Oleh : Jumarni*
Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi terkait kekerasan seksual. Salah satunya, dilansir pada website detikedu berjudul “Polemik Permendikbud Nomor 30/2021, Nadiem: Seluruh Masukan Kami Pertimbangkan” yang menjelaskan telah terbitnya Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 pada 31 Agustus 2021 yang berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Sebelum adanya kebijakan tersebut, tahun 2016 telah diajukan naskah akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) oleh Komnas Perempuan menyoroti tidak adanya payung hukum terkait 15 macam kekerasan seksual. Jauh sebelum itu, tahun 2013 Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) mengandung dalih yang juga serupa dengan tujuan menjamin hak dan mencegah perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Tulisan ini tidak ditujukan untuk mengkaji terlalu dalam berkaitan historis kebijakan tersebut, akan tetapi berupaya secara komperhensif membahas mengenai problem filosofis yang terkadung di dalamnya.
Menjaga Akal Sehat
RUU KKG dan RUU P-KS yang pernah diusulkan oleh DPR ditolak oleh banyak organisasi dan intelektual Islam. Sejak dulu kaum intelektual dan pemikir Islam lah yang banyak menolak berbagai macam kebijakan yang ganjil seperti Permendikbud No. 30/2021 ini. Setelah ditelaah, isi dari PPKS ternyata filosofinya mirip dengan RUU P-KS. Bagaimana mungkin draft RUU yang kontennya sudah ditolak DPR, lalu tanpa banyak pertimbangan, tiba-tiba disahkan menjadi peraturan menteri? Padahal isi yang ada di dalamnya kurang lebih sama problematisnya yaitu mengenai paradigma sex by consent (seks dengan persetujuan).
Terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, yang dimaksud kekerasan dalam Permendikbud No.30/2021 pasal 5 ayat 2 ialah segala aktivitas seksual yang menyalahi kehendak individu adalah bentuk paksaan karena tidak adanya persetujuan. Dapat disimpulkan bahwa apapun pengalaman subjektif dari korban maka itulah yang diakomodir dalam PPKS tersebut. Definisi sexual consent menurut Oxford Dictionary yaitu “Permission for something to happen or agreement to do something. No change may be made without the consent of all the partners.”. Paradigma sexual consent yang terkandung dalam kebijakan PPKS ini secara jelas menggambarkan bahwa aktivitas seksual bisa dilakukan hanya jika adanya persetujuan semata. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, aktivitas seksual bisa menjadi suatu bentuk pemerkosaan, kekerasan dan pelecehan. Tentu ini bagian dari kekeliruan berpikir (logical fallacy). Bagaimana mungkin consent menjadi satu-satunya legalitas untuk melakukan aktivitas seksual? Hal ini sangat problematis, karena ikatan pernikahan yang dilandasi agama menjadi tidak berguna.
Seorang psikolog Charlene L. Muehlenhard, Profesor dari Psychology and of Women, Gender and Sexuality Studies – University of Kansas, menyatakan bahwa “consent sebagai suatu komunikasi verbal atau non verbal yang diberikan secara bebas, yang menekankan pada keadaan sukarela secara personal dan terhadap orang lain sebagai kunci dari persetujuan.” Konsep persetujuan dalam hubungan seksual inilah yang justru dikritik oleh Alan Wertheimer dalam jurnalnya Consent to Sexual Relation. Ia menyatakan, “Consent can take multiple forms, and the best understanding of that term must be related to the work that we intend it to do. We are interested in consent to sexual relations because consent has the power to be morally, institutionally, and legally transformative. A cautionary remark about moral transformation. To say that B’s consent is morally transformative is to say that it makes a moral difference. It is not to say that B’s consent is either necessary or sufficient to an all things considered moral assessment of one’s obligations or the moral worth of one’s action. It is a mistake to think that consent always works to make an action right when it would otherwise be wrong if “right” is equivalent to “morally worthy” or “justified”. (Alan Wertheimer, a professor emeritus of political science at the University of Vermont).
Menurut Alan dalam jurnal tersebut konsep persetujuan dalam hubungan seksual mengalami problem baik secara pikiran dan aksinya. Persetujuan tidak serta merta “membenarkan” suatu tindakan, persetujuan harus disokong oleh penilaian moral, penilaian institusional dan penilaian legalitas: sah atau tidak. Menurutnya, adalah kesalahan berpikir menganggap “persetujuan” membuat suatu perilaku menjadi “dibenarkan” dan kebenaran yang diperoleh dari persetujuan selalu berarti “kebenaran secara moral”. Persetujuan seksual itu pada akhirnya harus ditimbang dengan pertimbangan moral, institusional dan legal. Kecuali memang sekelompok orang tersebut ingin merancang pembenaran terhadap sebuah realitas yang ada dan dilindungi oleh negara.
Paradigma sexual consent juga mengandung konsep body authority khas individualisme Barat dimana seluruh kehendak atas kedirian seseorang termasuk aspek seksualitas terletak pada individu itu sendiri. Hal ini selaras dengan teori John Locke bahwa hak alami (natural rights) dimana setiap orang memiliki hak milik (property rights), dengan begitu persetujuan seksual manifestasi dari memenuhi natural rights. Selain itu, statement yang sering disampaikan oleh feminis liberal adalah my body is mine, apapun yang menjadi kehendak diri dan pikiran itu adalah penentu sikapnya. Secara tidak langsung, paradigma demikian menafikkan wahyu dan menegasi kemoralan.
Menafikan wahyu dengan menganggap bahwa semua kehendak akan ketubuhan itu berasal dari manusia semata-mata. Padahal tidak semua kehendak tubuh ini berasal dari manusia, dalam worldview Islam bahkan kondisi ketubuhan tidak berdasarkan kehendak diri sendiri kecuali ada keterlibatan dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta. Sehingga kita tidak memiliki otoritas penuh terhadap diri. Selain itu yang dimaksud menegasi kemoralan masyarakat, Indonesia masih menempatkan masyarakat sebagai social control ketika terjadi pelanggaran moral. Menjadikan diri superior dari segalanya itupun menyalahi teori kontrak sosial John Locke yang bagaimana hak ketubuhan itu diafirmasi dan dapat legitimasi perundang-undangan.
Dalam diskursus feminisme, otoritas ketubuhan berarti seseorang dapat menentukan secara bebas tanpa adanya intervensi di luar tubuh mereka. Hal ini sejalan dengan permendikbudristek 30 yang bermuara pada tuntutan kebebasan kehendak akan konsep ketubuhan. Memang sejak awal feminisme muncul menuntut hak-hak kebebasan dan kesetaraan. Subjektif, performatif atau tidak keduanya. Sehingga menurut feminis persetujuan bisa saja menjadikan perbuatan jadi bermoral dan diakui hukum.
Penulis teringat dengan kasus kekerasan seksual oleh aktivis kampus, ini terjadi di salah satu kampus besar di Samarinda dari sepasang kekasih yang belum menikah (courtship relationship). Dikarenakan ada orang ketiga, hubungan mereka menjadi renggang bahkan salah satunya melapor sebagai korban karena adanya upaya pemerkosaan dan kekerasan[2]. Inilah yang dikhawatirkan dari hubungan suka sama suka, kasus demikian sulit dideteksi karena hubungan itu telah terjadi. Korban mengaku dipaksa sedangkan terdakwa menganggap itu adalah hubungan yang valid, sah, karena dilandasi oleh suka sama suka. Dengan begitu, hakim kesulitan untuk mengidentifikasi persoalan tersebut. Karakteristik persetujuan ini fluid secara ruang dan waktu sehingga bermakna abstrak, mutitafsir kemudian menghadirkan penyesalan.
Problem Konsep Kebebasan
Menurut penulis, ada tiga konsep kebebasan termuat dalam PPKS yang mewacanakan paradigma sexual consent. Pertama ketiadaan paksaan, seseorang dapat menentukan kepada siapa ia ingin melakukan aktivitas seksual tanpa tekanan, tanpa harus terdesak, tanpa adanya intervensi dengan landasan benar-benar sukarela. Padahal tidak ada agama yang membolehkan hubungan seksual kecuali adanya hubungan pernikahan. Kedua ketiadaan limitasi, seseorang dapat menentukan kepada siapa ia ingin melakukan aktivitas seksual tanpa syarat dan batasan baik itu agama atau moral yang berlaku. Hal ini sama saja dengan melepas diri dari ketetapan norma yang berlaku. Ketiga, keputusan yang hanya mengandalkan akal tanpa mengindahkan baik dan buruk. Paradigma seperti ini mencerminkan betul konsep kebebasan dalam pandangan Barat.
Menurut pandangan Al-Attas dalam konteks bahwa manusia mempunyai kebebasan, ia menyatakan bahwa ketika manusia mengambil atau memilih untuk menerima agama ini, setelahnya, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa memiliki kebebasan memilih. Artinya setiap orang sudah menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut. Ikhtiar bagian dari usaha memilih diantara yang baik, sebab akar kata ikhtiar adalah khair atau baik. Fitrah manusia akan mudah menerima kebaikan. Ketika terdapat hal buruk, akan ada penolakan dalam dirinya karena tidak sesuai dengan kefitrahan manusia. Konsekuensi dalam berislam ialah memilih hal baik. Dengan demikian hal buruk bukanlah pilihan, bahkan harus ditinggalkan. Al Attas menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi pada saat itu. Kemudian, seseorang yang patuh terhadap agama dalam menentukan pilihan terbaik itulah kebebasan. Al Attas menilai bahwa kebebasan sejati hanya bisa dicapai ketika manusia telah memperoleh illuminasi spiritual atau gnosis (ma’rifah), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi. Bahkan pada tahap ini pun, ia masih terikat dengan kewajiban untuk memasrahkan diri kepada Tuhan.
Sexual consent mengafirmasi hubungan seksual atas dasar persetujuan. Islam melegalkan persetujuan dalam hubungan seksual hanya dalam bingkai pernikahan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa pernikahan dalam Islam kita sebut dengan mitsaqan ghalizha. Ikatan ini bukan hanya dengan manusia, tapi lebih dulu dengan Tuhan. (Republika, 12 september 2014). Dengan menikah, hubungan yang haram bahkan bisa berubah menjadi sebuah ibadah, hidup bersama dalam ketenangan (sakinah), (Insists, 22 Nopember 2020). Sexual consent justru menghadirkan ketakutan, kegelisahan, karena memang, hanya keridhaan Allah yang dapat mendatangkan ketenangan.
*Alumnus PKU Unida Gontor, 2020.