Home Blog Page 7

Perempuan dan Kebebasan Seksual

0

Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania
Peneliti The Center for Gender Studies (CGS)

Beberapa tahun yang lalu, salah satu radio di Indonesia pernah menyiarkan  hasil sebuah penelitian di Amerika. Penelitian tersebut bertujuan untuk menemukan profil  perempuan yang paling bahagia. Sampel penelitian adalah Perempuan Amerika dari berbagai profesi dan umur, baik yang bekerja maupun yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, yang sudah menikah atau yang belum menikah.  Hasil dari penelitian didapatkan bahwa Perempuan yang  paling bahagia adalah perempuan yang memiliki karir dan pekerjaan, berusia antara 30 sampai dengan 40 tahun, dan belum menikah. Sayang penulis tidak berhasil mendapatkan bukti tertulis dari penelitian tersebut di internet. Namun, pesan dari penelitian itu sangat mudah untuk dipahami publik, “Jadilah perempuan mandiri yang bebas, maka anda akan bahagia.”

Perempuan Dan Kebebasan Seksual

Benarkah perempuan bebas adalah perempuan yang paling bahagia? Pertanyaan klasik ini memang selalu menarik untuk dikaji. Kebebasan dan kebahagiaan merupakan masalah filosofis yang menjadi perdebatan  sejak zaman  Yunani sampai sekarang. Pada dasarnya, pergulatan pemikiran perempuan Barat tentang kebebasan, didasari oleh rasa marah terhadap realitas sosialdan tuntutan untuk memperoleh keadilan. Selama berabad-abad lamanya, perempuan di Barat menjadi kaum tertindasyang termarjinalisasi. Mereka baru mendapatkan hak politiknya pada tahun 1920. Bahkan Perempuan Barat tidak memiliki akses ke pendidikan tinggi (universitas) sebelum abad 20. Pandangan negatif terhadap perempuan sebagai makhluk inferior bersumber dari problem teologis dan filosofis yang dapat dilacak pada pemikiran filsuf dan agamawan di Barat.[i]

Pada masa awal perjuangannya, aktivis perempuan (baca: kaum feminis) hanya menuntut  kesetaraan   dalam masalah ekonomi dan politik serta akses kepada pendidikan. Namun, gerakan Perempuan Barat akhirnya menjadi semakin radikal dengan munculnya feminisme gelombang kedua yang menuntut kebebasan perempuan, terutama dalam hal seksualitas.  Simone de Beauvoir, tokoh feminis gelombang kedua, menekankan pentingnya perempuan untuk menerima identitasnya sebagai perempuan. Jangan sampai kaum perempuan justru terjebak pada konsep abstrak yang mengatakan bahwa perempuan adalah manusia oleh karena itu mereka bukan perempuan (women are human beings and therefore are not women).[ii]

Perempuan Dan Kebebasan Seksual

Pemikiran Simone de Beauvoir tentang kebebasan perempuan memang berbeda dengan pendahulunya, Mary Wollstonecraft. Wollstonecraft berpandangan bahwa kemandirian secara ekonomi adalah penting untuk menjamin kebebasan perempuan. Menurutnya, perempuan harus mendapat pendidikan yang setara dengan kaum pria agar menjadi manusia dewasa yang rasional, bertanggungjawab dan mandiri. Namun bagi de Beauvoir, hak untuk memilih dalam pemilu, hak bekerja maupun hak mendapatkan emansipasi secara utuh, bukanlah kebebasan sejati bagi kaum perempuan. Dunia ini adalah dunia lelaki. Baginya, struktur sosial tidak pernah benar-benar dimodifikasi atau diubah dengan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan tersebut.[iii]

Menurut de Beauvoir, pria berada dalam kebenaran ketika menjadi pria, sementara itu, menjadi perempuan otomatis menempatkannya dalam keadaan bersalah.  Ia mengutip kata-kata Aristoteles yang mengatakan bahwa perempuan memiliki kekurangan tertentu dari segi kualitas. Begitu juga pandangan Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang tidak sempurna (imperfect man). Kitab suci menurut de Beauvoir telah melekatkan eksistensi perempuan kepada pria karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk pria. Oleh karena itu, kemanusiaan (humanity) selalu merujuk kepada pria dan pria mendefinisikan perempuan bukan pada diri perempuan sendiri namun dalam hubungannya (relative) dengan pria. Perempuan tidak pernah dihargai sebagai eksistensi yang bersifat mandiri (autonomous).

Perempuan Dan Kebebasan Seksual

De Beauvoir kemudian mengutip pandangan Michelet yang mengatakan bahwa perempuan adalah wujud (being) yang relatif. Pria dapat berpikir tentang diri mereka sendiri tanpa perempuan, sedangkan perempuan tidak bisa memikirkan diri mereka sendiri tanpa pria. Dan dia (perempuan) hanyalah sebatas apa yang ditetapkan pria.  Oleh karena itu perempuan dipanggil “the Sex” yang berarti dia hadir secara esensial kepada pria sebagai wujud seksual (sexual being). Untuk pria, perempuan adalah semata-mata seks, seks absolut dan tidak lebih. Perempuan adalah insidental, yaitu oposisi dari yang esensial. pria adalah subjek dan absolut, sedangkan perempuan adalah “the Other”.[iv]

Konsep perempuan sebagai “the Other” inilah yang menjadi landasan filosofis tuntutan  kebebasan seksual yang digaungkan feminis Barat. Untuk menjadi perempuan mandiri yang bebas, perempuan tidak boleh menjadi “the Other”, tidak boleh menjadi obyek, namun perempuan harus memiliki kesadaran dan menjadi subyek.  Mengutip pandangan Foucault tentang seks dan kekuasaan, kebenaran dapat dipertaruhkan menggunakan sarana politik tubuh. Hal tersebut berarti, salah satu sasaran dari kekuasaan adalah tubuh, karena dengan membidik tubuh maka kepatuhan akan diperoleh.  Salah satu yang dianggap oleh Foucault telah menggunakan politik tubuh untuk kepatuhan adalah institusi agama.

“….. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui penyeragaman perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas yang akan memudahkan agama mendapatkan kepatuhan baik dari pemeluknya, maupun ketakutan dari mereka yang tidak termasuk bagiannya. Obyek dan sasaran utama kekuasaan disipliner agama adalah seksualitas. Cara berpakaian, wacana sampai ritus diarahkan untuk mengontrol perilaku agar hanya pasangan suami-istri yang mempunyai akses.[v]

Feminisme memang anti agama, baik secara terbuka ataupun samar-samar. Menurut mereka, agama memperoleh kekuasaan dengan mengontrol tubuh dan seksualitas. Usaha kaum feminis untuk memperoleh kebebasan seksual, tercermin dari kampanye “My body is mine” atau “Tubuhku adalah milikku.” Dalam pandangan  feminis radikal, perempuan akan selalu menjadi the second sex (the other),  kecuali apabila perempuan benar-benar bisa memiliki kontrol  penuh atas kekuatan reproduksi dan hasrat seksual. Artinya, kebebasan seksual adalah kekuasan penuh atas tubuh dan aktivitas seksual mereka.  Bahkan atas nama kebebasan ini, kaum feminis radikal mendorong perempuan untuk bereksperimen dengan semua macam consensual sex, termasuk aktivitas seks yang kontroversial  yaitu sadomasochism (mendapatkan kepuasan seksual dari tindakan sadis yang dilakukan pasangannya). Mereka juga mendesak para perempuan untuk melahirkan anak tanpa rasa sakit dengan menganjurkan penggunaan surrogate mother atau apabila dimungkinkan,  dengan menggunakan rahim buatan. Feminis radikal juga mendorong kaum perempuan agar sebisa mungkin menjadi androgini. Karena menurut mereka, semakin sedikit perempuan mencoba untuk mewujudkan ciri-ciri “Perempuan” sesuai konstruksi masyarakat, maka perempuan akan lebih bebas dan setara dengan pria.[vi]

Pemikiran dan kampanye feminis radikal  ternyata secara tidak sadar telah masuk ke negara-negara Islam melalui propaganda yang tekait dengan  kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, pendidikan seksual dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Walaupun tuntutan kaum feminis di dunia Islam adalah “kesetaraan” dan bukan “kebebasan”, namun konsep kebebasan feminis radikal telah diadopsi tanpa kritik oleh sebagian umat Islam.  Padahal makna kebebasan dalam pandangan alam Islam (Worldview of Islam) sangat berbeda dengan makna kebebasan kaum feminis yang bersifat materialistik dan mengabaikan nilai-nilai spiritual. Konsep kebebasan dalam Islam terkait erat dengan konsep keberhutangan manusia kepada Tuhannya, yang telah memberikan eksistensi kepada manusia dari “tidak ada”  menjadi wujud.

Keberhutangan ini menurut Syed M. Naquib al-Attas, menempatkan manusia sebagai hamba Tuhan. Kebebasan (hurriyyah) dalam Islam adalah ketika manusia bertindak atau berperilaku sesuai dengan  fitrahnya.[vii] Islam adalah agama fitrah, sehingga tunduk dan taat kepada perintah agama—dalam hal ini syariat Islam—tidak akan merampas kebebasan manusia.  Salah satu fungsi  syariat  adalah menjaga manusia agar tetap sesuai dengan fitrahnya karena hanya Allah swt yang  paling mengerti  keadaan makhluk ciptaan-Nya.

Kedudukan perempuan  dalam Islam bukan sebagai pelengkap pria, apalagi sebagai obyek seks  yang patut ditindas.   Sebagaimana kaum pria, diri perempuan adalah milik   Allah swt yang harus dijaga oleh syariat, baik dari kezaliman yang dilakukan diri sendiri ataupun kezaliman yang dilakukan orang lain. Menurut Raghib al- Isfahani,  kunci kepada kebahagiaan adalah mengontrol  hasrat (shahwah), baik hasrat terhadap  makanan, seks maupun kemarahan sehingga keinginan tersebut selalu berada dipertengahan.[viii] Mengumbar hasrat seksual atas nama kebebasan, merupakan kezaliman terhadap diri sendiri. Apabila kebebasanala feminis ini diadopsi dalam kebijakan publik sebagai undang-undang dan produk turunannya,   maka negara telah melakukan kezaliman yang  sangat besar terhadap kaum perempuan karena konsepsi yang salah tentang kepemilikan tubuh hanya akan menjerumuskan perempuan ke dalam kehancuran dan kesengsaraan.

[i] Untuk mengetahui sejarah feminisme di Barat silahkan lihat artikel “Sejarah Feminisme Barat” oleh Dinar Dewi Kania di www.thisisgender.com

[ii]Stanford Encyclopedia of philosophy, http://stanfordfreedomproject.com/simone-de-beauvoir-freedom-for-women/diunduh pada 1 Desember 2015

[iii] Simone de Beauvoir, The Second Sex, London : Lowe and Brydone (Printers) Ltd, 1956hlm. 641

[iv] Simone de Beauvoir, The Second Sex, hlm. 15, 16

[v] Foucault dalam Yusi Avianto P (ed),  Subyek yang Dikekang,    Jakarta; Komunitas Salihara-Hivos, 2013, hlm. 39 , 40

[vi]Stanford Encyclopedia of philosophy (http://plato.stanford.edu/entries/feminism-ethics/#LibRadMarxMulGloEcoApp) diakses pada 1 Desember 2015

[vii] Al-Attas, Syed M. Naquib, Islam :The Concept of Religion and The Foundation of Ethics  and Morality, Kuala Lumpur : IBFIM, 2013, hlm 8-11

[viii] Yasien Mohamed, The Path to Virtue : The Ethical Philosophy of al-Raghib al-Isfahani, Kuala Lumpur :IIUM, 2006, hlm. 232

Perempuan di Balik Kesuksesan Hijrah

0
asma binti abu bakar
Sumber: i.ytimg.com/vi/WFOckTiq1cM/maxresdefault.jpg

Oleh Nunu Karlina, S.Pd.
Asisten Peneliti CGS dan Alumnus Akademi Siroh

 

Hijrah adalah peristiwa penting dan penuh makna dalam sejarah Islam. Al-Bugha menyatakan bahwa dalam terminologi syara, hijrah adalah meninggalkan negeri kafir karena khawatir mendapat fitnah (gangguan), menuju Darul Islam (2011: 40).

Allah subhana wa ta’ala memerintahkan Rasulullah ﷺ untuk meninggalkan Makkah sebagai upaya menghindar dari cacian, makian, siksaan, dan berbagai intimidasi lainnya yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Muslimin. Rasulullah menghadapi berbagai kesulitan dalam proses berpindah menuju Madinah tersebut, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Selama perjalanan, Rasulullah harus melalui aral yang melintang sebagai pembuktian ketaqwaan dan tawakal sepenuhnya pada Rabb semesta alam.

Pada akhirnya, kepiawaian strategi Nabi berpadu dengan takdir Allah. Sejarah mencatat hijrah sebagai awal momentum kegemilangan kejayaan Islam. Di balik kesuksesan hijrah Nabi ke Madinah, ada satu sosok Muslimah yang sangat layak untuk kita teladani. Siapakah ia? Ia adalah Asma’binti Abu Bakar ra. Ia seorang anak, istri, ibu, sekaligus prajurit mulia.

Keistimewaan Asma’binti Abu Bakar ra.

Asma’binti Abu Bakar ra. adalah shahabiyah yang terkenal keilmuan dan ketaqwaannya. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam. Ketika cahaya Islam menyinari Jazirah Arab, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ayah Asma’, adalah laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam. Karena itu, tidak heran jika Asma’ memeluk agama tauhid ini sejak dini sehingga termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam. “Jika dibuat nomor urut daftar orang yang masuk Islam, maka Asma’  berada pada urutan ke-18. Artinya, hanya ada 17 orang yang lebih dulu masuk Islam darinya, baik laki-laki dan perempuan. (Mahmud Al Mishri, 35 Sirah Shahabiyah, 2011: 77)

Allah menjanjikan surga bagi golongan ini. Inilah salah satu keistimewaan mereka.“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya…” (Q.S At Taubah: 100)

Bahkan Al Ghadban menyebutkan nama Asma’  khusus dalam satu bab yang membahas Peranan Wanita pada Periode Sirriyah (dakwah secara sembunyi-sembunyi). “… Kaum wanita ini hidup di periode sirriyah tanpa diketahui oleh seorang pun keislaman mereka. Kita harus memberi perhatian kepada peranan kaum perempuan dalam perjalanan dakwah ini sebagaimana mestinya. Baik sebagai saudara, istri, maupun yang mendampingi kaum lelaki. Bahkan sebagian riwayat menyebutkan bahwa Asma’ ra. adalah seorang prajurit periode ini. Ini berarti bahwa dia dalam usianya yang sangat muda. (2009: 26)

Asma’ memiliki jiwa yang jernih dan batin yang bersih. Hatinya selalu terhubung dengan Allah. Ia selalu mengawasi dirinya sendiri seketat mungkin, baik sisi lahir maupun batinnya. Namun demikian, ia selalu merasa dirinya terlalu lemah dan banyak berbuat salah.

Ibnu Mulaikah dalam Al Mishri menyatakan, “Asma’ pernah merasa pusing, maka dia meletakkan tangan di atas kepala seraya berkata,“Ini karena dosaku, meskipun yang diampuni oleh Allah lebih banyak.(2011:87).

Sebagai seorang istri, keshalihannya disebut langsung oleh sang suami tercinta. Al Mishri menyatakan bahwa suami Asma’,  Zubair bin Awwam, pernah berkata, “Aku pernah masuk rumah dan mendapati Asma’ sedang salat. Aku mendengar ia membaca ayat ‘Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.’ Asma’ bermunajat dan memohon perlindungan kepada Allah. Maka aku berdiri, tapi karena ia bermunajat terlalu lama, aku pergi ke pasar. Saat aku kembali, ternyata Asma’ masih menangis sambil bermunajat dan mohon perlindungan dari Allah.(2011: 85).

Asma’ juga ikut dalam perang Yarmuk seraya mendampingi suaminya. Kelebihan Asma’ yang sangat menonjol lainnya adalah kemampuan bahasanya yang sangat fasih, cepat memahami sesuatu, dan pandai berpuisi. Adz-Dzahabi dalam Al Mishri pun menambahkan, “Asma’ r.a adalah orang terakhir yang meninggal dunia di antara golongan Muhajirin.(2011: 93).

Sang Dzaatun Nithaaqain : Perempuan Pemilik Dua Ikat Pinggang

A’isyah ra. menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ mendapat izin untuk hijrah ke Madinah, beliau datang ke rumah Abu Bakar. Di rumah itu tidak ada siapapun kecuali Abu Bakar, A’isyah, dan kakaknya yaitu Asma’ Binti Abu Bakar. Rasulullah bersabda, “Suruh keluar dariku siapapun yang ada di rumahmu.Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, yang ada hanya mereka berdua, putriku. Cuma itu, ayah dan ibuku sebagai  tebusannya.  Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya telah diizinkan untukku keluar dari Makkah dan berhijrah. Abu Bakar bertanya, “Apakah aku menyertaimu?Rasulullah menjawab singkat, “Menyertai.(Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sejarah Lengkap Rasulullah, 2014: 432).

Tiada seorang pun yang mengetahui keberangkatan Rasulullah kecuali Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar beserta keluarganya.

Peran Asma’ dalam peristiwa monumental ini sangat besar. Ia sangat menjaga rahasia Rasulullah ﷺ. ia tidak pernah menyebarkan keberadaan Rasul ketika hijrah, meskipun harus menerima perlakuan yang sangat kasar.

Ibnu Ishaq dalam Al Mishri meriwayatkan, saat Abu Jahal datang ke rumah Abu Bakar bersama para tokoh Quraisy, mereka menemui Asma’ dan bertanya di mana ayahnya. Asma’ menjawab tidak tahu dan seketika itu Abu Jahal menamparnya dengan keras sehingga antingnya lepas. Mereka sangat marah karena tidak mendapati Rasulullah dan Abu Bakar. (2011: 81)

Betapa Asma’ adalah perempuan yang berani dan memiliki ketegaran hati. Ia pun cerdas nan bijak. Hal tersebut dapat kita lihat saat ia menghadapi pertanyaan kakeknya yang menyalahkan kepergian Abu Bakar tanpa meninggalkan harta untuk keluarganya.

Al Mishri menyebutkan bahwa Asma’ ra. menuturkan saat Rasulullah keluar dari Mekah, Abu Bakar membawa seluruh hartanya (Sekitar 5000 atau 6000 Dinar). Tiba-tiba kakeknya, Abu Quhafah, yang telah buta datang dan mengatakan bahwa ayah mereka telah membuat mereka susah karena tidak meninggalkan apapun. Asma’ membantahnya. Ia mengumpulkan batu dan menyusunnya di gudang rumah, lalu menutupnya dengan kain. Asma’ memegang tangan kakeknya di atas kain seraya mengatakan pada kakeknya itu semua harta yang ditinggalkan ayahnya untuk mereka. Setelah mengetahui semua itu sang kakek tidak khawatir lagi (2011: 81).

Dua potret kisah di atas telah memberi gambaran bahwa apa yang dilakukan Asma’ra. tidak mudah diemban, bahkan oleh seorang laki-laki pemberani sekalipun. Kecerdasan, keberanian, ketegaran hati, dan kemampuan mengendalikan emosi Asma’ teruji lagi.

Dapatkah kita bayangkan, pada malam yang gelap dan sunyi, seorang perempuan yang tengah hamil besar membawa makanan dan menempuh jalan yang cukup terjal dan jauh? Itu semua dilakukan oleh Asma’. Ia mendaki gunung yang cukup tinggi untuk mencapai Gua Tsur.

Al Mishri menyebutkan bahwa selama tiga malam, Asma’ mengantarkan bekal untuk Nabi dan Abu Bakar. Karena tidak membawa sesuatu untuk mengikat wadah makanan itu, Asma’ menyatakan bahwa hanya ada selendang di pinggangnya. Kemudian Abu Bakar menyuruhnya untuk membelah selendang tersebut menjadi dua. Asma’ pun mengikuti saran ayahnya. Ia mengikatkan makanan itu di selendangnya agar ayahnya dapat mengambilnya. Kemudian Rasulullah mendoakan Asma’, “Semoga Allah mengganti selendangmu dengan dua selendang di surga.Sejak itu Asma’ dijuluki dzaatun nithaaqain (perempuan pemilik dua ikat pinggang) (2011: 80).

Kelak, janin dalam kandungannya tersebut menjadi bayi pertama yang lahir di negeri hijrah. Abdullah bin Zubair namanya. Kelahiran tersebut mematahkan sihir mandul Yahudi yang ditujukan untuk kaum Muslimin. Asma’ mendidik anak-anaknya untuk  menjadi orang-orang yang bertaqwa. Di kemudian hari, mereka tumbuh menjadi sosok-sosok besar. Di antaranya adalah Abdullah yang menjadi khalifah dan ‘Urwah yang menjadi ulama ternama.

Terima kasih, duhai Perempuan Pemilik Dua Ikat Pinggang. Seluruh peran dan pengorbananmu menjadi sumber inspirasi tak ternilai bagi Muslimah masa kini.

 

Daftar Pustaka:
Al Bugha, Musthafa Dib, dkk. 2011. Syarah Riyadhus Shalihin I. Yogyakarta: Darul Uswah.
Al Ghadban, Munir Muhammad. 2009. Manhaj Haraki Strategi Pergerakan dan perjuangan Politik dalam Sirah Nabi. Jakarta: Rabbani Press.
Al Mishri, Mahmud. 2011. 35 Sirah Shahabiyah. Jakarta: Al I’tishom Cahaya Umat.
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2014. Sejarah Lengkap Rasulullah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.

Sejarah Partisipasi Politik Perempuan Indonesia Bagian I

0

Sejarah Partisipasi Politik Perempuan Indonesia Bagian I

Perempuan Indonesia telah terjun dalam dunia politik sejak dulu. Mereka tercatat perannya baik secara personal maupun organisasi. Beberapa di antaranya merupakan sosok pemimpin yang berhasil membawa negeri menuju kemakmuran. Berikut ini akan dikupas beberapa sosok muslimah yang menorehkan sejarah dalam perpolitikan di Nusantara.

Seorang perempuan tercatat memimpin daerah Aceh sekitar abad 14 Masehi (tahun 781 H/ 1389 M). Beliau adalah Sultanah Dannir. Namun, Sultanah ini tidak memerintah seluruh kawasan Samudra Pasai. Sejarawan Aceh, Taqiyuddin Muhammad, menyebutkan bahwa Sultanah Dannir hanya memerintah wilayah Pasai dan Kadah (kini Kabupaten Aceh Utara).

Penerus beliau adalah Sultanah Nahrasyiyah yang memerintah Samudra Pasai selama 22 tahun (1406 M–1428 M). Ayahnya yang juga merupakan seorang sultan telah membimbingnya dengan baik sehingga ia menjadi wanita yang terlatih dan terdidik. Pengangkatan Nahrasyiyah sebagai seorang sultanah pada saat itu telah mendapatkan dukungan dari rakyat Samudra Pasai, khususnya ulama, sehingga ia diberi gelar Ra-Bakhsyakhadiyu yang artinya Ratu Pemurah. Menurut Taqiyuddin, katara diterjemahkan sebagai kata imbuhan pada setiap awal nama dalam satu dialek bahasa di kawasan Asia Tengah, yaitu bakhsy berasal dari kata Persia yang berarti pemurah dan khadiyu berasal dari kata Persia khidiv (w) berarti raja, menteri, tuan. Taqiyuddin memaparkan, banyak faktor yang membuat Nahrasyiyah sukses dalam memimpin kesultanan Samudra Pasai. Salah satunya karena ia dibantu Shadr Al-Akabir (pemuka para pembesar; perdana menteri) seperti ‘Abdullah bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Yusuf bin Abdul Aziz bin Al-Manshur Abi Ja’far Al-Musthanshir bil-Lah. ‘Abdullah merupakan keturunan kelima Khalifah ‘Abbasiyyah Al-Musthanshir bil-Lah.

Kita beranjak pada Kesultanan Aceh Darussalam yang juga pernah dipimpin oleh seorang sultanah. Beliau adalah penerus Sultan Iskandar Muda dengan gelar Sultanah Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641–1675 M). Salah satu sepak terjangnya dalam dunia politik adalah mengadakan perubahan susunan anggota badan legislatif atau Majelis Mahkamah Rakyat yang terdiri dari 73 orang. Di antara 73 anggota tersebut, ditempatkan 16 wanita, antara lain Si Nyak Bunga, Si Halifah, Si Sanah, Si Nyak Bunga, Maimunah, Siti Cahya, Mahkiah, Si Nyak Puan, Nadisah, Si Nyak Caya, Si Habibah, Umi Puan, Siti Awan, Umi Nyak Angka, Si Mawar, dan Si Manis. Mereka ikut duduk dalam majelis untuk mengatur urusan negara dengan tujuan mempertimbangkan kebijaksanaan sultanah dan meneliti segala adat dan hukum yang layak disalurkan kepada rakyat agar tetap adil dan makmur bersama dengan pria.

Sekadar untuk diketahui, menurut sebuah naskah tua yang tersimpan dalam Perpustakaan Universitas Kebangsaan Malaysia di Bangi, Selangor, sebagaimana dipaparkan M. A. Hasjmy dalam bukunya 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, silsilah Ratu Tajul Alam Safiatuddin berasal dari Sultan Alaiddin Abdullah Malikh Mubin. Silsilah turunan Sultan Alaiddin sampai kepada Sultan Malik Ilik Khan Syah yang merupakan gubernur dari Daulah Abbasiyah di Bukhara, Turkistan, sehingga ia merupakan turunan dari Bani Seljuk, salah satu anak suku Turk yang mendiami Pegunungan Emas di Asia Barat, suku yang dikenal berdarah panas dan berani.

Tak heran, keberanian yang sama mengalir dalam diri sultanah ini sejak berusia tujuh tahun. Safiatuddin telah belajar bersama Iskandar Sani yang berasal dari Negeri Pahang, juga disertai putra dan putri dari istana lainnya. Mereka berguru pada ulama-ulama besar seperti Syaikh Hamzah Fanshury, Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, dan Syaikh Kamaluddin. Ulama tersebut merupakan guru besar pada Jami’ Baiturrahman pada waktu itu. Dengan keteguhannya, setelah menyelesaikan pendidikan, Safiatuddin telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Ia pun fasih dalam berbagai bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Juga menguasai ilmu fikih (hukum), hukum tata negara, ilmu sejarah, mantiq (ilmu logika), falsafah, tasawuf, sastra, dan lainnya. Hal tersebut dipaparkan M.A. Hasjmy dalam bukunya Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan.

Pada masa itu pun terkenal pula Hadih Maja (kata hikmah), seperti Adat bak Poteu Meureuhom, hukum bak Siah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak bentara. Artinya, adat dari Marhoem Mahkuta Alam, hukum dari Syiah Kuala, Qanun (undang-undang) dari Putri Phang dan resam dari bentara (Hulubalang). Hadih Maja tersebut, menurut M.A. Hasjmy, menunjukkan adanya pembagian kekuasaan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, seperti kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Sultan dan disebut dengan Poteu Meureuhom, kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum berada di tangan ulama, dalam hal ini Syaikh Abdurrauf yang menjabat sebagai Qadhi (hakim) diberi gelar dengan Syiah Kuala, kekuasaan legislatif yang berada di tangan Dewan Perwakilan yang dilambangkan dengan Putroe Phang atau Putri Pahang karena ia yang memberi nasihat kepada sultan untuk membentuk Majelis Mahkamah Rakyat, kemudian Peraturan keprotokolan atau disebut dengan reusam diserahkan pada Laksamana atau Panglima Angkatan Perang. Pada akhirnya, dalam Hadih Maja tersebut dinyatakan bahwa dalam keadaan apapun, antara adat, qanun, dan reusam tidak boleh terpisahkan dari hukum Islam.

Selama pemerintahannya, Safiatuddin banyak mendorong para ulama saat itu untuk menulis kitab, seperti kitab Hidayatul Iman Bi Fadlil Minan (Petunjuk Iman dengan Keutamaan Berbagai Anugerah) yang ditulis oleh Syaikh Nuruddin Ar-Raniry dalam bahasa Melayu. Kitab ini ditulis atas permintaan Safiatuddin untuk kepentingan rakyat umum. Ia juga meminta Syaikh Abdurrauf Fanshury As-Singkily untuk menulis kitab Miratuth Thullab (Anak Panah/ Kompas Para Penuntut Ilmu). Kitab tersebut ditulis untuk menjadi pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugasnya.

Selain itu, yang tidak kalah penting ialah Safiatuddin mendukung penerjemahan kitab Tafsir dalam bahasa Melayu, Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil (Tafsir Penerang Kitab yang Turun dan Rahasia Penafsiran Makna Al-Qur’an), disebut oleh penulis sejarah Aceh, H.M. Zainuddin, sebagai kitab tafsir pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut. Kitab tafsir tersebut diterjemahkan oleh Syaikh Abdurrauf Fansury dan akhirnya dinamakan dengan Turjumanul Mustafid (Terjemahan bagi Orang-orang yang Mau Memahami). Kitab tersebut disebut oleh ulama besar di Mekkah, salah satunya Syaikh Ahmad Pattany sebagai kitab tafsir terbaik pada zamannya.

Setelah Sultanah Safiatuddin Syah turun tahta, ia digantikan oleh putrinya sendiri yaitu Sultanah Nuru’l Alam Naqiyatuddin Syah yang memerintah dari tahun 1675 sampai tahun 1678 atau hanya tiga tahun saja. Sultanah ‘Inayat Zakiyatuddin Syah dengan gelar melayu Putri Raja Setia akhirnya naik tahta setelah menggantikan ibunya, Sultanah Nuru’l Alam Naqiyatuddin Syah, dan selama sepuluh tahun ia memerintah (1678–1688 M). Kemudian adik dari Sultanah Zakiyatuddin yang bernama Sultanah Kamalat Syah menggantikannya. Sultanah ini memerintah Kerajaan Aceh selama 11 tahun lamanya, dari tahun 1688 sampai tahun 1699 Masehi.

 

Oleh: Sarah Mantovani

Editor: Rira Nurmaida

3 Mitos KDRT

1
sumbergambar zarafaris.com
sumbergambar zarafaris.com
sumbergambar zarafaris.com

Oleh: Zara Faris

Dalam video klip singkat pada tautan berikut ini, https://youtu.be/u3PgH86OyEM sepasang laki-laki dan perempuan (diperankan oleh aktor) sedang berjalan melalui sebuah taman di London dan mulai berdebat. Dalam skenario pertama, perdebatan menjadi semakin intens, hingga si laki-laki mulai menganiaya si perempuan. Hampir bersamaan, pengamat sekitar mulai mengintervensi, dengan tegas mereka mengancam akan memanggil polisi. Dalam skenario kedua, perdebatan kembali memanas. Tapi, kali ini, si perempuan-lah yang menganiaya si laki-laki, bahkan  menyerang kepalanya dan mendorongnya ke tiang. Kali ini, para pengamat sekitar- yah, mereka hanya menonton saja, bahkan menertawakan apa yang mereka lihat.

Video ini menggarisbawahi standar ganda di tengah masyarakat terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sangat mengkhawatirkan. Ketika perempuan menjadi korban, mereka wajib dibantu; sementara laki-laki, ketika menjadi korban – yah, mereka tak pernah benar-benar menjadi korban, bukan?

Hubungan antara laki-laki dan perempuan selayaknya diatur atas dasar keadilan dan persetujuan yang bersifat timbal-balik. Tak seorang manusia pun seharusnya dianiaya atau dipermalukan oleh pasangannya, apapun gendernya. Kekerasan dalam rumah tangga sejatinya merupakan pengalaman yang merendahkan, menyakitkan, dan traumatis–dan ini terjadi pada laki-laki juga. Gerakan keadilan apapun yang benar-benar mencari solusi bagi pemulihan para korban KDRT, serta berupaya mencegah penyakit sosial ini, perlu mengakui bahwa KDRT bukan merupakan problem berbasis gender (gender-based problem), sehingga tidak memerlukan solusi yang berbasis gender pula (gender-based solution), seperti misalnya feminisme. Mengapa? Berikut ini adalah beberapa penangkal mitos penting yang menjelaskannya.

 Mitos 1: “KDRT merupakan hal yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan”

Persoalan KDRT hampir sebagian besar dimonopoli oleh lembaga-lembaga hak asasi perempuan dan feminis, maka korban hampir selalu diasumsikan sebagai perempuan.

Realita: Pada tahun 2012, laki-laki yang sudah menikah lebih banyak menderita kekerasan oleh pasangannya sendiri, daripada perempuan yang sudah menikah (Sumber: British Crime Survey).

Realita: Setidaknya 40% dari para korban KDRT sebenarnya adalah laki-laki (Sumber: Office for National Statistics).

Realita: di Amerika Serikat, sebuah studi awal menemukan bahwa dalam 70% kasus hubungan yang penuh dengan kekerasan sepihak (non-reciprocally violent relationships), perempuan adalah pelaku kejahatannya (Sumber: American Journal of Public Health).

Meski begitu, menyitir realita bahwa penyerangan oleh perempuan hampir sama banyaknya dengan yang dilakukan oleh laki-laki (bahkan kadang lebih banyak) sering ditanggapi dengan kemarahan yang berlebih oleh berbagai pihak masyarakat, termasuk para feminis. Hal ini seolah bahwa mengakui kemalangan korban laki-laki sama artinya dengan meniadakan atau merendahkan kemalangan yang dialami para korban perempuan.

Mengesampingkan sejenak pasangan heteroseksual dan menilik KDRT pada pasangan sesama jenis, sekali lagi kita menemukan realita yang mengherankan: di antara pasangan homoseksual, lesbian mengalami lebih banyak KDRT daripada para laki-laki gay!

Menurut penemuan Centers for Disease Control (sic: Centers for Disease Control and Prevention, CDC, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit- ed.) [1], 44% lesbian telah mengalami kekerasan seksual oleh seorang pasangannya (lebih dari dua-pertiganya, atau sekitar 29%, hanya oleh perempuan), dibandingkan dengan 35% perempuan normal dan 26% laki-laki gay, atau 29% laki-laki normal.

Kita bisa menyimpulkan bahwa para feminis serta pihak-pihak lain yang membela mitos tersebut, memiliki andil dalam mencerminkan laki-laki selalu sebagai agresor atau penyerang, dan perempuan selalu sebagai korban dalam rangka untuk melanjutkan bias terhadap laki-laki yang menghasilkan simpati, kebebasan, dan pembelaan bagi perempuan, serta menghapuskan toleransi bagi laki-laki.

Mitos 2: “Perempuan tidak bisa menyakiti laki-laki”

Beberapa orang menyatakan bahwa para pengamat di dalam video menertawakan kesusahan si laki-laki karena toh secara fisik ia lebih kuat, sehingga si perempuan tidak bisa benar-benar menyakitinya, dan dia (si laki-laki) memiliki kekuatan untuk membela dirinya sendiri terhadap si perempuan.

Realita: perempuan bisa sama menyakitkannya seperti halnya laki-laki. Sementara laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih besar daripada perempuan, para penyerang perempuan sangat mampu mengakibatkan kecelakaan fisik kepada laki-laki (terutama dengan penggunaan alat tertentu), serta memiliki kekuatan hukum dan psikologis untuk membungkam mereka setelahnya.

ManKind Initiative melaporkan kasus-kasus di mana laki-laki “telah dibuat terkapar dengan batangan-batangan besi, mendapatkan pecahan kaca dalam makanan mereka dan diserang dengan pisau. (Laki-laki) lainnya telah ditikam, dipukul di bagian muka dan diancam dengan kapak.” Parity, sebuah organisasi, merinci bahwa, dari sampel sejumlah korban laki-laki, “lebih dari setengahnya telah pernah diancam menggunakan senjata dan sebagian besar melaporkan berbagai bentuk cedera serius (sebagai hasilnya – ed.). Sepertiganya telah pernah ditendang pada alat kelaminnya, dan yang lainnya terbakar atau tersiram air panas, tertikam, atau terpukul oleh benda-benda berat.” Sehingga, perempuan pun dapat menyakiti laki-laki.

Bukan hanya itu saja, namun korban laki-laki lebih cenderung untuk tidak melaporkan apa yang terjadi pada mereka dibandingkan perempuan. Ketika mereka melakukannya, mereka ditanggapi dengan prasangka oleh kalangan luas atau diskriminasi oleh pihak-pihak yang berwenang, bahkan oleh pengadilan. Sedikit tindakan yang dilakukan polisi terhadap para penyerang perempuan, kecuali para laki-laki menunjukkan cedera yang berarti dan jelas terlihat.

Parity melanjutkan bahwa “tiadanya toleransi dan kebijakan-kebijakan pro-penangkapan nampak diarahkan lebih banyak terhadap laki-laki dan menawarkan sedikit perlindungan terhadap korban laki-laki yang sesungguhnya dan anak-anak mereka. […] Seorang korban laki-laki lebih dari dua kali berpotensi untuk ditahan daripada seorang penyerang perempuan ketika polisi menanggapi sebuah panggilan darurat.” Sekitar satu per lima korban KDRT laki-laki sendiri ditahan.

Jadi, tidak saja perempuan dapat menyakiti laki-laki, namun mereka dapat mengakitbatkan korban mereka ditahan ketika polisi datang–hanya karena ia seorang laki-laki.

Mitos 3: ““Kesetaraan Gender” akan menghasilkan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan”

Gerakan-gerakan seperti feminisme yang menyokong “kesetaraan gender” berjuang untuk menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan memiliki “kewenangan” (“entitlements”) yang sama dengan laki-laki, menempatkan mereka pada “lahan yang sejajar”.

Realita: dalam kebangkitan feminisme, dan dalam usaha untuk menjadi “sama” dengan laki-laki, berbagai pola yang ada menunjukkan bahwa perempuan menjadi semakin garang. Dilaporkan dalam  The Independent, kejahatan kekerasan oleh perempuan (female violent crime) pernah meningkat 12% hanya dalam jangka waktu 5 tahun – ini empat kali lebih cepat daripada peningkatan di kalangan pria. Pelanggaran-pelanggaran yang melibatkan wanita melakukan kekerasan, perampokan, pembunuhan serta kejahatan terkait narkoba (drug-related crimes), juga telah meningkat 250% sejak 1973. Selepas itu turut dilaporkan bahwa hingga tahun 2011, statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang didakwa melakukan KDRT meningkat empat kali lebih banyak dalam enam tahun terakhir, mulai dari 806 menjelang 2004-2005 hingga 3,494 orang pada 2009-2010.

Gerakan-gerakan sejenis feminisme yang menyokong “kesetaraan gender” berjuang untuk menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan memiliki “kewenangan” yang sama dengan laki-laki – tapi mereka tidak selalu berjuang untuk menyamakan tanggung jawab yang mendasari kewenangan-kewenangan tersebut.

Ketika perempuan hanya berjuang untuk mendapatkan semua “kewenangan” yang menurut mereka dimiliki oleh pria, tanpa tanggung jawab yang menyertainya, pada akhirnya mereka melakukan ketidakadilan yang sama dengan yang mereka tuduhkan telah dilakukan oleh para pria, karena ujungnya hanyalah sebuah tindakan melucuti kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri (a wielding of power for its own sake).

Dalam Islam, seorang perempuan berhak untuk dicukupi kebutuhannya–tetapi secara sebanding ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya, dan bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan membesarkan anak-anak mereka. Sebaliknya, seorang suami berwenang untuk menjadi “kepala” rumah tangga–tetapi ia bertanggung jawab atas kesehatan, serta tindakan istri dan anak-anaknya. Sehingga, dalam masyarakat Muslim saat ini, di mana “kewenangan” diperturutkan tanpa implementasi tugas-tugas yang mengikat, berbagai bentuk ketidakadilan seperti KDRT pun terjadi.

Dalam masyarakat Barat, dimana baik laki-laki maupun perempuan cenderung tidak memegang keputusan atau perjanjian atas nilai-nilai apa yang menjadi acuan hidup, rasa frustrasi dan kekacauan anarkis antara mereka tidak dapat dihindari. Perempuan bisa menghabiskan berabad-abad demi “kesetaraan” dengan laki-laki, tetapi mereka tidak pernah mempertanyakan apakah berbagai kewenangan yang dimiliki laki-laki sebenarnya mewakili nilai-nilai yang benar atau tidak.

Sehingga, bukan “kesetaraan gender” yang akan menghasilkan harmonisasi antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat manapun – melainkan pemahaman yang jelas dan persetujuan antara sepasang laki-laki dan perempuan mengenai apa yang mereka kehendaki dari sesama, serta peralihan terhadap sistem hukum yang tidak menyangsikan atau mencemooh kemalangan pihak manapun ketika ekspektasi-ekspektasi tersebut tidak terpenuhi.

 

Catatan kaki:

[1] LIhat: http://www.cdc.gov/violenceprevention/pdf/cdc_nisvs_ipv_report_2013_v17_single_a.pdf table 3.4 and 3.5, and http://www.cdc.gov/ViolencePrevention/pdf/NISVS_SOfindings.pdf at p.27

Diterjemahkan dari tulisan Zara Faris: 3 Myths on Domestic Abuse oleh Lisana Shidqina

 

Hijrah Studi Islam: Dari Berbasis Gender Ke Berbasis Wahyu

0
1 satu
sumber gambar: republika.co.id

Oleh: Henri Shalahuddin
Peneliti INSISTS bidang Gender

Selama bertahun-tahun meneliti perkembangan studi tentang gender, penulis sampai pada kesimpulan:  semakin banyak Perguruan Tinggi Islam yang berbondong-bondong mengintegrasikan paham keadilan dan kesetaraan gender (KKG) ke dalam studi Islam. Kasus-kasus parsial tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), meningkatnya angka perceraian, dan kejahatan terhadap wanita yang terjadi di sebagian masyarakat, menjebak para pemegang kebijakan negara untuk menata ulang konsep pendidikan dan perundang-undangan.

Kebijakan itu awalnya dipengaruhi oleh hasil kajian para sarjana Barat — dengan segala perbedaan nilai dan budaya yang melatarbelakanginya. Lalu, diambil kesimpulan secara acak bahwa telah terjadi kriminalisasi perempuan dalam sistem kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga maupun sebagai individu. Sebagian penelitian kemudian menggambarkan, seolah-olah sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini tidak sunyi dari pemiskinan, pembodohan dan pemarjinalan kaum hawa. Padahal, kasus-kasus sejenis juga menimpa kaum laki-laki. Hanya tidak ada penelitian khusus tentang kasus penindasan laki-laki.

Strategi-strategi seperti: women in development (WID), gender and development (GAD), hingga pengarusutamaan gender (PUG) yang diterapkan dalam pembangunan nasional, didasarkan pada asumsi tentang rendahnya daya saing dan kualitas perempuan. Konon, itu akibat mengakarnya ideologi patriarkhi di masyarakat yang lebih mengutamakan laki-laki. Karena itu dibangun logika: perlu pengutamaan perempuan. Singkatnya, melalui payung INPRES No. 9 Tahun 2000, PUG telah menjelma menjadi “rukun” baru dalam pembangunan nasional, termasuk pengembangan kurikulum studi Islam berbasis gender di lingkungan perguruan tinggi.

 

‘Genderisasi’ Studi Islam

 

Dalam konteks perguruan tinggi Islam, penerapan program PUG kedalam kurikulum pendidikan, termasuk studi Islam, dipandang telah menjadi suatu keniscayaan. Entah bagaimana pola awalnya, proses ‘genderisasi’ studi Islam cenderung berkembang begitu liar. Agama (Islam) dituduh sebagai sumber terjadinya bias gender. Tuduhan ini bukan dianggap lagi sebagai hal yang ganjil. Gelombang krisis kepercayaan, khususnya terhadap khazanah Tafsir dan Fiqh yang diduga lebih memihak laki-laki adalah fenomena yang menghegemoni banyak perguruan tinggi Islam. Dekonstruksi terhadap Ilmu Tafsir dan Fiqh, hingga ke ranah bahasa Arab al-Quran, telah menjadi corak baru studi Islam di beberapa perguruan tinggi Islam.

Dalam beberapa kasus, penulis menemukan terasingnya ruh dalam perkembangan studi Islam karena dipaksa harus tunduk pada nalar kesetaraan gender.  Hukum-hukum Islam yang digali melalui kaedah istinbathul hukm yang sangat ketat dan ilmiah sejak zaman Sahabat Nabi hingga ulama-ulama terkemuka, dengan gampangnya didekonstruksi ulang berdasarkan doktrin ‘jenis kelamin’.

Bahwa, hukum-hukum Islam adalah produk ahli fiqih yang kebanyakan laki-laki. Para ulama fiqh dan tafsir digambarkan sebagai rezim laki-laki yang bengis dan melanggengkan praktek patriarkhisme dalam Islam. Maka dekonstruksi terhadap studi Islam dipandang perlu dan mutlak untuk mendobrak kemapanan rezim yang merugikan pihak perempuan ini.

Bahkan dalam sebuah karya monumentalnya, seorang guru besar yang sudah seperti dianggap sebagai rujukan (marja’) tertinggi di bidang studi Islam berbasis gender menulis dalam bukunya: “Bahasa Arab yang “dipinjam” Tuhan dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias gender, baik dalam kosa kata (mufradat) maupun dalam strukturnya”. Kemudian beliau juga menegaskan: “Tidak ada jaminan bahwa ide atau gagasan Allah SWT 100% terwakili di dalam simbol bahasa arab.”

Dalam kesempatan lainnya beliau juga menulis: “Siapa sesungguhnya yang membahasa-arabkan al-Qur’an? Apa dari sono-nya, atau karena nabi yang akan menerimanya adalah orang Arab maka Jibril yang mentransformasikannya ke dalam bahasa Arab, atau wahyu yang terkadang turun dalam bentuk kode morse atau bunyi lonceng itu dirumuskan ke dalam bahasa Arab oleh Nabi Muhammad? Allahu a’lam.

Dengan adanya pengakuan akademis dari lembaga pendidikan tinggi terhadap ungkapan-ungkapan seperti di atas, maka tidak mengherankan jika kemudian salah satu pusat studi wanita (PSW) di perguruan tinggi Islam negeri dalam sampul belakang buku kumpulan abstrak skripsi, tesis dan disertasi secara lebih berani menyatakan: “Eksistensi itu lahir dari makhluk berkelamin laki-laki yang diyakini lebih gagah dan perkasa dibanding perempuan. Keberadaannya diamini dalam sepanjang sejarah melebihi makhluk manapun! Apakah ia sejatinya hadir sebagai lintah yang menghisap v****a dan p*****a semata?”

Masyarakat muslim Indonesia suatu ketika bisa jadi akan sangat terkejut menyaksikan realitas perkembangan studi Islam berbasis gender di perguruan tinggi dewasa ini. Letupan-letupan kecil mulai bermunculan.  Seperti fenomena dosen yang menginjak al-Quran dikelas, yang sebenarnya dibangun oleh perkembangan pemikiran ‘desakralisasi al-Quran’.

Sebenarnya studi Islam berbasis gender bertujuan untuk membangun kembali pemahaman terhadap teks-teks agama yang dipahami secara ekstrim oleh sebagian kalangan. Berkembanglah tuduhan bahwa studi Islam “gaya klasik” mempertahankan bias gender dan bahkan dianggap sumber kekerasan terhadap wanita. Sayangnya pola yang dikembangkan untuk menolak tuduhan bias gender dalam studi Islam, justru lebih dekat kepada konsep feminisme.  Pengajaran inklusif gender (gender inclusive teaching) di berbagai perguruan tinggi Islam dilakukan dengan menggunakan materi perkuliahan yang “ramah wanita”, dan diperkaya dengan kasus-kasus subjektif dari pengalaman ketertindasan perempuan yang bersifat individual.

Secara operasionalnya, studi Islam berbasis gender juga dilakukan melalui strategi pendirian  PSW atau Pusat Studi Gender (PSG),  penerbitan buku dan jurnal, penyusunan kurikulum, pelatihan-peltihan, serta menggalakkan kerjasama dengan lembaga-lembaga feminis dari dalam maupun luar negeri. Dengan dukungan dana yang cukup melimpah, baik dari pemerintah maupun donor asing, maka proyek-proyek pengembangan studi gender ini cukup leluasa dikembangkan. Kadang tanpa berpikir panjang terhadap dampak sosialnya.

Sedangkan secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di antaranya: i) Mencari justifikasi teologis yang mendukung ide kesetaraan gender untuk menolak teks-teks terkenal yang digunakan menindas perempuan. ii) Kritik terhadap gaya bahasa dan perspektif patriarkhi terhadap teks-teks wahyu. iii) Menampilkan perspektif perempuan dalam teks-teks wahyu. iv) Kritik sejarah terhadap teks-teks wahyu yang misoginis. Sebelumnya, metode-metode tersebut telah digunakan feminis Barat untuk membongkar pemahaman terhadap teks-teks Bibel yang patriarkhis.

Demikian juga berkenaan dengan isu-isu kesetaraan gender dalam studi Islam yang dikembangkan di banyak universitas, cenderung berorientasi kepada ideologi feminisme Barat.  Para aktivis studi gender ini seolah-olah mempercayai konsep-konsep kesetaraan gender ala Barat itu sebagai jawaban untuk semua masalah perempuan. Padahal budaya, ideologi dan konteks sosial perempuan di Barat tidak selalu sama dengan hukum dan ajaran Islam. Pendekatan feminis yang didasarkan kepada pengalaman subjektif tentang ketertindasan wanita berbeda dengan konsep ajaran Islam yang berbasis wahyu dan bersifat kekal di segala tempat dan zaman.

 

Hijrah Studi Islam

 

Secara umum, studi Islam berbasis gender yang dikembangkan dan berlangsung di beberapa universitas Islam di Indonesia berlawanan dengan khazanah intelektual Islam; baik dalam metode maupun hasil akhirnya. Perbedaan dalam memaknai konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti kesetaraan, keadilan, tsawabit-mutaghayyirat dan qat’iyyat-zanniyat sangat berperan memunculkan perbedaan mendasar antara pengusung perspektif gender dengan para ulama Islam dalam mengkaji isu-isu perempuan.

Misalnya,  apa yang di dalam konsep fiqih Islam sejatinya kewajiban dan beban (taklif) bagi laki-laki, boleh jadi dalam pandangan feminis dianggap sebagai bentuk dominasi laki-laki. Demikian halnya apa yang menjadi keringanan (rukhsah) untuk perempuan dalam ajaran Islam, di mata feminis, boleh jadi justru dianggap sebagai subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan.

Fakta bisa sama. Tapi, cara pandang (worldview) yang berbeda, akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Dalam struktur sosial di Barat, tidak ada konsep kepala rumah tangga laki-laki; tidak ada konsep istri taat suami; tidak ada konsep wali dan saksi  laki-laki dalam perkawinan; perempuan dan laki-laki dipandang sebagai makhluk individual yang setara dan bebas dari orang tua setelah mereka mencapai usia dewasa. Juga, tidak ada kewajiban suami mencari nafkah. Perkawinan adalah kesepakatan dan kontrak disertasi rincian-rincian. Dan yang paling mendasar: tidak ada konsep ibadah dan pertanggungjawaban di akhirat.

Perbedaan konsep perempuan dalam Islam dan dalam struktur sosial di Barat inilah yang sepatutnya dikaji dan dipahami, sebelum mengambil keputusan lebih jauh, menggusur konsep fiqih rumah tangga dan sosial Islam dengan paham kesetaraan gender.  Karena itu, keputusan pengembangan studi Islam berbasis gender sudah seyogyanya dikaji ulang. Sebab paham keadilan dan kesetaraan gender tidak bisa dipisahkan dari ruh gerakan feminisme. Ruh feminisme di Barat dilatarbelakangi oleh serangkaian sistem politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama yang menindas kaum wanita. Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak wanita yang paling asasi. Tetapi keragaman kepentingan, pengalaman ketidakadilan yang dirasakan wanita, serta banyaknya metode dan arah perjuangan yang ingin diwujudkan, pada akhirnya memunculkan beragam aliran, kelas dan konflik di kalangan internal feminis.

Maka, perlu ditentukan, di antara aliran-aliran feminis tersebut apakah ada yang sejalan dan mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam konsep wahyu? Mana yang harus diunggulkan jika terdapat pertentangan antara konsep wahyu dan ideologi feminis? Pertanyaan-pertanyaan ini ada baiknya menjadi perhatian sebelum menginternasionalisasi dan menggeneralisasi permasalahan perempuan Barat ke dalam studi Islam.

Sebab pada dasarnya, ajaran Islam mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan paham kesetaraan dan keadilan gender. Hukum-hukum syari’ah adalah bersifat permanen dan tidak dibangun berdasarkan budaya dan realitas sosial. Hukum Islam tidak begitu saja berubah menurut perubahan konteks dan kondisi kehidupan manusia, serta kasus-kasus partial dan temporal, kecuali melalui kaedah yang dibenarkan dalam Islam.

Karena itu, di awal tahun baru Hijriah ini, para akademisi muslim, sepatutnya merenung dan memutuskan untuk berhijrah pemikiran: dari pemikiran spekulatif menuju pemikiran berbasis wahyu yang dilandasi keyakinan hakiki,  jauh dari spekulasi akal yang liar. Wallahu wali taufiiq. (***)

Sumber: Islamia Republika edisi 15 Oktober 2015

Biodata Zara Faris

0

Zara Faris merupakan lulusan program Arabic & Islamic Studies dari SOAS University (School of Oriental and African Studies). Ia menghabiskan satu tahun di Mesir untuk mempelajari bahasa Arab. Sekarang, ia menjadi seorang peneliti dan pembicara internasional untuk Muslim Debate Initiative (MDI). Ia merupakan keturunan Kurdi/Pakistan.

Di seluruh penjuru Inggris, Zara telah menyampaikan kuliah pada sejumlah universitas, termasuk SOAS, KCL, UCL, Nottingham, Sussex, Brighton, Lincoln, Southampton, Keele, Hull, Bournemouth dan Kent University. Di antara tajuk yang ia bawakan antara lain: “Wanita dalam Islam”, “Keadilan bagi Wanita dan Pria”, “Feminisme”, “Reformasi dan Kebangkitan kembali”, dan “Muslim di Barat”. Ia biasa tampil di beberapa media termasuk di Channel Islam, Muslim World Network TV, Voice of Russia Radio, dll. Ia pernah berdebat di depan umum mengenai “Apakah Wanita Membutuhkan Feminisme?” dengan Pimpinan Green Party, Natalie Bennett, “Apakah Wanita Membutuhkan Feminisme?” dengan anggota dewan Rania Khan (Anggota Kabinet untuk Kebudayaan), “Islam atau Feminisme: mana yang betul-betul membebaskan wanita?” dengan jurnalis dan aktivis feminis, Julie Bindel, dan “Majelis ini mempercayai hukum Islam lebih adil daripada hukum Inggris”, dengan seorang hakim undang-undang Inggris dan QC (usulan dimenangkan oleh perubahan suara).

Di dunia internasional, Zara telah berbicara di Irlandia, bicara dan berdebat di Jerman (Goethe University), berbicara di Selandia Baru (dalam perjalanan 6 kota, oleh acara TV Voice of Islam), berbicara mengenai feminisme dan liberalisme di Malaysia, dan akan juga menjadi pembicara di Singapura pada awal Oktober.

Jilbab Indonesia, Antara Pelarangan dan Perjuangan

0

Hijab Our Right

“Hijab Our Right!”, seorang perempuan berjilbab membawa sebuah spanduk berisikan seruan tersebut. Bersama dengan ribuan lebih perempuan lainnya, ia dan para muslimah lainnya dari 30 negara turun ke jalan, memprotes larangan pemakaian jilbab di beberapa negara, antara lain Prancis dan Inggris.

Prancis sebagai salah satu negara yang hingga kini masih konsisten melarang penggunaan jilbab mendapatkan protes utama dari para demonstran yang terdiri dari berbagai latar belakang dan agama, protes tersebut terjadi di depan Kedutaan Besar Prancis dan berlangsung lebih dari 11 tahun yang lalu atau pada April 2004, sebagaimana dikutip sebuah situs Inggris inminds.co.uk.

Protes besar-besaran terhadap pelarangan penggunaan jilbab yang berlangsung hingga beberapa bulan membuat masyakarat internasional begitu prihatin, sehingga memaksa pemerintah di negara-negara yang melarang jilbab mengadakan sebuah konferensi untuk membahas tentang pelarangan tersebut di London, Inggris.

Konferensi yang dihadiri ratusan peserta delegasi dari 35 negara ini, seperti yang dikutip dari berbagai sumber, juga melibatkan 102 organisasi di Inggris. Di antara peserta konferensi tersebut hadir pula Syaikh Yusuf Qardhawi dan Prof. Tariq Ramadhan. Pada akhirnya, konferensi yang diadakan pada 04 September 2004 menghasilkan salah satu keputusan untuk menjadikan 04 September sebagai International Hijab Solidarity Day atau Hari Solidaritas Hijab Internasional.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? pelarangan dan diskriminasi terhadap perempuan berjilbab telah berlangsung sejak jaman Orde Baru bahkan sampai saat ini masih terdengar para perempuan belum mendapatkan haknya untuk mengimplementasikan perintah Allah yang di antaranya tercantum dalam surat An-Nuur ayat 31. Pelarangan dan diskriminasi tersebut telah membuat daftar panjang di negara yang telah dimasuki ajaran Islam sejak abad ketujuh Masehi.

  1. Pelarangan Jilbab Pada Orde Baru

Pelarangan jilbab pada masa orde baru pernah terjadi pada tahun 1979 dan berawal dari para siswi berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung, mereka dipisahkan dari teman-temannya yang tidak mengenakan jilbab pada kelas khusus,  namun mereka menolak. Mengetahui hal ini, EZ Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat saat itu segera turun tangan hingga pemisahan kelas itu akhirnya berhasil digagalkan.

Kemudian pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah. Para siswi yang dilihat tidak mengikuti aturan seragam sekolah nasional dengan memakai jilbab diteror oleh pemerintah, ada pula yang sampai dikeluarkan dari sekolah, karena pemakaian jilbab pada waktu itu dianggap pemerintah sebagai suatu motif politik, sebagaimana yang dipaparkan sejarawan International Islamic University of Malaysia (IIUM), Alwi Alatas dalam blog pribadinya tamaddunislam.wordpress.com.

 

  1. Pelarangan Jilbab di Makassar

Pelarangan jilbab kali ini bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh seorang oknum dosen di sebuah sekolah tinggi kesehatan di Makassar. Ketua STIKES Nani Hasanuddin Makassar, Yasir, M.Kes., pada Ahad (02/06/2013) memecat seorang dosennya yang berinisial HR, karena pada Kamis (30/05/2013) lalu, HR menggunting jilbab dan rok dua mahasiswinya.

Pengguntingan yang dilakukan HR di depan 100 mahasiswi angkatan 2012 tersebut sebagai efek jera dan hukuman, karena dua mahasiswi berjilbab ia anggap melanggar peraturan di kampus yang mewajibkan para mahasiswinya memakai celana dinas dan jilbab pendek. Selain itu, Asfi Raihan teman dari korban pengguntingan jilbab mengaku kepada hidayatullah.com, oknum dosen juga beralasan rok dan jilbab syar’i bisa menghalangi gerak saat melakukan tindakan terhadap pasien.

Admin Twitter STIKES Nani Hasanuddin kepada hidayatullah.com Ahad (02/06/2013) menerangkan bahwa pihak kampus sudah mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan oknum dosen tersebut. Setelah pihak kampus menegur dan menonaktifkan HR, pada hari yang sama, HR membuat surat permintaan maaf yang ditujukan pada mahasiswi Stikes dan umat Islam.

 

  1. Pelarangan Jilbab di Bali

Akhir tahun 2013 lalu, masyarakat muslim Indonesia dikejutkan dengan berita pelarangan jilbab di Bali yang menimpa seorang siswa SMAN 2 Denpasar bernama Anita Whardani. Meski dilarang, namun aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) tersebut tidak gentar, militansinya ia terus pergunakan untuk memperjuangkan haknya untuk berjilbab, walau di sisi lain ia harus mendapatkan cibiran dari guru dan teman-temannya karena telah membuat citra jelek pada sekolah dengan mengangkat kasus ini pada media massa nasional.

Berdasarkan penelusuran Hidayatullah Tv, saat itu Anita mengaku sejak kelas 1 semester 2 dia sudah meminta izin untuk berjilbab kepada guru bimbingan konseling dan kepala sekolah. Namun kepala sekolah tidak memberikan izin. Selama itu ia harus bongkar-pasang jilbabnya di sekolah. Kepada Hidayatullah Tv, kepala sekolah SMAN 2 Denpasar, Ketut Sunarta, mengaku tidak ada larangan berjilbab untuk pelajar Muslimah di sekolahnya, namun di sisi lain ia juga mengaku tidak punya hak untuk melarang dan tidak punya hak untuk memberikan izin.

Setelah melalui serangkaian diplomasi alot dan pemberitaan media massa nasional sejak akhir 2013, anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Parwoto dan Ni Made Sulastri ini akhirnya resmi diperbolehkan berjilbab pada 13 Januari 2014 dan kasusnya telah selesai.

Kasus pelarangan jilbab Bali tidak berhenti sampai pada Anita, hasil investigasi PII Bali pada saat itu melalui Sekretaris Umum PW PII Bali, Fatimah Azzahra mencatat, masih ada 40 sekolah negeri yang tidak mengizinkan pelajar Muslimah untuk berjilbab. Fatimah mengatakan, ada tiga jenis jawaban yang didapat. Pertama, melarang secara lisan dan tulisan. Kedua, memberi jawaban menggantung dengan mengatakan tidak tahu boleh atau tidak. Ketiga, menyuruh untuk meminta jawaban ke Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten setempat.

Menurutnya, pelarangan terjadi di SMPN, SMAN, dan SMKN di Denpasar, Badung, Kuta Selatan, Kuta Utara, Singaraja, Buleleng, Tabanan, dan Jembrana. Tim Advokasi Jilbab PII mendatangi satu-persatu sekolah tersebut dan menanyakan soal boleh-tidaknya siswi memakai jilbab di sekolah itu. Kebanyakan sekolah negeri, kata Fatimah, menyarankan untuk mendaftar di sekolah swasta Islam jika ingin berjilbab.

Meski demikian, seperti yang dikutip dari Hidayatullah Tv, PII juga melaporkan masih ada pula sekolah negeri di Bali yang membolehkan jilbab. Antara lain SMKN 1 Kuta Selatan dan SMPN 1 Bangli.

 

  1. Pelarangan Jilbab Anggota Wan-TNI

Rabu, 25 Maret 2015 menjadi hari yang bersejarah dalam dunia kepolisian, karena pihak Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) secara resmi mengumumkan telah mengizinkan para Polwan-nya untuk mengenakan jilbab melalui surat Keputusan Kapolri Nomor : 245/III/2015 tanggal 25 Maret, sebagaimana dikutip dari laman resmi humas.polri.go.id.

Namun tidak untuk anggota Wanita (Wan) TNI, melalui Panglima TNI Jenderal Moeldoko, pihaknya akan tetap mengakomodasi prajurit wan TNI yang ingin berjilbab saat melaksanakan tugas. Meski demikian, sebagaimana dikutip dari kompas.com, penggunaan jilbab hanya diperuntukkan bagi prajurit Wan TNI yang bertugas di Aceh. Hal tersebut ia sampaikan saat menanggapi pernyataan salah seorang prajurit Wan TNI sewaktu memberikan pengarahan pada 1.381 prajurit TNI, PNS, Dharma Pertiwi dan Komando Garnisun Tetap (Kogartap) III/Surabaya di Kodam V Brawijaya, Surabaya, Jawa Timur pada 29 Mei 2015 lalu.

Padahal, Rahmah El Yunusiyyah sudah memakai jilbab secara sempurna saat ia membidani lahirnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI pada 2 Oktober 1945. Ia juga terkenal sebagai pengayom barisan-barisan pejuang yang dibentuk oleh organisasi-organisasi Islam pada waktu itu, antara lain Lasykar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.

 

  1. Pelarangan Jilbab di Papua

Selain Bali dan Makassar, Papua juga punya rekam jejak mengenai pelarangan jilbab, salah satunya di Tolikara yang terjadi belum lama ini. Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) melalui Badan Pekerja Wilayah Toli (BPWT) dalam surat edarannya dengan Nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015 memberitahukan pada tanggal 13-19 Juli 2015 akan ada Seminar dan KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional. Terkait dengan kegiatan tersebut, pimpinan GIDI Wilayah Toli menuliskan tiga larangan yang salah satu poinnya adalah melarang Kaum Muslimat memakai Yilbab (Jilbab, red).

Surat tersebut ditandatangani atas nama Pendet Nayus Wendha bersama Sekretarisnya, Marthen Jingga pada tanggal 11 Juli. Tak ayal, surat yang telah banyak beredar di dunia maya tersebut akhirnya berefek pada pembakaran Masjid Tolikara dan puluhan kios di sekitarnya oleh para pemuda GIDI, sebagaimana dikutip dari kompas.com.

 

Perjuangan Panjang

Sejarah mengenai jilbab di Indonesia juga tidak terlepas dari sejarah perjuangan untuk menerapkan dan memakainya. Jauh sebelum Indonesia merdeka dan para muslimah Indonesia yang terdiri dari pelajar, mahasiswi dan Polwan memperjuangkan pemakaian jilbab pada sekolah atau institusi mereka, terdapat seorang perempuan asal Padang Panjang yang memperjuangkan pemakaian jilbab saat mengikuti Kongres Perempuan Indonesia kedua di Jakarta pada tahun 1935. Perempuan itu bernama Rahmah El-Yunusiyyah dan dia mewakili Kaum Ibu Sumaera Tengah (kini Sumatera Barat).

Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang menuliskan dalam Biografi Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusy, Rahmah bersama salah seorang pengurus Permi (Persatuan Muslim Indonesia) Ratna Sari, memperjuangkan soal kerudung dalam kongres tersebut, selain itu masih dalam kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.

Kemudian pada masa orde baru, Alwi Alatas dalam tulisannya Kasus Jilbab di Sekolah-sekolah Negeri di Indonesia, mencatat setelah peristiwa pelarangan jilbab yang terjadi di banyak sekolah karena SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional hingga ramainya isu wanita berjilbab yang menebarkan racun di pasar-pasar, menimbulkan reaksi dan kemarahan dari umat Islam yang akhirnya melahirkan revolusi jilbab. Ribuan mahasiswa dan pelajar yang terdiri dari 60 lembaga Islam se-Bandung di Universitas Padjadjaran berunjuk rasa pada awal November 1989. Selanjutnya mahasiswa dan pelajar kembali menggelar unjuk rasa menuntut kebebasan memakai jilbab pada 21 Desember 1989.

Sementara itu, masih dalam tulisan yang sama, Alwi mencatat, pembicaraan intensif mengenai masalah ini bergulir terus antara MUI dan Departemen P dan K yang diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM (Dikdasmen), Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru, yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak dan para siswa akhirnya bebas untuk berjilbab.

Pemakaian pakaian takwa tersebut butuh perjuangan yang begitu panjang, hingga kini kampanye pemakaian jilbab masih berlangsung, selain oleh organisasi-organisasi masyarakat dan organisasi pelajar atau mahasiswa juga digalakkan oleh komunitas-komunitas, antara lain Peduli Hijab, Hijab Alila milik ustadz Felix Siauw, Hijabographic, dan lainnya. Setiap tanggal 14 Februari, mereka berkampanye Gerakan Menutup Aurat yang dilaksanakan serentak secara nasional di berbagai daerah.

Sarah Larasati Mantovani

Peneliti Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia

Jilbab Indonesia dari Masa ke Masa

0
Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau Perempuan milik Kesultanan Kutaraja. Foto sekitar tahun 1903. Sumber : KITLV
Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau Perempuan milik Kesultanan Kutaraja. Foto sekitar tahun 1903. Sumber : KITLV
Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau Perempuan milik Kesultanan Kutaraja. Foto sekitar tahun 1903. Sumber : KITLV

 

Sejarah mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di Indonesia belum diketahui secara pasti, ranah mengenai sejarah pasti lahirnya dan perkembangan jilbab di Indonesia juga belum banyak diungkap dan tidak banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang mengaku sebagai jilbabers dan desainer jilbab itu sendiri.

Padahal, jika sejarah tersebut mau dikaji lebih dalam lagi akan ditemukan nama-nama mujahidah antara lain Tengku Fakinah dari Aceh dan Opu Daeng Siradju dari Sulawesi Selatan, selain Hajjah Rangkayo (H.R) Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah, Cut Nyak Dhien dan Nyai Ahmad Dahlan. Mereka yang disebut ini adalah pejuang muslimah pada masanya dan berjuang dengan jilbabnya.

Lalu pertanyaannya, sejak kapan Muslimah Indonesia memakai jilbab? Siapa yang pertama kali memelopori pemakaian jilbab di Indonesia? Kenapa masih ada daerah yang perempuannya masih belum berjilbab? Bagaimana model jilbab pada saat itu? Apakah modelnya sama seperti sekarang?.

Sumber tertulis mengenai sejarah jilbab Indonesia sebelum abad 20 memang masih belum banyak ditemukan, namun peneliti asal Prancis Denys Lombard, meletakkan sebuah ilustrasi menarik berjudul ‘an Achein woman’, seorang wanita Aceh dengan baju panjang dan jilbab tertutup rapat dalam bukunya ‘Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)’. Ilustrasi pakaian wanita Aceh tersebut ia ambil dari naskah Peter Mundy pada tahun 1637 atau empat tahun sebelum pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah pada tahun 1641. Ini artinya, perempuan Aceh sejak abad ke 17 sudah menutup auratnya.

Selain pakaian masyarakat biasa, jilbab juga menjadi pakaian dalam kesultanan, buku yang ditulis oleh Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (M.A. Hasjmi) berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu” pada halaman 206, juga memperkuat ilustrasi dalam buku Denys Lombard.

Hasjmi menerangkan, dalam tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muham­mad Said tahun 1683 M), rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah, dan keheranan mereka jadi bertambah setelah sebelumnya terkagum-kagum melihat Banda Aceh yang cantik dan permai, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan Agama Islam.

Tidak hanya itu, sumber lain mengenai jilbab Indonesia sebelum abad 20 juga ditemukan di situs media Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau KITLV, sebuah Institut Linguistik dan Antropologi yang dibangun atas kerjasama pemerintah Belanda dengan pemerintah Aceh. Dalam foto berjudul Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau terdapat seorang perempuan kesultanan Kutaradja dengan baju panjang dan selendang yang menutupi kepalanya, foto tersebut diambil sekitar tahun 1903 atau satu abad setelah berakhirnya Kerajaan Aceh Darussalam pada abad 19.

Ada pula tiga orang perempuan memakai selendang dan baju kurung panjang dengan seorang lelaki duduk di depan rumah mereka, foto tersebut diambil di Pantai Barat Sumatra sekitar tahun 1885. Foto tersebut diberi judul Mannen en vrouwen bij een woning, vermoedelijk op Sumatra’s Westkust atau Pria dan Wanita di rumah, seharusnya di Pantai Barat Sumatera.

Kemudian sekitar tahun 1900, juga terdapat foto para perempuan Aceh yang sudah berjilbab, meski jilbab mereka terlihat masih belum sempurna dan masih berupa selendang. Foto itu oleh KITLV diberi judul Atjehse mannen, vrouwen en kinderen op het station te Koetaradja atau laki-laki, perempuan dan anak-anak di Stasiun Kutaradja. Foto pada tahun yang sama juga ditemukan dalam foto lain dengan judul Vrouwen op Atjeh atau Perempuan di Aceh, dan foto dengan judul Minangkabause Vrouwen in de Padangse Bovenlanden atau Perempuan Minangkabau di Padang.

Identitas Asli Muslimah Indonesia

Pemakaian selendang sebagai awal dari pemakaian jilbab oleh perempuan Aceh seperti dalam foto-foto yang ditunjukkan KITLV juga mempengaruhi Cut Nyak Dhien dan mujahidah Aceh lain yaitu Pocut Baren. Saat Cut Nyak Dhien ditangkap Belanda pada 04 November 1905 sebelum diasingkan ke Jakarta dan akhirnya ke Sumedang, terlihat ia mengalungkan selendang di lehernya. Foto yang sama juga ditunjukkan Pocut Baren saat ia ditawan Belanda, foto ini dapat dilihat dalam buku Srikandi Aceh yang ditulis H.M Zainuddin.

Pada masa perkembangannya, pada awal abad 20, kita sudah banyak mendapati Muslimah yang sudah memakai jilbab secara tertutup, seperti Nyai Achmad Dahlan beserta pengurus Nasyiatul Aisiyah Muhammadiyah yang dikuatkan dengan foto-foto mereka dalam buku Api Sejarahnya Ahmad Mansur Suryanegara pada halaman 422 dan 424.

Tidak hanya itu, dalam buku G. F Pijper yang berjudul Fragmenta Islamica Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terdapat orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala. Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah.

“Kemudian guru agama datang, yaitu seorang wanita petani yang sehat dan mempunyai banyak anak. Dari pakaiannya yang tidak rapi itu kelihatan bahwa ia baru saja meninggalkan pekerjaan rumah tangganya. Yang membedakan dia dari wanita biasa di dedasa adalah kerudung putih di atas kepala (mihramah atau mihram menurut ucapan bahasa Sunda, bahasa Arabnya mahramah”.

Sementara itu di Sulawesi Selatan, terdapat salah seorang mujahidah berjilbab bernama Opu Daeng Siradju dengan nama kecil Famajjah yang lahir di Palopo pada tahun 1880. Penulis Biografi Opu Daeng Siradju : Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia, Drs. Muhammad Arfah dan Drs. Muhammad Amir, menyebutkan Opu Daeng Siradju dinamakan Opu karena ia keturunan bangsawan dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe’ Maraja yaitu Gowa, Bone dan Luwu dan gelar tersebut diberikan setelah ia menikah.

Pada 14 Januari 1930, ia menjadi ketua Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pada tahun 1950 pernah menjadi anggota TNI dengan pangkat terakhir sebagai Pembantu Letnan berdasarkan surat keputusan pemberhentiannya tanggal 25 Maret 1950 dengan Nomor 0066/Kmd/SKP/XVI/50.

Nuansa jilbab juga ditemukan dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia yang disusun oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani) pada foto Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) pada tahun 1929 di Jakarta, kemudian pada Konferensi Perikatan Perkumpulan Isteri Indoensia (PPII) yang berlangsung pada tanggal 14-15 September di Yogyakarta dan Kongres Perempuan Indonesia ketiga di Bandung pada tahun 1938.

Kemudian kenapa masih ada Muslimah yang belum berjilbab pada waktu itu? Apakah karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk menutupi seluruh auratnya?. Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, karena masalah ketauhidan pada waktu itu lebih utama daripada Fiqh, sehingga menutup aurat belum dibicarakan, hal ini ia sampaikan setelah mengisi acara Seminar Islam dan Nusantara yang diadakan Aliansi Pemuda Islam Indonesia (APII), di Gedung Djoeang, Menteng, Jakarta Pusat, pada 05 Juli 2015.

Selama ini seringkali terdengar pula, jilbab hanya dianggap sebagai budaya Arab dan bukan identitas Muslimah Indonesia ataupun warisan asli Nusantara yang diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Ternyata setelah ditelusuri dan dikaji, fakta sejarah tidak menunjukkan demikian, jilbab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia dari sejak berabad-abad yang lalu, meski pada awalnya hanya berupa kerudung yang ditaruh di atas kepala atau selendang.

Meski sejarah Hijab Indonesia, terutama pra maupun awal-awal Indonesia merdeka, pemakaiannya masih ada yang belum sempurna tapi sebagai Muslimah Indonesia kita tetap harus berjilbab sesuai syariat, apalagi jaman sekarang sudah banyak kitab-kitab maupun ulasan Fikih, baik online tentang wajibnya menutup aurat secara sempurna, tidak seperti jaman dulu.

Ilustrasi Peter Mundy dalam buku Denys Lombard, 'Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)', hlm. 365.
Ilustrasi Peter Mundy dalam buku Denys Lombard, ‘Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)’, hlm. 365.

 

Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau Perempuan milik Kesultanan Kutaraja. Foto sekitar tahun 1903. Sumber : KITLV
Vrouwen behonderende bij het sultanaat te Koetaradja atau Perempuan milik Kesultanan Kutaraja. Foto sekitar tahun 1903. Sumber : KITLV

 

Mannen en vrouwen bij een woning, vermoedelijk op Sumatra’s Westkust atau Pria dan Wanita di rumah, seharusnya di Pantai Barat Sumatera. Foto sekitar tahun 1885. Sumber: KITLV
Mannen en vrouwen bij een woning, vermoedelijk op Sumatra’s Westkust atau Pria dan Wanita di rumah, seharusnya di Pantai Barat Sumatera. Foto sekitar tahun 1885. Sumber: KITLV

 

Moskee voor vrouwen (Masjid Istri) in Pengkolan te Garoet. Mesjid Wanita di Garut. Foto sekitar tahun 1925. Sumber: KITLV
Moskee voor vrouwen (Masjid Istri) in Pengkolan te Garoet. Mesjid Wanita di Garut. Foto sekitar tahun 1925. Sumber: KITLV

 

5

Rahmah El Yunusiyyah di Kuala Simpang, Aceh pada tahun 1929.

Sumber: Buku Biografi Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El Yunusi: Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia, Riwayat Hidup, Cita-cita dan Perjuangannya, terbitan Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang, 1991.

Hikmah Dibalik Ayat Nusyuz

1

Hikmah Dibalik Ayat Nusyuz

An-Nisa, salah satu surat yang sering digugat oleh Feminis. Lebih spesifik lagi, mereka menggugat salah satu ayat dalam surat ini, yaitu ayat 34 (selain ayat tentang waris). Ayat ini, kata mereka, mendukung kekerasan terhadap perempuan, terutama pada “wadhribuu hunna” (dan pukullah mereka) pada baris keempat.

Ibnu Katsir memaparkan dalam tafsir Ibnu Katsir, nusyuz dalam surat an-Nisa artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz, ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya.

Pada ayat 34 sebelum kata wadhribuu hunna, Allah telah menyuruh para suami untuk memperlakukan istrinya yang nusyuz dengan menasehatinya secara baik-baik terlebih dulu, “kita harus utamakan nasehat”, jelas dosen Fahmu Nusus Qur’an dan Sunnah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Dr. Abdul Kholiq Hasan El-Qudsy yang merupakan alumni Islamic Science University, Sudan, belum lama ini.

Kemudian apa indikasi dari nusyuz tersebut? Yaitu adanya ketidaktaatan atau meninggalkan kewajiban sebagai istri. Menurut Dr. Hasan, adanya istri yang nusyuz, karena para suami tidak mempunyai sifat qawwam (kepemimpinan), “Jika laki-laki punya sifat qawwam maka tidak ada perempuan yang nusyuz”, terangnya lagi. Sifat qawwam di sini dalam Miitsaq al-Usroh (Piagam atau Tatanan Keluarga) yang dikeluarkan oleh International Islamic Committee for Woman and Child (IICWC) dan ditulis oleh para ulama di Timur Tengah dan Afrika, salah satunya syaikh Dr. Yusuf Qaradhawi, menyebutkan empat unsur sifat kepemimpinan, yaitu syura (musyawarah), perawatan, perlindungan dan nafkah.

Memberi nasehat kepadanya, terang Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an yang diterbitkan Gema Insani Press, merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Inilah tindakan pertama yang harus dilakukan oleh pemimpin dan kepala rumah tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan, yang memang senantiasa dituntut kepadanya dalam semua hal. Akan tetapi dalam kondisi khusus ini, ia harus memberikan pengarahan tertentu untuk sasaran tertentu pula. Yaitu, mengobati gejala-gejala nusyuz, sebelum menjadi genting dan berakibat fatal.

Namun jika nasehat yang diberikan tidak mempan juga, maka dalam kondisi seperti ini ditangani dengan tindakan kedua dengan memisahkan tempat tidur mereka. menurut Sayyid Quthb, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi suami apabila ingin memisahkan tempat tidur istrinya, yaitu pertama, pemisahan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan di luar tempat pasangan suami istri tersebut biasa untuk berduaan, kedua, tidak melakukan pemisahan di depan anak-anak karena hal tersebut akan menimbulkan dampak negatif bagi mereka, ketiga tidak melakukan pemisahan dengan pindah ke orang lain, dengan menghinakan istri atau menjelek-jelekkan kehormatannya dan harga dirinya karena yang seperti itu akan menambah konflik. Tujuan dari pemisahan tempat tidur itu ialah untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan istri dan merusak anak-anak.

Jika tindakan kedua ini tidak berhasil juga, masih ada tindakan terakhir yang sering disalahpahami maksudnya. Tindakan terakhir ini, terang Sayyid Quthb, walaupun lebih keras dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran institusi rumah tangga yang disebabkan oleh nusyuz.

Pemukulan yang dilakukan, bukanlah untuk menyakiti, menyiksa apalagi memuaskan diri. Juga tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar. Pemukulan yang dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Semua tindakan ini juga tidak boleh dilakukan jika kedua pasangan berada dalam kondisi rumah tangga yang harmonis.

Begitu pun, Ibnu Katsir dalam tafsirnya, para suami boleh memukul istri dengan pukulan yang tidak melukai. Sebagaimana yang pernah disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw., pernah bersabda saat haji wada’:

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang ma’ruf”.

Abu Dawud, Nasa’I, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kamu memukul hamba-hamba wanita Allah”. Maka, datanglah Umar ra. kepada Rasulullah Saw. seraya berkata, “kaum wanita sudah berani menentang suaminya”. Lalu Rasulullah Saw. memberikan izin untuk memukul mereka. Kemudian banyak wanita yang mengelilingi keluarga Rasulullah Saw. dengan mengeluhkan tindakan suami mereka. kemudian ia bersabda, “Sesungguhnya keluarga Muhammad telah dikelilingi oleh kaum wanita yang banyak, yang mengeluhkan tindakan suami mereka”. Maka, mereka (suami-suami semacam itu) bukanlah orang-orang yang baik di antara kamu. Rasulullah juga bersabda,

“Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya bagaikan Unta, yaitu dia memukulnya pada pagi hari, tetapi kemudian pada malam harinya mencampurinya”.

Ia juga bersabda,

“sebaik-baik kamu ialah orang yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya), dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku di antara kalian”.

Apabila tujuan telah tercapai, maka tiga tindakan tersebut harus dihentikan. Karena tujuan yang berupa ketaatan inilah yang memang diinginkan, yaitu ketaatan yang positif, bukan ketaatan karena tekanan. Karena ketaatan semacam ini tidak layak untuk membangun institusi rumah tangga yang merupakan basis jama’ah masyarakat. Sayyid Quthb menafsirkan, melakukan tiga tindakan tersebut setelah terwujudnya ketaatan istri kepada suami ialah perbuatan aniaya dan melampaui batas, seperti mencari-mencari cara untuk menyusahkan istri.

Mengenai otoritas pemimpin sendiri pun ada ketentuannya, yaitu tidak merendahkan, tidak menzhalimi, tidak menyalahgunakan. Lebih lanjut lagi dalam Miitsaq al-Usroh, “Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, karena keluarga merupakan unit sosial (gambaran kecil sebuah masyarakat) yang terdiri dari beberapa orang.  Maka harus ada kepemimpinan agar keluarga tidak rusak  dan hancur. Seorang laki-laki  layak untuk bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahannya karena fitrahnya, tabiat tubuh dan jiwanya.  Bukan kepemimpinan yang menaklukan atau monopoli dan pelampiasan tapi ia adalah tanggung jawab  dan  beban dalam memelihara keluarga dan menjaganya“.

Sehingga laki-laki atau suami yang shalih jika mendapati bidadari dunianya berbuat ketaatan dan dapat menyejukkan dirinya, maka ia akan bersyukur, namun jika ia mendapati bidadari dunianya itu tidak melakukan ketaatan, maka ia tidak akan berbuat zhalim, apalagi sampai melakukan kekerasan yang sesungguhnya sangat dilarang dalam Islam.

 

Sarah Larasati Mantovani

Peneliti Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia

Hari Keluarga Nasional, AILA Ajak Selamatkan Keluarga dari Virus Berbahaya

0

 

Dalam rangka Hari Keluarga Nasional yang jatuh pada hari Senin, 29 Juni 2015, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) melalui Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan, Dr. Dinar Dewi Kania, mengajak seluruh pihak agar menyelamatkan keluarga dari virus berbahaya dengan cara penguatan keluarga dan membuat program bagaimana menangkal virus tersebut.

“Selain penguatan keluarga, tentunya jangan lupa juga program bagaimana menangkal virus-virus berbahaya yang mengancam keluarga seperti feminisme dan LGBT”, terang Dr. Dinar Dewi Kania saat diwawancarai oleh thisisgender.com.

AILA juga meminta organisasi masyarakat dan pemerintah seharusnya serius dalam menghadang bahaya pemikiran dan membuat konseling bagi mereka yang sudah terjangkiti virus berbahaya ini karena menurut Dinar, hal ini merupakan fardhu kifayah.

“ini fardhu kifayah..dan jangan dianggap enteng”, pungkasnya.

Selain itu, AILA menentang LGBT dalam bentuk Gerakan propaganda karena mereka telah membuat program yang secara langsung atau tidak langsung menyasar orang normal.

Namun khusus bagi individu yang memiliki orientasi seksual berbeda ini, AILA ingin merangkul mereka untuk kembali kepada fitrahnya. Salah satunya dengan mengikuti program pendampingan yang sudah diinisiasi oleh AILA seperti Peduli Sahabat.

Rep: Sarah Mantovani

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now