Home Blog Page 13

Wanita dalam Islam

0
wanita dalam islam
wanita dalam islam
wanita dalam islam
ilustrasi

Oleh:  Beggy Rizkiyansyah

Sungguh mengherankan apa yang terjadi saat ini. Begitu banyak pendapat orang yang menyatakan bahwa Islam harus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Ajaran Islam tidak lagi sesuai dengan masa kini. Dan salah satu ajaran dan pandangan yang harus disesuaikan adalah pandangan Islam adalah tentang wanita. Jika kita ditanya kenapa Islam menindas wanita? Bukankah Islam tidak memandang sama pria dan wanita? Wanita disuruh diam dirumah, pria yang menjadi penguasa? Sesaat kemudian lidah kita terasa kelu.  Bukan karena kita tahu mereka benar, malah hati kita mengatakan sebaliknya, tapi karena kita tahu harus menjawab apa?

Sikap tidak berdaya ini yang lama-lama membuat kita akhirnya membenarkan pendapat tadi. Tidak berdaya karena tidak tahu apa-apa. Terkadang malah tidak mau tahu apa-apa tentang Islam.  Akhirnya jadilah kita termasuk orang-orang yang meyakini Islam tidak menghargai wanita, Islam menindas wanita. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan derasnya kemajuan zaman. Tapi Sungguh ironis jika dibandingkan dengan perkembangan Islam di Eropa. Islam berkembang begitu pesat. Begitu banyak orang  Eropa memeluk Islam. Dan makin kaget ketika mengetahui yang paling banyak memeluknya justru wanita. Seperti yang terjadi di Inggris.(1). Kenapa bisa begitu? Padahal selama ini kita selalu berkiblat pada peradaban Barat. Melihat mereka sebagai contoh yang tepat untuk memperlakukan wanita. Tetapi kenapa sebaliknya? Kenapa para wanita Eropa tersebut malah memeluk Islam? Agama yang selama ini dikatakan mengekang, menindas dan tidak menghargai wanita? Oleh karena itu mari kita coba menoleh sebentar, mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai wanita.

Melihat pandangan sebuah agama mengenai sesuatu lebih tepat jika kita melihat apa yang diajarkan, bukan apa yang dikerjakan pemeluknya. Karena melihat dari pemeluk suatu agama bukan berarti mereka sudah menjalankannya dengan benar. Lantas bagaimana Islam memandang wanita? Apakah Islam menghargai wanita? Kedudukan  pria dan wanita dihadapan Allah adalah sama. Hanya ketaqwaanlah yang dinilai oleh Allah. Hal ini dapat kita lihat sebagaimana di surat At Taubah,

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS At taubah : 71-72)

Kedua ayat inilah yang menegaskan samanya kedudukan pria dan wanita di hadapan Allah. Tidaklah wanita itu lebih rendah kedudukannya daripada pria. Malah, ketika kita melihat bagaimana Al Quran mengisahkan  bagaimana Nabi Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi akibat kekhilafan mereka, bukanlah Hawa yang disalahkan. (2) Dalam Al Quran, dikatakan dengan jelas bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh syaitan. Sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Dan dijelaskan pula keduanya yang diperdaya oleh syaitan dan mereka berdua pula yang harus bertanggung jawab atas kesalahan mereka. (3) Malah jika ditelisik lagi, maka diantara mereka berdua Nabi Adamlah yang harus bertanggung jawab, karena beliau lalai akan janjinya pada Allah. Bukan Hawa. (4)

Jelaslah bahwa dalam Islam pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. Dalam Al Quran dijelaskan pria dan wanita itu pada hakekatnya adalah satu.

 “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-nisa : 1)

Bila kita renungkan ayat ini, walaupun manusia itu terdiri dari pria dan wanita, pada dasarnya mereka adalah manusia juga. Dan darinya Allah menciptakan pria dan wanita sebagai jodohnya. Sehingga yang satu membutuhkan yang lain.  Hingga tak salah jika Allah mengumpamakan pria dan wanita itu ibarat pakaian.

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QsAl Baqarah : 187)

Sungguh indah perumpamaan yang Allah buat. Pria dan wanita yang diciptakan untuk saling melengkapi dan menutupi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling melengkapi dan dalam ketaqwaan kepada Allah dan memelihara hubungan antar sesama manusia dengan kasih sayang.

Dalam sejarahnya, wanita pada zaman sebelum Al quran turun, tidaklah lebih berharga daripada barang. Yang bisa dimiliki, bisa diperlakukan seenaknya. Dan kedudukan wanita pun sangat rendah. Saat itu jika seseorang memiliki bayi perempuan yang baru lahir, maka buat mereka itu adalah aib. Tak sedikit anak perempuan yang lahir itu dikubur hidup-hidup. Perempuan dewasa pun nasibnya tidak lebih baik. Seorang wanita bisa di pergilirkan oleh beberapa pria.(5) Bayangkan bagaimana perasaan kaum wanita ketika Islam datang. Mereka memperoleh harga dirinya kembali. Didudukkan sejajar dengan pria. Maka tak heran, orang-orang pertama yang memeluk Islam sebagian dari kalangan wanita. Terlebih pengakuan terhadap wanita diabadikan dalam Alquran. Terdapat surat Maryam yang menggambarkan kesucian seorang wanita yang shaleh. Surat An Naml, yang mengisahkan seorang Ratu Bilqis dengan kekuasaan yang besar namun tunduk kepada Allah. Bahkan terdapat satu surat yang memakai nama kaum wanita, yaitu surat An Nisa. Dapatkah kita temukan penghargaan ini pada kitab suci agama lain?

Jelas sudah bagaimana kedudukan wanita dalam Islam. Ditempatkan dalam kedudukan sejajar dengan pria. Memiliki kewajiban yang sama dihadapan Allah untuk berbuat kebaikan dan menolak kejahatan, dan kewajiban ibadah yang sama. Namun dalam menjalankan kewajiban tersebut Islam mengakomodasi keistimewaan pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan oleh Allah dengan kondisi fisik, emosi dan psikologis yang berbeda. Pria diciptakan dengan kondisi fisik yang lebih kuat, dan lebih berpikir mengutamakan logika. Hal ini untuk mengakomodir tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi keluarganya. Sedangkan wanita diciptakan dengan kondisi fisik yang tak sekuat pria, namun dengan hati yang sangat lembut dan lebih penyayang. Naluri ini membentuk naluri keibuan yang menjadi ciri istimewa seorang wanita. Kombinasi ketegasan pria dan kelembutan serta sifat penyayang wanita menjadi suatu sifat yang saling melengkapi. Sebuah rumah tangga yang terdiri dari dua sifat utama tadi akan menjadi rumah tangga yang sempurna dan lengkap. Yang pria dituntut untuk bekerja keras mencari kebutuhan keluarga, memimpin dan melindungi mereka. Yang wanita dituntut memelihara, membina mendidik anak di rumah tangganya yang menguras tenaga. Keduanya sama-sama berkorban.  Inilah yang diminta oleh Islam.

 Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…(Qs. An-nisa : 34)

Islam telah menempatkan pria menjadi pemimpin bagi wanita. Bukan karena wanita lebih rendah kedudukannya, namun karena Allah memberi kelebihan tertentu kepada pria. Kelebihan fisik, kelebihan ketegasan namun juga diberi tanggung jawab yang lebih berat.  Secara naluriah pun pria dibentuk menjadi pemimpin. Ketika ada sekelompok orang tidak saling mengenal, terjebak dalam sebuah kapal yang karam, maka prialah yang mendahulukan wanita untuk selamat. Ketika ada rumah yang kemasukan perampok, maka anak laki-lakilah yang melindungi anggota keluarga yang lain. Ini bukan akbiat konstruk sosial seperti yang didengungkan para feminis. Pria harus bergerak ketika ada kejadian tadi karena memang dilebihkan oleh Allah, namun kelebihan itu pula harus mereka pertanggung jawabkan.

Begitu pula dalam rumah tangga. Pria menjadi pemimpin atas keluarganya, atas diri, anak dan istrinya. Sementara istri menjadi pemimpin atas rumah suaminya beserta istrinya.

 Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Hadis Shahih riwayat Bukhari no. 4789)

Ketika Islam menempatkan pria sebagai pemimpin keluarga dan wanita sebagai pemelihara rumah tangga maka bukanlah berarti Islam merendahkan wanita. Melihat pria sebagai pemimpin keluarga (rumah tangga) jangan dilihat sebagai ketentuan Islam untuk melebihkan pria. Inilah yang banyak disalahpahami. Sering dianggap pemimpin rumah tangga itu sebagai kemewahan atau disamakan dengan jabatan. Kita harus melihat hal ini dari kacamata Islam. Kacamata yang menimbangkan dunia dan akhirat. Menjadi pemimpin berarti harus  berpikir keras memberikan keputusan yang terbaik bagi keluarganya. Harus mencarikan penghidupan yang terbaik yang halal dan mengarahkan bahtera keluarganya. Dan yang terpenting, bertanggung jawab atas keluarganya, tidak hanya di dunia, namun terlebih di akhirat nanti. Dan memikul beban dan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah nanti sungguh sangat berat. Itulah yang  sering luput dari pihak yang masih salah memahaminya.

Begitu pula dengan peran wanita sebagai pemelihara rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga bukan “pekerjaan” yang hina. Malah sebaliknya, sangat mulia dan tidak ternilai. Bayangkan, para ibu bekerja tanpa batasan waktu. Tanpa digaji. Namun buah yang mereka hasilkan akhirnya luar biasa. Tak bisa dipungkiri peran didikan ibu pada tokoh-tokoh sukses. Para ibu rumah tangga bukan saja menghasilkan pribadi, namun menghasilkan sebuah generasi yang luar biasa. Inilah pokok dari Islam. Islam tidak hanya berbicara mengenai membentuk pribadi yang bermanfaat, namun lebih dari itu menciptakan sebuah generasi, masyarakat yang bermanfaat. Dan untuk membentuk masyarakat yang bermanfaat dibutuhkan peran dari ibu-ibu rumah tangga yang luar biasa. Ibu rumah tangga ibarat tiang dalam sebuah rumah. Peran ini menuntut totalitas dari seorang ibu rumah tangga. Dan apabila seorang ibu rumah tangga membentuk anak-anak yang bermanfaat, bukankah ibu tersebut turut menerima ganjaran (pahala) yang diperoleh dari kebaikan yang dilakukan anak-anaknya? Inilah yang luput dari sebagian kita, ketika Islam memerintahkan sesuatu maka kita hanya mempertimbangkan aspek duniawinya saja, padahal ada aspek lebih penting, yaitu kebaikan yang diperoleh di akhirat

Keterangan diatas menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap wanita. Namun kesalahpahaman kerap kali terjadi ketika menemui beberapa tuntunan Islam yang berhubungan dengan memperlakukan wanita. Diantaranya yang kerap menjadi pertanyaan mengapa pembagian waris untuk wanita lebih sedikit daripada pria? Apakah ini semacam diskriminasi? Dan mengapa suami diizinkan memukul istri? Bukankah ini sejenis kekerasan dalam rumah tangga? Sebaiknya ketika membahas hal-hal seperti ini yang utama adalah melihat secara menyeluruh pandangan Islam terhadap wanita. Tidak melihatnya sebagian-sebagian. Termasuk ketika membicarakan hak waris bagi wanita.Hal itu dasarkan kepada ketentuan Allah dalam surat An Nisa,

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (QS An Nisa : 11)

Ayat ini memberikan ketentuan-kententuan waris secara umum dalam Islam. Ketika melihat ketentuan ini, baiknya kita kembali kepada konsep Islam mengenai pria dan wanita. Pria dituntut menjadi pencari nafkah dan pemberi mahar ketika menikah. Maka semua kebutuhan rumah tangga dibebankan kepadanya. Sedangkan wanita dalam hal ini menjadi tanggungan suaminya. Maka yang adil adalah bukan memberikan secara rata. Namun membagi sesuai porsinya.Bahkan jika ditelisik lebih lanjut ada kondisi-kondisi khusus dalam Islam yang menentukan bagian perempuan sama bahkan lebih besar daripada laki-laki. (6)

Tuntunan Islam lain sering disalahpahami adalah boleh suami untuk memukul istri. Ayat ini dituduh sebagai ayat pengesah KDRT. “Kewenangan” itu muncul dari sebuah ayat pada surat An nisa ayat 34

 “…..Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An Nisa : 34)

Sebenrnya ayat ini tidak bermula dari hal nusyuz saja. Awal ayat ini berbicara mengenai hak dan kewajiban pria, lalu membicarakan mengenai wanita (istri) yang shalehah.Lalu kemudia berbicara mengenai istri yang durhaka (Nusyuz). Nusyuz sendiri dapat diartikan tidak mau menuruti perintah suaminya (dalam hal ini menjalankan tanggung jawab berumah tangga). (7)

Dalam hidup ini, tak bisa kita pungkiri, sebagaimana pria,ada pula wanita yang keras kepala. Sebagaimana pria, ada juga wanita yang tak tahu diri. Ayat ini menjadi panduan bagi suami bagaimana mengajari istrinya yang tak mau menuruti tadi. Ada tiga tahapan yang harus di ikuti, yaitu; mengajari mereka, lalu memisahkan mereka pada tempat tidur; baru kemudian memukul mereka. Tiga tahap ini justru menjadi rambu-rambu bagi pria untuk tidak berbuat seenaknya dalam membimbing. Wanita umumnya berperasaan halus, diajari baik-baik langsung mengerti. Berikutnya ada juga yang akhirnya sadar setelah dipisah tidurnya. Tetapi yang berikutnya, jika yang dua tadi sudah dilakukan, dan belum menerima juga, maka baru ada yang mengerti jika sudah dipukul. Sependapatkah kita jika disebut, selain wanita yang terpelajar, yang mudah diajak bicara baik-baik, ada juga wanita yang kurang wawasan, tidak bisa diajak berdiskusi, keras kepala? Bahwa yang diatur Islam itu seluruh macam manusia dengan berbagai tabiatnya? Kadang-kadang, ada wanita yang khilaf dia adalah seorang istri yang juga memiliki kewajiban. Kewajibannya tidak dijalankannya. Maka justru pria (suami) yang baik ialah justru yang masih mau menyadarkan istrinya.

Dibolehkannya memukul dalam Islam ini, hendaknya kita lihat sebagai suatu tuntunan, bukan penindasan. Ibarat undang-undang, maka memukul termasuk undang-undang yang paling berat hukumannya. Dan memukul istri dalam Islam pun ada aturannya. Memukul tidak boleh sampai melukai. Memukul juga tidak boleh diwajah dan kepala. Tidak boleh menimbulkan bekas. Tidak boleh dipukul satu tempat yang sama. (8) Lantas jika sudah begini, memukul macam apalagi yang akan dilakukan? Sejujurnya  sulit sekali untuk memukul tanpa meninggalkan bekas dan melukai. Saat kita akan memukul, jika tidak boleh melukai dan meninggalkan bekas, pasti secara tak sadar yang dilayangkan adalah pukulan yang tak bertenaga.  Terbayang oleh kita memukul seperti ini semacam memukul untuk mendidik anak-anak kita. Pukulan yang ditimbulkan oleh rasa sayang untuk mendidik.  Terkadang anak-anak pun kita sentil atau ‘pukul’ hanya untuk mengingatkan. Jika sudah seperti ini apakah kita masih berpendapat Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan dalam rumah tangga? Padahal Nabi Muhammad SAW sudah berpesan,

“Kenapa salah seorang dari kalian memukul isterinya sebagaimana memukul kudanya atau budaknya, semoga saja ia dapat memeluk isterinya…” (Hadis Shahih Bukhari No. 5582)

 “Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya, seperti ia memukul seorang budak, namun saat hari memasuki waktu senja ia pun menggaulinya.” (Hadis Shahih riwayat Bukhari no. 4805)

Tidaklah seorang suami yang baik membiasakan memukul istrinya, memperlakukan istrinya dengan tidak baik, padahal Rasulullah SAW tidak pernah memukul wanita  seumur hidupnya (9), artinya tidaklah pernah sampai  beliau menggunakan ‘hak memukul’ tersebut untuk mendidik istri-istrinya. Malah beliau berpesan untuk memperlakukan istrinya dengan baik,

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.” (Hadis riwayat Sunan Tirmidzi No. 1082)

Banyak hal lain yang mungkin belum kita pahami perihal tuntunan Islam mengenai wanita. Namun hal itu dapat kita pelajari satu persatu. Kunci memahaminya adalah, apapun ketentuan Allah itu pasti baik, dan kita harus memulainya dengan berbaik sangka  kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW, bahwa Islam tidak akan mendiskriminasikan wanita. Dan dalam melihat hal yang ada haruslah melihat secara menyeluruh memakai kacamata Islam (Islamic worldview), dan dalam Islam aspeknya tidak hanya pertimbangan ganjaran dunia namun juga akhirat. Allah memandang sejajar pria dan wanita, menciptakannya dengan kondisi emosional dan psikologis yang berbeda-beda dengan keunggulan masing-masing,  namun memiliki hak dan kewajiban yang berbeda untuk saling melengkapi. Sejak awal pandangan Islam justru memuliakan wanita, berbeda dengan kondisi di Eropa. Bahkan hingga masa pencerahan revolusi Perancis, hak kewarganegaraan Perancis pasca Revolusi Perancis 1789, ditenggarai gagal memberikan status yang sah terhadap perempuan. Sehingga tahun 1791, Olympe de Gouges, mempublikasikan Declaration of The Rights of Women and of the (Female) Citizen, yang mendeklarasikan wanita tidak hanya sejajar dengan pria namun juga partner bagi mereka.(9) Islam bahkan mendengarkan suara-suara kaum wanita. Bukan hal aneh Rasulullah menerima berbagai pertanyaan dan pengaduan dari kaum wanita. (10) Suatu hak yang tidak didapat kaum wanita di Amerika hingga 1832, saat wanita masih belum diakui memberikan suaranya.(11) Islam juga mengakui kepemilikan harta milik wanita, bahkan ketika mereka sudah menikah sejak 1400 tahun yang lalu. Suatu hak yang tidak didapatkan wanita di Inggris hingga 200 tahun yang lalu. (12) Hak lain yang didapat wanita diantaranya adalah hak untuk menyetujui calon suami pilihannya, baik ketika masih gadis ataupun janda. (13) Akses terhadap ilmu adalah akses yang diberikan kepada wanita sejak 1400 tahun yang lalu. Kaum wanita terbiasa untuk mendiskusikan berbagai masalah kepada istri Rasulullah SAW, Aisyah RA. Bahkan Aisyah dikenal dalam tradisi keilmuan Islam sebagai salah satu periwayat hadis. Sehingga Islama memberikan ganjaran surga bagi penuntut ilmu, pria ataupun wanita.(14) Lantas dari kenyataan-kenyataan tadi masihkah kita menggugat Islam sebagai agama yang mendiskriminasikan wanita? Jika memang Islam mendiskriminasikan wanita, tentu Rasulullah tidak akan menyuruh kita berbakti pada Ibu (yang tentunya seorang wanita) tiga kali melebihi ayah (yang pasti seorang pria),

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dia menjawab: “Kemudian ayahmu.” (Hadis Shahi hriwayat Bukhari no.5514)

Wallahualam.

 

1.Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan oleh Universitas Swansea, jumlah orang Inggris yang masuk Islam telah meningkat dari enam ribu orang pada tahun 2001, menjadi sekitar sepuluh ribu orang pada tahun 2010. Dan 62% dari mereka adalah perempuan.(http://hidayatullah.com/read/20761/20/01/2012/jumlah-muallaf-di-inggris-meningkat.html)

2. Bandingkan dengan Kitab Kejadian 3:6 dan Kejadian 3:12.

3.  Lihat surat Al Baqarah ayat 36 dan Al A’raf ayat 20. Keduanya diperdayakan oleh syetan. Keduanya, artinya sama-sama bersalah dan bertanggung jawab.

4. “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (QS Thaha :115)

5. Perhatikan Hadis Shahih Bukhari No. 4732

6. Henri Salahuddin, MA, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam : Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia. Vol. III, No. 5. 2010

7. Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam.  Jakarta. Pustaka Panjimas. 1984

8. Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam.  Jakarta. Pustaka Panjimas. 1984

9. “Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya pelayan beliau atau pun seorang wanita pun, kecuali saat berjihad di jalan Allah, …” Hadis Shahih Muslim no. 4296)

10. Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam.  Jakarta. Pustaka Panjimas. 1984

11. Henri Salahuddin, MA, Menelusuri Paham Kesetaraan Gender dalam Studi Islam : Tantangan Terhadap Konsep Wahyu dan Ilmu dalam Islam, dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Islamia. Vol. III, No. 5. 2010

12. idem

13.  “Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.” (Hadis Shahih Bukhari No. 4741)

14. Banyak sekali hadis yang berbicara keutamaan menuntut ilmu. Bahkan mewajibkannya. Salah satunya adalah :

“Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadis riwayat Imam Abu Daud No. 3157)

Miss World dan Serangan Budaya Postmodern

0

miss-world-wanita-tercantik

Sebagaimana  telah diberitakan, menurut rencana, Indonesia akan menjadi tuan rumah acara Miss World 2013 di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor dan Bali pada 28 Sebtember 2013. Kontes ratu kecantikan sedunia — yang diadakan sejak tahun 1951 — sudah umum diketahui menjadi ajang mengumbar aurat wanita.  Terdapat sesi penampilan berbikini.

Apapun alasannya – apakah itu untuk menarik wisata, atau yang dinilai bukan tubuh tapi kecerdasannya – tetap saja, unsur kecantikan menjadi ukuran. Tidak mungkin wanita berkaki satu, cebol, mata cacat lolos dalam kontes ratu-ratuan itu, walaupun ia cerdas. Meski terdapat peserta kulit hitam, namun tetap keseksian tubuh wanita itu yang ditonjolkan.

Dr. Daud Yusuf ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (periode 1977-1982) menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Meski pemikirannya terkenal sekuler, kritikan Daud Yusuf sangat tajam terhadap kontes ratu-ratuan yang mengeksplotiasi aurat itu.

Ia berpendapat bahwa kontes ratu-ratuan sedunia adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakekat perempuan dari mahluk manusia. Tujuan kegiatan ini adalah tidak lain merauk keuntungan berbisnis, bisnis tertentu, perusahan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Wanita yang terjebak dalam kontes ratu-ratuan tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya, itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Kritikan tersebut ia tulis dalam buku memoarnya.

Daud Yusuf merupakan menteri era Orde Baru yang terkenal sekuler. Selama menjabat sebagai Menteri, ia enggan mengucapkan ‘Assalamu alaikum’ pada acara-acara resmi. Tapi, ternyata sekularismenya tidak terlalu membabi buta seperti anak-anak muda liberal saat ini. Ternyata ia sadar, serangan kontes ratu-ratuan sangat dahsyat merusak moral bangsa. Kritikannya tersebut mungkin tidak didasarkan paradigma agama. Namun akal sehat bisa menyimpulkan bahwa paradigma kontes ratu-ratuan sedunia sudah nyata menjadi bahan eksploitasi wanita untuk kepentingan pragmatis duniawi.

Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Timur KH. Abdurrahman Navis, Lc,M.Ag mengatakan ajang internasional itu bukan saja membawa misi bisnis, melainkan juga sebagai salah satu upaya untuk merusak moral Indonesia. Sejak dulu, lanjut dia, umat Islam di Indonesia selalu menolak semua bentuk ajang perlombaan yang mengarah pada pengumbaran aurat, yang digelar di luar negeri (jaringnews.com 27/4).

Invasi Budaya Postmo

Dalam budaya postmodernisme yang anti nilai agama, tubuh wanita menjadi media mengeksploitasi seks dan untuk kepentingan market bisnis. Michel Foucault berpendapat, dalam dunia global, antara nilai jual tubuh, hasrat dan kekuasaan kapitalis terdapat hubungan yang tidak terpisah.

Postmodernisme dalam era sekarang, telah mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan tubuh dan hasrat, yang mempunyai andil besar dalam menciptakan ruang pembebasan hasrat yang mampu membentuk paradigma baru dalam kehidupan sosial dan budaya (Zaitunah Subhan,Pornografi dan Premanisme: 2005, hal. 76).

Eksploitasi tubuh wanita tersebut, menurut Foucault dijalankan melalui media; televisi, Koran, majalah, video, dan lain-lain. Tubuh digunakan untuk kepentingan relasi sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Hal ini merupakan agenda masyarakat Barat. Postmodernisme adalah paradigma, tubuh wanita adalah alat dagangan, dan media massa adalah kendaraannya.

J.F. Lyotard, sosiolog postmodern, mengatakan, sistem relasi dengan tubuh wanita sebagai alatnya merupakan wacana libidinal economy (ekonomi libido). Yaitu kecenderungan menciptakan ruang untuk pelepasan hasrat, sehingga setiap orang dapat mengeksplorasi setiap hasrat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang maksimal.

Dalam wacana ekonomi libido, lekuk-lekuk tubuh wanita diekspose secara publik karena memiliki nilai jual. Mereka menolak dikatakan melakukan degradasi moral. Lyotard menganjurkan dalam wacana ini harus bersifat permisif. Semakin tinggi permisifme, semakin tinggi pula daya jual kepada masyarakat. Atau dapat dikatakan, semakin luas aurat yang terbuka semakin tinggi nilai ekonominya (Zaitunah Subhan:2005, 79).

Dalam kaitan dengan hal tersebut, Miss World merupakan produk serangan budaya postmodern, dalam bentuk ekonomi libido. Para pendukung kontes ratu-ratuan menolak dikatakan ajang tersebut merusak moral. Panitia Miss World beralasan, yang dinilai adalah brain (otak), bukan seksualitas wanita. Seorang ratu kecantikan dapat menarik wisata Indonesia.

Sebagai alat, wanita tak ubahnya alat penarik uang. Tentu, tidak ada kemulyaan ketika wanita menjadi semacam alat belaka.

Justru disinilah problemnya. Wanita adalah komoditi. Yang dijual kecantikan. Wanita memiliki nilai jual untuk kepentingan ekonomi. Ini adalah bentuk ‘penjualan’ wanita. Jelas ini pelecehan terhadai kaum Hawa. Seks, dalam dunia postmo bukan saja alat pemenuhan kebutuhan biologis, tapi juga dijadikan pembangkit market sebuah produk ekonomi. Makanya, di Barat, penonjolan lekuk-lekuk tubuh wanita dalam iklan dan film tidak dianggap pelecehan wanita, tapi seni yang bisa mendongkrak produk ekonomi. Paradigma Barat kebingungan membedakan antara seni, pelecehan dan hasrat seks. Pelecehan dinilai seni, penistaan dapat membangkitkan ekonomi. Inilah budaya anti nilai (nihilisme).

Dalam Islam, wanita bukanlah alat dan tidak boleh dijadikan alat eksploitasi. Wanita harus dilindungi, bukan diumbar secara publik. Sebab, ketika wanita dipamerkan akan memicu fitnah syahwat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan Allah subhanahu wata’ala menjadikan kalian berketurunan di atasnya. Allah melihat apa yang kalian perbuat. Takutlah kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada fitnah wanita, karena sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Isra’il dari kecerobohannya (ada kata ‘adalah’ di sini) terhadap wanita.” (HR. Muslim)*

Oleh: Kholili Hasib – Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya

FEMEN: Feminis Ekstrem

0
Femen Stole Our Voice
Birmingham Muslim Anti Femen
FEMEN Stole Our Voice! (Birmingham Muslim Anti Femen)

…FEMEN pun terjebak dengan pemikirannya sendiri yang sangat dualis. Dengan bertelanjang dada, meneriakkan beberapa slogan, dan menyerang tokoh-tokoh masyarakat, mereka menyangka telah berbuat banyak untuk membela hak-hak kaum perempuan. Padahal, perbuatan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan apa  pun……

Akmal Sjafril
Alumnus Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor

FEMEN adalah  sebuah nama yang mengundang banyak perhatian belakangan ini. Banyak orang terkejut  karena aksi-aksinya yang provokatif meskipun sebenarnya gerakan ini  telah berdiri sejak 10 April 2008  di Ukraina dan telah menyebar ke beberapa negara.

Dalam laman situs resminya, FEMEN menjelaskan jati dirinya sebaga “…the scandal famous organization of topless women activists, who defend with their breast sexual and social equality in  the world. (…  organisasi yang terkenal karena skandal aktivis-aktivis perempuan yang bertelanjang dada yang dengan payudaranya mempertahankan kesetaraan seksual dan sosial di dunia).” Penjelasan ini bisa jadi membingungkan bagi sebagian orang sebab para aktivis FEMEN secara gamblang telah menyatakan bahwa aksi bertelanjang dada itu adalah identitasnya. Dengan demikian, para aktivis FEMEN haruslah bertelanjang dada dan tanpa bertelanjang dada, tidaklah bisa menyebut diri sebagai representasi FEMEN.

Dalam laman situs yang sama, FEMEN menyebut para aktivisnya sebagai “…morally and physically fit soldiers, who every day make civil actions of the high degree of difficulty and provocativity. (… para prajurit yang kuat secara moral dan fisik yang setiap harinya melakukan aksi-aksi sipil dengan tingkat kesulitan dan provokativitas yang tinggi).” Berbicara soal provokasi, FEMEN sendiri memang secara terang-terangan menyebut ideologinya sebagai sextremism.

Dalam aksi-aksinya, para aktivis FEMEN selalu bertelanjang dada kadang bertelanjang bulat dengan menuliskan slogan-slogan di tubuhnya. Aksi-aksinya ditujukan kepada tiga kelompok, yaitu diktator, gereja (institusi agama), dan industri seks. Selain menebar gambar-gambar bertelanjang dada di internet, mereka pun menggelar aksi di depan gereja, masjid, kedutaan besar, kantor-kantor pemerintah, dan lain sebagainya. Tidak hanya menggelar demonstrasi, para aktivis FEMEN berkali-kali diciduk oleh keamanan setempat karena secara agresif mendekati, bahkan melakukan kekerasan kepada para tokoh.

Baru-baru ini, FEMEN mencanangkan tanggal 4 April 2013  sebagai Topless Jihad Day sebagai bentuk protes mereka terhadap ancaman rajam yang diberikan kepada Amina Tyler, aktivis FEMEN asal Tunisia. Sebelumnya, Amina telah menyebarluaskan fotonya yang tengah bertelanjang dada dengan tulisan “Persetan dengan Moralmu” di tubuhnya. Ancaman rajam yang konon telah diserukan oleh salah seorang pemuka  Islam  Tunisia telah mendorong Amina untuk bersembunyi demi keselamatannya. Pada 3 April 2013, mereka membakar bendera bertuliskan “Laa ilaaha illallaah, Muhammadan Rasuulullaah” di depan sebuah Masjid di Prancis sebagai bentuk protes. Pada 4  April 2013,   aksi digelar di  depan Masjid di Kiev dan Berlin. Aksi serupa juga digelar pada hari yang sama di Brussels dan Kedubes Tunisia di Paris.

Paling tidak, ada dua hal ‘unik’ yang ditawarkan oleh FEMEN ke dalam ranah pergerakan feminisme dunia. Pertama, FEMEN memperkenalkan jenis radikalisme baru dalam tren feminisme. Bukan hanya radikal dalam berpikir, FEMEN juga radikal dalam tindakan, yaitu dengan menyerang secara fisik tokoh-tokoh yang dimusuhinya. Kedua, tidak seperti beberapa gerakan feminisme yang lain, FEMEN secara tegas menentang prostitusi.

FEMEN adalah gambaran bagaimana kaum perempuan telah terjebak dalam arus liberalisme. Dalam pandangan kaum sekuler liberal, penetapan batas aurat adalah penindasan. Karena aurat perempuan dalam agama Islam lebih banyak, mereka pun berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang paling tidak ramah perempuan.

Para pemikir liberalis dari kalangan Islam kemudian berupaya sebisanya mengkritisi standar aurat  tersebut. Salah satunya adalah M Syahrur, seorang liberalis kelahiran Suriah yang berpendapat bahwa batasan aurat itu berangkat dari rasa malu (Daden Robi Rohman, majalah  ISLAMIA,  2012). Dengan kata lain, aurat yang harus ditutupi hanyalah bagian tubuh yang membuat seseorang merasa malu jika ia terlihat. Bagaimana dengan mereka yang rasa malunya ‘minim’? Padahal, Nabi SAW  sendiri menegaskan bahwa “Jika sudah tidak lagi merasa malu, perbuatlah semaumu.” (HR  Bukhari). Artinya, rasa malu justru merupakan salah satu parameter keimanan. Kaum feminis menganggap bahwa Islam telah mengkriminalisasi perempuan hanya karena anggota tubuhnya.

Dalam pandangan mereka, setiap perempuan memiliki hak sepenuhnya atas tubuh mereka sendiri. Feminisme sebagai anak kandung dari sekularisme dan liberalisme melupakan sepenuhnya bahwa tubuh mereka bukanlah milik mereka, melainkan milik Allah SWT.  Kaum feminis di kalangan umat Muslim pun sudah banyak melupakan hal ini. Dengan alasan ini, mereka memperjuangkan hak aborsi (sebab janin yang menempati rahim mereka pun dianggap sebagai hak milik pribadi) dan juga hak untuk membuka aurat, seperti yang kerap dilakukan oleh para pendukung FEMEN kini.

Kaum perempuan yang pemikirannya dipengaruhi oleh kaum feminis-liberalis kemudian menjadi kian terobsesi dengan tubuhnya sendiri. Bagi mereka, liberalisasi itu menjadi identik dengan membuka aurat. Mereka memaksakan pendapatnya sendiri bahwa perempuan yang berhijab itu telah tertindas meski mereka yang melakukannya justru tidak pernah merasa ditindas. Di media-media massa, tindakan para artis yang tampil  seronok kerap  disebut sebagai tindakan ‘berani’, seolah-olah apa yang dilakukannya itu telah mendobrak dominasi lelaki dan menyelesaikan permasalahan kaum perempuan.

Berbagai kontes kecantikan yang mempertontonkan aurat pun digelar. Kaum perempuan diajak untuk berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya dukungan dari juri dan sorak-sorai para penonton yang semuanya menyaksikan aurat mereka. Mereka yang menjuarai kontes-kontes semacam ini  pun dinyatakan sebagai ‘wanita berprestasi’.  Padahal, manfaat dari keikutsertaan dalam kontes-kontes tersebut—apalagi manfaat bagi masyarakat banyak—tidaklah jelas.

Sementara, kaum perempuan terobsesi untuk mempertunjukkan auratnya sendiri, industri  yang berhubungan dengan seks pun merajalela. Di dunia perfilman, banyak artis perempuan yang meniti karier dengan menjadi ikon seks dan  hal itu  dianggap normal-normal saja. Tentu saja, praktik pelecehan terhadap kaum perempuan tidak berkurang sebab mereka hanya dianggap sebagai alat pemuas kebutuhan seksual. Perempuan dianggap sebagai komoditas, bahkan perempuan sendiri sudah memandang tubuhnya sebagai aset semata sehingga pelacuran merebak di mana-mana. Uniknya, FEMEN mendukung pembukaan aurat, namun mengecam prostitusi, padahal keduanya sesungguhnya sangat berhubungan.

Pada akhirnya, FEMEN pun terjebak dengan pemikirannya sendiri yang sangat dualis. Dengan bertelanjang dada, meneriakkan beberapa slogan, dan menyerang tokoh-tokoh masyarakat, mereka menyangka telah berbuat banyak untuk membela hak-hak kaum perempuan. Padahal, perbuatan tersebut tidak menyelesaikan permasalahan apa  pun, mengganggu kenyamanan publik, tidak mengangkat martabat kaumnya, dan juga tidak mencerdaskan kaum perempuan. Akibatnya, FEMEN lalai mencarikan solusi dari problematika yang sesungguhnya dan lingkaran setan feminisme pun terus bergulir.

Artikel pernah dimuat di rubrik ISLAMIA Republika 18 April 2013

Menimbang Akutalisasi Diri Muslimah

0
ilustrasi

“Wanita modern di Barat walaupun ingin mandiri, mendapatkan hak otonomi yang sejajar dengan pria, ternyata mereka tetap mengidolakan seorang  pria yang mau memberi komitmen dan perlindungan” (Rata Megawangi, 2001: hal  215)

suami-isteri

Oleh Kholili Hasib, MA*

Pakar Gender, Dr. Ratna Megawangi dalam Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender menyimpulkan risetnya bahwa wanita modern di Barat walaupun ingin mandiri, mendapatkan hak otonomi yang sejajar dengan pria, ternyata mereka tetap mengidolakan seorang  pria yang mau memberi komitmen dan perlindungan (Rata Megawangi, 2001: hal  215).

Saat ini, sering terdengar suaru kaum feminis menggugat minimnya peran perempuan di sektor publik. Perempuan, khususnya di Indonesia, jumlahnya sangat besar. Tapi secara nominal, tingkat   partisipasi di sektor public (ekonomi, sosial politik dan lain-lain)   lebih rendah dibanding jumlah pria. Akhirnya, sesuai tuntutan konsep pembangunan ala United Nasional Development Programe (UNDP), keluarlah konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan  fifty-fifty . Sebagai langkah awal, dimulai dengan tuntutan 30 persen terlebih dahulu.

Muslimah pasti paham benar bahwa antara laki-laki dan perempuan memang berbeda dalam banyak hal. Karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari pun sudah berlaku prinsip pembedaan ini. Di berbagai cabang olahraga, dipisahkan antara kelompok laki-laki dan perempuan. Di bidang transportasi, ada bus dan gerbong KA khusus perempuan. Bahkan, sejumlah tempat perbelanjaan harus menyediakan lokasi parker khusus perempuan.

Dalam Islam, perempuan diberi hak dan ruang yang sesuai dengan kodrat atau nurture-nya. Suatu kali, Ummu Salamah — istri Nabi Saw — menanyakan hak para sahabat perempuan seraya berkata: “Wahai Rasulullah Saw, sungguh kaum pria bisa berperang, sementara kita kaum hawa (perempuan) ini tidak. Mereka juga mendapatkan duakali lipat harta warisan dari yang kita dapatkan. Sekiranya kita ini laki-laki niscaya kita juga akan berperang seperti yang mereka lakukan”.

Pernyataan Ummu Salamah tersebut dijawab dengan turunnya surat al-Nisa’: 32 : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagaian kamu lebih dari yang lainnya. Karena bagi pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. Seorang perempuan yang menunaikan kewajibannya seperti memelihara rumah dan kehormatan mereka, taat pada suami dan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga lainnya mendapatkan pahala sepantasnya yang tidak kalah dengan suami mereka yang berperang (Syeikh Nawawi al-Bantani,Tafsir Maroh Labid I, 2006: hal 194).

Sebagian sahabat perempuan mungkin saja sangat meninginkan berjihad di medan seperti para suami. Mereka mengajukan tuntutan jihad, bukan karena tuntutan kesetaraan nominal. Tapi, Nabi Saw memiliki pertimbangan matang bahwa kekuatan tenaga perempuan tidak sama dengan lelaki yang sudah biasa trampil dan kuat di medan jihad. Makanya, hukumnya tidak wajib bagi perempuan. ‘Aisyah r.a pernah bertanya kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah Saw, apakah wanita juga berjihad”? Rasulullah Saw menjawab: “Jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yakni (bisa) dengan haji dan umrah” (HR. Bukhari dalam kitab al-Jihad). Dalam kisah-kisah peperangan, kaum perempuan biasanya memberi minum kepada para pejuang serta merawat luka mereka. Hal ini bukan berarti mempersempit ruang gerak publik perempuan, tetapi Islam telah memberi ruang sendiri – yang pahalanya tidak dibeda-bedakan (QS. Al-Nahl: 97). Masing-masing juga memiliki tanggung jawab sendiri.

Karena itu, Rasulullah Saw pernah berpesan, agar antar pria dan perempuan masing-masing membangun harmonisasi keserasian dalam melaksanakan tugas. Dimana masing-masing memiliki kuasa atas ruang tanggung jawabnya. Rasaulullah Saw bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan dimintakan pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin, dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Dan seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan ia bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim).

Karena itu, Allah Swt tidak membedakan hasil kerja antara perempuan dan laki-laki. Sebagaimana disebut dalam surat Ali Imran: 195: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman) : ‘Sesungguhnya Aku tidak menyianyakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah dari sebagian lainnya”.

Dalam konteks mengerjakan kewajiban dan beribadah, Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Sehingga seorang laki-laki tidak diperkenankan membanggakan diri bahwa dirinya lebih kuat dan lebih mampu dan lebih dekat dengan Allah. Atau Islam melarang seorang laki-laki mencela perempuan dikarenakan kemampuan dirinya lebih dibanding perempuan. Begitu pula sebaliknya. Sebab, Islam telah menghargai kemampuan dan kodrat masing-masing yang sesuai dengan nurture-nya (Su’ad Ibrahim Sholih,Ahkam Ibadatil Mar’ah: 1993, hal 44).

Dalam bidang pekerjaan, Syaikh al-Sya’rawi mengatakan pada hakikatnya tidak dilarang wanita bekerja. Dengan syarat tidak sampai menjatuhkan kodratnya dan mengabaikan kewajiban sebagai istri. Bahkan, Islam memberi membebaskan perempaun janda yang ditinggal suami untuk bekerja jika memiliki tanggungan nafkah keluarga, dimana ia tidak memiliki suami, saudara lelaki untuk memberinya nafkah. Dianjurkan mencari jenis pekerjaan yang sesuai dan memberi manfaat untuk masyarakat (Syaikh al-Sya’rowi,Fiqhul Mar’ah Muslimah, tanpa tahun: hal. 257).

Di zaman Nabi Saw, para wanita juga ada yang pergi berperang. Ada yang berdagang. Asma’ binti Abu Bakar kerap membantu suaminya Zubair bin Awwam pergi ke kebunnya. Namun, ada ketentuan bagi Muslimah yang berkarir di ruang publik. Di antaranya; aman dari fitnah yakni dari hal-hal yang membahayakan diri dari maksiat, mendapat izin atau wali jika suami atau wali mampu memberi nafkah dan jika suami tidak mampu memberi nafkah Muslimah juga boleh, bahkan kata al-Sya’rowi jika tiada seorangpun yang membantu, maka bekerja itu menjadi utama.

Menjadi ibu rumah tangga adalah peran Muslimah. Tapi, jangan lupa, menjalani profesi yang mulia ini (ibu rumah tangga) juga memerlukan ilmu dan ketrampilan yang tinggi. Karena itu, di mana saja, kapan saja, dalam kondisi apa saja, laki-laki dan perempuan wajib mencari ilmu (thalabul ilmi) untuk keselamatan duni akhirat. Suami-istri wajib bekerja sama agar rumah tangganya terwujud menjadi keluarka sakinah, penuh mawaddah wa rahmah.

Tidak patut rumah tangga dibangun di atas konsep persaingan dan perseteruan gender, yang akhirnya menumbuhkan jiwa yang resah dan tali ikatan keluarga yang lemah dan mudah ‘bubrah’. Wallahu a’lam bis showab

Alumni PKU Peneliti Center for Gender Studies (CGS)

Artikel pernah dimuat di rubrik ISLAMIA Republika 18 April 2013

Teologi Perempuan dalam Islam

1
Teologi-Perempuan-dalam-Islam1
Ilustrasi
Teologi-Perempuan-dalam-Islam1
Ilustrasi

Oleh: Fahmi Salim (Wasekjen MIUMI, Dosen Uhamka Jakarta)

Suatu  hari, saat sedang berkumpul bersama para sahabatnya, Rasulullah SAW  didatangi Asma’ binti Yazid al-Anshariyah. Setelah dipersilakan, Asma menyampaikan aspirasinya kepada Rasulullah  SAW, “Demi  Allah  yang jadikan  ayah dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh Muslimah. Tiada satu pun di antara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengan dungi anak-anak kalian. Sementara, kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat berjemaah, shalat Jumat, menengok orang sakit, mengantar  je nazah, bisa haji berulangulang, dan jihad di  jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah, atau berjihad, kami yang jaga harta kalian, menjahit baju kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?”

Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?” “Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat. Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke manapun ia pergi, pahalanya setara dengan apa yang kalian tuntut.” Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah di atas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol 22/420).

Kisah Asma’ itu menunjukkan bahwa sebenarnya tuntutan kesetaraan perempuan dan laki-laki pernah disua rakan kaum wanita pada zaman Rasulullah SAW. Itu bukan khas pada masa modern ini saja. Bedanya, dahulu posisi teologis Islam sudah tuntas, jelas, dan gamblang, diterima dengan ikhlas dan taat. Tapi, sekarang justru digugat, dikaburkan, dan mau dirombak total. Asma’ yang mewakili kaum hawa saat itu merasa puas dan bangga dengan arahan Rasulullah SAW. Kini, sebagian perempuan modern tampak minder dengan ajaran Islam dan mengalami gejala gangguan jiwa inferiority complex saat berhadapan dengan pemikiran Barat yang memuja konsep kesetaraan nominal antara laki-laki dan perempuan.

Posisi teologis Islam yang digariskan oleh Rasulullah SAW  itu sebenarnya berangkat dari worldview Alquran yang bercirikan kedinamisan yang kokoh. Disebut “dinamis” karena sesuai de ngan fitrah dan perkembangan pola pikir manusia yang hanif di setiap waktu dan tempat. Dikatakan “teguh” karena tetap mengakui ada banyak hal yang sifatnya permanen dan tak berubah. Laki-laki dan perempuan memanglah memiliki perbedaan dan persamaan.

Alquran menetapkan prinsip al- Musawah (persamaan) laki-laki  dan perempuan dalam hal-hal berikut. (1) Persamaan dalam hal asal-usul penciptaan manusia (an-Nisa: 1) dan ketundukan pada fitrah tauhid yang berasal dari Allah (ar-Rum: 30). (2) Persamaan dalam hal kemuliaan manusia yang Allah ciptakan dengan segala kelengkapan rezeki-Nya serta potensi ketakwaan kepada Allah (al-Isra: 70 dan al-Hu- jurat: 13).  (3)  Persamaan dalam hal kewajiban beramal saleh dan beribadah (menerima taklif) serta hak pahala yang sama di sisi Allah SWT (Ali Imran: 195, an-Nisa:  124,   an-Nahl: 97,   dan al- Ahzab: 35). (4) Persamaan dalam menerima sanksi jika melanggar hukum Allah dan susila di dunia (al-Maidah: 38 dan an-Nur:  2). (5) Persamaan dan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan dalam menjaga etika dan norma kesusilaan (an-Nur: 30-31). (6)  Persamaan dalam hak amar makruf nahi mungkar kepada  penguasa dalam kehidupan sosial politik keumatan (Ali Imran:104 dan 110 serta at-Taubah: 71).

Alquran tak hanya mengakui hak keagamaan dan sosial kaum wanita, namun juga mengakui hak-hak perempuan dalam bidang ekonomi, seperti kepemilikan pribadi (mahar dan warisan), sewa-menyewa, jual beli, dan semua jenis akad muamalah perempuan diakui secara penuh. Demikian pula dijamin hak-hak mereka untuk belajar dan mengajarkan ilmunya, berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.

Istri-istri  Rasulullah SAW   aktif memobilisasi kaum hawa dalam jihad fi  sabilillah. Khadijah RA  dikenal sebagai pebisnis tangguh yang mendermakan hartanya untuk dakwah. Aisyah RA dikenal keluasan ilmunya sehingga ratusan sahabat berguru kepada beliau dan meriwayatkan hadis Rasul di majelis ilmunya. Demikian pula istri- istri sahabat Nabi. Asma’, putri Abu Bakr RA, berperan penting dalam hijrah Rasul dan ayahnya ke Madinah. Juga putri-putri  Rasul, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah RA, aktif berjihad mendampingi suami-suami mereka, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA. Ruqayah bahkan harus dua kali hijrah bersama Utsman ke Habsyah dan Madinah. Khalifah ‘Umar RA men- gangkat al-Syifa’, seorang perempuan sebagai pengawas pasar Kota Madinah.

Karena visi  Alquran yang memuliakan martabat perempuan itulah maka dalam peradaban Islam lahir tokoh-tokoh wanita hebat, seperti Asma’ binti Abu Bakar, Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Waraqah (imam kaum wanita pada zamannya), Hafsah binti Sirin, Sukainah  binti  al-Husain, Sayidah Nafisah binti Zaid bin al-Hasan (guru Imam Syafi’i), Zubaidah binti Ja’far (istri khalifah Harun al-Rasyid), Rabi’ah al-‘Adawiyah (tokoh sufi), dan lain-lain.

Perbedaan

Selain   menekankan   persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemanusiaan, kemuliaan, dan hak- hak  umum  yang  terkait   langsung dengan posisinya sebagai hamba Allah SWT.   Islam telah membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan dalam sebagian hak dan kewajiban. Itu  dilakukan  sesuai dengan adanya perbedaan kodrati dan alami (nature)  di   antara  keduanya dalam fungsi, peran, dan tanggung jawab.

Syariat  Islam dalam pembedaan antara laki-laki dan perempuan ditetapkan  bukan karena alasan untuk menindas atau menzalimi perempuan, tetapi berdasarkan hikmah dan alasan yang kuat.  Di  antaranya, hak yang diterima masing-masing itu harus sesuai dengan beban dan  tanggung jawab sosial ekonominya di tengah keluarga dan masyarakat, perbedaan fisiologis dan psikologis dalam kendali emosi, dan agar terhindar dari percampuran nasab anak. Di  antara bentuk pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam adalah:

  • Laki-laki wajib bekerja mencari nafkah bagi keluarganya, perempuan boleh bekerja, tapi tidak wajib.
  • Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dengan porsi 2:1.
  • Hak talak di tangan suami (laki-laki)tidak dimiliki oleh istri (perempuan).
  • Perempuan tidak bisa menjadi wali pernikahan.
  • Laki-laki boleh berpoligami, tapi perempuan tidak boleh poliandri.
  • Istri wajib menunggu masa ‘iddah ketika cerai hidup/mati dari suaminya, sementara suami tidak  ada masa ‘iddah karena cerai hidup/mati dari istrinya.
  • Perempuan tidak  boleh menjadi imam shalat dan khatib Jumat.
  • Jika negara diserang, kewajiban jihad diutamakan terlebih dulu kepada laki-laki dan kemudian baru perempuan, dan lain-lain.

Jelasnya, antara laki-laki dan perempuan, baik persamaan maupun pembedaan yang diatur Islam, itu semua berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan bukan hasil konstruksi budaya manusia. Karena itu, konsep Islam bersifat lintas zaman dan  lintas  budaya. Definisi tentang “gender” berikut ini  adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”

Pada masa Rasulullah SAW  hidup, saat wahyu Alquran turun sempurna dan dikukuhkan dalam praktik contoh hidup Rasul sebagai idealitas sosial Islam paripurna,  kaum  perempuan berlomba dalam kebajikan dengan kaum laki-laki untuk meraih kesempurnaan hidup. Namun, sehebat apa pun posisi dan prestasi kaum perempuan pada era tiga kurun terbaik umat Islam (sahabat, tabiin, dan tabi’ tabiin), mereka tidak pernah berpikir untuk memprotes berbagai syariat Islam yang membedakan kewajiban dan hak mereka mereka dari kaum laki-laki. Apalagi,  sampai  dengan  lantang bersuara bahwa syariat Islam itu bias laki-laki, patriarkis, dan merugikan perempuan, sebagaimana nyaring dis- uarakan sebagian kalangan perempuan modern saat ini.

Tidak ada tokoh perempuan, seperti Aisyah Ummul Mu’minin, Ummu Sala- mah, Al-Syifa’, dan sederet nama Mus-

limah terkemuka lainnya, yang memberanikan diri, misalnya, untuk memimpin ibadah Jumat sebagai khatib dan imam—sebagaimana dilakukan oleh Prof Aminah Wadud dan  pendukungnya. Atau, mereka menuntut jatah warisan sebagai seorang anak perempuan yang sama rata dengan saudara kandung laki- lakinya. Bahkan, saat Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia, selama ratusan tahun, tak terdengar pula ada yang menggugat syariat Islam dengan alasan perkembangan zaman dan kemajuan.

Prof Dr Yusuf al-Qarhawi menulis, “Kaum sekuler-liberal inginkan umat Islam memandang sesuatu dengan kacamata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berpikir dengan framework Barat sehingga apa saja yang bagus menurut Barat maka baik menurut Allah, dan apa saja yang dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut Allah. Mereka hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep Barat tentang sekularisme, dan berbagai teori Barat di  bidang hukum, sosial, politik, bahasa, dan kebudayaan!” (Dirasah fi Fiqh Maqashid Syari’ah: 2007,  hlm 96). Wallahu a’lam bish shawab.

 Artikel ini telah dimuat di: Republika Kamis, 18 April 2013

Hijab Indonesia: Sejarah yang Terlupakan

9

Oleh: Sarah Mantovani

Jika kita diminta menyebutkan siapa saja pejuang Muslimah Indonesia, dengan mudahnya kita sebutkan nama-nama seperti Raden Ajeng Dewi Sartika, Rohana Kudus, Cut Mutia atau Raden Ajeng Kartini, tapi ketika kita diminta menyebutkan siapa pejuang Muslimah Indonesia yang berjilbab? Mungkin jawaban kita hanyalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said, pejuang Muslimah asal Minang yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta.

Padahal, kalau kita mau mengkaji sejarah lebih dalam lagi kita akan menemukan nama-nama selain H.R Rasuna Said seperti Teungku Fakinah, Cut Nyak Dhien, Sri Sultanah Ratu Nihrasyiah

Rahmah El Yunusiyyah
Rahmah El Yunusiyyah

Rawangsa Khadiyu, Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Ta’jul Alam Shah Johan Berdaulat dan Ratu Zakiatuddin Inayat Syah dari Aceh, Nyai Achmad Dahlan pendiri Nasyiatul Aisyiah Muhammadiyah dan Rahmah El Yunusiyyah mujahidah asal Minang yang membidani lahirnya TNI. Mereka ini adalah pejuang Muslimah pada masanya dan berjuang dengan hijabnya.

 

Selama ini seringkali kita dengar pula, hijab dan jilbab hanya dianggap sebagai budaya Arab dan bukan identitas Muslimah Indonesia ataupun warisan asli Nusantara yang diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Ternyata fakta sejarah tidak menunjukkan demikian, hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia sejak berabad-abad yang lalu, meski pada awalnya hanya berupa kerudung yang ditaruh di atas kepala.

Lalu sejak kapan Muslimah Indonesia memakai hijab? Siapa yang pertama kali mempelopori pemakaian hijab di Nusantara? Kenapa masih ada pejuang Muslimah kita yang masih tidak berjilbab? Bagaimana jilbab pada saat itu?.

Identitas Mujahidah

Sejarah mengenai lahirnya jilbab dan siapa Muslimah yang pertama kali memakai jilbab di Indonesia belum diketahui secara pasti, ranah mengenai sejarah pasti lahirnya dan perkembangan hijab di Indonesia juga belum banyak tersentuh dan tidak banyak menjadi perhatian para sejarawan, peneliti sejarah ataupun mereka yang mengaku sebagai hijabers dan desainer dari hijab itu sendiri.

sri-ratu-tajul-alam-safiatuddin

Diperkirakan sekitar tahun 1400 M atau 6 abad yang lalu, Sulthanah Sri Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu yang memerintah kerajaan Samudra Pasai hingga tahun 1427 M, Sulthanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam Shah Johan Berdaulat yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1675 M dan Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688 M) sudah berjilbab, meski jilbab mereka terlihat masih belum sempurna dan masih berupa selendang atau kain yang dijadikan sebagai kerudung.

Hal ini terlihat pada lukisan yang dibuat oleh pemerhati Sejarah Aceh sekaligus pelukis kelahiran Aceh Utara, Sayeed Dahlan Al Habsyi. Dalam lukisannya, ia menggambarkan kedua Ratu tersebut (Ratu Nihrasyiah dan Ratu Safiatuddin) memakai baju lengan panjang dengan kerudung.

Buku yang ditulis oleh Sejarawan, Muhammad Ali Hasjmi (A. Hasjmi) berjudul “59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu” halaman 206, memperkuat lukisan Sayeed Dahlan.

Hasjmi menerangkan, dalam tahun 1092 H atau 1681 M (menurut catatan Muham­mad Said tahun 1683 M), rombongan Syarif Mekkah ketika mendapat kesempatan menghadap Sulthanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, keheranan mereka jadi bertambah setelah sebelumnya terkagum-kagum melihat Banda Aceh yang cantik dan permai, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan Agama Islam.

Peneliti Sejarah Islam dari International Islamic University Malaysia (IIUM), Alwi Alatas juga menerangkan hal yang sama, ia menemukan ilustrasi pakaian wanita Aceh yang tertutup rapat.

“Buku Denys Lombard, ‘Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)‘, pada halaman 365 ada ilustrasi ‘an Achein woman‘ yang jilbabnya cukup rapat. Lombard menyebutkan bahwa gambar itu diambil dari naskah Peter Mundy, tahun 1637”, terang Alwi, Jum’at 19/04/2013.

 Sulthanah Nihrasyiah Rawangsa
Sulthanah Nihrasyiah Rawangsa

Pada masa perkembangannya, sekitar tahun 1800-1900 an, kita sudah banyak mendapati Muslimah yang sudah memakai jilbab secara tertutup, seperti Nyai Achmad Dahlan beserta pengurus Nasyiatul Aisiyah Muhammadiyah yang dikuatkan dengan foto-foto mereka dalam buku Api Sejarahnya Ahmad Mansur Suryanegara halaman 422 dan 424.

Sama halnya Cut Nyak Dhien dengan kerudungnya, meski dalam lukisan dan fotonya, ia tidak digambarkan sebagai wanita yang berjilbab, namun dalam foto saat ia ditangkap oleh pihak Belanda menunjukkan Cut Nyak Dhien mengalungkan sebuah selendang di lehernya yang diperkirakan selendang itu berfungsi sebagai kerudung.

Rahmah El Yunusiyyah, yang di dalam foto terlihat sangat menutup auratnya dengan jilbab panjang dan baju yang tidak ketat, bukan hanya sekedar memakai kerudung tetapi benar-benar memakai hijab yang sempurna seperti yang disyariatkan. Begitu pula, Teungku Fakinah seorang mujahidah asal Aceh yang pada tahun 1873 turun dalam peperangan melawan agresi Belanda juga digambarkan sebagai wanita yang berjilbab.

Ada juga orang-orang Sunda yang biasa memakai kerudung putih yang dilipat di atas kepala. Mereka menyebutnya dengan mihramah atau mihram yang awalnya berasal dari bahasa Arab mahramah. (G.F Pijper, Fragmenta Islamica : Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, 1987, hlm. 18).

Kemudian kenapa masih ada Muslimah dan pejuang Muslimah yang tidak berjilbab? Apakah karena memang belum ada kesadaran dari mereka untuk menutupi seluruh auratnya?. Menurut peneliti sejarah Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Muhammad Isa Anshory, M.PI., hal ini dikarenakan masih sangat sulitnya pejuang Muslimah untuk mengakses banyak kitab sedangkan kitab Fikih yang dipakai stagnan (itu-itu saja, red).

“Karena pejuang Muslimah dulu sangat sulit mengakses kitab-kitab, kitab Fikih yang dipakai stagnan, hanya berupa kitab shalat, puasa dan lainnya, tidak seperti sekarang. Dulu Muslimah yg memakai penutup kepala dan kelihatan sedikit rambutnya bahkan sudah dianggap sebagai wanita terbaik pada jaman itu”, terangnya saat mengisi kajian tentang Sejarah Islam Indonesia, Surakarta, Kamis 18/04/2013.

Sehingga, jika menarik dari sejarah dan melihat penggambaran mengenai pakaian muslimah Indonesia pada saat itu, sudah dipastikan hijab merupakan identitas para mujahidah Nusantara.

Revolusi Jilbab

komite kongres perempuan indonesia

Sejarah mengenai jilbab di Indonesia juga tidak terlepas dari sejarah perjuangan untuk menerapkan dan memakainya. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rahmah El Yunusiyyah yang pada tahun 1935 mewakili kaum ibu Sumatera Tengah untuk mengikuti Kongres kaum Perempuan di Batavia.

Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, masih dalam kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia. (Rahmah El Yunusiyyah Mujahidah Tanpa Emansipasi, http://thisisgender.com).

Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa hak kita sebagai Muslimah untuk berhijab pernah dicabut oleh pemerintah pusat. Peristiwa ini berawal dari para siswi berjilbab di SPG Negeri Bandung yang hendak dipisahkan pada lokal khusus, mereka langsung memberontak atas perlakukan diskriminatif terhadap jilbab mereka. Melihat hal ini, ketua MUI Jawa Barat segera turun tangan hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1979.

Kemudian pada tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya berujung pada pelarangan jilbab di sekolah.

Saat itu memang tengah gencar-gencarnya penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Para Muslimah banyak yang hengkang dari studi demi konsisten untuk jalankan syariat. Mereka yang diusir dari sekolah karena jilbabnya, sampai membawa perkara ini ke pengadilan, bahkan, mungkin untuk yang pertama kalinya, keputusan tersebut berujung pada revolusi jilbab dan mengundang protes dari ribuan mahasiswa dan pelajar berjilbab di berbagai kota besar yang turun ke jalan. (Hemdi, Yoli, Ukhti… Hatimu di Jendela Dunia (Sebuah Torehan Wajah Perempuan dan Peristiwa) 2005).

Sejak terjadinya gelombang revolusi tersebut, keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut larangan tentang pemakaian jilbab sebelumnya oleh pemerintah pusat.

Meski sejarah Hijab Indonesia, terutama pra Indonesia merdeka, belum banyak tersentuh tapi sebagai Muslimah Indonesia kita tetap harus mempertahankan syari’at yang sudah diturunkan oleh Allah SWT., terlebih setelah kita kaji lebih dalam, ternyata hijab merupakan identitas asli Muslimah Indonesia.

* Peneliti CGS (the Center for Gender Studies in Islamic  Worldview), Penulis Lepas.

Martabat dan Keterwakilan Perempuan

0

jamaah-putri_1526_l

Oleh: Dr. Dinar Dewi Kania – Peneliti INSISTS

Konon, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik telah memberi angin segar bagi kaum perempuan untuk menyalurkan aspirasinya melalui jalur politik. Kedua undang-undang tersebut telah memberi mandat kepada partai politik untuk melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari daftar caleg yang diusulkan partai politik peserta pemilu.

Namun, agenda feminisme liberal diduga berada di balik kelahiran undang-undang ini dan juga pemberlakuan sanksi terhadap parpol yang tidak mampu memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Pasal 27 ayat 2 huruf b PKPU Nomor 7 Tahun 2013 menyatakan bahwa apabila parpol tidak berhasil memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan maka akan ditolak dan dihapus dari dapil terkait.

Adanya sanksi dalam Peraturan KPU tersebut tidak lepas dari peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam rangka Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di bidang politik dengan penandatanganan nota kesepahaman bersama KPU pada Juli 2012. Nota kesepahaman tersebut dianggap telah sejalan dengan upaya KPP-PA ketika menghadiri sesi persidangan Committee on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) di Markas Besar PBB, New York, pada 11 Juli 2012, yang mengangkat “partisipasi perempuan dalam politik” sebagai topik utama dalam dialog tersebut.

Tujuan utama peningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dapat ditelusuri dari sejarah keterlibatan kaum perempuan di Kongres Amerika Serikat. Dalam sebuah buku yang ditulis berdasarkan penelitian tentang pengaruh keterlibatan perempuan dalam Kongres disebutkan, “They suggest that women’s presence not only reshapes the agenda, but also can slowly begin to regender institutions.” (Debra L Dodson, The Impact of Women in Congress, 2006: 249). Artinya, keterlibatan perempuan di Kongres Amerika bukan hanya untuk membentuk atau meloloskan agenda-agenda perempuan, namun lebih dari itu, secara perlahan mereka berharap dapat melakukan regender terhadap institusi politik—yang memang dalam pandangan kaum feminis – didominasi oleh budaya partiarki dan sarat dengan kepentingan kaum laki-laki.

Seksis dan Antagonis

Walaupun Indonesia telah meratifikasi CEDAW ke dalam UU No 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, tidak berarti Indonesia harus tunduk pada semua aturan internasional tersebut, terutama apabila bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta norma-norma agama yang berlaku. UUD 1945 Pasal 28 (J) memberikan pembatasan bahwa pemenuhan hak-hak seseorang harus menghormati hak kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran sebagai ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir bahwa dengan “memaksa” perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga maka laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam demi “kemajuan bangsa”? Sementara, suami harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di luar kota?

Pakar feminisme, Dr Ratna Megawangi, menulis bahwa agenda feminis mainstream sejak awal abad ke-20 adalah mewujudkan kesetaraan nominal antara laki-laki dan perempuan di ruang publik. Agenda ini bahkan terinspirasi pemikiran Marxis yang memandang peran ibu rumah tangga sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan. Para feminis masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature. Karena itulah, para feminis yakin dapat mewujudkannya melalui perubahan budaya, legislasi, ataupun praktik-praktik pengasuhan anak. (Ratna Mega wangi, Membiarkan Berbeda?, 1999).

Jadi, pokok masalahnya, adalah pemaksaan kuota tertentu bagi perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kancah politik akhirnya lebih mencerminkan sebuah bentuk “keterpaksaan” daripada “kesadaran” yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap eksploitasi dari partai politik yang ingin “memanfaatkan” perempuan dalam rangkamemenuhi kuota yang dipersyaratkan.

Aturan tersebut juga dapat memicu tindakan diskriminasi terhadap kaum laki-laki yang memiliki kapabilitas, namun harus tergusur oleh caleg perempuan yang mungkin kualitasnya jauh lebih rendah guna memenuhi tuntutan kuota. Padahal, dalam ajaran Islam, seorang perempuan yang lemah iman dan berakhlak buruk tidak layak mewakili kepentingan kaumnya. Juga, sebuah penghinaan martabat perempuan bahwa seorang perempuan menduduki jabatan publik atas dasar kuota.

Seharusnya kualifikasi utama dalam memilih wakil rakyat dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini adalah faktor iman, keluhuran akhlak, kapabilitas, serta keikhlasan mengemban misi perjuangan dan bukan dilihat dari jenis kelaminnya. Seorang pria beriman yang meneladani akhlak Rasulullah SAW akan selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan harkat dan martabat laki-laki, perempuan, anak-anak, dan kaum dhuafa.

Tidak ada dalil atau fakta empiris yang menunjukkan bahwa keterwakilan seseorang akan lebih baik jika diwakili sesama jenis kelamin. Bahkan, cara berpikir seksis seperti ini sangat berbahaya sebab sejak awal sudah menciptakan suasana antagonis dan kecurigaan antara laki-laki dan perempuan.

Islam mengajarkan pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang harta, kedudukan, atau jenis kelamin. Allah SWT telah berfirman di surah al-Hujurât ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak, dan perbuatan-perbuatan baiknya.

Islam tidak mengekang kebebasan perempuan dalam menyalurkan pendapatnya terhadap permasalahan politik dan pemerintahan. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah dan para sahabat Nabi dapat ditemukan besarnya kontribusi Muslimah dalam membangun peradaban Islam. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, di Barat, kedudukan perempuan tidak lebih tinggi dari binatang. Dalam salah satu riwayat diceritakan bahwa dahulu ada seorang Muslimah yang berani mengkritik keputusan Khalifah Umar bin Khatab ra, yang melarang perempuan berlebih-lebihan dalam mengambil mahar pernikahan dan membatasinya dengan jumlah tertentu.

Muslimah tersebut secara terbuka mengajukan keberatannya terhadap keputusan Umar dan melafazkan surah an-Nisa ayat 20 sebagai dalil dalam argumentasinya. Umar pun menyimak dengan saksama pandangan perempuan tersebut dan kemudian berkata, “Perempuan ini benar dan Umar telah memutuskan yang salah.”

Menurut Muhamad ‘Ali Hasyimi, kejadian tersebut telah menorehkan tinta emas dalam sejarah di mana seorang perempuan Muslim telah berani mengkritisi seorang pemimpin mulia yang saat itu telah menundukkan Persia dan Romawi di bawah kekuasannya (Syakhshiyatul Mar’ah Al-Muslimah, 2012: 56-57). Sikap berani Muslimah ini bukan lahir dari kebenciannya terhadap kaum laki-laki sebagaimana kaum feminis menjadikan “kemarahan” dan “kebencian” terhadap laki-laki sebagai sumber keberanian ekspresi dirinya. Keberanian Muslimah itu muncul semata-mata karena pemahaman dan kesadarannya terhadap ajaran Islam yang telah memberinya hak dan kebebasan berpendapat, menyeru kepada kebenaran, dan mencegah kemungkaran.

Kaum feminis dikenal piawai dalam mempromosikan gagasan kesetaraan gender melalui eksploitasi kasus-kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh sebagian perempuan. Dalam hal ini, peran media massa sangatlah besar. Hanya dengan mengangkat sejumlah kasus, lalu diambil kesimpulan bahwa kaum perempuan tertindas oleh kaum laki-laki sehingga memerlukan solusi “kesetaraan nominal” dalam lapangan publik.

Karena itulah, dalam suatu draf RUU KKG (Pasal 4 ayat 2) yang sempat beredar dikatakan, “Perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 persen (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga politik, lembaga nonpemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional.”

Cara berpikir “kesetaraan nominal” semacam ini yang perlu dikritisi. Khayalan mereka adalah bahwa jika keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik sudah sama dengan laki-laki maka akan hilanglah diskriminasi terhadap perempuan. Meskipun, negara itu pun bisa dikatakan sudah maju. Tentu saja itu sebuah khayalan. Saat ini, angka keterwakilan perempuan di DPR RI sudah mencapai 18 persen. Memang, angka itu masih di bawah yang seharusnya, yakni 30 persen. Tapi, angka 18 persen itu sudah lebih tinggi dari angka di AS (16,8 persen), Jepang (11,3 persen), Korsel (15,6 persen), dan Malaysia (9,9 persen). Bisa dibandingkan dengan keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda (56,3 persen), Nepal (33,2 persen),Tanzania (36 persen), dan Uganda(34,9 persen). (Sumber: Women in Parliament, November 2011).

Jadi, dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen, negara mana yang mau dicontoh? Wallahu a’lam bish shawab.

Makalah ini telah dimuat dalam ISLAMIA Jurnal Pemikiran Islam Republika, Kamis 18 April 2013.

Kontes Kecantikan dan Ekploitasi Wanita

0

Kontes Kecantikan dan Ekploitasi Wanita

Penyelenggaraan malam puncak ajang Miss World yang rencananya akan di gelar di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor pada bulan September mendatang menuai banyak protes bahkan kecaman dari banyak organisasi masyarakat diberbagai wilayah di Indonesia, khususnya wilayah Jawa Barat sebagai salah satu tempat dimana ajang tersebut akan diselenggarakan.

Diantaranya, kecaman itu datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui pernyataan ketua VII MUI Bogor, Fahrudin Soekarno sebagaimana dikutip dari metrotvnews.com (12/4/2013). Fahrudin memandang ajang Miss World ini tidak sesuai dengan budaya dan karakteristik bangsa Indonesia karena dinilai acara ini cenderung memperlihatkan sisi pornoaksi dan pornografi. Sehingga beliau yang juga mejabat sebagai Ketua Keluarga Muslim Bogor ini menyatakan akan melakukan aksi besar-besaran jika sampai acara ini tetap digelar di Sentul.

Senada dengan pernyataan Fahrudin, Habib Muhsin Alatas Ketua Bidang Dakwah dan Lintas Agama DPP Front Pembela Islam (FPI) menyatakan penolakannya secara tegas atas rencana diselenggarakannya Miss World di Bogor. Baginya jika alasannya adalah untuk mempromosikan Jakarta dan Indonesia, itu kurang tepat, “kalau mempromosikan itu ya keberhasilan pembangunan, keberhasilan pemberantasan korupsi, bukan promosi mengumbar aurat wanita.” Jelasnya sebagaimana dilansir itoday.co.id (4/10/2012). Ia juga menambahkan, jika kontes ini dilangsungkan itu sama saja dengan melanggar konstitusi karena di era Soeharto dulu ada Keppres yang melarang pengiriman wanita mengikuti kontes kecantikan dunia, yang hingga sekarang Keppres itu belum dicabut.

Penolakan juga datang dari Yunahar Ilyas, ketua PP Muhammadiyah yang menganggap ajang ini sama saja dengan melombakan perempuan dengan penilaian sebatas kecantikan, kecerdasan atau bahkan bentuk tubuh. “Penolakan ini bukan soal bikini saja, tapi melombakan perempuan tidak pantas,” kata Yunahar pada republika.co.id (12/4/2013). Menurutnya, kontes seperti itu tidak pantas dilakukan di tengah masyarakat muslim dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Yang menarik, kecaman dan protes bukan hanya datang dari para tokoh muslim saja, Dr. Daoed Joesoef mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dikenal sebagai tokoh sekular, berdasarkan perbincangannya dengan hidayatullah.com via telepon (9/4/2013) ia mengaku konsisten menolak segala ajang ratu kecantikan sejak menjabat Mendikbud di era Presiden Soeharto. Hal ini didukung oleh tulisan dalam memoarnya yang berjudul Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (2006) yang berisi:

”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori  anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara.” 

Islam sangat melarang kaum wanita untuk mengumbar aurat mereka, ini dinyatakan dengan jelas melalui beberapa ayat dalam Al-Qur’an (Q.S An-Nur: 30-31, QS. Al-Ahzab: 32-33, QS. Al-Ahzab: 59). Disamping itu Islam juga memerintahkan kaum lelaki untuk menjaga pandangan mereka, dalam Qur’an Surah An-Nur ayat 30-31 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Ayat ini pertama kali memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk “Ghaddu ‘l-Bashar” yang secara literal berarti menghindari pandangan. Perintah ini dimaksudkan untuk mengingatkan mereka agar selalu waspada terhadap zina mata. Meskipun dalam ayat ini pula kaum wanita tidak hanya diperintahkan untuk menjaga pandangan mereka melainkan juga menutup aurat demi menjaga kemaluan mereka serta tidak memperlihatkan perhiasan yang mereka kenakan. Menikmati kecantikan dan perhiasan wanita lain atau kaum laki-laki menjadi objek pandangan kaum wanita, bisa menimbulkan akibat-akibat negatif, sebab kenakalan dan tindakan tidak senonoh, biasanya dimulai dari pandangan. Oleh karenanya, pintu ini ditutup dengan Ghaddu ‘l-Bashar.

Beberapa tahun belakangan ini, kegiatan pornografi yang dengan mudah diakses melalui berbagai perangkat media mengakibatkan tingkat kriminalitas yang semakin tinggi. Tidak asing lagi telinga kita diperdengarkan dengan banyaknya kasus pemerkosaan yang dilakukan bukan saja kepada orang lain yang bukan mahramnya bahkan pada yang sesama mahram dan masih mempunyai hubungan darah. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena merambahnya berbagai bentuk tayangan melalui media sosial maupun elektronik yang menampilkan aurat wanita maupun wacana-wacana yang mengarah pada pornografi dan memicu gairah untuk timbulnya pikiran maupun tindakan ke arah pornoaksi.

Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan berjudul “Al-Hijab dan Status Wanita Islam” (Bandung: Risalah. 1984, cet. ke-1) Abul ‘ala Maududi menulis: “terdapat perbedaan psikologis yang halus antara kaum wanita yang memandang kaum pria, dengan kaum pria memandang kaum wanita. Secara alami, kaum laki-laki lebih agresif jika terdapat sesuatu yang menarik hatinya, sehingga timbul dorongan untuk memperolehnya. Sebaliknya, jika kaum wanita tidak dirusak naluri kewanitaannya ia tidak akan bersifat agresif, berani dan tidak kenal takut ketika ia tertarik pada kaum laki-laki.”

Timbulnya berbagai macam kasus pemerkosaan yang menimpa kaum wanita adalah tidak lepas dari sebab dilanggarnya perintah Allah Ta`ala dalam ayat tersebut di atas. Yaitu dalam menahan pandangan terhadap yang diharamkan, dan wanita yang tidak menutup aurat bahkan memperlihatkannya di depan umum. Sehingga menimbulkan nafsu yang akibatnya mendatangkan berbagai macam tindakan yang dilakukan untuk memenuhinya. Dalam buku yang sama dikatakan Ibnu Jabir mengomentari ayat 31 surah an-Nur bahwa Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhum berkata: “Seorang wanita muslim dilarang memperagakan dirinya dan perhiasannya di depan kaum wanita-wanita kafir, lebih-lebih di depan kaum prianya” (Tafsir-Kabir: Komentar atas al-Qur’an, An-Nur: 31)

Menurut Abul ‘Ala Maududi, keinginan wanita bersolek, mengumbar aurat, berdandan, memakai perhiasan merupakan penjelmaan dari keinginan birahi yang mengharapkan pemenuhannya. Sebagaimana tidak bisa ditolaknya di balik gunung api yang tertutup oleh asap, selalu ada tenaga lava yang mencari lubang untuk menyemburkan isi dalamnya. Islam telah mensinyalir adanya kecenderungan seperti ini dan menghindari tumbuhnya kenakalan dan kejahatan.

Dalam konteks ini, memperbolehkan bahkan mendukung perhelatan Miss World dilakukan di negara ini bukan saja berarti membiarkan berlakunya apa yang menjadi larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi juga menghendaki segala akibat dan dampak yang akan terjadi. Ajang ratu kecantikan ini juga akan berdampak pada kaum wanita yang menyandarkan standar kecantikan atau kelebihan dengan standar yang ‘diakui’ dunia itu. Sehingga bukan tidak mungkin mereka berlomba-lomba berpenampilan layaknya sang ratu dunia yang untuk itu segala hal akan dilakukan bahkan dengan cara-cara yang akan mendzalimi dirinya sendiri seperti mengabiskan banyak uang untuk membeli kosmetik maupun perhiasan, diet yang berlebihan, minum obat pelangsing dan lain sebagainya yang bukan tidak mungkin berdampak pada kesehatan jiwa maupun fisik mereka. Masihkah hal ini dilihat membawa banyak manfaat dan dampak positif?

Oleh: Sakinah Fitriyah

Al Khansa radhiyallahu’anha: Wanita Penyabar, Ibu Para Mujahid

0

185805_188564744509287_100000672885439_508298_6825486_n

Ia adalah Al-Khansa’, namun nama sebenarnya adalah Tumadhar binti ‘Amr bin Syuraid bin ‘Ushayyah As-Sulamiyah. Al Khansa’ merupakan seorang sahabat wanita yang mulia dan sangat terkenal sebagai penyair.

Al-Khansa’ wanita yang bijaksana dan cerdas. Semua orang mengetahui kedudukan dan keahliannya yang luar biasa dalam berpuisi. Bahkan, semua sastrawan sepakat bahwa tidak ada wanita yang memiliki kekuatan puisi yang lebih hebat dari Al-Khansa’, baik di masa lalu maupun masa berikutnya.

Selain mahir berpuisi, sebenarnya Al-Khansa’ juga memiliki kepribadian yang sangat kuat, akhlak mulia, pandangan yang tajam, sabar dan berani.

Masuk Islam

Takdir Allah Swt akhirnya menghendaki iman berarak di atas Al-Khansa’ yang kemudian menumpahkan air hujan keimanan ke dalam dadanya, hingga iman menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam dan memberi denyut kehidupan hakiki kepadanya. Al-Khansa’ bangkit dengan menepis debu-debu jahiliyah dan mengusung panji tauhid untuk memberi pelajaran kepada seluruh jagat raya yang tidak akan dilupakan dalam catatan sejarah sepanjang masa.

Al-Khansa’ ikut dalam rombongan kabilahnya, Bani Sulaiman, untuk menemui Nabi Saw. dan menyatakan keislamannya. Al-Khansa’ sangat sedih dan menangisi perjalanan hidup yang telah dilaluinya yang jauh dari cahaya iman dan merasa telah tertinggal begitu jauh dari sekian banyak kebaikan. Untuk itu, ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dan rela mengorbankan apa saja yang dimiliknya demi membela agama yang agung ini.

Keadaannya berubah total setelah ia masuk Islam, ujian yang dialaminya menjadi kesabaran yang didasari iman dan dihiasi oleh takwa, hingga ia tidak lagi merasa sedih ketika kehilangan apa pun dari kenikmatan duniawi ini.

Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Al-Khansa’ turut berangkat bersama keempat puteranya untuk menyertai pasukan tersebut.

Empat putera kandung Al-Khansa’ yang merupakan buah hati dan denyut jantungnya, bergabung dengan pasukan muslim yang ditugaskan menyerang Qadisiyah. Sehari sebelum perang, Al-Khansa’ ra. Menyampaikan beberapa wasiat kepada putera-puteranya,

“Hai Putra-putraku, kalian semua memeluk Islam dengan suka rela dan berhijrah dengan senang hati. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah keturunan dari satu ayah dan satu ibu. Aku tidak pernah merendahkan kehormatan dan merubah garis keturunan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia yang fana.

Putra-putraku, sabarlah, tabahlah, bertahanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Semoga kalian menjadi orang-orang yang beruntung. Jika kalian melihat gendering perang telah ditabuh dan apinya telah berkobar, maka terjunlah ke medan laga dan serbulah pusat kekuatan musuh, pasti kalian akan meraih kemenangan dan kemuliaan, di dalam kehidupan abadi dan kekal selama-lamanya”.

Keesokkan harinya, mereka terjun ke medan laga dengan gagah berani. Jika ada seorang di antara mereka yang semangatnya mulai surut, maka saudara-saudaranya langsung mengingatkannya dengan nasihat Ibunda mereka yang telah tua renta, dengan begitu semangatnya berkobar kembali dan menyerbu musuh seperti singa yang mengamuk. Serangan-serangannya seperti siap melumat musuh-musuh-Nya. Mereka tetap berjuang dengan penuh semangat, hingga satu persatu berguguran menjadi syuhada.

Sebelum jatuh ke tanah dan meraih mati syahid, setiap orang dari putra Al-Khansa’ ra. Itu sempat melantunkan pernyataan yang dirangkai dalam bait-bait puisi:

Putra pertama berkata,

Saudara-saudaraku, wanita tua yang memberi nasihat itu

telah memberi nasihat kepada kita tadi malam

Nasihatnya sangat jelas dan pernyataannya lugas

Kalian akan berhadapan dalam pertempuran

Dengan bala tentara pasukan Sasan (Persia)

Mereka hanya seperti anjing yang melolong

 

Putra kedua berkata,

Sesungguhnya wanita tua itu

yang tekadnya bulat dan tegar itu

Telah menyuruh kita agar tetap teguh dan benar

Itulah nasihat yang menunjukkan kasih sayangnya kepada kita

Maka teruslah berperang dan habisi musuh sebanyak-banyaknya

 

Putra ketiga berkata,

Demi Allah, kita tidak akan melanggar sedikit pun nasihat wanita tua

Karena itu nasihat dan bukti kasih sayang yang tulus dan lembut

Kobarkan semangat perang dan serbulah pasukan musuh

Hingga kalian berhasil melumat pasukan Kisra habis-habisan

 

Putra keempat berkata,

Aku tidak pantas menjadi anak Al-Khansa’ dan Akhram

Aku tidak pantas menjadi orang terhormat yang membanggakan

Jika tidak berada di garis depan pasukan melawan pasukan ‘Ajam

Menyerbu tanpa rasa gentar dan melibas setiap rintangan

Ketika sang Ibunda mendengar berita kematian empat puteranya dalam hari yang sama, ia sama sekali tidak menampar pipi sendiri dan tidak pula merobek pakaiannya, melainkan menerima berita duka itu dengan penuh keimanan dan kesabaran.

“Alhamdulillah yang telah memberiku kemuliaan dengan kematian mereka. Aku berharap, Allah akan mengumpulkanku dengan mereka di tempat limpahan kasih sayang-Nya”, harap Al-Khansa’.

Di masa jahiliyah, Al-Khansa’ ra. Memenuhi dunia dengan tangisan dan keluh kesah atas kematian saudara kandungannya, Shakhr. Setelah ditempa oleh Islam dengan luar biasa ia sanggup merelakan empat putera kandungnya sendiri untuk meraih mati syahid dalam perang Qadisiyyah.

Ia begitu tulus dan tabah dengan pengorbanan besarnya itu demi meraih anugrah menjadi penghuni surga, karena Rasulullah Saw. pernah bersabda,

“Siapa yang merelakan tiga orang putra kandungnya (meninggal dunia), maka dia akan masuk surga. Seorang wanita bertanya, bagaimana jika hanya dua putra?, Rasulullah Saw. kemudian menjawab: ‘begitu juga dua putra”. (Diriwayatkan oleh Nasa’I dan Ibnu Hibban dari Anas radhiyallahu’anhu dalam kitab Al-Albani Shahiihul Jaami’ no 5969).

 Sumber :

Mahmud Al-Mishri, 35 Sirah Nabawiyah : 35 Sahabat Wanita Rasulullah saw., Al-I’tishom, 2012, Jakarta.

Teguh Pramono, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa, Diva Press, 2012, Jogjakarta.

 

Rep : Sarah

Red: Kholili Hasib

Miss World

0

Pada 5 September 2012 lalu, sebuah kontes kecantikan di Cina menuai kontroversi. Pasalnya, juri dianggap menetapkan kriteria fisik yang ‘terlalu ketat’.  Kontes yang diselenggarakan oleh “The Chinese website Model Net (mtw.cc), antara lain mensyaratkan: mulai babak semifinal dan seterusnya, jarak antara dua puting payudara harus di atas 7,8 inci (20 cm). Menurut panitia, kriteria ‘cantik’ itu berdasar pada standar Cina klasik dipadukan dengan hasil riset ilmiah modern.

Banyak pihak mengkritik krtiteria “cantik” dalam kontes ini. Tapi, dalam kontes kecantikan,  yang dinilai dan diukur memang fisik kontestan. Mata, alis, jidat, hidung, bibir, leher, pipi, rambut, payudara, perut, pantat, dan kaki kontestan harus tampak cantik!  Semua anggota tubuh itu harus bisa dilihat dengan jelas dan bisa ‘diukur’ oleh dewan juri.

Tahun 2011, sebuah situs perempuan memberitakan adanya sebuah kontes pemilihan vagina terindah di AS. Kontes itu diberi nama “The Most Beautiful Miss V Contest”, yang diselenggarakan oleh sebuah klub di Portland, Oregon. Kononnya, juri dalam kontes itu terdiri atas enam orang selebriti setempat.  Untuk menentukan pemenangnya, si juri dibekali dengan alat kaca pembesar. Akhirnya, setelah melakukan penelitian dengan cermat, terpilihlah seorang juara yang dianugerahi mahkota dan gelar sebagai “Miss Beautiful Vagina 2011”.

Tampaknya, para pelaku ini berprinsip “Senin untuk seni!” Tidak ada nilai agama dilibatkan. Toh, kontes-kontes semacam ini menghibur, tidak mengganggu orang lain, bahkan menyedot banyak pengunjung. Dus, sangat menguntungkan!

Pada 15 November 2012, sebuah situs hiburan di Indonesia menampilkan judul berita: “Kriteria Miss Indonesia 2013 Ikuti Standar Miss World”.  Salah satu anggota tim juri audisi Miss Indonesia 2013 menyatakan: “Karena ini ajang kecantikan, bagaimanapun yang paling penting adalah fisik perlu diperhatikan, seperti wajah, tinggi badan dan proposional berat tubuh.”

Itulah kontes kecantikan! Agar kontes semacam ini tidak menampakkan eksploitasi tubuh perempuan yang terlalu vulgar – mirip-mirip seleksi ‘binatang sembelihan’ — maka dibuatlah kriteria ‘tambahan’ dengan memasukkan aspek intelektual, seperti wawasan sejarah, pengetahuan umum, dan kemampuan bahasa. Dalam sebuah acara konferensi pers di Jakarta, (19/2/213),   Julia Morley, Chairwoman of Miss World Organization mengatakan: “Mereka semua yang mengikuti ajang Miss World adalah wanita-wanita cantik. Mereka semua bisa menjadi Miss World. Tapi kami memilih peraih gelar Miss World tidak hanya dari wajah cantik saja, tapi sangat penting bagi kami melihat satu di antara mereka yang benar-benar memiliki jiwa sosial yang tinggi.”  (www.okezone.com).

Jadi, ini kontes kecantikan! Sehebat apa pun seorang perempuan; mungkin ia juara olimpiade matematika, pakar ilmu pengetahuan, pekerja sosial hebat, pembela kaum tertindas, penemu vaksin AIDS, dan sebagainya  — tapi tidak cantik, muka cacat bekas luka, ukuran cebol  – harus tahu diri. Menyingkirlah dari kontes ini! Sebab, Anda tidak cantik!

Penipuan!

Kata Lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Konon, pemerintahan Bapak SBY saat ini sedang menggalakkan pendidikan karakter bangsa. Trilyunan rupiah digelontorkan dan ribuan guru dikerahkan untuk mewujudkan generasi berkarakter. Kurikulum baru sedang disusun. Katanya, tujuan Pendidikan membentuk manusia beriman dan bartaqwa dan seterusnya.

Dalam bukunya yang berjudul “Pribadi” (Jakarta: Bulan Bintang. 1982, cet. Ke-10), Prof. Hamka menulis:  “Dua puluh ekor kerbau pedati, yang sama gemuknya dan sama kuatnya, sama pula kepandaiannya menghela pedati, tentu harganya tidak pula berlebih kurang. Tetapi 20 orang manusia yang sama tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama “harganya”, sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga. Bagi manusia, pribadinya.” 

Menurut Hamka, pribadi bukanlah semata-mata terkait dengan kehebatan fisik. Kondisi fisik tentu sangat penting, sebab seorang sulit merealisasikan pribadinya, tanpa fisik yang sehat dan kuat. Dalam bukunya, Hamka menyebut sebelas perkara yang membentuk kepribadian seseorang, yaitu (1) daya penarik, (2) cerdik,  (3) timbang rasa, (4) berani, (5) bijaksana, (6) baik pandangan, (7) tahu diri, (8) kesehatan badan, (9), bijak, (10) percaya pada diri sendiri, dan (12) tenang.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr. Daoed Joesoef, dalam memoarnya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran (2006) tercatat sebagai seorang pengkritik keras berbagai praktik ”kontes kecantikan”.

Ia menulis:   ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, disamping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori  anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara.” 

Menurut Daoed Joesoef, wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. ”Pendek kata kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.” 

Tahun 2013 ini, Indonesia dipilih sebagai tuan rumah kontes Miss World. Acara puncak akan digelar di Sentul, Bogor, 28 September 2013. Berbagai kalangan masyarakat telah menyampaikan keberatan.  Umat Islam diajar oleh Nabi Muhammad SAW: berantaslah kemungkaran dengan tangan! Jika tidak mampu, dengan lisan. Jika tidak mampu juga, ingkarlah dengan hati; bencilah pada kemungkaran! Yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman! Wallahu a’lam. (***)

Oleh: Dr Adian Husaini, (Artikel ini dengan sedikit editing telah dimuat di halaman opini HU Republika, Jumat 12 April 2013).

Sumber: Adianhusaini.com

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now