Home Blog Page 12

Dharma Wanita DKI Jakarta Kritik Kontes Abang None

0

1016215_10202152876332596_366452583_n

Thisisgender.com — Perwakilan Darma Wanita DKI Jakarta mengajukan kritik terhadap kontes abnon kemarin. Kontes yang jg menjual kecantikan ini dikritik karenz belum memberi kontribusi. kritik ini sejalan dengan ormas-ormas islam yg saat ini menolak Miss World (MW) karena juga menjual kecantikan.

Hal ini ia ungkapkan saat menerima audiensi dari FRENDS (Forum Persaudaraan untuk Perempuan dan Anak Indonesia) di Ruang Rapat Biro Kesejahteraan Sosial Sekda (Sekretaris Daerah) Provinsi DKI Jakarta, Jum’at 27/09/2013.

Menurut Ade, peran dari kontes Abang None pada masyarakat tidak terlihat jelas, Abang None yang memenangkan kontes ini nyaris hanya dijadikan pajangan.

943353_10202152870452449_1351728874_n

“Selama ini peran dari abang none pada masyarakat tidak terlihat jelas. Abang None nyaris hanya dijadikan “pajangan” pada acara-acara resmi Pemda. Seperti sebagai among tamu, pembawa baki saat pengguntingan pita, dan lainnya, yang sebenarnya hal ini bisa saja dilakukan oleh karyawan Pemda sendiri”, kata Ade, Ketua Dharma Wanita Pusat DKI Jakarta.

Ia juga mempertanyakan kunjungan Abang None ke luar negeri dan kaitannya dengan pariwisata DKI Jakarta.

“Kalau ada kunjungan abang none ke Inggris, apa setelah kunjungan itu pariwisata DKI meningkat?”, tanyanya.

Jilbab: Dari “Haram’ hingga Mode Pakaian

1

Kabul Astuti*

Barangkali banyak muslimah yang sekarang tidak tahu bahwa pada tahun 1970-1980an, jilbab pernah menjadi sesuatu yang haram keberadaannya di ruang publik, terutama di sekolah-sekolah. Pemerintah Orde Baru pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82 yang mengatur bentuk dan pemakaian seragam bagi siswa di sekolah-sekolah negeri. Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P & K (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

SK tersebut dapat dikatakan tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain sehingga berbenturan dengan keinginan beberapa siswi di sekolah-sekolah negeri yang ingin mengenakan jilbab. Pasca keluarnya SK tersebut, banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya dikeluarkan dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta.

Kasus jilbab yang pertama sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan guru olah raga SMAN 3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka melepaskan kerudung. Sejak itu, kasus-kasus jilbab di berbagai sekolah negeri lainnya segera bermunculan. Semakin lama semakin banyak siswi yang mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal ini menimbulkan reaksi dari beberapa ormas Islam, terutama Pelajar Islam Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI mewakili lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan advokasi kepada Departemen P&K agar bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya mengenai peraturan seragam sekolah tersebut.

Pada kurun waktu 1984/1985, Serial Media Dakwah menyebutkan bahwa 300 pelajar putri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan Sumenep, terpaksa pindah sekolah karena masalah kerudung ini. Hanya di Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap diperkenankan. Pada tahun 1988-1991, kasus jilbab juga mulai masuk ke ranah pengadilan, di antaranya SMA N 1 Bogor dan SMA N 68 Jakarta.[1] Kasus jilbab ini menarik perhatian berbagai media massa, di antaranya majalah Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit, Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota. Media-media massa ini menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya menyatakan keprihatinan mereka terhadap kasus yang menimpa siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri.

Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah negeri, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal, sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga Rp 160,00. Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal dunia akibat dihakimi massa karena ia diteriaki sebagai penebar racun.

Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru, yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak. Hal ini disambut gembira oleh siswi-siswi berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan mereka. Pada SK yang baru ini, keinginan para siswi berjilbab sudah diakomodir, lengkap dengan contoh gambar pakaiannya. Meskipun, istilah yang digunakan pada SK tersebut tetap ”seragam khas”, bukan jilbab.

Walaupun kewajiban untuk berjilbab telah tertera dengan sangat jelas dalam Al Qur’an (QS An Nur: 31 dan Al Ahzab: 59), namun kenyataan itulah yang terjadi pada tahun-tahun tersebut. Jilbab menjadi suatu identitas yang diharamkan keberadaannya di ruang publik. Para muslimah yang ingin memakai jilbab harus menghadapi tekanan dari aparat keamanan dan pemerintah. Mereka dituduh menyebarkan aliran sesat, mengikuti golongan tertentu, atau melawan kebijakan pemerintah. Pahitnya keadaan pada masa itu menjadikan para muslimah berjilbab benar-benar teruji kualitas dan militansinya. Muslimah yang masih ragu dengan jilbab atau belum kuat keislamannya, tidak akan berani mengenakan jilbab.

Sesuatu yang telah menjadi jamak seringkali justru diiringi dengan penurunan kualitas. Hal itu terjadi dalam banyak hal. Pendidikan, misalnya. Ketika akses pendidikan masih sulit dan hanya golongan terbatas saja yang bisa mengenyam bangku pendidikan tinggi, sarjana-sarjana yang dihasilkan adalah sarjana yang berkualitas. Namun sekarang, ketika pendidikan tinggi telah terbuka bagi semua kalangan, berkat berbagai beasiswa dan juga semakin banyaknya perguruan tinggi yang lahir, kualitas sarjana yang dihasilkan tampaknya tidak lebih baik daripada dulu. Bahkan, ada kesan justru menurun. Banyak sarjana-sarjana yang melacurkan ilmu demi mencari kesenangan sendiri, tidak peka terhadap kondisi sosial, berpikir pragmatis, dan sebagainya.

Demikian juga kalau melihat dalam sejarah umat Islam. Pada masa-masa awal dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam, hanya sekelompok orang saja yang mengikut ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Namun, mereka adalah orang-orang terpilih yang benar-benar komitmen terhadap keislamannya. Mereka berani mempertaruhkan nyawa demi membela Islam. Sementara sekarang, banyak orang yang mengaku beragama Islam tapi keislaman mereka bukannya membuat Islam semakin berjaya. Seperti sabda Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wa sallam dalam sebuah hadits, umat Islam banyak tapi banyaknya seperti buih di lautan.

Tak terkecuali dalam hal berjilbab. Pada era 70-80an, muslimah berjilbab karena mereka menyadari perlunya jilbab sebagai penutup aurat. Muslimah yang berjilbab pada masa itu benar-benar mempertaruhkan sekolah, karier, bahkan keselamatannya demi mempertahankan keyakinannya mengenakan jilbab. Sekarang, banyak orang berjilbab tapi melupakan fungsi jilbab yang sebenarnya. Jilbab dikenakan hanya sekedar untuk mengikuti mode. Tak sampai berselang dua dekade sejak izin pemakaian jilbab di sekolah-sekolah dikeluarkan pada tahun 1991, jilbab menjamur di mana-mana. Tren jilbab merebak di kalangan wanita-wanita muda, mulai dari pelajar, karyawan, pegawai negeri, para eksekutif, hingga artis. Model, warna, dan bahan kain jilbab yang dikenakan pun beraneka ragam. Selain itu, gejala yang tak kalah menarik adalah munculnya komunitas-komunitas Hijabers yang beranggotakan para remaja berjilbab.

Masuknya jilbab di ruang-ruang publik merupakan suatu peningkatan yang harus disyukuri. Namun, bersamaan dengan itu, fenomena yang timbul adalah turunnya pemaknaan muslimah terhadap jilbab. Jilbab hanya dipandang sebagai sehelai kain yang dikenakan untuk mengikuti trend fashion, bukan sebagai penutup aurat dan identitas muslimah. Dalam berjilbab, Islam sudah memberikan aturan-aturan, seperti harus menutup dada, tidak boleh ketat, kainnya tidak terawang, dan sebagainya. Ketika sekarang jilbab hanya difungsikan sebagai fashion, banyak ketentuan-ketentuan tersebut yang diabaikan oleh pemakainya. Yang lebih dipikirkan bukan lagi, ‘apakah jilbab ini sudah menutup dada dan tidak transparan’, tetapi ‘apakah jilbab ini serasi dengan baju dan mengikuti model jilbab yang tengah berkembang’. Di sisi lain, orang-orang yang memakai jilbab dengan benar –tapi tidak mengikuti mode- justru dipandang sebelah mata atau diidentikkan dengan golongan tertentu.

Jilbab adalah identitas keislaman seorang muslimah. Jilbab adalah kewajiban bagi seluruh muslimah yang Allah sampaikan dalam Al Qur’an. Jilbab bukan sekedar kain penutup kepala atau perwakilan dari gejala sosiokultural dalam masyarakat. Jilbab juga bukan sekedar objek penelitian antropologi tentang bagaimana suatu masyarakat berbusana. Perkembangan jilbab dari yang semula diharamkan hingga menjadi sesuatu yang lumrah di ruang publik hanya dalam waktu kurang dari dua puluh tahun menarik untuk dicermati. Terlebih, perkembangan ini juga diiringi dengan perubahan makna jilbab, dari yang semula merupakan penutup aurat yang disyariatkan Islam sampai akhirnya menjadi mode fashion. Realita ini tidak bisa dipandang hanya sebagai dinamika sosial semata, tetapi perlu menjadi sebuah perenungan, terutama bagi para muslimah di Indonesia. Bagaimana seharusnya muslimah mengartikan sehelai kain bernama jilbab?

 

Biodata Penulis

*Lahir di Kulon Progo, 27 Februari 1992, adalah alumni Sastra Indonesia UGM angkatan 2009. Saat ini tengah menempuh studi Pascasarjana Program Magister Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penulis beralamat di RT 31/RW 16, Dusun Salam, Kel. Salamrejo, Kec. Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta 55664. Dapat dihubungi melalui email ceritatanpakata@yahoo.com atau 081904172292.


[1] Untuk memahami kasus pelarangan jilbab lebih lanjut, baca buku Alwi Alatas. Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991, (Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Ummat, 2001).

Dialog Kyai dan Sangidi Tentang Miss World

1

index

Oleh: Dr. Adian Husaini

Alkisah, di suatu waktu, di sebuah pondok pesantren, di pelosok Sukabumi, Jawa Barat, Kyai Marwan Syarifin tampak sedang terlibat dialog serius dengan seorang mantan santrinya.  Sangidi Riawan, sang mantan santri itu sengaja datang dari Jakarta menemui gurunya. Ia dilanda kegelisahan mendalam tentang situasi umat Islam akhir-akhir ini, terkait dengan isu Miss World. Di kampusnya, mahasiswa terbelah dua:  yang pro dan kontra terhadap penyelenggaraan kontes Miss World. Bahkan, di kalangan aktivis mahasiswa Islam, ada juga yang secara terbuka mendukung kontes Miss World.

Sangidi gelisah. Gurunya, Kyai Marwan, dilihatnya tergabung dalam demonstrasi menentang kontes Miss World. Di mata Sangidi, penyelenggara Miss World telah melakukan upaya mulia untuk kemajuan bangsa, karena telah mengubah konsep Miss World menjadi kontes tanpa bikini. Budaya dan pariwisata Indonesia pun diharapkan dapat makin meningkat.

Meski sempat mengenyam pendidikan pesantren, di bawah asuhan Kyai mumpuni pula,  pergaulan hidup dan informasi global telah mengubah pola pikirnya. Sangidi kini dikenal sebagai aktivis mahasiswa. Latar belakangnya sebagai lulusan pesantren terkenal pun menambah daya tarik tersendiri. Lidahnya fasih melafalkan berbagai hujjah, dilengkapi dengan hiasan istilah-istilah Inggris dan Arab.

Meskipun sangat tidak lazim bagi seorang santri untuk mmengkritisi pendapat atau tindakan kyai, kali ini, Sangidi memaksakan diri bertanya dan jika  perlu mengkritisi pendapat-pendapat gurunya. Tekadnya sudah bulat untuk – jika mungkin – membawa gurunya itu ke kubu pendukung kontes Miss World. Sekurangnya, tidak aktif menentangnya.

“Pak Kyai, saya mohon dijelaskan, kenapa Pak Kyai ikut-ikutan demo menentang kontes Miss World?”  Sangidi memberanikan diri menggugat kyainya. Jantungnya berdegup cukup kencang.

“Saya tidak ikut-ikutan, Sangidi! Saya sangat sadar dengan apa yang saya lakukan. Ini kewajiban kita sebagai Muslim,” jawab Kyai Marwan.

“Kewajiban yang mana, Pak Kyai?”  tanya Sangidi, sambil memandang wajah Kyainya.

“Harusnya sebagai lulusan pesantren kamu tahu. Ini kan kewajiban al-amaru bil-ma’ruf wal-nahyu ‘anil munkar.  Kita wajib menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran.  Itu salah satu pilar ajaran agama kita. Bahkan, kata Imam al-Ghazali, itu yang menentukan hidup matinya umat Islam.  Kata Nabi kita saw, siapa yang melihat kemungkaran, maka hendaknya ia berusaha mengubah dengan kekuatannya. Jika tidak mampu, dengan kata-kata atau pikirannya; dan jika tidak mampu juga, cukup dengan hati. Jadi, minimal, ingkar dan tidak ridho terhadap kemungkaran.  Kamu kan paham akan hadis Nabi itu, Sangidi!

Sangidi terdiam.  Ia tampak gelisah. Kyai Marwan seperti memahami kondisi pemikiran mantan santrinya itu.  Ia menduga, mantan santrinya telah menjadi korban propaganda jaringan pendukung Miss World. Dengan kekuatan uang, media massa, dan lobi-lobi politik yang dimilikinya,  panitia Miss World cukup mampu membangun citra mulia atas tindakannya di tengah masyarakat.  Karena itu, Kyai Marwan pun tak heran jika ada sebagian organisasi Islam bahkan oknum ulama yang berselingkuh mendukung kontes Miss World.

Sambil memandangi wajah dan gerak-gerik anggota tubuh Sangidi, Kyai Marwan mencoba membaca pemikiran salah satu santri yang dulu sempat dibanggakannya itu. Dibiarkannya saja Sangidi bergulat dengan pemikirannya, sampai Sangidi sendiri buka mulutnya.

“Maaf Pak Kyai, apa yang Pak Kyai maksud dengan ‘mungkar’. Apa kontes Miss World ini termasuk mungkar? Dimana letak kemungkarannya?”  Sangidi buka mulut lagi.

“Ya, Sangidi! Justru kontes Miss World dan sejenisnya ini kemungkaran yang sangat canggih, terencana dengan rapi. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran ini dibungkus dengan propaganda hebat, sehingga tercitrakan sebagai sebuah kebaikan bagi bangsa kita. Bukan hanya kontesnya yang bermasalah, tapi mengkampanyekan, bahwa bentuk maksiat seperti itu adalah kebaikan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Ibaratnya, melacur itu dosa; korupsi itu dosa. Tapi mengatakan bahwa melacur itu adalah amal sholeh. Itu lebih besar kejahatannya. Coba kamu baca tafsir QS at-Taubah ayat 31.”

“Saya masih belum mengerti jalan pikiran Pak Kyai. Bukankah mereka sudah tampil dengan sangat  sopan dan tidak melanggar etika dan norma budaya kita?” kata Sangidi lagi.

Kyai Marwan tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang murid.  Sangidi pun menyela, “Mengapa Pak Kyai senyum-senyum?”

“Sangidi… Sangidi…!  Kamu itu santri cerdas, yang mestinya  sudah memahami masalah seperti ini. Mengapa kamu sampai termakan propaganda-propaganda dengan logika yang dangkal seperti itu? Harusnya kamu paham tentang kiat-kiat setan dalam menipu dan menyesatkan manusia, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat al-Quran.”

Sangidi masih terdiam. Wajah Kyai Marwan dipandanginya, diam-diam. Tetap saja wajah itu menyungging senyuman.

“Begini Sangidi…. Saya maklum, kamu bisa terjebak.  Ada juga pejabat yang kuliahnya di Timur Tengah pun ikut menyarankan agar peserta kontes Miss World  itu mengenakan kebaya. Ia tidak dengan tegas menolak kontesnya. Hanya bajunya yang dia persoalkan.”

“Bukankah itu saran yang bagus Pak Kyai?”

“Saran itu tidak cukup dan tidak mendasar. Yang mendasar pada masalah kontes Miss World ini adalah konsep dan cara pandang terhadap manusia dan martabatnya. Ini kontes tubuh manusia! Yang ikut kontes itu manusia; bukan anjing atau kucing. Kita orang muslim punya cara pandang yang khas terhadap manusia. Seorang manusia disebut manusia karena akalnya, karena jiwanya. Kita memberikan nilai tinggi kepada manusia juga karena ketinggian iman, akhlak, dan amalnya. Kata Nabi saw: sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan kepada manusia. Pada dasarnya, orang cantik, jelek, normal, cacat, itu kehendak Allah.  Itu bukan prestasi. Kecantikan itu anugerah dan sekaligus ujian dari Allah. Karena itu, tidak patut dilombakan! Jangan kamu buat, misalnya, kontes mulut termonyong, lomba bibir terlebar, dan sebagainya! ”

“Tapi, Pak Kyai, bukankah yang dinilai dalam Miss World bukan hanya kecantikannya, tapi juga kecerdasan dan perilakunya?”

“Ha… ha… ha… Sangidi… Sangidi…!  Cobalah pikir! Sederhana  saja! Di Indonesia ini, perempuan yang memiliki prestasi kecerdasan tinggi itu berjubel; ribuan jumlahnya. Mereka-mereka sudah mengharumkan nama bangsa di berbagai forum ilmiah internasional. Mereka melakukan riset-riset ilmiah dan sukses membuat temuan-temuan hebat di bidang ilmu pengetahuan. Prestasi intelektualnya jauh di atas perempuan yang terpilih jadi miss Indonesia itu!”

“Peserta Miss World ini juga harus punya proyek sosial, Pak Kyai, bukan kecantikan saja yang dinilai?” Sangidi masih berusaha meyakinkan gurunya.

“Itu juga bukan hal yang inti, Sangidi! Kalau mau cari perempuan Indonesia yang sangat mulia, yang berjasa besar kepada keluarga dan masyarakatnya, terlalu banyak di negeri ini. Bukan sekedar buat proyek insidental. Bukan sekedar show amal, tapi kehidupan mereka sehari-hari sudah bergelut dengan kerja-kerja mulia untuk kemanusiaan.”

Sangidi terdiam. Ia sebenarnya memahami logika kyainya. Tapi ia belum bisa menerima logika itu sampai harus membatalkan Miss World di Indonesia. Sebab, faktanya, Miss World memang mendatangkan manfaat. Indonesia jadi lebih dikenal dunia. Peserta Miss World pun ikut mempromosikan budaya Indonesia. Jadi, kecantikan punya nilai tambah tersendiri. Cukup lama Sangidi merenung di depan Sang Kyai. Hatinya bergolak. Ia sudah terlanjur menulis dalam blog-nya, bahwa kontes Miss World di Indonesia kali ini benar-benar membawa manfaat bagi bangsa.

“Begini Pak Kyai…. Indonesia ini kan bukan negara Islam. Mengapa Pak Kyai selalu bawa-bawa Islam untuk menilai kontes Miss World? Ini kan masalah bangsa?”

“Siapa yang mengatakan Indonesia bukan negara Islam? Kalau bukan negara Islam, lalu Indonesia negara apa?  Apa negara kafir?  Kamu mikir,  Sangidi! Jangan hanya ikut-ikutan buat pernyataan seperti orang-orang yang kurang memahami sejarah bangsa kita!”

“Lho apa memangnya, Indonesia ini negara Islam, Pak Kyai?”

“Dengar baik-baik ya, Sangidi! Indonesia ini negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sudah ditegaskan oleh para perumusnya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa  itu adalah Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Juga latar belakang rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah sebagai ganti dari tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta. Ringkasnya, Indonesia ini Negara berdasar atas Tauhid, sebagaimana konsep Islam. Itu ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo!”

“Tapi Pak Kyai, itu kan menurut Pak Kyai yang Islam. Bagaimana dengan warga Indonesia yang beragama lain?”

“Kamu itu orang Islam atau bukan!? Bukankah seharusnya kamu berpikiran semacam itu, sebagai orang Islam. Kalau soal orang non-Muslim, itu urusan mereka. Kita hormati cara berpikir mereka.”

“Ya benar. Hanya saja, Pak Kyai… kita ini kan warga Negara Indonesia yang plural, tidak bisa memaksakan nilai-nilai Islam kita kepada yang lain?”

“Yang memaksakan itu siapa?  Kita tidak memaksa siapa-siapa.”

“Itu buktinya, Kyai memaksakan kontes Miss World dibatalkan!”

“Penyelenggara yang memaksakan kontes munkar itu diadakan di Indonesia. Mereka tidak sensitif dengan aspirasi umat Islam Indonesia. Di Masa Pak Harto, mengirimkan wakil ke Miss-miss-an seperti itu saja dilarang. Apalagi jadi tuan rumahnya! Ini sangat keterlaluan, mentang-mentang punya uang dan media!  Acara ini juga sangat mudah memicu prasangka dan konflik bernuansa ras dan agama. Ini yang tidak kita kehendaki. Karena itu, jauh-jauh sebelum acara ini berlangsung, saya sudah mengingatkan penyelenggara, baik lewat tulisan atau pun lobi.  Jangan teruskan acara ini! Jangan merusak dan memecah belah bangsa kita dengan cara-cara yang akan memunculkan kontroversi. Karena itu, kami para pimpinan pesantren,  tidak tinggal diam! Itu makanya saya turun langsung berdemonstrasi memprotes acara Miss World ini!!!!!”  suara Kyai Marwan agak meninggi.

“Apa Pak Kyai mau memaksakan untuk dibatalkan, padahal pemerintah pun sudah melokalisasi acara ini di Bali!”

“Orang seperti saya ini tidak punya kuasa. Bagaimana mau memaksakan? Yang memaksakan itu yang punya uang, yang punya televisi, yang punya keberanian menantang Tuhan! Yang bertanggung jawab dunia akhirat itu ya Pak SBY dan para pejabat di bawahnya.  Saya hanya menyampaikan aspirasi sekuat tenaga dan pikiran. Terserah pemerintah dan panitia penyelenggara mau dengar atau tidak!”

“Maaf, Pak Kyai, apa tidak sebaiknya Pak Kyai menerima kenyataan, bahwa masyarakat kita sekarang sangat sulit menerima pemahaman seperti Pak Kyai ini. Pak Kyai akan dianggap makhluk aneh, karena pada umumnya manusia senang melihat tontonan yang melibatkan orang-orang cantik.  Bahkan, sekarang, artis-artis jauh lebih popular daripada ulama. Apa Pak Kyai tidak bisa berkompromi sedikit?”

“Kebenaran itu, Sangidi, tidak bisa dikompromikan.  Kita harus menyatakan yang haq itu haq, yang benar itu benar. Katakan saja, meskipun itu pahit; begitu pesan Nabi kita, Nabi Muhammad saw. Dan saya yakin, kebenaran itu pasti ada pendukungnya. Mungkin tidak banyak. Tapi, yang sedikit itu, jika serius, akan mampu memimpin yang banyak. Anak babi itu banyak; anak singa sedikit. Tapi, anak singa makan babi… he he he….”  Kyai Marwan tertawa lirih sambil senyum-senyum memandangi Sangidi yang mulai salah tingkah.

“Kamu kenapa sih Sangidi…. Kok kelihatan gelisah. Kamu kan tidak ada hubungan apa-apa dengan panitia Miss World?”

“Maaf… maaf… Pak Kyai, benar-benar saya minta maaf ya Pak Kyai…. Saya ke sini sebenarnya ada maksud membawa amanah dari seseorang yang meminta saya melunakkan pendapat Pak Kyai soal Miss World ini…”

“Ya, saya sudah menduga… tidak biasa-biasanya kamu datang ke sini, sejak lulus pesantren dua tahun lalu…saya menduga pasti kamu membawa misi sesuatu! Terus, … kamu sendiri bagaimana sikapmu terhadap kontes Miss World ini.”

“Saya coba pikir-pikir Pak Kyai. Saya baru mendengar hujjah yang agak jelas tentang masalah ini.”

“Begini Sangidi, kuncinya ada di hatimu; kuncinya pada kejujuranmu. Apa kamu jujur?  Apa kamu jujur kalau kamu muslim? Apa kamu jujur dengan ikrarmu, dengan syahadatmu; bahwa Allah itu Tuhanmu, bukan cukong penyandang danamu; bukan hawa nafsumu! Apa kamu masih jujur dengan ikrarmu. Apa kamu masih mengakui Nabi Muhammad saw itu suri tauladan dan idolamu; apa idolamu sudah berubah menjadi Che Guevara atau Hartawijaya?

“Ya Pak Kyai, saya jujur insyaAllah! Tapi, kan ini masalah bangsa Pak Kyai? Bukan sekedar masalah agama saja! Ada yang bilang, secara hukum positif di Indonesia, tidak ada yang dilanggar dalam kontes Miss World. Bagaimana itu Pak Kyai?”

“Saya tidak habis pikir, jika yang ngomong seperti itu orang Islam.  Di Indonesia ini, menurut hukum positif, berzina saja – asal suka sama suka dan sama-sama dewasa – tidak melanggar hukum positif. Apa lalu orang boleh berzina, karena tidak melanggar hukum positif? Cari pasal dalam KUHP, apa ada larangan masuk masjid dengan mengenakan bikini!!! Sudahlah Sangidi… kamu harusnya sering-sering silaturrahim ke sini. Kamu sudah terlalu banyak bergaul dengan orang-orag liberal, sampai pikiranmu mulai rusak; tidak bisa lagi membedakan mana yang salah dan mana yang benar.  Hati-hati, kamu sepertinya sudah mulai terbuai dengan pujian dan sedikit popularitas yang kamu nikmati sekarang!”

Sangidi terdiam. Ia tak sanggup lagi menatap wajah gurunya. Kata-kata Kyai Marwan seperti menyayat-nyayat perasaannya. “Doakan saya Pak Kyai, semoga saya masih bisa istiqamah!”

“Saya selalu mendoakan. Tapi, kamu sendiri harus punya niat untuk tidak sesat!”

“Baik, Pak Kyai… saya mohon ijin untuk pamit,”  Sangidi mengakhiri ucapannya.

“Ya, jaga diri. Ingat orang tuamu, berharap kamu jadi anak shalih!”

Sejurus kemudian, sebuah sedan hitam metalik, membawa Sangidi meninggalkan pesantren. (NB. Kisah ini adalah fiktif belaka. Depok, 16 September 2013).

Feminist Movement In Indonesia: A Reflection For Malaysia

0
Feminist Movement In Indonesia: A Reflection For Malaysia
Feminist Movement In Indonesia: A Reflection For Malaysia

center for gender studies

The University of Technology Malaysia (UTM)’s Center for Advanced Studies in Islam, Science and Civilisation (CASIS) is proud to have hosted Dr Dinar Dewi Kania from Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) on Tuesday, 28 August 2013 at Menara Razak UTM, Kuala Lumpur. She offered her perspective on feminist discourse and its extremities that is currently getting inroads in Indonesia. The event was moderated by CASIS’ own noted activist in gender and homosexuality debates, Muhammad Husni b. Mohd. Amin.

Feminism is widely-debated in Muslim societies , where the movement tend to receive lukewarm responses. Muslim societies are in disagreement about the impact of feminism on society, judging from the silence coming from Islamically -oriented groups and individuals . There exists a spectrum of issues that the feminist discourse promotes, ranging from the question of justice for women all the way to lesbian gay, bisexual and transgender (LGBT) rights. Dr. Dinar Kania began by showcasing several statements made by feminists who propagate a man-hating agenda. She pointed out that many such agendas stemmed from a cultural worldview that originates from Christian doctrines. She quoted verses from the Bible that support the feminists’ claims against religion.

Western feminists attempt to transform Christianity’s perspective on women by employing a female hermeneutics. Dr. Dinar Kania quoted Susan Osborne who wrote in Feminism:Pocket Essetials, “Feminism is a way of looking at the world, which women occupy from the perspective of women. “ She highlighted how this female perspective is represented through three-waves of thought in feminist study, with the culmination in thought that focuses exclusively on the impact of religion on feminism.

Dr. Dinar Kania provided a brief overview of the transformation activities that have occurred and are actively propagated in her country, Indonesia. The agenda of transformation by the feminist and LGBT movements in Indonesia is generated at all levels of public schooling, namely the tertiary, primary and secondary level. At the tertiary level, there are numerous projects being launched such as the publication of journals and textbooks, the establishment of centers for Women Studies to stimulate further research, and there are also funds allocated for scholarships and endowments in this area. At the secondary level, students are targeted for LGBT socialization process through comic books that portray the alternative lifestyle to be normal and necessary for self-realization. Dr. Dinar Kania introduced several personalities who are at the forefront of feminist socialization such Siti Musdah Mulia, Ester Mariani Ga, Abdul Munir Mulkan and also various organizations that promote Lesbians, Gays, Bisexuals and Transexuals (LGBT) lifestyle such as Gaya Nusantara, Ardhanary Institute and Tomboy Pontianak.

Their core agenda appears to be the reformation of the Islamic religion as evident from their targeting the Islamic studies curriculum, which they claim to carry various biases towards women.

INSISTS has been instrumental in highlighting the abuses of religious principles that has been implemented in the name of feminist and LGBT’s civil rights. In order to clarify the myriad confusions and discourage further erroneous practices amongst the Muslims, the institute has established this special center as part of INSISTS network in Indonesia. The Center for Gender Studies (CGS) to deal specifically with the problems posed by extreme forms of feminism on April 7, 2012. This includes the launch of a website called www.thisisgender.com. This site functions as a one-stop center for knowledge about Islam’s view of contemporary issues affecting women, their families and society at large.

Dr. Dinar Kania reiterated the need to offer multi-faceted solutions to this societal threat, such as through the publications of articles, novels and journals that help society learns how to overcome this challenge. She mentioned networking to be an important focus, whereby Muslim activists and academics can join efforts with sociologists in order to maximize their impact on society. Training should be offered at various areas including university campuses and schools. Other efforts to maximize training potential would be the training of trainers, the publications of training modules and the establishment of consultations bureaus where knowledgeable Muslim activists can work on a personal basis with at-risk individuals. A networking example she quoted was the collaboration between scholars of Islam (ulama) in religious schools (pesantren) with psychological experts in order to provide Islamic counseling and therapy for Muslims that were previously involved with the vice of LGBT.

Dr. Dinar Kania’s impact on the audience is apparent from the number of questions she received. She addressed several questions in regard to the proper definition of feminism and its compatibility to the Islamic way of life. She addressed the problem regarding the tepidity of Muslim women who understand the worldview of Islam, in debating with extreme feminist groups. She admitted that she initially felt hesitant as well. However, the acuteness of the threat to Muslim societies encouraged her to dive into her current role as the director of the Center for Gender Studies (CGS). She urged Malaysian academics and activists, especially amongst the female population to contribute their part to the polemic of gender issues in the region.

Rep : Khalina Khalili – PhD candidate in CASIS.

Setara tiada tara

0

Oleh Khayrurrijal

Mahasiswa pascasarjana Centre for Advanced Studies on Science, Islam, and Civilization (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia (UTM)

 Gerakan pembebasan dan penyetaraan perempuan begitu menarik banyak pihak, baik yang setuju maupun yang tidak setuju. Masing-masing pihak menggunakan pelbagai argumentasi yang disusun secara logis dan sistematis. Argumentasi – argumentasi tersebut memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya, baik pihak yang pro atau pun yang kontra, keduanya berbicara  tentang kebebasan dan kesetaraan. Sedangkan perbedaannya, terletak pada penjelasan dari  kedua kata tersebut.  Salah satu  penyebab munculnya   persoalan di dalam masyarakat adalah karena adanya  perbedaan dalam  penjelasan sebuah kata (baca: terminologis/istilahi), dan bukan pada  makna literal kata tersebut (baca: etimologis/lughawi).

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, setara berasal dari tara. Makna tara adalah  yang sama (tingkatnya, kedudukan-nya, dsb); banding(an); imbangan. Kemudian, dapat pula membentuk tertara yang maknanya terbandingkan. Dari kata tersebut pula, setara dimunculkan, yang maknanya sejajar (sama tingginya; 2 sama tingkatnya (kedudukannya dsb); 3sepadan; seimbang.Tara sangat berhubungan dengan penilaian secara perbandingan. Dapat dilihat dalam contoh kalimat: Kasih ibu tiada tara. Makna tara dalam kalimat tersebut menyatakan makna sifat tiada terbandingkan dari sifat kasih ibu dibandingkan dengan kasih-kasih yang lain.

Namun, dalam hal kesetaraan perempuan, kata setara menjadi terjemahan bahasa Indonesia dari kata equality dalam bahasa Inggris. Makna kata tersebut adalah the fact of being equal in rights, status, advantages. Di lain pihak, kata tersebut juga dimaknai dengan didampingi kata ‘adl atau adil.  Begitu juga perihal kata kebebasan. Ada pihak yang memaknai kata tersebut dengan kata freedom. Pihak lain memaknainya dengan kata ikhtiyar. Lalu, apa sebenarnya yang membuat kedua belah pihak tersebut menjelaskan dua kata tersebut secara berbeda?

Perbedaan tersebut terletak pada pandangan hidup (worldview) yang berlaku di dalam benak kedua belah pihak. Pemberian penjelasan, contoh, dan penafsiran fakta-fakta sangat terkait dengan pandangan hidup yang diterima masing-masing pihak. Dengan demikian, menjadi jelas pula pentingnya memiliki pandangan hidup dalam memahami Tuhan, alam semesta, dan insan. Ketidakjelasan tentang pandangan hidup pulalah yang membuat kehidupan menjadi tidak jelas, bahkan menjadi kacau. Oleh karena ketidakjelasan dan kekacauan pandangan pun akhirnya akan mewujud dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, mungkin muncul pertanyaan lain: Bagaimana menilai di antara kedua penjelasan tersebut? Manakah yang benar dan mana yang salah?

Untuk menilai penjelasan tersebut, maka diperlukan kemampuan untuk menelusuri secara logis, mengujinya dalam kehidupan, baik atau buruk. Tentu saja, mudah pula dipahami bahwa sebuah penjelasan yang diterima oleh seseorang dengan kondisi jasmani yang sehat, akal, ruhani, ekonomi, dan lain-lain pun sehat, maka sesuatu tersebut diterima dengan kondisi paling baik dari seseorang. Mudah juga dipahami bahwa sebuah penjelasan yang diberikan oleh seseorang dengan kondisi paling prima, maka penjelasan tersebut pun diberikan dalam bentuk paling baik.

Ketika kata kesetaraan dilekatkan kepada perempuan, maka hal tersebut bermakna perempuan itu sejajar, sama tingginya, sama tingkatnya, kedudukannya, sepadan, dan seimbang dibandingkan dengan insan lain. Insan yang dimaksud di sini adalah laki-laki. Sebab, perempuan dan laki-laki memang berada pada klasifikasi yang sama, yakni jenis kelamin. Berbeda dengan laki-laki dan perempuan, anak-anak atau dewasa masuk dalam klasifikasi usia. Sehingga kesetaraan perempuan dalam pelbagai bidang tentunya akan dibandingkan dengan laki-laki. Perbandingan ini terlihat ketika kita mempelajari  sejarah insan atau manusia di pelbagai belahan bumi.

Bagi Barat, pandangan rendah dan penindasan terhadap perempuan sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Penyebabnya adalah bias kelelakian (patriarchy) ke seluruh bidang kehidupan dan peradaban insan. Barat  baru menyadarinya setelah masa Pencerahan (Englightnment/Aufklarung).

Meminjam konsep dan semangat Karl Marx dan Marxis, para perempuan Barat mendapat pandangan dan tenaga untuk melakukan gerakan pembebasan dari penindasan tersebut. Perempuan Barat kemudian  menggubah konsep borjuis dan proletar dan menerapkannya sebagai penindasan laki-laki terhadap perempuan..

Perempuan Barat melihat bahwa laki-laki membenarkan tindakan penindasan tersebut melalui pelbagai cara. Lelaki menggunakan pembenaran  melalui sains, ekonomi, hukum,  sosial dan  budaya serta agama.  Sehingga menurut mereka, sudah  menjadi  suatu keharusan bagi perempuan Barat untuk menghilangkan bias kelelakian tersebut. Mereka bahkan berpandangan bahwa teologi harus diganti menjadi tealogi karena Tuhan menurut mereka adalah  perempuan. Di belahan bumi selain Eropa  juga banyak didapati  pandangan rendah terhadap kaum perempuan meskipun ada beberapa kebudayaan yang menggunakan sistem matriarkal (garis keturunan ibu/perempuan) .

Di tengah kondisi tersebut, terdapat pandangan lain yang bukan buatan insan dan tidak terjerat distorsi kelelakian serta  sifat alam semesta ini. Pandangan tersebut adalah  pandangan Islam yang bersumber dari wahyu Tuhan yang otentik.

Sedari awal Islam telah menyatakan keasliannya. Ia tidak diciptakan oleh insan. Inilah keyakinan (certainty) yang dimiliki oleh Muslim, sejak awal hingga saat ini. Di dalam Islam pandangan tentang perempuan menjadi berbeda begitu drastis. Pandangan ini berbeda dengan kebudayaan Arab, apalagi  kebudayaan  yang bukan Arab.

Hal yang paling mendasar yang  ditetapkan oleh Islam yaitu bahwa  perempuan adalah manusia atau insan. Ini jelas berbeda dengan pandangan yang menyatakan bahwa perempuan adalah separuh insan atau malah bukan insan. Perempuan disamakan dengan anak-anak yang tidak memiliki kecerdasan. Mereka diperlakukan seperti hewan peliharaan dan untuk berkembang biak. Dengan demikian, perlakuan kepada perempuan pun harus sesuai dengan pandangan tersebut.

Perempuan harus diperlakukan dengan baik. Mereka adalah “pakaian” bagi laki-laki dan begitu pula sebaliknya. Dalam warisan, mereka mendapatkan bagian yang terjamin, bahkan lebih besar dibandingkan lelaki jika dilihat secara keseluruhan. Bahkan, lelakilah yang harus menjamin kehidupan perempuan. Dari sisi menuntut ilmu, mereka memiliki kewajiban yang sama seperti laki-laki. Dari sisi ibadah, kewajiban mereka pun sebagian besarnya sama dengan laki-laki.

Merupakan hal yang mudah dipahami akal bahwa ada persamaan antara lelaki dan perempuan begitu juga terdapat  perbedaan di antara keduanya. Memandang keduanya sama secara mutlak adalah sebuah kekeliruan dan akan memicu timbulnya salah perlakuan. Namun, memandang keduanya berbeda secara keseluruhan juga akan memunculkan persoalan  serupa.

Perbedaan yang paling nyata antara laki-laki dan perempuan adalah perihal jasmani. Sisi ini dapat pula mempengaruhi sisi-sisi lain dari laki-laki dan perempuan, seperti perannya di dalam masyarakat. Namun, ada sebagian pihak  menilai bahwa laki-laki dan perempuan  merupakan klasifikasi dari jenis kelamin.  Menurut mereka ada  kategori lain, yakni maskulin dan feminin, yang masuk dalam klasifikasi gender.

Kata gender di dalam banyak borang atau formulir data diri harus diisi dengan L/M (laki-laki/male) atau P/F (perempuan/female). Akan tetapi, perempuan Barat (feminis) menilai bahwa keduanya adalah berbeda. Perbedaan ini dibuat dengan pembuatan dikotomi nature dan nurture. Nature adalah sesuatu yang alamiah, sedangkan nurture adalah sesuatu yang diciptakan insan dalam kebudayaan. Menurut para feminis, jenis kelamin itulah yang termasuk nature, sedangkan gender termasuk dalam kategori nurture.

Cara pandangan nature/nurture ini nampak logis. Namun, akan memunculkan problem jika masuk di dalam cara pandang dualisme. Terlebih, jika dikotomi tersebut dipandang secara reduksionistik (penghilangan salah satu unsur). Para feminis pada mulanya mempertahankan eksistensi atau wujudnya dikotomi tersebut. Akan tetapi, karena dipelakukan dalam pandangan dualisme, maka pertentangan yang muncul di antara keduanya membuat unsur nature menjadi tidak penting sama sekali. Sebab, saat insan mulai memahami tentang alam semesta dan bertindak atas dasar pemahaman tersebut, maka nature seketika berubah menjadi nurture.

Feminis mungkin akan menyatakan bahwa inilah sifat kehidupan. Akan tetapi, mereka meninggalkan perihal takrif atau definisi insan. Takrif tersebut begitu penting karena perempuan adalah insan. Dari situ pula kita dapat memahami secara kuat perihal perempuan.

Dengan meninggalkan penakrifan perihal insan, sesungguhnya meninggalkan sesuatu yang penting. Menurut Chomsky, dalam video debat antara dia dengan Michel Foucault, hal ini memungkinkan bagi penguasa yang zalim untuk memberikan takrifnya sendiri dan menerapkannya dengan jalan politik dan legalisasi hukum. Maka, kita harus  berani masuk ke dalam penakrifan tersebut namun tetap menyadari bahwa ada pihak-pihak tertentu yang akan berusaha memasukkan takrifnya sendiri.

Apabila pandangan mengenai dikotomi  jenis kelamin dan gender diterima,  maka akan ada laki-laki dan perempuan biologis, dan laki-laki dan perempuan kultural. Dengan cara pandang ini, terciptalah kebingungan tentang apa itu perempuan dan apa itu laki-laki. Apakah  esensi perempuan? Apakah yang membuat perempuan menjadi perempuan atau laki-laki menjadi laki-laki adalah bekerja di pabrik?; apakah yang menjadikan mereka menjadi diri mereka adalah menyapu? Apa yang membenarkan seseorang untuk menyatakan bahwa diri mereka lelaki atau perempuan? Hal tersebut hanya dapat dijawab  melalui pijakan atau didasari oleh ilmu.

Penakrifan atau pendefinisian yang  dilakukan secara deskriptif (rasm), tidak otomatis deskripsi atau pemberian tersebut menjadikan sesuatu sebagai sesuatu itu. Pendefinisian yang arbitrer tentunya akan menyebabkan ketidakjelasan atas pemahaman tentang diri sendiri. Oleh karena itu, penekanan yang terlalu berlebihan pada sisi kejiwaan atau psikologis, tanpa dihubungkan dengan sisi keseluruhan dari seseorang, akan membuat seseorang mengukur   identitas dirinya secara tidak tepat. Perasaan dan sugesti lingkungan tanpa disertai ilmu yang memadai, akan membuat  seseorang salah dalam berpikir dan berperilaku di dalam kehidupannya.

Takrif merupakan bagian penting dari pandangan hidup. Sebuah tindakan yang sama dapat bermakna berbeda karena  perbedaan pandangan hidup. Seseorang yang tidak percaya Tuhan dan yang percaya Tuhan akan menilai pemberian uang derma sebagai sesuatu yang berbeda makna. Pemberian solusi teknis yang tampak serupa, akan menjadi berbeda dalam pandangan hidup yang berbeda. Maka, dalam kasus Rancangan Undang Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang diusulkan para penggiat feminisme, konsep atau  usulan-usulan teknis  baru  dalam RUU tersebut, hanya bisa beroperasi di dalam kerangka pandang yang berbeda dengan aturan-aturan sebelumnya, sehingga mau tidak mau definisi baru juga  harus dimasukan sebagai sebuah pembenaran epistemologis.

Semangat pembebasan  dari  ketertindasan, nyatanya  tak kunjung  memberi perempuan kebebasan yang hakiki.  Justru perempuan  saat ini telah berjalan melintasi tempatnya, kemudian bingung mencari tempat duduk yang nyaman bagi keberadaannya. Oleh karena itu pertanyaan penting yang harus dijawab oleh kaum perempuan adalah: Apakah menjadi setara telah menjadi sesuatu yang tiada tara?

Homoseksual dan Kehancuran Peradaban Barat

3

gereja-gay_friendly_church-thisisgender.com

Paus Fransiskus baru-baru ini mengeluarkan pernyataan kontroversial di kalangan gereja bahwa kaum gay harus diberi hak setara dengan manusia lainnya. Menurut Paus Fransiskus, tidak ada yang berhak menghakimi perilaku kaum gay, bahkan otoritas gereja sekalipun. “Tidak seharusnya kelompok gay terpinggirkan. Mereka justru harus diintegrasikan dengan masyarakat,” demikian kata Paus Fransiskus seperti dikutip tempo.co pada 30 Juli 2013 (http://www.tempo.co/read/news/2013/07/30/117500812).

Pernyataan pemimpin Umat Katolik sedunia ini  menunjukkan bahwa  peradaban Barat makin terancam. Lebih mengenaskan lagi, penyakit homoseksual dan lesbianisme justru mendapat legitimasi langsung dari pemimpin nomor satu Katolik.

Setelah sekian lama melobi otoritas Katolik, kaum gay akhirnya mendapatkan angin dari Paus Fransiskus yang cenderung berpikir sekuler. Karena itu, ia merasa tidak memiliki hak untuk menilai kaum gay. “Jika seseorang berorientasi gay (tapi tetap, peny.) mencari Allah dan memiliki niat baik, apa saya punya hak untuk menghakimi mereka?,” tuturnya lagi.

Sikap resmi Paus Fransiskus ini diprediksi akan mengubah paradigma Gereja Katolik sedunia yang selama ini belum sepakat mengenai hukum homoseksual. Beberapa waktu lalu, sejumlah pendeta di AS dan Eropa menyatakan diri sebagai gay. Padahal Paus yang sebelumnya, Paus Benediktus VXI menyatakan perkawinan sejenis pendeta terlarang. Ia pun menandatangani sebuah dokumen pada tahun 2005 yang mengatakan pria dengan kecenderungan homoseksual tidak boleh menjadi imam. Namun keadaan mungkin akan berbeda kini. Paus Fransiskus mengatakan, pendeta gay harus diampuni dosanya. Mereka juga berhak menjadi imam. Inilah ironi kalangan pendeta Katolik liberal, ternyata mereka lebih memilih kumpul kebo dengan pasangan sejenis daripada nikah secara agama. Otoritas Gereja Katolik ‘mengharamkan’ abdi gereja itu untuk menikah. Menikah  dengan pasangan lain jenis‘haram’, tapi homoseksualitas ‘halal’. Begitulah kira-kira pikiran Paus. Dengan demikian, sekulerisasi di lingkungan gereja semakin berada pada tingkat akut. Otoritas Gereja tidak lagi dianggap sebagai penghalang bagi kaum gay.

Di kalangan ilmuwan Barat sendiri, penyakit homoseksualitas dan lesbianisme pernah diperdebatkan sejak tahun 1970 dengan terbitnya tulisan Dr. Simon LeVay dalam majalah Science. Artikel ini mendapat publikasi yang luar biasa karena ia menulis tentang teori genetik homoseksual, sehingga menutupi kajian-kajian lainnya yang menafikannya. Sementara Jeffrey Satinover dalam bukunya Homosexuality and the Politics of Truth, menyebutkan 3 argumen pendukung “gay politics”, antara lain: homoseksual diturunkan secara biologis; homoseksual tidak dapat diubah secara psikologi; dan homoseksual normal secara sosiologis.

Melalui lobi sosio-politik, akhirnya mereka berhasil mendesak dan mempengaruhi APA (American Psychiatric Association) agar membuang entri homoseksual dalam DSM (Dianostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang menyebutkan bahwa homoseksual adalah penyakit yang dapat dirawat oleh psikiater.

Kajian dua ilmuwan itulah yang menyebabkan makin tersebarnya kaum gay dan lesbian. Karena mereka merasa perilaku mereka sudah dianggap normal oleh ilmuwan, sejak tahun delapan puluhan perilaku gay dan lesbi mulai marak di Barat. Para pemuda-pemudinya semakin enggan menikah secara normal. Selain berperilaku seks bebas di luar komitmen pernikahan, banyak juga dari mereka yang cukup mencari kepuasan seksual dengan pasangan sejenis. Fenomena ini pun berkontribusi pada menurunnya jumlah kelahiran di negara-negara Barat dan merupakan ancaman bagi peradaban modern.

Akan tetapi, teori Satinover itu kemudian dibantah para ilmuwan Barat lainnya. C. Mann menulis artikel mengenai “Genes and Behavior” dalam majalah Science bahwa faktor utama homoseksual adalah faktor lingkungan dan data-data yang digunakan untuk mengukuhkan teori genetik malah menunjukan betapa besarnya faktor non-genetik yang berperan. Kemudian, Byne, seorang psikiater yang memiliki ijazah dalam bidang biologi, dan Parson pada tahun 1993 menganalisa segala kajian biologi terhadap homoseksual dan menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang mendukung teori genetik tersebut.

Terlepas dari kelanjutan perdebatan para ilmuwan Barat, kajian mereka sepertinya ditutup oleh pemikiran liberal Paus Fransiskus. Kekacauan hebat akan menimpa Barat, jika pendapat sang Paus benar-benar akan diikuti kaum Katolik sedunia. Di samping semakin tersebarnya penyakit seksual, menurunnya regenerasi manusia pun akan menghancurkan peradaban sekuler Barat.

Mohammad Asad (Leopold Weiss) telah mengingatkan terhadap gaya peradaban Barat yang bersifat destruktif itu ancaman manusia. Ia menyatakan bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi umat manusia, baik Muslim mapun sekuler, adalah kecenderungan pola pikir Barat yang anti-Tuhan, membuang agama, dan materialistis.

Menurut Asad, karakteristik Barat yang tidak mengenal pertimbangan akhirat, semangat berpikirnya menundukkan agama dalam dinamika sejarah, meniadakan nilai yang tetap, dan menundukkan nilai kepada dinamika budaya manusia inilah yang menjadi faktor utama penghancur peradaban manusia. Pernyataan Paus Fransiskus yang berupa larangan menghakimi kaum gay tidak lain adalah produk dari paradigma seperti itu.

Dalam Islam, perilaku gay dan lesbian sudah diatur agar manusia terhindar dari bencana. Perilaku tersebut dikutuk dan merupakan dosa besar. Hukum ini sifatnya tetap, tidak akan berubah sampai hari kiamat. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth.”(H.R. Ibnu Majah). Dalam hadits yang lain, Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali).” (HR: Nasa’i).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya; ‘Kenapa kalian melakukan perbuatan keji itu sedang kalian bisa berpikir? Mengapa kalian berhubungan dengan sesama lelaki untuk melampiaskan syahwat dan menelantarkan perempuan? Sebenarnya kalian adalah kaum yang bodoh’.” (QS.Al-Naml: 55).*

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, aktif di InPAS Surabaya

 

 

Berkah Ramadhan

0

ramadan_mubarak2

Oleh : Wendi Zarman

Semua orang, apalagi orang Islam, sudah tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Katanya, jangankan orang Islam, yang nonmuslim saja kecipratan berkah Ramadhan. Coba saja, perhatikan geliat kegiatan ekonomi. Meskipun logikanya bulan Ramadhan orang lebih sedikit berbelanja untuk makanan, kenyataan justru sebaliknya. Justru tempat-tempat yang menjajakan makanan, mulai dari lapak kayu di pinggiran jalan macet hingga restoran mewah di hotel bintang lima, hampir semua menuai untung berlipat saat Ramadhan. Itu baru di sektor makanan.

Di sektor industri seperti tekstil tidak kalah maraknya. Orang-orang berlomba membeli berbagai aneka pakaian dan kebutuhan sandang lainnya. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, semua merasa inilah saatnya wajib berbelanja pakaian. Katanya, sunnah Nabi SAW menganjurkan orang untuk berpakaian terbaik ketika menyambut datangnya hari raya. Tidak salah memang, hanya saja niat mengikuti sunnah ini seringkali bercampur baur dengan nafsu hidup boros. Entah mana diantara keduanya yang dominan.

Di sektor angkutan tidak kalah menarik. Transportasi umum, khususnya angkutan mudik, mengalami kelebihan muatan menjelang dan seusai masa mudik. Pengelola angkutan mudik tersenyum gembira karena mereka mendapat dua keuntungan. Pertama, penumpang penuh, dan kedua margin keuntungan bertambah karena ongkos boleh dinaikkan. Orang tidak peduli, meski kantong sudah setipis kertas, bila bilangan hari Ramadhan sudah sehitungan jari di satu tangan, mudik menjadi sebuah fardhu ‘ain yang ‘dosa’ kalau ditinggalkan, berapapun biayanya.

Akibatnya, jalan apapun ditempuh. Kalau tidak punya uang, berhutang. Kalau tidak ada yang memberi hutang, gadaikan barang. Kalau tak ada barang yang bisa digadaikan, datanglah ke dealer motor. Pengusaha dealer dengan senang hati memberi leasing motor dengan uang muka super murah. Masalah bisa melunasi cicilan, itu urusan belakang. Kalau tidak mampu bayar, tinggal dikembalikan saja sepeda motornya. Atau kalau mau lebih murah lagi, gunakan sepeda motor yang dimiliki (jika punya) meskipun sepeda motor itu terbatuk-batuk setiap kali gasnya ditambah. Maka, ritual tour de java terbesar di dunia digelar setiap tahun seperti ini sudah selayaknya masuk dalam catatan “Guiness Book of Record”

Pendeknya, nyaris semua sektor bisnis menuai keuntungan berlipat (kecuali mungkin bisnis mesum atau hiburan malam, Ramadhan adalah waktu cuti mereka). Bisnis hiburan atau tempat wisata, peralatan rumah tangga, bisnis komunikasi, bisnis keuangan, sebutkan saja semuanya. Bahkan, dampak Ramadhan terhadap bisnis mengemis yang cukup dengan modal muka memelas dan pakaian lusuh pun tak kalah hebat. Itu semua katanya berkah Ramadhan, yang katanya berkah itu bukan hanya milik orang Islam tapi juga bagi mereka yang tidak menjalankan shaum.

Tapi, ada satu pertanyaan yang tersisa: inikah yang disebut berkah itu? Pikiran kita yang telah tercampur pandangan alam sekuler memang senang mengukur segala sesuatu dengan timbangan material atau aneka bentuk kemewahan duniawi. Kita katakan seseorang itu mendapat berkah ketika ia mendadak kaya karena lotere atau usahanya mendulang keuntungan berlipat. Kita katakan

seseorang mendapat berkah ketika ia mendapat jabatan yang cukup untuk berganti kendaraan terbaru setiap enam bulan sekali. Kita katakan seorang mendapat berkah ketika tembang ecek-eceknya ternyata laris manis di pasaran dan popularitasnya menjulang ke langit. Kita katakan seseorang mendapat berkah ketika menikahi seorang artis cantik yang tengah naik daun. Kita katakan seseorang mendapat berkah ketika ia diterima bekerja di perusahaan asing dengan gaji besar diluar fasilitas mewah lainnya.

Padahal berkah itu tidak pernah diindikasikan Allah melalui kesuksesan duniawi, sebab kesuksesan itu, meskipun terjadi dengan takdir-Nya, belum tentu merupakan sesuatu yang diridhai-Nya. Dan segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya pastilah bukan sesuatu yang diberkahi-Nya. Sesungguhnya keberkahan itu sejatinya merupakan buah dari keimanan dan ketakwaan manusia kepada-Nya, dan oleh karena itu ia bisa menghampiri kondisi apapun baik mereka yang kaya ataupun miskin, mereka yang kesulitan maupun yang tengah lapang, dan mereka yang tengah berduka maupun bersuka. Allah berfirman yang artinya:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. al-A’raaf : 96)

Maka dari itu, berkah Ramadhan itu datang pada orang-orang yang betul-betul bergembira dengan kehadirannya dan tersedu-sedu saat ditinggalkannya. Berkah Ramadhan itu datang pada orang-orang yang menyesal jika kehadiran Ramadhan tidak mampu menghapus dosa-dosanya sehingga ia betul-betul melaluinya dengan persiapan dan kesungguhan. Berkah Ramadhan itu datang pada orang-orang yang tidak terbujuk kepada keuntungan harta jika hal itu harus ditukar dengan kerugian jiwa-ruhaninya. Tegasnya, berkah itu datang dari ridha Allah dan segala perbuatan yang mengundang ridha-Nya.

Maka, sebelum Ramadhan sirna, mari bertanya : adakah Ramadhan ini membuat kita semakin dekat kepada ridha-Nya? Mudah-mudahan demikian. Jika memang demikian, maka itulah keberkahan Ramadhan yang sebenarnya.

Kesetaraan Gender Dan Kebebasan Perspektif Islam

0

Kesetaraan Gender Dan Kebebasan Perspektif Islam

Oleh: Mohammad Ismail*

“Human beings are the measure of all things”, seru Protagoras. Mungkin inilah suara yang merasuk ke dalam pikiran para feminis liberal. Mereka meyakini bahwa manusia adalah ukuran segala hal. Manusia dipercaya sanggup melakukan apa saja yang mereka inginkan. Termasuk menjadi manusia yang bebas tanpa ikatan apapun (liberal). Dengan modal keyakinan itu, mereka yakin bahwa saat ini kondisi wanita sedang tertindas oleh kaum laki-laki. Entah apa yang dijadikan ukuran penilaiannya. Namun kesimpulan tersebut telah menggaung sebagai dogma yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Mereka membawa bendera kesetaraan sebagai motivasi, keadilan sebagai misi, dan kebebasan adalah prinsip utamanya.

Rosemarie Tong (1997) dalam bukunya Feminist Thought : A Comprehensive Introduction mengatakan bahwa feminis liberal memiliki pandangan tentang kenegaraan yang tidak memihak kepentingan kelompok. Bagi kaum feminis liberal, negara saat ini didominasi oleh kaum pria sehingga peran dan kebijakan politik pun dianggap hasil kerja para laki-laki saja. Intinya, bagi mereka, negara ini dikendalikan oleh satu jenis manusia saja sedangkan perempuan tidak memiliki porsi yang cukup. Sehingga mereka beranggapan telah terjadi ketidaksetaraan atau ketidakadilan di ruang publik. Karena itu perlu ada penyetaraan antara laki-laki dan perempuan baik dalam ranah publik—termasuk di bidang politik—, maupun keluarga.

Pandangan seperti itu sangat bertentangan dengan konsep dasar Islam. Dalam Islam, kesetaraan maupun keadilan bukanlah ukuran kemuliaan seseorang. Sama halnya dengan kebebasan. Islam pun memiliki konsep tersendiri dalam kebebasan. Berikut ini akan dibahas mengenai problem ideologis kesetaraan gender dan relasinya dengan kebebasan perspektif Islam.

Problem Ideologis Kesetaraan Gender

Berbicara tentang kesetaraan gender berarti membahas perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya dan bukan perbedaan yang dilihat sekedar dari anatomi biologi sebagaimana dicantumkan dalam RUU KKG yang digagas oleh para feminis. Mereka mendefinisikan istilah gender sebagai “pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tepat dan dapat dipelajari serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin tertentu ke jenis kelamin lainnya”. Artinya, bagi pegiat feminis, perilaku, tanggungjawab, serta kodrat laki-laki dan perempuan bukanlah ketetapan Tuhan melainkan terbentuk oleh lingkungan sehingga sangat dimungkinkan laki-laki menjadi perempuan dan begitu pula sebaliknya.

Lebih dari itu, dalam RUU KKG pasal 1 ayat 3, para feminis juga mendefinisikan konsep keadilan sebagai: “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu dan keluarga, masyarakat dan warga negara”.

Definisi semacam ini pada hakekatnya cacat ideologi. Mustahil untuk menyamaratakan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Logikanya, ketika keduanya disamakan maka tidak menutup kemungkinan akan ada laki-laki haid dan melahirkan, perempuan menjadi nelayan dan tukang gali sumur serta berbagai macam jenis pertukaran peran yang justru akan merancukan tatanan kehidupan yang pada dasarnya tidak diperlukan. Hakekatnya, para aktivis gender sedang mempermasalahkan suatu yang sebenarnya bukan masalah tapi justru dipermasalahkan supaya terlihat menarik. Misalnya, mereka ingin mencapai kesetaraan gender, kesetaraan kedudukan, fungsi sosial, dan kesetaraan peran yang sebenarnya itu semua bukanlah merupakan akar masalah. Justru sebaliknya, yang bermasalah adalah sejarah gender dan ideologi kesetaraan gender itu sendiri.

Upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender lebih dikarenakan ketidaktahuan akan peran perempuan atau sikap tidak terima terhadap kodrat mereka sebagai wanita. Para aktivis gender ingin memperjuangkan kesetaraan dalam porsi yang sama yaitu 50 : 50 dengan laki-laki. Intinya adalah apa yang dilakukan oleh laki-laki harus bisa juga dilakukan oleh perempuan.

Ratna Megawangi dalam bukunya Membiarkan Berbeda mengatakan bahwa salah satu agenda feminis mainstream sejak awal abad ke-20 adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif sama rata 50:50 antara laki-laki dan perempuan, baik dalam peran berumah-tangga maupun peran kenegaraan. Hingga saat ini, para feminis yang masih meyakini bahwa ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan terbentuk oleh sosial budaya, selalu menyuarakan hak-haknya untuk diberi porsi yang sama dengan laki-laki.

Jurnal Perempuan pernah memuat artikel yang berjudul Etika Lesbian. Disebutkan di sana bahwa etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Dengan etika tersebut, akan muncul sebuah revolusi moral. Dengan kata lain, jika ingin terbebas dari ketertindasan maka tidak ada salah bagi perempuan untuk menjadi lesbian. Dengan menyerukan tujuan semacam revolusi moral ini, perjuangan gender seolah menjadi universal.

Sementara itu, Fukuyama menyatakan bahwa tuntutan kesetaraan yang diusung para feminis tidaklah bersifat universal sebab kebebasan dan persamaan adalah bagian dari America’s core culture. Dari pernyataan Fukuyama tersebut dapat dipahami bahwa perasaan tertindas, tidak mendapatkan keadilan, keterasingan, ketidakbebasan, hingga munculnya kehendak untuk menyetarakan kedudukan adalah hasil dari peradaban barat yang diusung feminis liberal. Disebutkan pula oleh Rosemarie Putman Tong dalam Feminist Thought, bahwa feminis liberal terang-terangan membela karir wanita pelacur dan ibu yang mengomersialkan rahimnya. Hal seperti ini jelas bukan pandangan yang dapat diamini secara universal. Jelas-jelas batil dalam perspektif Islam

Kesetaraan Gender Bukan Kebebasan

Dalam The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language dijelaskan bahwa diskursus mengenai kebebasan dalam konteks saat ini identik dengan terminologi liberal dan freedom. Istilah liberal yang memiliki

makna kebebasan bukan istilah khas Islam, melainkan trade mark yang datang dari Barat. Paham liberal meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melakukan segala hal yang ia inginkan, sejalan dengan ideologi Protagoras. Para feminis kemudian menjadikan kebebasan sebagai prinsip mereka dalam mengusung wacana kesetaraan gender. Pertanyaannya adalah, “apakah kesetaraan gender merupakan bentuk kebebasan?” Hal ini perlu dikaji menggunakan perspektif Islam.

Terminologi kebebasan dalam al-Qur’an mengandung beberapa makna. Dalam konteks bahasa Arab, kata kebebasan dapat ditelusuri dengan cara mengambil kata dasarnya yaitu harra. (Shauqi Daif, Al-Mu’jam Al-Wasith, p.165). Adapun makna terminologi kebebasan menurut Abdullah Al-Arawi dapat ditelusuri melalui empat sudut pandang. Pertama: makna perilaku (al-Ma’na al-Khuluqy), yaitu sebagaimana diketahui dalam tradisi Jahiliyyah yang disebut dengan ungkapan “menjaga adab” (al-hurratu). Kedua: makna secara hukum (al-Ma’na al-Qanuny), yaitu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur’an surat an-Nisa : 92 (tahriru raqabatin). Ketiga: makna sosial (al-Ma’na al-Ijtima’iy,). Keempat: Makna Tasawuf (al-Ma’na as-Sufi) yaitu sebagaimana dikatakan oleh al-Jurjani, hurriyyah atau kebebasan ialah istilah yang digunakan oleh ahl al-haqiqah dengan makna keluar dari sesuatu yang bersifat kebendaan serta kekafiran.

Dari pengertian tersebut kita dapat mengambil pelajaran penting. Pertama, dari kata dasar bahasa Arab, kata tahrir berasal dari harra-yahurru sedangkan bentuk masdar (verbal noun) aslinya adalah hurriyyah. Kata ini biasa digunakan untuk melebihkan status seseorang yang terbebas sejak lahir dari hamba yang dibebaskan. Kedua, yaitu keempat makna yang telah dipaparkan sebelumnya berlaku pada diri seseorang dengan memperhatikan kebebasan orang lain, bukan kebebasan tanpa batas.

Al-Raghib mengatakan bahwa dalam al-Qur’an kata “bebas” (al-hurru) memiliki dua definisi : pertama, siapa saja yang belum terikat oleh hukum apapun (QS. Al-Baqarah : 178), dan kedua, siapa yang belum dikuasai oleh sifat-sifat tercela dan ketamakan serta kejahatan. Bagi Aristoteles, kebebasan manusia berarti kesempatan untuk memilih hal yang lebih baik atau bisa dikatakan juga dengan berkumpulnya antara ‘aql (akal) dengan iradah (keinginan). (Ahmad Lutfi As-Sayyid, Ilmu Al-Akhlaq li Aristoteles, Al-Qahirah : Al-Hai’ah Al-Misriyyah Al-‘Ammah Li Al-Kitab, 2008, p. 167). Jadi, pada dasarnya istilah kebebasan bermuara pada satu hal utama yaitu sebagai lawan kata dari penghambaan (al-‘ubudiyyah).

Islam, secara lughawi bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Islam tidak memberikan kebebasan yang mutlak kepada manusia. Tetapi, di samping Islam bermakna tunduk kepada Allah SWT, Islam juga membebaskan manusia dari belenggu peribadahan (‘ubudiyyah) kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan bahwa Islam itu “bebas” sekaligus “tidak bebas”.

Kebebasan dalam Islam merupakan kemuliaan jiwa yang mampu menyucikan niat manusia dari ketergantungan kepada selain Allah SWT. Adapun tujuan kebebasan adalah menjadikan manusia tersebut maju dan tinggi derajatnya (kemuliaan). Di antara kelebihan-kelebihan yang terdapat dari konsep kebebasan menurut Taisir Khamis yaitu: pertama, memanusiakan manusia dengan segala hak dan kewajibannya dan jika seseorang itu tidak berilmu maka sebenarnya ruang untuk

berkeinginan dan ikhtiyar pun semakin menyempit. Kedua, kebebasan berlaku dalam konteks maslahat umum dan tidak digunakan untuk mendekonstruksi dasar hukum Islam. Jadi, kebebasan tidak bersifat mutlak. Sebab, kebebasan seseorang terikat dengan kebebasan orang lain dan terikat oleh hukum Allah SWT.

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kebebasan dalam Islam bermakna positif. Artinya, kebebasan merupakan suatu kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur keburukan. Dengan terlepas dari nilai-nilai keburukan (al-Sharr), berarti manusia berada dalam kondisi yang baik (al-Khair). Kebaikan dalam konteks ini adalah kemuliaan (al-Karam), sebab, manusia yang mulia ialah manusia yang selalu menghambakan diri kepada Allah SWT dengan kebaikan-kebaikan. Hal ini merupakan refleksi salah satu sifat Allah SWT yaitu al-Karim (Yang Maha Mulia).

Untuk menjadi manusia yang mulia, perlu adanya upaya untuk selalu berjalan dalam kebaikan. Akan tetapi ini tidak mudah. Sebab lawan kata dari kebaikan ialah keburukan (al-Sharr) yang akan selalu mengikuti sifat positif tersebut (kebaikan). Oleh sebab itulah Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu berada dalam posisi baik dengan memerintahkan untuk selalu berikhtiyar (upaya untuk memilih yang baik atau upaya untuk bebas dari keburukan) dengan selalu berperilaku sesuai petunjuk (al-Huda) Allah SWT. Jadi, ikhtiyar adalah upaya untuk memilih yang baik sedangkan al-karam (mulia) merupakan kondisi akhir jiwa yang terbebas dari belenggu keburukan.

Hal tersebut justru bertolak belakang dengan doktrin kebebasan total yang diusung oleh pegiat kesetaraan gender. Dalam kesetaraan gender tidak ada konsep memilih yang baik antara yang buruk. Melainkan para feminis lebih mengedepankan kemauan individual sebagai ukuran kebaikan. Akhirnya, jika kemaksiatan itu dinilai baik dan mampu memuliakannya maka sah-sah saja untuk dikerjakan. Pandangan demikian tentu tidak sesuai dengan prinsip kebebasan dalam Islam yang lebih memuliakan manusia dengan ketetapan-ketetapan yang mengikat tapi baik. Sebab ketika manusia menjadi ukuran maka faktor hawa nafsu akan lebih dominan daripada tuntunan wahyu.

Penutup

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kebebasan dalam Islam memiliki makna kemuliaan (al-karam). Sebab, kata “bebas” mengandung makna positif yaitu “kebaikan (al-khair)”. Artinya, bebas dalam perspektif Islam ialah kondisi manusia yang tidak terikat oleh unsur-unsur hawa nafsu yang cenderung mengarah kepada kesesatan (ad-dhalal) atau juga kejelekan (as-suu’). Maka, dengan terlepas dari nilai-nilai negatif tersebut berarti manusia berada dalam kondisi yang baik atau bebas.

Kebebasan di sini merupakan kondisi akhir manusia yang lebih tepatnya disebut dengan manusia yang mulia. Akan tetapi, apabila manusia belum mencapai kondisi tersebut, upaya terbaik yang harus dilakukan ialah ikhtiyar atau berusaha untuk memilih yang baik dari yang buruk. Atau dapat dikatakan pula sebagai upaya untuk terbebas dari hawa nafsu. Jadi, semakin bebas seseorang maka ia semakin baik sehingga mampu mencapai derajat kemuliaan. Jadi, kebebasan dalam worldview al-Qur’an ialah bebas menentukan pilihan yang baik (dengan ilmu) dengan melibatkan

qalb (saat berpikir) untuk tujuan ta’abbud atau bertaqwa demi mendapatkan kedudukan yang mulia (karam) di sisi Allah SWT.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prinsip Protagoras,“Human beings are the measure of all things”, sebagaimana yang digunakan oleh feminis liberal sangatlah bertentangan dengan prinsip Islam. Islam sebagai agama telah memuliakan manusia dengan syariat sesuai dengan ketetapan Allah SWT sebagai Sang Pencipta manusia. Perempuan dan laki-laki memiliki syariat masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Maka, kesetaraan gender pada akhirnya tidak pernah membebaskan manusia untuk menuju kemuliaan akan tetapi mengikat manusia ke dalam kesesatan dan keburukan. Wa’allahu a’lam bi as-shawab.

*Peneliti Center for Gender Studies (CGS) dan Mahasiswa S2 PKU ISID Gontor

Homoseks dan Kebebasan Manusia

2

Homoseks dan  Kebebasan Manusia (fiks)

Oleh: Kholili Hasib, MA*

(Peneliti Center for Gender Studies)

Mengikuti negara-negara Barat lainnya, Prancis baru-baru ini mengesahkan Undang-undang pernikahan bagi kaum gay. Presiden Prancis, Francois Hollande secara resmi menandatangani UU tersebut pada Sabtu 18 Mei 2013. Dengan keputusan kontroversial ini, Prancis menjadi Negara ke-14 di dunia yang melegalkan UU pernikahan bagi kaum homoseks (Jawa Pos 19/05/2013).

Mahkamah Konstitusi  (MK) Prancis  yang mengesahkan UU pernikahan sejenis menyatakan bahwa lesbianisme dan homoseksualitas  merupakan hak individu yang perlu dilindungi. Meski sebagian agamawan menolak, pemerintah Prancis tetap bersikukuh bahwa pernikahan sejenis tidak melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan. Atas nama kebebasan, MK menolak gugatan sejumlah kelompok yang menggunakan pandangan agama.

Paham kebebasan dan prinsip kemanusiaan di Barat merupakan paham kebebasan laa diniyyah (tanpa agama). Standar keagamaan tidak penting lagi. Bahkan tidak diperlukan sebagai landasan kehidupan. Karena itu, jika hubungan sejenis — baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan —  dilakukan atas dasar suka-sama suka maka hal itu tidak dianggap pelanggaran. Mereka juga berprinsip bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Jika hubungan laki-laki dan perempuan disahkan, maka mengapa hubungan sesama laki-laki atau sesama perempuan dilarang.

Jadi, kebebasan kaum lesbian, gay, biseksual dan transeksual-biseksual (LGTB) di Barat tersebut berparadigma paham humanisme dan gender equality. Kedua paham tersebut bermasalah pada konsep manusia. Yakni berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang kosong agama, bebas mengatur kehidupannya tanpa campur tangan hukum Tuhan; bisa mencari kebenaran tanpa melalui Tuhan atau agama. Manusia dalam paradigma sekuler, apapun jenis kelaminnya, adalah sama. Tidak ada ruang-ruang yang membedakan terkecuali segi fisik belaka. Sehingga prinsip-prinsip kemanusiaannya adalah netral agama. Komunitas LGTB, berlindung dibalik paham humanisme dan sekularisme ini.

Paradigma laa diniyyah seperti tersebut mengkhawatirkan. Sebab, tidak saja melegalkan hubungan sejenis, tapi bisa melegalkan seks bebas (free sex) antara laki-laki dan perempuan. Seorang akitivis liberal Indonesia pernah mengkampanyekan kebebasan seks ini dalam sebuah buku Jihad Melawan Ekstrimis Agama (2009) hal. 182:

“Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam al-Qur’an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mu’min atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak peduli, apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek “seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam dictum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri”.

Paradigma seperti tersebut memahami manusia sebagai makhluk yang terbebas dari Tuhan, agama, dan aturan-aturannya. Sementara itu,  dalam perspektif Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki perangkat spiritual untuk mengembalikannya kepada fitrah kemanusiaan. Model kebebasan seperti ditunjukkan Barat itu justru akan membawa kerugian bagi kemanusiaan. Manusia bisa saja berbuat kekejian dengan alasan kebebasan. Sementara dalam Islam, Tuhan merupakan ‘pembimbing’ manusia dalam hidup.

Karena manusia adalah makhluk yang asalnya dilahirkan dalam kondisi keadaan fitrah, maka kebebasan dalam Islam diatur oleh agama untuk mengembalikannya kepada keadaan semula (fitrah). Sebab, Islam dengan syari’atnya, merupakan ‘wadah sakral’ bagi manusia untuk kembali kepada fitrah. Tuhan adalah pencipta fitrah manusia, maka pengembalian kepada fitrah haruslah melalui jalan ketuhanan. Fitrah merupakan tabiat dan kodrat asal manusia sebelum dicemari dan dirusak oleh kehidupan sekelilingnya.

Karena itu, Islam memandang bahwa kebebasan identik dengan fitrah. Seorang manusia yang bebas adalah orang yang hidup selaras dengan fitrahnya. Sebaliknya, yang menyalahi fitrah dirinya sebagai hamba Allah, sesungguhnya tidak bebas, karena ia hidup dalam penjara nafsu dan belenggu setan. Dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab, sedangkan kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban (Syamsuddin Arif, Tiga Makna Kebebasan dalam Islam dalam Islam versus Kebebasan Liberalisme:2010 hal.61). Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebebasan seharusnya tidak melahirkan kerusakan manusia dan masyarakat.

Kebebasan dalam Islam bukan membiarkan manusia untuk berbuat apa saja. Kebebasan adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat dirinya yang sebenarnya. Hakikat diri manusia adalah manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki perangkat spiritual untuk taat kepada Sang Pencipta. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyebut konsep kebebasan itu dengan terminologi ikhtiyar (yakni memilih yang baik). Memilih itu bukan yang buruk. Sebab, jika manusia itu memilih yang buruk itu bukan kebebasan tapi kecelakaan (Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal. 63).

Dengan demikian, kebebasan itu sebenarnya bentuk penghambaan yang murni kepada Allah.  Sesungguhnya syari’ah itu membebaskan manusia. Yakni membebaskan dari belenggu nafsu yang merusakkan dan mengakui hak-hak kemanusiaan secara proporsional.

Pelegalan  LGTB atas nama kebebasan manusia, justru menistakan kesucian manusia itu sendiri.  Lesbianisme dan homoseksualitas telah dipandang sebagai kelainan seksual, keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Wajarlah jika kelompok LGTB tidak seharusnya diberi ruang seluas-luasnya untuk mempraktikkan kehidupan abnormalnya itu. Mereka harus disembuhkan karena sesungguhnya mereka sedang sakit. Selain itu sangat rawan menyebarkan penyakit kelamin menular melalui hubungan seks sejenis.

Dalam Islam, hubungan sejenis merupakan perbuatan keji. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Subhaanahu wa ta’ala melaknat tujuh golongan dari makhluk-Nya dari atas tujuh lapis langit.Lalu, beliau melaknat satu golongan di antara mereka sebanyak tiga kali. Setelah itu, melaknat setiap golongan satu kali-satu kali, kemudian bersabda,  “Terlaknatlah, terlaknatlah, terlaknatlah orang-orang yang melakukan perbuatan kaum Luth” (HR. al-Hakim).

Imam Syafi’i menetapkan pelaku homoseksual dan lesbianisme wajib dihukum mati, sebagaimana keterangan dalam hadits, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan orang-orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth (praktik homoseksual dan lesbianisme), maka ia harus dihukum mati; baik yang melakukannya maupun yang dikumpulinya.” (HR. Abu Daud).

Itulah Syari’at Islam yang memiliki tujuan memuliakan manusia dengan kembali kepada fitrah asalnya. Maka, tujuan syari’at dalam menetapkan hukum itu ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa, hal. 275). Pada intinya, Syari’at Islam menghindarkan manusia dari segala hal yang merusak jiwa, harta, keturunan, akal, dan agama.

Jika ada bentuk kebebasan yang justru merusak kelima hal tersebut sesungguhnya bukan kebebasan yang sebenarnya. Tapi itu bentuk kecelakaan dan kerusakan yang harus dicegah. Perilaku LGTB adalah perilaku abnormal yang merusak jiwa dan fitrah manusia. Pemberian ruang bagi mereka untuk mengekspresikan perilaku abnormalnya merupakan kebebasan palsu yang merusak fitrah sebagai manusia.

Ummu Nidhal Farhat Khansanya Palestina

0

Oleh: Sarah Mantovani

 

“Aku Ibumu! Tidak mudah bagiku melepasmu. Aku menangisimu siang dan malam. Jangan salah artikan air mataku. Itu adalah tangis seorang ibu yang akan melepas putranya untuk menikah dengan bidadari. Kau harus jalankan tugasmu dan tetaplah menyerang sampai waktunya engkau bertemu Allah”, pesan wanita paruh baya itu pada putra keduanya, Muhammad Fathi Farhat. Meski terlihat menangis namun ia tidak sedih saat ketiga putranya mati syahid, ia malah bangga.

Itulah Ummu Nidhal Farhat yang bernama asli Maryam Muhammad Yusuf Farhat. Ia lahir di Gaza tahun 1950. Tiga putranya, Nidhal Farhat, Muhammad Fathi Farhat dan Rawad Farhat gugur di medan jihad melawan penjajahan Zionis Israel. Karena itulah ia juga dikenal dengan julukan Khansa’ dari Palestina. Khansa’ adalah seorang sahabat Rasulullah SAW. dari kalangan wanita yang keempat anaknya syahid di medan jihad kemudian ia ridha terhadap kematian semua anaknya.

Muhammad Fathi Farhat, putra kedua ummu Nidhal yang masih berusia 17 tahun dan sedang menghafal Al-Qur’an itu minta izin kepada Ibunya untuk bergabung dengan Brigadir Al Qassam. Ummu Nidhal menyetujui keinginan anaknya tersebut. Kemudian ia membelikan semua perlengkapan yang diperlukan putranya termasuk sebuah senjata semiotomatis.

Pada Maret 2002, Muhammad melakukan penyerangan seorang diri ke pos militer Zionis di Gush Katif, ibukota pemerintahan, dan sebuah sekolah semi militer di bekas pemukiman Yahudi di Gaza, Atzmona. Muhammad menembaki siswa-siswa tersebut dengan senapan AK 47 dan granat tangan. Serangan itu menewaskan dua puluh orang sementara 23 orang luka-luka.

Delapan jam lamanya, ummu Nidhal Farhat menunggu kabar dari anaknya. Ia masih ingat kata-kata terakhir anaknya, “Selamat tinggal, bu…”, telepon ditutup.

“Bagaimana minta anak saya pulang hidup-hidup? Padahal janji Allah untuk mati syahid jauh lebih berharga? Saya mengangkat tangan berdoa kepada Allah, tapi malu mau minta agar anak saya selamat pulang…”,ujar Ummu Nidhal Farhat.

Ketika mendapat kabar Muhammad syahid, Ummu Nidhal keluar rumah dan membagi-bagikan manisan dan coklat kepada keluarga dan para tetangga. Sebagai tanda syukur putranya mati syahid di jalan Allah.

“Alhamdulillah… anakku syahid… anakku syahid…”, katanya menangis gembira.

ummu-nidhal-farhat

Cinta Jihad

Dalam wawancaranya dengan Dream2 TV, Ummu Nidhal bercerita bahwa Muhammad menembaki orang-orang Yahudi itu dari ruangan ke ruangan selama 22 menit sampai ia kehabisan amunisi dan akhirnya ditembak mati Zionis.

“Jika ia masih punya amunisi, tentunya ia tetap akan menyerang”, ujar Ummu Nidhal yang suaminya juga gugur di medan jihad.

Ummu Nidhal menikah dengan seorang Polisi. Ia mempunyai enam anak laki-laki dan empat anak perempuan.Tiga anak laki-lakinya tewas di medan jihad. Satu orang putranya lagi, Wissam Farhat, pernah dipenjara selama kurang lebih 11 tahun oleh Zionis. Wissam ditangkap saat berusaha meledakkan bom isytisyhadi (meledakkan diri) di sebuah pemukiman Yahudi di Beer Sheva, di daerah Gurun Negev, selatan Hebron.

Dalam buku Inside Hamas: The Untold Stories of Militants, Martyrs, and Spies sebagaimana dikutip oleh Majalah Suara Hidayatullah, disampaikan bahwa Wissam mendapat dukungan penuh dari ibunya itu untuk melakukan aksi-aksi jihad melawan Zionis.

Sementara dalam wawancara dengan Iqra TV Arab Saudi, Ummu Nidhal mengatakan orang-orang Palestina beriman kepada takdir Allah. Kalau sudah bertemu dengan ajal ia pasti akan mati biarpun ia berusaha sembunyi.

Katanya, ada perbedaan antara jenis kematian satu dengan yang lain. “Lalu kenapa kami tidak pilih saja mati sebagai syuhada?”

“Alhamdulillah”, kata Ummu Nidhal. “Allah telah pilih kami di antara semua manusia, dan telah memuliakan kami dengan jihad dan ribath membebaskan Palestina”.

“Jadi lebih baik kami yang mencari kematian sebagai syuhada sebelum maut datang sedang kami duduk di rumah. Maka semoga Allah berkenan memurnikan niat kita, menyatukan kita dalam jihad dan kesyahidan yang suci…”, pesannya.

Wasiat Terakhirnya

Ummu Nidhal berpesan, meminta agar kita semua menjaga akidah yang lurus karena itu kunci pertolongan Allah.

“Kalau kita lemah, umat ini, bangsa ini, pasti kalah…”

“Saudari-saudariku Muslimah Indonesia dan seluruh dunia, jangan anggap remeh dirimu, kalian BENTENG UMAT ini…(yang akan, red) Menjaga umat ini, menjaga bangsa ini, jangan sampai terbenam di api neraka. Atas nama ibu para syuhada dan ibu para tawanan Palestina di penjara-penjara Zionis, tugas utama kita perempuan muslimah…, Tolong sampaikan juga untuk saudari-saudariku, remaja putri, calon ibu dan seluruh Ibu di Indonesia… Walau belum bisa sampai ke sini kalian semua ada di hati kami…”, pesannya.

Kemudian ia melanjutkan, “Tolong sampaikan ini, bukan hanya untuk kalian, tapi untuk semua anak-anakku di Indonesia… tapi susah payah kalian datang karena mencintai kami, mencintai Masjidil Aqsha. Semoga Allah juga cintai kalian. Kalian tidak lahir di sini, tidak bisa berbahasa Arab, ribuan kilometer hidup dan tidak mengenal kami…, jihad kalian lebih susah daripada kami…”, lirihnya.

Sesudah wafatnya pada tanggal 17 Maret lalu, Perdana Menteri dan Wakil Ketua Parlemen Palestina mengusung jenazahnya. Ia tidak pernah mencari kehormatan dan kedudukan, tapi Allah yang memberikannya. Ummu Nidal Farhat bukan sembarang Ibu, ia adalah ibu para Syuhada, Khansanya Palestina.

 

Sumber :

Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2013

Twitter Sahabat Al Aqsha @sahabatalaqsha.

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now