Home Blog Page 18

Menengok Anak-Anak ber-Ramadhan di Lembaga Pemasyarakatan

0

ThisisGender.Com – Beberapa waktu lalu, reporter thisisgender.com Ummi Suci Adam mengamati kehidupan keagamaan anak-anak di Lapas khusus anak-anak di Tangerang. Di bulan maghfirah ini, mereka mengharapkan ampunan dan keringanan hukuman. Tak heran, geliat membaca al-Qur’an, membaca buku-buku agama, shalat dan ibadah lainnya meningkat di bulan suci ini. Ramadlan tahun ini menjadi harapan besar untuk menapak masa depan mereka yang lebih baik. Bagaimanapun mereka aset bangsa yang harus kita edukasi. Berikut laporannya.

***************

Pernahkah kita membayangkan menghabiskan waktu Ramadhan jauh dari orang-orang yang kita cintai? Jauh dari orang-orang yang kita kenal? Suasana yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikiran kita?

Hal itulah yang saat ini dirasakan oleh anak-anak remaja yang baru saja masuk lembaga pemasyarakatan (lapas) anak lelaki Tangerang. Dan sampai saat ini, mata mereka belum bisa terpejam dengan sempurna. Suara adzan yang berkumandang dari masjid dibelakang lapas, membuat rasa rindu rumah semakin menghentak dada.

Beberapa anak menangis saat menceritakan penyesalan dan rasa rindu pada rumah, orangtua, kakak dan adik. Kesedihan yang mendalam itu, menghapus semua kegarangan yang tampak pada diri mereka. Kasus-kasus menyeramkan yang menyebabkan mereka di penjara pun, seakan sirna.

Anak-anak tahanan baru ini datang dengan berbagai macam kasus. Tertinggi adalah narkoba, perkelahian yang menyebabkan korbannya meninggal, dan perkosaan. Hukuman mereka pun tidaklah ringan, terlama adalah enam tahun, dan yang agak ringan adalah satu tahunan.

Dibalik kesalahan yang mereka lakukan, mereka juga adalah remaja biasa. Yang masih butuh kasih sayang dan perhatian orangtua. Kesalahan yang mereka lakukan, memang patut mendapatkan hukuman yang setimpal. Penebusan atas kesalahan yang mereka lakukan itulah yang membuat mereka mencoba menerima kenyataan ini, walau sangat berat.

Ramadhan bulan seribu bulan, bulan pengampunan. Itulah yang diharapkan oleh anak-anak lapas. Mereka ingin beribadah maksimal. Baik anak-anak lapas yang baru maupun yang lama. Mereka memang menyesal, sangat menyesal. Bulan Ramadhan ini, mereka ingin bertaubat sebenar-benarnya. Berharap agar Allah mengampuni dosa-dosa yang telah mereka lakukan.

Taubatan nasuha. Itulah keinginan mereka. Dan itu betul-betul ingin mereka lakukan. Seorang anak lapas berkata, ia ingin tahun ini bisa mengkhatamkan Al-Quran sebanyak dua kali. Karena tahun lalu ia telah khatam satu kali, maka ia bertekad, tahun ini harus dua kali. Subhanallah…. begitu kuat tekadnya untuk bertaubat… semoga Allah memudahkan.

Memanfaatkan Ramadhan sebagai bulan ampunan pun, dilakukan oleh anak-anak lapas lainnya. Beberapa anak menyendiri dalam satu sel tahanan. Setelah subuh, mereka akan

tadarusan (begitu mereka menyebutnya). Target untuk khatam pun, lebih dari dua kali. Dan ini mereka lakukan tanpa paksaan. Mereka lakukan itu dengan ikhlas dan hanya mengharap ridho Allah.

Tahanan lainnya, walaupun tetap menghabiskan Ramadhan dengan agenda seperti biasa, namun mereka tetap ingin memenuhi bulan Ramadhan dengan ibadah. Ini tampak dari pertanyaan-pertanyaan mereka seputar puasa. Mereka ingin penegasan tentang batalnya puasa, mereka ingin mengurangi kebiasaan-kebiasaan yang membuang waktu , bahkan ada yang meminta dibawakan buku-buku tentang Ramadhan.

Tekad mereka hanya satu. Menjadikan Ramadhan ini yang terbaik. Walau dengan suasana yang sangat jauh berbeda.

“ada disini seperti mimpi. Setiap mata terpejam, ingin rasanya saya terbangun di dalam kamar di rumah. Tapi ini adalah kenyataan yang memang harus saya jalani, harus saya lalui. Saya menyesal. Sungguh menyesal. Saya tidak ingin kembali lagi kesini.”

Ramadhan bagi anak-anak lapas, betul-betul dianggap sebagai bulan penuh ampunan. Mereka berlomba-lomba meraih pahala, berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan.

Kesungguhan mereka sungguh membuat diri terasa kerdil. Begitu kuatnya tekad dan kesungguhan mereka. Dengan segala keterbatasan yang ada. Dengan hati yang selalu menangis, mereka lakukan itu untuk satu hal. Menjadikan ini Ramadhan terbaik.

Semoga kesungguhan mereka dalam menjalani puasa dan tekad mendalami Al-quran dapat menjadi penolong bagi mereka di akhirat kelak. Seperti yang Rasulullah saw katakan “puasa dan Alquran itu akan memberikan syafa’at kepada hamba dihari kiamat….” HR Ahmad & Tabrani.

Lapas adalah perjalanan menata hati. Dari rasa sombong, iri dan dengki. Mereka mungkin tidak menyadari, bahwa merekalah yang memberi pelajaran begitu besar pada orang-orang yang berkunjung. Bukan sebaliknya….

Rep: Ummi Suci

Red: Hasib

Pertama kali, Pasangan Gay Selenggarakan Perkawinanya di Malaysia

0

ThisisGender.Com-Meski Perdana Menteri Najib Razak telah mengatakan dalam pidatonya bahwa perilaku gay, lesbian dan waria adalah bagian dari “budaya menyimpang” yang seharusnya “tidak punya tempat di negara ini.” Tetapi rupanya statement tersebut tidak dihiraukan oleh dua pasangan gay kelahiran Malaysia, Ngeo Boon Lin dan pasangannya yang merupakan keturunan Afrika-Amerika, Phineas III.

Ngeo Boon Lin, seorang pendeta gay etnis Cina yang menikahi pasangan produser musiknya di New York tahun lalu telah memenuhi sumpah untuk mengadakan pesta pernikahan di Malaysia, negara asalnya, mereka percaya bahwa pernikahan tersebut adalah yang pertama kali terjadi di negara mayoritas muslim.

Pada Sabtu lalu, pasangan gay ini mengadakan resepsi tertutup dengan sekitar 200 tamu, termasuk beberapa wartawan berbahasa Cina yang diminta untuk tidak melaporkan acara tersebut sampai acara pernikahan tersebut selesai diadakan.

“Kami bersyukur bisa membuat sejarah baru di Malaysia”, kata kedua pasangan gay tersebut seperti yang dikutip dari alarabiya.net, Selasa (07/08/2012).

Meskipun Ngeo mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang Kristen, tetapi Menteri untuk urusan Islam Malaysia menyuarakan kekhawatirannya pada waktu itu bahwa pernikahan tersebut bisa mempromosikan “ekstrimisme” di antara 28 juta penduduk Malaysia, termasuk Muslim etnis Melayu yang terdiri dari hampir dua pertiga populasi.

Sebuah surat kabar milik partai berkuasa di Malaysia mendesak pemerintah mencegah Ngeo untuk mempromosikan perayaan pernikahan gay yang dilangsungkan di Malaysia.

“Ini hak saya untuk merayakan secara sukacita dengan orang yang saya sayangi,” kata Ngeo pada The Associated Press. “Pemerintah dapat membuat protes, konservatif agama dapat membuat protes, tetapi mereka tidak diterima di sini.”

Pemerintah Malaysia tidak memiliki reaksi langsung terhadap berita acara hari Sabtu.

Kebanyakan gay di Malaysia hidup bebas dari pelecehan langsung oleh pemerintah, dan hukum yang mengatur hukuman penjara 20 tahun untuk kasus sodomi, bahkan konsensual, jarang ditegakkan.

Orang yang paling menonjol dibebankan di bawah hukum itu adalah Anwar Ibrahim, pemimpin oposisi yang dibebaskan tahun ini dari kasus sodomi mantan pembantu laki-laki dalam apa yang ia mengklaim adalah kasus bermotif politik.

Sementara, pemerintah Malaysia tidak merespon terhadap acara tersebut.

Rep: Sarah

Astaghfirullah! Pemuka Agama di Taiwan Legalkan Pernikahan Sesama Jenis

0

ThisisGender.Com – Sabtu, (11/08/2012), dua wanita mengikat simpul di pernikahan sesama jenis pertama di Taiwan. Upacara pernikahan ini dipimpin seorang master Budha. Kelompok penggerak hak LGBT setempat berharap akan membantu membuat pulau ini menjadi tempat pertama di Asia yang melegalkan pernikahan gay.

Fish Huang dan pasangannya You Ya-ting, mengenakan gaun pengantin putih tradisional mengatakan “aku bersedia” di depan sebuah patung Buddha dan bertukar tasbih daripada cincin di sebuah biara di daerah Taoyuan, di utara Taiwan.

Hampir 300 umat Buddha teriakkan sutra untuk mencari berkah bagi kedua pasangan yang berusia 30 tahun ini.

Shih Chao-hui, master Buddha perempuan yang memimpin ritual, menyambutnya sebagai hari bersejarah.

“Kami menyaksikan sejarah. Kedua wanita bersedia untuk berdiri dan memperjuangkan nasib mereka… untuk mengatasi diskriminasi sosial, “kata Shih, advokat terkenal untuk keadilan sosial.

“Beberapa orang mungkin akan terkejut (bahwa seorang wanita melakukan upacara pernikahan sesama jenis), tetapi agama Buddha tidak terlibat dalam perjuangan ideologis dan saya dipakai untuk penampilan aneh dari pengalaman saya sendiri dalam gerakan sosial,” terangnya lagi.

Orang tua pasangan itu telah absen dari upacara, sebuah indikasi menghadapi tekanan beberapa homoseksual dan keluarga mereka.

“Orangtua kami awalnya setuju untuk hadir dan mereka menyesal bahwa mereka tidak bisa berada di sini. Kami memahami bahwa orang memiliki penerimaan yang berbeda dari paparan media dan kami ingin memberi mereka lebih banyak ruang, “kata Huang tidak lama sebelum pernikahan.

Mereka berharap pemerintah Taiwan bisa melegalkan pernikahan sesama jenis segera.

“Kami berharap dengan dukungan master, pernikahan akan mengubah perspektif banyak orang meskipun tidak mengikat secara hukum,” kata pekerja sosial tersebut.

Taiwan adalah negara dengan salah satu budaya masyarakat paling liberal di Asia Timur. Kelompok gay dan lesbian telah mendesak pemerintah selama bertahun-tahun untuk membuat hubungan sesama jenis legal di mata hukum.

Tahun lalu, sekitar 80 pasangan lesbian mengikat simpul di pesta pernikahan sesama jenis terbesar di Taiwan, menarik sekitar 1.000 teman, kerabat dan penonton yang penasaran.

Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk menciptakan kesadaran tentang masalah ini.

Pada tahun 2003, Kabinet Taiwan telah menyusun sebuah RUU kontroversial untuk melegalkan pernikahan sejenis dan memungkinkan pasangan homoseksual untuk mengadopsi anak.

Namun, Presiden Ma Ying-jeou mengatakan konsensus publik diperlukan sebelum pemerintah dapat bergerak maju atas nama hukum.

Awal tahun ini, Kelompok Hak-hak Gay menyusun RUU baru dan mendesak Presiden Ma untuk mendorong undang-undang sebelum masa jabatannya berakhir pada tahun 2016.

Rep: Sarah

Pelajaran dari Anak

0
Irwan Rinaldi

Irwan Rinaldi

Oleh: Irwan Rinaldi*

Suatu hari, di sebuah pertunjukkan yang menampilkan beberapa anak berbakat dari seluruh Indonesia, saya di kejutkan oleh sebuah unjuk kebolehan yang mencengangkan dari satu di antara peserta. Usianya baru urgen tahun. Namun, kelancaran bicara, kepercayaan diri, dan kefasihannya dalam mengungkapkan hikmah, sangat menakjubkan.

Tiba-tiba, dia menatap saya dengan dua bola matanya yang bersih, jernih. Lama, dia terdiam seperti sedang mengumpulkan sebuah urge yang besar.

Saya diam. Terus terang di antara sekian banyak hal yang membuat saya takjub di dunia ini, satu di antaranya adalah perkataan atau nasihat dari anak kecil. Dalam hati, saya menebak anak mungil ini pasti akan mengatakan sesuatu yang luar biasa.

Benar! Beberapa detik kemudian dia bertanya, “Kakak, boleh aku bertanya?”

Allahu Akbar! Benar, kan? Kemudian, dia terdiam sejenak. Saya semakin deg-degan. Dia sedang mengumpulkan urge yang mungkin jauh lebih besar, batin saya.

“Ada apa, Nak?” Tanya saya pelan. “Bertanyalah, silahkan, Nak!”

“Kakak, aku sering heran.” Katanya dengan tenang. Tenang sekali. Belum pernah rasanya saya menyaksikan anak seusia ini berbicara dengan ketenangan yang sangat tinggi.

“Kenapa banyak sekali di dunia ini orang yang pintar otaknya, tapi tidak pintar hatinya?” tanyanya dengan suara anak yang polos. “Dan kenapa terlalu sedikit orang yang pintar otak, pintar juga hatinya?”.

Kemudian, dia tersenyum manis sekali. Kedua matanya terus mengerjap-ngerjap. Mulutnya yang kecil dan menggemaskan itu terbuka sedikit. Pasti, dia sedang menunggu jawaban dari saya.

Saya tidak mampu berkata-kata. Mulut seperti terkunci rapat-rapat. Amat rapat. Pikiran saya kosong. Sungguh, saya tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan, kemampuan manipulasi sebagai orang dewasa sama sekali hilang.

Tiba-tiba, pikiran saya terbayang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tercinta. Benarlah rupanya, apa yang di sunnahkan Nabi mulia itu. Beliau, sepanjang hidupnya, amat memuliakan anak-anak dan dunianya. Bagi beliau, anak-anak adalah buah kecintaan yang wajib diperlakukan istimewa karena memang istimewa.

Saya ingat sebuah kisah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pertemuan dengan masyarakat. Di dalam pertemuan itu, bercampur antara orang dewasa dan anak-anak.

Sampailah pada jamuan makan dan minum. Makanan dan minuman telah dihidangkan. Seperti lazimnya orang dewasa, semua makanan dan minuman dibagikan secara merata di antara urge mereka saja. Beberapa anak sama sekali tidak dibagi, bahkan ada yang tidak kebagian sama sekali.

Yang mengejutkan adalah, Nabi mulia belum mengizinkan jamuan dimulai. Nabi yang amat kita rindukan ini, tiba-tiba meminta pendapat satu dari golongan anak-anak yang hadir. Semua sahabat terkejut. Mereka tidak menduga bahwa jamuan boleh dimulai hanya lantaran menunggu pendapat anak kecil.

Kemudian, anak kecil itu angkat bicara. Dia mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam jamuan makan-minum ini. Menurut sang Anak, adalah sebuah kezaliman jika urge pembagian minum dan makan hanya beredar di golongan orang dewasa.

Rasulullah terdiam, lalu tersenyum sambil mengiyakan apa yang dikatakan sang Anak. Subhanallah!

Kisah Rasulullah tersebut sangat menakjubkan. Saya seperti terbangun dari sebuah mimpi menakjubkan. Teman di sebelah mengingatkan saya untuk segera menjawab.

Anak ajaib itu masih tetap berdiri dengan badannya yang sudah mulai condong 30 derajat karena terlalu lama menunggu jawaban saya. “Kakak menangis, ya?” tanyanya polos. “Aku, kan, bertanya, bukan menyuruh kakak menangis.”

“Kakak memang menangis, Nak!” jawab saya terbata-bata. “Kakak tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Hanya kakak ingat sebuah pesan Nabi Muhammad saw. Kepada kami, orang dewasa…”

“Apa pesan Nabi, kak?” tanyanya dengan suara yang menggetarkan hati. Saya tak kuasa menahan langkah untuk mendekat padanya. Air mata terus mengalir tak tertahankan. Saya bergegas memeluknya, lalu berbisik.

“Kata Nabi kita, jangan pernah meremehkan anak-anak, karena ribuan bahkan jutaan hikmah, nasihat, dan pelajaran hidup datang dari suara hati anak-anak. Datang dari suara hatimu, Nak…!” kata saya terngungu-ngungu.

Anak cantik itu membulat-bulatkan bola matanya. Aura kebahagiaan tampak berhamburan keluar.

“Jadi, Nabi mencintai anak-anak ya, Kak?” katanya berbisik di daun telinga saya.

Kejadian itu telah berlangsung beberapa hari yang lalu. Namun sekarang, beberapa pertanyaan terus saja memburu pikiran saya, bahkan sampai ketika suatu saat saya shalat di sebuah masjid besar dan bagus.

Saya menyaksikan kezaliman orang dewasa – yang katanya taat beragama – terus berlangsung terhadap anak-anak. Bahkan, di sebuah rumah Allah yang sepanjang waktu lafaz asma-Nya kita sebut-sebut.

Saya menyaksikan, mengapa tak pernah ada satu pun penceramah yang mengawali ceramahnya dengan menyapa anak-anak. Padahal, mungkin separuh dari jamaah masjid itu adalah anak-anak.

Saya terusik, mengapa anak-anak terkadang ditempatkan sebagai terdakwa di setiap peraturan tata tertib shalat berjamaah di masjid? Mengapa harus selalu mereka yang dituduh sebagai biang keributan? Kenapa bukan ayah-ayah mereka yang diingatkan saja, agar menjaga dan mendidik anaknya? Mengapa kita, orang dewasa, beranggapan bahwa urge adalah monopoli kita semata?

Padahal, kata Nabi, hanya tiga perkara yang akan membebaskan kita dari azab kubur. Seperti sabda beliau: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah/ amal jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh(HR. Muslim).

Penulis adalah Pendamping Fathering Skill, aktif melakukan sosialisasi gerakan ayah kembali mengasuh. Pendiri dan pengelola Lembaga Sahabat Ayah”

Aliansi Gerakan Keluarga Kokoh Bermartabat Prihatin Usulan Kondomisasi

0
Aliansi Gerakan Keluarga Kokoh Bermartabat-I

Aliansi Gerakan Keluarga Kokoh Bermartabat-I

ThisisGender.Com-Pengurus PP Wanita Islam bersama dengan perwakilan dari beberapa ormas dan komunitas muslimah menggelar rapat penyempurnaan butir-butir sikap aliansi dan susunan pengurus Aliansi Keluarga Kokoh Bermartabat yang diadakan di Aula komplek DPR, Kalibata, Jakarta, Rabu, (25/07/2012).

Rapat ini diadakan sebagai tindak lanjut dari hasil deklarasi yang pernah diadakan di Wisma Mulia Telkomsel, Sabtu (16/06/2012). Dari hasil deklarasi tersebut, sekitar 30 ormas dan 59 orang yang hadir, termasuk INSISTS (Insititute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) dan CGS (The Center for Gender Studies/Pusat Kajian Gender Perspektif Islam) ikut menandatangani deklarasi Aliansi Keluarga Kokoh Bermartabat.

Nama-nama seperti Elly Risman, M.Psi., Yayasan Kita dan Buah Hati, Khofifah dari Muslimat NU, Nurul Hidayati dari PP Salimah turut tercatat dalam kepengurusan Aliansi Keluarga Kokoh Bermartabat.

Tidak hanya menyempurnakan susunan kepengurusan, tetapi rapat ini diadakan juga untuk merespon keprihatinan bersama atas isu sosialisasi kondom yang pernah dilempar oleh Menkes dan maraknya pergaulan bebas pada anak dan remaja yang saat ini didukung oleh era teknologi.

“Era mereka (anak muda) ini berbeda dengan kami dulu, kalau sekarang ini kan mereka buka internet semaunya, jam berapa saja, apa saja yang disuguhkan disitu, kalau mereka tidak bisa memilah mana yang pantas, kan bahaya, apalagi kalau keluarga tidak ada waktu untuk mendampingi mereka, inilah yang melatarbelakangi kami membentuk aliansi ini”, jelas Prof. Dr. Masyithoh Chusnan, Sekjend Aliansi Keluarga Kokoh Bermartabat kepada ThisisGender.Com, Rabu sore (25/07/2012).

Sementara, siti Zaynab Yusuf dari PP Wanita Islam mengakui tantangan yang dihadapi oleh keluarga Indonesia khususnya keluarga Muslim terhadap anak-anak mereka sangatlah berat. Wacana kondomisasi merupakan ancaman bagi generasi muda.

Untuk itu, maka dibentuklah Aliansi Gerakan Keluarga Kokoh Bermartabat ini. Tujuannya membina generasi muda, mengedukasi keluarga muslim, dan mencegah dari budaya yang merusak.

Pada rapat itu ditegaskan tujuan utamanya yakni untuk mengantisipasi ancaman yang dihadapi oleh keluarga Indonesia saat ini yang sudah mulai rapuh.

“Penting menyelematkan generasi sekarang. Bahaya yang mengancam keluarga kita sekarang sangatlah berat”, ungkap Siti Zaynab Yusuf, perwakilan dari PP Wanita Islam.

Dari keluarga kokoh inilah, Prof. Masyithoh berharap, akan lahir bangsa yang bermartabat, karena bangsa ini didukung oleh institusi keluarga, dari keluarga-keluarga yang kokoh itulah maka bangsa akan kokoh pula.

Rep: Sarah Mantovani

Red: Hasib

Hukum Khitan bagi Wanita

2

ThisisGender.Com-Khitan secara bahasa diambil dari kata  khatana  yang berarti memotong.  Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka.

Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan.  Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.

Hukum Khitan Wanita

Para ulama sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada di dalam Syari’at Islam. (al-Bayan min Al Azhar as-Syarif: 2/18). Tetapi mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya, apakah wajib, sunnah, ataupun hanya anjuran dan suatu kehormatan.

Hal ini disebabkan dalil-dalil yang menerangkan tentang khitan wanita sangat sedikit dan tidak tegas, sehingga memberikan ruangan bagi para ulama untuk berbeda pendapat.  Diantara dalil-dalil tentang khitan wanita adalah sebagai berikut :

Pertama:

Hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima hal yang termasuk fitroh yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.”  [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6297 – Fathul Bari), Muslim (3/257 – Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha’ (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa’i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)].

Bagi yang mewajibkan khitan wanita mengatakan bahwa arti “ fitrah “ dalam hadist di atas perikehidupan yang dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh semua syari’at, atau bisa disebut agama, sehingga menunjukkan kewajiban.

Sebaliknya yang berpendapat sunnah mengatakan bahwa khitan dalam hadist tersebut disebut bersamaan dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga hukumnya-pun menjadi sunnah.
Kedua:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima’-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)” [Hadis shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi’i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 – Al Ihsan)]

Kelompok yang berpendapat wajib mengatakan, bahwa hadist di atas menyebut dua khitan yang bertemu, maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan perempuan yang dikhitan.

Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa khitan – menurut pendapat ini – bagi wanita hukumnya wajib. Sedangkan bagi yang berpendapat khitan wanita adalah sunnah mengatakan bahwa hadist tersebut tidak tegas menyatakan kewajiban khitan bagi perempuan. (Asy Syaukani, Nailul Author : 1/147)

Ketiga:
Hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah (wanita tukang khitan):

اخْفِضِي، وَلا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ

“Apabila engkau mengkhitan wanita potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami.” [Hadis Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)].

“Bagi yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadist di atas derajatnya ‘Hasan’, sedang yang menyatakan sunnah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadist tersebut lemah.

Keempat:
Riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha secara marfu’:

“Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)” [diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/291 – Fathul Bari), Muslim (249 – Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]
Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.

Berkata Imam Ahmad : “Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan” [Tuhfatul Wadud].
Kelima:
“ Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi wanita. “ (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Ini adalah dalil yang digunakan oleh pihak yang mengatakan bahwa khitan wanita bukanlah wajib dan sunnah, akan tetapi kehormatan. Hadist ini dinyatakan lemah karena di dalamnya ada perawi yang bernama Hajaj bin Arthoh.

Dari beberapa hadist di atas, sangat wajar jika para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan wanita. Tapi yang jelas semuanya mengatakan bahwa khitan wanita ada dasarnya di dalam Islam, walaupun harus diakui bahwa sebagian dalilnya masih samar-samar sehingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’.

Perbedaan para ulama di atas di dalam memandang khitan wanita harus disikapi dengan lapang dada, barangkali di dalam perbedaan pendapat tersebut ada hikmahnya, diantaranya bahwa keadaan organ wanita (klitorisnya) antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Bagi yang mempunyai klitoris yang besar dan mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan mebuatnya tidak pernah tenang karena seringnya kena rangsangan dan dikhawatirkan akan menjeremuskannya ke dalam tindakan yang keji seperti berzina, maka bagi wanita tersebut khitan adalah wajib.

Sedang bagi wanita yang klitoris berukuran sedang dan tertutup dengan selaput kulit, maka khitan baginya sunnah karena akan menjadikannya lebih baik dan lebih dicintai oleh suaminya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist diatas, sekaligus akan membersihkan kotoran-kotoran yang berada dibalik klistorisnya.

Adapun wanita yang mempunyai klitoris kecil dan tidak tertutup dengan kulit, maka khitan baginya adalah kehormatan. (Ridho Abdul Hamid, Imta’ul Khilan bi ar-Raddi ‘ala man Ankara al-Khitan, hal. 21-22 )

Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa di Madinah ada seorang wanita yg biasa mengkhitan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya:

أَشِمِّي وَلاَ تَنْهَكِي، فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

“Potonglah tapi jangan dihabiskan karena yang demikian itu lbh terhormat bagi si wanita dan lebih disukai/dicintai oleh suaminya.”

Ada perbedaan pendapat tentang kapan waktu disyariatkan khitan. Jumhur ulama berpendapat tdk ada waktu khusus utk melaksanakan khitan.

Al-Imam Al-Mawardi rahimahullahu menjelaskan untuk melaksanakan khitan ada dua waktu waktu yang wajib dan waktu yang mustahab . Waktu yang wajib adalah ketika seorang anak mencapai baligh sedangkan waktu yang sunnah adalah sebelum baligh. Boleh pula melakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Juga disunnahkan untuk tidak mengakhirkan pelaksanaan khitan dari waktu yang sunnah kecuali karena ada uzur.

Ibnul Mundzir rahimahullahu mengatakan :“Tidak ada larangan yg ditetapkan oleh syariat yg berkenaan dgn waktu pelaksanaan khitan ini juga tdk ada batasan waktu yg menjadi rujukan dlm pelaksanaan khitan tersebut begitu pula sunnah yg harus diikuti. Seluruh waktu diperbolehkan. Tidak boleh melarang sesuatu kecuali dgn hujjah dan kami juga tdk mengetahui ada hujjah bagi orang yg melarang khitan anak kecil pada hari ketujuh.”

Namun Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyebutkan dua hadits yang menunjukkan ada pembatasan waktu khitan:

Pertama: Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ia menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqahi cucu beliau Al-Hasan dan Al-Husain dan mengkhitan kedua pada hari ketujuh.

Kedua: Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Ada tujuh perkara yang sunnah dilakukan pada hari ketujuh seorang bayi yaitu diberi nama dikhitan…”

Kemudian beliau menyatakan bahwa walaupun kedua hadits di atas memiliki kelemahan namun kedua hadits ini saling menguatkan karena makhraj kedua hadits ini berbeda dan tidak ada dalam sanad rawi yang tertuduh berdusta.

Kalangan Syafi’iyyah mengambil hadits ini sehingga mereka menganggap sunnah dilakukan khitan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang anak sebagaimana disebutkan dalam Al-Majmu’ dan selainnya.

Batas tertinggi dilakukan khitan adalah sebelum seorang anak baligh.  Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tidak boleh bagi si wali menunda dilakukan khitan anak sampai si anak melewati masa baligh.”

Lebih afdhal/utama bila khitan ini dilakukan ketika anak masih kecil karena lebih cepat sembuh dan agar si anak tumbuh di atas keadaan yang paling sempurna. Red: Hasib

Penulis adalah seorang Ibu Rumah Tangga berdomisili di Tangerang yang saat ini beraktivitas mengajar private Qur’an dan bahasa Jepang serta mengorganisir kajian “NgajiYuk” yang sudah berdiri sejak 1 Mei 2009.

Jihad Perempuan di Bulan Puasa

0
Sumber Ilustrasi: komikmuslimah.blogspot.com
Sumber Ilustrasi: komikmuslimah.blogspot.com

Oleh: Kholili Hasib

ThisIsGender.Com-Puasa bukan sekedar menahan makan, minum dan berhubungan badan di siang hari. Tapi ada beberapa hal yang harus ditahan untuk bisa menjalani puasa yang sempurna (tamam al-shoum). Puasa yang sempurna adalah puasa dengan menahan anggota-anggota tubuh dari hal-hal yang dimakruhkan. Menjaga mata dari pandangan yang tidak disukai Allah Subhanahu wa ta’ala, menahan lisan dari ucapan-ucapan yang tidak perlu, serta mecegah telinga untuk mendengar hal-hal yang diharamkan Allah Swt (Bidayatul Hidayah, hal. 55).

Melakukan perkara-perkara yang makruh dan haram memang tidak membatalkan puasa. Namun menurut Imam al-Ghazali, hal tersebut dapat mengurangi bahkan membatalkan pahala puasa. Seperti ghibah tidak membatalkan puasa, akan tetapi orang yang melakukan ghibah pahala puasanya akan terkikis.  Mengeluarkan kata-kata yang tidak perlu, juga tidak membatalkan puasa. Namun aktifitas makruh ini mengurangi pahala.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam bersabda: “Ada lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu: berbohong, bergunjing, memfitnah, mengucapkan sumpah palsu, dan memandang dengan nafsu”.

Dalam kehidupan rumah tangga, tantangan itu semakin bertambah. Mencium (qublah) suami atau suami mencium istri ketika bulan puasa hendaknya dihindari. Beberapa ulama’ berpendapat mencium istri atau suami hukumnya makruh. Bila sampai keluar sperma, hukumnya batal (al-Muhadzab fi Fiqh Imam al-Syafi’i, hal. 182). Jika jatuh pada hukum makruh maka pahala puasanya — seperti dijelaskan oleh Imam al-Ghazali — bisa berkurang.

Ekspresi cinta antara suami dan istri sangat dianjurkan. Namun, esensi puasa adalah melatih jiwa untuk mengendalikan syahwat. Ada riwayat dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah mencium ‘Aisyah dalam keadaan berpuasa. Beberapa ulama’ syafi’iyyah dan hanabilah menjelaskan bahwa Nabi ketika mencium istrinya di bulan Ramadhan tidak disertai syahwat. Seperti disebutkan dalam hadis, ‘Aisyah bercerita bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium istrinya sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kita bukan manusia seperti nabi yang paling kuat menahan syahwat. Seorang pasangan suami istri lebih banyak mencium pasangannnya dengan syahwat. Padahal jika sampai syahwat hukumnya haram (al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, hal. 484).

Seorang istri hendaknya pandai-pandai melatih jiwa. Jika ia berhasrat untuk mencium suami sebagai ungkapan kasih-sayang, maka cepat-cepatlah untuk mengalihkan kepada aktifitas lain seperti, memasak, menulis, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika ia tiba-tiba diajak suami berciuman, maka ingatkanlah sang suami dengan bahasa lembut dan sopan. Ajaklah untuk bersama-sama membaca al-Qur’an. Ungkapkan bahwa hal itu bisa dilakukan pada malam harinya.

Selama puasa, istri juga diuji kesabarannya. Dalam kondisi haus dan lapar, ia mendapatkan tugas mengatur rumah. Ketika suami berangkat kerja, misalnya, sang suami memberi amanah untuk menjaga rumah dan anak-anak. Tugas ini tidak ringan dan membutuhkan kejernihan pikiran dan hati untuk bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Dalam kondisi ini, ia dituntut untuk selalu menampakkan keceriaan di hadapan suami.

Meskipun sebenarnya memasak dan mencuci itu tugas suami, namun menurut Syekh Nawawi jika telah disepakati si istri membantu tugas itu dengan mengambil alih, maka sungguh karakter demikian merupakan karakter wanita surga. Suami yang bekerja seharian terkadang tidak memiliki waktu untuk melaksanakan tugas tersebut. Maka istri yang mulia bisa memahami beratnya tugas suami itu dengan membantunya. Derajat yang tinggi di sisi Allah tidak dicapai kecuali dengan jihad, menghilangkan ego dan tulus ikhlas membantu suami.

Di luar interaksi dengan suami, seorang perempuan hendaknya menjaga pergaulan dengan tetangga. Hindari pergunjingan pada saat berkomunikasi. Jika mendengar tetangga sedang menggunjing, ingatkan mereka, namun jika tidak mampu, tinggalkan. Allah Swt berfirman: “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka” (QS. An-Nisā: 140).  Lakukan istigfar dan ingatkan diri bahwa puasa sempurna (tamam) akan diganjar dengan pahala yang besar.

Terkadang perempuan juga tergoda untuk berperilaku konsumtif. Membeli barang dan makanan secara berlebihan. Perbuatan ini dalam padangan Imam al-Ghazali bisa mengurangi pahala puasa. Menu buka puasa sebaiknya tidak berlebihan. Utamakan makanan bergizi, bukan yang memuaskan perut. Jika obsesi kita adalah ‘balas dendam’, memuaskan perut karena selama sehari menahan lapar dan haus, maka nafsu berlebihan kita itu bisa mengurangi pahala puasa. Kata beliau, jika berbuka puasa dengan makanan-makanan yang berlebih dari hari biasanya, maka puasa itu tdk ada faedahnya. Sebab puasa itu hikmahnya menghancurkan ‘racun’ syahwat (Bidayatul Hidayah, hal. 57).

Dalam keadaan haidh, perempuan muslimah bukan berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan berkah pahala puasa. Janganlah momen haidl dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk kembali memanjakan diri. Mereka tetap dapat berkah, dan pahala dengan menahan diri dari hal-hal makruh tersebut. Wanita haidl masih bisa berjihad di bulan ramadlan. Hendaklah ia tetap menahan perkara-perkara yang menghabiskan pahala puasa, meski sedang berhalangan puasa. Dzikir tetap diperbanyak. Membantu suami memasak. Dan jangan lupa, hadiri majelis ilmu. Sebab majelis ilmu memberi asupan ‘gizi spiritual’ untuk hati (qalb) dan akal.

Terkait dengan jihad nafsu dalam puasa, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin membagi orang puasa itu ke dalam tiga tipologi. Pertama, puasanya orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sedangkan hati, adab dan perilaku tidak dijaga. Sehingga kelompok ini hanya memenuhi syarat sahnya puasa. Kita sebagai umat Islam — termasuk para perempuan — tidak dididik untuk terus menjadi awam, tapi Islam agama yang mementingkan ilmu. Oleh sebab itu, kualitas spiritual harus terus ditingkatkan.

Kedua, kelompok khawas, yaitu kelompok yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Lisannya terjaga dari perkataan bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Menjaga dari perbuatan tercela seperti ghibah, namimah (mengadu domba), dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia. Termasuk perbuatan sia-sia adalah mendengar lagu-lagu yang syairnya tidak mengantarkannya pada mengenal kebesaran Allah.

Ketiga, adalah kelompok yang disebut khawasul khawas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Kelompok ini menjadikan ibadah puasa sebagai benar-benar ‘madrash’ mengisi hatinya dengan ingat kepada Allah bukan kepada lainnya.

Perempuan yang shalihah akan berobsesi untuk mendapatkan predikat khawasul khawas. Atau setidaknya masuk dalam tipologi kedua, yaitu predikat  khawas. Hal tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa di zaman ini yang penuh ujian dan fitnah. Untuk itu, perhatikan rambu-rambu; mana kategori haram, mana yang membatalkan pahal puasa, apa saja yang dianggap makruh dan pahami sunnah-sunnah berpuasa. Perhatikan juga bahwa ada hal yang dalam bulan-bulan biasa dianggap halal, bahkan dianjurkan, tetapi pada saat puasa merupakan hal yang makruh dan haram dilakukan. Pantangan ini merupakan riyadlah (melatih jiwa) agar di bulan-bulan berikutnya tidak terpenjara oleh nafsu secara berlebihan.

Jihad nafsu harus dipersenjatai dengan ilmu yang memadai. Tanpanya, hampir pasti kita akan terjebak ke dalam tipuan syetan. Semoga kita semua mendapatkan kemuliaan bulan Ramadhan dan keluar sebagai pemenang sejati.

Pendidikan Ke-ayahan Atasi Permasalahan Generasi Z

0

ThisisGender.Com-Dalam setiap kesempatan, Elly Risman M.Psi. yang merupakan salah satu pendiri dari Yayasan Kita dan Buah Hati, selalu mengingatkan para orangtua terutama para ayah yang membesarkan generasi Z agar memperhatikan pendidikan spiritual anak-anaknya.

Menurut Elly Risman, generasi Z yaitu generasi yang tumbuh di era digital. Dimana anak-anak generasi Z mempunyai karakter yang berbeda dengan generasi lama. Mereka dipengaruhi dan dibesarkan internet dan lebih suka teks daripada berbicara. Di sisi lain, mereka lebih suka curhat di internet bukan kepada orangtuanya sendiri.

“Otak ini akan bersambungan dengan sangat cepat dengan gizi yang baik, kurang gizi anak kita ga bisa lulus SD kata para ahli gizi, kemudian ibu kasih rangsangan yang luar biasa. Artinya, televisi, media, media berbagai macam terutama yang biasa disebut new teknologi, new media seperti hp, mp3 dan sebagainya itu merupakan rangsangan kedua. Jadi gizi yang baik, rangsangan yang baik membuat anak sejuta kali lebih pintar dari kita”, jelas ibu yang akrab disapa Bunda Elly ini kepada para jama’ah yang hadir di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Senin sore (23/07/2012).

Dari situlah, ia ingin agar para orangtua berubah, lebih menerima tantangan dan memahami bahwa anak-anak yang mereka lahirkan adalah generasi teknologi, generasi Z.

“Jadi bagaimana caranya kita harus berubah, harus siap, harus paham, harus menerima tantangan bahwa kita membesarkan generasi Z, lahir tahun 1994, makan dengan internet, belajar dengan internet, bikinnya di situ juga ya, kirim di situ juga, twitter, FB hidup, YM juga hidup, di sini (di kuping) hidup habis pak, iya kan? itu semua menantang mereka multitasking artinya bisa melakukan berbagai hal, cara komunikasinya saja sudah berubah”, jelas ibu tiga putri ini.

Menurutnya, dalam institusi keluarga kata-kata ayah lebih cenderung didengar oleh anak-anaknya.

“Kalau kami pak sudah tiap hari sama anak-anak, satu lagi kami ngomong kelewat panjang karena otak kami otak kanan, kata-kata kami ga begitu didengar oleh anak-anak kita tapi kata-kata bapak, satu kali saja bapak berkata anak akan mengingatnya seumur hidup”, ia mengingatkan.

Ia juga menekankan perlunya pendidikan ke-ayahan dan pendidikan bagi anak laki-laki dengan tujuan untuk mempersiapkan anak laki-laki menjadi imam yang baik dalam keluarganya dan mengatasi anak-anak yang lahir pada generasi Z. ia juga berpendapat bahwa ayah berperan besar dalam membentuk karakter pada diri sang anak.

“Oleh karena itu perlu sekali pendidikan ke-ayahan, karena kata seorang teman saya yang anaknya 10 tahun hafiz Qur’an kuat sekali tokoh ayahnya, dia bilang bapak-bapak itu penentu GBHK (Garis-garis Besar Haluan keluarga). Kami pak, ibu-ibu ini cuma UPT (Unit Pelaksana Teknis), kami ikutin apa yang bapak gariskan tapi kalau kita tidak mementingkan pendidikan anak laki-laki yang bisa menjadi imam lalu bagaimana jadinya keluarga kita?”, tandasnya.

 

Red : Sarah Mantovani

Elly Risman M.Psi : “Indonesia Hampir Jadi Negara Tanpa Ayah”

1

ThisisGender.Com-Pentingnya peran ayah untuk turut serta dalam mendidik anak-anaknya rupanya mendapat perhatian penuh dari psikolog dan pakar pemerhati anak, Elly Risman M.Psi., saat menjadi pengisi acara di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Senin (23/07/2012).

Menurutnya, di antara maraknya kasus anak-anak dan remaja yang bermasalah di negara ini salah satunya karena hilangnya figur ayah dalam rumahnya.

“Apa yang terjadi pada kita dalam pendidikan spiritual anak-anak kita? Dalam pendidikan spiritual dan pendidikan yang lain kita tidak punya antisipasi bahwa anak kita generasi Z, dia menghadapi tantangan yang luar biasa, terancam kerusakan otaknya yang berada di atas alis kanan mata,” tandas perempuan kelahiran Aceh 61 tahun yang lalu ini.

Ia menambahkan, “Dan ini yang penting, kita pingsan, kita tidak tau padahal pendidikan spiritual adalah tulang punggung tetap tegaknya anak supaya tidak terjadi kasus Colorado, tidak terjadi kasus Depok, yang anak umur 14 tahun sudah menjadi pembunuh dan banyak sekali kasus lainnya, di mana anak umur 12 tahun sudah menjadi pelacur dan sebagainya yang kita saksikan sekarang,” ujarnya.

“Kemana ayah ibunya? Apa yang mereka lakukan? Beribu dan berayahkah anak itu?,” tanya wanita yang juga Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati ini kepada para jama’ah yang juga dihadiri oleh HIJMI (Hijab Model Indonesia) sore itu.

Elly juga mengungkapkan bahwa di negara ini telah kehilangan figur kepemimpinannya, terutama dalam struktur terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.

“Persoalan satu lagi adalah, maafkan saya bapak-bapak di sini dan bapak-bapak di rumah, mengapa semua itu terjadi? Karena negara ini hampir negara tanpa ayah,” ungkapnya dengan berapi-api.

Karena itu, ia berharap agar para ayah yang masih disibukkan waktunya dengan bekerja bersedia meluangkan waktu untuk lebih lama dan lebih cepat bertemu anak-anaknya.

“Ini Ramadhan, alangkah baiknya apabila ayah-ayah pulang lebih cepat memanfaatkan malamnya lebih baik dengan anak-anaknya, satu pelukan dan satu ciuman dari ayah.”

Ia berharap, di bulan Ramadhan ini para ayah bisa menunaikan tugasnya  sebagai imam dan kepala keluarga.*

Rep : Sarah Mantovani

Red : Cholis Akbar/Hidayatullah

Berbohong untuk Kebaikan Rumah Tangga, Bolehkah?

1

Oleh : Adil Fathi Abdullah*

 Bohong merupakan perkara yang wajib dihindari oleh kita, tapi tahukah ukhti muslimah bahwa ada bohong yang memang diperbolehkan?.

Humaid bin Abdurrahman bin Auf berkata, dari ibundanya, Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mut’aith, ia adalah wanita yang pertama-tama berhijrah dan membaiat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya ia mendengar Rasul bersabda :

“Kedustaan bukanlah yang digunakan untuk mendamaikan sesama manusia, yang ia mengucapkan kebaikan dan mengembangkan kebaikan”. Ibnu Syihab berkata, “Aku belum pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam member keringanan untuk berbohong kecuali dalam tiga hal, yaitu ketikan perang, mendamaikan orang dan pembicaraan suami kepada istri atau istri kepada suami”. (HR. Bukhori dan Muslim dalam Shahih Muslim Bab Al-Birr wass Shilah wal Adab).

Hadits Nabawi yang pernuh berkah ini berisi anjuran untuk mendamaikan orang, menghilangkan permusuhan, serta memberantas penyebab-penyebabnya. Juga berisi makna-makna yang barangkali tidak terbesit dalam benak banyak orang ketika menukil perkataan orang lain, yang perkataan ini padahal menyakiti orang lain. Ia beranggapan harus menyampaikan apa adanya, kalau sampai mengubahnya ia merasa telah melakukan kedustaan atas orang yang mengatakannya. Padahal dengan begitu, ia telah merusak orang yang seharusnya didamaikan.

Dalam kondisi ini, yang terbaik baginya adalah tidak menyampaikan perkataan buruk yang bisa merusak hubungan sesama manusia. Khususnya antar sesama teman ketika terjadi kesalahpahaman. Bahkan, orang yang melakukan perbuatan ini bisa dianggap sebagai pengadu domba, karena ia merusak hubungan antar manusia dengan menyampaikan kata-kata buruk ini. Yang terbaik, seperti yang ditetapkan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam tadi adalah menyampaikan perkataan yang baik untuk memperbaiki hubungan antara keduanya, walaupun ia harus melakukan kedustaan.

Imam Nawawi ketika menerangkan hadits ini berkata, “…Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari dusta yang dibolehkan, seperti apa itu? Satu kelompok mengatakan, ‘Yaitu kedustaan secara mutlak (benar-benar bohong),’ mereka membolehkan kata-kata yang tidak pernah ada pada kondisi-kondisi yang disebutkan dalam hadits tadi demi maslahat. Mereka juga mengatakan, ‘Dusta tercela adalah yang mengandung unsur bahaya’, mereka berhujjah dengan perkataan Ibrahim ‘alayhissalam, ‘…yang melakukan semua ini adalah (patung) terbesar itu…’ (QS. Al-Anbiya’ : 63), “…Sesungguhnya aku sedang sakit…” (QS. Ash-Shaffat : 89) dan ketika beliau mengatakan (tentang Sarah), “Ini adalah saudariku”. Demikian juga dengan perkataan penyeru Yusuf ‘alayhissalam, “…Wahai rombongan Unta, sesungguhnya kalian adalah pencuri”. (Yusuf : 70).

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim berbohong tentang istri beliau karena khawatir terhadap seorang penguasa bengis. Kemudian beliau berkata kepada Sarah, “Berdoalah kepada Allah, engkau tidak akan tertimpa bahaya”. Akhirnya ia berdoa kepada Allah, dengan ini si penguasa kejam ditenggelamkan sebanyak tiga kali dan ia tidak tertimpa bahaya sedikit pun.

Mereka mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat, ketika ada orang dzalim ingin membunuh orang yang disembunyikan seseorang, orang yang menyembunyikan harus berbohong dengan mengatakan bahwa ia tidak tahu dimana ia berada”.

Sebagian ulama lain berkata, di antaranya Ath-Thabari, “Tidak boleh berbohong, apa pun bentuknya”. Lanjut mereka. “Riwayat yang membolehkan dusta di sini, maksudnya adalah tauriyah (menyamarkan) dan penggunaan kata-kata sindiran. Bukan bohong benar-benar bohong.

Contohnya, seseorang akan berjanji memperlakukan istrinya dengan baik dan membelikan pakaian A, misalnya, tapi dalam hati ia meniatkan ‘…kalau Allah mentakdirkannya’, (tanpa ia ucapkan, red). Intinya, ia mengucapkan kata-kata yang mengandung banyak pengertian, tetapi lawan bicara memahami sesuai yang disenangi hatinya. Jika seseorang hendak mendamaikan manusia, hendaknya menyampaikan perkataan dari pihak pertama kepada pihak kedua dengan kata-kata indah, demikian juga dari pihak kedua kepada pihak pertama, dan hendaknya ia melakukan tauriyah. Begitu juga dalam perang, misalnya mengatakan kepada musuh, “Pemimpin tertinggimu sudah mati”, padahal maksud dia pemimpinnya di zaman dulu. Atau mengatakan besok akan datang bantuan, padahal yang dimaksud adalah makanan atau yang semisal. Nah, samara-samaran mubah seperti ini semuanya diperbolehkan. Mereka menafsirkan kisah Ibrahim dan Yusuf dengan pengertian bahwa itu adalah kata-kata samaran.

Seorang wanita muslimah hendaknya menjauhi perbuatan adu domba di dalam berbagai kesempatan dan kondisi. Hendaknya ia menempuh cara ikhlas dalam mendamaikan dua teman yang sedang bermusuhan, walaupun terpaksa harus berdusta dengan mengatakan kata-kata indah dari pihak pertama kepada pihak kedua, sehingga meluluhkan hati dan mendekatkan jiwa.Yang seperti ini bukanlah dusta, tetapi justru sebuah usaha yang patut dihargai, karena itu dalam rangka memperbaiki hubungan sesama yang merupakan perkara agung. Apalagi hubungan antar wanita, sebab biasanya yang sering bermusuhan adalah wanita, padahal penyebabnya kadang hanya sepele.

Begitu juga dengan istri. Hendaknya ia bersikap baik dalam bergaul dan berbicara dengan suaminya, penuh cinta kasih dan dekat dengannya, walaupun kadang ia terpaksa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya tidak ada kala itu.

Kisah berikut ini bisa menjadi contoh bagi para ukhti muslimah: “Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Gharzah, bahwa ia menggamit tangan Ibnul Arqam dan mengajaknya masuk ke rumah istrinya, “Benarkan? Kamu telah membuatku marah?”.

“Iya”, jawab istrinya.

Setelah keluar, Ibnul Arqam bertanya, “Apa maksudmu melakukan itu di hadapanku?”,

“Manusia banyak menggunjingku karena terlalu sering menceraikan wanita”, jawabnya.

Mendengar berita ini, Umar mengirim utusan untuk memanggil istrinya. Ia pun datang, Umar bertanya, “Mengapa kamu mengatakan kata-kata tadi?”,

“Ia memintaku untuk bersumpah, sehingga aku tidak suka berbohong”, jawabnya.

Umar menanggapi, “Bukan begitu, seharusnya engkau ‘berbohong’ saja dan mengatakan kata-kata yang indah. Sebab tidak semua rumah tangga dibangun atas dasar saling mencintai, tetapi karena hubungan ikatan nasab dan agama Islam” (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Bukhari dalam kitab al-Tarikh).

Jadi berpura-pura baik dalam konteks hubungan suami istri demi kebaikan bersama itu diperintahkan. Sedangkan sikap terus terang yang hanya akan mengundang rasa benci harus dibuang. Bahkan, pura-pura bermanis mulut bisa menciptakan rasa cinta serta menjauhkan kebencian dan ketidaksukaan. Dan berbohong dalam kondisi-kondisi seperti ini diperintahkan. Lain halnya, berdusta untuk menghindari kewajiban suami istri, atau untuk mengambil yang bukan haknya, maka yang seperti ini haram berdasarkan ijmak kaum muslimin. Wallahu’alam bi al-shawab.

*Adil Fathi Abdullah adalah penulis buku-buku Islam, khususnya yang berhubungan dengan masalah Keluarga, Pernikahan dan Perempuan. Tulisannya yang berjudul “Bohong yang Halal” diambil dari bukunya yang berjudul “Min Washayar Rasul lin Nisa’ Ma’asy Syarh wat Tahlil wa ‘Alaqatiha bil waqi’”, terbitan Darul Iman. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul, “Wasiat Rasul Kepada Kaum Wanita”, penerbit al-Qowam-Surakarta, 2003.

Red: Hasib

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now