Oleh: Dina Farhana
Siti Walidah atau biasa dikenal sebagai Nyai Dahlan merupakan salah satu tokoh perempuan Muslim yang telah mengukir sejarah dalam pergerakan perempuan di Indonesia. Bersama dengan suaminya, Kyai H. Ahmad Dahlan, Siti Walidah turut berperan dalam mendidik kaum perempuan melalui aktivitasnya di Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Nyai Dahlan dilahirkan di Yogyakarta dengan nama Siti Walidah tahun 1872 M di tengah-tengah keluarga santri yang taat beragama. Ayahnya seorang penghulu Keraton, H. Muhammad Fadlil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim. Sementara itu, ibunya, dikenal dengan sebutan Nyai Mas berasal dari Kampung Kauman[1].
Keluarga Siti Walidah adalah keluarga sederhana. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, di samping bekerja sebagai penghulu keraton, Kiai Fadlil juga berdagang batik. Layaknya penduduk kampung Kauman pada umumnya, masa kecil Siti Walidah dihabiskan untuk belajar mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab agama dalam Arab Pegon (berhuruf hijaiyah dan berbahasa Jawa).
Sejak kecil, ia tidak pernah mendapat pendidikan formal di sekolah umum. Ini disebabkan adanya pandangan masyarakat Kauman pada waktu itu, bahwa belajar di sekolah umum (sekolah yang didirikan Belanda) dianggap haram karena orang Barat (Belanda) itu dianggap kafir. Semua produk dan tiruan barat dinilai haram, termasuk juga sekolah. Akibatnya, generasi yang hidup semasanya tidak sempat mengenyam pendidikan formal di sekolah. Di samping itu, terdapat anggapan bahwa kaum wanita tidak dibenarkan keluar dari rumahnya, harus tinggal di kamar atau di dapur. Di Kauman sampai dengan sekitar tahun 1900-an, belum luas diterima pandangan tentang pentingnya pendidikan formal di sekolah.
Pada masa itu masyarakat Kauman berpendapat bahwa pendidikan formal di sekolah bagi anak perempuan dipandang akan menurunkan kesusilaan. Oleh karena itu, pendidikan yang diterima Siti Walidah cukup dari lingkungan keluarga yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Selain pendidikan keagamaan, ia juga belajar keterampilan, seperti menjahit, menyulam, membatik, dan keterampilan-keterampilan lainnya yang dapat dikerjakan di dalam rumah[2].
Siti Walidah menikah dengan Ahmad Dahlan pada 1889 M di umurnya yang ke-19. Dari hasil pernikahannya, ia dikaruniai 6 orang anak. Nyai Dahlan tidak hanya berperan sebagai istri dan juga ibu dalam rumahnya. Ia menempatkan dirinya sebagai bagian dan teman bagi perjuangan suaminya, yaitu dengan merintis perkumpulan perempuan untuk membangun kesadaran dalam berpendidikan. Nyai Ahmad Dahlan menyadari bahwa suaminya mengemban tugas yang besar dalam memperjuangkan dakwah Islam maka sebagai istri ia berusaha dapat mengimbangi dan mendukung cita-cita suaminya. Apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh Nyai Dahlan tidak terlepas dari izin serta dukungan suaminya, dan tentu pula tidak menutup perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya. Nyai Dahlan tetap memegang peran penting dalam mendidik dan mengawasi pendidikan putra-putrinya.
Setelah menikah dengan Ahmad Dahlan, kehidupan sehari-hari Siti Walidah menjadi perhatian banyak orang karena ia mengikuti suaminya dalam pergerakan Muhammadiyah. Seringkali Kiai Dahlan menyerahkan pekerjaan-pekerjaan Muhammadiyah yang terkait dengan perempuan kepada Nyai Dahlan. Oleh karena itu, ia kerap dijuluki Ibu Muhammadiyah[3]. Bagi Nyai Dahlan, Kiai Dahlan adalah suami sekaligus gurunya. Ia merasa belajar banyak dari pengalamannya mendampingi sang suami yang tekun dan gigih membesarkan Muhammadiyah.[4]
Kiai Dahlan menyadari betul betapa pentingnya melibatkan semua golongan, baik pria maupun wanita, dalam membangun bangsa dan mendakwahkan agama. Kesadaran ini ditanamkan pada istrinya dengan mengajarkan pengetahuan mengenai wanita dalam perspektif Islam. Bersamaan dengan itu, Kiai Dahlan juga memberikan kesempatan yang sama agar para wanita mampu mengurus dirinya. Ia berpendapat, kalau saja para wanita memiliki wadah sendiri untuk mengurus dirinya maka mereka akan mampu menyinergikan potensi yang ada pada diri mereka. Untuk itu, kehadiran sebuah perkumpulan wanita merupakan suatu keharusan.[5]
Mendirikan Aisiyah
Perjuangan Nyai Dahlan muncul dari kehidupan perempuan di kampung Kauman yang ketika itu mereka tidak diperkenankan keluar rumah sebagaimana laki-laki, termasuk dalam soal pendidikan. Aktivitas yang dilakukan perempuan hanya sebatas dalam rumah saja. Oleh sebab itu, Kyai Dahlan bersama dengan Nyai Dahlan memiliki gagasan tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam urusan pendidikan. Dengan diberikan pendidikan maka perempuan akan lebih cakap dalam menggerakkan tugasnya sebagai seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya dan mengerti tentang agamanya.
Pada tahun 1914, Nyai Dahlan membuat perkumpulan kelompok perempuan yang diberi nama Sopo Tresno. Sopo Tresno belumlah menjadi sebuah organisasi, hanya kelompok pengajian perempuan yang terdiri dari gadis hingga perempuan-perempuan tua yang belajar Al-Qur’an, ilmu agama, dan keterampilan.
Melalui Sopo Tresno, Nyai Dahlan mencoba menyadarkan kaumnya bahwa pandangan seperti itu tidak berdasar. Dalam pandangannya para wanita adalah partner kaum lelaki dan mereka sendirilah yang harus mempertangungjawabkan hidupnya kepada Allah kelak. Argumentasi Nyai Ahmad Dahlan ini didasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] : 228 dan Surah An Nahl [16] : 97 yang artinya[6]:
Dan para wanita itu mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yag ma’ruf. (Q.S. Al Baqarah [2] : 228)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An Nahl [16] : 97)
Melalui perkumpulan Sopo Tresno inilah Nyai Dahlan berusaha menanamkan kesadaran kepada kaum perempuan tentang guna dan tujuan pendidikan. Usaha yang dilakukan ialah dengan mengadakan pengajian keagamaan bagi kaum perempuan dengan membahas ayat-ayat Al-Quran dengan isu-isu seputar perempuan dan keluarga, belajar mengaji, membaca, menulis, serta mempelajari keterampilan seperti menjahit, menyulam, dan membatik. Kelompok Sopo Tresno mampu merambah hingga kalangan masyarakat bawah, seperti para buruh dan pembantu rumah tangga.
Melihat perkembangan positif dari perkumpulan tersebut, dalam sebuah pertemuan di rumah Nyai Ahmad Dahlan yang dihadiri oleh Kiai Muchtar, Kiai Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, Kiai Haji Fachrudin dan pengurus Muhammadiyah lainnya, mereka sepakat untuk mengembangkan perkumpulan pengajian Sopo Tresno menjadi sebuah pengajian organisai wanita islam yang mapan dan dilengkapi dengan anggaran dasar dan peraturan organisasi lainnya. Awalnya, ada yang mengusulkan nama Fatimah, tetapi banyak yang tidak setuju. Lalu diusulkan nama Aisyiyah oleh Almarhum Haji Fachruddin. Nama terakhir itulah yang diterima oleh forum karena diambil dari nama istri Nabi Muhammad Saw., Siti Aisyah. Dari nama itu diharapkan agar perjuangan Siti Aisyah dalam mendakwahkan Islam dapat diwarisi oleh pergerakan Aisyiyah. Setelah semua setuju maka tanggal 22 April 1917 M bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1355 H Organisai Aisyiyah diresmikan[7].
Aisyiyah menjadi organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Organisasi ini diketuai oleh Nyai Dahlan, dengan anggota-anggotanya yang merupakan gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sudah berumah tangga.
Dari kepemimpinan dan perjuangannya itulah perempuan-perempuan merasa terangkat derajat dan kedudukannya. Mereka mengerti status mereka sebagai istri terhadap suaminya. Sebagai ibu, mereka bertanggung jawab dengan memberikan dan memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya. Nyai Dahlan selalu menekankan bahwa menjadi perempuan itu haruslah pintar karena seorang anak tentu akan mendapat pendidikan pertamanya lewat orangtua dan keluarganya. Maka dari itu, peran ibu sangatlah penting dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Nyai Dahlan selalu memberikan nasihatnya kepada para murid perempuannya, yakni agar perempuan jangan memiliki jiwa yang kerdil tetapi berjiwa srikandi.
Perhatian Nyai Dahlan terhadap pendidikan Islam sangat besar. Sebagaimana Ahmad Dahlan, Nyai Dahlan menyepakati suatu formula yang dikenal dengan istilah “Catur Pusat”, yaitu pendidikan di dalam lingkungan keluarga; pendidikan di dalam lingkungan masyarakat; dan pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah.[8] Kyai Dahlan dan Nyai Dahlan sangatlah tegas dalam pendidikan. Bagi mereka, perempuan atau laki-laki sama saja dalam urusan pendidikan. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi seorang Muslim, laki-laki atau perempuan, tua ataupun muda, mereka tetap mempunyai kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Kenyataannya, karena pengaruh cara pandang diskriminatif penjajah Barat terhadap kaum wanita, saat itu pada umumnya pendidikan banyak dimonopoli kaum lelaki. Sedikit sekali kaum wanita yang dapat mengenyam pendidikan. Hal ini yang mendorong Kiai Dahlan untuk memperluas pendidikan hingga kepada kaum wanita. Bagi Kiai Dahlan, wanita merupakan aset umat dan bangsa. Ia berpendapat tidak mungkin membangun peradaban umat manusia apabila para wanita hanya dibiarkan berdiam diri di dapur dan rumah saja. Untuk itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah mempersilakan kaum wanita dan pria untuk belajar di sekolah. Keduanya memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu pengetahuan[9].
Nyai Dahlan mempunyai ide untuk mendirikan asrama khusus bagi kaum wanita. Pendidikan formal untuk wanita pada waktu itu sudah ada yang dikelola Muhammadiyah maka Nyai Dahlan mempunyai pikiran lain. Untuk penyempurnaan pendidikan bagi kaum wanita, perlu diadakan pendidikan nonformal atau asrama (pondok) sebab pada waktu itu asrama yang ada hanya menampung kaum laki-laki. Asrama khusus kaum wanita itu diperkirakan berdiri pada tahun 1918 karena saat itu sudah banyak wanita yang bersekolah, khususnya di sekolah Pawiyatan. Namun, pendidikan di luar rumah, terutama kejuruan, umumnya masih diabaikan orangtua. Asrama yang didirikan oleh Nyai Dahlan di rumahnya itu diharapkan dapat mendidik kaum wanita, khususnya di bidang pendidikan agama dalam segala hal yang menyangkut bidang keputrian.[10]
***
Nyai Dahlan merupakan sosok teladan perempuan dalam sejarah. Kecerdasannya, kelembutan bahasa, dan baik budi pekertinya membuat beliau menjadi sosok yang dicintai oleh banyak orang. Nyai Dahlan adalah seorang Muslimah yang berjuang dalam menegakkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan sosial. Organisasi Aisyiyah yang saat ini masih berdiri, dalam tumbuhnya telah membuktikan banyak munculnya generasi-generasi ulama perempuan yang cerdas, yang tentu ini tidak terlepas dari semangat perjuangan Nyai Dahlan dalam mendidik perempuan-perempuan Aisyiyah.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Nyai Dahlan tentu sangatlah besar dan tentu memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat, terutama kaum wanita. Atas jasa-jasa yang telah dilakukan Nyai Dahlan kepada agama, bangsa, dan negara, pemerintah RI memberinya gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 22 September 1971.
Nyai Dahlan wafat pada 13 Mei 1946 di usianya yang ke-72 tahun. Wafatnya Nyai Dahlan tidak seketika mematikan perjuangannya. Beliau berpesan kepada murid-muridnya untuk selalu menjaga dan memperjuangkan Aisyiyah.
“Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiah kepadamu sebagaimana almarhum K.H. Ahmad Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan.”[11]
[1]M. Yunan Yusuf, Ensiklopedi Muhammadiyah, Rajawali Press, 2005, hal : 392
[2] Ibid. hal: 392
[3]H.M. Yunus Anis, Nyai A. Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisiyah Pelopor Pergerakan Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Mercusuar, 1968, hal 8-9
[4]Kamajaya, Sembilan Srikandi Pahlawan Nasional, hlm. 40
[5]Jajat Burhanudin, Ulama perempuan Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2002, hal:47
[6]M. Yunan Yusuf, Ensiklopedi Muhammadiyah, hal:394
[7] Ibid. hal : 395
[8]Jajat Burhanudin, Ulama perempuan Indonesia, hal : 53
[9] Ibid. hal: 54
[10] Ibid. Hal : 56
[11] Ibid. hal : 61