Home Blog Page 21

Guru Hebat, Lahirkan Generasi Hebat

0

ThisisGender.Com-Pada Ahad lalu (24/06), Muslimah HTI DPD II Jember menyelenggarakan training guru tangguh dengan tema “Guru Hebat, Melahirkan Generasi Hebat”. Bertempat di Aula BKKBN Jember, training ini diawali dengan pemutaran video potret buram pendidikan. Video ini sekaligus pengantar agar para Guru dari berbagai sekolah di daerah Jember tersadarkan akan peran penting mereka dalam mewujudkan pendidikan berkualitas.

Siti Maryam, S.Pd., Guru SMU Muhammadiyah 3 Jember yang menjadi trainer pertama dalam training tersebut menyampaikan rusaknya dunia pendidikan Indonesia saat ini sebagai akibat dari diterapaknnya sistem kapitalis yang menjadikan pendidikan juga makin kapitalis. “Kerusakan tersebut terjadi baik secara sistemik, maupun fungsional”, ungkapnya. Para peserta yang hadir juga sepakat bahwa kerusakan tersebut sebagai akibat dari tidak diterapkannya sistem terbaik dari yang telah menciptakan kita, yaitu sistem Islam.

“Apapun kondisi pendidikan saat ini, butuh adanya perubahan, dan itu bisa dimulai dari sisi peran fungsional seorang guru”, papar Laili Chusnul Ch, SE., yang menjadi trainer kedua dalam acara tersebut. Lebih jauh lagi, ia mengungkapkan bahwa seorang pendidik seperti Guru bisa melahirkan generasi yang hebat apabila Guru tersebut punya 4 “ah”, yaitu himmah (bersungguh-sungguh dan pantang menyerah), amanah (jujur, taat dan bertanggungjawab), jama’ah (bergabung dalam komunitas yang sama-sama peduli dengan perubahan) dan kafa’ah (mampu dalam bidangnya dan mampu membentuk kepribadian Islam siswanya).

Mayoritas Guru yang hadir sepakat butuhnya mereka memahami sistem Islam sehingga bisa menyampaikan kebaikan dan menyerukan perubahan bagi siswa dan yang lainnya.

 

Rep : Muslimah4Khilafah

Red : Sarah Mantovani

MIUMI Serahkan 7500 Suara Penolakan terhadap RUU KKG

0
Ilustrasi

ThisisGender.Com-Dalam rapat dengar pendapat dengan Pimpinan Komisi VIII DPR RI Senin, 18/6 pukul 10 WIB, pimpinan MIUMI (Majelis Intelektual&Ulama Muda Indonesia) beserta para peneliti Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dari berbagai lembaga dan kampus mengadukan keberatan terhadap RUU KKG.

MIUMI menyerahkan 7500 berkas suara penolakan terhadap draft RUU KKG. Ke-7500 suara masyarakat itu disertai dengan identitas yang jelas yang berasal dari berbagai propinsi.

Bachtiar Nasir, Sekjen MIUMI dalam sambutannya di hadapan anggota komisi VIII menyatakan bahwa penolakan MIUMI terhadap paham kesetaraan gender tidak berarti kami menyetujui patriarkisme dan penindasan terhadap perempuan.

Selain menceritakan kronologi respon penolakan MIUMI terhadap draf RUU KKG yang diadakan dalam bentuk kajian-kajian interrnal, tablig akbar, dan riset dengan IPB, UI, UMJ – MIUMI juga menyoroti draf RUU KKG dari sudut hukum dan falsafahnya serta dampak draf KKG terhadap ketahanan institusi keluarga.

Dr. Ir. Euis Sunarti dari IPB dalam paparannya menyatakan bahwa draf RUU KKG bertentangan dengan UU no.52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dr. Fal. Arovah Windiani dr UMJ menyorotinya dari segi pertentangannya dengan Pancasila. Kedua peneliti menyimpulkan, RUU KGG tidak diperlukan karena bertabrakan dengan hukum yang lebih tinggi.

Sementara itu, sekjen MIUMI, Bachtiar Nasir, dalam kesempatan tersebut menghadiahi DPR buku riset berjudul “Indahnya Keserasian Jender dalam Islam” karya pakar gender MIUMI, Henri Shalahuddin MA..

Usaha MIUMI direspon baik oleh komisi VIII DPR-RI. Ahmad Rubaie, anggota komisi VIII dari FPAN, mengaku sangat respek dengan keseriusan MIUMI dalam mengkaji isu Gender dengan publikasi riset, pernyataan sikap dan kajian-kajian ilmiah.

Sikap MIUMI jelas tetap akan menolak draf resmi RUU KKG jika substansinya masih tetap sama dengan draf tidak resmi yang menurut salah satu pimpinan komisi Ibu Chayrunnisa berasal dari rumusan deputi PUU (panitia undang-undang) DPR. Selain itu juga akan terus mengedukasi masyarakat tentang bahayanya paham KKG sebagai wacana atau produk UU.

Rep: Sarah Mantovani

Cerdas Sebelum menikah Untuk Keluarga Sakinah

0

SENSASI (Seminar Sehari Keluarga Sakinah)

Cerdas Sebelum menikah Untuk Keluarga Sakinah

Pembicara:

Syariah

  1. Ust. Qodar Slamet
  2. Ustzh. Umi Ihsan

Psikologi

  1. Inna Muthmainnah, Psi

Kesehatan

  1. dr. Ririn
  2. dr. Wafa

Perencana Keuangan QM Financial

  1. Kaukabus Syarqiyah

Sabtu, 7 Juli 2012
Pukul 07.30-13.00
Aula Pusat Studi Jepang FIB UI, Depok

Hiburan: Gradasi

Tiket: Rp. 60.000
* Dapatkan special price Rp. 50.000 untuk 50 peserta pertama

Id Card, Merchandise, Snack & makan Siang

Tiket Terbatas

Bedah Tuntas RUU KKG – Gender dan Feminisme dalam Prespektif Islam

0

Kajian Publik (Gratis untuk Umum)

Gender dan Feminisme dalam Prespektif Islam
(Bedah Tuntas RUU KKG)

Narasumber:
1. Linda Gumelar* (menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak)
2. ledya Hanifah (Anggota DPR RI)
3. Henry Shalahudin (Peneliti INSIST)
4. Ratu Tatu Sukarsih (Komisi D DPRD Kota Bekasi)
Moderator: Wildan Hasan (Radio Dakta)

Ahad, 24 Juni 2012
Jam 08.00 – 12.00

Aula KH. Noer Ali, Islamic Centre Bekasi
Jln. A. Yani No. 22 Bekasi

CP: @ariadecan 0857 141 35 247

Ummu Salamah: Perempuan Sholihah dengan Kecerdasan yang Mencerdaskan

0
gambar hanya ilustrasi
gambar hanya ilustrasi

Siapa yang tidak kenal Ummu Salamah? Janda terhormat bangsa Arab itu masuk ke rumah tangga Rosululloh, di awal malam sebagai pengantin dan di akhir malam sudah menggiling gandum.

Dia adalah wanita yang suci, berhijab, dan terhormat. Terkenal cerdas, pandai, memiliki pandangan tajam, dan pemahaman yang  mendalam. Namanya Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah. Berasal dari keluarga yang mulia dan terpandang dari Bani Makhzum. Ayahnya adalah seorang tokoh Quraisy yang dikenal sangat dermawan dan pemurah. Hindun adalah sepupu pedang Alloh, Kholid bin Walid. Sekaligus sepupu Abu Jahal bin Hisyam.  Dia termasuk wanita yang pertama kali hijrah. Sebelum menjadi istri Nabi SAW, ia menikah dengan saudaranya yang sholih, Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzum. Pernikahannya dikarunia putra dan putri: Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah.

Dalam Perang Badar, Abu Salamah ra. menjadi salah satu pahlawan. Setahun kemudian, terjadi Perang Uhud dan Abu Salamah terkena anak panah dan mengalami luka yang serius. Namun selang beberapa waktu, pada awal Muharram tahun 4 Hijriah,  Rosululloh menunjuk Abu Salamah untuk memimpin pasukan Sarriyah melawan kabilah Arab yang mencoba menyerang kaum muslimin. Abu Salamah dan pasukannya berhasil membawa kemenangan. Tapi luka saat Perang Uhud kambuh sehingga tak lama setelah itu ia meninggal dunia.

Sebelum meninggal, Abu Salamah berkata pada Ummu Salamah, Jika ia meninggal lebih dulu, maka istrinya diminta menikahlah lagi. Abu Salamah pun berdo’a pada Alloh, jika ia mati maka berilah Ummu Salamah seorang suami yang lebih baik darinya, yang tidak akan membuatnya sedih dan tidak akan menyakitinya. Ketika ia meninggal dunia, Ummu Salamah berkata, “Siapakah yang lebih baik dari Abu Salamah?” Tetapi, tak lama kemudian, setelah selesai ‘iddahnya, Rosululloh datang ke rumahnya dan menyampaikan niat untuk meminang Ummu Salamah melalui keponakannya.  Rosululloh membina rumah tangga dengan Ummu Salamah pada tahun ke-4 Hijriyah.

Perjanjian Hudaibiyah dan Kecerdasan Ummu Salamah yang Menguatkan Kedudukan Suami

Ummu Salamah ra. Pernah terlibat dalam beberapa peristiwa yang menunjukkan kecerdasan pikiranya.  Salah satu peristiwa tersebut terjadi dalam kasus Hudaibiyah. Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam kitab  Al-Ishaabah, “ Ummu Salamah dikenal memiliki paras yang cantik jelita, pikiran yang kuat, dan pandangan yang cerdas. Pandangan yang disampaikan olehnya pada Rosululloh SAW, pada peristiwa Hudaibiyah merupakan bukti yang paling jelas atas kekuatan dan ketajaman pikirannya.

Dalam peristiwa tersebut, terjadi perjanjian damai antara Nabi SAW dan kaum musyrikin Mekkah. Salah satu pasal perjanjian menyatakan bahwa jika ada orang dari kalangan musyrik Mekkah yang datang kepada Nabi (untuk bergabung), maka Nabi harus menolak dan mengembalikannya kepada kaum musyrik. Sebaliknya, jika ada seorang muslim yang ingin bergabung dengan kaum musyrik maka kaum musyrik boleh menerimanya.

Hal ini membuat para sahabat Nabi merasa sangat sedih dan kecewa. Bahkan, Umar bin Khottob memprotes keputusan Rosululloh. Ia menanyakan mengapa pihak muslimin bersedia direndahkan kaum musyrik. Rosululloh hanya menjawab, “Sesungguhnya aku adalah utusan Alloh dan aku tak mungkin mendurhakaiNya. Alloh akan menolongku.” Namun Umar tak puas dengan jawaban tersebut.

Setelah selesai menandatangani perjanjian damai dengan kaum musyrik, Rosululloh berkata kepada para sahabatnya untuk menyembelih hewan kurban dan bercukur rambut. Namun, saat itu tidak ada satupun sahabat yang berdiri dan melaksanakan perintah beliau, padahal Rosul mengulangi perintahnya sebanyak tiga kali. Ketika melihat gejala itu, Rosul masuk kemah dan menemui Ummu Salamah. Beliau menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Ummul Mukminin faham bahwa suaminya sedang membutuhkan masukkan untuk mencari solusi.

Di sinilah Ummu Salamah menggunakan perannya dengan sangat baik. Wanita cerdas dan berpikiran matang ini menyelamatkan para sahabat dari berbuat durhaka kepada Rosululloh. Dia berkata, “Wahai Nabi Alloh, apakah engkau ingin para sahabatmu mengerjakan perintahmu? Keluarlah, dan jangan berbicara dengan siapapun sebelum engkau menyembelih hewan kurbanmu dan memanggil pencukur untuk mencukur rambutmu.”

Perhatikan bahasa Ummu Salamah. Dimulai dengan sebuah pertanyaan agar Rosululloh sempat berfikir sejenak, baru kemudian melanjutkan menyampaikan sarannya. Beliau sangat memahami kondisi psikologis Rosululloh yang siap mengubah sikapnya apabila arah pandangan perempuan (istrinya tersebut) lebih benar. Rosululloh pun mengikuti saran Ummu Salamah. Beliau keluar tanpa bicara dengan siapapun sampai menuntaskan semua yang disarankan istrinya. Ketika para sahabat melihat beliau melakukannya, maka mereka langsung bangkit. Mereka menyembelih hewan kurban masing-masing dan mencukur rambut sesama mereka.

Berkat pandangan Ummul Mukminin, Ummu Salamah,  para sahabat selamat dari bermaksiat kepada Nabi. Dan perjanjian Hudaibiyah berakhir dengan Fathu Mekkah. Kemenangan kaum muslimin.

Sebagian besar perempuan percaya pada pemikiran bahwa musyawarah dan memberikan usul menunjukkan pada perhatian dan kepeduliannya. Inilah salah satu bentuk keteladanan bahwa kecerdasan dan kebijakan seorang Istri dalam menyampaikan pendapat bisa memperbesar keyakinan dan kekuatan suami.

Kecerdasan Ummu Salamah tidak membuatnya merasa lebih hebat dari suaminya sehingga berhak mengambil alih kepemimpinan dalam rumah tangga. Kepandaiannya tidak melemahkan, justru sebaliknya menguatkan kedudukan suaminya. Kepiawaian dan kebijaksanaannya  tak membuatnya lupa diri bahwa ia tetap seorang istri yang peduli dan wajib melindungi martabat suaminya dan keselamatan orang-orang di sekitarnya. Serta, kecerdasannya mendorong suami tercinta agar senantiasa berpikir dan bertindak cerdas untuk kemaslahatan bersama.

Ed: Nunu Karlina

Referensi:

Disarikan dari buku 35 Sirah Shahabiyah. Mahmud Al Mishri, jilid I, hal. 239-249. Al Ithishom. 2011

Thariq Kamal An Nu’aimi, Psikologi Suami Istri, hal. 79 dan 162. Mitra Pustaka. 2011

Hani, Rachmi dan Dua Tugas yang Tidak Biasa

2

Oleh : Ken Andari

 Kisah ini ditulis oleh seorang muslimah yang menjadi saksi sejarah akan dua sahabatnya yang mengemban dua tugas yang tidak biasa. Dimana tanpa memerlukan kesetaraan gender, mereka tetap menjadi muslimah yang hebat. Tidak hanya di mata orang-orang terdekatnya tapi juga di mata Tuhannya.

Jadi mahasiswi, itu biasa. Menikah dan membina keluarga di usia muda, itu pun biasa.

Namun menikah di usia muda, lalu membina keluarga sambil tetap menjalankan tugas sebagai mahasiswi, wah itu baru luar biasa!

Adalah Hani Noor Ilahi dan Rachmi Nurhanifah, dua sahabatku di Jurnal, yang cerdas luar biasa. Sejak pertama mengenal mereka, aku yakin, mereka akan selalu jadi shining star, di manapun dan apapun yang mereka lakukan. Tidak cuma cerdas, sikap mereka juga selalu lebih tenang dan dewasa daripada aku.

Hani aktivis dakwah kampus, dia juga aktif di Badan Perwakilan Mahasiswa Unpad (Univ. Padjadjaran), suka orasi, jago memanah, orang tuanya aktif di kancah politik. Ami, she is a seeker, just like me. Dia akan baca semua buku, ikuti semua diskusi, dan dengarkan opini semua orang. Ami ambil double degree, pendidikan bahasa Inggris di UPI (Gegerkalong) Bandung dan Jurnalistik Fikom Unpad (Jatinangor).

Aku sama sekali tidak mengira bahwa kedua sahabatku yang sedang bersinar-sinarnya itu, kemudian memutuskan untuk menikah di usia muda. Hani menikah pada Agustus 2009, saat itu kami masih semester  5. Kemudian Ami menyusul di awal 2010. Jujur saja, aku memang termasuk cewek yang (dulu masih) berpikiran, ketika kamu menikah, kamu nggak akan sebebas dulu. Jadi aku kaget, khawatir, ngerasa kehilangan, saat mereka memutuskan menikah. Aku nggak mau kalau nanti setelah menikah apalagi punya anak, Hani dan Ami akan mengurangi porsi aktivitas mereka sebagai orang muda, sebagai mahasiswi. Aku nggak mau pendar mereka meredup.

Tapi kemudian, Hani yang terlebih dulu membuktikan bahwa aku salah. Selama hamil, Hani membuktikan ia nggak sedikitpun mengabaikan kuliahnya. Paling sekali-dua kali izin di kuliah pagi, karena morning sickness di trimester pertama. Semakin kehamilannya membesar, Hani jadi makin rajin kuliah. Malah kami yang suka cemas kalau lihat Hani kuliah dari pagi sampai sore, naik tangga pelan-pelan ke lantai tiga. Dan tentu saja, kami juga jadi saksi betapa aktifnya si jabang bayi. Pernah, Hani lagi presentasi di depan kelas, kemudian si bayi sangat aktif sampai perutnya Hani ikut bergerak-gerak. Kontan kami satu kelas tertawa senang, ternyata si bayi senang diajak kuliah!.

Kami kuliah di jurusan jurnalistik, maka tugas-tugas kuliah kami nggak jauh dari liputan dan wawancara. Hani nggak pernah melewatkan itu. Saat hamil 8 bulan, dia masih meliput demonstrasi Hari Buruh Dunia di depan Gedung Sate siang-siang bolong. Wara-wiri dengan kamera dan tripod plus perut besarnya, kami cuma bisa teriak-teriak cemas. Suatu hari kami harus liputan ke Jakarta, dan Hani pun sangat bersemangat menelusuri belantara Jakarta. Ya, naik bus Kopaja! Kami selalu cemas, tapi Hani selalu bilang “Kalo aku kuat, bayiku juga jadi kuat.”

Juni 2010, Fathan Syamil Al-Kautsar lahir dengan normal. Kami, Jurnal 2007 menyambut bahagia kelahiran jagoan jurnal, keponakan pertama kami ini. Hani benar, dia tidak pernah manja selama hamil, makanya pas melahirkan pun prosesnya mudah. Seminggu setelah melahirkan, Hani langsung ikut UAS! Ya ampun, bukannya minta tugas pengganti, dia malah datang ke kampus.

Punya anak, pun tidak menghalangi kuliahnya. Ia membawa Fathan ke kampus, lalu dititipkan ke penitipan anak di Fakultas Ilmu Keperawatan. Hani juga jadi sangat terlatih menulis dan mengetik pake satu tangan, karena tangan yang satunya sambil menggendong atau memegang Fathan.

Seringkali, tanpa diminta, kami dengan senang hati babysitting si Fathan. Atau bergantian menjaganya yang ditidurkan di kursi perpustakaan sementara Bundanya ngetik skripsi. Sekarang Hani udah sampe Bab 3, jauh mendahului aku. Hebat kan? Dia punya semangat dan motivasi lebih untuk lekas menyelesaikan kuliah, tak lain demi suami dan Fathan-nya.

Pertengahan 2011, Ami dinyatakan positif hamil. Padahal kuliah lagi padat-padatnya waktu itu. Trimester pertama dan kedua Ami lalui dengan penuh perjuangan, ia mengalami hiperemesis. Atau bisa dibilang, morning sickness-nya parah. Bahkan tidak cuma morning, tapi hampir sepanjang hari Ami muntah-muntah, tidak ada makanan yang bisa masuk. Dia harus melewati masa-masa sulit dengan tiga kali keluar-masuk rumah sakit. Sampai-sampai berat badannya turun drastis hingga 38 kg (tapi memang dia asalnya imut).

Namun syukurlah, setelah melewati bulan ketujuh, kandungannya semakin kuat. Ami pun bersemangat lagi menata kuliahnya yang sempat ketinggalan. Dia sekarang lebih memfokuskan untuk menyelesaikan studinya di UPI, karena yang di Unpad sudah tinggal job training dan skripsi saja. Sahabatku yang satu ini, meski bisa dibilang punya kesibukan dan tugas yang lebih daripada kami mahasiswa biasa (yang tidak ambil double degree), tidak sekalipun aku mendengar Ami mengeluh. Dia menjalani semuanya dengan santai. Begitupun saat tengah hamil. Ami tetap rajin ke kampus. Dia naik tangga ke kelasnya di lantai 5, sekalian olahraga. “Kemarin-kemarin kan Ami sakit, tiduran terus Ken. Makanya sekarang mumpung udah sehat Ami harus banyak bergerak biar bayinya juga kuat,” katanya. Suaminya, mas Darta, yang juga masih berstatus sebagai mahasiswa STSI, mendukung penuh aktivitas Ami. Ia tidak pernah melarang dan membatasi, melainkan melindungi. Begitulah seharusnya suami membiarkan istrinya jadi diri sendiri.

Aku suka menemani Ami di rumahnya. Beli es krim, beli bakso, ngemil coklat, jalan-jalan di sekitaran Jalan Aceh-Jalan Halmahera-GOR Saparua sampai ke Tobucil. Terakhir, berat Ami udah naik jadi 53 kg. Ami sedang menunggu mulas minggu-minggu ini. Bayinya diprediksi akan lahir awal Desember, wow, betapa bahagianya dia! Makin hari terlihat makin segar dan bersemangat.

Tentu butuh perencanaan, manajemen waktu, tenaga, pikiran, dan mood yang lebih stabil untuk menjadi mahasiswi sekaligus (calon) ibu. Saat hamil, kita akan mengalami banyak perubahan fisik yang tidak jarang memicu permasalahan psikis. Tapi kita tidak boleh egois, kita harus pikirkan, bahwa saat ini kita tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan ada si jabang bayi yang hidupnya juga tergantung pada kita. Ada kalanya kita tidak nafsu makan, atau malas makan karena takut tambah gendut, tapi kita harus memikirkan si bayi. Ada kalanya kita sangat malas bergerak dan berolahraga, inginnya tiduran terus, tapi kita juga harus memikirkan dampaknya buat kandungan dan proses kelahiran si bayi kelak.

Itulah yang namanya seorang ibu. Aku teringat apa yang pernah dikatakan Hani saat sedang mengandung Fathan, “Sebentar lagi aku jadi perempuan sempurna, Ken. Sudah jadi istri, sebentar lagi jadi ibu…”.

Dalam hidup, tidak ada yang namanya pengorbanan. Yang ada hanyalah pilihan. Kalau kita mengorbankan sesuatu demi suatu hal yang lain, berarti kita menyesali apa yang kita tinggalkan. Namun ketika kita memilih sesuatu, berarti kita bersiap menghadapi tantangan apapun yang akan ada di jalan yang kita pilih itu.

Hani dan Ami, kedua sahabatku itu memilih untuk menikah, meski masih berstatus sebagai mahasiswi. Tentu bukan keputusan yang main-main, mengingat bahwa dengan menikah kamu bersiap menjadi istri sekaligus ibu. Dengan menjadi seorang istri, berarti kita harus melepaskan hidup kita dari ketergantungan kepada orang tua, dan mempercayakan hidup kita sepenuhnya kepada suami. Dan dengan menjadi seorang ibu, berarti kita harus punya waktu, tenaga, biaya, dan pikiran yang siap kita bagi demi buah hati. Itu jelas bukan suatu pengorbanan. Hanya sebuah pilihan, yang telah mereka yakini dapat membuat hidup mereka lebih baik.

Maka, perempuan sempurna buatku adalah, yang menjalani dengan baik kodrat mereka sebagai istri dan ibu, namun tetap bersemangat mengembangkan potensi dirinya sebagai seorang perempuan. Suatu saat nanti, kalau aku hamil dan berumah tangga, aku akan selalu ingat semangat yang dicontohkan kedua sahabatku, Hani dan Ami. Salutku untuk para (calon) ibu muda yang masih bersemangat kuliah dan beraktivitas!.

 *Alumni Jurnalistik UnPad Bandung.
Sumber: http://kenandari.blogspot.com/2011/12/perempuan-sempurna_05.html 

Feminisme dan Kehancuran Peradaban Manusia

0
ThisisGender.Com
ThisisGender.Com

Oleh: M. Hamdi*

            Faham kesetaraan gender terus gencar diwacanakan oleh kalangan feminis dan para pendukungnya melalui berbagai sarana yang sering kali tampak sangat vulgar, namun lebih sering menghilang dan mengurung diri dalam lingkungan terbatas, seperti pusat-pusat studi wanita, lembaga-lembaga swadaya, organisasi kewanitaan, pelatihan dan workshop, dan lain sebagainya.

Dengan mengusung ide kesetaraan gender, kaum feminis menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang; politik, sosial, ekonomi, bahkan keagamaan. Berbagai kasus pun mencuat, mulai dari tuntutan persamaan hak waris, porsi kursi bagi perempuan di parlemen, pernikahan beda agama secara mutlak, hingga pembenaran hubungan sesama jenis, dan tentu saja masih banyak persoalan lain yang mereka angkat. Jika semua ini dipraktikkan, akan merusak tata peradaban di dalam masyarakat.

Secara umum, terdapat empat aliran feminisme yang selalu menjadi standing of theory aktivis pembela kesetaraan gender. Pertama, Feminisme Liberal yang menekankan pada hak-hak sipil kaum perempuan. Seperti hak atas keputusan seksualitasnya dan hak reproduksi. Kedua, Feminisme Kultural yang lebih mengaitkan pada nilai-nilai kehidupan dengan rasa alami perempuan. Seperti pengasuhan, saling mengasihi, dan segala nilai moral. Ketiga, Feminisme Radikal yang selalu berkeinginan untuk menghapus dominasi laki-laki atas perempuan dengan dasar gendernya. Keempat, Feminisme Sosialis yang selalu menisbatkan penindasan perempuan pada sistem ekonomi dalam bentuk kepemilikan privat dan kapitalis. Namun dari empat aliran ini, inti ide dari feminisme sebenarnya sama, yaitu kehendak bebas dari kekangan gender yang membentuk paradigma inferioritas perempuan, baik dalam struktur keluarga maupun sosial.

Bila diteliti lebih jauh, sesungguhnya gerakan feminisme akan berujung pada hancurnya individu yang berimplikasi pada keruntuhan sebuah peradaban. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan tiga tanda utama hancurnya sebuah peradaban. Pertama, karena pemusatan kekuasaan. Maksudnya ada orang yang memusatkan kekuasaan di tangannya, berarti ia telah mulai  menekan keinginan orang lain dan merusak peranan solidaritas tanpa memperdulikan kesejahteraan orang lain. Lebih dari itu, ia hanya memikirkan dirinya dalam bentuk terus mengumpulkan kekayaan yang pada hakikatnya dimiliki oleh rakyat. Kedua, watak dari penguasa menuntut kepatuhan. Artinya, selalu meminta kepatuhan orang lain untuk dirinya. Menurut Ibn Khaldun, hal ini akan melahirkan sifat pemalas. Dari dua tanda ini, sebenarnya bisa ditarik satu kesalahan dasar, yaitu kesalahan moral individu.

Feminisme menuntut revitalisasi hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki, sehingga melupakan struktur biologis yang dimiliki karena terlalu kencang memperhatikan persamaan gender. Padahal gender terbentuk oleh keadaan fitrah perempuan itu sendiri. Jika anak laki-laki terbiasa memanjat pohon kelapa, itu karena struktur tubuh dan ototnya. Jika anak perempuan terbiasa dengan boneka, itu arena fitrahnya. Saat perempuan ingin menolak stereotype ini, maka perempuan akan menghilangkan fitrahnya, sehingga enggan untuk hamil dan enggan untuk memiliki anak. Jika sudah memiliki anak, ia enggan untuk mengasuh dan lebih berfikir bagaimana menyamakan dirinya dengan laki-laki. Hal ini secara otomatis akan menghapus peran dasar perempuan sebagai “al-madrasah al-ula”.

Jika perempuan telah lupa peran dasarnya, maka masyarakat yang terbentuk darinya akan merasakan imbasnya. Solidaritas masyarakat otomatis akan melemah karena anak yang nantinya menjadi pemuda yang beradab telah menjadi manusia tanpa budi dan tanpa pendidikan akhlak yang baik. Sehingga masyarakat yang ada terbentuk dari sifat-sifat personal yang tercela. Ibn Khaldun menjelaskan, tujuan akhir dari sifat-sifat personal sebagai detail-detail pelengkap adalah kedaulatan. Sedangkan kedaulatan memiliki tujuan akhir solidaritas sosial. Maka solidaritas sosial saja tanpa mempraktekkan sifat terpuji pasti akan membentuk kekurangan dalam banyak hal.

Selaras dengan ini, Prof. Naquib Al-Attas menjelaskan, jika ingin menyelesaikan problem banyak munculnya kepemimpinan palsu, maka haruslah dikoreksi secara efektif ketiadaan adab. Menurutnya, ketiadaan adab akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami.

Sebuah masyarakat juga tak terlepas dari unsur pendidikan. Dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan membuktikannya. Pertama, pendidikan adalah sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Kedua, lebih berorientasi pada individu untuk menyiapkannya sebagai makhluk masa depan. Baik pertama maupun yang kedua, sesungguhnya memiliki sumbangsih yang sama dalam terciptanya sebuah masyarakat yang beradab.

Oleh sebab itu, tidak salah jika mengatakan perempuan adalah citra sebuah peradaban. Islam telah mencantumkan beberapa sosok  perempuan dalam al-Quran dan sejarah. Sebagai contoh; pertama, Maryam alaihissalam yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah) (QS. Al-Muthaffifin: 21). Kedua, Khadijah. Ia merupakan perempuan pertama yang mempercayai ajaran Islam. Ia juga yang selalu menemani Nabi Muhammad Saw. Ketiga, Fatimah Az-Zahra yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan umat sampai mengingatkan para pemimpin masyarakat agar memperhatikan tanggung jawab dan menunaikan tugas-tugasnya. Dan banyak lagi sosok perempuan yang patut dicontoh. Mereka semua adalah citra dari peradaban Islam yang terdepan.

Maka sepatutnya perempuan merenungkan kembali perannya sebagai sekolah pertama yang akan melahirkan generasi penerus bangsa. Jika benar kaum hawa disebuah bangsa, maka akan benar pula masyarakatnya. Bukan justru menjauh dari rumah dan mengesampingkan peran utamanya karena mengejar revitalisasi hak-haknya.

Sebagai penutup dari tulisan ini, perlu untuk ditegaskan sekali lagi bahwa peran perempuan menjadi semakin penting. Generasi yang beradab mungkin akan terbentuk jika orang tua berperan maksimal untuk mendidik anak. Posisi perempuan akan semakin mulia jika bisa berperan maksimal dalam proses mendidik anak. Ungkapan al-umm al-madrasatul ula adalah tradisi dalam kehidupan masyarakat muslim. Apalagi kondisi saat ini, jangankan membentuk generasi beriman dan berilmu, membentuk anak yang saleh sungguh tugas yang berat. Islam sangat mementingkan kehidupan diri dan keluarga. Sementara feminisme, terlalu menekankan partisipasi perempuan yang terlalu aktif dalam kehidupan sosial. Ini akan membewa dampak pada kerapuhan benteng keluarga.

Padahal, ketahanan keluarga adalah keniscayaan. Apalagi lingkungan saat ini sudah terkontaminasi dengan nilai-nilai yang merusak kehidupan agamis. Jika keluarga rapuh, maka akan sulit membentuk generasi yang beradab, yang menjadi tujuan dari kehidupan masyarakat Islam. Feminisme semakin menjauhkan keluarga muslim dari membentuk generasi yang beradab.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana ISID Gontor

ed: Kholili

Gender itu Istilah Transnasional

0

Oleh: Henri Shalahuddin, MIRKH*

Gender isn’t something we are born with, and not something we have, but something we do/something we perform. (West dan Zimmerman1987) (Butler 1990).

Itulah gender. Ia tidak lagi bermakna jenis kelamin biologis, tetapi sudah berganti menjadi makna yang baru sama sekali, yakni jenis kelamin sosial. Seseorang bisa menjadi masculine atau feminine tergantung peran sosial yang dimainkannya.

Istilah “gender” sebenarnya mempunyai pengertian yang beragam dan relatif. Setiap feminis memiliki pandangan pribadi sendiri tentang gender. Kebanyakan kaum feminis memaknai gender sebagai hasil penjabaran sosial tentang jenis kelamin biologis. Mereka menolak pandangan bahwa gender dibangun berdasarkan jenis kelamin biologis, bahkan pandangan ini dianggap melebih-lebihkan perbedaan biologis dan membawa perbedaan tersebut ke dalam domain yang tidak relevan. Menurut kaum feminis, seharusnya tidak ada alasan biologis untuk mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki harus tegas. Maka sebagai hasil konstruksi sosial, gender tidak bersifat alami dan karenanya bersifat lentur dan bisa berubah. (Penelope Eckert and Sally McConnell-Ginet, 2003:10)

Anne Fausto-Sterling menguatkan bahwa definisi tentang kategori biologis “male” dan “female” secara mutlak diputuskan sosial. “Pelabelan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah keputusan sosial. Kita dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk membantu kita membuat keputusan, tapi hanya keyakinan kita tentang gender-tidak dengan ilmu-yang dapat mendefinisikan jenis kelamin kita”, katanya. (Penelope Eckert and Sally McConnell-Ginet, 2003:10-11).

Dalam perkembangannya, istilah teknis ‘gender’ yang telah didefinisikan sebagai konstruksi budaya, belakangan ini secara tajam berlawanan dengan jenis kelamin (sex) sebagai karakteristik biologis sebagaimana diakui Pamela Sue Anderson. (Pamela Sue Anderson, 1998:6).

Dari beragam uraian tentang definisi istilah ”gender” di atas, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan ”gender” sebagai konstruk sosial sarat dengan nilai, ideologi, ambisi dan kepentingan kelompok tertentu. Konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat. Maka kategori biologis male dan female ditentukan secara sosial dari peran yang diambil dari setiap manusia. Namun dalam isu LGBT, gender dihubungkaitkan dengan orientasi seksual yang bersifat temporal dan kondisional. LGBT tidak lagi dikaitkan dengan masalah jenis kelamin (sex) yang bersifat alami dan permanen.

Konsep gender disosialisasikan kepada masyarakat melalui program Pengarusutamaan Gender (PUG). Pengarusutamaan gender merupakan bentuk pemaksaan konsep gender dan ideologi jenis kelamin yang masih bersifat kontroversial kedalam semua lini kehidupan. Sementara budaya lokal dan penafsiran keagamaan (untuk tidak mengatakan agama) sebagai dua faktor penghambat program PUG. Padahal gender sendiri adalah budaya yang sifatnya transnasional dan dipaksakan untuk dikonsumsi bangsa Indonesia.

Wacana kesetaraan gender dan isu diskriminasi terhadap perempuan kerap dihembuskan seiring mempromosikan perempuan untuk berperan di ranah publik. Padahal semestinya berperan di mana pun, boleh jadi merupakan konstruksi sosial sebuah masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Menentukan peran adalah pilihan hidup yang tidak seharusnya dicampuri oleh pihak mana pun. Gender sebagai pemaknaan sosial yang diberikan kepadalaki-laki dan perempuan tidak seharusnya menghilangkan keberagaman kultur dalam masyarakat dengan membentuk satu sistem sosial baru yang harus diikuti oleh semua perempuan lintas bangsa.

Dengan demikian gender sebagai hasil konstruksi sosial yang berdasarkan pada relativisme seharusnya membiarkan berbeda setiap budaya yang dikonstruk oleh masyarakat, selama tidak menimbulkan kerugian mendasar dari salah satu jenis kelamin.

Gender: dari Jenis Kelamin Biologis ke Sosial

 Istilah “Gender” yang diartikan sebagai klasifikasi jenis kelamin yang dikonstruk secara sosial, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1955, seorang seksolog Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dengan usulan beliau, istilah “gender” mengalami perubahan makna dari jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi identitas gender. Sebelum munculnya usulan ini, jarang sekali kata “gender” digunakan melainkan sebagai kategori gramatikal. Namun, pemaknaan kata gender yang diberikan oleh Jhon Money tidak menyebarluas sehingga tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender. (Demography, vol. 31, No. 4)

Dipengaruhi gerakan perempuan, pada tahun 1970-an kaum feminis Amerika menyesuaikan kata “gender” dan menukar maknanya. Para ilmuwan sosial feminis menggunakan “gender” untuk menolak gagasan bahwa perbedaan jenis kelamindalam perilaku, temperamendan intelektual dipandang sebagai alami atau kodrat. (Joanne Meyerowitz, 2008: 1354-5)

Ringkasnya, bahwa pemaknaan ulang kata gender bukan tanpa tujuan dan tidak bebas nilai, tetapi ia juga membawa misi dan agenda tertentu. Maka tujuan di balik pemaknaan ulang istilah ‘gender’ di antaranya untuk: 1) meruntuhkan asumsi bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan lebih ditentukan secara biologis. 2) konsep gender diarahkan untuk menyamai, menyaingi bahkan merebut peran laki-laki di ranah publik maupun domestik. Sebab selama ini perempuan cenderung dikategorikan sebagai simbol yang lemah dan tergantung. 3) konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat.

Penutup

Draf Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender tidak lepas dari ideologi gender yang transnasional. RUU ini tidak berhubungan langsung dengan peningkatan hajat hidup kaum wanita di Indonesia.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam draft RUU KKG belum ada indikasi untuk memperjuangkan hajat hidup kaum wanita yang berkenaan dengan kodrat jenis kelamin biologisnya. Seperti memperjuangkan cuti kerja bergaji minimal setahun, mengharuskan pemerintah pusat dan daerah membangun fasilitas menyusui di mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya. (nursing room for breast feeding mothers), memperjuangkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun, memperjuangkan tersedianya persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, serta memperjuangkan subsidi bagi ibu yang ditinggal mati suaminya, minimal selama masa iddah.

Uraian di atas semoga dapat membuka pikiran komisi VIII DPR RI yang sedang membahas RUU KKG untuk tidak terkesima dengan ideologi transnasional seperti paham kesetaraan gender dan feminisme. Cukuplah peristiwa yang mencoreng komisi VIII DPR RI saat berkunjung di Australia tidak memperburuk citra komisi ini dengan tetap membahas apalagi mengesahkan RUU yang menyesatkan ini. Sebab masih banyak permasalahan bangsa yang membutuhkan penanganan yang lebih serius. Sementara korban ketidakadilan, pemiskinan dan pembodohan tidak saja kaum perempuan. Karena orang dizalimi, menjadi miskin dan bodoh bukan semata-mata karena keperempuanannya. Dan memang kejahatan tidak berjenis kelamin. Pelakunya adalah nafsu keserakahan yang bisa menghinggapi siapa saja. Ia bisa menimpa orang-orang semacam “The Iron Lady” Margaret Thatcher, Miranda Goeltom, Angelina Sondakh, Sherny Konjongiang, Maria Pauline, Nunung Nurbaiti, atau sejenis George Bush, Muhammad Nazaruddin, Sjamsul Nursalim, eddy tansil, dan lain-lain. Akankah UU dan kegiatan pembangunan di Indonesia tetap mengikut konsep seksisme dan ideologi jenis kelamin?!.

*Penulis adalah Peneliti INSISTS bidang Gender

Budi Ashari Lc., Menghidupkan Kembali Parenting Nabawiyah

6

 

“Jangan pernah merasa Beristirahat, sebelum sebelah kaki menginjak surga,” begitulah motto hidup Ustadz Budi Ashari Lc. Kalimat yang diinspirasikan dari jawaban Imam Ahmad terhadap pertanyaan anaknya itu, benar-benar membuat ayah dengan tiga anak ini tak kenal lelah dalam mengejar idealisme ilmu.

Akan tetapi, setelah menamatkan diri di Fakultas Hadis dan Dirosah Islamiyah Universitas Islam Madinah, kegundahan lantas menghampirinya. Bagaimana mungkin banyak keluarga muslim porak-poranda mengidentifikasi konsep keilmuan Barat dalam mengarungi bahtera rumah tangga padahal Islam memiliki konsep yang bisa memutus mata rantai kesalahan itu.

Melihat fenomena ini, ia bersama kawan-kawannya membidani lahirnya sebuah Lembaga Kajian Peradaban Islam yang diberi nama Cahaya Siroh. Siang, sore, bahkan hingga malam, mantan pimred Majalah Ghoib ini setia berbagi dari satu pengajian ke pengajian lainnya untuk memperkenalkan bagaimana Nabi memiliki konsep orisinil tentang parenting.

Lantas bagaimanakah konsep parenting nabawiyah yang beliau telurkan? Apa yang harus dilakukan keluarga muslim di tengah era badai fitnah akhir zaman seperti ini? Kontributor CGS, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi mencoba mewawancarainya, sesaat setelah acara Grand Launching Buku Parenting Nabawiyah di Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut adalah petikannya.

Banyak konsep parenting sekarang beredar, termasuk konsep parenting “Islami”. Lantas apa yang keliru?

Sebenarnya kekeliruan ini tidak hanya terjadi pada konsep parenting, tapi juga di semua bidang seperti pendidikan dan teknologi. Dan ini memang sebuah konsekuensi ketika Islam tidak hadir di semua bidang.

Ilmu selain Islam akan selalu berkutat dalam tiga hal: pertama, dia bisa benar. Kedua, dia benar tapi tidak sempurna, dan ketiga salah total. Dan itu terjadi di konsep parenting. Dia (konsep parenting barat, red.) mungkin benar, dicarikan ayat dan hadisnya juga ketemu. Tapi menurut saya yang betul-betul benar tidak banyak. Banyak konsep parenting yang sekarang beredar ada di poin dua dan tiga itu tadi. Hal itu juga ditunjang dalam penelitian.

Berarti 2/3 dari konsep parenting yang sekarang beredar bermasalah. Kalau begini, bagaimana kita bisa mendapatkan hasil yang terbaik? Pokoknya, ketika ada ayat Al Qur’an dan Hadis ditabrak pasti hasilnya akan salah.

Apa yang membedakan konsep Parenting Nabawiyah dengan yang lainnya?

Sebenarnya ada proses yang dinamakan Islamisasi ilmu. Saat Andalusia sedang berjaya di Eropa, banyak keilmuan Islam diambil dari Eropa dan menjadi literatur Ilmu disana. Bahkan kita ketahui Andalusia kala itu menjadi pusat keilmuan paling bergengsi di dunia sampai-sampai orang Eropa mengenakan pakaian yang menyerupai orang Arab.

Nah, setelah menuntut ilmu di Andalusia, banyak orang Eropa membawa pulang ilmunya. Namun mereka banyak melakukan kecurangan. Sebuah karya ilmiah dari Andalusia kemudian dihapus namanya dan yang paling buruk adalah banyak karya dari Andalusia kemudian ditulis dengan no name (tanpa nama). Itu buruk sekali, padahal itu semua keilmuan dari Islam. Hal itu terus berjalan seiring mereka melakukan plagiatisasi dari ilmu-ilmu Islam. Dan ketika Andalusia terkubur, mereka naik.

Syekh Muhammad Quthb pernah berkata, kalau secara nilai tidak ada satupun yang bisa kita ambil dari Barat. Tapi Barat lebih maju hari ini dalam hal-hal yang sifatnya mendetail.Dalam psikologi misalnya, mereka mencoba mengangkakan jiwa seseorang, maka timbullah konsep IQ dimana kecerdasan bisa diangka-kan. Dari sisi itu kita akui mereka dahsyat. Namun mereka lepas dari dasar-dasar nash.

Oleh karena itu, parenting nabawiyah ingin membalik itu semua. Kita tidak memulai sebuah konsep dari penelitian, tapi jsutru berawal dari Al Qur’an dan Hadis. Suatu saat kita akan membuat penelitian, jika hasil penelitian itu pas dan tidak bertentangan dengan Nash maka kita masukkan. Jika tidak, maka kita tinggalkan.

Berarti Parenting Barat bermula dari Empirisisme?

Kalau kita bicara empirisme, sayangnya banyak orang bilang konsep dari Islam itu tidak empiris. Bagaimana tidak empiris? Wong Islam sudah seribu tahun mempraktekan keilmuannya.

Rasulullah SAW sendiri bagaimana mendidik anak-anaknya?

Ya, jika Allah mengizinkan itulah yang akan kita bahas secara berkelanjutan dan berkala. Tentang bagaimana Nabi mendidik anaknya dan mendidik anak-anak para sahabat. Alhamdulillah banyak para ulama sudah menulis bagaimana konsep pendidikan Nabi. Sayangnya di Indonesia, jika bicara pendidikan Islam tidak pernah jauh dari buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan (Tarbiyatul Aulad/Pendidikan Anak Dalam Islam, red).

Saya sering bilang, buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan adalah sebuah karya ilmiah yang luar biasa. Tapi ketika ada beberapa hal tidak bisa dijawab buku itu, lantas datang kritik terhadap buku Syekh Abdullah Nashih Ulwan, semua orang kemudian menjadi memproteksi. Padahal ada bantahan ilmiah terhadap buku itu tanpa mengurangi kehebatan buku tersebut.

Selain Syekh Abdullah Nashih Ulwan, siapa Ulama yang bisa kita rujuk?

Di Abad 5 Hijriah ada Abu Al Walid Al Baji. Begitu juga dengan Ibnu Qayyim Al Jauzi. Mereka semua menulis tentang anak. Di Kitab Mukaddimah, Ibnu Khaldun juga memuat tentang Pendidikan Anak. Sampai konsep hukuman terhadap anak pun ditulis khusus oleh Ibnu Khaldun. Belakangan kesini, banyak yang menulis tentang pendidikan. Muhammad Quthb salah satu yang ahli dalam menulis tentang pendidikan anak.

Para sahabat adalah orang yang sangat teguh memegang ajaran Islam. Sebenarnya dari mana Rasulullah SAW memulai pendidikannya kepada mereka?

Kalau kita bicara keluarga, Nabi memulai konsepnya sejak memilih pasangan. Dari tempat dijatuhkannya nutfah. Makanya Nabi merasa perlu sekali untuk ikut campur dalam proses pernikahan sahabat. Sehingga Nabi lah yang secara langsung memilihkan pasangan bagi para sahabat. Ketika Istri Utsman Bin Affan, Ruqayyah meninggal, Nabi langsung menawarkan adiknya, Ummu Kultsum. Begitu juga ketika Ummu Kultsum meninggal Nabi langsung bilang, ‘Demi Allah Utsman, jika aku punya anak perempuan lagi, maka aku akan nikahkan kepadamu.”

Tapi banyak yang bilang bahwa Pendidikan Zaman Nabi berbeda dengan kondisi saat ini?

Ini memang kalimat yang sangat menyesatkan. Ada yang memahaminya salah, ada pula yang sengaja memahaminya salah. Jangankan kalimat yang begitu, kalimat yang sekarang dijadikan sumber dalam pendidikan dan dianggap sebagai sebuah kalimat sakral adalah ‘didiklah anak sesuai zamannya.’

Anda tahu ini kalimat siapa? Rasulullah SAW pun bukan. Ada yang mengatakan kalimat Umar atau Ali, silahkan tanya ahli hadis. Kata Aidh al Qorni ada yang mengatakan bahwa itu kalimat Umar tapi diragukan. Hitunglah kalimat itu benar, kalimat itu juga jangan disakralkan, karena itu bukan wahyu.

Misalkan, kedepan di Indonesia tidak lagi memerlukan pernikahan dan pasangan gay serta lesbian diizinkan untuk menikah, apakah ini yang dimaksud dengan sesuai zamannya? Maka dalam parenting kita harus mengambil sosok yang terbaik yaitu Rasulullah SAW.

Ini bisa jadi kalimat orang yang tidak faham sejarah. Orang yang faham sejarah akan mengatakan bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri, artinya tidak ada yang baru dalam dunia ini. Sejarah itu dipelajari juga karena itu. Maka ketika Abu Jahal meninggal, Rasulullah pun berkata Hadza fir’aun hadzihil ummah. Abu Jahal ini Fir’aunnya umat. Padahal Fir’aun hidupnya kapan? Jauh sekali, tapi Nabi hanya ingin mengatakan bahwa Fira’un di zaman apapun pasti ada. Hanya tampil dalam rupa berbeda. Begitu juga dengan konsep pendidikan dan parenting.

Bolehkah kita berdiskusi dengan anak tentang Allah di tengah rasio mereka yang belum berkembang?

Ada kalimat yang bagus dari Syekh Muhammad Quthb. Beliau mengatakan Allah sengaja membuka mulut anak-anak di waktu kecil untuk dimasukkan nilai-nilai tauhid oleh orangtuanya. Banyak anak bertanya mengapa matahari timbul di siang hari tapi tidak di malam hari. Kenapa pohon kelapa tinggi, sedangkan pohon yang lainnya pendek. Bayangkan banyak dari kita menjawab secara ilmiah untuk anak sekecil itu. Maka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Syekh Muhammad Quthb memberikan jawaban yang sangat bagus sekali, ‘Begitulah Allah menghendakinya’.

Ustadz mengatakan bahwa membangun keluarga harus dekat dengan Visi KeIslaman, namun fenomena yang berkembang tidak sedikit para aktivis dakwah yang bercerai, bagaimana pandangan ustadz mengenai fenomena ini?

Salah pertama adalah tidak ada ilmunya. Masyarakat kita sering sekali memahami kalau ustadz ilmunya banyak. Kalau dai mengetahui segalanya. Apalagi level ustadz gampang sekali disematkan bagi siapa saja. Lulusan Timur Tengah pun juga tidak ada jaminan mengerti konsep parenting jika ia tidak mau menggalinya.

Kalau ilmu sudah dimiliki ia akan bisa menerapkannya. Ilmu itu yang akan menutup adalah syahwat. Kalau syahwat sudah bicara, maka Ilmu akan tertutup. Saya berikan contoh sederhana, sekarang banyak sekali kesalahan fatal ibu-ibu para dai yang merasa sangat bangga memiliki pengajian di banyak tempat. Lantas anaknya dikemanakan? Anaknya ditelantarkan di rumah. Padahal siapa yang menyuruh seorang wanita aktif di luar rumah, tapi anaknya ditelantarkan?

Ummu Salamah RA misalnya, membaca kiprahnya di masyarakat memang tidak sekaliber Aisyah RA. Kenapa? Karena Ummu Salamah RA anaknya banyak, berbeda dengan Aisyah RA yang tidak memliiki anak.

Surat Al Ahzab ayat 33 misalnya, faqorna fii buyutikun, menetaplah kalian para wanita di rumah kalian, siapa yang mau menerima ayat itu seutuhnya? Ayat ini malah dilawan dan dibelokkan sana-sini.

Di era badai fitnah saat ini, apa pesan Ustadz bagi keluarga muslim?

Sebenarnya zaman ini sedang mencari cahaya. Zaman ini sedang mencari Tuhannya, karena itu memang karakter zaman jahiliyah. Sebagai muslim kita harus bersyukur, kita punya cahaya hidayah yang diberikan oleh Allah. Maka jangan tinggalkan cahaya itu dan kita malah lari ke cahaya kegelapan. Kita harusnya mencari cahaya itu dari sumbernya. Tidak ada lain cahaya itu bersumber dari Allah SWT. Allahu nurus samawati wal ardh. Allah lah cahaya langit dan bumi. [Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi].

 

Red : Sarah Mantovani

Mariam al-Astrulabi, Sang Astrolab Wanita

1

Hadirnya ilmuwan Islam perempuan seperti Mariam al-Astrulabi seakan menjadi bukti bahwa Allah tidak pernah membatasi hamba-Nya untuk mencari, mempelajari maupun mengkaji ilmu pengetahuan, terlebih bagi perempuan.

Mariam al-Astrulabi, ia mempunyai nama lengkap Mariam al-Ijliya al-Astrulabi. Ayahnya merupakan pembuat Astrolabe terkenal, yaitu sebuah perangkat rumit untuk navigasi darat dan penunjuk waktu. Tidak dapat dipastikan kapan Mariam al-Astrulabi lahir, hanya saja ia diperkirakan sudah ada pada abad ke-10 atau sekitar tahun 944 M.

Antara Astronomi dan Astrolab

Dalam sejarah astronomi, astronomi Islam atau astronomi Arab mengacu pada perkembangan astronomi yang dibuat di dunia Islam, khususnya selama Masa Keemasan Islam (antara 8-15 abad), dan sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Perkembangan ini sebagian besar terjadi di Timur Tengah, Asia Tengah, Al-Andalus, Afrika Utara, di Timur Jauh dan di India.  Astronomi Islam kemudian memiliki pengaruh yang signifikan pada astronomi India, Bizantium dan Eropa (lihat terjemahan Latin dari abad ke-12) serta astronomi Cina dan astronomi Mali.

Hal ini juga sejalan dengan penemuan astrolabe dalam dunia Islam, dimana astrolab diperkenalkan pertama kali ke dunia Islam sekitar pertengahan abad kedelapan. Astrolabe sepenuhnya dikembangkan selama abad-abad awal Islam.

Risalah Arab dalam astrolab diterbitkan pada abad kesembilan dan menunjukkan kedekatan yang lama dengan instrumen (instrumen tertua Arab yang ada dari abad kesepuluh, dan ada hampir 40 instrumen dari abad 11 dan 12).

Astrolab merupakan penemuan yang dihargai dalam Islam, karena kemampuannya untuk menentukan waktu shalat didefinisikan astronomis dan ia juga dipakai sebagai bantuan dalam menemukan arah ke Mekkah (penentuan kiblat). Hal ini juga penting untuk dicatat bahwa astrologi adalah elemen sangat tertanam dalam budaya Islam awal dan astrologi adalah salah satu prinsip dari penggunaan astrolabe.

Ada sejumlah perbedaan gaya yang menarik antara astrolab dari daerah timur Islam (yang Mashriq), Afrika Utara (Magribi) dan Moor Spanyol (Andalusia). Astrolab itu juga digunakan dalam Mughal India pada gaya agak kurang rumit. Seperti contohnya, astrolab Persia yang sangat kompleks.

Al-Astrulabi dengan Astrolab

Semasa hidupnya, Mariam al-Astrulabi juga menjadi murid ayahnya. Ia bekerja membangun astrolab di sebuah daerah bernama Aleppo, Suriah utara. Al-Dawlah, penguasa yang bertanggung jawab memimpin negeri tersebut dari tahun 944 M sampai 967 M, mempekerjakannya pada saat itu.

madamedepique.wordpress.com

Mariam al-Astrulabi membuat astrolab dengan kompleks, ia membuatnya seperti GPS. Dengan alat tersebut, kita dapat menentukan arah kiblat yang benar, membantu dalam navigasi, ketepatan waktu dan astronomi. Eropa menggunakan astrolab ini sampai abad 18. Dengan astrolab, Eropa terbantu dalam penemuan geografis di renaisans tersebut.

Mariam al-Astrulabi merupakan kasus langka, tidak banyak literatur yang menceritakan tentangnya, selain itu tidak banyak pula seorang wanita yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan saat awal peradaban muslim dan kisahnya merupakan teladan bagi muslimah untuk terus selalu mencari, mempelajari dan mengkaji ilmu pengetahuan serta mempraktekannya.

Red: Sarah Mantovani

Referensi :

http://www.archive.org/stream/1001-Inventions/1001Inventions-MuslimHeritageInOurWorld_djvu.txt

http://www.astrolab.org

http://www.councilofexmuslims.com/index.php?topic=13610.0

http://www.al-azim.com/~smktinggimelaka/astronomers.htm

http://www.scienceinschool.org/print/171

http://www.flickr.com/photos/ykhan/5701385722/

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now