Pencipta mereka!). “Feminisme” telah bersumpah, bahkan mengklaim dengan ancaman, bahwa ialah satu-satunya jawaban atas berbagai ketidakadilan terhadap perempuan, dan menolak feminisme berarti sama halnya dengan menolak keadilan sosial, serta menolak kewajiban kita sendiri untuk menegakkan keadilan. Jadi, TERIMALAH IA. Abaikan saja, mohonnya, bahwa di muka umum, ia telah mengutuk hijab kita, mengkriminalisasi nilai-nilai kita, dan bahkan mendiktekan posisi kita – menyerahlah saja pada ratapan para perempuan, lalu TERIMALAH IA. Sebagian Muslimah, dengan wajah mereka basah yang disebabkan oleh berbagai kisah yang diulang-ulang mengenai perempuan  teraniaya, telah membuka pintu-pintu mereka dan mempersilahkan masuk atribut yang penuh semangat ini ke dalam rumah-rumah mereka, kehidupan mereka, ke dalam “identitas” mereka, sebagai cara untuk ‘menghormati’ atau membuktikan dukungan mereka terhadap hak-hak perempuan. Mereka menyatakan diri mereka sebagai “Feminis” Muslim.

Salah seorang Muslimah mencoba menjelaskan mengapa ia telah menambahkan imbuhan “Feminis”, sebagai berikut (asalnya ditulis di sini):

“Salafi”: Seorang Salafi (Bahasa Arab: سلفي) adalah seorang Muslim yang menitikberatkan para (tradisi—ed) Salaf (“pendahulu” atau “leluhur”), para Muslim yang paling awal, sebagai contoh atau model kehidupan Islami. (Wikipedia)

Salafi (Definisi Media): Laki-laki Muslim yang memakai jubah menggantung dan memiliki janggut lebat, perempuan Muslim yang memakai hijab/ abaya/ cadar; para Muslim, yang membenci Barat, mengimpikan dominasi global dan Kekhilafahan (TM), dan bersikeras mempraktekkan Islam secara terbuka. *ngeri*

 Salafi (Amerika Utara): Segerombolan lelaki dengan jubah menggantung, berjanggut panjang, dan memiliki terlalu banyak waktu di tangan mereka, yang dihabiskan untuk menulis berkas-berkas PDF yang menyatakan bahwa semua orang (kecuali mereka—ed)berlepas diri dari Manhaj.

 Feminis: Seorang pembela hak-hak sosial, politik, hukum dan ekonomi para perempuan agar setara dengan hak-hak para pria. (Dictionary.com)

 Feminis (Pendapat Umum): Perempuan-perempuan yang pantang bercukur[i], pembenci laki-laki,yang bertekad membuktikan diri mereka lebih superior dari laki-laki dan mengambil alih semua pekerjaan laki-laki.

 Feminis (Pendapat Umum Para Muslim): Perempuan-perempuan yang pantang bercukur, pembenci laki-laki, yang akan menghancurkan tatanan alami di dunia dengan mengklaim kesetaraan atas laki-laki.

 Feminis / Feminisme Muslim: Sebuah bentuk feminisme yang peduli terhadap peran perempuan dalam Islam. Bertujuan untuk mencapai kesetaraan penuh atas sesama Muslim, tanpa memandang gender, baik di ranah kehidupan pribadi maupun umum. (Wikipedia)

 Feminis Muslim (Pendapat Umum Para Muslim): Perempuan-perempuan pembenci laki-laki, pembenci diri sendiri, yang mencoba menggunakan Islam sebagai alasan untuk merobohkan Ummat Muslim dari dalam; mereka yang mencoba untuk menghancurkan tatanan alami dunia ini dengan menyatakan kesetaraan penuh atas laki-laki, atau paling tidak sedikit lebih setara daripada yang lebih dipercayai oleh para Muslim. Atau dengan kata lain, perempuan Muslim yang telah dicuci-otak oleh Barat untuk meyakini bahwa peran sebagai istri dan ibu masih belum cukup baginya, dan sekarang hanya merupakan sebuah alat yang menyedihkan oleh Kehancuran Barat (TM) yang perlu diwaspadai, karena benar-benar tidak ada harapan baginya, terutama ketika ia mulai mencoba menyebutkan ayat dan hadits untuk membenarkan cara pendangnya yang jelas-jelas rusak dan menyimpang.

 Feminis Salafi: Seorang yang hanya suka melihat orang lain terkejut-kejut ketika melihat kata ‘Salafi’ dan ‘feminis’ berdampingan, lalu senang mengucapkan hal-hal seperti: “dalam feminisme-salafi kamu telah menggabungkan dua dari gerakan-gerakan paling merusak yang terbesar dalam sejarah modern.” (Kisah nyata).

 Oke, aku mungkin sengaja berolok-olok. Akan tetapi memang sulit menahan diri, terutama ketika semua orang ingin menjerumuskanku dan pandangan-pandanganku ke dalam sebuah kotak yang begitu sempit, karena kecuali kalau kamu muat ke dalam sebuah kotak yang telah dibentuk sebelumnya, kamu tidak masuk hitungan! Bagaimanapun, aku seorang perempuan bercadar yang membenci “gambar-gambar Da’wah” yang menyatakan bahwa perempuan, kalaulah tidak seperti lolipop yang terbungkus cantik, maka mereka hanya permen-permen tak terbungkus yang terbuang, dikerubungi oleh lalat. Aku seorang ibu dan istri yang bahagia, dan aku membenci orang-orang yang mencoba memberitahuku bahwa aku seharusnya cukup bahagia dengan peranku sebagai ibu dan istri saja. Aku percaya dengan proses pencarian ilmu, baik Islami maupun yang lainnya (dalam bidang-bidang yang lebih daripada sekadar ginekologi atau pendidikan anak TK), dan sangat ingin sekali mengumpat pada orang-orang mengesalkan yang masih memperdebatkan “pendidikan untuk wanita dalam Islam”. Aku tidak menyetujui percampuran jenis kelamin atau hubungan sebelum nikah, tapi aku tidak akan pernah mengecilkan nilai seorang perempuan lain sebagai seorang manusia berdasarkan sejarah seksualnya atau rumor mengenai reputasinya. Aku marah terhadap ketidakadilan pemerintah-pemerintah Barat, tetapi aku menolak untuk menutup mata terhadap tragedi-tragedi yang dipicu oleh para Muslim antar sesame mereka. Serangan-serangan drone, perang-perang ilegal, dan pendudukan Palestina turut menempati posisi utama setara dengan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan rasisme dalam komunitas Muslim itu sendiri. Aku percaya bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kendali atas tindakan dan nafsu mereka, dan bahwa seorang perempuan yang memandang seorang pembicara laki-laki tidak akan lantas membuat nafsunya meluap-luap, atau bahwa tiap pria tidak mampu menahan syahwatnya ketika ia melihat seorang perempuan yang tubuhnya tidak tertutup dari kepala sampai kaki oleh warna hitam. Aku menghargai para ulama Islam dan akan membela mereka dari siapapun yang mencoba untuk mencela mereka, tapi itu tidak berarti aku akan diam saja ketika sebagian kata-kata mereka berbahaya bagi para Muslimah dalam Ummah ini. Aku percaya bahwa homoseksualitas adalah dosa besar, tapi aku juga percaya bahwa syirik itu lebih buruk. Tak ada seorang pun yang patut membolehkan dosa-dosanya menghentikan mereka dari mendekatkan diri pada Allah, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Pengampun, Tuhan Yang Maha Esa. Aku menjunjung tinggi bahwa kesopanan dan tindakan menahan diri adalah untuk laki-laki maupun perempuan; bahwa perempuan seharusnya memakai hijab, bahwa laki-laki sepatutnya menundukkan pandangan mereka, dan bahwa kedua pihak turut saling membantu sesama dalam membuat masyarakat mereka semakin bersih dalam berbagai cara. Aku percaya bahwa “laki-laki yang beriman, dan perempuan yang beriman, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain (Qur’an 9:71).”

Cuplikan ini adalah contoh yang pas mengenai seorang “Feminis” Muslim yang sebenarnya bukan seorang Feminis sama sekali. Menarik bahwa ia belum memberikan definisi yang jujur mengenai seorang ‘feminis salafi’ (atau mungkin definisinya jujur, dan sebenarnya ia hanya bermaksud untuk berolok-olok), aku akan mengikuti definisinya yang ringan:

“Feminis: Seorang pembela hak-hak sosial, politik, hukum dan ekonomi para perempuan setara dengan hak-hak para pria.”

Aku benci menjadi pembawa berita buruk, tapi jika kamu memperjuangkan hak-hak bagi perempuan yang setara dengan laki-laki, maka kamu pun harus memperjuangkan kewajiban yang setara pula:

[1] jika kamu memperjuangkan bahwa laki-laki dan perempuan harus menerima warisan yang setara, maka kamu pun harus mengadvokasi bahwa perempuan harus turut mencari nafkah juga.

[2] bila kamu mendukung bahwa laki-laki dan perempuan harus saling melindungi sesama secara fisik, maka kamu tidak berhak keberatan atas seorang pemimpin perempuan, dan kamu turut mengatakan bahwa laki-laki memiliki hak yang sama atas perlindungan fisik seperti halnya wanita, sehingga wanita pun perlu berjaga-jaga, pergi berperang, dan lain-lain, dalam tingkatan yang setara.

[3] jika kamu “percaya bahwa laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kendali atas tindakan dan nafsu mereka”, maka kamu pun perlu mendukung bahwa kesopanan dalam hal hijab dan menundukkan pandangan sama sekali tidak diperlukan oleh masing-masing pihak.

Bila kamu tidak mendukung hal-hal ini, maka kamu tidak sedang menyokong ‘kesetaraan hak’ (atau kewajiban) bagi laki-laki dan perempuan. Kamu hanyalah seorang Muslim yang membela hak-hak Islami bagi laki-laki dan perempuan yang diturunkan oleh Tuhan. Maka dalam kasus ini, aku tidak melihat alasan kenapa perempuan seperti kamu merasa perlu untuk turut memodali istilah feminisme – kecuali kalau hanya untuk mendapatkan perhatian yang dihimpun olehnya.

Para Muslim yang menamakan diri mereka “Feminis” untuk mendukung hak-hak perempuan bisa diibaratkan seperti orang-orang Muslim yang pergi ke bar penuh alkohol untuk minum air.

Pandangan Muslim “Feminis” semacam ini mengingatkankita bahwa seringkali para Muslimah muda dengan salah memimpikan bahwa Feminisme mengandung monopoli atas hak-hak perempuan, dan dengan begitu, dalam rangka mendemonstrasikan sebuah komitmen terhadap hak-hak perempuan, mereka harus mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai “Feminis”. Akan tetapi, karena kategori khusus “Feminis” ini tidak menaati nilai-nilai para Feminis sama sekali, melainkan sebenarnya nilai-nilai Islam, bukankah akan lebih rasional, juga merupakan sebuah panggilan yang lebih tegas terhadap keadilan, untuk menamakan diri mereka “Muslim” saja?

Juni 12, 2014

 

Sumber: Zara Faris: The Muslim “Feminist” (who isn’t really a “Feminist”)

Penerjemah: Lisana Shidqina

Editor: Rira Nurmaida

 

[i]Di kalangan masyarakat Amerika berkembang stereotip bahwa para feminis cenderung tidak mencukur rambut di tubuh mereka sebagai aksi protes dan ekspresi pemberdayaan meski beberapa sumber feminis menolak anggapan ini. Seperti ditulis pada www.viralwomen.com

Sejarah Homoseksual: Penyimpangan yang Melintas Zaman

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania

Peneliti INSISTS dan Direktur The Center for Gender Studies (CGS)

Pendahuluan

Abad ke-21 merupakan abad ‘kemenangan’ kaum homoseksual di Barat. Agama Kristen—yang menjadi agama mayoritas masyarakat Barat—tak mampu membendung sepak terjang aktivis gerakan pendukung homoseksual. Perilaku homoseksual di negara-negara Barat  tidak lagi dikategorikan sebagai perilaku abnormal sejak Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mengeluarkan homoseksual dari daftar penyakit mental  atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) pada tahun 1973. Saat ini, siapa saja yang menentang homoseksual justru dituduh sebagai homophobia  yaitu mereka  memiliki ketakutan dan kebencian terhadap aktivitas homoseksual. Eksistensi kaum homo semakin menjadi sorotan dunia  ketika putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 26 Juni 2015  melegalkan pernikahan sesama jenis. Meskipun Belanda menjadi negara pionir yang mengakui pernikahan pasangan homo sejak tahun 2001, namun dengan legalisasi negara yang dianggap superpower seperti Amerika, membuat kelompok pendukung kaum homo di berbagai negara mengalami euforia termasuk di Indonesia.

Istilah homoseksual atau homosexual sendiri secara literal berasal dari homo dalam Bahasa Yunani yang berarti sama (sejenis) dan sex dari Bahasa Latin yang berarti seks.  Istilah homoseksual pertama kali muncul pada tahun 1896 dalam Bahasa Jerman pada pamflet yang ditulis oleh Karl-Maria Kertbeny, berisi advokasi untuk menghapuskan  Prussias Sodomy Law[i]. Ia memunculkan istilah homoseksual sebagai pengganti istilah sodomite atau pederast yang bersifat merendahkan, dan waktu itu lazim digunakan secara luas di kalangan masyarakat berbahasa Jerman dan Prancis. Prussia adalah negara Jerman  pertama yang menghapuskan hukuman mati bagi pelaku sodomi pada tahun 1794.[ii]

Kaum Homo Pertama di Muka Bumi

Aktivitas homoseksual pertama dalam sejarah dapat ditelusuri dalam kitab-kitab suci, baik agama Kristen (Injil) maupun dalam agama Islam (Al-Qur’an).  Al-Qur’an mengabarkan perilaku homoseksual pertama kali dilakukan oleh kaum Sadum (Sodom). Allah SWTtelah mengutus Nabi Luth bin Haran bin Azar, anak saudara Nabi Ibrahim kepada penduduk Sadum dan negeri-negeri sekitarnya untuk menyeru kepada kebenaran.[iii] Nabi Luth hidup sezaman dengan  Nabi Ibrahim. Menurut al Attas, jarak antara masa sekarang dengan masa nabi Ibrahim sekitar 4215 tahun.[iv]

Allah SWT berfirman di Surat Al-A’raaf (7) ayat 80 dan 81 bahwa kaum Sadum telah melakukan perbuat haram fahisyah, yang belum pernah seorang manusia pun pernah melakukannya. Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa fahisyah adalah laki-laki menggauli laki-laki lainnya dan bukan wanita, padahal Allah SWT menciptakan wanita untuk laki-laki. Hal tersebut menurut Ibn Katsir, merupakan perbuatan yang melampaui batas karena Kaum Sadum telah menempati sesuatu bukan pada tempat semestinya.  Dalam Surat Hud ayat 79 diceritakan dalih mereka melakukan perbuatan homoseksual karena tidak menyukai wanita.  Para Mufasir mengatakan  maksud ayat tersebut adalah ketika kaum laki-laki merasa cukup dengan laki-laki dan kaum wanita tidak lagi memerlukan kaum laki-laki.[v] Akhirnya dalam Surat  Hudd ayat 82-83, Kaum Sadum yang melampaui batas,  dihancurkan oleh Allah SWT dengan membalikkan negeri tempat tinggal mereka ke dalam tanah dan menghujaninya dengan  batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.

Yunani Kuno dan Mitos Homoseksual

Praktik Homoseksual dijumpai dalam peradaban Yunani Kuno. Plato (427-347 M) dalam dialognya yang berjudul Symposium menceritakan acara pesta minuman khusus pria pada masa itu. Tema percakapan dalam dialog tersebut adalah tentang Eros, yang menyinggung perilaku homoseksual atau pedofil lebih tepatnya. Seorang tokohnya, Pausanias, mengutarakan tentang nafsu pria dewasa untuk mencari kesenangan pada anak lelaki. Sedangkan Aristophanes menceritakan sebuah mitologi Yunani bahwa kemanusiaan (humanity) pada awalnya adalah manusia dengan 4 (empat) kaki dan 4 (empat) tangan. Manusia terdiri tiga jenis kelamin yaitu hermaphrodite (kelamin ganda), pria, dan wanita.  Namun dewa yunani, Zeus, merasa terancam oleh kekuatan manusia, sehingga ia memotong tubuh manusia-manusia tersebut menjadi dua bagian. Manusia akhirnya memiliki dua tangan dan dua kaki sehingga yang dulu berjenis kelamin hermafrodit akan merindukan pasangannya yang berbeda jenis kelamin (heteroseksual). Sedangkan Manusia yang awalnya berjenis kelamin laki-laki akan merindukan pasangan lelakinya (homoseksual). Begitu pula yang berjenis kelamin wanita, akan merindukan pasangan wanitanya. Manusia yang terbelah tersebut akan merindukan the other half atau pasangan jiwanya masing-masing.[vi]

Namun Plato dalam karya-karyanya yang terakhir  (Phaedrus, Republic, dan The Law), bersikap negatif tentang  hubungan sejenis. Menurut Plato hubungan sejenis adalah hubungan yang tidak alami atau bertentangan dengan hukum alam (natural law). Plato  berargumen bahwa tidak ditemukan binatang yang melakukan tindakan homoseksual. Selain itu, menurut Platohubungan homoseksual juga memperlemah kekuatan militer karena pria akan kehilangan sifat kelaki-lakiannya ketika menempatkan diri dalam peran wanita. [vii]

Fenomena homoseksualitas menurut banyak penelitian memang ditemukan pada peradaban Yunani. Namun menurut Adonis dalam bukunya Homosexuality in ancient Greece, perilaku homoseksual bukan perilaku yang diterima oleh masyarakat umum. Banyak penulis Barat yang mencitrakan peradaban Yunani merupakan contoh toleransi terhadap kaum homoseksual dan cermin dari kebebasan seksual. Padahal hal tersebut tidak benar. Adonis berpendapat bahwa mereka yang menganggap perilaku homoseksual diterima dalam masyarakat Yunani adalah karena adanya praktik seksual lelaki dewasa terhadap anak laki-laki (pederasty), yang bahkan untuk ukuran pada zaman ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Homosexuality existed in ancient Greece but was not socially approved. This reality, despite the impressions some people try to create, is undeniable and no author doubts it. Those who tend to present homosexuality as approved by ancient Greeks specify that they are talking about sex with boys, pederasty, and only under certain conditions, rather severe, if not intolerable by modern standards.[viii]

Terdapat banyak bukti bahwa Masyarakat Yunani di Kota Athena memiliki hukuman yang tegas terhadap pelaku homoseksual. Secara sosial dan politik, pelaku homoseksual tidak  diperkenankan untuk menempati posisi-posisi di masyarakat, tidak boleh masuk ke area publik yang dianggap suci, dan tidak diperkenankan mengikuti acara keagamaan. Mereka tidak dianggap lagi sebagai bagian dari penduduk Athena. Bahkan lebih dari itu, dalam beberapa kasus apabila mereka melanggar aturan tersebut terbukti mereka sudah tidak suci (berhubungan homoseksual) maka pelakunya  akan diganjar dengan hukuman mati. Hal tersebut dijelaskan dalam Aeschines, Against Timarchus 2 I:

If an Athenian turns out to be unchaste  [that is, if  he is involved in a homosexual relationship], he is not allowed  to become one of the nine archons; or to become a priest; or to  be prosecutor in a public trial; or to have any office, within the  boundaries of the Athenian republic or beyond them, whether he is appointed by lot or after an election; or to serve as a public  messenger or judge other public messengers; or to enter public  sacred places, to participate in [religious ceremonies of] wearing of wreath, to be in the parts of the market-place sprinkled  with lustral water. But, if he breaks the law and does any of the above, once he is found guilty of being unchaste, his sentence must be death.[ix]

 Romawi dan Misteri Kota Pompeii

Secara umum,penerimaan masyarakat Romawi terhadap homoseksualitas masih menjadi perdebatan para sejarawan Barat. Namun, terdapat bukti-bukti pelarangan perbuatan homoseksual dalammiliter Romawi dengan ancaman hukuman mati.[x][xi] Apalagi ketika  kekaisaran Romawi menjadikan Kristen sebagai agama resmi kekaisaran, maka pelaku homoseksual di tengah masyarakat akan dikenakan hukuman mati atau diusir dari tempat tinggalnya.[xii]

Salah satu kota Romawi yang masyarakatnya dianggap memiliki toleransi tinggi terhadap aktivitas homoseksual adalah Pompeii. Kota Pompeii berada  dekat kota Napoli di wilayah Campiana, Italia. Kota tersebut diguncang gempa pada tahun 63M dan tertutup oleh abu vulkanik sejak tahun 79M akibat letusan gunung Vesuvius.[xiii] Kemudianditemukan kembali pada tahun 1748M. Sebelum kehancurannya, Pompeii merupakan kota tua Romawi yang telah dihuni dari generasi ke generasi oleh orang dari berbagai tempat. Kota ini bukan sebuah kota besar, namun pada awal abad ke-2 SM keluarga kaya Oscan Paricians membangun rumah-rumah atau vila mewah di kawasan ini. [xiv] Penelitian arkeologi menyimpulkan bahwa secara umum penduduk kota Pompeii menjelang kehancurannya  adalah orang-orang menengah keatas.[xv]

Banyak grafiti ditemukan di reruntuhan kota Pompeii menggambarkan perilaku  biseksual dan homoseksual. Menurut para arkeolog,  grafiti tersebut nampak  mengindikasikan tidak ada ketakutan para pelaku homoseksual terhadap sanksi sosial  di tengah masyarakat. Ditemukan banyak grafiti yang menampilkan gambaran penetrasi laki-laki terhadap anak laki-laki.[xvi] Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pedofil di wilayah Pompeii dan penerimaan masyarakatnya.  Oleh karena itu tidak heran apabila kota Pompeii akhirnya mengalami nasib serupa dengan Negeri Sadum.

Meskipun banyak sejarawan barat modern yang mencitrakan kota Pompeii sebagai salah satu puncak kemegahan dan ketinggian peradaban Romawi, namun tidak bisa dibuktikan bahwa penerimaan  masyarakatPompeii terhadap aktivitas homoseksual dan pedofiljuga berlaku di  seluruh wilayahKekaisaran Romawi.

Bizantium  dan Anti-Sodomy Laws

Dengan jatuhnya Kekaisaran Romawi (Barat)  dikuasai oleh raja-raja dari suku asli Eropa, menurut Pickett,  toleransi terhadap homoseksual semakin tinggi, kecuali di Spanyol yang dikuasai Visigothic. Setelah kerajaan- kerajaan tersebut menerima agama Kristen,  pandangan gereja terhadap perilaku homoseksual diberlakukan di kawasan tersebut. [xvii] Pada tahun 527 M Kaisar Justinian  diangkat menjadi Kaisar Romawi Timur (Bizantium). Ia memiliki komitmen penuh untuk memerintah berdasarkan ajaran Kristen. Sehingga pada tahun 1533, Kaisar Justinian mengeluarkan  kode atau aturan yang mengenakan sanksi hukuman mati  bagi para pelaku homoseksual. Pelarangan tindakan homoseksual ini bertujuan untuk menghindari  kemurkaan Tuhan dan kehancuran kota-kota Romawi. Rezim Justinian mengkompilasi dan memformalkan aturan-aturan tersebut yang kemudian  dikenal dengan Code of Justinian.  Hukum tersebut telah digunakan sebagai hukum dasar kekaisaran Romawi Timur selama ratusan tahun.[xviii]

 

Kerajaan Inggris dan Act of 25 Henry VIII

 

Pada tahun 1533 M Parlemen Inggris mengeluarkan Undang-Undang yang dikenal dengan Act of 25 Henry VIII yang memberikan hukuman gantung kepada  pasangan homoseksual termasuk pasangan  heteroseksual yang melalukan persetubuhan melalui dubur (anal intercourse).  Undang-undang yang merupakan cerminan dari Code of Justinian, telah diberlakukan selama berabad-abad. Pada tahun 1861, pemerintah Inggris meringankan hukuman gantung tersebut menjadi hukuman seumur hidup.  Undang-undang tersebut juga diberlakukan di seluruh kekaisaran Inggris dan menjadi dasar bagi anti-sodomy law di negara-negara yang berbahasa Inggris, termasuk di Nigeria, Kenya, India, Malaysia, danlain-lain.[xix]
Pada tahun 1967, Pemerintah Inggris mengganti Undang-Undang ini dengan Sexual Offences Act yang mendekriminalisasi perilaku homoseksual. [xx] Namun jauh sebelum itu sebelum itu, pada abad pencerahan,upaya penghapusan anti-sodomy law telah dilakukan di Prancis. Pada tahun 1801,kaisar Prancis  Napoleon Bonaparte mengeluarkan aturan yang disebut The Code of Napoleon yang mendekriminalisasi perilaku sodomi. [xxi]Aturan tersebut mulai diberlakukan pada tahun 1804 kemudian diadopsi oleh negara-negara  Eropa yang saat itu menjadi jajahan Prancis, termasuk Belanda yang saat itu sedang menguasai negara Indonesia.

Abad 20 : Homo Politics

Gerakan homoseksual modern muncul pada akhir abad 19 dan awal abad 20 di Eropa. Pusat intelektualnya berada di Jerman, namun Inggris juga memiliki peranan penting dalam gerakan ini. Tokoh gerakan homoseksual di Jerman pada saat itu diantaranya Magnus Hirschfeld (1868 – 1935)  dan Richard Linsert (1899-1933).[xxii] Setelah Perang Dunia ke-2, beberapa organisasi homoseksual bermunculan di berbagai negara Barat yang dikenal dengan Homophile movements.[xxiii] Pada akhir abad ke 19 gerakan ini mulai menggunakan media ilmiah seperti diskusi-diskusi dalam bidang medis. Di Kota-kota besar Amerika tempat berkumpulnya para lelaki seperti New York dan San Fransisco,  mulai bermunculan bar-bar dan diskotik khusus kaum homo.

Gerakan pendukung hak-hak kaum homoseksual kemudian membentuk kelompok-kelompokseperti the Scientific-Humanitarian League yang memiliki cabang di berbagai negara. Ada juga organisasi pendukung homoseksual seperti World League for Sexual Reform yang memiliki keanggotaan internasional.  Gerakan tersebut terus berlanjut dan semakin bertambah setelah Stonewall Riots di tahun 1969. Saat ini eksistensi kelompok seperti  the International  Lesbian and Gay Association (ILGA) bekerja untuk memperjuangkan hak-hak kelompok homoseksual di negara-negara berkembang. [xxiv] Gerakan pendukung homoseksual di Barat semakin gencar di era 1960 dan 1970-an seiring dengan penghapusan anti-sodomy law yang selama ribuan tahun telah mengkriminalisasi aktivitas homoseksual dan  dianggap sebagai sumber perlakuan diskriminatif terhadap kaum pencinta sejenis tersebut.

Penutup

Dalam catatan sejarah, aktivitas kaum homoseksual  muncul di setiap zaman dan di berbagai belahan dunia. Keberadaan kaum homo tersebut tidak berarti menunjukkan penerimaan masyarakat secara sosiologis maupun kultural. Di masa lalu, homoseksual identik dengan pedofilia  karena menyasar anak dan remaja laki-laki.  Eksistensi kaum homo di setiap zaman,  juga tidak dapat menjadi  legitimasi bahwa orientasi seksual  adalah ‘given’ dan tak bisa diubah. Orang bijak mengatakan, kebenaran harus dinyatakan dan bukan justru  membenarkan kenyataan padahal kenyataan tersebut menyimpang dari kebenaran.  Perilaku homoseksual sejak kemunculannya telah dianggap sebagai penyimpangan seksual karena bertentangan dengan moralitas dan agama. Namun sayangnya,  di zaman modern ini moralitas dan agama dipaksa tunduk pada argumentasi pseudo-science dan homo politics dipropagandakan secara luas ke seluruh dunia.

Catatan:

[i]The Prussian Sodomy Law baru benar-benar dihapuskan pada tahun 1994.

[ii]Brent L. Pickett. 2009. The Historical Dictionary of Homosexuality. Maryland : The Scarecrow Press.  hlm. 78

[iii]Ahmad Al-Usairy.2003. Sejarah Islam. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana. hlm. 34

[iv]Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 2015.On Justice and the Nature of Man. Kuala Lumpur : IBFIM. hlm. 57

[v]Muhammad Nasib Ar-Rifai. 1999. Ringkasan Tafsir Ibn Katsir. Jilid 2. Depok : Gema Insani Press. hlm. 392 – 393

[vi]Brent L. Pickett. hlm. 10-13  dan 153-154

[vii]Louis Crompton.2003. Homosexuality and Civilizations, Cambridge : The Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 62

[viii] Adonis Ath. Giorgiades.2004. Homosexuality in Ancient Greece : The Myth is Collapsing.  Athens: Georgiades . hlm 197-198

[ix]Ibid. hlm. 57

[x] Dynes.1990.Encyclopedia of Homosexuality Vol 1, Garland Publishing. hlm 1144

[xi] Beert C. Verstraete. 1980. “ Slavery and The Social Dynamics of Male Homosexual Relations in Ancient Rome”. Journal of Homosexuality. Volume 5 Issue 3. Published online 26 Oct 2008.

[xii] Dynes . hlm 406

[xiii]Ingrid D. Rowland . 2014. From Pompeii : the afterlife of a Roman town . Cambridge : The Belknap Press of Harvard University Press. hlm. 1

[xiv] Paul Zanker. 1998.Pompeii : Public and Private Life. Cambridge : Harvard University Press.hlm. 3

[xv]Ibid. hlm. 199

[xvi] Dynes. hlm 1144

[xvii]Pickett hlm. 58

[xviii]Ibid. hlm. 46

[xix] Ibid. hlm. 1

[xx] Ibid. hlm. 17

[xxi] Ibid hlm. 59

[xxii] Dynes.hlm. 796, 862

[xxiii] Pickett hlm. 4

[xxiv]Ibid. hlm. 5

 

Kejahatan Seksual Versus Kemerdekaan Seksual

0

Kejahatan Seksual Versus Kemerdekaan Seksual

Oleh Dr Henri Shalahuddin
(Peneliti INSISTS Bidang Gender)

Rentetan kasus kejahatan seksual yang begitu marak belakangan ini sungguh menampar muka kita semua sebagai bangsa yang beragama. Hal yang lebih menyakitkan, di antara pelaku dan korban kejahatan seksual itu adalah remaja tanggung di bawah umur. Guru dan orang tua pun saling tuding, siapa yang patut dipersalahkan? Tidak ada pengakuan bersalah secara terbuka baik dari aparat keamanan, pengelola pemerintahan, maupun pihak-pihak yang berkenaan atas insiden ini. Perlindungan terhadap keselamatan dan kehormatan warga terkesan sangat rapuh.

Di sisi lain, aspek moralitas seakan-akan bukan menjadi bagian terpenting dalam aktivitas  pembangunan nasional. Sementara, sekumpulan LSM feminis yang menamakan dirinya aktivis perempuan justru memainkan kasus ini untuk menjajakan ideologinya ke tengah-tengah masyarakat. Kritik terhadap apa yang mereka namakan sebagai “kontrol tubuh wanita” baik di lingkup domestik maupun publik semakin keras disuarakan.

Menurutnya, kebebasan mengelola anggota tubuh adalah hak pemilik tubuh yang tidak boleh diintervensi agama dan negara. Termasuk hak untuk memutuskan waktu dan jumlah  kehamilan, hak berhubungan seksual (baik dalam menentukan partnernya maupun waktunya), hak aborsi, model pakaian, dan lain-lain secara mutlak harus dikembalikan kepada perempuan.

Dalam konteks bernegara yang mayoritas berpenduduk Muslim, Islam telah mengatur norma-norma kehidupan baik publik maupun domestik, termasuk yang berhubungan dengan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi. Sayangnya, aturan-aturan itu oleh sebagian feminis dituduh telah mengintervensi independensi perempuan dalam mengelola tubuhnya. Sebagian lainnya malah menuduh Islam melegalkan kejahatan seksual karena mengutuk istri yang menolak ajakan suami berhubungan seksual. Setiap hubungan badan yang tidak dilandasi oleh keinginan istri oleh feminis dianggap sebagai pemerkosaan  dalam perkawinan (marital rape). Sebaliknya, jika perbuatan itu dilakukan atas dasar kerelaannya, maka tidak dianggap sebagai kejahatan, meskipun di luar ikatan perkawinan.

Perspektif Islam
Hasrat seksual merupakan fitrah manusiawi, bahkan termasuk salah satu kebutuhan primer dalam hidup manusia. Oleh sebab itu Allah mensyariatkan pernikahan untuk menyalurkan hasrat seksual secara legal, sehat, dan selamat. Di antara kesempurnaan ajaran Islam adalah wujudnya perhatian yang besar dalam menjaga lahirnya keturunan yang legal dan berkualitas. Pembinaan keluarga dalam Islam menempati porsi yang istimewa.

Dalam QS at-Tahrim: 6, umat Islam senantiasa diperintahkan untuk menjaga diri dan keluarganya dari siksaan api neraka. Sebab, keluarga merupakan asas masyarakat dan keselamatan masyarakat bergantung pada keselamatan keluarga. Perhatian Islam terhadap penjagaan keturunan juga dinyatakan dalam tujuan diturunkannya syariah yang lima, yaitu menjaga agama, nyawa, keturunan, harta, dan akal. (lihat: Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Fiqh, 1997, 2:20)

Karena itu, semenjak awalnya, Islam mensyariatkan pernikahan, mengarahkan hubungan seksual secara makruf, memperbanyak keturunan, memberi kebebasan memilih calon suami/istri, mengharamkan hubungan seksual songsang (LGBT), dan mengatur kebolehan poligami. Di waktu yang sama Islam juga membincangkan talak, mengatur perencanaan keluarga, pengguguran janin, mengharamkan pernikahan dengan keluarga dekat (incest), hubungan seksual di luar pernikahan, dengan hewan, dengan mayat, dan  lain-lain.

Berkenaan dengan memilih istri dan memperbanyak keturunan, Rasulullah SAW bersabda bahwa Nabi SAW memerintahkan menikah dan sangat melarang hidup membujang. Kemudian Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian terhadap umat-umat yang lain di hari kiamat.”  (HR al-Bazzar)

Hubungan seksual sebagai salah satu asas dalam membina keluarga yang bahagia juga telah diatur dalam  Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Jikalau suami mengajak istrinya ke pelaminan (untuk melakukan hubungan badan), kemudian istrinya menolak sehingga semalaman ia (suami) marah, maka malaikat akan melaknatnya (istri) hingga pagi hari.” (HR al-Bukhari)

Hadis di atas bermakna bahwa ada hak suami terhadap tubuh istrinya sehingga istri tidak dibenarkan sekehendak hatinya menolak hasrat seksual suami tanpa alasan syar’i, sebagaimana diyakini feminis Barat, “My body my right.” Terlebih lagi, jikalau suaminya masih muda dan memerlukan pelampiasan hasrat seksual yang dihalalkan. Bahkan, dalam kitab Sahih Bukhari juga dinyatakan bahwa istri juga dilarang berpuasa sunah apabila suaminya berada di sisinya, kecuali atas seizinnya. Padahal, puasa merupakan salah satu bentuk ibadah terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun demikian, syariat melarang istri berpuasa sunah jika suaminya tidak mengizinkan. Hubungan seksual  suami istri bukanlah perkara yang hina, malahan dalam hadis ia dinilai sebagai ibadah dan sedekah, seperti termaktub dalam kitab Sahih Muslim.

Kejahatan seksual 
Kejahatan seksual dalam perspektif Islam adalah segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak makruf dan tidak legal. Dalam hal ini, kategori kejahatan seksual meliputi sisi perbuatannya ataupun objeknya.
Dari sisi perbuatan, kategori kejahatan seksual meliputi:
a.Berhubungan seks di luar nikah, baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan.
b.Berhubungan seks secara menyimpang seperti sodomi, meskipun terhadap istrinya sendiri dan berdasarkan kerelaannya.
c.Berhubungan seks yang dilakukan dengan cara sadis dan disertai penyiksaan.
d.Berhubungan seks dengan istri di saat datang bulan (haid) yang menyasar ke faraj.
e.Segala bentuk perbuatan dan perkataan yang bersifat melecehkan martabat dan harga diri seseorang, baik perempuan maupun laki-laki.

Adapun kategori kejahatan seksual yang berkenaan dengan objeknya antara lain berhubungan seks dengan hewan, dengan mayat, dengan sesama jenis (gay dan lesbian), dengan keluarga dekat (incest), dan berhubungan seks dengan anak-anak di bawah umur.

Perlindungan dan penghargaan Islam terhadap wanita berserta kesehatan reproduksinya antara lain dinyatakan dengan aturan yang melarang penyiksaan fisik dan segala bentuk perbuatan aniaya terhadap istri. Rasulullah bersabda: “Janganlah seorang dari kamu mencambuk istrinya seperti cambukan kepada budak, kemudian ia menggaulinya di akhir hari.” (HR al-Bukhari)

Salah satu bentuk perbuatan aniaya terhadap istri dalam Islam adalah melakukan jimak di waktu haid (lihat: QS al-Baqarah [2]: 222). Di samping itu, Islam juga melaknat suami yang mendatangi istrinya dari anus/dubur. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa perbuatan tersebut tergolong sebagai kriminal yang hampir menyamai perilaku kaum Nabi Lut (lutiyah sughra).

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh terlaknat orang yang menggauli istrinya melalui duburnya” (HR Ahmad).

Oleh sebab itu, dalam membina keluarga yang bahagia, salah satu aspek yang ditekankan syariat adalah menghindarkan bahaya kepada istri. Sehingga, apabila tidak lagi dicapai kehidupan suami istri yang harmonis, syariat memberikan kebenaran bagi istri untuk meminta fasakh (cerai). Misalnya, karena suaminya menderita penyakit kulit, seperti kusta dan lepra (leprosy, al-judzam wal barsh). (Lihat: Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, 2001, 210)

Prinsip ajaran lainnya dalam menjaga lahirnya keturunan berkualitas adalah wujudnya larangan menikah dengan kerabat dekat yang masih mempunyai pertalian nasab maupun karena hubungan perbesanan. Berasaskan QS an-Nisa’ [4]: 22-24, Imam al-Tabrani dari jalan ‘Umair dari Ibn ‘Abbas menjelaskan wujudnya tiga penghalang pernikahan, yaitu karena keturunan (nasab), karena perbesanan, dan sebab lain. Maka terdapat 15 wanita yang haram dinikahi. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathu l-Bari Syarhu  Sahih al-Bukhari, 9:154)

Penghalang pernikahan karena keturunan (nasab)
Penghalang pernikahan karena perbesanan (mushaharah)
Wanita lain yang diharamkan dinikahi
1.Ibu kandung
2.Anak kandung
3.Saudara kandung
4.Saudari ayah (ammat)
5.Saudari ibu (khalat)
6.Anak dari saudara-saudara laki-laki
7.Anak dari saudara-saudara perempuan
8.Perempuan yang telah diperistrikan ayahmu
9.Ibu istrimu (mertua)
10.Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri
11.Istri anak kandungmu (menantu)
12.Dua perempuan bersaudara secara bersama
13.Perempuan-perempuan yang menjadi istri orang
14.Ibu yang menyusui kamu
15.Saudara perempuan sepersusuan

Rasulullah juga melarang pengebirian, walaupun dimaksudkan untuk menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam perzinaan. Abdullah berkata, “Kami pernah berperang bersama-sama dengan Rasulullah SAW dan saat itu kami tak punya apa-apa. Kemudian kami pun berkata, ‘Apakah kami harus melakukan pengeberian (castration)?’ Dan  ternyata Baginda SAW pun melarang kami untuk melakukannya. Kemudian Baginda memberikan keringanan kepada kami, yaitu menikah dengan wanita meskipun dengan mahar kain. Kemudian Nabi SAW membacakan  QS al-Maidah: 87 (HR al-Bukhari).

Kesimpulan
Harus diakui bahwa serentetan kasus kejahatan seksual dan kriminal secara umumnya adalah dampak kegagalan kita semuanya sebagai orang tua, guru, tokoh masyarakat, aparat keamanan, dan pengelola negara. Perlu solusi integral, komprehensif, dan serius menangani kasus ini, baik dari sisi pendidikan formal, informal, norma keagamaan, keamanan, hukuman, maupun undang-undang (UU). Intinya, kejahatan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat UU. Terlebih lagi, jika UU itu menyasar nilai-nilai agama dan mendorong penguatan penguatan unsur-unsur kemerdekaan seksual  berdasarkan HAM sekuler.

Di samping itu, aspek kebahasaan juga berpotensi mengabaikan maraknya perbuatan biadab ini. Misalnya, mengganti istilah pemerkosaan dengan pencabulan, perbuatan tidak senonoh, asusila, dan lain-lain. Mungkin di satu sisi dimaksudkan untuk melindungi kehormatan si korban, tetapi di sisi lain juga berdampak mengaburkan sisi kebiadaban perbuatan tersebut dan pelakunya. Wallahu a’lam wa ahkam bissawab.

Dimuat dalam ISLAMIA Republika Kamis, 6 Juni 2016

Sekularisasi Seksualitas

0
Sekularisasi Seksualitas

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Pembina Pesantren at-Taqwa, Depok)

Pada 12 November 1957, dalam pidato bersejaranhya tentang Islam dan sekularisme di Majelis Konstituante, Mohammad Natsir mengajak bangsa Indonesia untuk meninggalkan paham sekuler dan menjadikan agama sebagai dasar kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. “Apa itu sekularisme, tanpa agama, la-diiniyah?” tanya Mohammad Natsir, dalam pidatonya.

Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Natsir, seorang negarawan yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional: “Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dan sebagainya.”

Menurut Natsir, walaupun ada kalanya kaum sekuler mengakui akan adanya Tuhan, dalam penghidupan perseorangan sehari-hari umpamanya, seorang sekularis tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, dan tindakan sehari-hari maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah.

“Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka,” demikian ungkap Natsir.

Sekularisasi seksualitas
Penjelasan Natsir tentang bahaya sekularisme bagi kehidupan bangsa Indonesia masih sangat relevan untuk direnungkan. Pandangan kaum sekuler yang “emoh agama” atau “emoh wahyu” dalam memahami dan memberikan solusi kehidupan masih senantiasa bermunculan.  Di antaranya adalah pandangan kaum sekuler tentang seksualitas.

Sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009), menulis: “Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin –seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi–itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya “mengakomodasi”  bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor”, melainkan lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.”

Itu sekadar contoh cara pandang sekuler terhadap soal seksualitas. Contoh lain yang lebih aktual kini diwujudkan oleh sebagian aktivis gerakan perempuan dalam bentuk Naskah Akademik serta Draft Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah diusulkan kepada DPR dan pemerintah. Merespons hal itu, pada akhir Mei 2016, sejumlah organisasi Islam perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia menemui sejumlah Fraksi DPR RI.

Menurut AILA, naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu secara filosofis sarat dengan makna seksualitas yang diadopsi dari konsep seksualitas Barat yang liberal tanpa kritik. Konsep seksualitas yang ditawarkan pun bersifat sangat individual dan tidak menunjukkan relasi atau kaitannya dengan sistem keluarga. Karena mengadopsi konsep Barat tersebut, konsep seksualitas yang ditawarkan menjadi tidak sesuai dengan norma agama, budaya, dan norma lainnya di masyarakat Indonesia.

Kepedulian AILA terhadap usulan naskah RUU Pencegahan Kekerasan Seksual itu perlu diapresiasi. Sebab, ini menyangkut soal moralitas yang sangat penting bagi ketahanan keluarga dan bangsa.  Sekularisasi nilai-nilai dan perilaku seksual memandang pemaksaan suami terhadap istrinya dalam soal seksualitas sebagai satu bentuk kejahatan seksual. Mereka menafikan aspek ibadah dan pengorbanan istri -jika istri melaksanakan dengan terpaksa- demi kebahagiaan suaminya. Toh, dalam Islam, suami pun diminta berlaku secara beradab terhadap istrinya, meskipun ia punya kekuasaan. Nilai-nilai Ilahiyah, ubudiyah, dan ukhrawiyah itulah yang dibuang jauh-jauh oleh kaum sekuler dalam persoalan hubungan suami-istri.

Maka, dalam soal seksualitas ini, kiranya para elite negara ini mau mendengar suara bijak seorang Mohammad Natsir, tentang bahaya sekularisasi nilai-nilai moral: “… dengan menurunkan nulai-nilai adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu! Ia menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah ciptaan manusia sendiri….”

Menurut Mohammad Natsir, dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan).  Hal yang menjadi soal, kata Natsir,  adalah pertanyaan, “Di mana sumber perikemanusiaan itu? Apa dasarnya?”

Paham sekularisme, tegas Natsir, tidak mampu menyelesaikan pertentangan tentang konsep kemanusiaan. Sebab, sekularisme pada hakikatnya merelatifkan semua pandangan-pandangan hidup.  Ini berbeda dengan agama, yang memberikan dasar yang terlepas dari relativisme.

“Inilah sebabnya mengapa konsepsi humanity yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus memiliki dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dinamakan point of reference, titik tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap, niscaya krisis dan bencana akan timbul….”

Demikian petikan pandangan Mohammad Natsir tentang dampak buruk sekularisme dalam berbagai aspek, termasuk moralitas. Semoga para petinggi negara bersedia memahaminya. (***)

Dimuat dalam ISLAMIA Republika Kamis, 6 Juni 2016

Syahwat Pikiran

0

Syahwat Pikiran

Oleh: Dr. Hamid FahmyZarkasyi

Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi,itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat dan berselisih hingga bermusuhan karena syahwat. Bahkan boleh jadi ada orang bertausiyah, menyalahkan orang lain dengan penuh syahwat.

Syahwat adalah nafsu atau hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia tapi juga dimiliki oleh hewan. Namun Allah SWT member manusia syahwat, juga memberinya akal dan ilmu. Dengan akal, syahwat manusia akan membawa kepada kebaikan. Namun tanpa akal dan ilmu,syahwat akan menyesatkan. Orang sesat menggunakan hawa nafsunya tanpa akal dan ilmu sehingga tidak dapat ditolong (QS al-Rum 29).

Dengan demikian, barangsiapa yang akalnya mengikuti syahwatnya maka ia akan sesat, bahkan lebih sesat dari binatang. Namun jika syahwatnya mengikuti atau dipimpin oleh akalnya maka boleh jadi ia lebih mulia dari Malaikat.

Ketika seorang sedang berzina, memperkosa, membunuh dan mencuri, sesungguhnya ia sedang dipimpin syahwatnya dan kehilangan imannya. Karena meninggalkan imannya maka ia kehilangan akalnya. Berarti seorang yang beriman itu adalah orang-orang yang cerdas menggunakan akalnya, sedangkan seorang pezina dan pencuri itu hilang akal sehingga menjadi bodoh dan derajatnya rendah serendah hewan. Namun, ada yang lebih berbahaya dari “syahwat yang menyesatkan pada perut dan kemaluan” yang juga dikhawatirkan oleh Rasulullah. Syahwat itu adalah hawa nafsu yang menyimpangkan dari jalan yang lurus.” (H.RMuslim).

Jalan lurus adalah Islam dan Iman. Apa yang dibuat menyimpang oleh hawa nafsu boleh jadi adalah pikiran seseorang. Terbukti tidak sedikit kasus dimana pemikir, ilmuwan, cendekiawan yang pikirannya dirasuki oleh syahwat atau hawa nafsunya. Pemikir seperti ini bisajadi menghujat agama, mencaci ulama, mencaci saudara seiman, mencaricari kesalahan orang lain dan sebagainya.

Bagaimanakah syahwat bias membuat pikiran menyimpang? Al-Qur’an menunjukkan bahwa karena syahwat hati seseorang itu terkunci. Padahal hati itu adalah juga akalnya. Karena syahwat pendengarannya dan penglihatannya terhalang (QS. Al- Jatsiyah: 23), walhal keduanya adalah sumberilmu. Maka wajar jika syahwat dominan, akal tidak lagi berfungsi dalam menentukan baik buruk.

Selain itu dalam Islam yang dilarang bukan berpikir rasional atau menggunakan akal, tapi berpikir yang mengikuti syahwat. Sebab mengikuti hawa nafsu “… akan menyesatkan manusia dari jalan Allah.” (QS. Shaad: 26). Ini sebenarnya suatu tindak ketidak adilan dalam diri seseorang. Yaitu suatu tindakan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut adil. Orang seperti itu dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati. Firman Allah jelas sekali: “Dan janganlah engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melampaui batas”. (QS.Al-Kahfi : 28).

Mafhum mukhalafah ayat ini jelas. Ilmuwan dan pemimpin yang berhak ditaati manusia adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada-Nya. Pikirannya bias menguasai hawa nafsunya sehingga ia mengetahui batas-batas kebebasan yang boleh dilakukan dan yang tidak.

Untuk mengatasi ini Imam al-Ghazali memberikan solusinya berupa kesabaran. Sabar dalam syahwat disebut iffah; sabar dari marah adalah al-hilmu; sabar dari kelebihan adalah al-zuhdu. Semua itu dapat diperoleh dengan tiga hal yaitu puasa, ibadah yang berat-berat dan terakhir berdoa. Wallahulmusta’an.
———-
Dimuat di Koran Republika, 16 Juni 2016

 

Agama dan Kekerasan Seksual

0

Agama dan Kekerasan Seksual

Oleh: Dr. Budi Handrianto

Pada umumnya, manusia menganut agama agar hidup teratur dan tidak kacau. Dengan menganut agama, hidup menjadi aman, tenang, tentram, damai, dan tidak kacau. Kalaupun ada peperangan agama, pada dasarnya ingin menuju kedamaikan karena peperangan tersebut dilakukan melawan kezaliman.

Terlebih lagi, agama yang dianut manusia selain mengatur masalah kehidupan sehari-hari, juga berkaitan dengan keyakinan atas sesuatu hal yang ghaib dan metafisik. Ia berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang tinggi dan agung (supreme being).

Dengan demikian, agama menduduki tingkatan tertinggi dalam keyakinan seseorang terhadap segala sesuatu. Menurut M. Renville dalam bukunya Prolegomenes de l’ histoire des religions, sebagaimana dikutip Durkheim, agama merupakan daya penentu hidup manusia, yaitu sebuah ikatan yang menyatukan pikiran manusia dengan pikiran misterius yang menguasai dunia dan diri yang dia sadari dan dengan hal-hal yang menimbulkan ketentraman bila terikat dengan hal tersebut (Emile Durkheim, 2003:56).

Durkheim sendiri menyatakan, agama adalah ide tentang divinitas (idea of divinity). Dalam Islam, ajaran agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia, agama diturunkan oleh Sang Maha Pencipta untuk mengatur kehidupan manusia. Tujuan Tuhan menurunkan agama agar manusia hidup bahagia baik di dunia maupun di alam baka, dan menjadi Rahmat bagi semesta (rahmatan lil alamin) (QS al-Anbiya: 107).

Bahkan aturan-aturan Tuhan yang diturunkan kepada manusia tersebut dimaksudkan (maqasid as-syar’i) untuk menjaga keyakinan itu sendiri, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta. Semuanya untuk kebaikan manusia.

Tuhan adalah pencipta manusia dan alam semesta. Dialah yang paling mengetahui sifat dan karakter ciptaan-Nya. Sebagaimana seorang teknisi pencipta gadget, ialah yang paling tahu fitur-fitur apa saja yang dia ciptakan. Dialah yang paling tahu fitur-fitur unggulan di dalam barang ciptaannya. Dia pulalah yang tahu jika ada kerusakan di dalamnya dan bagaimana cara membetulkannya kembali. Dan dialah yang mengerti kapan alat itu rusak dan tidak bisa diperbaiki dan mau tidak mau harus dibuang.

Tuhan menurunkan agama dengan mengutus seorang Nabi beserta kitab suci yang dibawanya. Kitab suci itulah yang menyebutkan aturan-aturan kehidupan bagi manusia. Kitab suci dan sabda Nabi itulah sebagai manual book atau guide book bagi manusia untuk menjalani kehidupannya di dunia. Dengan mengikuti aturan-aturan tersebut, maka manusia akan selamat di dunia maupun akhirat.

Sebagai Pencipta manusia, Tuhan menurunkan aturan-aturan tersebut sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Artinya, Tuhan akan menaruh aturan-aturan tersebut pada tempat yang menyuburkan fungsi-fungsi dari manusia. Ibarat pencipta gadget, ia memberikan fitur yang mendukung pada gadget yang diciptakannya itu agar maksimal fungsi dan penggunaannya.

Seksualitas dalam Islam
Masalah seksualitas mendapatkan porsi pembahasan yang luas. Allah melarang manusia mendekati zina. Manusia memang diciptakan dengan naluri dasar kecintaan kepada lawan jenisnya (QS 3: 14).

Nikah adalah jalan yang sah penyaluran hasrat seksual manusia. Nabi SAW pun menegaskan, nikah adalah sunah beliau. Siapa yang benci sunah Nabi, maka ia bukan termasuk golongan Nabi. Artinya, ia berada pada barisan sesat. Adalah teramat aneh, jika manusia mengaku sebagai hamba Tuhan, tetapi justru menolak ketentuan Tuhan dalam urusan seksualitas.

Sikap membangkang kepada peraturan Tuhan ini telah dengan sempurna dicontohkan oleh iblis. Logisnya, yang paling tahu dan paham apa yang ada pada diri manusia adalah Tuhan, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Aturan yang diturunkan-Nya kepada manusia pastilah sebaik-baik aturan untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia, baik individu, kelompok maupun masyarakat secara umum.

Peran agama adalah menjaga kehormatan manusia berkaitan dengan masalah seksual. Imam as-Syatibi menyebutkan, salah satu dari maqashid as-syariah adalah “hifdzun nasl”, menjaga keturunan. Para pejabat muslim di Indonesia sepatutnya belajar dari bangsa-bangsa lain yang menganut paham sekuler dalam urusan seksualitas.

Kini, sejumlah negara menghadapi penyakit seksualitas yang tak bisa disembuhkan. Bahkan, sebagian lagi – seperti Jerman, Italia, dan Jepang – telah mengalami pertumbuhan penduduk yang minus. Dalam menurunkan aturan-aturan-Nya, Allah SWT memberikan sebuah pedoman: siapa yang melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya maka ia akan diberi pahala dan surga (reward system). Jika ia melanggar larangan-larangan-Nya dan meninggalkan perintah-perintah-Nya maka ia mendapat dosa dan akan disiksa di akhirat (punishment system).

Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan sekuler yang hanya melihat aspek seksualitas hanya sebatas aspek hasrat jasadiah dan duniawiah, seperti cara pandang binatang. Karena begitu sakral aspek seksualitas, maka baik Alquran maupun Bibel memberikan sanksi yang keras bagi kejahatan seksual, baik secara individual maupun sosial.

“Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabrani dan al Hakim).

Dalam Kitab Ulangan 22:20-22, disebutkan: “(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati, sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.” (Teks Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).

Sebagai bangsa yang mengaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita berharap para anggota DPR memahami usaha sekulerisasi konsep seksualitas yang disusupkan melalui naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pelaku zina, apalagi pemerkosa, sudah sepatutnya dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Pemerkosa dan pembunuh anak, sepatutnya dijatuhi hukuman mati. Tetapi, seorang istri yang ikhlas berkorban untuk kebahagiaan suaminya, tidak bisa dikatakan, bahwa sang istri itu diperkosa suaminya. Wallahu a’lam bisshawab. (***)

 

The Problem Has A Name

0

The-Problem-Has-A-Name

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania (Peneliti CGS & Ketua Bidang Kajian AILA)

Kebahagiaan adalah tujuan akhir dari manusia, begitulah pandangan Aristoteles dalam bukunya Nicomachian Ethics. Oleh karena itu, setiap usaha dan perjuangan manusia pada dasarnya adalah untuk mengejar kebahagiaan. Tak terkecuali perjuangan kaum perempuan Barat yang menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun dalam perjalanannya, tuntutan para aktivis perempuan Barat semakin radikal. Bagi mereka, kesetaraan hanya akan memberikan kebahagiaan semu, kebebasan atau kemerdekaanlah yang mewujudkan kebahagiaan hakiki. Apakah benar anggapan mereka? Betsey Stevenson (2009) dalam penelitiannya “The Paradox of  Declining Female Happiness” menunjukan bahwa meski begitu banyak tuntutan aktivis perempuan Amerika yang terwujud selama 35 tahun ini, tingkat kebahagiaan perempuan justru semakin menurun dibandingkan laki-laki. Padahal pada tahun 1970-an, kebahagiaan perempuan lebih tinggi dari laki-laki.[1] Lalu, apa yang sebenarnya  dicari kaum Feminis?

Pada era 1960–an di Amerika terbit sebuah buku yang sangat berpengaruh kepada gerak aktivis perempuan Barat: The Feminine Mystique. Penulisnya, Betty Friedan, merupakan tokoh feminis Liberal. Friedan melihat banyak perempuan yang mengalami krisis eksistensi setelah lahirnya gerakan feminis yang menuntut hak pekerjaan, akses kepada pendidikan tinggi dan hak politik. Ketika semuanya tercapai, perempuan Amerika era 60-an justru kembali meyakini bahwa tempat yang terbaik bagi perempuan adalah rumah. Namun keinginan perempuan Amerika untuk back to family menurut Friedan justru menghasilkan krisis lainnya, yakni krisis identitas atau krisis eksistensi di kalangan perempuan Amerika.

Friedan mempopulerkan suatu istilah “the problem that has no name”, untuk menggambarkan ketidakbahagiaan perempuan-perempuan Amerika pada era 1950 dan 1960 padahal mereka memiliki kenyamanan materi, menikah, dan memiliki anak. Friedan mengklaim bahwa kehidupan di rumah saja tidak dapat memuaskan kaum perempuan akan kebutuhan eksistensi. Banyak wanita pada saat itu frustasi dengan kehidupan mereka yang berkisar antara rumah, suami, dan anak.

Just what was this problem that has no name? What were the words women used when they tried to express it? Sometimes a woman would say “I feel empty somehow … incomplete.”[2]

Menurut Friedan, semua ini terjadi karena adanya peran feminin (Feminine role). Peran feminin adalah peran perempuan yang hakiki, sebagai istri dan ibu. Perempuan feminin tidak menginginkan karir, tidak menginginkan pendidikan yang lebih tinggi, tidak memerlukan hak-hak politik, seperti yang diperjuangkan feminis pendahulunya (old fashioned feminist). Friedan mengkritik Freud yang menganggap peran feminin sebagai takdir perempuan. Friedan menegaskan bahwa jika perempuan tidak memiliki pencapaian individual (berupa karir atau pekerjaan) tidak mengetahui identitas dirinya, maka perempuan akan tetap dalam kondisi tidak bahagia. [3]

Pandangan Friedan dan para aktivis feminis sebenarnya memperlihatkan kebingungan perempuan Barat atas konsep kebebasan dan kebahagiaan. Dulu perempuan Barat termarjinalisasi selama ribuan tahun. Kemudian pada abad ke-20 mereka berhasil mendapatkan  hak-hak publiknya. Setelah mendapatkan hak publiknya, banyak dari perempuan Barat yang ingin kembali ke rumah. Namun setelah kembali ke rumah mereka tetap merasa hampa dalam kehidupannya dan pada akhirnya berhadapan dengan krisis eksistensi. Kondisi tersebut tidak akan pernah berubah selama pandangan hidup perempuan Barat masih sekuler dan materialistis.

Dalam pandangan Islam, manusia—baik laki-laki ataupun perempuan—bukan semata-mata entitas fisis, namun merupakan makhluk spiritual yang bersifat metafisis. Krisis eksistensi pada diri manusia akan terjadi apabila manusia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam diri manusia tanpa bimbingan wahyu. Termasuk pertanyaan para feminis “kebebasan seperti apa yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi perempuan?”

Kebebasan tanpa moralitas dan agama adalah jurang kesengsaraan. Kebebasan yang membawa kepada keburukan bukanlah sebuah pilihan karena kebebasan sejati terkait dengan tindakan yang sesuai dengan fitrah manusia. Tindakan bebas diartikan sebagai tindakan memilih yang terbaik, maka, agar manusia dapat memilih yang terbaik, ia harus memiliki pengetahuan tentang baik dan buruk. Memilih sesuatu yang lebih buruk tidak mencerminkan kebebasan karena semua itu bersumber dari kebodohan dan dorongan hawa nafsu yang mengarahkan kepada sifat-sifat tercela.[4]

Ketidakbahagiaan perempuan bukan berasal dari Feminine role (peran dosmestik sebagai istri dan ibu) sebagaimana propaganda Feminisme Liberal. Bukan pula karena tidak adanya kebebasan atau kemerdekaan seksual seperti anggapan Feminis Radikal. Ketidakbahagiaan tersebut disebabkan banyaknya perempuan yang tidak lagi hidup dalam kebajikan. Menurut Imam al-Ghazali, kebajikan terkait dengan ilmu dan amal shaleh. Ilmu merupakan jalan bagi manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan sekaligus di akhirat. [5] Ilmu yang benar adalah ilmu yang mendekatkan manusia kepada Allah SWT dan memberikan petunjuk kepada kebenaran. Feminisme memproklamasikan diri sebagai paham dan gerakan yang memusuhi agama, jadi mungkinkah feminisme mampu menunjuki jalan kebahagiaan?

Kebebasan hakiki adalah ketika hati manusia bebas dari ikatan dan ambisi duniawi. Sedangkan kebahagiaan sejati hanya didapat ketika jiwa mengenal Allah SWT dan aturan-aturan-Nya melalui jalan ilmu. Oleh karena itu, jadilah perempuan paling bahagia dengan ilmu yang benar. Jangan sampai kekecewaan terhadap dunia membutakan akal dan kalbu sehingga tunduk pada isme – isme yang menyesatkan. Boleh saja Betty Friedan mengatakan, problem eksistensi yang dialami perempuan Barat adalah problem yang tidak memiliki nama. Namun sebagai  perempuan muslim, kita harus berani mengkritisi pemikiran kaum feminis dan mengatakan : “ The problem  has a name, Ma’am.  It is a crisis of knowledge … a crisis of Iman.

Depok, 12 Maret 2016

 

[1] Betsey Stevenson & Justin Wolfers, 2009. “The Paradox of Declining Female Happiness,” American Economic Journal: Economic Policy, American Economic Association, vol. 1(2), pages 190-225, August. citation courtesy of http://ideas.repec.org diunduh 28 Februari 2016

[2] Betty Friedan. 1974. The Feminine Mystique. New York : Dell Publishing , hlm. 16

[3] Ibid, hlm. 12-13

[4] Syed M. Naquib Al-Attas. 2002. Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, Kuala Lumpur : Istac, hlm : 16

[5] Imam Al-Ghazali. 2011.  Ihya Ulumuddin 1: Ilmu dan Keyakinan, Jakarta : Republika, hlm. 32-34

LGBT, Bid’ah dalam Maksiat

1

Perkawinan-Sejenis

Penulis: Henri Shalahudin

Belakangan ini komunitas pegiat seks menyimpang (LGBT) sedikit berbesar kepala. Pasalnya mereka mendapatkan pembelaan dari kalangan liberal. Para pelaku LGBT yang sebelumnya menyembunyikan jati dirinya di publik, kini malah semakin lantang menuntut hak kawin sejenis. Mereka tidak lagi terbebani dengan dosa terkutuk. Sebab sejumlah aktivis liberal telah meyakinkan mereka bahwa kedudukan LGBT hanyalah masalah khilafiyah dalam fiqh.

Perkara yang sebenarnya mutlak dilaknat ini telah direlatifkan menjadi masalah furu’iyyah (cabang) yang muncul dari keberagaman tafsir. Padahal al-Qur’an secara pasti menyebut kaum Nabi Luth sebagai kaum yang keterlaluan/berlebih-lebihan (musrifun), melampaui batas (‘adun), dan jahil. (lihat: QS. 7:81; QS. 26:166; QS. 27:55). Kata “israf” yang membentuk “musrifun” berarti perilaku yang melebihi batas kepatutan. Lawan katanya adalah “iqtisad” (sederhana).

Al-Qur’an mengisahkan bahwa kejahatan seksual kaum Nabi Luth adalah jenis kemungkaran baru yang belum dilakukan kaum sebelumnya. Oleh karena itu ia disebut “bid’ah al-ma’ashi” (jamak dari maksiat) yang melampaui batas akhir suatu tindak kejahatan. Oleh karena itu mereka juga digolongkan sebagai kaum yang jahil, karena telah menganggap baik sesuatu yang semestinya tercela.

Pembelaan Liberal

Setidaknya sejak tahun 2008, beberapa aktivis liberal telah menyuarakan pembelaan terhadap hak kaum LGBT. Mereka mengkampanyekan perlunya dekonstruksi tafsir terhadap ayat-ayat homoseksual. Inti alasannya antara lain:

(i) Meragukan azab yang menimpa kaum Nabi Luth sebagai fakta sejarah.

(ii) Mempertanyakan perilaku homoseksual sebagai penyebab tunggal turunnya azab, jika memang azab itu adalah fakta.

(iii) Membanding-bandingkan dengan umat Nabi Nuh dan umat terdahulu lainnya yang juga diazab, padahal mereka tidak melakukan homoseksual.

(iv) Membagi perilaku homoseksual yang dikutuk dan tidak. Menurut mereka homoseksual yang dikutuk apabila dilakukan dengan paksaan, gonta-ganti pasangan, adanya dominasi, kekerasan dan ketidaksetaraan. Hal ini tentunya tidak bisa disamakan jikalau dilakukan dengan kerelaan (‘an tarodhin), keadilan, kebebasan, tidak di bawah umur, dan cinta kasih (mawaddah).

(v) Adanya perbedaan hukuman di kalangan ulama fiqh.

(vi) Homoseksual dipandang sebagai takdir (faktor biologis).

(vii) Seksualitas dalam Islam lebih dipahami dari sisi unsur legalitas mendapatkan sebuah kenikmatan, bukan terletak pada pembedaan heteroseksual dan homoseksual.

(viii) Memfitnah ulama klasik yang diklaim membolehkan homoseksual, misalnya Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi. (Lebih lanjut silahkan lihat artikel SMM dalam Majalah Madina, edisi Mei 2008, dan artikel GR dalam JP 58, 2008).

Dengan argumen di atas, kumpulan liberal mendukung legalitas kawin sejenis. Mungkin logikanya daripada berzina atau berganti-ganti pasangan, lebih baik dikawinkan saja. Maka dicetuskanlah ide pandangan keislaman yang lebih akomodatif dan humanis terhadap kaum homo, mengingat realitas sosiologis sekarang dan dulu sudah banyak berbeda. Intinya, yang penting bertakwa dan ber-fastabiqul khairat, apa pun orientasi seksualnya. Konsekuensinya, mungkin akan diada-adakan istilah waria yang soleh, ahli zuhud yang homo, mujtahidah yang lesbian, dst., na’udzu billah. Sungguh sebuah logika yang terjungkal.

Argumen yang diulang-ulang ataukah plagiarisme?

Beberapa waktu lalu muncul lagi oknum liberal, sebut saja MS, yang membela LGBT dengan argumen yang nyaris sama persis dengan sebelumnya. Sayangnya, dia tidak menyebut rujukan para pendahulunya. Seolah-olah ide yang ditulisnya 100% murni darinya. Padahal tidak ada yang baru dalam artikelnya, kecuali hanya beda ungkapan bahasa dan ditambahi ungkapan yang bombastis, serta menambahkan nama ulama yang difitnah, yaitu Ibnu Hazm dan Syinqiti. Di situ Ibnu Hazm digambarkan seolah-olah tidak mempersalahkan perilaku homoseksual, karena tidak mengkaitkan azab dengan homoseksualitas, tetapi dengan kekafiran.

Tentunya, hal ini adalah fitnah yang keji. Sebab dalam kitab “al-Muhalla”, Ibnu Hazm menulis sebagai berikut:

“Anna al-rojma al-ladzi ashobahum lam yakun lil fahisyah wahdaha, lakin lil kufri wa laha. Fa lazimahum an la yarjumu man fa’ala fi’la qoumi Luth illa an yakuna kafiron”.

Dalam teks tersebut beliau menyatakan bahwa azab turun karena homoseksual dan kekafiran. Maka hukuman rajam menurut beliau hanya bisa dilakukan jika pelakunya (homoseksualitas, red.) adalah kafir. Lalu bagaimana kedudukan pelaku homoseks yang tidak kafir? Menurut Ibnu Hazm ia telah melakukan kemungkaran (annahu ata munkaron) yang harus dicegah dengan tangan (kekuatan/kekuasaan). Hukuman spesifiknya menurut beliau adalah ta’zir yang diserahkan kepada pihak berkuasa.

Selebihnya, artikel MS hanya bermain dalam kata-kata, seperti gagasan “mono-prophetic”. Dalam pendahuluan artikelnya dia juga sesumbar bahwa tulisannya dimaksudkan untuk meruntuhkan argumen tekstual (yakni ayat-ayat al-Qur’an) yang sering digunakan untuk menolak hak-hak kaum LGBT. Dengan runtuhnya argumen itu, dia berharap perkawinan sejenis harus dilegitimasi. MS cenderung menganggap jika kawin sejenis dilegalkan, maka hukuman bagi pelakunya otomatis gugur. Sebab dia berasumsi bahwa menurut tiga madzhab (Maliki, Syafi’i dan Hambali) bentuk hukuman pelaku homoseksual adalah seperti hukuman zina. Dengan asumsi ini, terkesan MS membangun spekulasi liarnya bahwa sodomi yang dilakukan dalam bingkai pernikahan tidak bisa dihukumi zina. Berdasarkan ini pula, dia membangun konsep kemaslahatan untuk perkawinan sejenis. Di luar kedangkalan logika argumentasinya di atas, sejatinya idenya ini persis dengan apa yang ditulis SMM tahun 2008.

Hampir sulit dipungkiri bahwa kebiasaan mencatut teks sepotong-sepotong, mengelirukan makna, mencomot nama ulama klasik dan mengulang-ulangi ide tanpa menyebut sumbernya akhir-akhir ini kerap menjangkiti kumpulan liberal. Terlebih jika sumber aslinya adalah sesama pegiat liberalisme lokal. Apakah ini ada kaitannya dengan berebut “rating” dan “making headlines” di kalangan internal mereka? Tentu hanya merekalah yang berhak menjawabnya.

Qasim Nurseha adalah di antara sarjana muda muslim yang membongkar kebiasaan kumpulan liberal mencatut nama-nama ulama semisal Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi untuk membenarkan pandangan mereka. Al-Tifasyi yang diklaim berpendapat, “al-sahq syahwah thabi’iyyah” (lesbianisme merupakan hasrat seksual yang normal), menurut Qasim sebenarnya hanyalah menceritakan pendapat sebagian orang dalam buku beliau: Nuzhat al-Albab fima la Yujad fi al-Kitab (hal 236). Lebih lanjut, al-Tifaysi sendiri mencatat pendapat-pendapat yang mencela lesbianisne dan menyebutnya sebagai abnormal. Sementara Fahmi Salim menjelaskan tentang ijtihad Ibnu Hazm, khususnya soal hukuman ta’zir bagi pelaku homoseksual, bukan hudud. Persoalannya hanya sebatas jenis hukuman, bukan pada keharamannya. Bahkan menurut Ibnu Hazm, orang yang menghalalkan homoseksual bisa tergolong kafir dan musyrik.

Tidak disebutkannya jenis hukuman atas suatu perbuatan tercela dalam al-Qur’an, bukan berarti keharamannya bisa diragukan. Memukul orang tua, meludahi anak tetangga, mengadu domba masyarakat, dan menggunjing, adalah di antara perbuatan tercela yang tidak dijelaskan hukumannya secara detail dalam al-Qur’an. Siapa pun tidak akan menghalalkan perilaku-perilaku di atas, gara-gara tidak menemukan jenis hukumannya dalam al-Qur’an. Sangat sulit dipercaya jika ada orang sehat yang mengkampanyekan hak menggunjing orang lain dengan dalih HAM, kemaslahatan atau tidak adanya kepastian jenis hukumannya dalam al-Qur’an. Demikian halnya dengan pembelaan terhadap LGBT.

Penutup

Berkembangnya tradisi seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan intellectual viruses dalam masyarakat awam. Alih-alih menumbuhkan semangat akademik dalam berwacana, kalangan liberal justru lebih tertarik menebar kontroversi dan mempermainkan emosi kalangan awam. Beberapa contoh argumen kaum liberal di atas, mengindikasikan adanya suatu ambisi yang dipaksakan, dan cenderung asal menolak sebuah fakta. Yakni fakta bahwa LGBT adalah perilaku terlaknat dalam al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.

Era kebebasan dan demokrasi tidak semestinya disalahpahami untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi penebar kemungkaran. Dalam hal ini, peran negara tidak boleh netral di antara hak dan batil. Apalagi membiarkan alur HAM dan kebebasan untuk melecehkan wibawa ilmu dan agama. Sebab tidak semua fakta sosial dalam masyarakat yang majemuk harus dilestarikan. “Nyatakanlah kebenaran, bukan membenarkan kenyataan”, demikian nasehat KH. Hasan Abdullah Sahal sekitar 21 tahun silam.

Untuk para pegiat, pembela dan penyandang dana LGBT, Shaykh Hamza Yusuf dalam sebuah tausiyah beliau pernah menyampaikan sebuah puisi Mawlana Jalaluddin Rumi yang patut untuk direnungkan: “Come, come again..! Whatever you’ve done. This isn’t caravan of despair. Sinner, if you’ve broken your vows a thousand times, just come back. The door is open. And anybody that closes it is a shaytan… Because this world can defile you, but no matter how defiled you are, Allah’s door is open”.

Wallahu a’lam wa ahkam.

Bangkok, 29 February 2016

 

 

Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan?

3
Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan
Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan
Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan
Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan

Zara Faris

‘Apakah Perempuan Butuh Kekuasaan?’ Seringkali para feminis mengklaim bahwa perempuan butuh kekuasaan ekonomi dan politik dalam rangka melindungi kepentingan mereka. Namun panggilan untuk “memberdayakan” perempuan ini merupakan hal menyesatkan yang disebarkan para feminis di balik topeng keadilan. Ajakan para feminis menuju kekuasaan ini sebenarnya tidak mewakili kepentingan masyarakat, bahkan tidak pula (semata-mata mewakili,red.)  kepentingan perempuan. Namun, lebih merupakan ajakan untuk penambahan kebebasan tanpa tanggung jawab (dalam kata lain, individualisme), yang berlaku hanya untuk memberdayakan statusquo sejumlah grup dengan kepentingan mereka sendiri yang saling berkompetisi, tanpa memberdayakan keadilan bagi semua.

1 -Memberdayakan perempuan tidak secara otomatis memberdayakan keadilan

Kekuasaan seharusnya mewakili semua orang – tidak hanya satu faksi saja. Para feminis mengatakan bahwa perempuan butuh kekuasaan karena mereka “kurang terwakili pada posisi-posisi kuasa dan berpengaruh (underrepresented in positions of power and influence)” [i]. Mereka mengklaim bahwa meningkatkan akses wanita terhadap kekuasaan merupakan persoalan “keadilan sosial (social justice)” [ii]; bila perempuan kurangdiberdayakan, para feminis mengatakan bahwa laki-laki akan terus mendominasi pengambilan keputusan demi kehancuran wanita. Grup feminis Fawcett Society menyatakan, “perempuan sebagai sebuah kelompok hilang dari meja-meja kekuasaan tertinggi […] bila kamu tidak ada di meja, kamu ada di menu”.[iii]

Retorika feminis semacam ini mengabaikan fakta bahwa bila meja-meja kekuasaan tertinggi–yang saat ini dikuasai laki-laki–menampilkan perempuan di menu, mereka pun berpeluang memunculkan laki-laki di menu pula (saat mereka berkuasa, red.). Laki-laki sejatinya jauh dari kesetaraan bahkan di antara mereka sendiri – ada perbedaan-perbedaan intelegensia, tanggung jawab, kekuatan fisik, kekayaan, penampilan, kelas; dan hanya segolongan elit dapat duduk di meja tertinggi. Akan konyol jadinya untuk mengklaim bahwa kelas kecil laki-laki pemegang kekuasaan sebenarnya merupakan perwakilan dari semua laki-laki – sehingga sama konyolnya dengan menyatakan bahwa sekelompok kecil perempuan dalam kekuasaan akan mewakili semua perempuan. Alih-alih membalikkan kuasa atas ketidakadilan ini, para feminis hanya menuntut kursi di meja yang sama. Bila para feminis tulus dalam ajakan mereka untuk keadilan, mereka tidak akan mencoba untuk menciptakan kembali opresi golongan di antara wanita ini. Seharusnya, mereka akan mencari sebuah sistem alternatif sekalian.

Para feminis malah semakin menyulut bara api dengan menyuburkan ide seksis bahwa para laki-laki terikat untuk berkonspirasi melawan perempuan, hanya karena mereka laki-laki, sementara perempuan cenderung lebih adil, hanya karena mereka perempuan. Dalam kata lain, para feminis mengadvokasi kecurigaan terhadap laki-laki, mengatakan bahwa laki-laki adalah masalahnya, sementara perempuan adalah solusi. Para feminis tidak hanya akan marah besar (outraged) apabila generalisasi seksis yang sama diberlakukan terhadap perempuan, tapi, kenyataannya, tidak benar juga bahwa laki-laki selalu mendiskriminasi perempuan bila tidak ada segolongan kritis massa perempuan. Sebagai contoh, pada awal tahun ini (artikel ini aslinya diterbitkan pada Juli 2013,red.), koalisi ‘Counting Women In’ menghasilkan sebuah laporan berjudul ‘Sex and Power 2013 – Who Runs Britain?’ (Seks dan Kekuasaan 2013 – Siapa yang Menguasai Inggris?,red.) yang menyatakan bahwa ‘pengecualian perempuan dari posisi kekuasaan membahayakan baik perempuan maupun laki-laki’. Laporan itu menyayangkan fakta bahwa hanya 15.6% hakim di Pengadilan Tinggi yang (berjenis kelamin) perempuan. Pada saat yang bersamaan, seorang laki-laki lebih mungkin dihukum penjara oleh pengadilan yang didominasi laki-laki (r) daripada seorang wanita yang melakukan kejahatan yang sama. [iv] Laporan ini juga meributkan bahwa hanya 14.2% Vice Chancellor (setingkat pembantu rektor,red.) di universitas-universitas adalah perempuan. Padahal, menurut HESA Statistics (Higher Education States Agency), di universitas, perempuan lebih rajin daripada laki-laki – pada 2010, lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang belajar untuk meraih gelar – mereka mencakup 57% lulusan gelar pertama (termasuk sarjana dan diploma,red.) . Sebanyak 66% dari gelar pertama yang dianugerahkan pada perempuan antara tahun 2010-11 (peraihnya, red.) merupakan kelas atas ataupun kelas atas kedua, sementara untuk laki-laki angkanya adalah 61%. [v] Lagi-lagi, patriarki yang tak dapat dielakkan itu kembali menghambat perempuan!
Jadi, apakah wanita yang diberdayakan pasti akan lebih adil, hanya karena mereka perempuan? Meskipun ini merupakan ide yang sangat seksis, tapi sementara kita anggap saja dulu begitu. Ketika berhubungan dengan kasus perwakilan di pemerintahan, Rwanda, Algeria, Iraq, Tunisia, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Sudan Selatan dan Uganda – negara-negara yang sering dicantumkan sebagai contoh negara-negara miskin dan berperilaku buruk terhadap perempuan – masing-masing memiliki lebih banyak wanita di pemerintahan daripada di AS [vi]. Lebih jauh lagi, di Rwanda, wanita mengalahkan jumlah pria di parlemen, akan tetapi masih saja 45% dari populasi Rwanda – baik laki-laki maupun perempuan – berada di bawah garis kemiskinan. Perhatikan bahwa Menteri Kemajuan Wanita (Minister of Women’s Advancement) Rwanda (seorang aktivis feminis) dituduh atas genosida ketika ia menawarkan perkosaan sebagai penghargaan atas pembunuhan ribuan pengungsi. Jadi, menjadi seorang perempuan tidak menjamin bahkan setitik kemanusiaan, apalagi keadilan. India, Pakistan dan Bangladesh juga semua telah pernah memiliki pemimpin perempuan; tapi hal itu tidak menghasilkan kemajuan standar hidup bagi wanita dan pria, akan tetapi hanya perbaikan hidup kelas elit perempuan yang berkuasa. Sehingga jelas tidak ada korelasi positif antara keadilan dan jumlah perempuan di parlemen.

 

AS tidak hanya mengurutkan negara-negara ini berdasarkan representasi perempuan, hal ini di luar kenyataan bahwa AS memiliki mayoritas pemilih perempuan (53%) [vii]. Bukan suatu kejutan jadinya, ketika perempuan memilih untuk tidak mengangkat wanita dan memilih kandidat dari ‘gender yang salah’ (yakni laki-laki), membuat para feminis beralih mengecilkan wanita yang seharusnya mereka wakili, dengan mengampanyekan kuota tetap perempuan di parlemen.

Jadi perempuan tidak butuh kekuasaan untuk memperoleh keadilan, karena sekadar memberdayakan perempuan tidak sama dengan memberdayakan keadilan.

2- Memberdayakan Perempuan Menguatkan Status Quo
Para feminis menyatakan bahwa memberdayakan perempuan adalah tentang menambah pilihan-pilihan bagi perempuan. Pada kenyataannya, hal tersebutberupaya membatasi pilihan-pilihan perempuan hanya pada yang diakui oleh para feminis, dan mencoba untuk menempatkan mereka pada opresi yang sama dengan yang telah dialami oleh laki-laki. Bila Jack terguling dari bukit, apakah Jill benar-benar harus ikut terguling juga?*

Feminis senang mengklaim bahwa perempuan akan memperbaharui kekuasaan. Editor perempuan dari Forbes 100 Most Powerful Women 2013, mengatakan bahwa ia ingin menyeleksi wanita yang membawakan ide-ide segar mengenai kekuasaan, daripada yang mewakili kekuasaan politik dan ekonomi lama. Hanya saja daftar yang dikatakannya “segar” menyombongkan sekitar 9 kepala daerah dengan kombinasi GDP USD 11,8 triliun, 24 CEO yang mengontrol $893 miliar, dan 14 jutawan dengan total kekayaan lebih dari $82 juta. Beyonce (#17), Angelina Jolie (#37), dan Sofia Vergara (#38) juga semua muncul lebih dulu daripada Ratu Inggris (#40); tetapi di depan mereka semua adalah Michelle Obama (#4), berdasarkan pernikahan pada Barack Obama, lelaki paling berkuasa! Sehingga, konsep kekuasaan para perempuan ini secara mencurigakan terlihat sama seperti konsep kekuasaan para pria!

Para feminis tidak benar-benar menginginkan perubahan, tapi sekadar mengambil alih ide-ide kekuasaan yang opresif yang selama ini mereka atribusikan kepada pria.

Para feminis juga mengklaim bahwa kapitalisme yang didominasi laki-laki telah lama menghalangi pencapaian ekonomi perempuan, memaksa mereka untuk bergantung pada laki-laki sebagai pemberi nafkah (karena laki-laki sudah pasti menginginkan tanggung jawab finansial sebanyak mungkin, bukan?). Feminis mengatakan bahwa kapitalisme meninggalkan perempuan hanya berjarak satu pria dari kesejahteraan– hanya saja pria, juga berjarak satu pekerjaan saja, dari kesejahteraan! Jelas bahwa kapitalisme bukan tentang laki-laki merendahkan perempuan, tetapi yang kaya merendahkan yang miskin. Hanya saja, daripada membela keadilan sosial dan menantang sistem ekonomi yang telah memperbudak jutaan laki-laki dalam hutang, feminis hanya telah sekadar menyuguhkan perempuan untuk eksploitasi juga, dengan menjadikan suatu kebutuhan bagi wanita untuk bekerja. Sekarang, kelas elit yang berkuasa bisa memperbudak, mengeksploitasi dan membebankan pajak pada kalangan perempuan dari masyarakat juga! Sungguh sebuah kemajuan!

Dalam memberdayakan perempuan, kapitalisme dan feminisme saling melengkapi dalam memecah-belah dan menguasai unit keluarga. Simone Beauvoir, yang melejitkan gerakan feminis, menjelaskan: “Tak ada perempuan yang seharusnya diperintah untuk tinggal di rumah dan membesarkan anak-anaknya […] Perempuan seharusnya tidak memiliki pilihan itu, tepatnya karena bila pilihan itu ada, maka terlalu banyak perempuan akan memilihnya. Ini adalah cara untuk memaksa perempuan dalam sebuah arahan tertentu.”

Jadi, para feminis secara gamblang tidak peduli untuk berkampanye mengenai apa yang diinginkan perempuan atau untuk memperbanyak pilihan-pilihan mereka, tetapi lebih pada menyesuaikan pilihan-pilihan perempuan terhadap apa yang dianggap para feminis seharusnya diinginkan oleh perempuan.

Feminis mengeluhkan banyaknya laki-laki yang mendominasi posisi-posisi kepemimpinan – tapi tanpa menghiraukan fakta bahwa hampir setiap manusia telah dibentuk oleh seorang wanita – ibu yang membesarkan mereka. Pertimbangkan sejenak bahwa hal ini mencakup setiap laki-laki, yang konon, patriarkis – setiap laki-laki patriarkis telah dibesarkan oleh seorang wanita. Para feminis bersemangat untuk menuntut hak-hak reproduktif, tapi bagaimana dengan tanggung jawabnya? Tanggung jawab apa lagi yang lebih besar bagi wanita yang ingin membesarkan anak-anaknya? Peran fundamental apa lagi yang ada selain membentuk generasi yang, dengan matamu sendiri, akan kamu lihat beranjak dewasa dan menghidupkan kebaikan ataupun keburukan yang kamu ajarkan? Wanita seringkali merupakan kekuasaan tertinggi di dalam rumah – berapa banyak pria yang merupakan kekuasaan tertinggi di tempat kerja mereka? Para feminis mengabaikannya karena hal itu mengakui bahwa perempuan secara luas telah memegang kekuasaan, bahkan mungkin lebih banyak daripada laki-laki; hal tersebut juga mengakui bahwa kekuasaan yang sebenarnya (true power) tidak berarti kebebasan, tetapi tanggung jawab.

Memaksa wanita untuk keluar dari pilihan untuk menjadi ibu secara full-time, bukan hanya telah merugikan banyak perempuan, tapi juga mempermudah negara (melalui bertambahnya childcare) untuk memiliki paparan dan pengaruh yang lebih besar dalam membentuk pemikiran anak-anak demi menyesuaikan mereka dengan tujuan-tujuan negara. Perempuan tidak butuh kekuasaan dalam sebuah sistem yang cacat, di mana pemberdayaan perempuan hanya akan menguatkan status quo tersebut.

3 – Kekuasaan adalah Kewajiban, Bukan Hak

Kesalahan besar dalam cara berpikir para feminis, sebagaimana tentunya dalam banyak pemikir Barat, adalah mengenai konsepsi mereka terhadap kekuasaan. Kekuasaan merupakan beban bukan keunggulan, sebuah kewajiban bukan hak, bersifat “menarik bagi yang berpotensi untuk korupsi (magnetic to the corruptible)” [viii] dan perlu terus-menerus dibatasi, kekuasaan seharusnya diberikan, bukan diminta. Dalam sebuah sistem yang benar-benar adil, seorang pemimpin seharusnya memperhatikan kepentingan seluruh individu – bukan hanya faksi tertentu. Dalam sistem yang adil, seorang pemimpin seharusnya tidak memerintah sesuai keinginannya sendiri, tetapi pada sebuah standar obyektif yang lebih tinggi daripada mereka sendiri; sebuah standar obyektif yang menjanjikan segala hak laki-laki maupun perempuan, tidak peduli siapapun yang menjalankannya, dan bahwa si pemimpin bertanggjungjawab atasnya. Seseorang yang meminta kekuasaan ini seharusnya didiskualifikasi darinya. Dalam sistem seperti ini, seorang pemimpin terikat untuk melayani, bukan memerintah. Inilah konsep kekuasaan, atau kepemimpinan dalam Islam.

Dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan dipersilahkan untuk bekerja dalam bidang politik dan lingkup pengambilan keputusan dalam pemerintah. Baik laki-laki maupun perempuan boleh menjadi hakim pengadilan dan ilmuwan hadits dan hukum Islam. Islam menetapkan bahwa sumpah atau janji setia seorang perempuan atau kepada pemimpin adalah sama dengan sumpah seorang pria. Janji dan konsultasi adalah prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam dan perempuan berbagi di dalamnya posisi yang setara.

Mengenai masalah pemimpin negara dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan tidak memiliki hak atas kekuasaan ini. Seyogyanya, laki-laki berkewajiban untuk mengemban beban ini, sementara perempuan diberkati dengan pengecualian darinya. Seorang pemimpin negara dalam Islam tidak menerima kelebihan maupun pemasukan untuk posisinya itu (tidak seperti pemimpin zaman ini), tapi digaji sejumlah kompensasi berdasarkan apa yang akan mereka terima bila saja mereka tidak diangkat untuk mengemban pelayanan publik ini. Dengan cara ini, Islam menempatkan posisi pemimpin negara seolah seperti sebuah kewajiban militer, sementara perempuan tidak diharapkan untuk mengemban beban untuk membela negara – hanya laki-laki.

Bila wanita memang benar-benar menginginkan keadilan untuk masyarakat, dan implementasi hak-hak yang telah dijamin oleh Sang Pencipta, kita seharusnya tidak terjebak atau teralihkan oleh retorika para feminis yang memberitahu bahwa kita butuh lebih banyak lagi wanita untuk menempuh jenjang ekonomi dan politik dalam rangka memperbaiki kehidupan kita. Seharusnya, kita memenuhi kewajiban kita pada Tuhan, dalam mengimplementasikan hukum-hukum Allah (swt); sebuah sistem yang berjanji untuk memberdayaan keadilan daripada manusia, dan memiliki preseden sejarah untuk melindungi pria, perempuan, dan grup-grup minoritas dari kemiskinan, eksploitasi dan penyiksaan. Tanpa menerima nilai-nilai obyektif yang diberikan oleh Sang Pencipta, manusia tidak memiliki jalan untuk kembali kepada keadilan. Perempuan tidak butuh kekuasaan karena memberdayakan kekuasaan pada perempuan tidak secara otomatis memberdayakan keadilan; perempuan tidak butuh kekuasaan karena memerdayakan perempuan tidak mengubah status quo; dan, terutama, perempuan tidak butuh kekuasaan karena kekuasaan bukanlah keunggulan bagi laki-laki ataupun perempuan – kekuasaan adalah keutamaan dari Sang Pencipta, menyisakan hanya kewajiban sebagai keutamaan bagi manusia.

 

Catatan kaki:

[i] http://www.fawcettsociety.org.uk/activity/women-and-power

[ii] ibid.

[iii] http://www.fawcettsociety.org.uk/women-and-politics/

[iv] Untuk negara Inggris, lihat debat Hansard dan MP (anggota parlemen) Philip Davies: http://www.theyworkforyou.com/whall/?id=2012-10-16a.32.1. Lihat juga untuk Amerika Serikat: http://www.huffingtonpost.com/2012/09/11/men-women-prison-sentence-length-gender-gap_n_1874742.html

[v] http://bbc.co.uk/news/education-16530012

[vi] http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm

[vii] http://www.bbc.co.uk/news/magazine-20231337

[viii] Herbert Dune
*Berdasarkan lagu anak-anak (nursery rhyme) Jack and Jill. Kalimat dalam artikel aslinya adalah “If Jack goes tumbling down a hill, does Jill really have to go tumbling after?” -red.

 

Diterjemahkan dari tulisan Zara Faris ‘Do Women Need Power?’, oleh Lisana Shidqina.

Apakah Feminis Seksis?

0
Apakah Feminis Seksis?
Apakah Feminis Seksis?

 

Apakah Feminis Seksis?

Pada sebuah wawancara baru-baru ini, Julie Bindel (yang pernah saya debat tahun lalu), seorang jurnalis feminis yang memproklamirkan diri sebagai “Lesbian Politis”, mengatakan bahwa, kalau saja ia mampu, ia akan memasukkan semua laki-laki dalam sebuah kamp yang dijaga oleh “sipir-sipir”, kemudian kerabat-kerabat wanita mereka dapat meminjam mereka keluar seperti halnya meminjam “buku perpustakaan”.

Bindel, yang juga menulis untuk harian The Guardian, ditanya dalam sebuah wawancara, “Apakah heteroseksualitas dapat bertahan dalam era Kebebasan Wanita?”, yang kemudian ia jawab:

“Tidak akan! Tidak, kecuali jika laki-laki dapat mengendalikan tingkah mereka, jika kekuasaan mereka direbut dari mereka dan jika  mereka bersikap baik. Maksud saya, saya akan memasukkan mereka dalam semacam kamp dimana mereka dapat mengendarai motor ATV (All-terrain Vehicle—red), sepeda, atau van-van putih. Saya akan memberikan mereka pilihan kendaraan yang ingin mereka gunakan untuk berkeliling-keliling kamp dan menjauhkan mereka dari hal-hal porno. Mereka juga dilarang berkelahi, akan ada sipir di sana! Wanita yang ingin menemui anak laki-laki atau kekasih laki-laki mereka dapat datang menengok, bahkan membawa mereka keluar sebagaimana meminjam buku perpustakaan, dan kemudian mengembalikan mereka kembali.”[1]

Meskipun wacana tersebut tidak diadopsi oleh sebagian besar feminis, Bindel yang berasal dari komunitas feminis radikal memiliki sentimen yang besar terhadap kaum laki-laki. Perasaan demikian secara mengejutkan merupakan hal mainstream di kalangan feminis, bahkan terjustifikasi.

Bukanlah seksisme jika wanita yang melakukannya…”

Banyak feminis yang sejak lama menolak tuduhan bahwa gerakan feminis dikarakterisasi sebagai “pembenci laki-laki”. Namun demikian, ada feminis yang berusaha untuk membela rasa “membenci laki-laki” sebagai senjata moral dan politik.

Robin Morgan, seorang feminis dan juga seorang jurnalis pernah menerangkan:

“Saya merasa bahwa “membenci laki-laki”adalah sikap politik yang berkembang dan terhormat, bahwa yang ditindas mempunyai hak untuk membenci (classhatred) kaum penindasnya.”[2]

Dengan kata lain, bagi feminis seperti Morgan, wanita (sebagai kaum tertindas, red) memperoleh hak untuk berprasangka. Sementara itu, laki-laki (yang menindas, red) tidak berhak murka karena hal itu. Hal itu mulanya disuarakan secara lantang dikalangan para feminis radikal. Hari ini, klaim untuk melakukan class-hatred tersebut dicekokkan oleh berbagai kelompok identitas gender dan ras.

Dalam jargon politik kelompok berdasarkan identitas, jika class-hatred dilakukan oleh kelompok yang merasa “tertindas” terhadap kelompok  dominan atau “penindas”, hal ini  disebut “penindasan terbalik” (reverse opression)  atau dalam kasus feminisme, disebut “seksisme terbalik” (reverse sexism).

“… karena laki-laki tidak pernah dirugikan secara institusional…”

Akan tetapi, feminis sering memberikan argumentasi bahwa istilah seksisme dalam konteks “seksisme terbalik” merupakan sesuatu yang mengada-ada. Mereka mengklaim bahwa “seksisme” tidak diartikan sebagai prasangka atau diskriminasi berdasarkan gender seseorang. Akan tetapi, seksisme khusus mengacu pada seluruh sistem prasangka atau diskriminasi, yakni ketika suatu kelompok kurang diuntungkanpada tingkat kelembagaan (baik pemerintahan, hukum, ekonomi, dll.) disebabkan oleh gender mereka. Dengan demikian, kaum feminis mengklaim bahwa tidak ada seksisme terhadap laki-laki, karena sikap prasangka dan diskriminasi terhadap laki-laki tidak akan menimbulkan kerugian institusional terhadapnya sebagaimana yang mungkin terjadi pada perempuan.

Cuplikan dari sebuah buku teks[3] yang digunakan cukup luas di kalangan akademik. Bunyinya: “HENTIKAN: Tidak ada yang disebut sebagai rasisme terbalik atau seksisme terbalik (atau kebalikan dari semua jenis penindasan). Sementara perempuan bisa berprasangka sebagaimana laki-laki, perempuan tidak bisa dikatakan “se-seksis laki-laki” karena mereka tidak memegang tampuk kekuasaan dalam hal politik, ekonomi dan kelembagaan.”

Dengan demikian, menurut feminis seperti Morgan, kutipan-kutipanberikut ini tidak dapat disebut seksis, tetapi menjadi “tindakan politik yang nyata dan terhormat”dalam feminisme.

“Laki-laki adalah perempuan yang tidak sempurna, janin yang gagal sejak fase pembentukan gen. Menjadi laki-laki berarti menjadi kurang sempurna dan terbatas secara emosional; kelelakian adalah sebuah penyakit defisiensi, dan laki-laki kecacatan emosional. […] Bahkan menyebut laki-laki sebagai hewan pun sebenarnya adalah sebentuk pujian; dia hanyalah mesin, tak lebih dari dildo berjalan.”[4]

– Valeria Solanas (SCUM Manifesto)

“Dibawah sistem patriarkal, anak perempuan dari seorang wanita adalah korban, di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dibawah sistem patriarkal, setiap anak laki-laki merupakan calon pengkhianat dan tak terhindarkan akan menjadi seorang pemerkosa atau sebagai petualang wanita[5]

– Andrea Dworkin, Our Blood

Porsi laki-laki harus diperkecil dan dipertahankan kira-kira sebesar 10% saja dari jumlah manusia penduduk bumi.[6]

– Sally Miller Gearhart, Masa Depan – jika kelak ada – adalah perempuan

Pertama-tama, mari kita nyatakan sesuatu sebagaimana adanya. Sama sekali tak ada yang disebut dengan “seksisme terbalik”—hanya ada “seksisme”. Hal ini sama anehnya dengan jika kita menyebut “pemerkosaan terbalik”, atau “terorisme terbalik”. Perbuatan yang tak adil tetap merupakan perbuatan tak adil,tidak pandang bulu siapa yang melakukannya, serta kepada siapa hal tersebut dilakukan.

Kita akan mengevaluasi ide“seksisme hanya bisa menjadiseksismejika hal itu menimbulkan kerugian institusional”. Walaupun sebenarnya kita seperti berkelakar saat menggunakan definisi ini, katakanlah sekedar untuk berargumentasi. Karena bagaimanapun, jika sudah menyangkut laki-laki dan perempuan, kerugian institusional tidaklah dapat dilihat secara hitam putih. Gagasan bahwa tidak ada tekanan institusional terhadap laki-laki merupakan realitas yang dipaksakan, jika kita mengingat kondisi buruk yang dialami oleh laki-laki tingkat pekerja kasar dan laki-laki non-kulit putih, misalnya. Belum lagi terkait dengan diposisikannya laki-laki (secara kelembagaan, red) yang seolah-olah “lebih mudah dibuang” dari pada perempuan (contoh: wajib militer bagi laki-laki, kebijakan dalam evakuasi yang mendahulukan wanita dan anak-anak, dan lain-lain). Ditambah dengan kerugian institusional bagi laki-laki dalam hal kesenjangan kualifikasi untuk masuk perguruan tinggi, kesenjangan hukuman pidana, kesenjangan tingkat bunuh diri, kesenjangan dalam usia harapan hidup, kesenjangan dalam angka penderita kanker, kesenjangan dalam penanganan menghadapi KDRT, kesenjangan resiko kematian dalam pekerjaan, dan lain-lain.[7]

Masalah lain dalam argumen “seksisme hanya bisa menjadi seksisme jika hal itu menimbulkan kerugian institusional” adalah turunan ide mengenai syarat berhaknya suatu kelompok atas perlindungan dari diskriminasi yakni dengan melalui suatu ritus transisi yang menyebabkan (kelompok tersebut, red) mengalami kerugian institusional. Dengan kata lain, feminis yang bersikukuh dengan definisi ini menyarankan bahwa setiap individu laki-laki harus menjalani siksaan sebagai golongan rendah yang tertindas. Siksaan ini diatur secara keji oleh sistem matriarki yang tidak memiliki perasaan. Dengan begitu, barulah ia berhak atas perlindungan dari penindas.  Definisi ini secara langsung menyarankan suatu sistem yang mensyaratkan adanya kelompok penindas dan kelompok tertindas agar hak setiap individu dapat dilindungi. Wajarlah jika kita menduga-duga, apakah feminis berniat untuk mencapai keadilan ataukah hanya semata-mata ingin membalas dendam?

Kemudian, argumentasi “orang yang tertindas memiliki hak untuk membenci kelompok yang menindas mereka” dapat dikatakan salah secara moral. Hal itu sebenarnya sama saja dengan memaklumi dan membenarkan bentuk “kebencian kelompok” (class-hatred) yang dimiliki oleh teroris terhadap kelompok yang mereka anggap sebagai “penindas”. Karena para teroris itu pada akhirnya menggambarkan diri mereka sendiri sebagai kelompok tertindas.

Akan tetapi, meskipun seksisme terbalik (reverse sexism) digunakan untuk mengkritik seksisme feminis terhadap laki-laki, terminologi tersebut masih bermasalah. Terminologiini memberikan kesan pada pendengar bahwa seksisme yang sedang dipermasalahkan hanyalah reaksional; dilakukan sebagai reaksi dari apa yang dianggap sebagai seksisme sebelumnya. Jika masyarakat menggunakan terminologi seksisme terbalik” (reverse sexism) dan bukannya hanya seksisme, hal ini sebenarnya mengasumsikan bahwa posisi awal para feminis—bahwa mereka dirugikan dalam semua hal yang mereka klaim—adalah benar, dan mereka hanya merespon. Sebaliknya, penggunaan terminologi seksis tidak memiliki sejarah seperti itu. Tidak diperlukan seorang laki-laki yang didiskriminasi oleh feminis karena gendernya, untuk dapat dimasukkan dalam rangkaian narasi oleh para feminis ini sebagai laki-laki anggota kelompok “penindas”.

“… karena perempuan tidak sanggup menghadapi kengerian yang sama sebagaimana laki-laki.”

Sebagaimana mengagetkannya pernyataan Gearhart tentang pengurangan populasi pria di atas, ia tidak melakukan protes atas ide pemusnahan 90% laki-laki. Dalam sebuah esei mengerikan, ia menulis tentang kemungkinan mengurangi spesies laki-laki secara bertahap hingga 90%, dengan “kerjasama secara sukarela” dari laki-laki usia produktif. Tanpa memperhatikan tingkat keseriusan proposal tersebut, Gearhart berusaha untuk mengatakan bahwa wanita tidak memiliki kemampuan untuk bersikap kejam terhadap laki-laki, hal ini dikarenakan “sifat alami” mereka, ia pun terus mengatakan bahwa wanita tidak dapat menekan laki-laki, apalagi bersikap seksis terhadap mereka:

“Keunggulan wanita adalah fakta, kebenaran, […] Saya berkeyakinan bahwa sifat alami yang dimiliki wanita akan menghalanginya menggunakan kekuatan hirarki sebagaimana yang biasa terjadi ketika digunakannya biologi sebagai senjata sosial, baik yang dilakukan oleh orang kulit putih yang menekan orang kulit berwarnamaupun oleh laki-laki yang menekan wanita.[…] Apakah kelompok betina dari suatu spesies, jika diberi kesempatan, akan mengulangi kekejaman patriarki? Saya jawab tidak […] Jika kita ingin melihat bagaimana wanita benar-benar mengatur kekuasaan dan pemerintahan, maka biarkan mereka memperlihatkan kemampuan mereka dalam suatu sistem yang diciptakan oleh mereka sendiri berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut.[8]

Harapan yang oportunistik tentang “sifat alami wanita” ini menunjukkan secara berbahaya bahwa kecenderungan untuk berbuat baik dan jahat—entah bagaimana—melekat secara tak sadar dalam karakteristik gender (meskipun dia menolak konsep yang sama berlaku dalam karakteristik ras, tanpa penjelasan apapun).

Sebagai contoh, Grearhart “memperingatkan” pembacanya akan marabahaya dari ikatan-pria (male-bonding)  sebagai berikut:

“Marabahaya tidak datang dari laki-laki secara individu […] Marabahaya yang sebenarnya adalah pada fenomena ikatan-pria, komitmen dari sekelompok laki-laki di sana, apakah dalam kelompok tentara, sebuah geng, klub layanan, pondok, biarawan, perusahaan, atau olahraga […] Sebagian besar energi dan semangat dari kelompok ikatan-pria dihabiskan untuk mengusir wanita dan merendahkan nilai-nilai dan kualitas kewanitaan. Wanita mestilah menjadi target hinaan; pengalaman dan emosi wanita selalu direndahkan. Keberhasilan suatu kelompok ikatan-pria bergantung pada pengusiran dan penghinaan yang terus menerus ini.[9]

Sayangnya, Gearhart mungkin tak sadar jika banyak perempuan berperilaku tidak berbeda dengan pria yang dituduhkannya di sini. Ada juga fenomena ikatan-wanita (female-bonding) yang tumbuh hari ini dengan mengangkat kalimat-kalimat “kebencian terhadap laki-laki” yang dilakukan secara terang-terangan seperti “I bathe in male tears” (saya mandi dalam tangisan pria) pada perlengkapan sehari-hari (seperti mug, t-shirt), dan tagar seperti “#KillAllMen” di halaman-halaman media sosial. Para feminis ini mengklaim bahwa mereka hanya bersikap “ironis”. Mereka berdalih menggunakan slogan-slogan ini sebagai “lelucon internal” dan sebagai cara untuk membangun “solidaritas” diantara para feminis. Seorang feminis bahkan mengatakan “Saya senang bahwa kalimat-kalimat tersebut mengganggu pria-pria yang tidak memahaminya”.[10] Jika ini adalah nilai-nilai yang dianut oleh para feminis yang berada dalam sistem yang ada saat ini,  kita dapat membayangkan betapa mengerikannya perilaku yang dapat ditunjukkan oleh mereka “pada suatu sistem yang mereka ciptakan sendiri berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut.

 Bagi yang beranggapan bahwa wanita tidak bisa menjadi seksis sebagaimana pria karena wanita tidak memiliki kemampuan yang sama dalam hal kebencian kelompok (class hatred) sebagaimana yang dituduhkan dilakukan oleh pria (yang oleh para feminis disebut “misoginis”), mereka justru memiliki kemampuan yang sama persis. Mengapa? Karena keduanya, laki-laki dan perempuan adalah manusia yangmemiliki kemampuan untuk melakukan kebaikan maupun kejahatan. Bahkan mereka juga memiliki kemampuan untuk membenarkan tindakan mereka.

Ilusi bahwa kebencian kelompok (class-hatred) akanmengakhiri ketidakadilan

Banyak feminis—yang dengan membayangkan wanita sebagai “kelompok tertindas” melawan laki-laki sebagai “kelompok penindas”—berakhir dengan meniru perilaku kelompok “penindas” yang mereka bayangkan. Konsep “kebencian kelompok” seperti ini—baik dalam konteks riil ataupun imajinatif—bukanlah hal yang baru. Fenomena pergantian “yang tertindas” menjadi “penindas” telah terlihat sepanjang sejarah.

Seorang pendidik dan filsuf Brazil, Paulo Freire, mengatakan bahwa:

“Yang tertindas, bukannya berjuang untuk memperoleh kemerdekaan, hustru mereka cenderung menjadikan diri mereka sebagai penindas […] Ideal mereka adalah untuk menjadi laki-laki; tapi bagi mereka, untuk menjadi laki-laki adalah menjadi penindas.”[11]

 Ibn Khaldun, seorang filsuf Islam abad ke-14 juga memperhatikan dinamika ini, dan mengatakan bahwa  peniruan ini telah secara gegabah memperkuat ide/anggapan tentang superioritas dari “penindas”.

Yang kalah selalu berusaha meniru yang mengalahkan dalam cara berpakaian, perhiasan, kepercayaan, kebiasaan dan apa-apa yang dikenakan. Ini karena laki-laki selalu memperlihatkan kesempurnaan atribut diri kepada mereka yang telah ia kalahkan dan taklukkan  […] apakah karena perasaan hormat yang mereka miliki terhadap penakluk mereka menjadikan mereka melihat kesempurnaan pada diri penakluk mereka, atau, mereka menolak untuk mengakui bahwa kekalahan mereka bisa jadi dikarenakan sebab-sebab yang sangat biasa, dan mereka menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan kesempurnaan penakluk mereka. Jika pemikiran ini dipercayai dalam jangka waktu yang lama, maka akan berubah menjadi keyakinan yang sangat dalam dan akan mengarah pada diambilnya ajaran-ajaran penakluk dan menirukan seluruh karakter mereka. Peniruan inidapat dilakukan secara tidak sadar atau karena kesalahan berpikir yang menganggap bahwa kemenangan penakluk disebabkan bukan karena tingginya tingkat solidaritas dan kekuatan mereka, tetapi karena (rendahnya) tingkat kepercayaan dan kebiasaan pihak  yang ditaklukkan. Maka hal ini lebih lanjut menumbuhkan kepercayaan bahwa peniruan tersebut akan menghilangkan sebab kekalahan.”[12]

 Yang “tertindas” tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban.

Sebagian orang kemudian mungkin berpikir bahwa argumentasi ini tidak memberikan kesempatan bagi kelompok tertindas untuk mengambil tindakan. Apakah orang atau kelompok yang benar-benar tertindas perlu mengubah situasi mereka? Tentu saja! Dalam Islam, berbagai cara disiapkan untuk menghindari terjadinya penindasan dan untuk mengubah penindasan dalam berbagai situasi. Cara Islam menangani ketidakadilan adalah dengan melarang dilakukannya tindakan ketidakadilan dalam bentuk apapun oleh siapapun kepada siapapun. Dengan cara ini, ketidakadilan dihilangkan tanpa ada sisa kemarahan ataupun dendam.

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Al Qur’an surat 5:8

Wahai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”  4:135

Menjadi bagian dari kelompok “tertindas” tidak memberikan alasan bagi seseorang untuk boleh melakukan ketidakadilan atau menuntut superioritas atas anggota kelompok “penindas”:

Pada khutbah terakhirnya Nabi Muhammad saw bersabda, “Seorang Arab tidak memiliki keutamaan dibanding orang-orang nonArab […] juga orang-orang kulit putih tidak memiliki keutamaan atas orang-orang berkulit hitam”, dan mengatakan bahwa satu-satunya keutamaan adalah “ketaatan dan amal.”[13]

Menjadi anggota kelompok yang “tertindas” tidak membebaskan seseorang dari tujuan hidupnya, yakni dari tugas untuk melakukan apapun demi keadilan sebagai tanggungjawabnya. Allah swt berfirman dalam Al Quran, percakapan antara kelompok yang lemah (yang tertindas) dan kelompok yang senang menguasai yang keduanya telah dilaknat di akhirat:

“[…] Dan (alangkah mengerikan) kalau kamu melihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian mereka mengembalikan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada yang menyombongkan diri “kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang mukmin”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, “kamikah yang telah menghalangimu untuk memperoleh petunjuk setelah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah yang berbuat dosa.” (Q.S. 34: 31-32)

 Kedua kelompok itu akan cekcok satu sama lain selagi berhadapan dengan Pencipta mereka. Kelompok yang lemah berusaha menyalahkan kelompok yang sombong sementara kelompok yang sombong berbalik dan mengingatkan yang lemah bahwa walaupun mereka tertindas, mereka hendaknya tetap mengikuti perintah Allah. Al Qur’an menggabarkan keduanya sebagai pendosa (orang yang zalim).

Mencari keadilan bukan sekedar mengikuti jalan dengan semangat atau meniru tindakan yang salah dari kelompok penindas. Demi keadilan, seseorang memerlukan kerangka petunjuk, kebenaran yang obyektif, dan metode yang adil. Tanpa bimbingan dari yang Mahatinggi, feminisme tidak memiliki konsep keadilan yang jelas selain tuntutan kosong mengenai “kesetaraan”. Namun demikian, masalah pencarian kesetaraan bersama mereka yang dianggap sebagai penindas, menjadikanya meniru apa-apa yang dibayangkan mengenai mereka, dan perbedaan yang ada hanyalahbagian siapa yang saat ini melakukan ketidakadilan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.

 

Penerjemah: Tetraswari Diahingati

Editor: Rira Nurmaida

 

[1]http://www.radfemcollective.org/news/2015/9/7/an-interview-with-julie-bindel

[2]Robin Morgan, penulis dan editor untuk Ms. Magazine; Going Too Far (1978), hal.178

[3]Bukunya berjudul “Is Everyone Really Equal? An Introduction to Key Concepts in Social Justice Education” oleh Ozlem Sensoy dan Robin DiAngelo

[4]Valerie Solanas, pendiri S.C.U.M. (Society for Cutting Up Men), S.C.U.M. Manifesto (1967) http://suwon.weebly.com/uploads/1/3/5/4/13540638/scum_manifesto.pdf

[5]Andrea Dworkin, penulis dan aktivis feminis; Our Blood (1976) hal.20

[6]Sally Miller Gearhart, penulis dan mantan profesor women’s studies di San Francisco State University; The Future – If There Is One – Is Female, Bagian III (1981)

[7]Untuk penjelasan dan demonstrasinya dapat dilihat di dalam video debat Zara Faris dengan Natalie Bennett

[8]Gearheart, op. cit., hal.273-4

[9]Ibid hal.281

[10]The Rise of the Ironic Man-Hater, Amanda Hess, http://www.slate.com/blogs/xx_factor/2014/08/08/ironic_misandry_why_feminists_joke_about_drinking_male_tears_and_banning.html. Lihat juga, Do Young Feminists Really Want To Bathe In Male Tears? Katherine Speller, http://www.mtv.com/news/2110217/misandry-is-a-joke/. Lihat juga: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3054067/Pictured-Diversity-officer-banned-whites-anti-racism-event-British-university-wiping-away-fake-tear-no-white-men-sign.html

[11]Paulo Friere, PEDAGOGY OF THE OPPRESSED, New York: Continuum Books, 1993.

[12]Bab Dua, Geography, An Arab Philosophy of History, Selections from the Prologomena of Ibn Khaldun of Tunis (1332-1406), dialihbahasakan oleh Charles Issawi

[13]“[A]n Arab has no superiority over a non-Arab nor a non-Arab has any superiority over an Arab; also a white has no superiority over a black nor a black has any superiority over white except by piety and good action.” Khutbah terakhir Nabi Muhammad saw.

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now