Oleh: Tri Shubhi A
Manusia ialah makhluk yang terdiri dari jiwa dan raga. Selain memiliki jasad yang wadak, manusia juga memiliki sisi batin yang lembut dan halus. Jasad wadak manusia bersifat benda, dapat dicerap indera. Sementara jiwa, sisi batin manusia, bukanlah benda. Ia berhubungan dengan jasad tapi tak tercerap indera. Baik jiwa maupun raga, keduanya dicipta oleh yang Maha Kuasa. Manusia tidak pernah menciptakan tubuhnya sendiri.
Semua manusia yang hidup hari ini, pada 200 tahun lalu tidaklah ada. Manusia hadir dari ketiadaan. Kita diciptakan, hadir di dunia melalui wasilah ibu dan bapak. Kita tak berkuasa mengubah seketul darah di rahim ibu, menjadi nyawa yang berdetak yang kemudian ditumbuhi tulang dan diselimuti daging dalam satu tata detak hidup yang rumit sekaligus megah. Tata hidup yang selalu sealun dengan gerak semesta. Indah. Jantung yang khusyu berdenyut dan darah yang setia mengalir.
Kita tak berkuasa atas semua itu. Kita tak berkuasa atas kelahiran, atas pertumbuhan, dan kini kita dapat membaca, menulis, dan menghardik manusia lannya. Kita tak berkuasa atas setiap denyut nadi atau peredaran darah. Kita berawal dari ketiadaan, menjadi ada tanpa berkuasa atas keberadaan itu sendiri. Kita dijadikan ada oleh Yang Maha Kuasa, Allah Swt. Kita tak berkuasa atas tubuh kita sendiri. Bukan kita yang menjadikan daging darah dan seluruh jasmani ini.
Dan Allah, dengan segala kasih cinta kepada manusia mengajarkan tentang pemuliaan tubuh. Dalam Islam, tubuh bukan sekadar wadak badan yang dapat diperlakukan sekehendak nafsu. Tubuh mulia, perlu diperlakukan penuh kemuliaan. Islam mengajak penganutnya untuk memuliakan tubuh. Pengurusan badan menjadi bagian penting dalam Islam. Tubuh harus senantiasa dibimbing oleh jiwa yang jernih, bukan diarahkan oleh hasrat kesemenaan manusia.
Tubuh yang hidup perlu diperlakukan dengan wajar. Kita perlu makanan yang wajar, perlu pakaian yang wajar, perlu perlakuan yang wajar terhadap jasmani. Kita perlu kewajaran. Perlu kepantasan dan kesesuaian dengan sifat-sifat alami kita. Perlakuan yang semena-mena dan tak beraturan akan menghasilkan ketidaktepatan, ketidakalamian, dan ketakwajaran.
Tubuh yang hidup, perlu ditutup dari yang tak berhak melihat. Aurat perlu disembunyikan. Tak boleh diumbar. Islam mengajarkan bahwa tubuh manusia ialah mulia, ia tak pantas dipertontonkan secara terbuka demi kesenangan dan nafsu rendah. Tubuh bukan sebentuk lencana yang pantas dipamerkan di muka umum. Bukan pula sebuah karya seni yang perlu dipertunjukkan. Tubuh ialah wadah kemanusiaan. Ia perlu dimuliakan dengan pakaian yang pantas dan wajar.
Rupa yang menawan atau tubuh yang molek bukanlah hak kita untuk memperlakukannya secara semena. Kita harus ingat dan mengulang dengan sabar, bahwa tubuh tidak pernah benar-benar milik kita sendiri. Kita tidak pernah menciptakannya. Tuhanlah, Allah, yang menciptakannya. Taat kepada Allah atas perlakuan terhadap tubuh ialah bentuk kesyukuran tertinggi, sekaligus pemuliaan terhadap keadaan asli (fitrah) kemanusiaan kita lahir dan batin.
Kita perlu memberi tubuh pakaian yang pantas bagi tubuh itu sendiri, bagi jiwa kita, dan sekaligus bagi kemanusiaan kita. Manusia sewajarnya menutup tubuhnya dengan saksama di hadapan manusia lain yang tak berhak. Rasa malu ialah mahkota kemuliaan kemanusiaan kita. Tanpa rasa malu dan kebebasan membabi buta merayakan hasrat, kita telah merubuhkan kemanusiaan kita. Tanpa pakaian yang pantas, kita akan melata di dunia. Tubuh yang tak terjaga, membuka keterpurukan batin yang pilu.
Kita harus tahu diri bahwa kita tak pernah menciptakan tubuh kita sendiri. Tak perlu merayakan kebebasan atas tubuh sebab kita tak pernah memilikinya. Kita hanya berutang atas keberadaan tubuh kepada Sang Pencipta. Bersikukuh merasa memiliki jasad ini hanya akan menghasilkan ketidakwajaran. Kita tak akan mampu menanggung setiap desah nafas, setiap desir darah, dan denyut nadi di badan kita. Kita tak pernah mengatur dan mengurusnya. Kecuali setelah sakit dan perlu cuci darah. Itu pun hanya sedikit dan mahal. Tuhanlah yang mengatur semuanya. Pada desir, pada detak, pada desah, pada alir, dan pada denyut kita berutang pada Tuhan.
Dan kelak semua akan berhenti. Tak ada lagi nafas, darah berhenti berdesir dan mengalir, jantung tak lagi berdetak. Tubuh akan selesai di dunia ini. Suatu saat, jasad yang berada di luar kuasa kita ini akan terbujur kaku, tak mampu sekadar menggerakkan jari. Kita akan kehilangan daya hidup dan kehilangan hidup itu sendiri. Suatu saat kita akan selesai dengan segala keangkuhan dan kepongahan kita selama hidup. Tak ada lagi perayaan dan kegembiraan atas tubuh ketika kita tak lagi bernyawa. Semua kesenangan dan pengumbaran hasrat atas tubuh akan berhenti. Semuanya selesai, menghadap Tuhan dengan segala kelakuan semasa hidup. Tubuh kita membujur kaku, tak bernyawa, tak berjiwa.
Orang-orang hiduplah yang akan mengurus jasad yang membujur kaku itu. Akan tetapi, Islam memberi keindahan pada tubuh yang tak lagi berdaya itu. Dalam ajaran Nabi, setiap yang terlahir dan mati sebagai manusia akan diperlakukan dan dihargai secara wajar dan pantas sebagai manusia. Kemanusiaan senantiasa dijunjung tinggi. Tubuh yang telah menjadi jenazah akan dimandikan secara layak. Jasad yang telah kehilangan daya itu akan dibersihkan untuk yang terakhir kali. Tak ada kain berwarna-warni atau bermodel gaya. Kelak, kita akan berbalut kain putih, kafan namanya, 3 atau 5 lapis banyaknya. Orang-orang akan mensholatkan, mendo’akan, dan mengantar kita ke kuburan. Mungkin ada isak tangis. Namun, tubuh tak bernyawa masih perlu dimuliakan. Dihadapkan ke kiblat di liang lahat. Takbir, tahlil, tahmid, dan doa-doa suci dilantunkan dalam kematian.
Dalam Islam, tubuh yang hidup dan bahkan tubuh yang telah menjenazah senantiasa dimuliakan. Manusialah yang kemudian membangun kepongahan, memperlakukan tubuh semau nafsunya, seumbar hasratnya. Pemuliaan atas tubuh ialah juga pemuliaan atas jiwa, atas seluruh kemanusiaan kita lahir dan batin. Pemuliaan tubuh ialah bentuk kepasrahan dan rasa syukur kepada Allah Swt. yang telah memberikan hidup, memberikan kematian, dan memberikan pengaturan amat rumit namun sangat megah pada setiap peristiwa ketubuhan.
Maka pada desah nafas, pada detak jantung, pada desir urat saraf, pada alir darah, pada denyut nadi seharusnya kita dapat merasakan Tuhan. Khusyu menyebut Allah, Allah, Allah….
Sumber: https://nuun.id/tubuh