Menimbang Akutalisasi Diri Muslimah

“Wanita modern di Barat walaupun ingin mandiri, mendapatkan hak otonomi yang sejajar dengan pria, ternyata mereka tetap mengidolakan seorang  pria yang mau memberi komitmen dan perlindungan” (Rata Megawangi, 2001: hal  215)

suami-isteri

Oleh Kholili Hasib, MA*

Pakar Gender, Dr. Ratna Megawangi dalam Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender menyimpulkan risetnya bahwa wanita modern di Barat walaupun ingin mandiri, mendapatkan hak otonomi yang sejajar dengan pria, ternyata mereka tetap mengidolakan seorang  pria yang mau memberi komitmen dan perlindungan (Rata Megawangi, 2001: hal  215).

Saat ini, sering terdengar suaru kaum feminis menggugat minimnya peran perempuan di sektor publik. Perempuan, khususnya di Indonesia, jumlahnya sangat besar. Tapi secara nominal, tingkat   partisipasi di sektor public (ekonomi, sosial politik dan lain-lain)   lebih rendah dibanding jumlah pria. Akhirnya, sesuai tuntutan konsep pembangunan ala United Nasional Development Programe (UNDP), keluarlah konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan  fifty-fifty . Sebagai langkah awal, dimulai dengan tuntutan 30 persen terlebih dahulu.

Muslimah pasti paham benar bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam banyak hal. Karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari pun sudah berlaku prinsip pembedaan ini. Di berbagai cabang olahraga, dipisahkan antara kelompok laki-laki dan perempuan. Di bidang transportasi, ada bus dan gerbong KA khusus perempuan. Bahkan, sejumlah tempat perbelanjaan harus menyediakan lokasi parker khusus perempuan.

Dalam Islam, perempuan diberi hak dan ruang yang sesuai dengan kodrat atau nurture-nya. Suatu kali, Ummu Salamah — istri Nabi Saw — menanyakan hak para sahabat perempuan seraya berkata: “Wahai Rasulullah Saw, sungguh kaum pria bisa berperang, sementara kita kaum hawa (perempuan) ini tidak. Mereka juga mendapatkan duakali lipat harta warisan dari yang kita dapatkan. Sekiranya kita ini laki-laki niscaya kita juga akan berperang seperti yang mereka lakukan”.

Pernyataan Ummu Salamah tersebut dijawab dengan turunnya surat al-Nisa’: 32 : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagaian kamu lebih dari yang lainnya. Karena bagi pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. Seorang perempuan yang menunaikan kewajibannya seperti memelihara rumah dan kehormatan mereka, taat pada suami dan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga lainnya mendapatkan pahala sepantasnya yang tidak kalah dengan suami mereka yang berperang (Syeikh Nawawi al-Bantani,Tafsir Maroh Labid I, 2006: hal 194).

Sebagian sahabat perempuan mungkin saja sangat meninginkan berjihad di medan seperti para suami. Mereka mengajukan tuntutan jihad, bukan karena tuntutan kesetaraan nominal. Tapi, Nabi Saw memiliki pertimbangan matang bahwa kekuatan tenaga perempuan tidak sama dengan lelaki yang sudah biasa trampil dan kuat di medan jihad. Makanya, hukumnya tidak wajib bagi perempuan. ‘Aisyah r.a pernah bertanya kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah Saw, apakah wanita juga berjihad”? Rasulullah Saw menjawab: “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yakni (bisa) dengan haji dan umrah” (HR. Bukhari dalam kitab al-Jihad). Dalam kisah-kisah peperangan, kaum perempuan biasanya memberi minum kepada para pejuang serta merawat luka mereka. Hal ini bukan berarti mempersempit ruang gerak publik perempuan, tetapi Islam telah memberi ruang sendiri – yang pahalanya tidak dibeda-bedakan (QS. Al-Nahl: 97). Masing-masing juga memiliki tanggung jawab sendiri.

Karena itu, Rasulullah Saw pernah berpesan, agar antar pria dan perempuan masing-masing membangun harmonisasi keserasian dalam melaksanakan tugas. Dimana masing-masing memiliki kuasa atas ruang tanggung jawabnya. Rasaulullah Saw bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan dimintakan pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin, dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Dan seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim).

Karena itu, Allah Swt tidak membedakan hasil kerja antara perempuan dan laki-laki. Sebagaimana disebut dalam surat Ali Imran: 195: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : ‘Sesungguhnya Aku tidak menyianyakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah dari sebagian lainnya”.

Dalam konteks mengerjakan kewajiban dan beribadah, Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Sehingga seorang laki-laki tidak diperkenankan membanggakan diri bahwa dirinya lebih kuat dan lebih mampu dan lebih dekat dengan Allah. Atau Islam melarang seorang laki-laki mencela perempuan dikarenakan kemampuan dirinya lebih dibanding perempuan. Begitu pula sebaliknya. Sebab, Islam telah menghargai kemampuan dan kodrat masing-masing yang sesuai dengan nurture-nya (Su’ad Ibrahim Sholih,Ahkam Ibadatil Mar’ah: 1993, hal 44).

Dalam bidang pekerjaan, Syaikh al-Sya’rawi mengatakan pada hakikatnya tidak dilarang wanita bekerja. Dengan syarat tidak sampai menjatuhkan kodratnya dan mengabaikan kewajiban sebagai istri. Bahkan, Islam memberi membebaskan perempaun janda yang ditinggal suami untuk bekerja jika memiliki tanggungan nafkah keluarga, dimana ia tidak memiliki suami, saudara lelaki untuk memberinya nafkah. Dianjurkan mencari jenis pekerjaan yang sesuai dan memberi manfaat untuk masyarakat (Syaikh al-Sya’rowi,Fiqhul Mar’ah Muslimah, tanpa tahun: hal. 257).

Di zaman Nabi Saw, para wanita juga ada yang pergi berperang. Ada yang berdagang. Asma’ binti Abu Bakar kerap membantu suaminya Zubair bin Awwam pergi ke kebunnya. Namun, ada ketentuan bagi Muslimah yang berkarir di ruang publik. Di antaranya; aman dari fitnah yakni dari hal-hal yang membahayakan diri dari maksiat, mendapat izin atau wali jika suami atau wali mampu memberi nafkah dan jika suami tidak mampu memberi nafkah Muslimah juga boleh, bahkan kata al-Sya’rowi jika tiada seorangpun yang membantu, maka bekerja itu menjadi utama.

Menjadi ibu rumah tangga adalah peran Muslimah. Tapi, jangan lupa, menjalani profesi yang mulia ini (ibu rumah tangga) juga memerlukan ilmu dan ketrampilan yang tinggi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, dalam kondisi apa saja, laki-laki dan perempuan wajib mencari ilmu (thalabul ilmi) untuk keselamatan duni akhirat. Suami-istri wajib bekerja sama agar rumah tangganya terwujud menjadi keluarka sakinah, penuh mawaddah wa rahmah.

Tidak patut rumah tangga dibangun di atas konsep persaingan dan perseteruan gender, yang akhirnya menumbuhkan jiwa yang resah dan tali ikatan keluarga yang lemah dan mudah ‘bubrah’. Wallahu a’lam bis showab

Alumni PKU Peneliti Center for Gender Studies (CGS)

Artikel pernah dimuat di rubrik ISLAMIA Republika 18 April 2013

Kritik Konsep Kebebasan dalam Paradigma Sexual Consent

Oleh : Jumarni* Beberapa media diramaikan dengan pro kontra terkait kebijakan dari Nadiem Makarim selaku...

Childfree dalam Pandangan Syara’

Oleh: Kholili Hasib* Childfree adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang memilih untuk...

Kesetaraan Gender dan Studi Islam (Bag.2)

Oleh: Ahmad Kholili Hasib* Secara akademik, studi Islam berbasis gender dilakukan melalui metode feminis, di...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.