Oleh : Rahmatul Husni, S.Hum., M.Pd.I*
Gerakan feminis di lingkungan muslim hanya akan berhasil jika berorientasi pada ajaran Islam (al-Quran dan as-Sunnah), bukan didasarkan atas ide-ide orientalis Barat, yang belum tentu cocok atau bahkan justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Pemikiran ini pernah digagas oleh Dr. Lois Lamya, istri dari Prof. Isma’il Raji al-Faruqi.
Pasalnya, isu-isu gender yang belakangan kian kencang dihembuskan oleh gerakan feminis, berawal dari rasa ‘sakit hati’ kaum wanita di Barat atas sejarah kelam yang mereka alami. Sejak zaman Plato dan Aristoteles hingga tokoh-tokoh abad pertengahan dan modern seperti St. Clement dari Alexandria, St. Agustinus John Locke, Rousseau, dan Nietzche, semuanya seolah bermufakat bahwa wanita adalah makhluk yang hina-dina, biang kerok dari segala permasalahan. Stigma ini yang kemudian menjelma menjadi kemarahan bagi kaum feminis di Barat.
Sebutlah Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang dianggap sebagai nenek moyang kaum feminis, ia mengecam segala bentuk diskriminasi terhadap wanita. Dalam pandangannya, wanita harus memiliki kesamaan hak dengan laki-laki dalam hal pendidikan dan politik. Kelemahan wanita terletak pada faktor lingkungan, bukan bawaan. Oleh karena itu, wanita harus sekolah sama seperti laki-laki agar tidak menjadi burung dalam sangkar. Ide ini pertama kali ia cetuskan dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman (Todd, 2000).
Gagasan Mary Wollstonecraft pada zamannya mungkin sudah dianggap tepat. Tidak ada yang salah dengan usahanya untuk menyadarkan para wanita agar tidak terpuruk dalam kebodohan. Yang jadi masalah adalah ketika gerakan feminis ini sudah melewati batas, maka yang terjadi adalah kebalikannya. Inilah yang dikatakan Imam al-Ghazali, ‘kullu syai’in idza balagha haddahu in kasa ‘ala dhiddihi’.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, gerakan feminis nampaknya berubah haluan menjadi gerakan radikal yang anti laki-laki. Bukan sekedar menyamakan derajat intelektual dan sosial wanita, tetapi justru mengarah pada revolusi hegemoni atas kaum laki-laki. Mereka mengutuk sistem patriarki, merayakan lesbi, dan mencemooh pernikahan. Bagi mereka pernikahan sama dengan ‘living with the enemy’. Seolah tak mau ketinggalan, beberapa tokoh Islam pun turut ‘terbawa arus’ pemahaman gender dengan perspektif feminis radikal. Terdapat nama-nama seperti Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hasan dari Pakistan, Taslima Nasreen dari Bangladesh, dan yang paling terkenal adalah Amina Wadud dari Amerika yang menjadi khatib dan imam shalat jum’at di gereja beberapa waktu lalu (Arif, 2017).
Di Indonesia, radikalisme kaum feminis ini sudah sampai pada tahap konstitusi. Pada Bab VIII, pasal 67 RUU KKG disebutkan : “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu”. Inilah yang dianggap sebagai keadilan gender dan pembelaan hak-hak wanita bagi kaum feminis. Dengan kata lain, keadilan yang dimandatkan Tuhan melalui kitab suci (al-Quran) dianggap sudah tidak relevan lagi karena pembatasan dari undang-undang tersebut. Konsekuensinya adalah pembagian waris laki dan perempuan adalah 50:50, wanita boleh menjadi imam shalat laki-laki, boleh menjadi khatib, boleh menjadi wali nikah, dsb (Shalahuddin, 2012).
Yang terbaru yaitu tentang Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Entah disengaja atau tidak, ada saja pihak yang ternyata gagal paham memberikan analisa dan tanggapan terhadap RUU ini. Misalnya saja dengan menganggap tidak ada kalimat yang menyatakan secara verbal pro perzinaan dan pro LGBT, walaupun mengakui tidak ada larangan untuk untuk itu. Ini sama saja dengan men-jaiz-kan perbuatan zina dan LGBT dengan alasan tidak ada anjuran dan tidak ada larangan, boleh-boleh saja. Yang lebih fatal sebenarnya adalah membuang worldview dan framework sebagai seorang muslim, dengan memberi kesan negatif bahwa pihak yang berseberangan dengan pendapatnya sebagai orang yang mendasari pemikirannya untuk memasukkan pertimbangan unsur agama dan moralitas. Perlu diingat bahwa sila pertama dan kedua pancasila berturut-turut adalah, “Ketuhanan Yang Maha Esa”; ”Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Artinya negara Indonesia ini berlandaskan atas nilai-nilai agama dan moralitas. Mengesampingkan pertimbangan unsur agama dan moralitas adalah tindakan inkonstitusi.
Isu-isu gender semacam ini memang menggoda untuk dicermati. Kata “equal” digunakan sebagai senjata mematikan, seolah orang-orang yang tidak pro adalah orang yang anti kesetaraan dan cenderung diskriminatif. Sadar atau tidak, gagasan anti diskriminasi dan pengangkatan derajat wanita sebenarnya telah ada sejak Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah wahyu.
Buktinya adalah, tidak ada satupun ayat al-Quran yang bias gender atau misogyny (pandangan miring ‘sebelah mata’). Dalam memandang masalah gender, Islam melihat derajat laki-laki dan wanita berdasarkan tingkat ketakwaannya (Q.S Ali-Imran : 195). Sebagai pasangan hidup, laki-laki diibaratkan pakaian bagi wanita, dan begitu pun sebaliknya (Q.S al-Baqarah : 187). Di sisi lain, ketika memasuki kehidupan berumah tangga, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing yang tidak bisa dicampur aduk satu sama lain (Q.S al-Baqarah : 228). Ini berarti ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah memutus mata rantai adat kebiasaan kaum jahiliyah yang mengubur bayi perempuannya hidup-hidup, membatasi pernikahan bagi laki-laki yang tadinya memiliki istri sebanyak-banyaknya menjadi paling banyak 4 istri, mengharamkan praktik nikah syighar (saling tukar anak gadis untuk dijadikan istri), dsb.
Sampai disini, kita dapat menarik benang merah bahwa peran strategi gerakan dakwah muslimah tidak akan berarti apa-apa jika para wanita tidak mengetahui esensi ajaran Islam yang ternyata sangat membela hak-hak seorang wanita. Maka yang paling utama dikampanyekan adalah soal ilmu. Ilmu yang benar akan meniadakan sifat dan sikap jahil yang ada dalam diri seseorang. Dengan meng-ilmu-i hakikat dirinya diciptakan sebagai seorang wanita, ia akan dibimbing dengan taufik dan hidayah yang datang dari Allah sehingga tidak salah dalam berfikir, berkata, dan beramal. Kalau ilmunya saja sudah salah, bagaimana mungkin sikapnya akan benar?
Ilmu yang benar mesti diimbangi dengan adab. Bisa jadi, mereka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh Islam namun terlibat dalam gerakan feminis radikal itu, ilmu yang mereka miliki tidak diimbangi dengan adab. Adab disini bukan sekedar “sopan santun” atau baik budi bahasa. Adab menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas seperti yang dikutip oleh Dr. Adian Husaini adalah, “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” (Husaini, 2012). Adab itu pula yang membuat wanita muslimah berperan aktif dalam meng-counter pemikiran-pemikiran feminis barat. Karena tidak disebut beradab kalau ilmu yang baik itu tidak disebar dan didakwahkan kepada orang lain. Sungguh sederhana ajaran Islam bagi seorang wanita, jika ingin diangkat harkat dan martabatnya maka harus memenuhi dua syarat; berilmu dan beradab.
Selama ini, sistem dan pola pendidikan yang konvensioal agaknya kurang memperhatikan aspek detail dari persoalan wanita, sehingga menghasilkan output yang “kurang-lebih” sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, konsep pendidikan yang kohern dengan persoalan wanita adalah suatu hal yang patut dikaji. Wanita selain menjadi objek didik, ia juga mesti berperan sebagai pendidik. Mendidik wanita berarti berupaya mengembalikan fitrahnya menurut kehendak Allah. Dan Allah menghendaki wanita itu untuk diakui, dihormati, dan dimuliakan, melalui perannya sebagai wanita. Dengan demikian terciptalah keserasian dan keharmonisan gender, bukan kesetaraan.
*Artikel ini dimuat di Republika, 9 Februari 2019
* Peneliti The Center for Gender Studies (CGS), Kandidat doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, Program beasiswa 1000 ulama BAZNAS – DDII