Home Blog Page 9

Meninjau Kembali Gugatan Feminisme terhadap Institusi Rumah Tangga dari Perspektif Islam

0

Oleh: Qaem Aulassyahied*
Feminisme Sebagai Paham dan Gerakan
Bagi paham feminisme[1], budaya patriarkhi adalah sumber dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Adanya bentuk ketidak-adilan perempuan itu  terjadi karena kondisi sosial di banyak negara-baik pada aspek domestik hingga publik- menjadikan laki-laki sebagai pusat segala kegiatan. Sementara perempuan dijadikan “pelaku nomor dua”, aktivitas publiknya dibatasi, ruang menumpahkan aspirasi menjadi sempit, dan segala aspek yang menjadi kebutuhan perempuan tidak ditentukan oleh perempuan sendiri, tetapi justru ditentukan oleh laki-laki sebagai imbas dari hegemoni laki-laki.[2] Sehingga, budaya patriarkhi yang terbentuk dari berbagai nilai dan keyakinan, pada akhirnya melahirkan lima sektor pokok ketidak-adilan perempuan yang bagi kaum feminis, harus segera diselesaikan. Pertama, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi. Kedua, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Ketiga, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif. Keempat, kekerasan (violence). Kelima, beban kerja lebih panjang dan banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.[3]

Bahkan tidak segan-segan, dampak dari sistem patriarkhi ini menurut paham feminisme, menjurus dan berakar hingga sektor masyarakat paling mikro dan mendasar yaitu institusi rumah tangga. Segala keyakinan dan nilai yang mendiskreditkan kaum perempuan mulai diajarkan, ditanamkan dan dipraktekkan dalam hubungan rumah tangga.[4] Sebut saja Katte Millet, seorang pegiat dan pejuang paham feminisme mendeskripsikan keluarga sebagai unit patriarkhis dan bagian dari patriarkhi secara keseluruhan. Untuk itu, keluarga memerlukan definisi baru karena definisi yang ada sekarang berasal dari asumsi mengenai dominasi laki-laki.[5]Adanya kenyataan di atas, tentu bagi umat Islam perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, tulisan ini mencoba membahas lebih lanjut gugatan paham feminisme terhadap institusi rumah tangga dan bagaimana gugatan itu juga berujung pada Islam sebagai agama yang sangat menganjurkan terbentuknya rumah tangga. Selain itu, tentunya tulisan ini mencoba memaparkan letak kesalahan paham ini dengan menjelaskan kritikan atas gugatan tersebut secara ringkas.

Rumah Tangga dalam Pandangan Feminisme

Sebagai gerakan yang melabeli dirinya “pembebas perempuan”, feminisme kini menyuarakan penolakan atas pandangan umum bahwa rumah tangga merupakan sumber kebahagian laki-laki dan perempuan yang terikat oleh hubungan sakral yang dibangun atas dasar cinta dan saling percaya. Behauvoir dan Behaviour mengatakan bahwa Marriage is the destiny traditionally offered to women by society.[6] Pernyataan ini tidak bisa dilihat dari literalnya belaka. Sebab problemnya, tradisi yang menjadi sumber legitimasi pernikahan bagi wanita, dalam pandangan feminisme adalah tradisi patriarkhi yang sangat bermasalah. Hal ini dibuktikan dari bagaimana ia menyimpulkan dua alasan mengapa tradisi patriarkhi mengharuskan perempuan membentuk keluarga:

The first reason is that she must provide the society with children; only rarely- as in sparta and to some extent under nazi regime- does the state take women under direct guardianship and ask only that she be a mother. But even the primitive societies that are not aware of the paternal generative role demand that woman have a husband, for second reason why marriage is enjoined is that woman’s function is to satisfy a male’s sexual needs and to take care of his husband.[7]

Berdasarkan dua alasan tersebut, dapat disimpulkan dengan jelas, bahwa dalam pandangan Simon, pernikahan yang membentuk keluarga hanyalah untuk memenuhi kebutuhan seorang laki-laki (suami). Perempuan dalam pernikahan, hanya akan menjadi ibu yang bertugas menjaga anaknya dan untuk menjadi pemuas seks suami dan merawatnya.

Pandangan seperti ini ternyata bukan hanya berangkat dari apa yang diyakini oleh Simon de Behaviour saja. Bahkan semua bentuk dan aliran feminis menggugat institusi rumah tangga dengan alasan yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dari apa yang diungkapkan oleh Simon sebelumnya. Bagi pandangan feminisme liberal, perempuan dan laki-laki secara ontologis memiliki hak yang sama, namun terhalang karena wilayah domestik menempatkan perempuan harus bergantung pada suami. Sehingga kesalahan fatal yang menghalangi hak perempuan adalah adanya institusi keluarga.[8] Adapun feminisme radikal lebih ekstrim dari itu. Aliran ini beranggapan bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena adanya interaksi dengan laki-laki hatta interaksi seksual.[9] Oleh karenanya, pernikahan yang mengharuskan keterikatan laki-laki dan perempuan hanya akan semakin memperparah ketertindasan perempuan. Feminis sosialis atau marxis juga menentang institusi rumah tangga, sebab bagi mereka pembebasan perempuan harus dilakukan dengan melibatkan perempuan dalam sektor industri. Hal yang selama ini menghalangi terwujudnya upaya tersebut adalah domestikasi perempuan dalam institusi rumah tangga yang membatasi andil perempuan hanya pada wilayah keluarga.[10] Dengan demikian paham feminisme, dengan segala pecahan alirannya, sepakat bahwa institusi rumah tangga merupakan penjara bagi kebebasan perempuan.

Islam, sebagai salah satu ajaran yang sangat menekankan terwujudnya institusi rumah tangga juga tidak luput dari gugatan kaum feminis. Gugutan mereka, secara sepihak dialamatkan kepada Islam berdasarkan tradisi-tradisi di negara-negara mayoritas muslim yang dalam hasil penelitian mereka sangat tidak menghargai perempuan.[11] Ghada Karmi, dalam Women Islam dan Patriarchalisme, merujuk pernyataan Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi untuk memperlihatkan fakta budaya dan tradisi Islam yang sangat patriarkhis.[12] Tidak jauh berbeda, Anne Sofie Rolald juga meyakini bahwa terdapat hukum-hukum Islam yang dilegitimasi oleh ayat al-Qur’an sarat dengan tindakan yang bernuansa diskriminatif terdapat perempuan, seperti wajibnya hijab sebagai pemisahan sosial dan sahnya poligami sebagai pelecehan seksual juga praktek pernikahan yang sangat bias gender.[13].

Kritik Terhadap Pandangan Feminisme Menurut Perspektif Islam

Untuk Meninjau kembali gugatan feminisme terhadap institusi keluarga, –sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya- maka perlu dilihat dari bagaimana sebenarnya Barat menempatkan perempuan. Hal ini karena, feminisme sendiri muncul dilatarbelakangi oleh kondisi Barat abad pertengahan. Pada abad tersebut gereja memegang kekuasan yang sentral. Namun kekuasaan tersebut, ternyata melahirkan bentuk otoritas yang kejam bagi pihak yang dianggap menentang ajaran gereja. Dengan adanya mahkamah inkuisisi, nasib masyarakat utamanya perempuan tidak luput dari kekejian doktrin gereja yang sangat ekstrim.[14] Sejalan dengan hal tersebut, dalam A History of Western Society dinyatakan bahwa sejak masa lahirnya tokoh semisal Plato, Aristoteles, diikuti St. Agustinus dan Thomas Aquinas hingga John Locke, Rousseau dan Nietzhce di awal abad Modern, citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Paderi-paderi gereja pun dengan tegasnya menuding perempuan sebagai pembawa sial dan sumber malapetaka, biang keladi kejatuhan adam dari surga.[15] Lebih spesifik lagi, adanya domestikasi perempuan dalam institusi rumah tangga, konon dimulai sejak Socrates membuatkan istrinya xanthippe, sebuah rumah yang bermakna sebagai lokus bagi wilayah operasional sang istri.[16]

Trauma mendalam ini, jika dibawa pada nilai ajaran Islam tentu sangat tidak sesuai. Karena terbukti saat masa kedatangannya, Islam telah merubah tradisi mendasar kaum Arab yang sangat tidak menghargai perempuan, menjadi tradisi yang menghargai hak-hak perempuan. Seperti Islam menghapus pembunuhan perempuan. Aqiqah yang sebelumnya adalah tradisi untuk kelahiran bayi laki-laki, juga diperuntukkan bagi perempuan. Pemberian hak memilih pasangan yang juga diserahkan pada perempuan. Begitu juga mas kawin dan hak waris perempuan yang sebelum Islam datang, sama sekali tidak diberikan.[17] Berdasarkan ini, maka sangat tidak tepat jika gugatan kaum feminis ini diarahkan pada Islam, karena semenjak dahulu Islam sudah menempatkan perempuan di tempat yang adil.

Bahkan, bagi Islam, penolakan feminisme terhadap institusi keluarga merupakan suatu hal yang sangat tidak tepat. Anggapan feminis bahwa keluarga adalah tempat awal diskriminasi perempuan adalah sebuah sikap yang tidak bijak. Karena pada kenyataannya, tidak semua perempuan mengalami ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak semua rumah tangga menjadikan perempuan mengalami ketidak-adilan. Dalam Islam, konsep pernikahan tidak hanya didasarkan pada seks semata. Sebab dengan menikah, akan melahirkan hubungan manusia yang luas dan kompleks. Kewajiban untuk melahirkan keturunan, mencintai, mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong, menemani, merupakan kewajiban tiap anggota keluarga dalam asas saling melengkapi yang dilandasi dan diatur oleh aturan wahyu. Hal itu jelas terlihat dari kategori dzu qurban atau perkerabatan yang sangat menonjol dalam al-Qur’an.[18]

Untuk itu, maka di dalam Islam, tidak dikenal istilah kesetaraan. Karena pada dasarnya baik laki-laki dan perempuan memang berbeda; sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Alexis Carrel, sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan, tidak hanya pada kelamin dan pendidikannya, tapi keseluruhan anggota badan dengan unsur-unsur kimiawi dalam diri masing-masing. Setiap sel dari perempuan memiliki ciri khas, yang dengan itu melahirkan sifat, sikap dan ciri khas keperempuanan.[19] Hal ini menunjukkan, perbedaan peran yang ditetapkan Islam dalam rumah tangga bukanlah diskriminasi atau segregasi. Ismail Raji al-Faruqi menyatakan bahwa kedua peran suami-istri sama-sama tunduk di bahwa norma dan nilai Islam. Jika memang keadaan memaksa, maka aktivitas laki-laki dan perempuan boleh berpindah ke kawasan satu sama lain tanpa disertai prasangka negatif pada apa-apa yang sudah ditetapkan.[20]

Penjelasan ini, tentunya memberikan gambaran secara umum bahwa, gugatan terhadap Islam yang dimulai dari sikap skeptisisme atas institusi rumah tangga merupakan sebuah kesalahan besar. Setidaknya, ada satu kesalahan besar dalam pandangan feminisme atas Islam, yaitu salah melihat tradisi yang dianggapnya sebagai bagian dari Islam. Sebagaimana yang telah dikutipkan dari ungkapan Ghada Karmi dalam tulisannya, bahwa nilai-nilai Islam membentuk tradisi patriarkhi yang sangat tidak menempatkan perempuan sebagaimana mestinya.[21] Di sinilah letak kesalahan besar dari pandangan kaum feminis. Menjadikan tradisi sebagai bukti bahwa Islam adalah sumber ketidak-adilan bagi perempuan adalah hal yang tidak masuk akal. Karena tidak semua tradisi yang terjadi di negara-negara Islam itu mencerminkan nilai-nilai Islam itu sendiri, bahkan tidak jarang ada yang bertentangan.[22] Banyak sekali contoh tradisi yang dianggap sebagai bagian dari Islam, padahal senyatanya itu adalah praktek yang bersumber dari tradisi setempat, di antaranya: dalam setengah masyarakat benua di India, janda tidak dibenarkan kawin lagi. Di Punjab dan Uttar Pradesh (India), perempuan Muslim tidak boleh mewarisi harta. Sebagian dari pada amalan adat lain yang menimbulkan kekerasan terhadap perempuan adalah pembunuhan muruah (honour crimes) di Timur Tengah, khitan anak perempuan yang berlebihan di negara Afrika seperti Sudan dan Mesir.[23]

Tradisi-tradisi yang diungkapkan di atas, tidak diragukan lagi, sangat jauh dari nilai-nilai keIslaman. Sebab, dengan jelas dalam Islam, perempuan mendapatkan hak dan kebebasannya.[24] Melihat adanya penilaian yang salah tersebut, sangat wajar ketika Nikki R. Kiddie menyatakan bahwa kebanyakan pengkaji Barat yang tidak pakar dalam kajian kawasan (terutamanya Asia Barat) akan menohok sisi negatif pola hubungan gender di dunia Islam dengan menggambarkan perempuan Islam sebagai mangsa (victim) oleh masyarakat lelaki.[25] Adanya penilaian yang salah ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa ketidak-adilan tersebut bukan bagian dari ajaran Islam. Sebalikanya, berasal dari tradisi masyarakat setempat atau dari amalan menyimpang syariat Islam karena akulturasi budaya setempat. Termasuk di dalamnya adalah konsep tradisi patriarkis yang berlebihan[26] dan kesalahan konsep institusi rumah tangga yang sangat jauh dari gambaran ideal yang dirumuskan oleh Islam sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya.

Wallahu a’lam bis-shawab

 

* Penulis merupakan utusan PKU Gontor angkatan 08

[1]Istilah feminis berasal dari bahasa latin femina, perempuan. akar katanya fides dan minus menjadi fe-minus yang berarti kurang iman. Hamid Fahmi Zarkakasyi, Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam. Dalam Jurnal Islamia, Vol.III, No.5, 2010, p.4. secara istilah bisa difahami sebagai sebuah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena aspek gender dan jenis kelaminnya. Untuk itu perlu ada upaya untuk menyamakan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang dengan menganalisa penyebab, pelaku dan penindasan perempuan dan melakukan penyadaran dan pergerakan. Lihat Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition. Oxford University Press. 1995. Bisa juga dilihat di Maggie Human, Ensiklopedia Feminisme, judul asli Dicionary of Feminist Theories, terj. Mundi Rahayu. (Yogyakarta: Fajar pustaka baru, 2007), p. 158

[2]Menurut Siti Musdah Mulia, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan ketidakadilan gender khususnya terhadap perempuan. Pertama, dominasi budaya patriarki, kedua interpretasi ajaran agama sangat didominasi pendangan yang bias gender dan bias patriarki. Ketiga, hegemoni negara yang begitu dominan. Untuk itu perlu ada counter idelolgy dan counter hegemony. Siti Musdah Muliah, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), p. 58-59

[3]Mansour Fakih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2007)

[4]Hal ini terbukti salah satunya dari  perjuangan mereka dalam membangun undang-undang yang berbasis gender, dimulai dari mengatur rumah tangga. Contohnya: di Indonesia, diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Kemudian Pemerintah Indonesia telah mengesahkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak , dan mereka berupaya melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Juga peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. IKAPI Jakarta, Hak Azasi Perempuan, Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: Pusat Kajian Wanita Gender Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2007), p. 246-270 dan 271-286

[5]Memberikan definisi baru dalam hal ini, adalah membangun rumah tangga berdasarkan sistem matriliniear. Para sejarawan feminis, sangat menaruh perhatian dan harapan besar terwujudnya kembali keluarga yang berdasarkan sistem matrilinear ini, di mana perempuan dengan bebas meninggalkan suami lain dan mencari pria lain. lihat Maggie Human ensiklopedia feminisme…,, p. 5 dan 144

[6]Simone de Behauvoir, The Second Sex, (New york: library of congress cataloging in publication data, 1953),p.425

[7] Ibid, p. 427

[8]Lihat Mansour Fakih, Membincang  Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: risalah Gusti, 2000),p.39.

[9]Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandanng baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), p. 178

[10] Lihat Yunahar Ilyas, kesetaraan gender dalam al-Qur’an: Studi Pemirikan para Mufassir, (Yogyakarta: Labda Press, 2006), p.21.

[11] Najlah Naqiyyah, Otonomi Perempuan, (Malang: Bayumedia Pubhlising, 2005),p.88. lihat juga Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan. Terj. Islam and Liberation Theology, penj. Agung Prihantoro. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 203. Syarif Hidayatullah juga mengungkapkan bahwa pada akhir kekhalifaan Abbasyiah yaitu pada pertengahan abad ke-13 M, sistem harem telah tegak kokoh. Pada periode inilah, lahirnya tafisr-tafsir klasik semisal tafsir at-Thabari, tafsir ar-Razi, tafsir Ibnu Katsir dan lainnya. Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),p.18

[12]Berikut pernyataan Fatima Mernissi yang dikutip:

The sexual umma is based on sexual segregation and the subordination of one sex to the other. Women, members of the domestic universe, are subject to the authory of men, members of the umma universe. Separation and subordination are embodied in institutions wich enforce non-communication and non-interaction

Sementara, pernyataan Nawal Sa’dawi, adalah:

Arab men look upon their women as bodies which must remain forever youthful. The value of women deteriorates with age. Attitudes towards the age of women, their youth and their beauty, can be easly understood againts this background. Their youth extends in fact over the years during which they are capable of giving the husband sexual pleasure, bearing chlidren for him, and serving the family. It usually extends from the beginning of buerty, that is from the first menstrual period, until the menopause. In other wordsm it encompasses the whole of her fertile age from roughly fifteen to forty-five years.

Dengan dua pernyataan ini, Ghada Karmi ingin membuktikan bagaimana tradisi di wilayah mayoritas muslim memang menempatkan perempuan sebagai bagian dalam memenuhi kebutuhan laki-laki. Ghada Karmi, Women, Islam and Patriarchalisme, dalam feminism and Islam legal and literary perspectives, disampaikan untuk Centre of Islamic and Middle Eastern Law School of Oriental and African Studies Universty London, ITHACA press, 1997,p.69-70

[13]Anne Sofie Roald (2001), Women in Islam: the Western Experience. London Routledge,p.109-110

[14]Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam, (Gema Insani Press, 2004), p.158-159

[15]McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler,  A History of Western Society, Second Edition, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983), p. 437-541

[16]Lebih jauh baca Genevieve Lloyd, Reason, Science, and Domination Matter, dalam evelyn Fox Keller and Hellen E. Longino (Eds.,) Feminism and Science  (New York: Oxford University Press, 1996)

[17] Musdah Mulia, Muslimah Sejati: Menempuh jalan Islam Meraih Ridha Ilahi, (Bandung, MARJA, 2011),p.45-49

[18]Haykal, the Life of Muhammad, Farewell Pilgmare. Dalam Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid, (International Islamic federation of student organsation: ABIM, t.t), p.486.

[19] Quraish Shihab, Konsep Perempuan Menurut Qur’an Hadis dan Sumber-Sumber Ajaran Islam (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1991), p.26

[20] Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid, International Islamic federation of student organsation: ABIM, t.t), p.141

[21] Lihat kembali, bagaimana ia mengutip perkataan Fatima Mernissi dan Nawal Sa’dawi yang menggambarkan masyarakat Muslim Maroko dan Arab, dalam keseharian dan adatnya, banyak melakukan tindak kekerasan dan pelecehan atas perempuan. Ghada Karmi, women, Islam and Patriarchalisme, dalam Feminism and Islam Legal and Literary Perspectives…, p. 69-70

[22] Mohd Anuar Ramli mengatakan bahwa Dunia Islam mengalami enkulturasi dengan mengadopsi budaya-budaya androcentrism (berpusat kepentingan lelaki). Wilayah Islam bertambah luas ke bekas wilayah jajahan Parsi di timur, bekas jajahan Rom dengan pengaruh kebudayaan Yunaninya di Barat, dan ke Afrika.Seperti Mesir dengan sisa-sisa kebudayaan Mesir kunonya dibagian selatan. Pusat kebudayaan tua tersebut memperlakukan kaum perempuan sebagai the second sex. Mohd Anuar Ramli, Bias Gender dalam Masyarakat Muslim: Antara Ajaran Islam dengan tradisi Tempatan, Jurnal Fiqh, Academy of Islamic Studies, University Malaya No. 7 (2010), p. 56

[23] Honor killing in a cross-cultural context dalam uni wikan (2008), in honor of fadime: murder and shame. (terj) anna paterson, edisi reviisi, chicago, illinois: university of chicago press, p. 70; iftkhar haider malik (2005), culture and costums of pakistan conneticut; greenwood press, p. 145 dan 149. Dikutip dari Mohd Anuar Ramli, Bias Gender dalam Masyarakat Muslim: Antara Ajaran Islam dengan tradisi Tempatan, Jurnal Fiqh, Academy of Islamic Studies, University Malaya No. 7 (2010), p. 66

[24] Kaum perempuan mendaptakan kebebasan hak hidup dan kesaksian, dalam hak penikahan, dari pada mengalami pelecehan seksual tanpa batasan, kaum perempuan mendapatkan hak kebebasan dan kemulian muruah QS. al-Baqarah 2: 282, an-Nisa: 3 lelaki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dalam aspek ibadah, muamalah. Ibrahim Madkur, fi al-Fikr al-Islami, Kaherah: samirco lo al-tiba’ah wa al-Nasyr, h. 163, Muhammad Quthb, Syubhat Hawl al-Islam Kaherah: Dar al-Syuruq, p. 114

[25] Nikkie R. Keddie 2007, Women in then middle east: past and persent. New Jersey: USA, Princeton universty press, h. 10

[26] V.A. Mohamad Ashrof, Islam and Gender Justice: Question at the Interfance. Delhi: Kalpaz Publication, p. 263

Nikah Beda Agama dan Upaya Sekularisasi UU Nikah

0

Oleh: Kholili Hasib

Usaha kaum liberal melegalkan nikah beda agama dengan menggugat Undang-Undang Nikah berlatar belakang ideologis. Karena faham pluralisme agama yang dianut kamu liberal menyamakan semua agama. Mereka membawa misi bahwa nikah bukan urusan agama. Dengan kata lain mensekulerkan institusi nikah.

Dalam al-Qur’an dijelaskan, seorang musyrik haram dinikahi. Laki-laki Muslim haram menikahi perempuan musyrik, begitu juga Muslimah haram menikah dengan laki-laki musyrik. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah:221 yang artinya:

“Dan janganlah kamu mnikahi wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mu’min itu lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orangmusyrik (dengan wanita Mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min itu lebih baik dari orng muyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allahmenerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Jadi jelas sekali bahwa Islam melarang perkawinan antar seorang Muslim dengan orang musyrik. Tidak sah perkawinan antara Muslim dengan non-Muslim yang musyrik.

Mengenai perkawinan beda agama ini, para Ulama’ sepakat telah mengeluarkan fatwanya bahwa seorang muslimah haram menikah dengan laki-laki non-Muslim. Baik non-Muslim itu berasal dari kalangan orang-orang yang tidak beragama, golongan Majusi, Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) serta orang-orang yang keluar dari agama Islam(murtad). Mereka semua haram untuk menikah dengan wanita Muslim (Ali Al-Shabuni I,Tafsir Ayat al-Ahkam,:226). Pada persoalan ini, para ulama tidak berbeda pendapat.

Namun terjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) ketika laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab. Satu pihak membolehkan dan ulama lainnya mengharamkan. Sebagaimana haramnya Muslimah nikah dengan kelompok non-Muslim manapun. Ulama’ yang membolehkan berpendapat, diperbolehkannya nikah dengah wanita Ahlul Kitab, karena ada dalil yang membolehkan hal tersebut, seperti Firman Allah Swt surat Al-Maidah :5 :”Pada hari ini dihalalkan bagi kamu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab (Ahlul Kitab) itu halal bagi kamu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang mnjaga khormatan di antara orang-orang yang beriman dan wanita-wanita yang mnjaga khormatan di antara orang-orang yang Ahlul Kitab sebelum kamu”.Rasulullah SAW bersabda:”Dari Jabir bin Abdillah dari Rasulullah Saw, bahwasannya beliau bersabda:’Kita diperboelhkan menikahi wanita Ahlul Kitab dan tidak diperbolehkan mereka (Ahlul Kitab) menikahi wanita-wanita kita(Muslimah)”.(Syaikh Nawawi al-Bantani, Tafsir Maroh Labid I:59).

Imam Syafi’i berkata, bahwa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah pemeluk Yahudi dan Nasrani dari golongan bani Israel, dan semua nenek moyangnya juga Yahudi-Nasrani bani Israel. Adapun umat Yahudi-Nasrani yang non-bani Israel tidak masuk kategori ini. Dalam hal ini, pendapat Imam Syafi’i cukup ketat dalam mengkategorikan Ahlul Kitab. Al-Baghowi mengatakan, Ahlul Kitab yang dimaksud pada surat Al-Maidah:5 (boleh dinikahi) adalah, bani Israel yang sudah memeluk agama Yahudi dan Nasrani sebelum diutsnya Nabi Muhammad Saw, adapun bani Israel yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani setelah diutusnya Nabi Saw, haram sembelihannya dan haram menikahi wanita-wanitanya (A.Muta’al Jabri:2004:41).

Artinya, al-Baghowi berpendapat, syarat wanita Ahlul Kitab yang bisa dinikahi adalah bani Israel yang ia telah menjadi Yahudi-Nasrani sebelum nabi Muhammad Saw diutus sampai pada masa Nabi Saw. Adapun kaum yang baru masuk Yahudi-Nasrani setelah Nabi Muhammad Saw diutus wajib mengikuti agama Islam. Jika tetap dalam agamanya, mereka haram dinikahi.

Sementara Ulama’ yang mengharamkan seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahlul Kitab, berpendapat bahwa mereka (Ahlul Kitab) termasuk golongan Musyrikun. Seperti pendapat Ibnu Umar ketika ditanya tentang laki-laki Muslim menikah dengan wanita Yahudi, beliau berkata bahwa Allah mengharamkan pernikahan tersebut dikarenakan mereka (wanita Ahlul Kitab) telah melakukan A’dzomus Syirki yaitu kemusyrikan yang paling besar.(Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adzim I, 285).

UU perkawinan Indonesia juga melarang perkawinan beda agama. Ketentuan pelarangan kawin beda agama ini terdapat dalam UU no 1 tahun 1971 pasal 2 ayat 1. Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa soal keharaman kawin beda agama pada tanggal 1 Juni 1980.

Upaya untuk melegalkan UU pernikahan yang membolehkan pernikahan beda agama yang akhir-akhir ini mencuat menggambarkan upaya sekularisasi Undang-Undang Nikah. Kaum liberal merencanakan agar pemerintah tidak mengurus agama, termasuk nikah. Bahkan nikah dianggap bukan dari ibadah.

Dalam pandangan faham Liberalisme, pernikahan dianggap bukan dari perkara agama. Dalam buku Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama (M. Monib: 2008, hal. 33) dikatakan: ”Pernikahan bukanlah ibadah dalam arti kewajiban, melainkan hubungan sosial kemanusiaan semata”. Bahkan orang liberal menilai rendah ibadah nikah, yakni dianggap sekedar penyaluran syahwat belaka. ”Sesungguhnya pernikahan itu bagian dari (penyaluran) syahwat dan bukan bagian dari upaya pendekatan diri kepada Tuhan…pernikahan bukanlah ibadah” (Abd. Moqsit Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, hlm. 328).

Selain merendahkan ibadah nikah, faham sekularisme ini melecehkan status istri. Akibat faham yang menilai nikah sekedar penyaluran syahwat, maka status istri dinilai sekedar pemuas syahwat. Lihat pernyataan orang liberal ini: “Apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercayakan” (Muhidin M Dahlan:Izinkan aku menjadi pelacur, hal. 205).

Faham-faham yang keliru tersebut dikarenakan pemisahan institusi nikah dengan agama. Menilai nikah sekedar penyaluran syahwat belaka yang minus ibadah. Jadi, sekularisasi institusi nikah menyebabkan dua problema; menyamakan nikah dengan media penyalur syahwat belaka dan merendahkan status istri. Gugatan faham liberal bukan untuk mengangkat derajat wanita, namun fakta-fakta argumentasinya ternyata justru merendahkan wanita.

 

Quo Vadis Kesetaraan Gender?

0

Oleh: Sarah L. Mantovani
(Mahasiswa Magister Pemikiran Islam- UMS Solo)
Jauh sebelum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) diratifikasi PBB pada tahun 1979, Indonesia sudah mengenal tuntunan “persamaan hak” gerakan perempuan. Istilah “Kesetaraan Gender”  belum dikenal saat itu. Kini, istilah “Kesetaraan Gender”  sudah menggusur istilah “emansipasi wanita” yang sempat popular berpuluh tahun. Bahkan, tuntutan pun semakin berkembang. Bukan hanya pemberdayaan perempuan, tetapi penyamaan peran, dengan dalih peran laki-laki dan perempuan dibentuk oleh  budaya, bukan fitrah.

Mr. A.K. Pringgodigdo membagi pergerakan perempuan di Indonesia menjadi tiga gelombang, Pertama, tahun 1908-1920. Kedua, tahun 1920-1930, dan ketiga tahun 1930-1942. Menurutnya, pada gelombang pertama, pergerakan perempuan hanya berjuang untuk mempertinggi kedudukan sosial. Persoalan politik,  seperti hak pemilihan tidak menjadi perundingan sama sekali. (Mr. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,1960:33).

Tokoh pergerakan yang menjadi ikon pada gelombang pertama ini adalah RA Kartini. Ia sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepada Prof. dan nyonya F.K Anton di Jena, tertanggal 04 Oktober 1904, Kartini menulis: “Apabila kami dengan sangat meminta pendidikan dan pengajaran bagi gadis-gadis bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, yaitu kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu – pendidik manusia yang pertama. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumahtangga, dan kepada ibulah terletak kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu: yaitu bagian pendidikan yang membentuk budi-pekerti-nya…untuk keperluan keluarga yang lebih besar, yang dinamakan Masyarakat, dimana ia kelak akan menjadi anggotanya. Itulah sebabnya kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis. (Sartono Kartodirdjo, et. al., Sejarah Nasional Indonesia,1975:244-245).

Tahun 1920-1930, pada gelombang kedua, nasib perempuan Indonesia mengalami banyak perubahan dari tahun sebelumnya. Ini ditandai dengan berkurangnya kawin paksaan, anak-anak perempuan diperbolehkan bersekolah, dan lainnya. (Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960:108). Pada gelombang ini pula, Kongres Perempuan Indonesia pertama diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928; diselenggarakan bersama oleh wakil-wakil ketiga jenis perkumpulan perkumpulan tersebut, seperti Wanito Utomo, Putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Aisiyah, Sarekat Islam (SI) bagian wanita, dan dari kalangan pemuda: JIB dan Jong Java (JJ) bagian wanita dan Wanita Taman Siswa). Tujuannya ialah mempersatukan cita-cita dan usaha untuk memajukan perempuan Indonesia. (Mr. A.K Pringgodigdo, 1960:111)

Gerakan perempuan yang mulai memperkenalkan paham “Kesetaraan Gender” adalah Istri Sedar (IS). Gerakan ini muncul pada awal gelombang ketiga dan menjadi ikon pada masanya. Pada gelombang ini pula terjadi friksi antara gerakan perempuan Islam dengan feminis. Pendiri dan pemimpinnya bernama Nona Suwarni Djojoseputro. Istri Sedar didirikan pada 22 Maret 1930 di Bandung (Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960:184). Istri Sedar inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Gerwis atau Gerakan Wanita Sedar yang akhirnya setelah 9 tahun Indonesia merdeka diubah menjadi Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia.

Istri Sedar merupakan organisasi yang dianggap paling radikal saat itu. Banyak organisasi perempuan Islam yang tidak senang dengan garis perjuangan Istri Sedar. (Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI,2007:7). Istri Sedar  berusaha agar anggotanya sadar akan cita-citanya sebagai anak bangsa dan perempuan yang sadar, supaya mereka lebih matang untuk berjuang di lapangan politik bersama kaum laki-laki. Mereka sangat senang jika anggotanya masuk dalam partai politik. (Mr. A.K. Pringgodigdo, 1960:184).

Pada gelombang ini pula, gerakan perempuan mengadakan kongres di Bandung pada tahun 1938 dan memutuskan agar tanggal 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan semboyan: “Merdeka melaksanakan Dharma”. Maka cita-cita Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat dan Ibu Bangsa mulai dihayati oleh kaum wanita (Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia,1977:7).

Setelah 84 tahun perjuangan pemberdayaan perempuan ini dilakukan, kini saatnya, kaum perempuan untuk merenungkan kembali: mau kemana gerakan ini dibawa? Apakah dengan menuntut persamaan dan kesetaraan secara nominal dengan laki-laki?  Quo vadis gerakan Kesadaran Gender? Mau kemana dikau pergi?

Soekarno, dalam buku, Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia, menekankan, bahwa feminisme atau neo-feminisme tidak mampu menutup “scheur” (retak) yang meretakkan perikehidupan dan jiwa kaum perempuan, sejak kaum perempuan itu terpaksa mencari nafkah di dalam perusahaan-perusahaan sebagai buruh. Kata Bung Karno, “Scheur antara perempuan sebagai ibu dan istri, dan perempuan sebagai pekerja di masyarakat. Jiwa perempuan dahaga kepada kebahagiaan sebagai ibu dan istri, tetapi perikehidupan sebagai buruh tidak memberi waktu cukup kepadanya, untuk bertindak sempurna sebagai ibu dan istri.”

Di Indonesia, sejumlah pegiat Kesetaraan Gender, tampak semakin aneh, ketika mereka tidak segan-segan mendukung eksploitasi perempuan berbentuk “Beauty Contest” seperti ajang Miss Universe atau Putri Indonesia. Padahal, ini bertentangan dengan prinsip Feminisme diawal kemunculannya. Walau dibungkus dengan Brain dan Behaviour, namun kemolekan tubuh dan kecantikan wajah para perempuan yang mengikuti ajang tersebut tetap saja menjadi penilaian utama. Bahkan, anehnya, para aktivis gender ini mendukung sepenuhnya, para perempuan itu mengumbar auratnya.

Seorang aktivis Kesetaraan Gender menulis dalam www,jurnalperempuan.org (13/9/2013): Percayalah Miss World tidak berbahaya dan “senjata” pantat, paha serta payudara tidak akan mematikan umat manusia.  Payudara justeru menghidupkan manusia, air susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya dimiliki perempuan.  Mengapa tidak merayakan tubuh perempuan?  Tubuh perempuan sungguh sempurna.”

Ketika agama dan Tuhan disingkirkan dari kamus perjuangan pemberdayaan perempuan, maka pikiran dan hawa nafsu akan menjadi rujukan. Ketaatan dan ibadah dinilai sebagai penindasan. Keikhlasan dalam berbagi tak jarang dipandang sebagai kebodohan. Kemunkaran dan kemaksiatan dipuja sebagai kebebasan dan kemajuan perempuan.

Al-Quran mengingatkan tentang manusia-manusia yang telah mengerashatinya, sulit menerima kebenaran. Sebab setan telah menjadi panutan. Yang jelas-jelas jahat dikatakan sebagai hal yang mulia. ”… Setan pun menjadikan indah dalam pandangan mereka, apa yang mereka kerjakan.” (QS 6:43). (***)

 

LGBT dan RUU KKG

0

LGBT dan RUU KKG
oleh: Rita Soebagio, M.Si.
Peneliti INSISTS, Sekjen AILA (Aliansi Cinta Keluarga)

Pada 2006, di Yogyakarta, berkumpullah sejumlah aktivis HAM internasional. Mereka kemudian merumuskan apa yang dikenal sebagai “The Yogyakarta Principles: a universal guide to human rights”.   Piagam ini memperjuangkan penghapusan seluruh bentuk diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender. (All human rights are universal, interdependent, indivisible and interrelated. Sexual orientation and gender identity are integral to every person’s dignity and humanity and must not be the basis for discrimination or abuse). (http://www.yogyakartaprinciples.org/principles_en.htm).

Tampak jelas, selama ini, usaha penyetaraan gender sering terkait dengan usaha legalisasi LGBT (Lesbian Gay Biseksual and Transgender). David A.J. Richard menegaskan: “homosexual love as a variation on theme of the gender equality” (Women, Gays, and the Constitution: The Grounds for Feminism and Gay Rights, David A.J Richard, University of Chicago Press, 1998:291)

Biasanya, sejumlah aktivis  gender di Indonesia menolak jika agenda mereka dikaitkan dengan agenda legalisasi LGBT. Padahal dalam Draft RUU KKG/Timja/24/Agustus/2011,   “semangat” Keseteraan Gender sangat terasa membawa ”agenda”  yang mendukung legalisasi kelompok homoseksual. Misal, pasal 12.a menyebutkan: “Dalam perkawinan, setiap orang berhak    memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas”.  Pakar hukum Dr Neng Djubaedah, menganjurkan,  pasal ini harus jelas siapa suami dan siapa istri;  harus jelas lelaki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Bisa saja istri adalah Lelaki dan suami juga Lelaki. (Majalah Gontor, Edisi 12 tahun IX April 2012, hal 22).

Dalam draft RUU KKG Tahun 2014 pasal yang dapat menjadi celah upaya  melegalkan pernikahan sesama jenis telah mengalami perbaikan dengan menambahkan kalimat “perlindungan untuk memilih suami atau istri yang berbeda jenis kelamin” (Draft RUU KKG September 2014, pasal 11a). Namun demikian para pembela legalisasi LGBT  tetap berusaha mencari celah melalui perundangan. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Maria Mustika, seorang aktivis pembela hak LGBT dalam Kajian terkait RUU KKG di Universitas Brawijaya Malang Jumat 12 Mei 2012, seperti dikutip oleh laman Komunitas Kajian Gender Malang (www.kojigema.or.id). Maria mengajak peserta kajian agar dapat melihat celah dan nilai universal dalam RUU ini yang dapat digunakan bagi advokasi hak-hak LGBT. Misalnya dengan mempertanyakan apa saja yang termasuk dalam kekerasan berbasis gender (KBG) sehingga jika ada kasus pemukulan waria karena orientasi seksnya bisa dianggap sebagai KBG.

Draft RUU KKG 2014 juga mengalami perubahan yang cukup signifikan terutama dengan dimasukannya asas Agama dan Budaya dalam penyelenggaraan KKG. Namun demikian hal ini tidak berarti persoalan menjadi selesai. Disamping secara ideologis dan filosofis konsep Gender mengandung sejumlah persoalan, dalam RUU KKG juga masih banyak persoalan yang harus dijelaskan penggagas dan pendukungnya. Misalnya, terminologi diskriminasi gender dikatakan sebagai “segala bentuk pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, pemanfaatan atau penggunaan hak asasi manusia yang didasarkan atas jenis kelamin”. Pertanyaannya, apakah penolakan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap kelompok LGBT karena tidak sesuai dengan Asas Agama dan Budaya Indonesia  masih dapat dimasukan ke dalam bentuk diskriminasi gender ?

Terkait dengan Diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia, laporan Badan Perserikatan Bangsa Bangsa yang menangani pembangunan (UNDP) seperti dikutip situs www.bbc.co.uk pada tanggal 14 Agustus 2014, menyebutkan bahwa  perundang-undangan nasional Indonesia umumnya tidak mengenali atau mendukung hak-hak kaum LGBT. Bahkan, tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang spesifik yang berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender (SOGI). Berdasarkan kondisi itu, Dede Utomo, aktivis LGBT, menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.”Pemerintah Indonesia harus mengakui keberadaan LGBT yang juga adalah warga negara Indonesia. Diskriminasi muncul karena tidak ada peran negara. Kemudian, undang-undang yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan kaum LGBT harus direvisi,” kata Dede.

Dengan dimasukannya asas agama dalam draft terakhir RUU KKG yang selama ini ditentang  para aktivis gender, bisa jadi perjuangan kaum LGBT di Indonesia akan lebih keras lagi. Mereka bukan saja tetap memperjuangkan RUU KKG dengan agenda LGBT terselubung, tapi dalam bentuk gerakan yang lebih nyata sebagai bagian dari SOGI Project. SOGI (Sexual Orientation and Gender Identity) Project adalah sebuah proyek International yang dilaksanan secara sistematis dalam mendukung hak-hak kelompok LGBT. Dengan mengerahkan semua dukungan baik dalam bentuk pendanaan melalui lembaga dunia seperti World Bank ( Dokumen PDF Gender and Sogi Safeguard, Spring Meeting 2014 IMF World Bank.). Mendorong hadirnya berbagai resolusi PBB seperti Resolusi Human Rights, Sexual Orientation and Gender Identity, (HRC/RES/17/19) di Afrika Selatan pada Juni 2011. Atau pun melahirkan resolusi regional namun strategis seperti lahirnya Jogja Principles pada tahun 2009 (www.arc-international.net). SOGI Project juga didukung dengan berbagai riset di berbagai bidang seperti Psikologi, Sosiologi dan Biologi.
Dukungan bidang Psikologi terhadap SOGI project telah memberikan sumbangan berarti bagi gerakan Normalisasi kelompok LGBT.  Bahkan perubahan mendasar di bidang Psikologi melalui pemakaian berbagai istilah gender menggantikan istilah sex adalah upaya tidak terpisahkan dari gerakan ini. Sex Identity atau identitas seksual yang menggambarkan jenis kelamin apa yang dimiliki seseorang apakah laki-laki atau perempuan adalah terminologi yang jarang dipakai di dunia Psikologi. Sexual Orientation and Gender Indentity (SOGI) adalah dua terminologi yang menggambarkan kepada siapa orientasi seksual seseorang diberikan serta identitas yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan gendernya apakah feminin atau maskulin. Janis S Bonan, menggambarkan “The Psychological of Sexual Orientations is a study of the process of coming to terms with life as a heteroseksual, biseksual, lesbian or gay person. (Psychology and Sexual Orientation: Coming to Terms, Janis S. Bohan, Psychological Press, 1996).
Faktanya, perjuangan legalisasi LGBT di Indonesia — baik melalui agenda meloloskan RUU KKG atau pun menjadi bagian dari SOGI Project – dilakukan dengan kerja keras, sungguh-sungguh, dan sistematis. Maka, tidak ada pilihan, bagi bangsa Indonesia, dan kaum Muslim khususnya, harus berjuang keras memberikan pemahaman dan penyadaran tentang hakikat LGBT dan paham Kesetaraan Gender yang telah terbukti membawa kerusakan bagi umat manusia. Apalagi, kaum beriman, pasti paham dan yakin benar, Allah SWT telah melaknat dan mengazab perilaku biadab dari kaum Luth. Semoga para petinggi pemerintah Indonesia yang mengaku berketuhanan Yang Maha Esa sadar dan mau peduli terhadap bahaya yang mengancam negeri Muslim ini. (***)

Napas Liberal dalam CEDAW

0

Rira Nurmaida
Peneliti The Center for Gender Studies (CGS)
RUU KKG tak bisa dilepaskan dari CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang disebut-sebut sebagai “Bill of Rights”-nya perempuan. Indonesia telah meratifikasinya menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984. Konvensi yang memuat Hak-hak Asasi Perempuan (HAP) ini menjadi landasan filosofis dan legal dalam penyusunan RUU KKG. Bahkan bisa dikatakan sebagai induk hukumnya, sebagaimana mandat dalam Pasal 2 CEDAW yang menuntut negara peratifikasinya untuk “…mencantumkan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di dalam konstitusi nasional atau perundang-undangan lainnya yang tepat…” (CEDAW, 1979:2). Karena itu, definisi, prinsip maupun tujuan yang tertuang di dalam naskahnya sejalan dengan isi konvensi.

Dalam Pasal 1 CEDAW disebutkan:  “diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (CEDAW, 1979:2).

Terma diskriminasi yang digunakan pada bagian ini menyiratkan adanya kezaliman yang otomatis timbul pada setiap tindakan pembedaan. Karena itu solusinya adalah kesetaraan. Kesetaraan yang ingin dicapai bersifat substantif, yakni kesetaraan yang digambarkan sebagai kesetaraan hakiki, bukan yang dipandang kesetaraan semu semisal hanya membuka kesempatan yang sama bagi perempuan, akan tetapi perlu diberikan dukungan untuk dapat meraih kesetaraan itu secara riil. Bila perlu diberi hak-hak khusus untuk meraih kesetaraan itu, contohnya hak khusus mengenai kuota anggota parlemen. Konsekuensi sosial dari pemaknaan diskriminasi ini adalah persepsi keadilan yang berdasarkan penyamarataan hak tanpa memandang perbedaan jenis kelamin. Padahal pembedaan tidak mesti berkonsekuensi ketidakadilan. Dengan kata lain, pembedaan yang sesuai dengan keadaan, kemampuan, dan kewajiban bukanlah bentuk diskriminasi. Karena itu teks ini sepertinya tidak sekedar menargetkan kesetaraan untuk meraih keadilan, akan tetapi demi emansipasi yang menuntut kesamarataan dan keserupaan hak yang total bagi laki-laki dan perempuan. (Pandangan Kritis Syari’ah terhadap CEDAW, IICWC, 2012: 23)

Salah satu bentuk diskriminasi perempuan yang kerap disebut-sebut adalah peranannya sebagai ibu rumah tangga. Hal itu dianggap sebagai praktik domestikasi yang merampas hak-hak perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam ekonomi, lapangan kerja, maupun perkawinan. Di dalam pembukaan naskah CEDAW disebutkan: ”… pada situasi kemiskinan, perempuan mempunyai akses yang paling sedikit terhadap makanan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja dan kebutuhan lainnya, (sehingga)  pembentukan tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan kesetaraan dan keadilan akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi peningkatan upaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”. Tatanan baru yang dimaksud membuka kran kebebasan bagi perempuan untuk beraktualisasi di luar rumah tanpa harus dibebani tanggung jawab tradisional sebagai ibu dan istri. Negara harus mendukung langkah ini dengan mengupayakan berbagai instrumen termasuk hal teknis semacam memperluas pembangunan dan jaringan penitipan anak (CEDAW Pasal 11, ayat 2).

Jadi, berdasarkan pola pikir tersebut,  “mengeluarkan perempuan dari rumah” adalah salah satu poin penting yang mendapat perhatian khusus agar perempuan setara dengan laki-laki. Padahal ongkos sosial yang harus dibayar sangat besar, dari masalah pendidikan anak yang terabaikan orangtuanya hingga perlindungan bagi perempuan bekerja yang belum terjamin. Pada tahun 2008, Association of Women for Action and Research (AWARE) mengeluarkan melalukan survey terhadap 500 pekerja dari 92 perusahaan mengenai kekerasan yang menimpa perempuan di tempat kerja. Sebanyak 54% mengaku mengalami kekerasan seksual; 12% mendapatkan ancaman pemecatan jika tidak memenuhi permintaan pelaku kekerasan seksual; 27% mengalami bullying dari rekan kerja; 79% korban adalah perempuan (www.aware.org.sg).

Jika demikian, apa yang sebenarnya diperjuangkan? Bukankah justru semakin menghadapkan perempuan dengan bahaya dan mempertaruhkan kualitas generasi selanjutnya karena bangunan keluarga yang semakin rapuh? Atau mungkin memang ada agenda khusus transformasi fungsi keluarga, sebagaimana pernyataan dalam ringkasan hasil pertemuan Ahli Struktur Keluarga di India pada 1992 sebagai berikut:

“Program Undang-undang Keluarga sekarang tidak menjalankan peran yang efektif dalam rangka memperkecil angka pertumbuhan penduduk. Sesungguhnya apabila para pembuat program ini ingin memperkecil angka pertumbuhan penduduk secara drastis, maka mereka harus berkonsentrasi mengubah peran perempuan sekarang dalam keluarga dan masyarakat. Mereka juga harus mengajar dan memberdayakan mereka dengan pekerjaan-pekerjaan bergaji.” (Pandangan Kritis Syari’ah terhadap CEDAW, IICWC, 2012: 51)

Sementara itu, dalam aspek kesehatan reproduksi, konvensi ini menekankan pentingnya akses yang luas bagi perempuan terhadap informasi, penyuluhan, hingga pelayanan Keluarga Berencana tanpa memandang status perkawinan seseorang (CEDAW Pasal 12). Pada praktiknya, Komite CEDAW juga menuntut negara peratifikasinya untuk melegalisasi aborsi atau setidaknya membuka akses yang lebih luas bagi pelaksanaannya. Seperti tekanan mereka pada negara-negara Argentina, Australia, Irlandia, Meksiko, Italia, Kroasia, dan Prancis untuk melegalisasi aborsi meskipun bertentangan dengan prinsip mereka sendiri yang tertulis dalam Bill of Rights, yakni hak untuk hidup (CEDAW Abortion Rulings, 2010).

Sikap ambigu dalam hal ini semakin memperjelas agenda perjuangan kebebasan perilaku yang diusung para feminis dalam CEDAW. Faktanya, bukanlah perlindungan terhadap perempuan yang menjadi target akhir, akan tetapi emansipasi yang mencakup kebebasan seksual dan kebebasan dari segala konsekuensinyalah yang dikejar.

Karena itu, sebelum terlalu jauh mengadopsi konsep Kesetaraan Gender, saatnya bangsa kita berpikir jernih dan integral – dengan memasukkan dimensi Ilahiyah dan dimensi keakhiratan – dalam melihat  realitas dan kedudukan perempuan. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, seyogyanya kita punya kemerdekaan dalam berpikir. Apalagi sebagai umat Nabi Muhammad saw yang telah dibekali wahyu dan suri tauladan abadi. Wallahu a’lam. (***)

Bom Waktu Kesetaraan Gender

0

bom-waktu-kesetaraan-gender390

Dr. Dinar Dewi Kania

(Dosen Filsafat Ilmu,

Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)

 

 Pada 11 September 2014 lalu, sejumlah aktivis dan organisasi Muslimah berkumpul di sebuah tempat di Jakarta. Mereka merasa terpanggil untuk menyikapi sikap DPR yang sepekan sebelumnya (3/9/2014), meloloskan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) untuk dibahas di Komisi VIII DPR.  Beberapa tahun sebelumnya, RUU KKG sudah memicu kontroversi hebat. Puluhan organisasi, khususnya Organisasi Muslimah, menolak keras pengesahan RUU KKG yang dinilai sangat sekuler dan merusak tatanan rumah tangga dan masyarakat Indonesia.

Sebenarnya, setelah menerima masukan dari berbagai kalangan masyarakat, RUU KKG yang baru ini sudah mengalami perkembangan yang lumayan. Yang mencolok adalah dimasukkannya asas agama di urutan pertama (pasal 2). Masalahnya, dari sisi filosofis  istilah “Gender”  masih dimaknai secara sekuler. Pembedaan peran laki-laki dan perempuan dipandang semata-mata sebagai produk konstruk sosial dan budaya.

Tentu saja, dalam pandangan Islam, itu keliru. Sebab, pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, utamanya ditentukan olehwahyu. Tanggung jawab laki-laki sebagai “imam” keluarga dan pencari nafkah, bukan ditentukan oleh budaya Arab, tetapi dari wahyu yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Begitu juga kewajiban mencari ilmu bagi laki-laki dan perempuan, bukan ditentukan oleh budaya, tetapi oleh wahyu Allah.

Perspektif RUU KKG yang baru juga masih menempatkan perempuan sebagai makhluk individu. Padahal, seharusnya, pemerintah dan DPR lebih memprioritaskan program pemberdayaan keluarga, sebagai unit terpenting dalam pendidikan masyarakat. Dalam berbagai wacana KKG, tampak jelas, posisi perempuan diperhadapkan secara antagonis dengan laki-laki. Gerakan Kesetaraan Gender diarahkan sebagai gerakan perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “dominasi patriarkhi”. Hasil pencermatan para pegiat perempuan Muslimah tersebut akhirnya mengajukan permintaan kepada DPR agar mereka tidak melanjutkan pembahasan RUU KKG tersebut.

Dari feminisme

Mungkin, masih banyak yang belum bisa membedakan antara wacana “kesetaraan gender”  dengan “emansipasi”.  Yang terakhir ini terkait  dengan perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak di bidang pendidikan dan pekerjaan  bagi perempuan. Memang tidak sepenuhnya salah, karena pada awal kemuculannya, gerakan perempuan di Barat menuntut hak-hak tersebut akibat  ketertindasan yang mereka alami selama beradab-abad oleh negara dan otoritas gereja. Baru pada era 1920-an,   perempuan  Barat berhasil mendapatkan hak pilihnya secara penuh. Kemudian pada tahun 1930, perempuan Amerika secara resmi memiliki akses untuk melanjutkan  pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. (Susan Osborne, The Pocket Essensial Feminism, 2001 : 19).

Tapi, perkembangannya, gerakan perempuan Barat semakin liberal. Publikasi kaum feminis mulai mengobarkan perang kepada sistem patriarki karena  dianggap sebagai penyebab ketertindasan kaum perempuan. Kelahiran gerakan feminis liberal ini dikenal dengan sebutan “gelombang kedua”. Feminis gelombang pertama lebih menekankan tuntutan hak memperoleh pendidikan, pekerjaan dan partisipasi politik. Di Amerika, gerakan pembebasan perempuan muncul bersamaan dengan gelombang protes anti perang Vietnam di kampus-kampus pada era 1960-an. (Osborne, 2001: 26-26). Tokoh feminis seperti Betty Friedan (1921-2006), terus berusaha menawarkan  paradigma liberal dalam membangkitkan kesadaran perempuan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang individu. (Christina Hoff Sommers, Who Stole Feminism, 1994 : 23).

Kemudian  pada tahun 1977,  para feminis Inggris memperkenalkan ide “kesetaraan gender” yang menjadi jargon perjuangan mereka. Konsep kesetaraan menurut feminis sangatlah beragam. Konsep kesetaraan dalam pandangan feminis Perancis, Simon De Beauvoir (1908 – 1986) misalnya,   menunjukan kecenderungannya kepada ideologi sosialis. Ia berpendapat bahwa perpindahan  peran perempuan sebagai ibu dan istri,  menjadi seorang  yang memiliki kemandirian secara ekonomi dan profesi, sebagai kunci kesetaraan  perempuan dengan laki-laki.

“Dunia dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kedudukan yang setara (equal) sangat mudah untuk divisualisasikan, tepatnya seperti yang dijanjikan oleh revolusi Soviet. Perempuan ditinggikan dan dilatih selayaknya laki-laki agar dapat bekerja dalam kondisi yang sama dan mendapat upah yang sama. Kebebasan erotis harus diakui oleh adat, namun tindakan seksual tidak boleh dianggap sebagai “pelayanan” yang harus dibayar; perempuan diwajibkan mendapatkan cara mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kehidupannya.  Pernikahan harus berdasarkan perjanjian bebas bahwa setiap pasangan dapat memutuskan untuk berpisah atas keinginan masing masing; peran keibuan (maternity)  harus berdasarkan kerelaan (voluntary)  yang berarti bahwa alat kontrasepsi dan aborsi harus dilegalkan, disisi lain, ibu dan anak-anaknya mendapatkan hak-hak yang sama apakah di dalam pernikahan ataupun yang diluar pernikahan. Cuti hamil harus dibayarkan oleh pemerintah  dengan asumsi bahwa itu adalah bayaran  atas anak-anak.” (Mary A. Kasian, Feminist Mistake, 2005 : 22)

Ideologi kebebasan yang diusung feminis melalui kesetaraan gender, perlahan tapi pasti,  mulai mengikis nilai-nilai moral dan agama para perempuan Barat. Menurut Mary A. Kassian,   Feminisme di Barat, memulainya dengan mendekonstruksi pandangan Yahudi-Kristen tentang kewanitaan (womanhood), lalu dilanjutkan dengan mendekonstruksi kelaki-lakian (manhood), relasi gender, keluarga atau struktur sosial,  dan terakhir, mereka menolak konsep ketuhanan Yahudi-Kristen (Judeo-Christian deity). (Feminist Mistakes, 2005 :  9)

Para Feminis juga telah mendekonstruksi konsep seksualitas yang telah berabad-abad berlaku dalam masyarakat Barat ketika memperkenalkan jenis kelamin baru yaitu jenis kelamin sosial. Pada tahun 1970 Kaum Feminis mengembangkan konsep  gender  yang belum pernah ada sebelumnya. (Sheila Rowbotham, Women in Movement, 1992 : 9).

Gender dalam pandangan feminis  adalah hasil konstruksi sosial yang sifatnya tidak permanen. Sampai tahun 1967,  Inggris Raya dan negara bekas jajahannya seperti Amerika,  hanya  mengakui  satu orientasi seksual, yaitu heteroseksual, sehingga pelaku  sodomi atau homoseksual  akan mendapatkan hukuman mati atau penjara seumur hidup. (Brent L. Pickett, Historical Dictionary of Homosexuality ,2009 : 1).  Setelah konsep gender diperkenalkan, maka orientasi seksual  seperti biseksual dan homoseksual harus diakui oleh negara karena perbedaan orientasi seksual adalah konsekuensi  logis dari pilihan  atau identitas gender seseorang.  Saat ini, hampir seluruh negara-negara Barat telah melegalkan pernikahan sesama jenis dan memberikan sanksi hukum bagi mereka yang menentangnya.

Feminisme   berangsur-angsur menunjukan wajahnya sebagai  gerakan radikal yang mengobarkan kebencian dan pemberontakan. Kelompok  feminis radikal “Femen” asal Ukraina,  yang mempunyai perwakilan diberbagai negara, terkenal sangat  provokatif karena di setiap aksinya mereka  selalu bertelanjang dada dan bahkan  tidak segan-segan mereka bertelanjang bulat di tempat umum. Rumah-rumah  ibadah agama  Katolik, Protestan maupun Islam,  tak luput dari sasaran aksi Femen sebagai bentuk pemberontakan terhadap agama. Bagi para aktivis feminisme ini, agama adalah salah satu bentuk manifestasi sistem patriarki. (www.theguardian.com).

Menurut Mike Buchanan,  Feminisme adalah  ideologi (isme) paling berbahaya di dunia yang sedang berkembang saat ini.   Ideologi  feminis  jauh dari pembelaan terhadap kepentingan perempuan, namun hanya membela kelompok elite tertentu saja. Feminisme mengancam perempuan karena memaksa mereka menjalani sesuatu yang berlawanan dengan insting mereka dan menyebabkan perempuan bergantung pada dunia kerja untuk bertahan  hidup  (economic survival). Feminisme juga menjadi penyebab berbagai penderitaan dan menganggu kesehatan mental, baik laki-laki maupun perempuan,  namun lebih berpengaruh pada wanita.  (The ughly truth of Feminism,   2013 : 3).

Tak heran apabila masyarakat Amerika Serikat sampai saat ini terus menjegal upaya ratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), yang dianggap sebagai bom waktu bagi perempuan dan keluarga Amerika yang dilancarkan kaum feminis.  (www.familywatchinternational.org). Tapi anehnya, Indonesia justru telah meratifikasi CEDAW sejak tahun 1984 dan RUU Kesetaraan Gender  pun telah disetujui sebagai RUU Inisiatif komisi VIII DPR pada  3 September 2014 lalu. (www.dpr.go.id).

Mungkin banyak yang tidak menyadari, bahwa memperjuangkan kesetaraan  gender  tidak berarti  memperjuangkan  keadilan bagi kaum perempuan, karena keadilan tidak  selalu bermakna “penyamarataan”. Definisi gender yang dimaksud pun tidak merujuk kepada jenis kelamin biologis tertentu. Karena itu, sadar atau tidak sadar, mereka yang memperjuangkan ide  kesetaraan gender, sejatinya sedang memperjuangkan  ideologi kaum feminis; yaitu sebuah ideologi yang mengusung kebebasan tanpa batas. Khususnya, batas nilai-nilai agama.

Jika tidak ditelaah dengan cermat dan diberikan makna serta batasan yang jelas, perjuangan Kesetaraan Gender pada akhirnya akan menjadi “BomWaktu” bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Perempuan dan laki-laki tidak tahu lagi apa kodrat dan peran ideal yang seharusnya mereka mainkan, sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Yang sudah terjadi, akhirnya perempuan sendiri menyesal, karena kelelahan mengejar impian kosong bernama “kesetaraan”. Satu kata yang tak pernah ada faktanya!

Bagi kaum beriman, persoalan “gender” menjadi sangat sederhana, sebab dunia ini hanya sebuah “panggung sandiwara”. Laki-laki dan perempuan diberi peranan yang berbeda, untuk saling bekerjasama. Masing-masing harus menjalankan perannya dengan baik, agar bisa mempertanggung jawabkan di akhirat kelak. Wallahua’lam. (***)

Aktivis Muslimah : Dekati Pengguna Jil***bs Dengan Cara Baik

0

 

Ketua Gerakan Peduli Remaja (GPR) Suci Susanti mengamati Pengguna Jil***bs atau jilbab ketat adalah mereka yang masih bingung dalam pemakaiannya.

“Dari yang saya amati, para pemakai jilbab ketat ini adalah mereka yang memang sudah sadar jika jilbab adalah wajib bagi muslimah. Namun dalam prakteknya, mereka masih bingung”, ungkapnya saat diwawancarai the Center for Gender Studies (CGS) belum lama ini.

Ibu satu anak ini menilai ada dua hal yang menyebabkan mereka seperti itu. Salah satunya adalah karena pemahaman mereka yang baru sebatas menutup aurat.

“Pertama, mereka belum memahami makna jilbab syar’i. mengapa harus berjilbab syar’i dan kedua mereka sudah paham, tapi belum sanggup mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal ini biasanya terjadi karena lingkungan yang ikut mendukung menggunakan jilbab ketat”, jelasnya.

Ia menyarankan agar umat Islam tidak menjauhi dan mengolok-olok mereka, karena menurutnya hal itu akan membuat mereka semakin jauh dan tidak simpatik.

“Menurut saya, kita sebagai yang sudah paham dengan batasan jilbab, sebaiknya tidak menjauhi mereka dan mengolok-olok mereka. karena hal itu akan membuat mereka semakin jauh dan menjadi tidak simpatik pada orang-orang yang telah paham agama. Dekati mereka dan nasehati mereka dengan cara-cara yang ahsan. Bukan justru menghakimi”, sarannya.

Ia sampai mengutip perkataan Said Hawa yang mengatakan berlakulah selayaknya seorang dokter. Ketika seseorang datang dengan penyakit kronis, maka sang dokter dengan serius dan penuh kesabaran berusaha untuk menyembuhkan. Bukan malah memarahi, mengejek dan menyuruh menyembuhkan penyakitnya sendiri

Senada dengan Suci, aktivis muslimah lainnya seperti Tetraswari Sridodo dan Ismy Pribadi sepakat agar mendekati dan menasehati para pemakai jilbab ketat dengan cara-cara yang baik

“Sudah saatnya para pendakwah meluruskan “cara berpakaian ini” dengan terus menerus menyampaikan cara berpakaian Muslimah dengan benar. Pengajian-pengajian harus banyak mengulas tema ini”, tutur Tetraswari, ibu lima anak yang juga peneliti CGS ini.

Begitu pula dengan Ismy Pribadi yang merupakan Trainer Kauny Quantum Memory.

“Tugas seorang muslimah ngingetin saudara kita yang mungkin ada yang belum syar’i”, ungkapnya.

Pernyataan Sikap Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia Tentang Jil***bs

0

Fenomena yang sekarang marak terjadi di kalangan muslimah adalah apa yang disebut jil***bs. Walaupun secara pribadi, saya agak keberatan dengan memplesetkan terminologi jilbab. Karena akan menjadi jalan masuk dari pihak-pihak tertentu yang sudah dipenuhi dengan apriori terhadap hukum berjilbab untuk semakin melecehkan syariat mulia ini.

Fenomena berjilbab tapi seksi dapat dilihat dari berbagai sudut di antaranya:

  1. Makna jilbab yang tidak difahami dengan baik dan sering disamakan dengan sekedar berkerudung yang dalam bahasa Al-Qur’an dibedakan dalam terminologi khimar.
  2. Makna menutup aurat yang tidak difahami kaidahnya. Sehingga menutup aurat yang semestinya memenuhi kaidah-kaidah tertentu seperti longgar, tidak tipis dan tidak menonjolkan lekuk tubuh diabaikan karena difahami sekedar auratnya terbungkus.
  3. Fenomena ini walaupun sudah terjadi dalam beberapa tahun yang lalu, namun menjadi sorotan luas saat ini seiring dengan hadirnya fenomena Hijaber yang menjadi trend tersendiri. Jilbab menjadi syariat yang tidak terpisahkan dari industry fashion.

Kreatifitas kemudian menjadi bagian dalam mengekspresikan cara berjilbab. Akibat tidak memahami kaidah syariat berjilbab maka kreatifitas sebagian kecil muslimah kebablasan dan menabrak rambu-rambu dalam menutup aurat.

Melihat hal-hal yang saya kemukakan di atas, ada beberapa pekerjaan rumah bersama semua elemen dalam menyikapi fenomena ini diantaranya:

  1. Tetaplah menyampaikan nasehat kepada muslimah-muslimah yang masih berjilbab tapi seksi dengan cara-cara yang ma’ruf karena persoalan seperti ini tidak akan selesai dengan sekedar melakukan “bully” di media sosial.
  2. Menjadi bahan muhasabah bagi kita, khususnya muslimah, bahwa banyak syari’at mulia dalam agama yang masih belum mampu dilaksanakan secara kaffah.
  3. Bagi yang sudah berhijab syar’I agar tidak lekas berpuas diri dengan pilihannya karena masih memiliki kewajiban untuk syiar pada saudara muslimah lainnya yang belum berjilbab. Dan penting untuk meluruskan niat dalam berhijab syar’I semata-mata karena mengikuti perintah Allah dan bukan sekedar trend fashion yang sedang terjadi.
  4. Kembali menjadikan ilmu sebagai dasar dalam setiap amalan yang dilakukan termasuk dalam mengamalkan syari’at berjilbab.

 

Jakarta, 15 Agustus 2014

Sekjen

Rita Hendrawaty Soebagio

Aktivis Muslimah Keberatan Penggunaan Istilah Jil***bs

0

Tampilan-Jilboobs-komunitas-di-Facebook-Facebook.com_

Belakangan ini, umat Islam, terutama para aktivis Muslimah dikejutkan kembali dengan fenomena jilboobs (mereka yang berjilbab namun pemakaiannya tidak sesuai syari’at, red). Dampaknya, dari fenomena ini bermunculan akun-akun jilboobs, baik itu twitter maupun facebook, yang berisikan foto-foto selfie mereka yang berjilbab.

Peneliti dari Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Suci Susanti, mengaku tidak setuju dengan penggunaan istilah jilboobs, karena menurutnya penggunaan istilah tersebut berasal dari kata jilbab.

“Secara pribadi, saya tidak setuju dengan penggunaan kata jilboob karena asal kata yang digunakan dari kata jilbab. Dimana jilbab memiliki arti mulia jika seorang muslimah memakainya”, akunya kepada hidayatullah.com, Sabtu 09/08/2014.

Untuk selanjutnya, pendiri Gerakan Peduli Remaja yang berdomisili di Bekasi ini akan menggunakan kata jilbab ketat saja.

Begitu pula pengurus Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI), Rita Hendrawaty Soebagio dan Penyiar Radio Dakta Bekasi, Yola Damayanti. Sama seperti Suci, mereka keberatan dengan penggunaan istilah Jilboobs.

“Fenomena yang sekarang marak terjadi di kalangan muslimah adalah apa yang disebut jilboobs. Walaupun secara pribadi, saya agak keberatan dengan memplesetkan terminologi jilbab. Karena akan menjadi jalan masuk dari pihak-pihak tertentu yang sudah dipenuhi dengan apriori terhadap hukum berjilbab untuk semakin melecehkan syariat mulia ini”, terang ibu tiga anak yang juga mengurus Yayasan Al-Khansa ini.

Sementara Yola beralasan, istilah Jilboobs merupakan pelecehan. Kepada Muslimah yang berjilbab namun belum sepenuhnya menutup aurat, ia berpesan agar mereka dinasehati.

“Ga pantas, pelecehan tuh. Kalau mau diingetin aje bae-bae bukan malah dibully dan dikotak-kotakkin, kalau diomongin baik-baek tentang berbusana syar’i ntar juga malu sendiri”, pungkasnya saat dihubungi hidayatullah.com via whatsapp, Ahad 10/08/2014.

Sekjen AILA Meminta Orangtua Waspada Propaganda LGBT

0

rita

Sementara itu, di lain tempat, Sekjen AILA (Aliansi Cinta Keluarga), Rita Hendrawaty Soebagio mengungkapkan kasus buku WHY membuktikan bahwa propaganda LGBT telah terjadi dalam berbagai cara dan bentuk. Ia juga mempertanyakan apakah pihak penerbit juga ikut dalam bagian propaganda tersebut atau tidak.

“Kasus buku WHY membuktikan bahwa pihak-pihak tertentu melakukan propaganda LGBT dalam berbagai cara dan bentuk. Yang harus kita ketahui, apakah pihak Elex Media menjadi bagian dari propaganda pro LGBT atau ini hanya kelalaian dalam proses editing, sehingga prinsip-prinsip menjaga nilai-nilai moral, agama dan timur menjadi diabaikan oleh pihak Elex”, tanyanya.

Aktivis Muslimah yang juga menjadi pengurus Yayasan Al-Khansa ini juga mengingatkan para orangtua dan pengajar untuk terus waspada dengan segala propaganda yang dilakukan kelompok pro LGBT.

“Bagi orangtua, pengajar dan pihak-pihak yang berkepentingan agar terus waspada melihat cara-cara propaganda yang dilakukan kelompok pro LGBT untuk melegalisasi gerakannya baik melalui regulasi undang-undang maupun edukasi menyesatkan di masyarakat melalui buku-buku, tontonan, seminar-seminar dan melalui program-program resmi pemerintah yang mereka susupkan”.

Terakhir, Rita juga berpesan agar para orangtua mengawasi dengan ketat anak-anaknya.

“Dalam buku WHY diatas sebenarnya sudah ada disclaimer bahwa buku ini utk remaja dengan bimbingan orangtua.

Bagi orangtua agar terus mengawasi dengan ketat anak-anaknya, jangan biarkan mereka mencari ilmu sendiri tanpa bimbingan dari Ayah dan Bundanya”, pungkasnya.

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now