Oleh: Dr. Adian Husaini[1]
Akhir-akhir ini, muncul banyak berita yang menolak Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU KK). Ini contohnya: “RUU KK Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan yang Sistematis”. (www.republika.co.id, 26 Feb 2020); “Komnas Perempuan: RUU Ketahanan Keluarga Seret Perempuan ke Ranah Domestik”. (www.liputan6.com, 22 Feb 2020). Ada lagi judul berita: “Wakil Ketua MPR Minta RUU Ketahanan Keluarga Dicabut dari Prolegnas”. (www.hukumonline.com, 4 Maret 2020).
Berita-berita itu mengindikasikan adanya kepanikan dalam menyikapi RUU KK. Senin (24/2/2020), sejumlah kelompok bernama “Aliansi GERAK Perempuan” melakukan aksi tolak RUU KK di DPR. Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan, “RUU ini bermaksud mengembalikan perempuan ke dalam peran-peran domestik dengan beban tanggung jawab pengurusan rumah tangga ke tangan perempuan sebagai istri,” kata Citra.
Katanya lagi, RUU KK dianggap melanggengkan ketidakadilan gender. “RUU ini hendak menjiplak Orde Baru di mana negara mengisolasi perempuan di ruang domestik sebagaimana ideologi ibuisme, menempatkan perempuan sebagai pelayan suami, anak, keluarga, masyarakat, dan negara,” ujarnya.
Fobia keluarga?
Begitulah kepanikan beberapa orang tentang RUU KK. Tentu, keberatan terhadap RUU KK perlu disikapi dengan adil dan bijaksana. Jika kritiknya baik, patut diterima. Jika tidak baik, perlu dijelaskan dengan bijak dan sabar.
Salah satu yang dipersoalkan adalah Pasal 25 ayat (3) RUU KK yang menyebutkan: “Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain: a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. menjaga keutuhan keluarga; serta c. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Berbagai berita tentang respon terhadap RUU KK tersebut memunculkan rasa keheranan. Mengapa pasal 25 (3) RUU KK — yang begitu indah – ditolak begitu keras? Bahkan, sampai ada yang menuduh RUU KK itu akan melanggengkan ketidakadilan gender. Ada yang berteriak: “RUU ini hendak menjiplak Orde Baru di mana negara mengisolasi perempuan di ruang domestik sebagaimana ideologi ibuisme, menempatkan perempuan sebagai pelayan suami, anak, keluarga, masyarakat, dan negara.”
Protes semacam itu sangatlah aneh! Kepanikan itu mengindikasikan adanya penyakit “fobia-keluarga”! Padahal, bagi bangsa Indonesia, adalah suatu hal yang wajar jika perempuan berperan sebagai ibu, mengatur keluarga dengan baik, memenuhi hak-hak suami dan anak-anaknya! Apa yang salah dengan pasal itu?
Begitu banyak perempuan berbangga diri dan bahagia menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga, menjadi mitra yang harmonis bagi suaminya, dan pendidik bagi anak-anaknya. Menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan rendahan yang hina. Itu bukan bentuk isolasi perempuan. Mengecam posisi ibu – sampai dikatakan sebagai idelogi ibuisme – bukanlah ucapan dan tindakan yang baik. Apalagi dilakukan oleh perempuan!
Kebencian!
Mengapa muncul kepanikan yang begitu hebat terhadap RUU KK? Itu bisa dipahami dari akar paham Kesetaraan Gender! Dr. Ratna Megawangi, dalam bukunya, Membiarkan Berbeda? (Bandung: Mizan, 1999), menjelaskan, bahwa ide Kesetaraan Gender bersumber pada ideologi Marxis, yang menganggap perempuan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas.
Paradigma Marxisme melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan. Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri.
Perspektif Marxisme inilah yang melihat laki-laki dalam nuansa kecurigaan. Para penganut paham ini di kalangan muslim telah banyak melakukan upaya penafsiran ulang terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang dianggap tidak sejalan dengan ide Kesetaran Gender. Menurut para pendukung ide ini, banyak ajaran agama yang selama ini ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki, sehingga merugikan perempuan.
Pola pikir fobia-keluarga itu berakar dari paham sekulerisme, yang membuang dimensi Ilahiyah dan ukhrawiyah dalam memahami konsep hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Oleh kaum sekuler, pekerjaan ”melayani suami” dianggap sebagai pekerjaan hina dan satu bentuk penindasan laki-laki atas perempuan.
Padahal, dalam perspektif Islam, aktivitas istri melayani suaminya adalah ibadah. Begitu juga kasih sayang suami pada istrinya. Amal baik, dapat balasan di akhirat. Orang mukmin akan bahagia menjalankan ibadah. Ia yakin akan pahala dan ridha Allah SWT.
Tapi, jika orang sudah salah pikir dan kebencian memuncak, maka rasionalitas memudar. Sebagai contoh, berangkat dari kebencian dan pemberontakan terhadap laki-laki, tahun 2004, Pusat Studi Wanita satu Universitas di Yogyakarta, menerbitkan buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sampul belakang buku itu mencantumkan ungkapan berikut: “Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki: sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik patriakhisme dunia hingga saat ini.”
Buku ini menggugat berbagai bentuk pembedaan laki-laki dan perempuan sebagaimana yang selama ini diatur oleh hukum Islam. Peran ibu untuk menyusui dan mengasuh anak-anaknya ditolak keras: ”Seorang Ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati itu dapat dilakukan oleh seorang Bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum dan menjaga keselamatan keluarga.” (hlm. 42-43).
Tentu, banyak orang berpikir, bayi manusia lebih baik disusui ibunya sendiri, daripada menyusu pada sapi atau pada botol!
Yang jelas, kasus RUU KK ini telah membuka arena perjuangan untuk meraih keridhaan Allah SWT dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin di bumi Nusantara. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 7 Maret 2020).
Sumber: https://adianhusaini.id/detailpost/ruu-kk-mengapa-banyak-yang-panik
[1] Guru Pesantren Attaqwa Depok