Home Blog Page 8

Biarkan Perempuan Berlari Seperti Perempuan

0
Biarkan Perempuan Berlari Seperti Perempuan

Biarkan Perempuan Berlari Seperti Perempuan

(Salah Kaprah Pendidikan Gender)

Erma Pawitasari[1]

 

“Jangan lari seperti perempuan!”

“Jangan cengeng seperti perempuan!”

Di masa lalu, orang tua memotivasi anak laki-laki agar tegar, kuat, cekatan, dan terampil melebihi perempuan karena laki-laki adalah pemimpin dan pelindung perempuan. Perempuan diberi keleluasaan menjalani fitrah keperempuanannya: berdandan cantik, bergaun anggun, bersikap gemulai, berlindung di balik kejantanan laki-laki, melahirkan anak-anak, dan mengurus rumah tangga. Hari ini, perempuan justru dibuat malu berperilaku seperti perempuan.

Padahal, penelitian memang menunjukkan perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan: perempuan lebih memahami isyarat terselubung, cenderung enggan berbeda pendapat, lebih patuh aturan, lebih ekspresif, lebih ingin tahu urusan orang, dan lebih membutuhkan pujian. Laki-laki lebih fokus dalam menyelesaikan tugas, bertanggung jawab selaku pemimpin, lebih termotivasi secara internal [Eagly & Wood, 1991]. Perempuan memiliki angka lebih tinggi dalam dimensi Neuroticism yang meliputi kegelisahan, marah, depresi, rasa malu, dan faktor-faktor emosi lainnya. Dalam dimensi Interpersonal Traits, laki-laki lebih menunjukkan ketegasan dan dominasi sedangkan perempuan lebih menunjukkan kehangatan, kepatuhan, dan kasih sayang [Costa Jr., dkk, 2001]. Laki-laki cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi. Perempuan cenderung ekstrovert, mudah gelisah, mudah percaya, dan mengasihi [Feingold, 1994].

Perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan ini ditemukan dalam berbagai usia, periode sejarah, tingkat pendidikan, dan negara. Yang mengejutkan, perbedaan gender justru lebih kentara di negara-negara penganut kesetaraan gender, seperti di Eropa dan Amerika. Tingkat depresi kaum perempuan Barat juga ditemukan lebih tinggi dibandingkan perempuan dari negara-negara Timur [Costa Jr., dkk, 2001].

 

Anatomi Otak

Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan anatomi otak. Fase pertumbuhan dan strukturnya berbeda [Jensen & Nutt, 2014]. Pada bagian supratentorial (otak atas), laki-laki memiliki intrakoneksi hemipheris lebih tinggi, sementara koneksi antarhemipheris dan antarmodule lebih banyak ditemukan pada otak perempuan. Namun, pada cerebellar (otak bagian bawah), terjadi sebaliknya [Ingalhalikar, dkk, 2013]. Jaringan korteks otak perempuan lebih tebal daripada laki-laki [Luders, dkk, 2006]. Gray Matter (zat abu-abu) pada otak laki-laki terfokus pada bagian kiri hemispher, sedangkan perempuan merata [Gur, 1999].

anatomi otak

Gambar 1

[Atas] Koneksi otak laki-laki. [Bawah] Koneksi otak perempuan. Garis biru adalah koneksi intrahemispheris, garis oranye adalah koneksi interhemispheris.

 

Motivasi dan Cara Belajar

Para ahli psikologi pendidikan secara konsisten menemukan tingkat depresi yang lebih tinggi pada murid-murid perempuan, walaupun prestasi akademisnya lebih bagus [Dwyer & Johnson, 1997; Pomerantz, dkk, 2002]. Murid-murid perempuan cenderung mengkritisi diri secara berlebihan dan sulit beradaptasi menghadapi kegagalan [Rubie, dkk, 1993]. Angka Fear of Failure (FF) murid perempuan lebih tinggi. Ketika merasa gagal, mereka justru kehilangan motivasi. Murid laki-laki tidak mengalami kondisi serupa [Vollmer & Almas, 1974].

Motivasi dan Cara Belajar

Gambar 2

Perbandingan nilai rapor antara siswa dan siswi tingkat SMA di Amerika. Tahun 1990-2009 terlihat konsistensi nilai rata-rata siswi lebih tinggi daripada siswa.

 

Murid perempuan lebih ingin menyenangkan orang tua dan guru [Alper, 1977]. Kedekatan dengan pendidik ditengarai sebagai motivasi meraih nilai tinggi [Steinmayr & Spinath, 2008]. Di bidang bahasa, murid-murid perempuan menunjukkan prestasi lebih baik dikarenakan kecerdasan verbalnya [McGeown, dkk, 2011]. Murid-murid laki-laki cenderung menyukai bidang studi eksakta yang langsung berhubungan dengan angka-angka. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan untuk memahami matematika, bahasa, dan ilmu-ilmu lain secara setara, namun memerlukan pendekatan, motivasi dan cara belajar yang berbeda. Keduanya juga memerlukan rentang usia belajar yang berbeda dikarenakan perkembangan otak dan kedewasaan yang tidak identik [Jensen & Nutt, 2014].

 

Pendidikan Berbasis Gender

Penelitian tentang pendekatan belajar yang lebih efektif untuk masing-masing gender telah lama dimulai [Keightley, 1977]. Salah satunya dengan mengadakan kelas/sekolah terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hasil belajar siswa di sekolah khusus laki-laki atau perempuan secara konsisten menunjukkan prestasi yang lebih baik dibandingkan kelas campur. Lulusan sekolah terpisah lebih banyak yang berhasil melanjutkan ke bangku kuliah atau jenjang pendidikan lebih tinggi [Park, dkk, 2013]. Penelitian dari Universitas Cambridge, UK, menemukan bahwa kelas terpisah telah meningkatkan hasil belajar anak laki-laki karena memudahkan mereka berkonsentrasi [BBC News, 2015]. Proyek percobaan (pilot project) dari Universitas Stetson di Florida, AS, di Woodward Avenue Elementary School menunjukkan peningkatan hasil tes yang signifikan pada kelas terpisah.

 SiswaSiswi
Kelas campur37% berhasil59% berhasil
Kelas terpisah86% berhasil75% berhasil

 

Tabel 1

Perbandingan hasil tes antara kelas campur dan kelas terpisah

 

Sistem belajar terpisah memberi kesempatan murid-murid perempuan mengeksplorasi diri secara maksimal, terutama dalam mata pelajaran yang biasa didominasi laki-laki, seperti olah raga dan sains. Mereka tidak merasa dianggap sebagai pelengkap sehingga menghambat rasa percaya diri untuk menguasai mata pelajaran tersebut [Kessels & Hannover, 2008]. Diskusi mendalam tentang anatomi tubuh dan cara perkembangbiakan manusia dapat dilakukan tanpa merasa malu terhadap lawan jenis. Murid-murid perempuan menunjukkan hasil belajar biologi dan sains yang lebih baik dalam kelas khusus perempuan [Johnson & Winterbottom, 2011]. Fenomena ini juga ditemukan di negara berkembang seperti Uganda [Picho & Stephens, 2012] dan Kenya [Chetcuti & Kioko, 2012].

 

Melawan Fitrah

Pendidikan gender seharusnya bertujuan memahami karakter masing-masing gender, mengoptimalkan potensi laki-laki dan perempuan, untuk meningkatkan kualitas hidup keduanya. Pendidikan gender yang benar tidak hadir untuk membunuh perbedaan dan menggiring manusia melawan fitrahnya. Simposium pendidikan perempuan yang diadakan USAID (2000) menyatakan bahwa pendidikan terbaik bagi perempuan bukanlah sekedar memberi kesempatan perempuan masuk kelas, melainkan menyediakan kurikulum yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan perempuan. Sebagai contoh, kurikulum yang mengakomodasi cuti menstruasi dan cuti untuk membantu orang tua mengurus adik-adiknya.

Kurikulum pendidikan berbasis gender seyogyanya mendidik laki-laki menjadi laki-laki, perempuan menjadi perempuan. Laki-laki sebagai pemimpin, pelindung, penanggung jawab dan penjamin nafkah kaum perempuan dan anak-anak [QS. an-Nisa’ 34]. Perempuan menjadi pendamping yang menyenangkan [QS. al-Baqarah 223], kawan diskusi yang cerdas [QS. at-Taubah 71], serta memberikan pondasi kehidupan yang solid bagi penerus generasi berupa pendidikan dalam kandungan, Air Susu Ibu (ASI) dan pengasuhan yang penuh kasih sayang [QS. al-Baqarah 233]. Kesiapan memasuki dunia rumah tangga menurunkan tingkat stres dan depresi pada ibu-ibu muda [Davis, 2008; Grote & Bledsoe, 2007].

Pendidikan gender hari ini telah ditunggangi ideologi kebebasan, menjauhkan manusia dari fitrah bahkan menjadi ajang promosi gaya hidup transeksual. Ide kesetaraan gender berujung pada kebebasan memilih dan mengganti jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki boleh bertukar peran gender. Suami menjadi bapak rumah tangga, istri mencari nafkah di luar. ASI disubstitusi susu sapi. Berita kehamilan Thomas Beatie menjadi puncak keberhasilan perjuangan gender: Laki-laki bisa hamil. Padahal, Beatie dulunya memang perempuan. Ia hanya mengoperasi kelamin luarnya. Organ dalam tubuhnya tetaplah perempuan. Beatie menjalani serangkaian prosedur operasi kelamin yang rumit untuk menjadi laki-laki, pada akhirnya kembali menjalani fitrah keperempuanannya: melahirkan anak. Fenomena serupa dijumpai pula pada komunitas laki-laki transgender. “Perempuan buatan” itu didapati kembali menyukai perempuan, lalu mengklaim diri sebagai lesbian [McHugh, 2004].

Inilah kekacauan yang ditimbulkan oleh ide kesetaraan gender. Manusia bingung dengan identitas gendernya, bahkan menggugat Tuhan salah memilihkan jenis kelamin. Kaum transgender dibuat bangga dengan organ palsunya, yang tak mampu memproduksi ASI maupun sperma. Kaum perempuan dibuat ragu untuk menjalani perannya sebagai perempuan. Perempuan yang patuh dianggap lemah. Perempuan yang meminta nafkah disebut manja. Perempuan dituntut untuk mandiri, ikut menanggung ekonomi. Pendidikan perempuan diarahkan untuk mengambil tugas ekonomi laki-laki dan menjauhkan dari tugas sebagai istri dan ibu [Agency for International Development, 2000]. Kaum laki-laki terbuai hingga melupakan tanggung jawabnya sebagai qowwam ‘ala an-nisa’ (pelindung kaum perempuan). Ikan dipaksa terbang, melupakan kodratnya untuk berenang. Sepandai-pandainya ikan terbang (flying fish), air tetaplah habitatnya. Ia tidak benar-benar terbang. Ia hanya meloncat sekuat tenaga.

Kehidupan masyarakat menjadi timpang. Laki-laki kehilangan pekerjaan, sementara anak-anak kehilangan ibu [Pawitasari, 2015].Pendidikan berorientasi materialisme menjauhkan perempuan dari keinginan berumah tangga dan memiliki anak [Waite &Spitze, 1978]. Semakin tinggi pendidikan yang ia raih, semakin ia dihadapkan pada pilihan sulit antara karir dan rumah tangga; antara ijazah dan fitrah.Biarkan perempuan menikmati hidup sebagai perempuan dan laki-laki sebagai laki-laki.

“…Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain…” [QS. an-Nisa’ 34]

 

Daftar Pustaka:

Agency for International Development (IDCA), “Increasing Girls’ Educational Participation and Closing the Gender Gap: Basic Education or Girls’ Education?”, Symposium on Girls’ Education: Evidence, Issues, Actions. Proceedings. (Washington, DC, May 17-18, 2000).

Alper, “Where Are We Now? Discussion of Papers Presented in the 1975 AERA Symposium on Sex Differences in Achievement Motivation and Achievement Behavior”, Psychology of Women Quarterly, Vol. l(3) Spring 1977.

Chetcuti &Kioko, “Girls’ Attitudes towards Science in Kenya”, International Journal of Science Education, Vol. 34,No. 10, 2012.

Costa Jr., dkk, “Gender Differences in Personality Traits Across Cultures: Robust and Surprising Findings”, Journal of Personality and Social Psychology, Volume 81, No. 2, 2001.

Davis, “Oh No, Nothing, We Didn’t Learn Anything”: Sex Education and the Preparation of Girls for Motherhood, c.1930-1970, History of Education, Vol. 37,No. 5 Sep 2008.

Dwyer &Johnson, “Grades, accomplishments, and correlates”, dalam Willingham & Cole (ed), Gender and Fair Assessment, Mahwah, NJ: Laurence Erlbaum, 1997.

Eagly &Wood, “Explaining Sex Differences in Social Behavior: A Meta-Analytic Perspective”, Personality and Social Psychology Bulletin Vol. 17, 1991.

Feingold, “Gender differences in personality: A meta-analysis”, Psychological Bulletin, Vol 116 (3), Nov 1994.

Grote & Bledsoe, “Predicting Postpartum Depressive Symptoms in New Mothers: The Role of Optimism and Stress Frequency during Pregnancy”, Health & Social Work, Vol. 32,No. 2, 2007.

Gur, “Sex Differences in Brain Gray and White Matter in Healthy Young Adults: Correlations with Cognitive Performance”, The Journal of Neuroscience, 19(10), 1999.

Harrison & Lynch, “Social Role Theory and the Perceived Gender Role Orientation of Athletes”, Sex Roles, Vol. 52, No. 3/4, February 2005.

Ingalhalikar, dkk, “Sex differences in the structural connectome of the human brain”, Proceedings of the National Academy of Sciences, Vol. 111 No. 2, 2013.

Jensen&Nutt, “The Teenage Brain”, 2014.

Johnson & Winterbottom, “Supporting Girls’ Motivation in Science: A Study of Peer- and Self-Assessment in a Girls-Only Class”, Educational Studies, Vol. 37, No. 4, 2011.

Keightley, “Sex Differences In Student Preferences For, And Perceptions Of, Learning Outcomes And Classroom Activities In Year 11 Biology”, Researchin ScienceEducation, Vol. 7, 1977.

Kessels&Hannover, “When being a girl matters less: Accessibility of gender-related self-knowledge in single-sex and coeducational classes and its impact on students’ physics-related self-concept of ability”, British Journal of Educational Psychology, Volume 78, Issue 2, June 2008.

Krampen, dkk, “Gender differences in personality: Biologicaland/or psychological?”, European Journal of Personality, Vol. 4, 1990.

Luders, dkk, “Gender effects on cortical thickness and the influence of scaling”, Human Brain Mapping, 27(4), 2006.

McGeown, dkk, “Gender differences in reading motivation: does sex or gender identity provide a better account?”, Journal of Research in Reading, Volume 3, Issue 2, 2011.

McHugh, Paul, “Why We Stop Doing Sex Change Operations”, First Things: Journal of Religion and Public Life, November 2004.

Park, dkk, “Causal Effects of Single-Sex Schools on College Entrance Exams and College Attendance: Random Assignment in Seoul High Schools”, Demography, Volume 50, Issue 2, April 2013

Pawitasari, Erma,Muslimah Sukses Tanpa Stres, Jakarta: Gema Insani, 2015.

Picho & Stephens, “Culture, Context and Stereotype Threat: A Comparative Analysis of Young Ugandan Women in Coed and Single-Sex Schools”, Journal of Educational Research, Vol. 105,No. 1, 2012.

Pomerantz, dkk, “Making the grade but feeling distressed: Gender differences in academic performance and internal distress”, Journal of Educational Psychology, Vol 94(2), Jun 2002.

Steinmayr& Spinath, “Sex Differences in School Achievement: What Are the Roles of Personality and Achievement Motivation?”, European Journal of Personality, Eur. J. Pers. 22, 2008.

Waite &Spitze, “Female Work Orientation and Marital Events. The Transition to Marriage and Motherhood”, American Sociological Association, 1978.

[1] Dosen Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis dan Teologis)

3

Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis dan Teologis)
Oleh: Ayub*

 Pendahuluan

Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi objek perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat manusia. Norma masyarakat yang  mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan atas norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat  setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Gerakan LGBT bermula di dalam masyarakat Barat. Cikal bakal lahirnya gerakan ini adalah pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di London tahun 1970.[1] Gerakan ini terinspirasi dari gerakan pembebasan sebelumnya di Amerika Serikat tahun 1969 yang terjadi di Stonewall.[2] Kampanye LGBT berfokus pada upaya penyadaran kepada kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender dan masyarakat umum bahwa perilaku mereka bukan penyimpangan sehingga mereka layak mendapatkan hak-hak seksual sebagaimana orang lain.

Di Indonesia, gerakan kampanye menuntut legalitas LGBT juga marak dan mendapatkan dukungan penting dari akademisi dan pegiat feminisme.[3] Mereka bergerak  dari ranah politik hingga teologi. Di bidang politik, usaha ini diwujudkan dengan mengupayakan lolosnya undang-undang yang memberikan celah bagi pernikahan sesama jenis. Peneliti INSISTS, Rita Soebagio menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang digodok di parlemen hingga tahun 2014  memiliki celah tersebut.[4]  Sementara itu, kampanye di bidang teologis dilakukan dengan membongkar bangunan keagamaan yang selama ini menjadikan heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan seksualitas manusia. Contoh yang mencolok dan cukup terkenal adalah publikasi ilmiah Fakultas Syari’ah IAIN Wali Songo dalam jurnal Justisia edisi 25, Th. XI 2004. Akademisi muslim liberal yang menulis di dalam jurnal tersebut secara tegas mendukung semua jenis ekspresi seksual dan mengajak masyarakat untuk setuju terhadap legalisasi perkawinan sejenis dan pengakuan untuk para penyimpang seksual lainnya.[5]

Masalah teologis selama ini memang menjadi titik penting di dalam perdebatan homoseksualitas dan LGBT secara umum. Perlawanan masyarakat yang religius—khususnya Islam—adalah tantangan besar bagi legalisasi hak-hak seksual kaum LGBT. Colin Spencer mencatat bahwa negara-negara Islam/mayoritas Muslim masih menjadi tempat yang tidak mengakomodasi hak seksual homoseks dan LGBT.[6] Karena itu,Karena itu, wajar apabila upaya pembongkaran terhadap ajaran agama yang dianggap heteronormatif giat dilakukan oleh akademisi muslim pendukung LGBT di negara mayoritas muslim seperti Indonesia.

Selain melakukan kampanye dengan dalih teologis, penganjur legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi. Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Desorder), homoseksulitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi olah APA dari DSM  maka  LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal.[7]

Berdasarkan penjelasan di atas, maka fenomena LGBT perlu mendapatkan kajian serius dari umat Islam. Makalah ini akan membahas persoalan LGBT dari perspektif psikologis dan teologis dengan membatasi bahasan pada persoalan homoseksualitas. Istilah homoseksualitas di dalam makalah ini dapat dilihat di dalam dua aspek, pertama sebagai sebuah rasa ketertarikan secara seksual (sexual orientation) kepada sesama jenis, baik laki-laki kepada laki-laki maupun perempuan kepada sesamanya. Istilah ini juga bisa digunakan untuk merujuk kepada kegiatan seksual (sexual acts or behavior) yang dilampiaskan kepada sesama jenis.[8] Karena itu, istilah ini mencakup gay dan lesbian.

Homoseksualitas Dalam Diskursus Psikologi

Perkembangan diskursus homoseksualitas di dalam psikologi sangat dipengaruhi oleh basis epistemologi ilmu ini.  Karena itu, perlu untuk membahasnya secara ringkas terlebih dahulu. Psikologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yang berarti ilmu tentang jiwa. Secara istilah psikologi adalah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia. Psikologi modern dinyatakan independen ketika Wilhelm Wundt mendirikan  laboratorium  psikologi pertama di Leipzig tahun 1873.[9]  Suatu ilmu tentu akan dipengaruhi oleh worldview peradaban tempat ia lahir, termasuk psikologi[10].  Pengaruh  worldview Barat di dalam landasan epistemologi psikologi akan akan nampak bila  melihat lanskap intelektual kelahirannya. Ilmu ini lahir pada kembangkitan intelektual  Barat yang kedua ditandai dengan berkembangnya epistemologi empirisisme.[11]Paradigma empirisisme inilah yang selanjutnya menyulut perkembangan psikologi modern dalam memandang jiwa manusia.

Dalam sejarahnya  ada beberapa paradigma yang berkembang di dalam psikologi, tapi semuanya masih di atas koridor empirisisme. Hal itu membuatnya tetap menolak mengaitkan sesuatu yang spritual dengan jiwa manusia. Sebelum Wundt pemikiran psikologi disamapaikan antara lain oleh John Locke (1623 – 1704) dan James Mill (1773-1836). Mereka mengkaji jiwa dengan prinsip-prinsip kausalitas dan melahirkan aliran Association. Selanjutnya psikologi menjadi sangat dipengaruhi oleh metode eksperimental fisika, sehingga lahirlah aliran Strukturalisme. Aliran ini memandang jiwa sebagai bagian-bagian yang berhubungan dalam satu sistem. Tokohnya antara lain adalah William Wundt (1832-1920). Berikutnya muncul aliran Fungsionalisme yang mengkaji jiwa sebagai daya hidup dinamis dan pragmatis yang mendorong aktivitas tingkah laku dalam hubungannya dengan lingkungan. Tokoh-tokohnya antara lain John Dewey (1859 – 1952). Usaha untuk memadukan kedua aliran ini adalah teori Gestalt. Setelah itu muncul Sigmund Freud (1856 – 1939) dengan teori psikoanalisis yang mendalami alam bawah sadar melalui konsep id, ego, dan superego. Aliran ini dianggap terlalu subjektif sehingga muncul Behaviorisme dengan tokoh antara lain B.F. Skinner (1904 – 1990). Behaviorisme dianggap puncak dari psikologi empiris yang melihat jiwa secara positivisik dan mekanis.[12]

Perkembangan psikologi pasca Behaviorisme masih tetap empiris. Reaksi terhadap positivisme reduksionis sesungguhnya terlihat pada psikologi Humanis yang dikembangkan antara lain oleh Abraham Maslow, begitupula psikologi transpersonal. Namun demikian keduanya tidak luput dari kritikan dalam cara mereka menggambarakan manusia. Psikologi Humanistik memang memuliakan manusia lebih dari determinisme biologis Psikoanalisis atau mekanis Behaviorisme. Tapi psikologi Humanis dinilai sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia   dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play-God (peran Tuhan).[13] Begitu pula psikologi Transpersonal, konsep spritual yang disebut oleh pelopornya seperti Frakl adalah neotic yang dimaknai sebagai sumber aspirasi manusia  untuk hidup bermakna, dan sumber dari kualitas-kualitas insani.[14] Pemaknaan ini masih dalam koridor empirisisme dan menolak kaitan jiwa dengan sesuatu yang metafisik.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa ilmu psikologi, dengan semua aliran arus utamanya dibangun di atas epistemologi Barat yang sekuler.[15] Dampaknya adalah penolakan terhadap jiwa spritual sehingga terjadi reduksi terhadap konsep jiwa. Hilangnya jiwa yang spritual ini diakui oleh Otto Rank, salah satu murid terbaik Freud penelitian

 

Prescientific and nonscientific psychology has always been the true psychological dicipline and the source of all psychologies including those that study the soul scientifically. Scientific psychology which seems to know very little about the soul claims to seek the truth about it, but reject the contribution of ancient beliefs…to explain it. It performs experiment which seem always to prove that the soul does not exist.[16] 

Otto Rank melihat psikologi saintifik gagal mengenali jiwa karena menolak interpretasi religius dan spritual. Metode eksperimen yang dilakukan oleh psikologi modern justru mengarahkannya untuk semakin menjauhi konsep jiwa spiritual tersebut. Pada saatnya sikap ini berdampak pada diskursus homoseksualitas dimana pandangan-pandangan terhadap fenomena ini yang berasal dari pandangan agama akan dikesampingkan.

Epistemologi sekuler tidak mengakui wahyu sebagai sumber ilmu, sehingga semuanya bergantung kepada indra dan nalar yang penemuannya terus berubah.[17] Proses ekplorasi nalar dan indra tersebut bersifat resiprokal dengan nilai-nilai di dalam tatanan sekuler yang ever shifthing, selalu berubah.  Di dalam sekulerisme tidak ditemukan pegangan yang tetap sebagai tolak ukur kebenaran.[18] Selain itu sekulerisme bersifat materialistik, menolak klaim kebenaran yang berdasarkan otoritas  metafisis. Watak epistemologi sekuler ini pada gilirannya berpengaruh di dalam kesimpulan-kesimpulan para psikolog, termasuk dalam diskursus homoseksualitas.

Salah satu bagian psikologi yang rentan terhadap bias sekulerisme barat adalah penentuan abnormalitas. Bias sangat mungkin terjadi sebab kriteria abnormalitas cukup relatif.[19] Bias yang terdapat di dalam penentuan abnormalitas ini telah disadari oleh para psikolog. Secara cukup radikal Thomas S. Szasz, menggugat konsep abnormalitas atau gangguan mental. Baginya, gangguan mental hanya mitos. Masalah sebenarnya adalah problem individual, sosial dan etika dalam masyarakat.[20] Kritik ini lahir dari kesadaran bahwa konsep ini sangat dipengaruhi oleh konstruk kultural. Sifat value-laden psikologi terus berpengaruh dalam evolusi konsep abnormalitas. Setelah mencatat evolusi kriteria gangguan mental atau abnormalitas temasuk pada DSM, Gerrig Zimbardo Campbell Cummingdan  Wilkes  menegaskan bahwa semua itu terjadi bukan hanya karena perubahan opini para psikolog, tapi juga sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai yang terjadi secara konstan dalam masyarakat Barat.[21]

Secara umum Getzfeld menyebutkan adanya tiga perspektif yang digunakan sebagai kriteria dalam menentukan abnormalitas penelitian sudut pandang statistik, sudut pandang norma-norma umum dan sudut pandang maladaptive.[22] Sudut pandang statistik menggunakan hitungan matermatis yang ditampilkan di dalam kurva. Orang-orang normal berada di tengah grafik sedangkan persebaran abnormal berada di pinggiran kurva. Sudut pandang norma berdasarkan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan sudut pandang maladaptive adalah ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi pada situasi tertentu sebab keadaan jiwanya. Ketiga sudut pandang ini memang sangat memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan standar abnormalitas bila di dalam masyarakat terjadi perubahan nilai.

Menurut Malik Badri, ketiga kriteria ini memiliki banyak kekurangan. Sudut pandang statistik misalnya berpotensi menempatkan seorang yang jenius dan mempunyai kestabilan mental pada posisi yang sama dengan seorang neurotik. Sudut pandang norma jelas bermasalah seiring semakin relatifnya nilai yang menjadi basis norma khususnya pada masyarakat Barat. Begitu pula dengan ketidak mampuan beradaptasi. Seorang muslim yang memegang teguh ajaran agamanya misalnya, akan dianggap tidak normal bila ia merasa tertekan di tengah masyarakat yang serba permisif.[23] Diakhir analisisnya, Malik Badri menyebutkan kekurangan fundamental kriteria ini penelitian

 

Jelas bahwa kriteria yang ditentukan oleh psikologi Barat terhadap individu yang mempunyai penyesuaian diri yang baik, tidak dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang ilmiah, namun lebih dilandasi konsep kultural. Konsep yang pada dasarnya berasal dari Barat, atau tradisi-tradisi masyarakat modern yang materialistis.[24]

 

Malik Badri menekankan bahwa posisi abnormalitas dalam psikologi Barat memang banyak pada keadaan maladaptive. Prinsip ini juga tertuang di dalam DSM yakni inflexible and maladaptive traits that cause significant functional impairment or subjective distress.[25]Dalam konteks homosekualitas, kriteria ini sangat menentukan. Seksualitas abnormal disebutkan sebagai perilaku seksual yang dapat menyesuaikan diri, bukan hanya dengan tuntutan masyarakat tapi juga kebutuhan diri sendiri dalam hal mencapai kebahagiaan.[26] Dari pemaparan ini, terlihat bahwa perubahan nilai di dalam masyarakat sangat mungkin membimbing pada perubahan paradigma tentang homoseksualitas. Akibatnya, terjadi perubahan arah paradigma dalam meneliti homoseksualitas, sebagaimana akan dijelaskan pada uraian berikut.

 

  1. Evolusi Diagnosis Homoseksual

Sejak awal, penelitian para psikolog terhadap homoseksualitas telah menggambarkan perubahan yang terjadi pada peradaban Barat. Ketika masyarakat Barat masih didominasi oleh Gereja, homoseksualitas dipandang sebagai sebuah dosa[27]. Ketika terjadi pertentangan antara otoritas Gereja dan Raja Henry VIII.Raja Inggris ini mengintegrasikan larangan homoseksual ke dalam hukum sekuler untuk menandingi kekuasaan Paus.[28] Maka homoseksual pun berubah menjadi pelanggaran hukum dan penyimpangan sosial. Gelombang revolusi sains mendorong para peneliti untuk mengamati homoseksual dari kaca mata ilmu pengetahuan, dalam hal ini psikologi. Penelitian-penelitian itu bermula pada abad ke-19, sebagai upaya untuk mencari penjelasan ilmiah yang lepas dari kontrol agama atas setiap fenomena. Penelitian tersebut meskipun dianggap telah membentuk citra homoseksual sebagai sebuah penyimpangan mental, juga memiliki dampak baik bagi kaum homoseksual. Temuan para peneliti bahwa kaum homoseks adalah “orang-orang sakit” menjadikan status kesalahan mereka lebih ringan di mata hukum.[29]

Ahli pertama yang diketahui meneliti homoseksualitas secara khusus adalah seorang seksolog berkebangsaan Jerman bernama Karl Heinrich Ulrichs (1825-1895). Sebagai seorang ahli hukum yang juga gay, Ulrichs mengarahkan penelitiannya untuk melawan kriminalisasi terhadap tindakan sodomi di dalam hukum Jerman. Argumennya adalah bahwa homoseksualitas adalah pengaruh faktor biologis.[30] Ia memperkenalkan istilah urning dan urnining untuk menggambarkan seseorang yang memiliki “jiwa” seksual yang berbeda dari kondisi biologisnya. Rekan seperjuangan Ulrich bernama Karl Maria Kertbeny (1824-1882) memperkenalkan istilah homosexuality pertama kali untuk menggambarkan hubungan sesama jenis.[31] Bila dilihat dari konteks sosiopolitik, kemunculan istilah “homosexual” sangat dipengaruhi perjuangan Kertbeny mempertahankan posisi liberalisme Jerman di depan hegemoni Prusia.[32] Meskipun istilah ini kemudian diambil alih oleh dunia medis dan psikologi.

Kepeloporan kedua tokoh ini memancing penelitian-penelitian selanjutnya tentang homoseksual. Salah seorang ahli yang terpengaruh oleh Ulrich adalah  Karl Westphal (1833-1890). Pada tahun 1869, ia mempublikasikan hasil risetnya tentang para laki-laki yang memiliki sifat feminin serta perempuan yang bersifat seperti laki-laki dan memiliki rasa tertarik kepada sesama jenis. Ia memperkenalkan istilah “contrary sexual feeling[33] Temuan Westphal ini mulai memberikan basis ilimiah bagi argumen bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang berbeda dari keadaan seksual normal. Istilah yang ditemukan Westphal tersebut diadopsi oleh Arrigo Tamassia (1878) dan diperkenalkan di Italia sebagai “inversione dell istinto sessuale” yang artinya insting seksual terbalik.[34] Hal yang sama dilakukan oleh psikolog dan neurolog ternama asal Prancis, Jean Martin Charcot (1825-1993), ia mempopulerkan temuan tersebut di negaranya. Charcot memasukan homoseksualitas ke dalam kelompok sexual perversions, penyimpangan-penyimpangan seksual dan termasuk gangguan jiwa. Ia menganggap homoseksual sebagai “degrading consequences of a weakening of morals in a vitited society.[35].

Setelah kepeloporan tokoh-tokoh ini, penelitian dengan paradigma homoseksualitas sebagai sebuah penyimpangan terus berlanjut. Peneliti yang dianggap berperan menegaskan status kecacatan homoseksualitas adalah  Richard von Krafft-Ebing (1840-1902). Penelitiannya tentang homoseksualitas tertuang di dalam bukunya  Psychopathia Sexualis with Especial Reference to the Antipathic Sexual Instinct: A Medico-Forensic Study (1886).[36] Buku ini adalah sebuah eksiklopedia tentang kelainan, kecacatan, serta penyimpangan seksual yang ditemukan oleh Kraff-Ebing. Seperti kebanyaakan tokoh pada masanya, ia meneliti homoseksualitas dalam perspektif degenerate heredity. Homoseksual dianggap sebagai bentuk kecacatan sebab seharusnya sebuah organisme berjalan kian berkembang, tapi kaum homo justru semakin simpel. Teori ini tentu sangat dipengaruhi oleh Darwinisme.[37] Meskipun telah menegaskan kecacatan kaum homoseksual, menurut Oosterhuis, Kraff-Ebing telah berperan meletakan dengan kokoh pijakan ilmiah homoseksualitas dan terpisah dari konsep immoral. Ia juga menghilangkan anggapan bahwa seorang lelaki menjadi homoseks sebab ia memiliki jiwa feminin atau perempuan berjiwa maskulin.[38]

Peralihan abad XIX ke XX di Eropa ditandai dengan bangkitnya intelektual liberal radikal yang mengembangkan pendekatan permisif terhadap homoseksualitas. Tercatat nama Havelock Ellis (1859-1939), seorang intelektual liberal radikal di Inggris yang menulis buku “Sexual Inversion”, di dalamnya Ellis meyakinkan publik bahwa homoseksual adalah bawaan lahir (congenital) dan pelakunya tidak akan membahayakan diri sendiri maupun masyarakat.[39] Jejak Ellis diperkuat oleh  Magnus Hirschfeld (1868-1935) psikolog dan seksolog asal Jerman. Ia adalah psikolog yang secara terbuka mengakui status homoseksnya. Menurut Hirschfeld, homoseksualitas adalah hal yang alami sebagai “gender ketiga”. Karena itu, hukum yang menghalangi mereka harus dihilangkan dari Jerman. Untuk tujuan tersebut ia mendirikan Wissenschaftlich-humanitäres Komitee (WHK, Scientific-Humanitarian Committee) yang memperjuangkan hak-hak kaum homoseksual dengan basis sains.[40] Namun semua usahanya tersebut terhenti dengan menguatnya kekuatan Nazi di Jerman.[41] Meski demikian, suara para peneliti yang hendak menjadikan homoseksualitas sebagai variasi seks yang normal semakin menguat mengikuti jejak Ellis dan Hirschfeld.

Kajian homoseksualitas memiliki arah baru dengan kehadiran Sigmund Freud (1856–1939) dan pengikutnya dengan pendekatan psikoanalisis. Freud menawarkan pendekatan yang tidak berdasarkan asumsi degeneracy theory yang berkaitan erat dengan Darwinisme. Psikoanalisis yang ia bangun menawarkan pandangan baru tentang homoseksualtias. Di dalam karyanya Three Essays on the Theory of Sexuality Freud menyatakan bahwa manusia pada dasarnya biseksual, apabila ia gagal berkembang karena masalah psiko-seksual, maka ia akan menjadi seorang homoseksual. Ia menjadikan sifat feminin pada para pelacur laki-laki sebagai bukti penguat argumennya tersebut. Meskipun demikian, ia tidak menganggap homoseksualitas sebagai suatu penyakit.[42]  Teori Freud ini belakangan ditantang oleh para psikoanalis sendiri. Tiga psikoanalis terkenal yang meyakini bahwa homoseksual adalah penyakit yang harus disembuhkan adalah Sandor Rado (1940), Irving Beiber (1962), dan Charles Socarides. Dari kaca mata psikoanalisis, mereka menjelaskan bahwa homoseksualitas adalah bentuk penyakit mental sehingga perlu ada terapi untuk mengobatinya.[43]

Kajian para psikolog terhadap homoseksualitas dari awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20 mengarah pada tiga perubahan besar dalam memandang fenomena homoseksualitas. Pertama, penelitian-penelitian tersebut meskipun memiliki kesimpulan yang beragam, semuanya mempertegas perubahan paradigma masyarakat Barat terhadap homoseksualitas. Fenomena tersebut tidak lagi dilihat dari perspektif teologis tapi murni sebagai objek kajian sains dan medis. Perubahan ini bisa dilihat sebagai cerminan sekulerisasi masyarakat Barat yang kian menguat. Kedua, kajian-kajian tersebut menciptakan kategori orientasi seks bernama homoseksualitas yang sebelumnya tidak diakui. Secara tidak langsung, hal ini memberikan identitas bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan seks di luar heteroseksual. Ketiga, stigma negatif yang diarahkan kepada kaum homoseksual perlahan pudar. Kajian-kajian tersebut membuang stigma amoral dan pendosa dari diri kaum homoseks. Citra yang terbentuk kemudian adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang sakit dan perlu pengobatan. Ketiga perubahan ini pada gilirannya akan mengantar kepada perubahan yang lebih radikal di pertengahan abad ke-20, yakni normalisasi homoseksualitas. Fenomena ini akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.

 

  1. Deklasifikasi Homoseksualitas Dari Daftar Gangguan Mental

Tahapan paling menentukan dalam perubahan paradigma psikologi memandang homoseksualitas adalah periode deklasifikasi homoseksualitas dari daftar gangguan mental.  Meskipun penelitian-penelitian sebelumnya dianggap memiliki dampak tidak langsung terhadap perubahan ini, tapi proses deklasifikasi tetap meninggalkan kontroversi. Pada bahasan kali ini, terlebih dahulu akan diuraikan kronologi deklasifikasi tersebut serta penelitian-penelitian yang dianggap mendukungnya kemudian akan dipaparkan argumen-argumen pihak yang menentang keputusan tersebut. Agar peristiwa ini bisa lebih dipahami akan dibahas pula mengenai revolusi seksual di Ameria Serikat selama tahun 60-an hingga 70-an yang menjadi konteks perubahan ini.

Setidaknya ada dua ilmuwan yang publikasi ilmiahnya dianggap memiliki peran cukup signifikan dalam mengubah paradigma terhadap homoseksualitas sehingga dianggap normal. Mereka adalah Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker. Pada tahun 1948, Kinsey mempublikasikan hasil penelitiannya bersama beberapa kolega di dalam buku berjudul Sexual Behavior in the Human Male, selanjutnya pada tahun 1953 terbit Sexual Behavior in the Human Female. Kinsey menunjukan bahwa seksualitas manusia tidaklah kaku menjadi heteroseksual dan homoseksual. Seseorang tidak bisa disebut murni homoseksual atau heteroseksual. Ia memperkenalkan skala yang disebut Kinsey Scale yang menunjukan gradasi orientasi seksual manusia dengan rasio 0-6 penelitian dari murni homoseksual bergradasi hingga murni heteroseksual.[44] Seorang manusia bisa saja pada satu masa dalam hidupnya adalah homoseksual dan terus berkembang menjadi heteroseksual atau sebaliknya. Ia menegaskan hal tersebut setelah menunjukan skalanya penelitian

 

Males do not represent two discrete populations, heterosexual and homosexual. The world is not to be divided into sheep and goats. Not all things are black nor all things white. It is a fundamental of taxonomy that nature rarely deals with discrete categories. Only the human mind invents categories and tries to force facts into separated pigeon-holes. The living world is a continum in each and every one of its aspects. The sooner we learn this concerning human sexual behavior, the sooner we shall reach a sound understanding of the realities of sex.[45]

 

Di dalam penjelasannya di atas, Kinsey memberikan pandangan yang sangat revolusioner tentang seksualitas. Selama ini para peneliti melihat dua kecenderungan tersebut sebagai dua entitas terpisah yang bisa berada di dalam diri seseorang. Kinsey menunjukan bahwa homoseksualitas adalah varian normal dari kehidupan seksual seseorang.

Dengan semangat yang sama, pada tahun 1956 Evelyn Hooker mempublikasikan jurnah yang mendukung normalisasi homoseksualitas. Hooker adalah seorang psikolog peneliti dari UCLA (University of California Lost Angeles). Selama tahun lima puluhan ia melakukan penelitian untuk menguji asumsi umum bahwa seseorang yang tertarik kepada sesama jenis (Same Sex Atraction, SSA) digolongkan sakit secara mental dan bukan pula penyebab sakit mental.[46] Hooker menegaskan bahwa homoseksualitas bukan penyakit juga bukan sebab penyakit mental. Paradigma ini semakin menguat pada tahun 50-an hingga tahun 60-an.  Pada tahun-trahun tersebut, tepatnya pada tahun 1951 terbit pula buku Patterns of Sexual Behavior karya dua antropolog Clellan Ford dan Frank Beach. Buku ini membahas seksualitas dalam kajian lintas-budaya. Kedua antropolog ini meneliti seksualitas 190 negara termasuk Amerika Serikat sendiri. Sumbangsih terbesar buku ini adalah mengungkap keberadaan homoseksualitas di dalam berbagai kebudayaan umat manusia. Mereka bahkan meneliti seksualitas primata dan mengklaim menemukan homoseksualitas[47]

Pada tahun 1952, The American Psychiatric Association (APA) menerbitkan DSM untuk pertama kalinya. DSM adalah The Diagnostic and Statistical Manual, Mental Disorders, panduan resmi yang dikeluarkan lembaga tersebut untuk menentukan penyakit mental.[48] Pada seri pertama tersebut homoseksualitas dianggap penyimpangan seksual yang bisa digolongkan sebagai sociopathic personality disorders. Di sini homoseksualitas masih dipandang sebagai sebuah penyakit seksual yang tidak bisa diterima oleh masyarakat. Pada seri kedua yang terbit tahun 1968, homoseksualitas masih tetap dimasukan kategori penyimpangan seksual tapi lebih ringan. [49] Baru pada seri DSM-III yang terbit pada tahun 1973, terjadi perubahan yang cukup signifikan. Di dalam seri ini homoseksualitas tidak lagi dianggap penyimpangan. Homoseksualitas hanya boleh dianggap gangguan mental bila yang bersangkutan mengalami ketidakpuasan terhadap keadaannya tersebut.[50] Perubahan ini cukup signifikan sebab masalah bukan lagi pada orientasi homoseksualitas tapi lebih pada depresi yang dialami sebab tekanan orang-orang terhadapnya.

Proses deklasifikasi ini tidak bisa dilepaskan dari peran beberapa karya radikal yang dipublikasikan selama kurun 50-an dan 60-an. Karya-karya tersebut menggugat otoritas psikiatri untuk menentukan seseorang “gila” atau tidak. Mereka juga menentang perlakuan “penyembuhan” terhadap pasien psikiatri yang dianggap melanggar hak-hak mereka. Di antara karya semacam ini yang sangat berpengaruh adalah tulisan filsuf Prancis yang juga seorang gay, Michel Foucault. Pemikrian-pemikiran Foucault di dalam Madness and Civilization  yang terbit tahun 1961 berdampak besar dalam delegitimasi otoritas psikiatri dalam menentukan homoseksual sebagai penyakit. Rosario menanggap karya  Foucault ini menegaskan bahwa psikiatri adalah upaya untuk meminggirkan mereka yang secara politis tidak diinginkan.[51]Karya lain yang menyumbangkan basis intelektual bagi gerakan anti-psikiatri ini adalah tulsian radikal seorang psikolog bernama Thomas S. Szasz berjudul Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, terbit pertama kali pada tahun 1961. Szasz menegaskan bahwa “penyakit mental” hanyalah mitos, masalah sesungguhnya ada pada cara masyarakat melihat fenomena-fenomena tersebut.[52]

 

  1. Kritik Psikolog Terhadap Deklasifikasi Homoseksualitas Dari DSM

Keputusan  APA untuk mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM sebagai penyakit mental tidak begitu saja diterima oleh semua kalangan psikolog. Meskipun itu tidak berarti mengakuinya sebagai orientasi yang betul-betul normal. Banyak ahli yang tidak sependapat.  Mereka melakukan evaluasi terhadap basis ilmiah keputusan tersebut, yakni temuan-temuan Evelyn Hooker. Krik Cameron dan Paul Cameron dua psikolog dari University of Colorado menguji ulang temuan bersejarah Hooker tersebut, kesimpulan mereka adalah penelitian

 

Re-examination of her work indicates that Hooker’s study was neither rigorous nor reliable. Among other problems, homosexual subjects were easily identified on test protocolspenelitian her reports of how she obtained her samples were incomplete and contradictorypenelitian and her study generated results supportive of obsession/compulsivity in homosexuals. Thus Hooker’s study was seriously flawed. Moreover, because it was marketed by the APA as central in transforming homosexual activity from an illness/crime into acceptable behavior—yet Hooker did not correct those who mischaracterized her work—APA misrepresentations of Hooker over the past 40 years appear to be more in line with ideology than science.[53]

 

Perdebatan para ahli pasca deklasifikasi homoseksualitas dari DSM berpusat pada dua poin utama. Pertama sebab (etiologi) homoseksualitas. Aktivis prohomoseksual berpendapat—b erdasarkan penelitian ilmiah terutama oleh LeVay (2010)– bahwa homoseksualitas adalah pengaruh hormon.[54] Dengan demikian, mereka berargumen bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang terdeterminasi secara biologis. Argumen ini sesungguhnya adalah penguat kesimpulan Kinsey seperti yang telah dijelaskan di atas. Kedua adalah apakah orientasi seksual bisa berubah atau tidak. APA, sesuai garis kebijakannya yang mendukung homoseksual, telah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menunjukan bahwa orang-orang homoseksual bisa dirubah orientasi seksualnya melalui terapi. Perdebatan ikutan juga meliputi akibat dari homoseksualitas, menurut aktivis progay, homoseksual tidak menimbulkan kerusakan bagi masyarakat.

Bagaimanapun, ada banyak peneliti yang bebas dari kepentingan pro-gay mengemukakan hasil penelitian yang berbeda. Neil N. Whitehead adalah seorang ahli biokimia yang telah meneliti “gay gen” selama empat puluh tahun. Dari hasil studinya tersebut ia mengkritisi pendapat mereka yang menerapkan determinasi biologis bagi orientasi seksual seseorang. Hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 berjudul My genes made me do it!, lalu direvisi dengan penambahan bukti kemudian terbit lagi pada tahun 2013 dengan judul My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence. Bukti terkuat menurut Whitehead adalah penelitian Twin studies.  Secara sederhana twin studies adalah studi yang dilakukan terhadap orang-orang homoseksual yang memiliki saudara kembar. Apabila homoseksual adalah pengaruh gen, maka dua orang kembar seharusnya sama-sama berorientasi homoseksual sebab secara gen mereka identik. Namun demikian, studi yang dilakukan secara ekstensif terhadap kembar identik menunjukan bahwa dari sembilan pasangan kembar yang salah satunya homoseksual, hanya satu dari sembilan yang pasangannya juga homoseksual. Menurut Whitehead, hasil studi ini tidak hanya menafikan aspek genetik, tapi semua aspek biologis lainnya.[55]

Argumen Whitehead  yang lain adalah menguji hasil temuan Kinsey bahwa 1 dari 10 orang adalah homoseksual (10%). Whitehead membandingkan temuan Kinsey ini dengan hasil survey modern, tahun 2010, dan ternyata hasilnya sangat jauh. Survey dari lembaga independen menunjukan homoseks termasuk biseks hanya 2-3% dari populasi. Sebagai ahli genetika, Whitehead menyimpulkan bahwa jumlah ini menunjukan faktor nurture lebih dominan bila dibandingkan dengan faktor nature, “modern surveys when interpreted show the genetic contribution to SSA is minor and the environmental contribution is much greater”[56] Temuan Whitehead ini hanya mempertegas hasil penelitian Dean Byrd, seorang profesor Psikologi klinis dari University of Utah School of Medicine. Dalam studinya yang dipublikasikan pada tahun 2001, Byrd menyimpulkan bahwa “the main studies on whether homosexuality  is caused by biology appear to  lack a  significant amount  of scientific  support”.[57] Jadi, bisa disimpulkan bahwa adanya unsur genetika yang membawa “gay gen” pada seseorang tidak otomatis membuatnya menjadi seorang homoseksual. Faktor terpenting adalah pola asuh pada keluarga dan lingkungannya.

Isu perdebatan penting lainnya adalah persoalan perubahan orientasi seksual seseorang dengan kecenderungan homoseksual. APA telah mengklaim bahwa tidak ada satupun bukti keberhasilan terapi semacam itu. Bahkan para ahli yang menyuarakan pendapat berbeda akan mendapatkan tekanan. Salah satunya adalah Robert L. Spitzer, pada tahun 2003, ia mempublikasikan hasil penelitiannya yang menunjukan keberhasilan perubahan orientasi seksual dari 200 orang yang menjalani terapi.[58] Sejak saat itu ia mengalami tekanan dari komunitas gay sehingga mencabut kembali hasil penelitiannya tersebut di dalam sebuah tulisan singkat.[59] Keputusan Spitzer tersebut dikritik oleh sekelompok psikolog, Jerry A. Armelli, Elton L. Moose Anne Paulk, dan James E. Phelan. Menurut mereka keputusan Spitzer untuk menarik hasil penelitiannya hanya karena desakan seorang gay sangat bermasalah. Apalagi gay yang mendatangi rumahnya tersebut bukanlah partisipan di dalam studi Spitzer. Mereka menutup tanggapan tersebut dengan penegasan, “however, one can apologize for the consequences of a study, but one cannot undo the evidentiary data. Well-intended sentiments cannot undo facts.”[60]

Di dalam sebuah laporan yang ditulis khusus untuk membantah klaim APA, tim dari National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH) menunujukan bahwa studi yang dilakukan selama 125 tahun belakangan menunjukan bahwa orientasi seksual seseorang bisa berubah melalui berbagai macam pendekatan. Hanya setelah APA mendeklasifikasi homoseksualitas dari DSM, paradigma terhadap homoseksual pun berubah dari “mengubah orientasi” menjadi membantu klien menerima keadaan homoseksualitas mereka.[61] NARTH adalah lembaga psikolog yang berpusat di Amerika Serikat, beberapa anggotanya adalah psikolog ternama, seperti mantan presiden APA, Nicholas Cummings.

Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang paling besar dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi orang-orang homoseksual tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila berasal dari dorongan keimanan. Dadang Hawari, psikolog kenamaan dari Universitas Indonesia menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang kuat.[62] Selain itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya kadar homoseksual, dan libido.[63] Faktor iman,  ternyata menempati posisi yang penting. Temuan Spitzer tentang 200 orang homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the vast majority (93%) of the participants reported that religion was “extremely” or “very” important in their lives.[64] Hasil temuan ini sejalan dengan upaya psikolog berlatar belakang agama yang baik seperti Dadang Hawari untuk melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologis.[65]

Bahasan terakhir adalah dampak dari perilaku homoseksualitas. Hingga saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kaum homoseksual yang melakukan hubungan seks sejenis adalah kelompok yang paling rentan teriveksi virus HIV/AIDS. Bahkan ketika penurunan penyebaran virus ini terjadi, pada mereka yang melakukan hubungan seks sejenis justru menunjukan peningkatan. Dalam laporannya,  Chris Beyre, seorang profesor kesehatan dari John Hopkins School of Public Health menyimpulkanpenelitian

 

Our findings show that the high probability of transmission per act through receptive anal intercourse has a central role in explaining the disproportionate disease burden in MSM (Man Sex With Man). HIV can be transmitted through large MSM networks at great speed…. This risk has been present since the syndrome now known as AIDS was first described in previously healthy homosexual men in Los Angeles (CA, USA) in 1981. Despite decades of research and community, medical, and public health efforts, high HIV prevalence and incidence burdens have been reported in MSM throughout the world.[66]

 

Selain virus HIV yang menyebabkan seseorang menderita AIDS, di antara komunitas homoseksual, penyakit-penyakit menular seksual pun sangat rentan tersebar. Pengidap Gonorrhea di antara kaum homoseksual meningkat sejak 1990, menyusul pula Sipilis, hepatitis C yang didapatkan dari hubungan seksual serta lymphogranuloma venereum yang biasanya menjadi penyakit ikutan bagi pria yang positif HIV.[67]

 

  1. Dimensi Politik Deklasifikasi Homoseksualitas

Deklasifikasi homoseksual dari daftar penyakit mental sarat dengan kepentingan politis sehingga menimbulkan kontroversi. Muatan politis ini membuat keputusan tersebut tidak dilihat sebagai sebuah keputusan yang murni berdasarkan sains. Sejumlah peneliti menegaskannya. Ronald Bayer di dalam bukunya Homosexuality and American Psychiatrypenelitian The Politics of Diagnosis yang terbit pada tahun 1987, menegaskanpenelitian

 

the result was not a conclusion based upon an approximation of the scientific truth as dictated by reason, but was instead an action demanded by the ideological temper of the times[68]

 

Simpulan serupa dengan Bayer di atas diperkuat oleh  Jeffrey Satinover di dalam bukunya yang terbit pada tahun 1997, Homosexuality and the Politics of Truth. Menurut Satinover, unsur tekanan politis sangat kuat dalam proses deklasifikasi homoseksual dari DSM tersebut. Bahkan para pendukung homoseksualitas pun mengakuinya.[69]  Selain mereka, ilmuwan-ilmuwan lain yang menyebutkan adanya unsur tekanan politis di dalam deklasifikasi tersebut antara lain Greenberg (1997), Cotton dan Riding (2011)[70] serta Zachar dan Kendler (2012). Peneliti yang terakhir disebut ini menyebutkan bahwa protes aktivis gay serta keberadaan para psikolog yang ternyata homoseksual memiliki pengaruh di dalam peristiwa tersebut.[71] Cotton dan Ridding menggambarkan DSM sebagai a political document— a social construction— shaped more by sociocultural influences than the demands of practicing professionals in the field of mental health.[72]

Kepentingan politik yang disebut di atas adalah gerakan Gay Movement yang merupakan bagian dari revolusi hak-hak sipil. Era 50-an sampai 60-an adalah masa-masa yang penting dalam revolusi budaya dan seksual di Amerika Serikat. Pada saat inilah geliat-geliat untuk pecahnya revolusi yang mencapai puncaknya pada tahun 70-an serta berpengaruh ke suluruh dunia dimulai.[73] Gerakan kaum gay ini bermula pada tahun 1969 menyusul keributan di penginapan Stonewell, yakni keributan yang timbul ketika polisi hendak menggeledah pusat aktivitas kaum gay. Sebagai reaksi atas kekerasan tersebut para aktivis gay yang semakin radikal membentuk Gay Liberation Front (GLF) sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak kaum kaum homoseks dengan sangat militan.[74] Dengan memakai strategi dan model gerakan New Left (gerakan kiri baru) GLF segera membentuk cabang-cabangnya di berbagai Negara Bagian di Amerika Serikat, mereka juga menginisasi perhelatan Gay Pride Parade untuk memperingati kerusuhan Stonewell setiap tahunnya.[75] Salah satu aksi para penggerak aktivis gay adalah mengintervensi pertemuan APA (Asosiasi Psikolog Amerika) pada tahun 1970, mereka meminta agar ada psikolog homoseks di pihak mereka, mereka juga melakukan demonstrasi dan menekan para psikolog yang hendak membuat nomenklatur patologi pada DSM.[76]

Unsur politis dalam keputusan APA ini telah menghilangkan kredibilitas psikiatri khususnya mereka yang di bawah naungan APA. Salah satu tokoh yang menyayangkan hal ini adalah Nicholas Cumming, mantan presiden APA. Menurut Cummings, ketundukan APA kepada tekanan politis dalam kasus homoseksualitas ini adalah sebuah bentuk perkembangan yang destruktif terhadap ilmu psikologi sendiri. Dalam pandangannya, diagnosis terhadap kaum homoseksual pasca-revolusi seks bersifat politispenelitian

 

Diagnosis today in psychology and psychiatry is cluttered with politically correct verbiage, which seemingly has taken precedence over sound professional experience and scientific validation. [77]

 

Menurut Cummings, ketika melakukan deklasifikasi homoseksual dari DSM, APA telah melanggar Leona Tyler Principle, yaitu pernyataan bahwa psikolog yang tergabung di dalam APA akan mengambil keputusan bersadarkan temuan saintifik murni dan tidak menyerah pada tekanan politik dari satu individu atau kelompok. Di dalam pengambilan keputusan tersebut, menurut Cummings, APA telah tunduk kepada tuntutan politis aktivis gay.[78] Melihat keadaan ini, Cummings menggugah komunitas psikologi di Amerika Serikat, untuk melakukan reformasi di dalam tubuh American Psychological Association (APA) sehingga mereka bisa kembali independen bebas dari agenda ideologi tertentu.[79]

Tekanan politik yang dihadapi oleh APA dalam proses deklasifikasi homoseksualitas membuat mereka bersikap ambigu. Sebagai kompensasi terhadap tekanan kolega psikolog yang tetap pada keputusan bahwa homoseksualitas adalah tidak normal, mereka memberikan catata bahwa keputusan APA mendeklasifikasi homoseksualitas tidak boleh dijadikan dalih oleh aktivis pro-gay

 

No doubt, homosexual activist groups will claim that psychiatry has at last recognized that homosexuality is as “normal” as heterosexuality. They will be wrong. In removing homosexuality per se from the nomenclature we are only recognizing that by itself homosexuality does not meet the criteria for being considered a psychiatric disorder. We will in no way be aligning ourselves with any particular viewpoint regarding the etiology or desirability of homosexual behavior.[80]

Bagaimana pun, keputusan APA mendeklasifikasikan homoseksualitas dari DSM akan membuat masyarakat percaya bahwa menjadi homoseksual sesungguhnya normal.

Dilema di atas membuat posisi APA terhadap orientasi seksual yang normal menjadi sangat relatif, mengikut nilai humanisme sekuler. Hal ini dipertegas keterangan APA di dalam DSM IV bahwa kriteria normal memang beragam berdasarkan kulturpenelitian

 

It is important to note that notions of deviance, standards of sexual performance, and concepts of appropriate gender role can vary from culture to culture.[81]

Dengan demikian, APA tetap kembali menyerahkan kepada budaya masing-masing masyarakat untuk menetukan perilaku seks menyimpang. Karena itu,, menjadikan psikologi sebagai satu-satunya basis bagi penerimaan homoseksualitas tidaklah tepat. Sebagai muslim, keputusan harus dikembalikan kepada wahyu sebagaiaman akan didiskusikan pada bagian selanjutnya.

Homoseksualitas Dalam Tinjauan Islam

Pandangan Islam terhadap homoseksualitas selain didasarkan atas penemuan ilmuwan tentang fenomena ini, harus pula didasarkan atas wahyu. Wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw adalah petunjuk yang tetap. Dengan demikian, dasar penilaian terhadap homoseksualitas tidak berubah seiring perkembangan masyarakat, melainkan turut pada keputusan Allah. Karena itu,, para ulama telah sepakat bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang terlarang.[82] Kesepakatan tersebut terjadi sebab larangan homoseksual telah jelas di dalam wahyu, bukan karena pengaruh heteronormativisme seperti yang diyakini pemikir liberal.[83] Pada bahasan ini, akan dipaparkan pandangan Islam mengenai homoseksualitas dari dua sudut pandang. Pertama dari segi konsep kejiwaan manusia menurut Islam untuk melihat homoseksualitas dari sudut pandang fitrah jiwa manusia. Selanjutnya homoseksualitas akan dianalisis dari sudut pandang (tujuan syariah) maqāşid asy-syarīah beserta hukum yang telah ditetapkan wahyu atasnya.

Sebelum membahas pandangan Islam tentang homoseksualitas, perlu dijelaskan dahulu istilah yang digunakan untuk homoseksualitas di dalam perspektif Islam. Istilah yang umum digunakan untuk homoseksual adalah liwāṭ. Namun demikian, pemikir seperti Musdah Mulia dan Husein Muhammad membedakan liwāṭ dengan homoseksual, menurut mereka liwāṭ adalah perbuatan sodomi atau anal seks yang bisa dilakukan siapa saja termasuk pria heteroseks dan biseksual, sedangkan homoseksualitas lebih bersifat psikologis sehingga lebih tepat digunakan istilah mukhannaṡ.[84]Arah argumen mereka adalah untuk membenarkan homoseksualitas sebab para ahli fikih memang menerima adanya mukhannaṡ bi al-khalq, yaitu mereka yang terlahir sebagai pria dengan sifat-sifat feminin. Inti dari pendapat ini adalah mengarahkan pengharaman hanya kepada tindakan sodomi (praktik anal seks) sedangkan orientasi homoseksual harus diterima dengan rida.[85]

Argumen mereka tidak tepat, baik dari sudut pandang psikologi maupun Islam. Istilah mukhannaṡ lebih tepat diartikan effeminate yang  berarti “keperempuan-perempuanan” atau “bersifat seperti perempuan”. Hadis tentang mukhannaṡ jelas merujuk kepada keadaan ini. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan Ibnu Abbas di dalam Sahih Bukhari,  ، لَعَنَ النَّبِىُّ ، عليه السَّلام ، الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاتِ مِنَ النِّسَاءِ  ،. artinya “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.” Menurut Ibnu Baththal, Rasulullah melaknat mereka bukan karena memang adanya sifat perempuan dalam dirinya yang merupakan ciptaan Allah. Laknat itu disebabkan oleh mereka yang memperturutkan kecenderungan itu dan berdandan seperti perempuan, laknat ini juga berlaku bagi laki-laki tulen yang sengaja menyerupai perempuan.[86] Jadi  istilah mukhannaṡ  tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual terhadap sesama jenis, melainkan  pada perilaku menyerupai penampilan lawan jenis, maka ia lebih tepat diartikan effeminate, bukan homosexual. Mengidentikan homoseksualitas dengan effeminate jelas keliru. Mengasosiasikan kaum homoseksual dengan sifat tersebut, oleh psikolog dan pembela hak-hak LGBT justru dianggap homofobia.[87]

Istilah yang tepat untuk homoseksualitas adalah istilah liwāṭ (اللواط) sedangkan pelakunya disebut lūṭiy (اللوطي), para ulama dari kalangan ahli fikih, mufassir, ahli hadis dan ahli bahasa telah sepakat dengan penggunaan terminologi ini.[88]  Istilah ini (liwāṭ dan lūṭiy) bukan saja merujuk kepada tindakan seksual (sexual behavior) tapi juga merujuk kepada orientasi seksual, yang secara psikologis melibatkan perasaan cinta dan ketertarikan. Hal ini bisa dilihat dari akar kata “لوط ” yang secara etimologis mengandung pengertian cinta dan melekat atau cinta yang melekat di hati (al-hub al-lāziq bi al-qalbi) sebagaimana disebutkan di dalam Lisān al-‘Arab.[89] Meskipun istilah liwāṭ sesungguhnya diambil dari nama Nabi Luth, tapi makna kebahasaan yang terkandung di dalam akar katanya tetap mengikut di dalam kata liwāṭ dalam kaitannya dengan homoseksualitas. Bakr bin Abdillah Abu Zayd menegaskan di dalam Mu’jam Manāhī al-Lafẓiyahpenelitian

 

أن المعنى لُغة لا يأبي دخوله في مشموله ، ومن ثم إطلاقه عليه ؛ لتوفر معانيه في هذه الفِعْلة  من جهة قوة الباعث: الحب والشهوة للذكران ، انظر إلى قول الله – تعالى – عن قوم لوط في تقريعه ولومه لهم -: {إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ} [ لأعراف:81] ، فقوله  شهوة  فيه معنى الحب الذي هو من معاني  لَوَطَ

 

Kedudukan kata syahwah (شهوة) di dalam surah al-A’rāf ayat 81 dan an-Naml ayat 55 sebagai maf’ūl li ajlih, semakin mempertegas unsur orientasi seksual di dalam perbuatan kaum Luth.[90] Kutukan yang diturunkan kepada mereka juga ada kaitannya dengan orientasi yang mereka perturutkan. Selain kata liwāṭ bagi homoseksualitas yang melibatkan perempuan, atau lesbianisme di dalam khazanah Islam dikenal isitlah siḥāq (سحاق). Istilah ini digunakan oleh Nabi Muhammad di dalam hadisnya dan menyebutnya sama kejinya dengan zina.[91] Secara istilah dan bahasa, siḥāq adalah perbuatan perempuan terhadap perempuan lainnya sebagaimana yang ia lakukan bersama laki-laki.[92] Jadi siḥāq mencakup praktik lesbianisme, kecenderungan terhadapnya (orientasi seks lesbian) jelas merupakan syahwat yang harus dilawan.

Allah tentu tidak menghukum bila homoseksualitas hanya berupa keinginan dalam hati, tapi membiarkannya dan tidak melawannya lalu memperturutkannya adalah sebab turunnya laknat. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya akan dibahas tentang pandangan Islam terhadap kecenderungan homoseksual yang muncul di dalam hati manusia.

 

  1. Homoseksualitas dan Konsep Fitrah

Salah satu tema sentral dalam problem homoseksual dari segi teologis adalah bahwa keadaan tersebut—orientasi seksual kepada sesama jenis—adalah bagian dari kodrat Allah kepada seseorang. Beberapa pemikir liberal pun menghalalkan homoseksual dengan dalih ini. Tim penulis Fiqih Seksualitas misalnya menyatakan bahwa homoseksualitas adalah takdir, sehingga harus diterima (rida) oleh yang bersangkutan dan ditolerir oleh masyarakat.[93] Di dalam Islam, konsep yang memiliki kaitan dengan ini adalah fitrah penciptaan manusia. Sebab term fitrah digunakan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika lahir di muka bumi ini.[94] Istilah ini bahkan digunakan di dalam al-Qur’an dalam narasi yang menggambarkan penciptaan langit, bumi, dan manusia.[95]

Secara etimologi fitrah memiliki beberapa makna. Kata fitrah adalah serapan dari bahasa Arab فطرة, sehingga pengertiannya akan dibahas dari sudut pandang bahasa Arab. Kata ini berasal dari فطر (fa ṭa ra) yang berarti menguak atau membelah. Sementara para ahli bahasa menambahkan bahwa fitrah adalah menciptakan sesuatu untuk pertama kali/ tanpa ada bentuk sebelumnya, fitrah juga bisa diartikan asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar[96], fitrah juga bisa diartikan keadilan suci[97]. Artinya fitrah merupakan penciptaan seseorang yang sesuai dengan agama yang benar dan tuntutan akan hakikat kehidupan yaitu mencari keadilan tentang penyembahan akan Tuhan. Fitrah merupakan sifat bawaan yang ada sejak lahir[98]. Dari sini disimpulkan bahwa dalam konsep fitrah, manusia pada dasarnya sudah memiliki kecenderungan untuk mengikuti kebaikan. Karena itu, konsep fitrah tidak bisa disamakan dengan teori tabularasa bahwa manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki potensi apa-apa.[99]

Potensi kebaikan yang tertanam di dalam diri manusia sesuai fitrahnya adalah potensi untuk taat kepada Allah. Hal tersebut jelas, sebab tujuan penciptaan manusia adalah menjadi hamba yang taat kepada-Nya.[100] Untuk mencapai ketaatan tersebut tentu saja manusia telah dikaruniai pengetahuan tentang Allah sejak perjanjian primordial.[101]Al-Attas di dalam penejelasanya mengenai nature of man, menyatakan bahwa agama  dan pengetahuan instrinsik di dalam jiwa manusia merupakan bagian dari fitrah penciptaannya.[102] Penggunaan kata fitrah di dalam surah ar-Rum: 30, menguatkan pengertian ini. Di dalam ayat tersebut, frasa fitratallāhi disandingkan dengan ad-dīn hanīfah. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa Allah memang menciptakan (faţara) makhluknya di atas keislaman. Abu Hurairah mengutip ayat tersebut setelah meriwayatkan hadis pokok tentang fitrah, ini menunjukan bahwa Abu Hurairah memahami fitrah terkait erat dengan kebaikan dan secara khusus kepada Islam.[103]

Berdasarkan konsep fitrah ini, maka dalam konteks normalitas dari perspektif Islam, seorang yang normal adalah seorang yang berada di atas fitrahnya yaitu cenderung kepada kebaikan. Konsep normal dan abnormal sangat penting dipahami sebab dari sinilah akan ditputuskan, apakah homoseksualitas merupakan keadaan asal yang normal bagi manusia atau bukan. Normalitas dari perspektif para ulama disebut sebagai keadaan hati yang sehat (al-qalb as-salīm). Di dalam karyanya Igāṡah al-Luhfān, Ibn al-Qayyim al-Jauzīyah merangkum pendapat para ulama mengenai karakteristik hati yang sehat, yakni hati yang selamat (salima) dari setiap keinginan (syahwah) yang bertentangan dengan perintah atau melanggar larangan Allah serta hati yang selamat dari keragu-raguan (syubhāt) yang bertentangan dengan kabar dari-Nya.[104] Jadi ada dua penyebab utama hati menjadi sakit penelitian syahwah dan syubhah.

Syahwat di dalam bahasa Indonesia lebih berkonotasi pada nafsu seksual, tapi dalam pengertian al-Qur’an, syahwat pada dasarnya adalah anugerah yang diberikan Allah kepada manusia dan harus digunakan pada jalan kebaikan. Al-Ragib al-Asfahānī di dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān menjelaskan bahwa syahwat adalah dorongan kuat terhadap jiwa agar meraih yang diinginkannya. Syahwat memiliki dua bentuk, ada yang baik (syahwah ṣādiqah) dan ada pula yang buruk (kāżibah).[105] Syahwat yang buruk adalah dorongan jiwa untuk meraih sesuatu yang dilarang oleh Allah. Homoseksualitas di dalam al-Qur’an disifati sebagai syahwat yang buruk (fāḥisyah).[106] Perbuatan lain yang disifati dengan kata fāḥisyah oleh al-Qur’an adalah perzinaan. Karena itu, beberapa ulama menyamakan antara perbuatan liwāţ kaum homoseks dengan perbuatan zina. Hubungan dari keduanya adalah sama-sama ekspresi syahwat yang keluar dari fitrah manusia.

Godaan untuk menyimpang dari fitrah melalui syahwat adalah bentuk ujian Allah kepada manusia. Manusia tidak diciptakan untuk terus-menerus suci sepanjang hidup mereka. Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa meskipun telah memiliki fitrah yang innate pada dirinya, manusia tetap memiliki potensi untuk berbuat salah. Perbuatan tersebut berasal dari kelupaannya terhadap fitrah dirinya. Manusia disebut al-insān, karena sebab ini. Insān seakar dengan kata nisyān, yang berarti lupa.[107] Di dalam al-Qur’an sendiri telah disebutkan bahwa Allah mengilhamkan fujūr dan taqwa ke dalam jiwa manusia (nafs).[108] Fujūr menurut ar-Rāgib berarti tercabiknya tabir agama (syaqq satri diyānah).[109] Maka fujūr yang telah diilhamkan Allah kepada jiwa manusia adalah potensi kerusakan fitrah. Namun demikian, Allah pun telah mengilhamkan taqwa yang berarti menjaga diri.

Dari perspektif ini, homoseksualitas dipandang sebagai bagian dari fujūr yang harus dilawan dengan taqwa oleh mereka yang merasakan kecenderungannya. Telah dipaparkan pada bagian kajian psikologis, bahwa meskipun ada kemungkinan genetik dalam etiologi homoseksual, faktor lingkungan tetap yang paling dominan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa fitrah bisa berubah karena faktor lingkungan dan pola asuh di kelaurganya.[110]Meski demikian, ia bisa saja berubah jika memiliki motivasi yang kuat. Taqwa adalah sumber motivasi tersebut. Manusia harus melawan semua kecenderungan buruk pada dirinya. Para ulama telah merumuskan upaya beranjaknya jiwa manusia dari tingkatan pergolakan melawan fujūr hingga menjadi jiwa yang tenang (an-nafs al-muţmainnah). Rumusan tersebut diderivasi dari pembagian al-Qur’an atas jiwa manusia menjadi tiga macam penelitian an-nafs al-ammārah bi as-su’, an-nafs al-lawwāmah, dan an-nafs al-muţmainnah.[111]

Pembagian nafsu menjadi tiga di atas sebenarnya adalah entitas yang sangat dinamis, manusia senantiasa berusaha beranjak menjadi lebih baik. Fitrah manusia senantiasa beredar di antara tiga keadaan tersebut. Keadaan pertama adalah an-nafs al-ammārah bi as-su’, secara literal berarti jiwa yang selalu mengarahkan diri pada keburukan.[112] At-Tustari di dalam tafsirnya menyebutkan empat tabiat dari nafsu ini yang membuatnya menjadi tingkatan terendah penelitian pertama nafsu hewani (bahāim) yang berpusat pada pemuasan birahi seksual dan nafsu makan penelitian kedua nafsu syaitani (tab’u asy-syayāţīn) yang mendorong manusia untuk tenggelam dalam perbuatan yang sia-sia penelitian ketiga nafsu ini akan mendorong orang-orang untuk berbuat licik dan menipu penelitian keempat, nafsu ini selalu mendorong seseorang untuk berlaku sombong dan angkuh seperti Iblis (al-abālisah al-istikbār).[113] Orientasi homoseksual jelas merupakan dorongan dari nafsu ini, khususnya pada tabiat bahāim yang mendorong seseorang untuk selalu mencari kepuasan seksual. Bila diikuti, maka nafsu ini akan meminta pemenuhan menjadi tindakan homoseksual.  Apabila tidak ada perlawanan, maka seseorang berorientasi homoseksual akan melakukan come out, dan menjadi gay. Ia akan merasa bangga atas maksiat yang dilakukannya. Pada tahap ini, ia telah jatuh di dalam perangkap keempat yakni menjadi angkuh dengan penyimpangannya dari fitrah.

Allah telah memberikan potensi kepada manusia untuk melawan kecenderungan nafsu yang buruk. Meskipun manusia bisa saja jatuh ke dalam keadaan buruk sebab kealpaannya, Allah telah memberikan mereka potensi berupa ilmu serta kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, kemudian manusia diberikan petunjuk langsung berupa wahyu. Allah memberikan manusia kekutan ikhtiyār, yakni kemampuan untuk selalu memilih jalan terbaik.[114] Bahkan manusia yang telah jatuh ke dalam keburukan akan merasa gelisah atas keadannya tersebut. Keadaan gelisah karena penyimpangan ini disebut an-nafs al-lawwāmah.[115] Secara literal lawwāmah berarti selalu menyalahkan dirinya, menyesali keadannya. Seorang yang berada pada keadaan ini selalu menyesali dirinya sembari terus bersungguh-sungguh melakukan kebaikan.[116] Keadaan ini merupakan langkah besar pertama dalam perkembangan psiko-spritual seseorang. Dari perspektif lain, Ibn al-Qayyim menyebut keadaan ini sebagai hati yang sakit (al-qalb al-marīḍ). Ciri hati sakit adalah padanya ada kecintaan kepada Allah tapi ia senantiasa dibayangi syahwat yang berusaha memalingkannya dan selalu ia lawan dengan gelisah.[117]

Dalam keadaan nafs al-lawwāmah seseorang harus terus menerus mengikuti ilmu dari Allah (wahyu) serta mengikuti akal sehatnya. Al-Attas menegaskan bahwa manusia di dalam tahapan ini sedang berjuang melawan nafsu hewani (animal powers). Untuk memenangkan pertarungan tersebut, ia harus memakai ilmu pengetahuannya, akhlak yang sempurna, serta usaha yang kuat.[118] Muslim yang mengalami keadaan ini juga perlu senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, Dia akan senantiasa memenuhi permohonannya.[119] Seorang yang memiliki kecenderungan homoseksualitas di dalam dirinya dan merasa gelisah atas keadaan tersebut sedang berada di fase ini. Maka ia seharusnya mengikuti tuntunan wahyu untuk menjauhinya. Kajian psikologi yang telah disebutkan di atas telah menunjukan bahwa ia bisa berubah bila menguatkan motivasinya. Akal sehat harus didahulukan di atas keinginan nafsunya. Telah terbukti bahwa kaum homoseksual yang berkecimpung di dalam kehidupan gay adalah kelompok paling rentan terhadap penularan penyakit kelamin dan AIDS. Seorang yang memiliki akal sehat akan menghindarkan  dirinya dari kecelakaan dunia dan akhirat.

Manusia yang berhasil melewati tahapan an-nafs al-lawwāmah akan memperolah ketenangan batin di sisi Allah. Keadaan ini disebut a-nafs al-muţmainnah  yang secara literal berarti jiwa yang tenang.[120] Al-Khāzin di dalam tafsirnya menggambarkan jiwa ini sebagai jiwa yang menetapi keimanan, ketakwaan, membenarkan dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah. Ia rida terhadap keadaan dirinya sesuai ciptaan Allah.[121] Bagi seorang yang memiliki kecenderungan homoseksual dan berhasil mengatasinya, ia harus tunduk kepada ketentuan Allah meskipun itu tidak mudah. Ia rida terhadap cobaan dari Allah berupa kecenderungan menyukai sesama jenis. Bentuk keridaannya ini bukanlah dengan mengikuti kecenderungan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh kaum liberal. Keridaan yang sesungguhnya, sebagaiman ditegaskan al-Khazin, adalah rida mengikuti ketentuan wahyu meskipun ia harus berusaha melawan kecenderungan buruk dalam dirinya. Allah memastikan ujian yang diberikan pasti bisa dilewati oleh hamba-Nya.[122] Apabila dirinya sukar dalam usaha tersebut, ia jatuh kembali di dalam homoseksualitas selama terapi, maka ia tidak boleh berputus asa. Allah bersedia senantiasa menerima taubat dari hamba-Nya[123]

 

  1. Homoseksualitas Dari Perspektif Hukum Syariah

Dari perspektif lain, homoseksualitas menyalahi fitrah penciptaan tubuh manusia. Secara biologis manusia telah diciptakan saling berpasangan sebagai akomodasi dari kecenderungan untuk saling ketertarikan di antara laki-laki dan perempuan. Struktur tubuh perempuan telah dibuat untuk bisa mengandung dan melahirkan sedangkan laki-laki untuk membuahi perempuan. Al-Hasan al-Bashri, sebagaimana disebutkan oleh az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa kata mawaddah di dalam surah Rum ayat 21 –yang berbicara tentang pernikahan—adalah  kiasan bagi hubungan intim (jima’) sedangkan rahmah adalah kiasan untuk anak keturunan.[124] Karena itu,, fitrah peciptaan syahwat yang disalurkan lewat lembaga pernikahan adalah memperoleh keturunan (prokreasi), selain tentu saja untuk berbagi rasa sayang dan cinta. Aktivitas seksual prokreasi adalah sesuatu yang penting. Dengan memadukan analisa Ibnu Khaldun dan Giambattista Vico, sejarawan Italia Angelo Bertolo memperingatkan kolapsnya peradaban Barat akibat angka kelahiran yang semakin menurun.[125]

Keberlangsungan hidup umat manusia di muka bumi adalah bagian dari fitrah penciptannya. Sejak awal, manusia diberikan amanah untuk menjadi khalīfah di muka bumi.[126] Amanah ini menurut al-Attas bukan hanya berarti penguasaan atas bumi dalam konteks sosiopolitik atau mengontrol alam melalui temuan sains, tapi lebih pada pertanggung jawaban untuk memeliharanya dengan jiwa (nafs) dan akal yang jernih.[127] Beban khalīfah juga termasuk beban memelihara dirinya sendiri. Untuk menjalankan amanah ini maka keberlangsungan hidup umat manusia adalah sebuah priorias penting yang dijaga oleh syariah. Para ulama telah merumuskan bahwa salah satu tujuan syariah (maqāṣid as-syarī’ah) adalah menjaga keberlangsungan garis keturunan manusia (hifẓ an-nasl). Selain itu, syariah juga bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa manusia (hifẓ an-nafs).[128] Karena itu, perbuatan-perbuatan yang mengancam kedua hal tersebut menjadi tindakan-tindakan terlarang di dalam syariat dan padanya dikenai hukuman. Al-Ghazāli menyebutkan homoseksual sebagai dosa yang diharamkan karena akan memutuskan keuturunan.[129] Selain itu, penemuan sains menunjukan gaya hidup homoseksual beresiko besar terinfeksi virus mematikan, AIDS. Dengan demikian, pada perbuatan ini syariat mengenakan hukuman-hukuman tertentu.

Dalam menjatuhkan hukuman, syariah hanya berkaitan dengan tindakan lahir dan tidak menyentuh keadaan batin manusia. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa ia hanya memberikan hukuman bagi sesuatu yang zahir dan membiarkan Allah mengurusi batin manusia.[130] Dengan demikian, aspek homoseksualitas yang dikenai hukuman bila terbukti hanyalah dimensi perbuatannya saja yakni praktik hubungan seksual sejenis. Baik antara laki-laki maupun perempuan (lesbianisme). Homoseksualitas dalam pengertian orientasi seksual yang masih berupa kecenderungan dalam hati untuk menyukai sesama jenis tidak dikenai hukuman. Namun demikian, ia tetaplah syahwat terlarang yang harus dilawan,  tidak boleh dibiarkan atau dilampiaskan sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga menunjukan bahwa hukuman dikenakan kepada siapapun pelaku hubungan seksual sesama jenis (liwāţ atau siḥāq), termasuk laki-laki atau perempuan yang secara psikologis heteroseksual. Hukuman yang disebutkan di sini tidak termasuk anal seks yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (liwāţ as-sugrā).

Di dalam hukum liwāţ dan siḥāq terdapat masalah-masalah yang telah disepakati ulama dan ada pula yang masih menjadi perbedaan pendapat. Para ulama telah sepakat terhadap keharaman perbuatan ini dan bahwa padanya harus dijatuhi hukuman. Dasar pengharamannya adalah ayat-ayat al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Mereka juga sepakat bahwa hukuman hanya bisa ditetapkan apabila terdapat saksi yang melihat langsung seperti pada ketentuan zina penelitianImam  Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam Malik mensyaratkan saksinya empat sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan dengan dua saksi.[131] Hukuman juga bisa berlaku dengan pengakuan pelakunya. Di dalam liwāţ atau siḥāq juga berlaku hukuman qażf bagi mereka yang menuduh seseorang melakukan perbuatan tersebut tapi tidak bisa membutikannya.[132] Oleh karena itu, di dalam Islam tidak akan ditemukan tindakan diskriminatif terhadap orang-orang homoseksual hanya karena orientasi atau kecenderungan dalam diri mereka, tapi bila ia melakukan tindakan homoseksual maka ia wajib dikenai hukuman. Seseorang yang secara serampangan menuduh orang lain seorang pelaku praktik homoseksual tanpa bisa membuktikan diancam hukuman cambuk, sebagai realisasi pidana qażf.

Ulama berbeda pendapat dalam bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada pelakunya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman liwāţ adalah sama dengan hukuman  hadd bagi pezina, yakni rajam bagi pelaku muḥṣān (telah beristri) dan cambuk serta diasingkan bagi pelaku gair muḥṣān (belum beristri). Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman pelaku liwāţ hanyalah berupa ta’ẓir, dimana bentuk hukumannya diserahkan kepada penguasa atau hakim.[133] Adapun bentuk hukuman bagi pelaku lesbianisme atau sihāq adalah ta’zhir. Para ulama bersepakat bahwa pelaku lesbianisme atau sihāq tidak dikenai hukuman hādd seperti pada pelaku zina. Bagi mereka hanya dikenakan hukuman ta’zhir, yakni bentuk hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim. Hukuman yang diberikan hendaknya bisa membuat jera.[134]

Dua pendapat ini masing-masing memiliki perincian. Meskipun Imam Abu Hanifah menetapkan hukuman ta’zhir kepada pelaku liwāţ, tapi muridnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat seperti jumhur. Lebih jauh lagi, menurut mereka apabila pelaku liwāţ yang masih bujangan terus-menerus mengulangi perbuatannya meski telah dikenai hukuman cambuk maka orang tersebut boleh dijatuhi hukuman mati. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth keduanya dikenai hukuman rajam, baik yang melakukan penetrasi (al-fā’il) maupun pasangannya (al-maf’ūl). Syarat dijatuhkannya hukuman ini menurut mereka hanyalah sampainya umur balig (at-taklīf) tidak disyaratkan harus Islam. Sedangkan mazhab Syafi’iyah juga berpendapat sama, yakni pelaku maupun pasangannya sama-sama dibunuh berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah memerintahkan untuk membunuh kedua pasangan yang didapati melakukan perbuatan liwāţ. Ulama Hanabilah sepakat dengan pendapat ini. Sebagian ulama Syafi’iyah memilih pendapat seperti Imam Abu Hanifah yakni dikenai hukuman ta’zhir kepada pelaku penetrasi (al-fā’il). Adapun pasangan yang padanya dilakukan penetrasi (al-maf’ūl) apabila ia masih anak-anak, atau dipaksa, atau orang gila maka ia tidak dikenai hukuman. Namun apabila ia sudah balig serta melakukannya dengan sukarela maka ia dikenai hukuman cambuk atau diasingkan, baik ia muhsan maupun gair muhsan.[135] 

Dari pemaparan di atas, dapat disimplukan bahwa semua ulama sepakat tentang keharaman tindakan homoseksualitas, baik liwāţ maupun sihāq. Mereka juga sepakat tentang keharusan menjatuhkan hukuman atas mereka. Perbedaan hanya pada takyīf atau tata cara hukuman yang dijatuhkan. Sebagian berpendapat harus diterapkan hukuman hādd zina dimana bentuk hukumnya sudah tetap penelitian rajam dan cambuk. Sedangkan ulama lainnnya berpendapat hukumannya berbentuk ta’zhir dimana bentuk hukumannya diserahkan kepada pemerintah. Untuk konteks Indonesia dimana hukum pidana Islam belum diterapkan, hukum ta’zhir lebih aplikatif yakni hukuman bagi pelaku homoseksualitas diserahkan kepada pemerintah melalui penetapan peraturan tertentu.

Kesimpulan

Diskursus homoseksualitas di dalam psikologi sangat dipengaruhi oleh dasar epistemologinya yang sekuler. Harus diingat bahwa ilmu, termasuk psikologi tidaklah bebas nilai. Epistemologi ini lahir dari worldview Barat sebagai tempatnya berkembang yang salah satu cirinya adalah ever-shifting (selalu berubah). Salah satu bagian yang sangat bias nilai barat adalah patokan normal dan abnomal. Patokan ini, diakui oleh para psikolog sendiri sangat relatif. Ukurannya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Evolusi diagnosis terhadap homoseksualitas pun sejajar dengan perubahan nilai di dalam masyarakat Barat penelitian dari hegemoni Kristen menjadi sekuler-liberal. Selain itu, diskursus homoseksualitas tidak lepas dari tekanan politik gerakan-gerakan kaum gay. Puncaknya adalah deklasifikasi homoseksualitas dari DSM yang diterbitkan APA. Setelelah deklasifikasi tersebut, timbul berbagai kritikan dari psikolog lain. Banyak psikolog yang mengkritik deklasifikasi homoseksualitas sebagai sebuah keputusan yang tidak murni saintifik tapi sarat kepentingan politis. Mereka menunjukan hasil-hasil penelitian yang menunjukan bahwa homoseksualitas adalah sebuah kelainan psikologis, bukan semata-mata faktor genetik. Mereka juga menujukan bahwa orientasi seksual bisa dirubah melalui terapi.

Sebagai muslim, pandangan terhadap homoseksualitas (liwāţ dan sihāq) haruslah didasarkan atas wahyu bukan evolusi nilai masyarakat. Patokan normal dan abnormal adalah fitrah penciptaan manusia di alam wahyu. Fitrah manusia adalah menjadi hamba Allah yang senantiasa mematuhi-Nya, termasuk menghindari homoseksualitas. Hal tersebut dianggap syahwat yang harus ia lawan dengan menguatkan iman, berdoa, dan berusaha melalui terapi. Perasaan tersebut adalah ujian yang harus ia tempuh sebagai hamba Allah. Dengan demikian, Islam tidak menghukum seseorang hanya karena ia memiliki rasa tertarik kepada sesama jenis. Hukuman syariah hanya dijatuhkan kepada mereka yang memperturutkan syahwat  dan menjalani gaya hidup homoseksual, mejadi gay atau lesbian.

Jumhur ulama sepakat bahwa hukuman pelaku liwāţ dan sihāq seperti hādd zina, sedangkan kalangan Hanafiyah menetapkan hukuman ta’zhir, yakni ketentuannya diserahkan kepada pemerintah. Untuk kontesk Indonesia, hukuman ta’zhir lebih aplikasif. Meskipun demikian, seorang tidak bisa langsung dihukum hanya karena tuduhan, melainkan harus ada saksi dan bukti. Pidana qazf akan dikenakan kepada mereka yang menuduh orang lain melakukan liwāţ dan sihāq tanpa saksi dan bukti. Hukuman-hukuman ini ditetapkan syariat sebab manusia diciptakan untuk menjadi khalīfah-Nya untuk mmakmurkan bumi. Amanah inilah yang diproteksi oleh syari’ah melalui hifẓ an-nasl (menjaga keturunan) dan hifẓ an-nafs (menjaga keselamatan jiwa). Karena itu, syariah melarang dan memberikan hukuman kepada manusia yang melakoni gaya hidup yang memutus keturunan (nasl) dan beresiko besar terkena penyakit mematikan, AIDS. Petunjuk dan hukum syariah ditetapkan untuk kebaikan umat manusia sendiri. Wallāhu a’lam bi as-sawab. []

 

Daftar Pustaka

 

Abu Zayd, Bakr bin Abdillah, Mu’jam Manahi al-Lafdzhiyah wa Ma’ahu Fawaid fi Alfadz, (Riyad: Dar al-‘Ashimah, 1996)

al-Asfahani, Al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal Abu al-Qasim al-Raghib, Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Damaskus: Dar al-‘Ilm, 1412 H)

al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekulerisme, (Bandung: PIMPIN, 2010)

                         , Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)

al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid, Ihya’ Ulim ad-Din, (Kairo: Lajnat Nashr al-Thaqafa al-Islamiyya, 1356 H)

al-Haitsami, al-Hafidz Nur ad-Din Ali bin Abi Bakr, Majma’ Dzawaid wa Manba’al-Fawaid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)

al-Jauziyah, Muhammad bin Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdullah Ibnul Qayyim, Ighatsah al-Luhfan, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975)

al-Jazairi, Abd ar-Rahman bin Muhammad ‘Aud, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003)

al-Khazin, Alauddin Ali bin Muhammad Abu al-Hasan, Lubab at-Ta’wil bi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415)

al-Maragi, Amhad bin Mustafa, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Syirkah Mustafa Bab al-Halabi wa Abnah, 1946)

al-Mahalli, Jalal ad-Din Muhammad Ahmad dan Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir al-Jalalaini, (Kairo: Dar al-Hadis, tt)

al-Mishri, Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar as-Shadir, tt)

al-Qurtubi, Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdil Malik bin Baththal al-Bakri, Syarhu Sahih al-Bukhari li Ibni al-Baththal, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2003)

American Psychiatr. Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders DSM-IV-TR Fourth Edition (Washington: American Psychiatric Association,  1996)

an-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi, al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar bi Naqli al-‘Adli ‘an al-‘Adli ila Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, tt)

Armelli, Jerry A, et al. “A Response to Spitzer’s (2012) Reassessment of His 2003 Study of Reparative Therapy of Homosexuality.” Archives Of Sexual Behavior (2012): 1-2.

as-Syathibi, Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Garnathi, al-Muwafaqat, (tt: Dar Ibn ‘Affan, 1997)

asy-Syaibani, Al-Wazir Abu al-Muzaffar Yahya bin Muhammad bin Hubairah, Ikhtilaf al-Aimmati al-‘Ulama, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Imiyah, 2002)

at-Tustari, Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rafi’, Tafsir at-Tustari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H)

az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Ahmad, al-Kasyaf an Haqaiq Ghawamid at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiy, tt)

Badri, Malik, The Dilemma of Muslim Psychologyst, Tjm. Siti Zainab Luxfiati, Dilema Psikolog Muslim, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996)

Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam, (Yogyakarta: Pustka Pelajar, 2011)

Bayer, Ronald, Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey: Princeton University Press, 1981)

Benette, Paul, Abnormal And Clinical Psychology: An Introductory Textbook , (New York: Mc Graw Hill International, 2011)

Beyrer, Chris, et al. “Global Epidemiology Of HIV Infection In Men Who Have Sex With Men.” The Lancet 380.9839 (2012), hal 367-368.

Bertolo, Angelo, The Imminent Collapse of America and of the Whole Western Civilization, (Indiana: iUniverse, 2012)

Breen, Margaret Sönser dan Fiona Peters, Genealogies of Identity: Interdisciplinary Readings on Sex and Sexuality, (New York: Rodopi, 2005)

Byrd, A. Dean dan Stony Olsen. “Homosexuality: Innate and Immutable.”Regent UL Rev. 14 (2001), hal 422.

Cameron, Paul dan Kirk Cameron. “Re-Examining Evelyn Hooker: Setting the Record Straight with Comments on Schumm’s (2012) Reanalysis.” Marriage & Family Review 48.6 (2012), hal 49.

Colman,  Andrew M., A Dictionary of Psychology, (New York: Oxford University Press, 2009)

Cotten, Christopher dan John W. Ridings. “Getting Out/Getting In: The DSM, Political Activism, and the Social Construction of Mental Disorders.” dalam  Social Work in Mental Health 9.3 (2011), hal 182

Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New Jersey: Princeton University Press, 2013) hal 37

Crompton, Louis, Homosexuality and Civilization (London: The Belknap Press Of Harvard University Press ,  2003)

Cummings, Nicholas A “The APA And Psychology Need Reform.” Makalah disampaikan pada Annual Convention Of The American Psychological Association (August 12). New Orleans, LA. 2006.

Darwisy, Muhyiddin bin Ahmad Musthafa, I’rab al-Qur’an wa Bayanuhu, (Damaskus dan Beirut: Dar al-Yamamah, 1415H )

Djayadi, M.T, Kamus Lengkap Islamologi, (Yogyakarta, 2009)

Does, Ralf, Magnus Hirschfeld: The Origins of the Gay Liberation Movement, (New York: NYU Press, 2014)

Dynes, Wayne R., Stephen Donaldson, Homosexuality and Medicine, Health, and Science, (ttp: Taylor & Francis,1992)

Gerrig, Richard J et al, Psychology and Life, (tt: Pearson Education Australia, 2010)

Getzfeld, Andrew R., Essentials  of Abnormal Psychology, (New Jersey:  John Wiley and Sons, 2006)

Hawari, Dadang, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 2009)

Husain, M. G ed, Psychology and Society in Islamic Perspective, (New Delhi: Institute of Objective Studies, 1996)

Husaini, Adian, Seputar Paham Kesetaraan Gender, (Depok:  Adabi Press, 2012)

                         , et al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013)

Jenkins, John dan John Pigram (ed), Encyclopedia of Leisure and Outdoor Recreation, (tt: Routledge, 2004)

Kinsey, Alfred, et al. Sexual Behavior In The Human Male,( Philadelphia: The Saunders Company,1948)

LeVay, Simon, Gay, Straight, And The Reason Why: The Science Of Sexual Orientation (Oxford University Press, 2010)

Maramis, Willy F., Ilmu Kedoteran Jiwa, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 2010)

Ma’luf, Louis dan Fr. Bernard Tottel, Qamus al-Mujid (Bairut:Darul al-Mausyaraq, 2003)

Minton, Henry L., Departing from Deviance: A History of Homosexual Rights and Emancipatory Science in America, (Chicago: The University of Chicago, 2002)

Muhammad, Husein et al, Fiqh Seksualitas Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas, (tt: PKBI, tth)

Mohamed, Yasien. “Fitrah And Its Bearing On The Principles Of Psychology.”American Journal of Islamic Social Science 12.1 (1995),

Munawir, Achmad Warson, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)

Myers, Joanne, Historical Dictionary of the Lesbian Liberation Movement Still the Rage, (USA:  Scarecrow Press, 2003)

National Association for Research and Therapy of Homosexuality (US). Scientific Advisory Committee, et al. What Research Shows: NARTH’s Response to the APA Claims on Homosexuality: a Report of the Scientific Adisory Committee of the National Association for Research and Therapy of Homosexuality. National Association for Research and Therapy of Homosexuality, 2009.

Nicolosi, Joseph, “The Removal Of Homosexuality From The Psychiatric Manual.”dalam Catholic Social Science Review ( 2001): 71 – 72.

Nordenfelt, Lennart, On the Nature of Health, (Springer Science & Business Media, 1995)

Nurseha, Qasim, “Kekeliruan Kaum Liberal Soal Homoseksual”, Islamia, 3.5. (2010),hal 141

Oosterhuis, Harry, Stepchildren of Nature: Krafft-Ebing, Psychiatry, and the Making of Sexual Identity, (Chicago: Universtiy of Chicago Press, 2008)

Pickett, Brent L., Historical Dictionary of Homosexuality, (Plymouth: The Scarecrow Press, 2009)

Reiss, Ira L dan Albert Ellis, At the Dawn of the Sexual Revolution: Reflections on a Dialogue, (Boston: AltaMira Press, 2002)

Richards, R. Scott dan Allen E. Bergin, A Spritual Strategy for Coseuling and Psychoteraphy Second Edition, (Washington DC: American Psychological Asosiation, 2007)

Rosario, Vernon A., Homosexuality and Science: A Guide to the Debates, (Calivornia: ABC-CLIO, 2002.)

Rönn, Minttu,  et al. “Developing A Conceptual Framework Of Seroadaptive Behaviors In HIV-Diagnosed Men Who Have Sex With Men.” Journal of Infectious Diseases 2.10. (2014), hal 586

Sampson, Mark et al, Personality Disorder and Community Mental Health Teams: A Practitioner’s Guide, (New Jersey:  John Wiley and Sons, 2006)

Satinover, Jeffrey, Homosexuality and the Politics of Truth (tt: Baker Books, 1996)

Spencer, Colin, Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang, diterj oleh Ninik Rochani Sjams, (Bantul:  Kreasi Wacana, 2011)

Spitzer, Robert L. “Can Some Gay Men And Lesbians Change Their Sexual Orientation? 200 Participants Reporting A Change From Homosexual To Heterosexual Orientation.” Archives of sexual behavior 32.5 (2003): 403-417.

                                . “Spitzer Reassesses His 2003 Study Of Reparative Therapy Of Homosexuality.” Archives of sexual behavior (2012): 1-1.

Soebagio, Rita, LGBT dan RUU KKG,(http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z89-lgbt-dan-ruu-kkg) diakses 25 Desember 2014.

                        ,Homophobia (http://thisisgender.com/kampanye-lesbi-berkemasan-psikologi/) diakses 25 Desember 2014.

Szasz, Thomas S.,  Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, (New York: Harper Perrenial, 1974)

Walsh, Richard T. G et al, A Critical History and Philosophy of Psychology,(United Kingdom: Cambridge University Press, 2014)   

Wright, Rogers H dan Nicholas A. Cummings, eds. Destructive Trends in Mental Health: The Well Intentioned Path to Harm. (tt: Routledge, 2005)

Whitehead, Neil L dan Briar Whitehead, My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence, (Whitehead Associates, 2013)

Wizarah al-Awfaq wa Syuun al-Islami, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (tt: Dar as-Safwah, 1427H)

Zarkasyi, Hamid Fahmy, Liberalisasi Pemikiran Islam penelitian Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo, CIOS, 2007)

                          , Liberalism, “Liberalization and Their Impacts of Muslim Education” Tsaqofah, vol. 8, 2012, hal. 198.

Zachar, Peter dan Kenneth S. Kendler. “The Removal Of Pluto From The Class Of Planets And Homosexuality From The Class Of Psychiatric Disorders: A Comparison.” dalam Philos Ethics Humanit Med 7.4 (2012) hal 3-4

Zijlstra, Iris. “The Turbulent Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference.” Dalam, Social Cosmos 5.1 (2014) hal 32.

 

 

 

 

 

 

 

 

*Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor dan YDSA Surabaya

[1]Colin Spencer, Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang, diterj oleh Ninik Rochani Sjams, (Bantul:  Kreasi Wacana, 2011), cet ke-2, hal. 447.

[2]Joanne Myers, Historical Dictionary of the Lesbian Liberation Movement Still the Rage, (USA:  Scarecrow Press, 2003) , hal. 1.

[3]Salah satu buktinya dapat dilihat dari terbitnya jurnal perempuan (edisi Mei, 2008), yang memperjuangkan perkawinan sesama jenis perempuan (lesbianisme), karena lesbianisme dianggap sebagai bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan yang tertinggi. Adian Husaini, Seputar Paham Kesetaraan Gender, (Depok:  Adabi Press, 2012)  hal. 7

[4]Rita Soebagio, LGBT dan RUKKG,(http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z89-lgbt-dan-ruu-kkg) Diakses 25 Desember 2014.

[5]Lihat Justisia, Indahnya Kawin Sesama Jenis, edisi 25, Th. XI 2004.

[6] Colin Spencer, Sejarah Homoseksualitas…hal 472

[7] Rita Subagio, Homophobia  http://thisisgender.com/kampanye-lesbi-berkemasan-psikologi/, diakses 25 Desember 2014.

[8]Di dalam makalah ini, kata homoseksualitas merujuk kepada kedua maknanya tersebut. Dengan demikian, penggunakan istilah ini juga merujuk kepada kamu Gay dan lesbian, yakni para perempuan dan pria homoseks yang memutuskan untuk come out dan menjadikan orientasi seksual mereka sebagai identitas sosial yang dibanggakan.  Lihat John Jenkins dan John Pigram (ed), Encyclopedia of Leisure and Outdoor Recreation, (tt: Routledge, 2004), hal 231, 196

[9] Andrew M. Colman, A Dictionary of Psychology, (New York: Oxford University Press, 2009) hal 619.

[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung: PIMPIN, 2010) Hal 166. Dalam konteks psikologi, Richard T. G. Walsh,Thomas Teo, Angelina Baydala, A Critical History and Philosophy of Psychology, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2014) hal 600.   

[11] Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam, (Yogyakarta: Pustka Pelajar, 2011), hal 32.

[12] Ibid, hal 43

[13]Septi Gumiandari, “Dimensi Spiritual Dalam Psikologi Modern (Psikologi Transpersonal sebagai Pola Baru Psikologi Spiritual)”. Paper dipresentasikan pada AICIS XII tahun 2012, 5-8 Nopember 2012, Surabaya. Hal 1040

[14] Ibid, hal 1046.

[15] Sharafat  Hussain Khan, “Islamization of Knowledge: A Case for Islamic Psychology” dalam M. G Husain ed, Psychology and Society in Islamic Perspective, (New Delhi: Institute of Objective Studies, 1996) hal 45.

[16] Otto Rank, Psychology and The Soul, (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1950) hal 1

[17] Adian Husaini, “Urgensi Epistemologi Islam” dalam Adian Husaini et al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hal 44.

[18] Salah satu poin sekulerisasi yang menghasilkan sekulerisme adalah deconsecration of values penelitian penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehingga semuanya bersifat nisbi dan relativ. Lihat Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, (New Jersey: Princeton University Press, 2013) hal 37

[19] Paul Benette, Abnormal And Clinical Psychology: An Introductory Textbook , (New York: Mc Graw Hill International, 2011) Hal 12

[20] Thomas S. Szasz,  Myth of Mental Illness: Foundations of a Theory of Personal Conduct, (New York: Harper Perrenial, 1974) hal 262

[21] Richard J Gerrig et al, Psychology and Life, (tt: Pearson Education Australia, 2010) hal 534

[22]Andrew R. Getzfeld, Essentials  of Abnormal Psychology, (New Jersey:  John Wiley and Sons, 2006) hal 1 -2.

[23] Malik Badri, The Dilemma of Muslim Psychologyst, Tjm. Siti Zainab Luxfiati, Dilema Psikolog Muslim, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hal 12 – 15.

[24] Ibid, hal 16

[25] Mark Sampson, Remy McCubbin, Peter Tyrer, Personality Disorder and Community Mental Health Teams: A Practitioner’s Guide, (New Jersey:  John Wiley and Sons, 2006) hal 36.

[26]  Willy F. Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 2010), hal 344

[27] Dasar larangan homoseksual terdapat dalam Genesis (Kejadian) 19:1-8 tentang penghacuran kaum Sodom dan Gomarah. Juga pada Leviticus (Imamat) 20:13 yang lebih eksplisit melarang kegiatan homoseksual.

[28] Louis Crompton, Homosexuality and Civilization (London: The Belknap Press Of Harvard University Press ,  2003) hal 363.

[29] Ronald Bayer, Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey: Princeton University Press, 1981), hal 16 – 19.

[30] Henry L. Minton, Departing from Deviance: A History of Homosexual Rights and Emancipatory Science in America, (Chicago: The University of Chicago, 2002) hal 11.

[31]Ibid. hal 11

[32]  Margaret Sönser Breen, Fiona Peters, Genealogies of Identity: Interdisciplinary Readings on Sex and Sexuality, (New York: Rodopi, 2005) hal 6

[33] Ronald Baye, Homosexuality and American Psychiatry… hal 19

[34]  Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science: A Guide to the Debates, (Calivornia: ABC-CLIO, 2002.) hal 275.

[35] Wayne R. Dynes, Stephen Donaldson, Homosexuality and Medicine, Health, and Science, (ttp: Taylor & Francis,1992)hal 177

[36] Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science….hal 18.

[37] Harry Oosterhuis, Stepchildren of Nature: Krafft-Ebing, Psychiatry, and the Making of Sexual Identity, (Chicago: Universtiy of Chicago Press, 2008) hal 52

[38] Ibid, hal 251

[39] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, (Plymouth: The Scarecrow Press, 2009) hal 52

[40] Ibid, hal 89 – 90

[41] Ralf Does, Magnus Hirschfeld: The Origins of the Gay Liberation Movement, (New York: NYU Press, 2014) hal 35

[42] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality….hal 73-74.

[43] Lennart Nordenfelt, On the Nature of Health, (Springer Science & Business Media, 1995), hal 133

[44]Alfred Kinsey, et al. Sexual Behavior In The Human Male, (Philadelphia: The Saunders Company,1948) 638

[45] Ibid, hal 639

[46] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality, hal 8

[47] Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science: A Guide to the Debates, hal 133 – 134.

[48] American Psychiatry. Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders DSM-IV-TR Fourth Edition (Washington: American Psychiatric Association,  1996) hal xvii.

[49] Iris Zijlstra. “The Turbulent Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference.” Dalam, Social Cosmos 5.1 (2014), hal 32.

[50] Joseph Nicolosi, “The Removal Of Homosexuality From The Psychiatric Manual.”dalam Catholic Social Science Review ( 2001): 71 – 72.

[51] Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science: A Guide to the Debates… hal 143.

[52] Thomas S. Szasz,  Myth of Mental Illness… 262

[53] Paul Cameron dan Kirk Cameron. “Re-Examining Evelyn Hooker: Setting the Record Straight with Comments on Schumm’s (2012) Reanalysis.” Marriage & Family Review 48.6 (2012), hal 49.

[54]Simon LeVay, Gay, Straight, And The Reason Why: The Science Of Sexual Orientation (Oxford University Press, 2010)

[55] Neil L Whitehead dan Briar Whitehead, My Genes Made Me Do It! Homosexuality and the Scientific Evidence, (Whitehead Associates, 2013), hal 177.

[56] Ibid, hal 56

[57] A. Dean Byrd and Stony Olsen. “Homosexuality: Innate and Immutable.”Regent UL Rev. 14 (2001), hal 422.

[58]Robert L. Spitzer “Can Some Gay Men And Lesbians Change Their Sexual Orientation? 200 Participants Reporting A Change From Homosexual To Heterosexual Orientation.” Archives of sexual behavior 32.5 (2003): 403-417.

[59]Robert L Spitzer. “Spitzer Reassesses His 2003 Study Of Reparative Therapy Of Homosexuality.” Archives of sexual behavior (2012): 1-1.

[60]Armelli, Jerry A., et al. “A Response to Spitzer’s (2012) Reassessment of His 2003 Study of Reparative Therapy of Homosexuality.” Archives Of Sexual Behavior (2012): 1-2.

[61]National Association for Research and Therapy of Homosexuality (US). Scientific Advisory Committee, et al. What Research Shows: NARTH’s Response to the APA Claims on Homosexuality: a Report of the Scientific Adisory Committee of the National Association for Research and Therapy of Homosexuality. National Association for Research and Therapy of Homosexuality, 2009. Hal 38.

[62] Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, (Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 2009), hal 62

[63] Ibid

[64] Robert L. Spitzer “Can Some Gay Men And Lesbians Change Their Sexual,…hal 406

[65] Dadang Hawari, Pendekatan Psikoreligi…hal 70 – 72.

[66] Chris Beyrer, et al. “Global Epidemiology Of HIV Infection In Men Who Have Sex With Men.” The Lancet 380.9839 (2012), hal 367-368.

[67] Minttu Rönn,  et al. “Developing A Conceptual Framework Of Seroadaptive Behaviors In HIV-Diagnosed Men Who Have Sex With Men.” Journal of Infectious Diseases 2.10. (2014), hal 586

[68] Ronald Bayer, Homosexuality and American Psychiatry: The Politics of Diagnosis, (New Jersey: Princeton University Press, 1981), hal 3-4.

[69] Jeffrey Satinover, Homosexuality and the Politics of Truth (tt: Baker Books, 1996) hal 29

[70] Iris Zijlstra. “The Turbulent Evolution Of Homosexuality: From Mental Illness To Sexual Preference.” Dalam, Social Cosmos … hal 32.

[71] Peter Zachar dan Kenneth S. Kendler. “The Removal Of Pluto From The Class Of Planets And Homosexuality From The Class Of Psychiatric Disorders: A Comparison.” dalam Philos Ethics Humanit Med 7.4 (2012) hal 3-4

[72] Christopher Cotten dan John W. Ridings. “Getting Out/Getting In: The DSM, Political Activism, and the Social Construction of Mental Disorders.” dalam  Social Work in Mental Health 9.3 (2011), hal 182

[73]  Ira L. Reiss,Albert Ellis, At the Dawn of the Sexual Revolution: Reflections on a Dialogue, (Boston: AltaMira Press, 2002), hal vii

[74] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality….hal 76

[75] Ibid

[76] Iris Zijlstra. “The Turbulent Evolution Of Homosexuality… hal 32.

[77] Rogers H Wright dan Nicholas A. Cummings, eds. Destructive Trends in Mental Health: The Well Intentioned Path to Harm. (tt: Routledge, 2005), hal 9

[78] Ibid, hal xiv

[79]Nicholas A Cummings. “The APA And Psychology Need Reform.” Makalah disampaikan pada Annual Convention Of The American Psychological Association (August 12). New Orleans, LA. 2006.

[80] American Psychiatric Association , Homosexuality and Sexual Orientation Disturbance: Proposed Change in DSM-II, 6th Printing, Page 44, Position Statement Retired., 1973. Hal 3

[81] American Psychiatr. Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders…. 493.

[82] Qasim Nurseha, “Kekeliruan Kaum Liberal Soal Homoseksual”, ISLAMIA, 3.5. (2010), hal 141

[83] Husein Muhammad et al, Fiqh Seksualitas Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas, (tt: PKBI, tth),hal 16 – 17

[84] I bid,  hal 90.

[85] Ibid, hal 91-95

[86] Untuk penjelasan Ibnu Baththal, lihat Abu al-Hasan Ali bin Khalaf bin Abdil Malik bin Baththal al-Bakri al-Qurtubi, Syarhu Sahih al-Bukhari li Ibni al-Baththal, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 2003) vol IX, hal 141-142

[87] Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality,…hal 93. Lihat juga Vernon A. Rosario, Homosexuality and Science… hal 120.

[88] Bakr bin Abdillah Abu Zayd, Mu’jam Manahi al-Lafdzhiyah wa Ma’ahu Fawaid fi Alfadz, (Riyad: Dar al-‘Ashimah, 1996), hal 477

[89] Teksnya berbunyi penelitian وإِني لأَجد له في قلبي لَوْطاً ولَيْطاً يعني الحُبَّ اللازِقَ بالقلب ولاط حُبُّه بقلبي يَلوط لَوْطاً لَزِقَ. Lihat, Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar as-Shadir, tt) vol. VII.  hal 394.

[90] Muhyiddin bin Ahmad Musthafa Darwisy, I’rab al-Qur’an wa Bayanuhu, (Damaskus dan Beirut: Dar al-Yamamah, 1415H ), vol. III, hal 395.

[91]عن واثلة قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلم: «سحاق النساء بينهن زنا. Hadis tersebut diriwayatkan Abu Ya’la, dan at-Thabrani, rijalnya tsiqah. Lihat al-Hafidz Nur ad-Din Ali bin Abi Bakr al-Haitsami, Majma’ Dzawaid wa Manba’al-Fawaid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), vol. VI. hal 227

[92]Wizarah al-Awfaq wa Syuun al-Islami, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (tt: Dar as-Safwah, 1427H), vol. XXIV. hal 251

[93] Husein Muhammad et al, Fiqh Seksualitas… hal 17

[94] Yasien Mohamed. “Fitrah And Its Bearing On The Principles Of Psychology.”American Journal of Islamic Social Science 12.1 (1995), hal 2

[95] Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam…., hal 17

[96]Louis Ma’luf dan Fr. Bernard Tottel, Qamus al-Mujid (Bairut:Darul al-Mausyaraq, 2003) hal. 577

[97]Dyayadi, M.T, Kamus Lengkap Islamologi, (Yogyakarta, 2009), hal.181

[98] Achmad Warson Munawar, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal.1063

[99] Baharuddin, Aktualisasi Psikolog Islam….hal 27.

[100] QS. adz-Dzariyat: 56

[101] Al-Maraghi menjelaskan bahwa makna “وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ”  dalam surah adz-Dzariat: 56 adalah manusia diciptakan untuk mengenal Allah lalu menaatinya, sehingga pengetahuan tentang-Nya adalah pra-syarat ketaatan. Amhad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo: Syirkah Mustafa Bab al-Halabi wa Abnah, 1946), vol. XXVII, hal 13.

[102] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal 144

[103] Hadis yang dimaksud adalah hadis riwawat Bukhari:

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: ” مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ، ثُمَّ يَقُولُ: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاف لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِق ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

 

[104] Teks aslinya berbunyi penelitian

وقد اختلفت عبارات الناس في معنى القلب السليم والأمر الجامع لذلك: أنه الذي قد سلم من كل شهوة تخالف أمر الله ونهيه ومن كل شبهة تعارض خبره .

Muhammad bin Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdullah Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ighatsah al-Luhfan, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975) vol I, hal 7.

[105] Al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal Abū al-Qāsim al-Ragib al-Asfahani, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, (Damaskus: Dār al-‘Ilm, 1412 H), vol I. hal 468.

[106] QS. Al-A’raf (7): 80-81.

[107] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena….hal 144

[108] QS. Asy-Syams (91):

[109] Al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal Abu al-Qasim al-Raghib al-Asfahani, Mufradat fi Gharib…hal 626.

[110] Ini merujuk kepada hadis yang telah disebutkan sebelumnya yakni lafal penelitian فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِه

[111] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena….hal 145

[112] QS. Yusuf (12): 53

[113] Abu Muhammad Sahl bin Abdillah bin Yunus bin Rafi’ at-Tustari, Tafsir at-Tustari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H), vol I, hal 82

[114] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena….hal 145

[115] QS. Al-Qiyamah (75): 2

[116] Jalal ad-Din Muhammad Ahmad al-Mahalli dan Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, Tafsir al-Jalalaini, (Kairo: Dar al-Hadis, tt), vol I. hal 779.

[117] Muhammad bin Abu Bakar Ayyub az-Zar’i Abu Abdillah Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Ighatsah al-Luhfan…vol. I, hal 9.

[118] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena….hal 147

[119] QS Al Mukmin:60

[120] QS. Al-Fajr (89): 27

[121] Alauddin Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khazin, Lubab at-Ta’wil bi Ma’ani at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415), vol. IV, hal 428

[122] QS. Al-Baqarah (2): 286

[123] QS. Az-Zumar (39): 53- 54

[124] Ayat yang dimaksud adalah

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Lihat penelitian Abu al-Qasim Mahmud bin Umar bin Ahmad az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqaiq Ghawamid at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiy), vol. III. hal 473

[125] Angelo Bertolo, The Imminent Collapse of America and of the Whole Western Civilization, (Indiana: iUniverse, 2012), hal 166.

[126] QS. Al-Baqarah (2): 30

[127]  Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena … hal 145

[128] Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Garnathi as-Syathibi, al-Muwafaqat, (tt: Dar Ibn ‘Affan, 1997), vol. II. Hal 17 – 19.

[129]Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulim ad-Din, (Kairo: Lajnat Nashr al-Thaqafa al-Islamiyya, 1356 H), vol XI.  hal 2100

[130] Hadis yang dimaksud adalah hadis panjang yang didalamnya terdapat lafal  berbunyi penelitian إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أُنَقِّبَ عَنْ قُلُوب النَّاس وَلَا أَشُقَّ بُطُونَهُمْ. Hadis diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi dalam penjelasan ringkasnya tentang hadis ini mengikuti Imam Nawawi yang memaknai bahwa Nabi Muhammad hanya menghukumi zahirnya perilaku, sedangkan rahasia hati diserahkan kepada Allah. Lihat Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi, al-Musnad as-Sahih al-Mukhtasar bi Naqli al-‘Adli ‘an al-‘Adli ila Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, tt) vol. II, hal 742

[131] Al-Wazir Abu al-Muzaffar Yahya bin Muhammad bin Hubairah asy-Syaibani, Ikhtilaf al-Aimmati al-‘Ulama, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Imiyah, 2002), vol. II. hal  255 – 256

[132] Wizarah al-Awfaq wa Syuun al-Islami, Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah…., vol. XXXV. hal 342

[133] Ibid. hal 340

[134] Abd ar-Rahman bin Muhammad ‘Aud al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), vol. V. hal 136

[135] Ibid, hal 339 – 342.

Siti Raham binti Endah Sutan, Antara Peran Politik dan Penjaga Kehormatan Sang Pahlawan

0
Siti Raham binti Endah Sutan, wanita bersahaja dibalik Buya Hamka. Sumber foto : Dokumentasi Keluarga
Siti Raham binti Endah Sutan, wanita bersahaja dibalik Buya Hamka. Sumber foto : Dokumentasi Keluarga
Siti Raham binti Endah Sutan, wanita bersahaja dibalik Buya Hamka. Sumber foto : Dokumentasi Keluarga
Siti Raham binti Endah Sutan, wanita bersahaja dibalik Buya Hamka. Sumber foto : Dokumentasi Keluarga

Oleh: Sarah L. Mantovani

Siapa orang yang tidak mengenal sang otodidak multitalenta bernama Hamka? Selain dikenal sebagai Pejuang Kemerdekaan, ia juga dikenal sebagai Budayawan, Wartawan, Politikus, Filsuf, Tokoh Pergerakan maupun sebagai Pujangga. Namun adakah yang mengenal sosok dan peran Siti Raham binti Endah Sutan? Sosoknya memang tidak begitu terlihat, namun bukan berarti ia tanpa peran, karena bersamanyalah Hamka merasakan ketentraman, darinya pula keputusan politik Hamka ditentukan.

Siti Raham binti Rasul Endah Sutan atau yang biasa disebut dengan Siti Raham merupakan anak kedua dari empat bersaudara, anak keenam Hamka, Azizah Hamka tidak begitu ingat kapan ibunya ini lahir, hanya ingat “ummi” – panggilan Azizah dan sembilan anak Hamka lainnya untuk ibunya – lahir pada tahun 1914, terpaut enam tahun dengan Hamka yang lahir pada tahun 1908.

Menikahnya Hamka dengan Siti Raham mempunyai latar belakang yang unik. Pada waktu itu, paman Hamka yang berada di kampung, Yusuf Amrullah, mengajak Hamka untuk berbicara empat mata. Awalnya pamannya ini menceritakan pada Hamka mengenai kesulitan-kesulitan yang menimpa ayahnya, seperti rumahnya yang berada di Padang Panjang telah hancur karena gempa bumi, para pelajar Sumatera Thawalib yang banyak membangkang dan Belanda yang memata-matai gerak-gerik ayahnya. Karena sebab itulah, pamannya meminta Hamka untuk menjadi pelipur lara, untuk mengobati hati ayahnya yang sedang dirundung duka, yaitu dengan menikahi seorang gadis di Kampung Buah Pondok, anak dari Angku Rasul bergelar Endah Sutan[1].

Akhirnya pada tanggal 05 April 1929, hanya bermodalkan honor dari hasil menulis roman Minangkabau dengan huruf Arab “Si Sabariyah”, Hamka menikahi Siti Raham, saat itu usianya masih baru 21 tahun sementara istrinya berusia 15 tahun[2]. Dari istrinya lah, Hamka memperoleh 12 anak bernama Hisyam Hamka, Husna Hamka, Zaki Hamka, Rusydi Hamka, Fachry Hamka, Azizah Hamka, Irfan Hamka, Aliyah Hamka, Fathiyah Hamka, Hilmi Hamka, Afif Hamka dan Shaqib Hamka. Dua anak Hamka lainnya, Hisyam dan Husna Hamka meninggal saat masih balita[3].

Buya Hamka dan Siti Raham. Sumber foto: Dokumentasi Keluarga
Buya Hamka dan Siti Raham. Sumber foto: Dokumentasi Keluarga

Halus Perasaan

Selain dikenal pintar memasak, Siti Raham juga dikenal karena perasaannya yang halus dan murah hati. Pernah saat bulan puasa, ada tukang susu yang datang ke samping rumah mereka ingin konsultasi dengan Hamka, rupanya tukang susu itu terlihat lemah karena belum makan, Siti Raham kemudian dengan sigap menyuruh “Icah” – panggilan kecil untuk Azizah – untuk mengambilkan makan.

“Icah, tolong sediakan makan, kasih nasi dan teh panas manis”, suruh umminya seperti yang dituturkan Azizah.

“Kenapa tukang susu itu disuruh makan dulu, ummi?”, Azizah bertanya dengan polosnya.

“Icah kan tau, tukang susu itu kelaparan, kalau tukang susu itu kelaparan mana bisa dia ngomong sama ayah, kalau dia sudah kenyang barulah ia bisa konsultasi ke ayah”, jawab umminya lembut.

Ia sungguh tidak tega melihat tukang susu itu kelaparan. Azizah mengakui, perasaan ibunya itu sungguh halus sekali.

Peran Politik

Meski tidak pernah terlibat langsung dalam politik dan tidak mengecap bangku pendidikan tinggi, namun peran Siti Raham dalam menentukan pilihan politik Hamka begitu besar. Ini pernah terjadi sekitar tahun 1959, saat pemerintah Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah menyuruh Hamka untuk memilih antara jabatan pegawai negeri golongan F dengan anggota partai, maka istrinya memilihkan agar Hamka melepaskan jabatannya sebagai pegawai negeri. Rusydi Hamka memberikan kesaksian, tidak ada tanda-tanda kecemasan yang keluar dari raut wajah ibunya yang dikenal tabah dan sabar menghadapi segala penderitaan itu.

“Kita kan tak pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan ayah sebagai pegawai itu. Jadi Hamka sajalah!”, hibur Siti Raham dengan senyum yang biasa.

Ucapan-ucapan ibunya, diakui Rusydi, telah menguatkan hati ayahnya sebagai seorang pejuang yang harus menentukan keputusan pasti. Tidak hanya itu, ibunya juga mengingatkan saudara-saudaranya Rusydi yang lain agar jangan meminta yang tidak-tidak karena kondisi ayahnya tidak begitu cerah di hari yang akan datang dan yang sudah dewasa, usahakan untuk mencari pekerjaan[4].

Sikap Sukarno yang mengeluarkan peraturan ini diduga kuat karena pidato Hamka yang menentang konsepsi presiden Sukarno dengan keras dan berani pada Sidang Konstituante yang dilaksanakan di Bandung. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1950, Hamka menjadi Pegawai Tinggi di Kementerian Agama golongan F dan menjadi anggota Konstituante fraksi Partai Masyumi[5].

Peran Siti Raham tidak hanya sampai di situ saja, pada tahun 1960, Hamka diundang oleh Jenderal Nasution ke kantornya. Selain sebagai Panglima ABRI, Jenderal Nasution merangkap jabaatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Dalam pertemuan tersebut, melalui Jenderal Nasution Hamka ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh pemerintah, karena pemerintah sangat menghargai jasa dan perjuangan Hamka dalam menghimpun kekuatan rakyat Sumatera Barat dan Riau pada waktu itu dan oleh karenanya pemerintah ingin memberikan Hamka, yang disebut Irfan Hamka dalam bukunya, pangkat kehormatan.

Kemudian Hamka berunding dengan istrinya, namun apa disangka? istrinya menyarankan agar Hamka tidak menerima tawaran tersebut.

“Lebih baik angku Haji tetap berperan di Masjid Agung Al-Azhar, lebih terhormat di hadapan Allah”, kenang Irfan setelah mendapatkan cerita tersebut dari kakak perempuannya, Azizah Hamka yang menirukan ucapan ibunya.

Tidak lama kemudian, Hamka menemui Jenderal Nasution dan secara halus ia menolak tawarannya sebagai Jenderal Mayor Tituler, setelah mendengar saran dari istrinya.

“Saya sudah dianggap sebagai ulama oleh masyarakat dan hobi saya hanya menulis, tentu akan hal-hal tersebut sedikit banyak akan menghambat tugas-tugas saya sebagai seorang Mayor Jenderal walaupun Tituler”, Hamka memberikan alasannya kepada Jenderal Nasution dan Jenderal Nasution bisa memaklumi alasan Hamka[6].

Irfan menilai, dari peristiwa tersebut bahwa ibunya bukanlah seorang perempuan yang ambisius, mencari popularitas atau ingin menambah kekayaan melalui jabatan yang ditawarkan oleh pemerintah. Menurut Irfan, sebenarnya bisa saja ayahnya langsung menolak kedua penawaran tersebut dan Irfan yakin, ayahnya pun pasti akan lebih memilih untuk tetap menekuni kesibukannya di bidang syi’ar Islam yang sudah mendarah daging dalam diri ayahnya.

Terlebih sejak dari muda, ayahnya itu bukan orang yang suka makan dari gaji pemerintah dan bukan pula pedagang seperti mayoritas laki-laki di kampungnya. Sumber kehidupan ayahnya hanya bergantung pada menulis buku dan saat pindah dalam suasana revolusi ke Padang Panjang, ia tidak punya sumber kehidupan yang tetap setiap bulannya[7].

Selain itu, irfan juga yakin, bahwa ayahnya juga sudah bisa menduga apa pendapat istrinya tersebut. Hal ini karena bukan hanya cinta, tetapi karena ayahnya itu sangat menghargai istri yang sangat dicintainya. Irfan begitu yakin, ini karena hasil pergaulan ibunya dengan ayahnya, sehingga ibunya mengetahui persis kepribadian dan watak ayahnya dengan baik[8].

Penjaga Kehormatan

Walau dalam keadaan yang serba kekurangan, Siti Raham tetap mempertahankan kehormatan suaminya dan begitu teliti dalam menjaganya, salah satunya dengan memperhatikan pakaian yang akan dipakai Hamka setiap ia akan keluar rumah, salah satunya dengan mencegah Hamka menjual kain-kain Bugisnya.

“Kain angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin”, cegah Siti Raham.

Kertas-kertas yang berserakan di meja atau buku-buku yang berantakan di kamar juga selalu dijaga agar tidak ada yang hilang. Kerapkali Siti Raham juga menegur Hamka akan hal-hal kecil, seperti kopiah yang hendak dipakai untuk dibersihkan dulu[9].

Hamka bercerita pada anak keempatnya, Rusydi Hamka, bahwa istrinya merupakan wanita yang setia dan tidak meminta sesuatu di luar kemampuan suaminya. Setelah menjalani pernikahan selama beberapa tahun, Hamka begitu mensyukuri bahwa ayahnya telah memilihkan seorang wanita yang begitu mulia dan rendah hati[10].

Kesetiaan istrinya dalam menemani Hamka suka maupun duka akhirnya harus dipisahkan oleh maut, darah tinggi dan diabetes yang menyerang tubuh Siti Raham tak kuasa lagi ia tahan. Pada 01 Januari 1971, Siti Raham dipanggil oleh Rabbnya dan tiga hari sebelum meninggal, Siti Raham meninggalkan wasiat, “Pandai-pandailah kau bercermin, kalau kau pandai bercermin maka selamatlah kau dunia akhirat”. Seakan-akan wasiat itu seperti pertanda bahwa ia akan dipanggil.

 

Sumber :

Wawancara dengan Azizah Hamka 12 Februari 2015

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1993

Irfan Hamka, 2013. Ayah… Kisah Buya Hamka Masa Muda, Dewasa, Menjadi Ulama, Sastrawan, Politisi, Kepala Rumah Tangga Sampai Ajal Menjemputnya. Jakarta. Penerbit Republika.

[1] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), hlm. 21.

[2] Ibid, hlm. 3.

[3] Irfan Hamka, Ayah…, hlm. 295.

[4] Rusydi Hamka, Pribadi…., hlm. 26.

[5] Ibid, hlm. 25-26.

[6] Irfan Hamka, Ayah…, hlm. 199-200.

[7] Rusydi Hamka, Pribadi…, hlm. 23.

[8] Irfan Hamka, Ayah…, hlm. 201.

[9] Rusydi Hamka, Pribadi…, hlm. 24 dan 27.

[10] Rusydi Hamka, Pribadi…, hlm. 22.

Mohd. Natsir: Feminisme, Perasaan Rendah Diri

0

m natsir

 Oleh: Sarah L. Mantovani

Vote for Women!”, begitu isi seruan dari kelompok Suffragettes yang tertulis di gedung-gedung pemerintahan Inggris. Mereka tidak hanya puas dengan menulis seruan tersebut, namun juga berdemonstrasi ke jalan untuk menarik opini publik, bahkan sampai melempari rumah Menteri Dalam Negeri dengan batu sehingga banyak kaca yang pecah. Cara ini dilakukan agar pihak pemerintah saat itu takut kepada mereka sehingga mereka akan diberikan hak memilih dan dipilih, karena tuntutan inilah maka mereka dinamakan kelompok Suffragettes atau kelompok feminis yang menuntut hak pilih untuk perempuan.

Kelompok Suffragettes merupakan kelompok feminis beraliran Marxis yang dipimpin oleh feminis bernama Sylvia Pankhurst[1]. Oleh salah satu pengurus Istri Sedar, S. Pringgodigdo dalam koran Sedar edisi Juni-Juli 1931, Sylvia Pankhurst dinilai sebagai perempuan yang sangat dicintai oleh ratusan ribu perempuan dan dibenci oleh pihak kuno[2]. Gerakan yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-19 tersebut pada akhirnya menjalar ke negara-negara lain, kemudian masuk hingga mempengaruhi pemikiran maupun sikap perempuan Indonesia pada tahun 1930-an.

Mohammad Natsir, salah satu tokoh yang juga vokal terhadap bahaya komunisme di Indonesia, menceritakan hasil pengamatannya terkait feminisme yang telah mempengaruhi pemikiran dan sikap perempuan Indonesia. Salah seorang debater dari kalangan kaum istri yang terkemuka di Semarang saat Kongres Jong Islamieten Bond, cerita Natsir, mengungkapkan pemikirannya tentang mahar dalam Islam yang disebutnya bukan memuliakan perempuan, melainkan salah satu penghinaan karena dengan mahar tersebut, perempuan telah dibeli laki-laki.

“Diwaktu penulis beberapa tahun jang silam mengemukakan sedikit perbandingan antara hak-hak perempuan menurut Qur’an dan menurut undang-undang Burgerlijk Wetboek jang berlaku dalam masjarakat bangsa Eropah dalam salah satu Kongres “Jong Islamieten Bond” dikota Semarang, salah seorang debater dari kalangan kaum isteri jang terkemuka dikota itu, melahirkan perasaannja bahwa “mahr” itu bukanlah suatu kemuliaan bagi perempuan, melainkan salah satu penghinaan, sebab dengan itu kaum perempuan itu dibeli oleh laki-laki……..!”[3].

Tidak hanya menceritakan hasil pengamatannya, mantan Presiden Liga Muslim se-dunia ini juga memberikan pandangannya terkait emansipasi yang pernah digaungkan Kartini dalam surat-suratnya untuk teman-teman Belandanya. Emansipasi yang digaungkan Kartini disebabkan kerasnya adat Jawa saat itu yang tidak mengizinkan perempuan untuk menempuh pendidikan.

“Diwaktu R.A Kartini memulai perdjuangannja memperbaiki nasib kaum perempuan pada permulaan abad ini, dia berhadapan dengan tradisi-Djawa jang amat keras mengukung langkah-langkah kaum perempuan. Mereka terpaksa tinggal dalam dunia jang sempit, tinggal bodoh dan sontok pemandangan, tidak diberi kesempatan untuk menuntut ilmu-pengetahuan walaupun sekedar jang tak dapat tidak harus ada, untuk pentjukupkan peri kemanusiaan mereka”.

Natsir menilai, perjuangan yang dilakukan Kartini terhadap kaum perempuan tidak lain agar mereka menjadi perempuan yang terdidik, karena jika kaum perempuan terdidik, maka mereka bisa melakukan kewajibannya sebagai istri dan ibu.

“Supaja mendjadi perempuan jang terdidik untuk melakukan kewadjiban mereka sebagai isteri dan ibu dalam arti jang “sepenuh-penuhnja”, inilah tudjuan hidup jang dibajangkan srikandi ini untuk bangsanja kaum perempuan”.

Cita-cita emansipasi, papar alumni Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ini, yang disebut Kartini dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan cita-cita yang sesuai dengan fitrah dan watak kaum perempuan.

“Para pembatja jang memperhatikan surat-suratnja jang terkumpul dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” tidak dapat tidak akan merasa sendiri bahwa tjita-tjita emansipasi jang dikemukakannja itu, tidak lain dari pada satu tjita-tjita jang schot (tepat sasaran) dan berdasar kepada fitrah dan watak kaum perempuan semata-mata”[4].

Tentu, hal ini diperkuat dengan suratnya yang tidak diterbitkan pada bulan Januari 1903, cita-cita yang ia perjuangkan agar perempuan mendapatkan pendidikan semata-mata bukan karena keseteraan gender, melainkan karena agar perempuan dapat menjadi ibu dan ibu merupakan pendidik pertama umat manusia.

“Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, berbicara. Dan dalam kebanyakan hal pendidikan yang pertama-tama ini bukan tanpa arti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibu lah yang pertama-tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Tidak tanpa alasan orang mengatakan, bahwa kebaikan dan kejatan diminum bersama air susu ibu dan bagaimana sekarang ibu-ibu Jawa dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak dididik? Peradaban dan kecerdasan bangsa Jawa dalam hal itu terbelakang, tidak mempunyai tugas”[5].

Setelah semangat politik etis berhasil dipertahankan oleh Belanda, antara lain oleh Van Deventer, mendapatkan kemenangan, maka pengajaran dan pendidikan Barat yang diberikan pada penduduk Indonesia, semakin bertambah banyak. Hal ini mengakibatkan kaum perempuan saat itu mengubah keadaan dirinya dari yang awalnya dianggap tidak mempunyai hak dan kekuasaan hingga menjadi seseorang yang oleh Natsir disebut orang yang mempunyai “kemerdekaan atas diri dan mata penghidupannya”, dalam waktu yang singkat.

Mereka, lanjut Natsir, tidak hanya merasa “merdeka dari perlindungan laki-laki” dan perlindungan tersebut dianggap merendahkan derajat perempuan, namun juga sampai pada kesimpulan bahwa dalam hal apapun, perempuan itu sebenarnya sama dengan laki-laki. Perasaan seperti ini diperkuat juga dengan berbagai pengajar dari pergerakan feminisme Barat yang menyampaikan cita-cita emansipasi, agar kaum perempuan bisa berjuang pada ranah laki-laki.

“Perasaan jang sematjam ini diperkuat oleh berbagai lektur dari pergerakan feministen Barat jang djuga sampai ke negeri kita ini. Jakni pergerakan feministen jang mengemukakan tjita-tjita emansipasi, supaja kaum perempuan bisa berdjuang di medan pekerdjaan laki-laki, bukan dalam dunia keperempuanannja sendiri di samping laki-laki itu”[6].

Kemudian Natsir menceritakan kembali pengamatannya bahwa ia pernah menemukan tulisan seorang perempuan dalam majalah Fikiran Rakyat yang memaparkan satu teori tentang keharusan perempuan untuk menuntut persamaan hak dan kesempatan yang sama di antara laki-laki dan perempuan.

“Salah seorang dari penulis perempuan dalam madjalah Fikiran Rakjat, pernah membentangkan satu teori jang menerangkan, apakah sebabnja maka kaum perempuan sekarang tampaknja kurang dari laki-laki, baik tentang kemadjuan djasmani maupun ruhani. “tubuh perempuan lebih lemah dari laki-laki, katanja, hanja lantaran perempuan tidak mempunjai kesempatan untuk sport seperti laki-laki. Dalam ilmu pengetahuan perempuan tidak banjak jang sepandai kaum laki-laki, katanja, lantaran kaum perempuan selama ini tidak dapat kesempatan untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Sekarang perempuan harus bergerak menuntut hak dan kesempatan jang sama dengan hak-hak jang ada pada laki-laki. Nanti kaum perempuan akan membuktikan bahwa dalam semua hal perempuan sama dengan laki-laki………”. Demikianlah kesimpulan dan keputusan jang diambil oleh penulis tersebut”.

Teori yang dipaparkan merupakan salah satu hasil dari berbagai pengajaran feminisme di Barat yang diterima dan dicontoh oleh kaum perempuan Indonesia tanpa filter sedikit pun.

“Walhasil teori jang sematjam itu ialah salah satu dari hasilnja pelbagai lektur feminisme di Barat jang sampai kenegeri kita ini, dan – sebagaimana djuga dengan hal jang lain – diterima dan ditjontoh dengan tidak memakai saringan sedikit djuga. Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi terhadap “minderwaardigheldcomplex” (rasa rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah dialami oleh kaum perempuan selama ini”[7].

 

[1] Anonim, Women’s Liberation Movement, https://marxist.org/glossary/events/w/o.htm. Diakses pada 03 Maret 2015.

[2] S. Pringgodigdo. Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman. Sedar Juni-Juli 1931.

[3] Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 51.

[4] Ibid, hlm. 53.

[5] J.H Abendanon, Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (terj: Sulastin Sutrisno), (Bandung: Penerbit Djambatan, 1981), hlm. 368.

[6] Mohammad Natsir, Capita…, hlm. 53-54.

[7] Ibid, hlm. 54 dan 56.

 

 

[1] Anonim, Women’s Liberation Movement, https://marxist.org/glossary/events/w/o.htm. Diakses pada 03 Maret 2015.

[2] S. Pringgodigdo. Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman. Sedar Juni-Juli 1931.

[3] Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 51.

[4] Ibid, hlm. 53.

[5] J.H Abendanon, Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (terj: Sulastin Sutrisno), (Bandung: Penerbit Djambatan, 1981), hlm. 368.

[6] Mohammad Natsir, Capita…, hlm. 53-54.

[7] Ibid, hlm. 56.

Peserta PKU Gontor: LGBT Telah Masuk ke Dalam Komik

1

thisis-gender

Gerakan-gerakan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sampai saat ini terus melakukan propaganda dan kampanye. Selain melalui jalur Gay Politics, mereka juga melakukan kampanye pada anak dan remaja melalui budaya, salah satunya ialah komik.

“Mereka telah masuk ke film-film dan komik-komik”, terang Ayub, salah satu peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor saat mengisi workshop LGBT dalam Perspektif Islam di Sekretariat Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (07/03/2015).

Menurut laki-laki yang pernah menjadi Kabid Immawati (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bagian perempuan) ini, penetrasi ideologi kenormalan LGBT lewat jalur kebudayaan lebih efektif.

“Sama dengan walisongo dahulu berdakwah dengan jalur budaya sebelum politik. Ketika kelompok LGBT sudah dapat legitimasi moral dari masyarakat yang sudah permisif sebab penetrasi kultural tadi, maka langkah politik mereka menjadi mudah”, jelasnya.

Jika dipetakan jalur masuknya, tambah Ayub, maka LGBT masuk melalui, pertama keilmuan termasuk studi Islam, kedua politik, ketiga kebudayaan, dan semuanya didukung penuh dana asing seperti USAID dan UNDP.

Dalih Psikologi

Selain itu, penganjur legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi untuk melegalkan apa yang mereka lakukan. Ayub mengutip keterangan Peneliti INSISTS yang juga Sekjen Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Rita Hendrawaty Soebagio bahwa dulunya di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder), homoseksualitas dianggap penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa.

“Akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks.

Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas, lanjut alumni Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi oleh APA dari DSM  maka LGBT merupakan perilaku yang alamiah dan normal.

Kesetaraan Gender Versus Keadilan Islam

0

Kesetaraan Gender Versus Keadilan Islam[1]

Kesetaraan Gender Versus Keadilan Islam

Oleh: Rira Nurmaida

 

Bismillahirrahmaanirrahiim

 Mukaddimah

 Penyetaraan hak laki-laki dan perempuan  menjadi agenda pokok yang diperjuangkan oleh  para feminis,  mulanya  merupakan  respon  atas  kultur  yang  tidak  menghargai perempuan  secara semestinya  sebagai  manusia.  Namun  belakangan  ini,  ideologi  feminisme[2] yang  dituangkan ke  dalam  paham  kesetaraan  gender  (gender  equality)[3] telah  menjadi  tren  baru  masyarakat modern.  Bahkan  menjadi  tolak  ukur  maju tidaknya  pembangunan  di  sebuah  negara,  yaitu dengan  menggunakan  ukuran  HDI (Human  Development  Indeks),  GDI  (Gender-related Development  Index),  GEM (Gender Empowerment Measurament), dll.  Dengan ukuran-ukuran itu dan kampanye yang massif, kesetaraan gender seolah telah menjadi keniscayaan dan menjadi konsep yang  patut  diterima  tanpa  dipertanyakan  lagi.  Kesetaraan  gender  disebar  untuk diundangkan  secara  global  melalui  instrumen  CEDAW  yang  digagas  PBB  dan diratifikasi  mayoritas  negara  di  seluruh  dunia.  Benarkah  kesetaraan  gender merupakan jawaban atas ketidakadilan yang dihadapi perempuan di seluruh dunia?

 

Wacana Kesetaraan Gender

Dalam  membangun  wacana  kesetaraan  gender,  para  feminis  seringkali  memulainya  dengan membedakan definisi seks dan gender. Dua istilah tersebut lazim kita anggap sama,  yakni  bermakna jenis  kelamin  manusia  yang  terdiri  atas  laki-laki  dan perempuan,  dan  sifatnya  mutlak  harus diterima  sebagaimana  mestinya.[4] Namun, menurut mereka hal tersebut hanya terbatas pada pembagian manusia secara biologis yang  didefinisikan  sebagai  seks,[5] sedangkan  gender  diberi  definisi baru  sebagai kelompok  atribut  dan  perilaku  yang  dibentuk  secara  kultural.  Dengan  demikian gender—bagi  mereka—  merupakan  konstruksi  sosial  yang  bersifat  tidak  permanen  dan  dapat diubah.  Bagi  para  feminis,  konstruksi  tradisional  telah  menempatkan perempuan  pada  posisi  dan  peran  yang  berada  di  bawah  kuasa laki-laki.  Sistem  ini mereka sebut dengan sistem patriarkal.

Posisi perempuan yang menjadi  subordinat laki-laki meniscayakan ketidakberdayaan perempuan  dan mengurangi  hak-hak  mereka  sebagai  manusia.  Pandangan  itu dikukuhkan  dalam  pendapat  religius[6] masyarakat  Barat  dan    nyata  dalam  berbagai bentuk  diskriminasi  terhadap perempuan.  Fenomenanya  antara  lain:  ketiadaan  hak bagi perempuan untuk mendapatkan warisan atau berpartisipasi dalam dunia politik. Singkatnya,  perempuan  hanya  dipandang  sebagai  objek seksual  dan  aset  domestik tanpa berkesempatan untuk turut serta dalam kehidupan publik. Tidak hanya di Barat, bahkan di Arab pada masa pra-Islam,  perempuan dipandang lebih rendah lagi dengan munculnya  perasaan  terhina  pada  seorang  ayah  saat  mendapatkan  keturunan perempuan,  dan kehormatannya  dikembalikan  dengan  membunuh  anaknya  tersebut hidup-hidup.

Berangkat dari situasi tersebut, muncul gagasan  dan gerakan  untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang merupakan sejarah yang panjang[7] hingga pada sekitar abad XX,  gerakan  tersebut kemudian  terkoordinasi  pada  level  internasional  dan menghasilkan  susunan  hak  perempuan semacam  “Bill  of  Rights”  khusus  bagi perempuan yang dikenal dengan CEDAW[8].  Instrumen  ini dikatakan bertujuan untuk menghapus  segala  bentuk  diskriminasi[9] terhadap  perempuan  dan mewujudkan kesetaraan gender.

Term  “kesetaraan gender”  yang dapat disimpulkan sejauh ini bermakna  meniadakan pembedaan  yang dialami  perempuan  dalam  berbagai  sektor  kehidupan.  Kesetaraan yang  ingin  dicapai  bersifat substantif,  yakni  kesetaraan  yang  digambarkan  sebagai kesetaraan hakiki, bukan yang dipandang kesetaraan semu semisal hanya membuka kesempatan yang  sama bagi perempuan, akan tetapi perlu diberikan dukungan untuk dapat meraih kesetaraan itu secara riil. Bila perlu diberi hak-hak khusus untuk meraih kesetaraan itu, contohnya hak khusus mengenai kuota anggota parlemen.

Pada perjalanannya, aspek yang diperjuangkan meluas dan tidak terbatas pada ranah sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi masuk ke dalam persoalan seksualitas dan permasalahan  keluarga.  Yakni, dimasukkannya  tuntutan  untuk  memilih  ekspresi seksual  secara  bebas,  misalnya  LGBT,  atau kebolehan  pasangan  homoseksual mengadopsi anak,  sebagai bentuk kesetaraan hak.

Demi  meraih target kesetaraan tersebut, berbagai penghalang harus dihilangkan atau “disesuaikan”. Penghalang  yang  kuat  biasanya  muncul  dari  tradisi  dan  agama.  Jika tidak  dapat  dilenyapkan, biasanya  dibuat  tafsir  baru  atas  keyakinan  yang  telah mengakar  kuat  di  tengah  masyarakat sehingga  target-target  kesetaraan  gender tercapai.  Karena itu tidak mengherankan ketika bermunculan studi-studi  baru tentang agama  yang  menyertakan  “sudut  pandang  kesetaraan gender”.  Pada  praktiknya,  hal ini telah menghadirkan paham menyimpang yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang sesungguhnya.[10]

Kesetaraan versus Keadilan

 Di  bagian  awal  tulisan  ini  disebut  bahwa  munculnya  feminisme  bermula  dari penderitaan perempuan  yang  menderita  akibat  ketidakadilan  sistem  patriarkal.  Hal menarik yang patut digarisbawahi adalah kecenderungan para feminis untuk melawan ketidakadilan  tersebut  dengan menawarkan  bentuk  ketidakadilan  yang  lain.  Dapat dilihat  dari  definisi  diskriminasi  yang  digunakan sebagai  parameter,  bahwa  tujuan eksplisit dari perjuangan tersebut adalah untuk menyamakan perempuan dengan laki-laki;  untuk membuat perempuan memiliki hak-hak yang sama seperti laki-laki. Pada kenyataannya,  ketika  perempuan  berusaha  untuk  “have  it  all”,  maka  ia  pun  harus dapat  “do it all[11]. Padahal secara biologis terdapat perbedaan signifikan pada laki-laki dan perempuan yang berkontribusi pada perbedaan karakter dasar, kapasitas, dan keunggulan  maupun  kelemahan  masing-masing.  Penyamaan  posisi  dan  peran  laki-laki dan perempuan jelas menafikan semua itu dan merupakan bentuk ketidakadilan karena  dua  pihak  yang  berbeda  kapasitas  dan  karakteristik  dipaksa  untuk menghadirkan performa yang sama bahkan berkompetisi menjadi yang terbaik.

Selain  itu, ketika mengejar kesetaraan gender yang berpihak pada perempuan, pada saat yang sama para feminis melupakan adanya laki-laki yang juga menjadi korban ketidakadilan sistem sosial yang berlaku pada saat ini.  Bukan hanya perempuan yang miskin; menjadi korban kriminal, pelecehan, bahkan KDRT.

Selain itu, konsep kesetaraan substantif yang diajukan juga menghadirkan keganjilan  tersendiri. Dikatakan adil ketika menuntut kuota keterwakilan perempuan di parlemen  sementara  pada  saat  yang  sama  laki-laki  dengan  kapasitas  tertentu  yang  dianggap memadai  untuk  lolos  dibatasi  dengan kuota  yang  ada.  Mengapa  tidak  menerapkan sistem persaingan terbuka sehingga terbuka kesempatan yang adil bagi setiap orang? Kemudian,  kala  menuntut upah  yang  sama,  pada saat  yang  sama  para  feminis juga menuntut  hak-hak  khusus  bagi  perempuan  semacam  cuti  bulanan  pada  saat menstruasi dan tempat penitipan anak di tempat kerja. Dari hal-hal seperti ini, tampak  jelas  bahwa  kesetaraan  yang  diimpikan  tidak  ada  realitasnya.  Karena  pada  saat perempuan  didorong  untuk  mengejar  kedudukan  yang  sama dengan  laki-laki  justru yang dihadirkan adalah bentuk ketidakadilan lain yang muncul dari hak-hak khusus yang dibutuhkan perempuan untuk mendukung aktivitasnya.

Konsep Keadilan Islam

Islam  sebagai  agama  yang  sesuai  fitrah,  menempatkan  manusia,  laki-laki  dan perempuan sesuai dengan kadar masing-masing, diperhitungkan setiap amalnya tanpa pengecualian[12]— dan tidak ada yang lebih baik pengetahuannya terhadap hal tersebut kecuali Allah SWT, sang Khaliq—,  tanpa memperlakukan salah satu lebih istimewa dari yang lain kecuali taqwanya.

Islam  pun  memandang  laki-laki  dan  perempuan  sebagai  mitra[13] yang  saling membantu satu sama lain dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah. Tidak dibenarkan yang satu menghamba pada yang lainnya. Karena itu salah besar tuduhan yang  menyatakan  bahwa  Islam  merupakan  agama misoginis  karena  memberikan kekuasaan besar di tangan laki-laki dan mendiskreditkan perempuan.

Kekuasaan  bukanlah  parameter  keistimewaan  seseorang.  Islam  memandang kekuasaan  sebagai amanah  dan  tanggung  jawab  yang  besar.  Tidak  dibebankannya suatu  kuasa  pada  seseorang  juga tidak  serta  merta  merupakan  bentuk  penghinaan yang  merendahkan  posisinya.  Karena  itu  ketika perempuan  tidak  diperkenankan menjadi pemimpin dalam pemerintahan, bukan berarti merendahkan kedudukan dan martabatnya.

Sisi  lain  yang  diserang  dalam  syari’at  Islam  adalah  soal  warisan  perempuan  yang dikatakan hanya separuh dari bagian laki-laki.  Padahal dalam kenyataannya terdapat sejumlah perhitungan waris sebagai berikut:  1. hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima  setengah  bagian  laki-laki;  2.  ada  8  kondisi saat  perempuan  menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki; 3. ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian  lebih  banyak  dari  laki-laki;  4.  ada  beberapa  kondisi  saat  itu  perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya.[14]

Permasalahan itu muncul karena dalam benak para feminis, harta termasuk parameter keistimewaan seseorang.  Kepemilikan  aset  menjadi  simbol  kekuasaan,  karena  itu mereka memandang bebasnya perempuan dari kekangan patriarki adalah dengan jalan melepaskan  diri  dari  ketergantungan  secara ekonomi  pada  laki-laki.  Padahal  perlu ditekankan  di  sini  bahwa  unsur  ekonomi  bukan  merupakan parameter  kemuliaan seseorang. Tidaklah yang diberi kewajiban menafkahi otomatis lebih  mulia dari yang dinafkahi;  atau  yang  memiliki  harta  lebih  banyak  menjadi  yang  lebih  tinggi derajatnya dari yang lainnya[15].

Selain itu, perempuan juga mendapatkan hak belajar dan menuntut ilmu sebagaimana laki-laki. Perempuan  juga  diperbolehkan  keluar  rumah  dan  beraktivitas  dengan memenuhi beberapa kaidah.  Juga berhak meriwayatkan hadis[16] dan pergi ke medan peperangan  sebagai  paramedis  maupun  pejuang,  sebagaimana  ia  mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah).

Hal-hal tersebut  itu  merupakan  kondisi  ideal  sebagai  bentuk  keadilan  dalam  Islam yang dapat diraih muslimah. Karena itu muslimah tidak membutuhkan feminisme dan ide kesetaraan gendernya,  karena mereka telah mulia dalam Islam. Kenyataan sosial saat ini yang menunjukkan terpuruknya muslimah sebagai korban sistem sosial yang ada  hendaknya  tidak  menjadikan  muslimah  salah  langkah  dengan berharap  pada feminisme  sebagai  solusinya.  Akan  hanya  dapat  diperbaiki  dengan  mengembalikan Islam  pada  posisinya  sebagai  pandangan  hidup  dan  ideologi  manusia  sehingga syari’atnya tegak dan keadilannya dirasakan oleh semua orang.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

[1] Disampaikan pada Kajian Muslimah Keputrian FKG UGM, 28 November 2014

[2] Menurut  Susan  Osborne,  feminisme  adalah  cara  melihat  dunia  (worldview)  di  mana  perempuan melihatnya dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya kepada konsep patriarki  yang  dimaknai sebagai sistem  kekuasaan  laki-laki  yang  menindas  perempuan  melalui  lembaga lembaga sosial, politik dan ekonomi.

[3] Para  feminis  yang  mulanya  menuntut  hak-hak  perempuan  atas  nama  emansipasi,  lalu mengembangkan konsep  gender  sekitar  tahun 1970-an. Kemudian wacana gender diperkenalkan oleh  sekelompok  feminis  di London  pada  awal  tahun  1977.   Sejak  itu  para  feminis   mengusung  konsep gender equality atau kesetaraan gender sebagai mainstream gerakan mereka.

[4] Gender  merupakan  kosa  kata  baru  yang  belum  ditemukan  dalam  Kamus  Besar  Bahasa Indonesia, pada bahasa-bahasa lain kata tersebut lazimnya juga masih disamakan definisinya dengan seks.

[5] Seks merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris  “sex”  yang diterjemahkan sebagai jenis kelamin, yang menunjukkan adanya penyifatan dan pembagian manusia secara biologis, yaitu lelaki atau wanita. Namun,  dalam pemakaian  sehari-hari  oleh  masyarakat  Indonesia,  kata  ini  disalahartikan  sebagai hubungan badan. Lihat Siti Muslikhati,  Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Depok: Gema Insani Press, 2004), h. 19.

[6] Menurut McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi  yang  dilakukan  para  pembaharu  gereja  tidak  banyak  membantu  nasib  perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul  tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. (Dinar Dewi Kania, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya).

[7] Gerakan feminis pada mulanya adalah gerak sekelompok aktivis perempuan  Barat, misalnya Susan B. Anthony dan  Elizabeth  Cady  Stanton,  yang  memiliki  surat  kabar  sendiri  yaitu  The  Revolution. Kemudian  lambat  laun  menjadi  gelombang  akademik  di  universitas-universitas,  termasuk  negara-negara  muslim,  melalui  program “woman  studies”.  (Gadis  Arivia,  Pembongkaran  Wacana  Seksis Filsafat  Menuju  Filsafat  berperspektif  Feminis,  Disertasi,  Universitas  Indonesia,  Fakultas  Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok, 2002, h.20)

[8] Convention on  the  Elimination of   All Forms of Discrimination Against Women  (CEDAW)  seringkali dirujuk sebagai “Bill of Rights” bagi perempuan  karena CEDAW secara khusus menargetkan promosi  dan  perlindungan  terhadap  hak  asasi  perempuan.  Lebih  jauh  lagi,  dinyatakan  bahwa  CEDAW menjanjikan upaya-upaya pemberdayaan perempuan untuk memastikan perempuan mendapatkan hak-haknya tersebut.

[9] Dalam Pasal 1 CEDAW, “diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan  yang  dibuat  atas  dasar  jenis  kelamin  yang  mempunyai  dampak  atau  tujuan  untuk  mengurangi atau  meniadakan  pengakuan,  penikmatan  atau  penggunaan  hak  asasi  manusia  dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan,  terlepas  dari  status perkawinan  mereka,  atas  dasar  kesetaraan  antara  laki-laki  dan perempuan (CEDAW, 1979:2).

[10] Contoh kasus, Amina Wadud yang mengimami shalat jama’ah yang terdiri atas pria dan wanita dengan alasan perempuan memiliki hak yang sama dalam ibadah.

[11] Zara Huda Faris “Do Women Need Feminism”,  transkrip audio, Muslim Debate Initiative

[12] “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (Q.S Ali Imran: [195])

[13] Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kaum perempuan adalah mitra kaum laki-laki. (HR. Abu Dawud).

[14] Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu al-Musâwâh, (Cairo: Nahdhah Misr, 1999), h. 10-11. Dalam Saiful Bahri, Kesetaraan Gender dan Desakralisasi Agama.

[15] “Kaum  laki-laki  itu  adalah  pemimpin  bagi  kaum  wanita,  oleh  karena  Allah  telah  melebihkan sebagian  mereka  (laki-laki)  atas  sebagian  yang  lain  (wanita),  dan  karena  mereka  (laki-laki)  telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS An-Nisa: [34]). Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini bukan  bermakna  derajat,  akan tetapi  kapasitas.    Sayyid  Quthb  dalam  tafsirnya  Fii  Zhilalil  Qur’an menyatakan: “as God has given him the necessary qualities and training to  undertake this task and assigned to him the duty of meeting the family’s living expenses.”

[16] M. Akram Nadwi. Muhaddhithat.

 

Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (2)

0

Muslimah dalam Wacana Feminis

Bias feminisme Barat yang menghasilkan misrepresentasi sebagaimana disampaikan dalam tulisan sebelumnya (lihat: Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (1)),  menimbulkan reaksi dari beberapa pemikir muslim untuk membangun feminisme dari sudut pandang Islam. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi feminisme Islam. Badran Margot, salah satu sarjana yang banyak membahas feminisme Islam menggambarkan gerakan tersebut sebagai,

 

a feminist discourse and practice that derives its understanding and mandate from the Qur’an, seeking rights and justice within the framework of gender equality for women and men in the totality of their existence. Islamic feminism explicates the idea of gender equality as part and parcel of the Qur’anic notion of equality of all insan (human beings) and calls for the implementation of gender equality in the state, civil institutions, and everyday life...[1]

 

Dari gambaran ini diperoleh kesan bahwa femnisisme Islam mengambil basisnya langsung dari al-Qur’an sebagai alternatif bagi feminisme Barat. Kedudukan feminisme Islam sebagai alternatif  juga bisa dilihat di dalam sikap Fatima Mernissi sebagai salah satu tokoh feminis Islam terhadap feminisme Barat. Ia secara jelas mengecam misrepresentasi feminisme Barat terhadap Islam secara umum dan muslimah secara khusus. Bagi Mernissi, misrepresentasi Barat hanya menambah kompleksnya persoalan perempuan di dunia Islam serta memancing permusuhan dari mereka.[2]

Ironisnya meskipun Mernissi menyuarakan oposisi terhadap misrepresentasi feminisme Barat, el-Guindi menilainnya justru terjebak di dalam ideologi asal misrepresentasi yang dilawannya itu. Dalam persoalan harem misalnya, walaupun memakai sumber-sumber Arab, Mernissi tetap bersandar kepada ideologi Kristen-Eropa ketika menafsirkannya sehingga harem tereduksi menjadi sekedar persoalan gender dan seksualitas[3]

Mernissi bukanlah satu-satunya feminis Muslim yang terjebak di dalam ideologi Barat ketika hendak menafsirkan Islam. Studi yang dilakukan Khalif Muammar terhadap  pemikiran-pemikiran beberapa tokoh feminis Islam menunjukan hal tersebut. Studi itu meliputi beberapa usaha feminis Islam untuk mencari legitimasi kesetaraan gender dengan cara merekonstruksi bangunan syari’ah, meninjau ulang beberapa persolan fikih perempuan, serta reinterpretasi beberapa ayat dan hadis yang dianggap misoginis.

Dari kritik epistemolisnya terhadap wacana feminis Islam tersebut, Khalif Muammar menyimpulkan bahwa lontaran ide-ide mereka sama sekali asing bagi Islam, mereka juga banyak keliru dalam memakai metodologi keilmuan Islam. Hal itu terjadi sebab mereka memang hanya mencari validitas di dalam teks keagamaan bagi pemikiran yang diusung. Sebuah pemikiran yang berangkat dari worldview sekuler Barat.[4] Beberapa feminis Muslim yang betul-betul terbaratkan seperti Nawal el-Sadawi, Irshad Manji, dan Taslima Nasrin bahkan menjadi sangat liar dalam mengkritisi Islam sebagai sebab ketimpangan gender. Kritik mereka telah menjadi varian dari Islamophobia, Muhamadul Hasan menyebutnya gendered Islamophobia. [5] Akibatnya, alih-alih mengatasi masalah yang ada, mereka justru lebih banyak membangkitkan kontroversi di tengah masyarakat Islam.

Akhirnya, sama seperti feminisme Barat, feminisme Islam pun terjebak di dalam mispreresentasi terhadap muslimah sehingga upaya pemberdayaan mereka justru kontraproduktif. Sachiko Murata telah mengingatkan bahwa kritik feminisme terhadap Islam memang berangkat dari suatu pandangan-dunia yang secara radikal asing bagi Islam sehingga alih-alih membangun ia justru berdampak buruk. Kritik tersebut disebarkan dengan semangat proselitisme khas Barat dan diterima oleh sebagian umat Islam yang telah kehilangan sentuhan dengan jagat intelektual dan spritualitas mereka sendiri.[6]

Apalagi kampanye feminisme tidak berhenti pada tataran teoritis saja, dengan mengendarai badan-badan internasional seperti UNDP, teori-teori kesetaraan yang dibangun di atas ideologi mereka diimpor ke seluruh dunia hingga ia menjadi arus utama dalam diskursus tentang perempuan dan sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah di hampir semua negara di dunia Islam.[7] Maksud dari kampanye besar-besaran tersebut adalah untuk memberdayakan perempuan. Namun prinsip pemberdayaan mereka berasal dari akar ideologi yang  asing bagi umat Islam. Padahal untuk pemberdayaan perempuan, umat seharusnya memulainya dari landasan agama mereka sendiri.

Sebagai bagian dari upaya membangkitkan peradaban Islam, perjuangan Muslimah haruslah didasarkan pada upaya mengkaji kembali khazanah keislaman secara kreatif dengan tidak keluar dari worldview Islam.[8] Agama ini telah memiliki konsepnya sendiri tentang perempuan. Mengadopsi mentah-mentah konsep dari peradaban lain, sebagaimana telah dijelaskan di atas justru menambah persoalan. Abu Sulayman menegaskan bahwa di dalam sejarah, umat Islam tidak pernah bisa maju ketika mereka mengadopsi pemikiran dari peradaban lain sebagai basis perjuangannya.[9]

Salah satu  bentuk perjuangan muslimah saat ini adalah melawan hegemoni  wacana feminisme tentang muslimah yang sarat misrepresentasi. Sebagaimana telah dipaparkan, pengetahuan tentang muslimah yang diproduksi orientalis kolonial dan diwarisi feminisme Barat telah mengaburkan identitas muslimah. Wacana feminis poskolonial yang dibangkitkan perempuan-perempuan dari negara-negara bekas jajahan tidak bisa betul-betul mengakomodir sebab basis mereka umumnya adalah ras atau nasionalitas.[10] Feminisme Islam pun tidak bisa diharapkan sebab mereka juga pada kenyataannya telah terbaratkan. Olehnya, perjuangan muslimah tidak terbatas pada kajian terhadap khazanah keislaman atau peningkatan kualitas hidup mereka. Lebih dari itu, muslimah memiliki kewajiban untuk membersihkan sisa-sisa misrepresentasi kolonialistik yang hingga kini menutupi hakikat perempuan dalam Islam dan kerap berujung pada kesalahpahaman. Jasmin Zine menyebut usaha tersebut “writing ourselves[11], muslimah harus menuliskan tentang diri mereka sendiri untuk mencipta kontra-narasi bagi misrepresentasi feminisme.

Wallahu a’lam.

 

 

[1] Margot Badran. “Islamic Feminism Revisited.” Al-Ahram Weekly On-Line 78.1 (2006): hal 9.

[2] Fatima Mernissi, “Arab Women’s Rights and the Muslim State in the Twenty-first Century ; Reflection on Islam as Religion and State” dalam Mahnaz Afkhami (ed), Faith and Freedom ; Women’s Human Rights in the Muslim World. (New York : Syracuse University Press, 1995), hal 33.

[3] Fedwa el-Guindi, Jilbab….hal 58.

[4] Beberapa gugatan feminis yang dikaji Khalif Muammar adalah persoalan penciptaan Hawa dari tulang rusuk, peran wanita di dalam keluarga, kepemimpinan lelaki dalam keluarga, kepemipinan perempuan, dan kontroversi tentang kelemahan akal wanita. Tokoh-tokoh yang pendapatnya dikaji antara lain Farid Esack, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Ashgar Ali Engginer. Lihat Khalif Muammar, “Wacana Kesetaraan Gender: Islamis Versus Feminisme Islam” Islamia,  3. 5 (2010), hal 40 – 55.

[5] Md Muhammadul Hasan,“Feminism as Islamophobia: A Review of Misogyny Charges against Islam”.” Intellectual Discourse 20.1 (2012), hal  55-78.

[6]Sachiko Murata, The Tao of Islam ; Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Bandung : Mizan, 1999), hal 24 – 25.

[7] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ;Sudut Pandang Baru dalam Relasi Gender, (Bandung : Mizan, 1999), hal 24.

[8] Mohammad Muslih, Bangunan Wacana Gender, (Ponorogo : CIOS, 2007), hal 30

[9] Abdul Hamid, A. Abusulayman, Crisis in the Muslim Mind, (Herndon : IIIT, 1993), hal 11.

[10] Morny Joy, “Postcolonial and Gendered Reflection: Challenges For Religous Studies” dalam Ursula King dan Tina Beattie, Gender, Religion and Diversity ; Cros-Cultural Perspective, (London dan New York : Continuum, 2005) hal 31.

[11] Jasmin Zine, . “Muslim Women And The Politics Of Representation…. “ hal 17

 

*Penulis merupakan alumni Fak. Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang saat ini sedang mengikuti Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor.

Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (1)

0

Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis

Oleh: Ayub*

Ada hubungan yang kuat antara feminisme dan semangat kolonialisme Barat. Feminisme dianggap mewarisi semangat sarjana kolonial dalam merepresentasikan “yang lain” dengan citra inferior. Kritik tersebut berasal dari para feminis poskolonial yang muncul dibawah pengaruh tulisan-tulisan Edward Said seperti Orientalism dan Culture and Imperialism.[1] Di dalam karyanya, Said menunjukan bahwa sarjana-sarjana Orientalis lebih memilih membuat sebuah representasi imajiner yang negatif tentang timur dari pada meneliti gambaran yang sesungguhnya.[2] Feminisme Barat dituduh menempuh cara yang sama, Chandra Talpade Mohanty, salah satu feminis poskolonial terkemuka menunjukan representasi perempuan lain di dalam tulisan feminis Barat sebagai berikut ;

 

This “Average Third World” woman leads an esentially truncated life based on her feminine gender (read ; sexually constrained) and her being “Third World” (read : ignorat, poor, uneducated, traditional …..)  This is contrast to the impicit self-representation of Western woman as educated, as modern, as having control over their own bodies and sexualities and the freedom to make their own decisions.[3]  

 

Gambaran di atas oleh Mohanty disebut imaji“The Average Third World women” yakni hasil dari pandangan feminis Barat yang menganggap perempuan tertindas di seluruh dunia adalah fenomena homogen. Mereka lalu membuat gambaran imajiner tentang perempuan-perempuan tersebut sembari menggambarkan diri dalam citra yang kontras; maju, berpendidikan dan independen. Gambaran ini juga diperoleh dari feminis non-Barat yang mempergunakan pendekatan feminis Barat[4]. Berdasarkan penggambaran yang terdistorsi dan berbau imperialistik semacam itulah, para feminis menjalankan program-programnya di negara di luar Barat. Sehingga tidak mengherankan bila memajukan perempuan disamakan dengan westernisasi. Hal tersebut juga berlaku di dunia Islam.

Dalam konteks dunia Islam, misrepresentasi (penggambaran yang salah) Barat terhadap muslimah bisa dilacak jauh sebelum lahirnya feminisme. Mohja Kahf[5] melacak  representasi muslimah di dalam karya-karya di Barat mulai dari abad pertengahan hingga periode romantisisme. Ia menemukan adanya perubahan signifikan representasi muslimah di dalam narasi Barat dari waktu ke waktu yang merupakan produk dari perkembangan kebudayaan Barat serta perubahan perimbangan kekuatannya dengan dunia Islam.[6] Represetnasi tersebut bisa dibagi di dalam tiga kurun, masa Abad Pertengahan, Renaisans dan masa kolonial.

Di dalam narasi abad pertengahan ketika peradaban Islam jauh mengugguli Barat, muslimah muncul di dalam karya sastra sebagai sosok Termagant, seorang ratu berwibawa yang memiliki kekuatan menakutkan. Gambaran ini kemudian berubah menjadi perempuan yang liar dan sensual ketika mulai terjadi konflik dengan peradaban Islam. Citra liar dan sensual itu diteruskan pada masa Renaisans selain adanya citra terkungkung agama. Akhirnya pada masa kolonial, munculah gambaran perempuan yang tertindas, terkurung di dalam harem dan menjadi korban kekolotan sekaligus memiliki pesona seksual yang menggoda[7]. Gambaran muslimah dari masa kolonial inilah yang hingga saat ini masih bertahan di dalam budaya pop ataupun dokumenter yang diproduksi di Barat.[8]

Sebagaimana budaya pop dan media Barat yang mewarisi representasi muslimah ala sarjana kolonial, feminisme pun terjebak di dalam bias tersebut. Etnosentrisme yang berada di belakang representasi feminisme Barat terhadap muslimah dianggap oleh Fedwa el-Guindi berakar dari warisan kolonial tersebut.[9] Akibatnya, mereka meyakini bahwa akar ketertinggalan muslimah terletak di dalam agama mereka yang terbelakang, sehingga solusi yang ditawarkan pun adalah sebuah upaya modernisasi yang lagi-lagi sejajar dengan westernisasi. Sebab nilai-nilai Barat selalu dianggap mewakili kemajuan, sebuah pandangan yang lahir dari perkawinan kolonialisme dengan feminisme.[10]

Analisis Jasmin Zine terhadap beberapa karya feminis yang menggambarkan muslimah menegaskan corak kolonialis, termasuk mereka yang sudah berupaya keluar dari kungkungan paradigma kolonial itu. Zine memberikan contoh tentang karya Geraldine Brooks ,jurnalis feminis dari Australia, berjudul Nine Parts of Desire. Di dalam buku itu Brooks selalu memulai babnya dengan sebuah ayat al-Qur’an untuk menujukan bahwa representasinya terhadap muslimah  memang berangkat dari teks paling otoritatif di dalam Islam. Namun demikian, di dalam karyanya tersebut, Brooks masih sangat bias. Ketika ia menggambarkan jilbab misalnya, secara halus Brooks menggunakan apa yang disebut Zine sebagai “metaphorical violence”untuk mentrasnfer bias negatifnya tentang jilbab kepada pembaca.[11] Hal yang sama juga terjadi pada penulis lain yang disurvei Zine.

Bersambung ke: Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminis (2)

 

[1] Sara Mills, “Teori Feminis Poskolonial” dalam Stevi Jackson dan Jackie Jones, Teori-Teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), hal. 169.

[2] Said menunjukan bahwa citra tentang Timur di dalam imajinasi kolektif Barat bisa dilacak dari karya-karya sastra pada masa konflik Yunani-Persia hingga laporan-laporan dan kerja intelektual tentang Islam. Mereka membuat garis imajiner yang tegas antara dua benua, dimana Timur digambarkan eksotis menggoda tapi sekaligus meneror, lalu menjadi yang kalah dan terbelakang, lihat Edward Said, Orientalism, (London : Penguin, 1977), hal 56 – 97.

[3] Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders ; Decolonizing Theory, Practicing Solidarity, (Durham & London : Duke University Press, 2003), hal 22

[4] Ibid, 18.

[5] Seorang guru besar sastra kelahiran Damaskus yang kini tinggal di Amerika.

[6] Mohja Kahf, Western Representations of the Muslim Woman: From Termagant to Odalisque, (Austin : University of Texas Press, 2010),  hal 2

[7] Gambaran tersebut bahkan dipertegas dengan menerbitkan serangkaian kartu pos yang menampilkan muslimah berjilbab tapi digambarkan seksi, menampakan payudara dan senyum sensual, lihat,. Malek Alloula, The Colonial Harem, (Mennapolis : University of Minnesota Press, 1986), hal 105 – 106.

[8] Mohammed Azaouibaa, The Representation of Muslims in Western  Documentaries, (Fes : Sidi Mohamed Ben Abdellah University, 2013), hal 29.

[9] Fedwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, (Jakarta : Serambi, 2003), hal 57

[10] Mihret, Woldesemait,. Unfolding the Modern Hijab: From the Colonial Veil to Pious Fashion.Diss. (Trinity College, 2013), hal 25.

[11] Jasmin, Zine. “Muslim Women And The Politics Of Representation.” American Journal of Islamic Social Sciences 19.4 (2002), hal 11

 

Kondom Bukan Solusi

0

virus_mrsa

Oleh: Sarah Mantovani
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan adanya kasus sodomi terhadap anak TK usia 6 tahun di sebuah sekolah internasional di daerah Jakarta Selatan oleh pasangan sesama jenis, kemudian ada pula kasus Emon yang menyodomi ratusan anak sekolah di Sukabumi. Belum hilang ingatan kita akan kasus sodomi ini, seorang oknum perempuan yang diduga merupakan relawan HIV/AIDS terlihat oleh seorang warga Lhokseumawe sedang membagi-bagikan brosur vulgar pada siswa-siswi SMP dan SMA pada awal September lalu. Brosur vulgar tersebut selain berisi pencegahan agar tidak terkena HIV/AIDS, juga berisikan cara pemakaian kondom dengan benar.

Data dari Kemenkes pada bulan Juni 2014 menunjukkan, sebanyak 1.298 orang dengan perilaku penyimpangan seksual terkena AIDS dan jumlah terbanyak dialami oleh laki-laki dengan total 29.882 orang. Sementara itu, situs Tempo melansir pada tahun 2014 penderita HIV/AIDS dari golongan gay di Malang terus meningkat. Dari total populasi 4.500 golongan gay, sebanyak 102 terinfeksi HIV/AIDS. Pada Juli lalu sebanyak empat orang terdeteksi HIV/AIDS dalam voluntary counselling and testing (VCT). Jumlahnya meningkat dari sebelumnya, antara dua sampai empat orang per bulan.

Selain itu, beberapa tahun lalu terdapat laporan yang mengekspos kajian kedokteran di Amerika. Hasilnya mereka yang memiliki perilaku penyimpangan seksual lebih banyak terkena serangan bakteri ganas jenis baru yang menyerang zat antibiotik. Bakteri tersebut dikenal dengan nama bakteri pemakan daging manusia.

Lebih lanjut, Hisham Thalbah dan ilmuwan Islam yang menulis dalam Ensiklopedi Mukjizat Qur’an dan Hadits memaparkan, kajian ini menjelaskan bahwa radang yang timbul akibat dari penyakit ini disebut dengan radang bakteri staphylococcus aureus yang menyerang methicillin (penisilin semi sintetis). Istilah ini disingkat dengan sebutan bakteri MRSA, yaitu jenis bakteri yang menyerang hampir semua zat antibiotik di dalam tubuh.

Kemudian yang mengejutkan, pada beberapa tahun terakhir, jumlah orang yang meninggal di Amerika akibat bakteri ini lebih banyak prosentasenya daripada orang yang mati karena virus HIV/AIDS. Bakteri MRSA ini sangat mematikan dan bisa menyebabkan seseorang terkena penyakit radang paru-paru akut dan bernanah.

Selama ini, masyarakat kita selalu diperlihatkan penanganan HIV/AIDS dengan pemakaian kondom, selain dengan pemeriksaan ke dokter. Meminjam himbauan pada brosur vulgar yang dibagikan pada siswa-siswi SMP dan SMA di Lhokseumawe “Di luar banyak godaan, anak istri jangan sampai ketularan. Selalu pakai kondom dan periksa penyakit kelamin sekarang!”. Intinya, siapapun termasuk suami dan pasangan LGBT boleh melakukan seks asalkan pakai kondom, dengan kondom dijamin aman, dengan kondom pula penyakit menular seksual tidak akan berani datang. Namun, apakah dengan pemakaian kondom akan menghentikan perilaku penyimpangan seksual yang turut menyumbang angka pengidap HIV/AIDS?.

Tidak hanya itu, kampanye dukungan hubungan sesama jenis, ditambah dengan dihapusnya perilaku ini sebagai perilaku menyimpang dari kamus psikiatri Amerika pada tahun 1970, kemudian pernyataan menjadi seorang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan takdir Tuhan, bawaan sejak lahir dan tidak bisa disembuhkan sangat gencar dilakukan oleh para aktivis HAM Barat maupun pegiat LGBT.

Mengenai perilaku penyimpangan seksual yang tidak bisa disembuhkan, Allah pernah berfirman dalam Surat Al-An’am ayat 17, “Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan padamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendantangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Pun Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, bahwa Allah tidak menurunkan penyakit melainkan ada penawarnya.

Pakar Psikologi Internasional dari Sudan, Prof. Malik Badri dalam sebuah kuliah umum di sebuah kampus Islam Bogor yang diadakan dua tahun lalu juga telah membantah bahwa LGBT merupakan bawaan sejak lahir. Menurutnya, sebagaimana yang dilansir thisisgender.com, jika kita mengatakan bahwa LGBT merupakan bawaan sejak lahir berarti kita telah memvonis Tuhan tidak adil. Begitu pula dengan Psikiater, Prof. Dadang Hawari, dalam wawancaranya dengan wartawan Republika.co.id pada Juli 2013 lalu, mengatakan bahwa LGBT merupakan penyimpangan dan bisa disembuhkan karena bukan dari gen, melainkan dari pengaruh lingkungan.

Tentu, harus ada kesadaran dari pelaku untuk berubah dan mau disembuhkan. Cara penyembuhannya pun bukan dengan tetap mendukungnya melakukan hubungan sejenis dengan memberikan kondom, tetapi ia harus dibawa dan diterapi oleh psikiater, juga disembuhkan melalui pendekatan agama. Salah satunya seperti yang pernah terjadi pada Ferry, penderita depresi akibat narkotika dan mengidap homoseksual, ia dibawa oleh keluarganya ke klinik milik Prof. Dadang Hawari.

Seperti yang dilansir dari majalah Suara Hidayatullah edisi September 2012, selama tiga bulan, penuh Ferry menjalani terapi fisik dan psikis. Menurut Ketua Yayasan Madani Mental Health Care, Darmawan, 50 persen terapi menggunakan obat-obatan. Selain obat, Ferry juga menjalani konseling pribadi dan kelompok, diajari gaya hidup sehat, shalat lima waktu, dan diajak menonton film bersama, terutama film tentang HIV/AIDS, kemudian ia juga digembleng agamanya dan diajak untuk bermuhasabah. Hasilnya, setelah terapi tiga bulan, Ferry tidak senyum-senyum lagi ke sesama jenis dan ia mulai tertarik pada lawan jenis.

Tidak cukup sampai di situ, pendiri International Association of Muslim Psychologists, Prof. Malik Badri, juga mengungkapkan penderita pelaku penyimpangan seksual harus diterapi dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik, yang mendukung kesembuhannya dan harus dijauhkan dari komunitasnya. Namun yang paling terpenting dari semua itu ialah orang-orang terdekat, terutama keluarga harus berusaha membangun kesadarannya bahwa apa yang diperbuatnya salah tanpa menyudutkan, kemudian mereka juga harus menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku.

Sehingga pemakaian kondom bukan solusi paling efektif untuk mengurangi penyakit HIV/AIDS pada pelaku LGBT. Sebab, pemakaian kondom bukannya akan menyelesaikan masalah, melainkan malah mendatangkan masalah baru, perumpamaannya seperti peribahasa yang mengatakan “gali lubang, tutup lubang”.

Direktur the Center for Gender Studies: Gay Politic, Sarana Promosi LGBT

0

Maraknya pelegalisasian pernikahan sesama jenis di sejumlah negara merupakan salah satu dampak dari adanya Gay Politic (Politik Gay, red). Sebagaimana hal ini diakui Direktur the Center for Gender Studies (CGS), Dr. Dinar Dewi Kania saat mengisi sebuah kajian Dialog Lepas Isya (D’LISYA) di Masjid Agung Al Azhar, pada Jum’at (12/12/2014).

Dinar menjelaskan, Gay Politic merupakan sarana untuk mempromosikan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) agar mereka diterima dan diakui serta diberikan hak-haknya sebagai LGBT di tengah-tengah masyarakat.

“Bukan hak-hak mereka sebagai manusia, tapi hak-hak mereka sebagai LGBT. Mereka ingin diakui dan dibenarkan perilakunya di tengah masyarkat. Konsekuensinya ialah pelegalan pernikahan sejenis, homoseks dan lesbian”, jelas perempuan yang juga menjadi Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) ini pada peserta kajian yang diantaranya merupakan pegawai kantoran.

Ia juga memaparkan, ada beberapa negara yang telah mengakui dan memberikan hak LGBT. Pengakuan tersebut ditandai dengan angka nol, angka satu, angka dua dan tanda bintang.

“Kita lihat negara dengan angka nol di layar ini berarti negara tersebut sedang menggodog dan mengamandemen konstitusinya untuk mengesahkan undang-undang pengakuan LGBT. Angka satu adalah negara yang sudah mengakui LGBT. Angka dua adalah negara-negara yang telah memberikan buku nikah untuk pernikahan sejenis. Tanda bintang adalah negara yang telah memberikan hak penuh. Selain melegalkan, pelaku LGBT juga diberikan hak pencatatan buku nikah, juga data imigrasi berupa pasport”, paparnya.

Namun, pengajar mata kuliah Islamic Worldview di Universitas Ibn Khaldun Bogor ini bersyukur, sampai saat ini belum ada negara muslim yang mengakui maupun memberikan hak-hak LGBT.

“Contoh negara yang bertanda bintang adalah Prancis. Angka 1 adalah Jerman, Vietnam, Israel. Angka 0 adalah Burma, Myanmar. Alhamdulillah negara muslim belum ada”, syukurnya.

Kajian yang bertemakan “Gay Politic dan Problem relativitas Nilai dalam Peradaban Barat” ini tidak hanya membahas Gay Politic semata, namun juga memaparkan sejarah LGBT dalam dunia Barat pada masa lalu.

“Pada masa Yunani Kuno, Plato dalam bukunya Shimphosium melarang dan menentang aktifitas homoseks, Romawi Timur juga melarang. Hukuman bagi pelaku sodomi adalah hukuman mati atau paling ringan hukum penjara seumur hidup. Hal ini terkenal dengan sebutan Code of Justinian”, jelasnya

Selain itu,  di Kerajaan Inggris juga pernah berlaku pelarangan homoseks.

“Pelarangan homoseks juga berlaku di kerajaan Inggris yang terkenal dengan Henry King Rule. Hal ini berlaku hingga tahun 1970.”, terangnya.

Namun, ibu dari dua anak ini juga menyayangkan, Napoleon Bonaparte menganulir hukuman untuk para pelaku sodomi saat ia menjadi Raja.

“Pada masa Napoleon lah hukuman untuk pelaku sodomi di anulir. Terkenal dengan nama Napoleon Code (Kode Napoleon, red). Hal tersebut berlaku di Romawi Barat hingga seluruh ekspansi negara jajahannya seperti Prancis yang ketika itu bersuku bar-bar, suku frank, dan lainnya”, ungkapnya

Indonesia yang notabene jajahan Belanda, lanjut Dinar, mengikuti adopsi hukum dari Prancis. Karena Belanda adalah negara yang dijajah oleh Prancis. Maka hukum terkait sodomi di Indonesia tidak ada.

 

Menuntut Legalisasi

Perkembangan gay politik saat ini, ungkap Dinar, dilakukan secara sistematis sehingga dibuatkan teori-teori yang mendukungnya.

“Menurut mereka, LGBT ini adalah faktor gen, pendapat ini kemudian diperluas, dipropagandakan sehingga banyak orang menerimanya. Padahal, banyak sekali penelitian yang menyimpulkan bahwa homoseksual bukanlah faktor genetis”, tegasnya.

Dinar menambahkan, dalam teori sosiologi, mereka mendekonstruksi jenis kelamin. Selain ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, mereka menambahkan jenis kelamin gender. Hal ini menyebabkan adanya perubahan pengelompokan status sosial yang baru.

“Sex adalah jenis kelamin berdasarkan biologis. Gender adalah jenis kelamin berdasarkan konstruk sosial. Mereka tidak mau laki-laki identik dengan maskulin, dan wanita identik dengan feminin”, jelasnya.

Sementara menurut mereka, pernikahan itu bukan pernikahan jenis kelamin, tapi pernikahan atas gender.

“Maka pernikahan antara feminin dan maskulin sangat memungkinkan terjadi pada jenis kelamin yang sama. Inilah konsep para pendukung LGBT”, ungkapnya.

Alasan lain tentang legalisasi gender adalah karena ini adalah hak asasi manusia (HAM). Atas nama HAM, mereka menuntut agar difasilitasi dan dilegalisasi. Homophobia (fobia terhadap homo atau pelaku sesama jenis, red), intoleran, pelanggar HAM adalah stigma yang sering disematkan kepada mereka yang tidak menyetujui gerakan LGBT.

“Ketika kita berusaha untuk memperbaiki penyimpangan seksual, justru kemudian kita dituduh pelanggar HAM,” pungkasnya.

Dinar juga menghimbau kepada seluruh peserta D’LISYA dan umat Islam seluruhnya agar peka dengan aksi politik para pembela LGBT. (Agastya Harjunadhi – Kontributor Aliansi Cinta Keluarga, Sarah Mantovani)

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now