Home Blog Page 19

Strategi Bunda Menyambut Ramadlan

0

Oleh: Ummi Suci

ThisisGender.Com-Alhamdulillah kita telah memasuki bulan suci Ramadhan, bulan seribu bulan, bulan yang selalu dirindukan oleh kaum mukmin seluruh dunia. Khusus untuk kaum ibu, biasanya, kesibukan sehari-hari akan meningkat dua kali lipat. Waktu akan terasa begitu sempit. Seolah berkejaran antara kegiatan yang satu dan yang lainnya. Karena itulah kita perlu menyiasati waktu Ramadhan sehingga dapat memanfaatkannya seefisien mungkin. Berikut ini beberapa tips yang saya rangkum dari beberapa sumber.

A. Shalat, tilawah, qiyamulail dan dzikir

Shalat
Seperti sudah kita ketahui bersama, pahala ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan akan berlipat ganda, maka jangan sia-siakan waktu. Shalat-shalat wajib, dikerjakan semaksimal mungkin, sekhusyu mungkin. Kalau sebelumnya masih menunda-nunda shalat, di bulan suci ini, usahakan shalat tepat waktu. Jangan sampai ditunda lagi. Begitu terdengar suara adzan, langsung bersiap-siap untuk shalat. Selain shalat wajib, alangkah indahnya jika ditambah dengan shalat-shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat wajib.

Membaca Alquran

Allah berfirman, “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al-Israa’: 9)

Alquran begitu banyak mengandung nasehat dan hikmah yang bisa kita ambil. Pahala membaca Alquran pun begitu besar. Jika kita membaca Alquran, yang dinilai oleh Allah bukanlah satu kalimat ataupun satu kata, tapi setiap hurufnya. Seperti alif laam miim, maka akan bernilai tiga pahala. Bayangkan jika kita memperbanyak bacaan di bulan Ramadhan, tentulah tabungan pahala kita juga akan meningkat.

Shalat malam

Allah berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS Al-Furqan: 63-64)

“Ataukah orang yang beribadah di waktu-wkatu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar: 9)

Dzikir

Dzikir adalah pangkal semua amal saleh. Bagi orang yang mendapatkan kekuatan untuk berdzikir, sungguh ia telah mendapatkan kasih-Nya. Karena itulah, Rasulullah saw selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan dan kondisi.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id ra. dan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. memilih empat kalimat : Subhanallah, Alhamdulillah, Laailahaillallah dan Allahuakbar. Barangsiapa mengucapkan Subhanallah, maka akan dicatat baginya dua puluh kebaikan, dan akan dihapus darinya dua puluh kejelekan. Siapa yang mengucapkan Allahuakbar maka akan mendapatkan hal yang sama, siapa yang mengucapkan Laailaahaillallah akan mendapatkan hal yang sama, barangsiapa yang mengucapkan Alhamdulillah, akan mendapatkan hal yang sama dan barangsiapa yang mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil’alamin maka akan dicatat baginya tiga puluh kebaikan dan dihapuskan darinya tiga puluh kejelekan.” (HR Muslim)

B. Aktivitas Memasak

Memasak terkadang sangat menyita waktu, apalagi di bulan Ramadhan. Tentu kita ingin selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga. Membuat takjil dan hidangan penggugah selera agar hari-hari Ramadlan lebih istimewa, juga tentu menyita pikiran kita. Ungkapan yang seringkali terucap mungkin adalah “Hmmm, masak apa ya hari ini…”

Untuk menghindari waktu berpikir terlalu lama (yang tentunya akan mengurangi waktu beribadah lainnya), tak salah jika kita membuat menu makanan satu bulan penuh, lengkap dengan menu takjilnya. Selain mempersingkat waktu memasak, juga mempersingkat waktu belanja di pasar. Selain itu bermanfaat untuk memperkirakan anggaran pengeluaran.

Perlu diingat, saat berbuka, utamakan keluarga untuk memakan buah kurma dan air putih hangat atau teh manis hangat. Fruktosa yang terkandung dalam kurma adalah gula alami yang dapat menambah stamina tubuh karena mengandung kalium, magnesium dan serat. Sementara saat sahur, perbanyaklah menu makanan yang berserat, akan sangat berguna untuk menahan rasa lapar. Makanan kaya serat terdapat pada sayuran hijau, buah-buahan, kacang-kacangan, dan oats.

Selain mempersiapkan menu, bisa juga menyiapkan bumbu-bumbu yang dapat digunakan selama satu minggu. Misalnya, bawang merah yang telah dihaluskan, bawang putih halus, cabai giling, dll. Semuanya dikemas dalam wadah kedap udara, kemudian disimpan di dalam lemari es. Dengan demikian, ketika ingin memasak, dapat langsung digunakan tanpa menyita waktu lagi untuk menghaluskan bumbu, dsb.

C. Memperindah dan membersihkan rumah

Setelah berpuasa, tentulah kita akan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Saatnya bersilaturahim dengan keluarga dekat, jauh, dan tetangga. Agar waktu Ramadhan kita tidak terkuras untuk membersihkan dan memperindah rumah, hal itu bisa kita lakukan mulai dari sekarang. Kita bisa bekerja sama dengan anak, suami, ataupun asisten rumah tangga untuk bahu membahu membersihkan setiap sudut rumah. Beberapa tips berikut ini patut dicoba :

1. Bersihkan tempat-tempat yang tidak terlihat langsung oleh penghuni rumah. Misalnya bagian di balik lemari, di bawah tempat tidur, di bawah rak televisi, dll.

2. Rapikan rak-rak yang sering dipakai untuk keluarga meletakkan sesuatu. Misalnya rak sepatu, rak majalah, rak buku, meja tamu, dll. Jangan lupa untuk mengingatkan anggota keluarga untuk letakkan perlengkapan sesuai tempatnya.

3. Membersihkan bagian-bagian rumah yang besar. Misalnya, kaca, jendela, ventilasi, kusen-kusen jendela dll.

4. Membersihkan gorden, sprei, kursi dll. Juga mempersiapkan gorden, sprei, bedcover yang akan dipakai saat Idul Fitri nanti.

5. Bagi para ibu yang pada saat Idul Fitri nanti akan kedatangan sanak saudara atau keluarga besar, baiknya sudah mempersiapkan alat-alat makan dari sekarang. Biasanya saat Idul Fitri tiba, peralatan makan yang digunakan berbeda dengan peralatan makan yang biasa kita gunakan sehari-hari. Nah, agar waktu Ramadhan bunda tidak tersita hanya untuk mengelap piring-piring “spesial” itu kita dapat mulai mencuci dan mengelapnya saat ini juga. Setelah kering, piring-piring (perangkat makan) tersebut dapat disimpan di dalam plastik. Hal ini untuk menghindari debu dan hewan pengerat. Jangan lupa, letakkan di tempat yang bersih, tidak lembab dan tidak terjangkau anak-anak

D. Mempersiapkan pakaian untuk Idul Fitri

Sebenarnya, keutamaan Idul Fitri bukanlah terletak dari pakaian yang kita pakai. Akan tetapi, yang terpenting adalah keberhasilan menjadikan Ramadhan sebagai sekolah keimanan bagi kita. Dengan demikian, setelah kita lulus dari sekolah Ramadhan, kita dapat menjadi pribadi dan keluarga yang rabbani. Tapi jika memang mempunyai kelebihan dana, boleh juga digunakan untuk membeli pakaian. Hal ini dapat dilakukan sebelum bulan Ramadhan untuk menghindari mahalnya harga pakaian, kemacetan di jalan, dan juga berjejalan di pasar atau di mall.

Berikut ini contoh pengaturan waktu di bulan Ramadhan dengan mempertimbangkan tips-tips di atas (asumsi ibu bekerja di rumah):

  • 02.30-03.30   Shalat malam
  • 03.00-04.00   Memasak menu sahur
  • 04.00-04.45   Sahur bersama keluarga
  • 04.45-05.00   Shalat subuh berjamaah
  • 05.00-07.00  Persiapan keluarga untuk berangkat bekerja dan sekolah
  • 07.00-08.00  Shalat dhuha dan membaca Alquran
  • 08.00-12.00   Mengurus usaha atau kegiatan lainnya
  • 12.00-13.00   Shalat dhuhur, membaca Alquran dan istirahat sejenak
  • 13.00-15.30   Kegiatan lain (membaca buku, menghadiri taklim dll)
  • 15.30-16.00   Shalat ashar dan membaca Alquran
  • 16.00-18.00   Memasak, persiapan berbuka
  • 18.00-19.00   Berbuka dan shalat maghrib berjamaah
  • 19.00-20.30   Shalat isya dan taraweh
  • 20.30-21.00   Membaca Alquran bersama keluarga
  • 21.00-02.30   Istirahat malam

Marilah kita menjadikan diri dan keluarga sebagai alumni-alumni Ramadhan yang sejati. Alumni yang membangun kebersamaan, yang menebarkan rahmat bagi sesama; alumni Ramadhan yang rabbani. Tidak hanya alim di bulan Ramadhan, namun alim sepanjang tahun; menutup aurat sepanjang tahun; menahan diri dari berghibah sepanjang tahun; serta mempertahankan kebaikan-kebaikan lainnya juga sepanjang tahun. Kita memupuk ketaatan sepanjang Ramadlan untuk meraih taqwa dan mempertahankannya di bulan-bulan berikutnya.
**

Ed: Dinar Kania

Red: Rira Nurmaida

Bagaimana bila Seorang Ibu Bekerja?

1

Oleh : Wendi Zarman*

ThisisGender.Com– Alkisah, seorang teman dosen (wanita) pernah bertanya kepada saya, apakah saya punya informasi tempat penitipan anak (TPA) yang bagus tapi dekat dengan tempat kerjanya. Lebih bagus lagi, menurutnya, kalau ongkosnya murah. Sebenarnya selama ini ia sudah punya langganan tempat penitipan anak, hanya menurutnya pelayanannya kurang bagus. Lagipula TPA di situ hanya buka sampai pukul empat sore, sedangkan ia mengharapkan TPA itu masih dapat melayani lebih dari jam empat sore karena terkadang ia baru pulang dari tempat kerjanya lewat dari jam empat sore.

Beberapa bulan sebelumnya ia mengalami keguguran anak keduanya. Kesibukan bekerja ditambah dengan kerepotannya naik turun angkot untuk mengantar jemput anaknya dari tempat kerja ke TPA lalu ke rumah, disinyalir sebagai penyebab keguguran itu. Tapi, apa hendak dikata, ia perlu uang, karena mengandalkan penghasilan dari suami masih jauh dari memadai. Fenomena ibu bekerja memang telah menjadi pemandangan biasa di zaman ini. Ada beberapa faktor penyebabnya:

Pertama, adalah semakin tingginya tingkat pendidikan (formal) wanita sekarang. Sementara itu orientasi pendidikan formal, terutama di tingkat perguruan tinggi, saat ini bisa dikatakan hanya untuk mempersiapkan agar lulusannya dapat menjadi tenaga kerja yang andal. Ketika seorang wanita telah mencapai tingkat pendidikan yang cukup tinggi, maka yang dibayangkannya setelah lulus adalah bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan. Maka dari itu, wanita-wanita karir yang berpendidikan ini bila mereka ditanya mengapa mereka bekerja sedangkan ada anak yang harus mereka urus di rumah maka mereka akan berkilah, “Untuk apa belajar tinggi-tinggi kalau nanti ujung-ujungnya hanya mengurus anak?”

Kedua, karena adanya pergeseran paradigma tentang ibu rumah tangga. Kita tahu dengan bergulirnya era keterbukaan informasi saat ini, pemikiran dari Barat begitu deras menyerbu masuk ke dalam pikiran umat Islam. Salurannya bisa bermacam-macam seperti sekolah, majalah, buku, film, radio, televisi, dan internet. Semua informasi ini datang kepada siapa pun tanpa diminta. Praktis, tidak ada seorang pun yang bisa mengelaknya, kecuali jika ia mengasingkan diri dari kehidupan normal. Satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampaknya adalah menyaringnya sendiri. Menyaring ini dapat berarti menghindar dari informasi semacam itu atau menyaringnya dengan pemahaman agama yang kokoh, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran tersebut.

Salah satu pemikiran itu adalah feminisme. Pada dasarnya, feminisme mendorong kaum wanita untuk menuntut hak dan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Bagi mereka tidak ada perbedaan prinsipil (kecuali beberapa perbedaan kecil dari sisi biologis) antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, bagi mereka, membeda-bedakan peran, hak, dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah ketidakadilan yang harus dilawan.

Jadi, prinsip yang ingin mereka sebarkan adalah sama rata sama rasa. Kalau laki-laki boleh bekerja di luar rumah, mengapa wanita dilarang bekerja dan malah diwajibkan mengurus anak. Itu tidak adil namanya, diskriminatif, bias gender, dan sebagainya. Para wanita yang sudah termakan betul dengan pemikiran ini akan marah jika dirinya dilarang suaminya bekerja, karena baginya bekerja itu merupakan hak asasi wanita juga.

Ketiga, karena tuntutan ekonomi. Saat ini banyak laki-laki yang menganggur, bahkan juga para lulusan perguruan tinggi. Anehnya, ketika perguruan tinggi saling gembar-gembor bahwa lulusan mereka mudah mendapat kerja, kita menyaksikan semakin banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menjadi pengangguran. Kalaupun bekerja, banyak di antara mereka memperoleh pekerjaan bergaji rendah yang tidak cukup untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Akhirnya, laki-laki sebagai kepala keluarga tidak mampu menopang kebutuhan ekonomi keluarga.

Untuk membantu suami, wanita (istri) pun akhirnya ikut bekerja. Selain itu, di samping alasan membantu suami, wanita-wanita sekarang ‘lebih tercerahkan’ sehingga banyak yang memilih menjadi wanita karir, baik paruh maupun sepenuh waktu. Pekerjaan domestik seringkali tidak lagi dianggap sebuah kemuliaan, malah ada yang menganggapnya sebagai penindasan. Akibatnya, membanjirnya wanita di dunia kerja menjadi tidak terelakkan, dan ini membuat persaingan dunia kerja menjadi semakin ketat.

Jadi, banyaknya pengangguran sebenarnya boleh jadi bukan hanya disebabkan oleh keadaan ekonomi negara yang lesu, tetapi juga karena persaingan kerja yang semakin ketat yang dulunya antara kaum pria saja, tapi kini juga diramaikan oleh kaum wanita. Padahal beberapa dekade yang lalu tidak banyak wanita yang turun bekerja. Banyak pekerjaan yang dulu merupakan pekerjaan khas laki-laki, seperti sopir, pegawai kantor, penjaga pom bensin, security, penjaga toko, pelayan restoran, kini juga digeluti oleh kaum wanita.

Kini, pemilik usaha seringkali lebih memilih wanita karena di samping lebih ulet dan teliti, mereka juga cenderung bisa menerima gaji yang kecil dibandingkan dengan pekerja pria. Akibatnya, peluang laki-laki mendapatkan pekerjaan menjadi semakin kecil, dan itu membuatnya tidak bisa menunaikan perannya sebagai kepala keluarga. Sementara itu di sisi lain, peran wanita sebagai ibu yang mendidik anak-anak juga sedikit banyak ikut terkorbankan.

Fenomena ibu bekerja inilah yang membedakan anak-anak sekarang dengan anak-anak di masa lima puluh tahun yang lalu. Dulu, anak-anak mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak bangun tidur, sarapan, berangkat sekolah, pulang sekolah, makan siang, makan malam, gosok gigi, mengerjakan pekerjaan rumah, belajar membaca, dan tidur malam selalu didampingi oleh ibunya. Setiap saat sang ibu selalu bisa mengawasi perkembangan anak. Bila ada masalah pada anak, ibu bisa langsung mengetahui dan mengambil tindakan untuk mengatasinya. Bila sang anak punya masalah di sekolah, ibu selalu ada di samping mereka mendengar keluhan-keluhan mereka dan menghibur mereka kala mereka dilanda kesusahan.

Namun, kini semua itu tidak lagi sepenuhnya dapat dinikmati oleh anak-anak zaman sekarang. Anak-anak sekarang harus mampu tumbuh sendiri tanpa perhatian penuh dari ibunya. Mereka juga harus mampu mengatasi masalah mereka sendiri karena ibu tak punya waktu untuk membimbing mereka. Kalaupun ada pembantu di rumah, fungsinya bukanlah untuk mendidik, tetapi hanya mengasuh saja, seperti memandikan, memberi makan, mengajak bermain, dan mengawasi agar anak tidak melakukan tindakan yang berbahaya.

Secara nurani, seorang ibu yang bekerja tidak mungkin dapat memungkiri perasaan bersalahnya karena tidak dapat memberi perhatian penuh kepada anaknya. Apalagi bila anaknya itu masih terhitung balita. Bahkan, perasaan ini tidaklah hilang bila ibu itu adalah seorang feminis yang sangat terobsesi dengan pencapaian karir yang tinggi. Ini karena memang demikianlah fitrah seorang ibu yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Di dalam dirinya telah tertanam sifat penyayang terhadap anak.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk bekerja, seorang ibu harus bertanya kepada dirinya, apa yang hendak ia kejar dari pekerjaannya di luar rumah itu? Adakah ia harus melakukan hal ini sehingga ia harus mengabaikan hak anaknya untuk mendapat perhatian dari ibunya. Sekiranya ia harus bekerja, apakah ia masih mampu memenuhi hak-hak anaknya? Sang ibu harus bisa memberi penilaian yang adil dan objektif terhadap masalah ini dari sudut pandang agama, serta kedudukannya di dalam keluarga.

Bila memang kondisi ekonomi atau pertimbangan rasional lain memaksanya melakukan hal itu, maka pilihannya untuk bekerja dapatlah dimaklumi. Demikian juga jika di pundaknya terdapat suatu beban fardhu kifayah yang harus ditunaikan, yaitu ketika harus ada kaum wanita yang mengambil peran itu, seperti menjadi dokter bagi kaum wanita atau menjadi guru, maka keputusan untuk bekerja itu dapatlah diterima. Namun, ia tidak boleh menilai hal ini karena dorongan egonya yang terjangkiti sindrom “aktualisasi diri ala feminis” yang menganggap bahwa ia punya hak untuk mengerjakan kegiatan apa pun yang sesuai dengan minat dan keinginannya.

Seorang ibu hendaknya memahami apa yang telah diamanatkan Allah kepadanya. Ia harus berupaya menunaikan amanat itu bila menginginkan kemuliaan di sisi Allah. Bila bekerja adalah suatu pilihan yang harus diambil, maka sebaiknya ia mencari pekerjaan yang membuatnya masih bisa memberi perhatian cukup terhadap perkembangan anaknya. Sebaiknya ia menghindari pekerjaan yang membuatnya secara rutin berada di luar rumah sepanjang hari. Pilihlah pekerjaan yang memberi keleluasaan dalam mengatur waktu, misalnya, guru les atau guru sekolah, penulis, atau pengurus biro konsultan. Selain itu, mengapa tidak mencoba membuka usaha di rumah? Perkembangan teknologi saat ini, khususnya teknologi informasi, telah memungkinkan berkembangnya berbagai pekerjaan atau usaha yang dapat dilakukan dari rumah. Ini merupakan sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh setiap ibu yang ingin mendapat penghasilan tambahan. Dengan cara demikian seorang ibu dapat menyalurkan kreativitasnya, tanpa meninggalkan kewajibannya untuk mengurus rumah tangga.

Setiap wanita hendaknya menyadari ketika ia menikah dan dikaruniai anak, maka sejak itu ia telah dibebankan suatu amanat yang harus ia tunaikan. Tidaklah bijak membandingkan dirinya dengan suami atau laki-laki yang dapat lebih leluasa beraktivitas di luar rumah. Allah telah menciptakan hamba-hambanya dengan tempatnya masing-masing. Tidak seorang pun dapat menafikan kenyataan bahwa pria dan wanita dikaruniakan potensi yang berbeda oleh Allah SWT, dan perbedaan ini kemudian menumbuhkan peran dan tanggung jawab yang berbeda pula antara pria dan wanita.

…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang

paling taqwa di antara kamu. (QS. al-Hujurat [49] : 13)

Jadi, ini sama sekali bukan masalah siapa yang lebih tinggi kemuliaannya antara pria dan wanita, sebagaimana yang dituduhkan kaum feminis. Allah sendiri telah menegaskan bahwa kemuliaan itu ditentukan oleh tingkat ketakwaan, bukan dari jenis kelamin, sedangkan ketakwaan adalah buah dari ketaatan seorang manusia kepada ketentuan Allah. Sesungguhnya kaum wanita telah diberi jalan menuju keridhaan Tuhannya melalui anak-anak yang mereka lahirkan.  Menempuh jalan itu atau tidak, sepenuhnya ada di tangan mereka.

*Penulis adalah Master di bidang fisika ITB dan Kandidat Doktor Pemikiran dan Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun, Bogor dan menulis buku berjudul “Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah & Lebih Efektif”.

Rep: Kholili

 

Ani Yudhoyono : Keluarga, Titik Awal Pembangunan Bangsa

0

ThisisGender.Com-Dalam paham feminisme selama ini, keluarga selalu dianggap sebagai penghalang perempuan untuk berdaya dan berkreasi, padahal secara naluri, keluarga memainkan peran yang sangat penting bagi seorang perempuan, hingga Dr. Saiful Bahri MA., pernah menyebutkan bahwa Family Mainstreaming merupakan Solusi dari Kesetaraan Gender.

Melalui Ani Yudhoyono, presiden SBY menyampaikan bahwa keluarga merupakan titik awal dalam pembangunan bangsa.

“Menurut beliau kualitas keluarga merupakan titik awal dalam -pembangunan bangsa”, ujar Ibu dua anak ini saat acara Kongres Keluarga Indonesia bertajuk “Keluarga Berkualitas Solusi Permasalahan Bangsa”, yang diadakan oleh DPP PKS Bidang Perempuan di Hotel SAHID, Selasa (17/07/2012).

Ani juga menambahkan pentingnya keutuhan keluarga yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alayhi Wassalam bahwa rumah adalah surga.

“Keluarga adalah institusi yang paling dicintai dalam Islam”, tegasnya.

Tidak hanya itu, kepada para peserta kongres yang hadir, Ani juga sempat membagi pengalamannya saat pertama kali membina rumah tangga.

“36 tahun lalu yang saya nikahi bukan Presiden, tapi prajurit berpangkat letnan satu. Gaji suami dulu hanya Rp 52.500”, katanya sambil tersenyum kepada 500 peserta yang tidak hanya dihadiri oleh kader PKS.

Red : Cholis, Sarah.

Sri Rahayu Tifatul Sembiring : Keluarga Berkualitas Perkokoh Bangsa

0

ThisisGender.Com-Meningkatnya angka perceraian yang terjadi di Indonesia membuat prihatin Anggota Legislatif DPRD Kota Depok dari fraksi PKS, Sri Rahayu. Sebagai langkah konkrit untuk menanggulangi hal tersebut, ia bersama dengan DPP PKS Bidang Perempuan bersama mengadakan acara Kongres Keluarga Indonesia di Hotel SAHID, Selasa (17/07).

Sri Rahayu sebagai ketua panitia, dalam sambutannya menjelaskan, kongres ini ditujukan untuk membangun kekuatan bangsa yang dimulai dari unit terkecil sebuah bangsa, yakni keluarga.

“Ini adalah sebuah upaya kita khususnya jajaran perempuan PKS untuk menguatkan kekokohan bangsa dan meningkatkan daya saingnya di pentas dunia,” ujarnya.

Dengan acara ini, ia berharap akan lahir sebuah rekomendasi yang dapat diperjuangkan bersama agar Indonesia menjadi bangsa yang kokoh dengan berparas pada keluarga berkualitas.

Acara ini dibuka langsung oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono dan dihadiri oleh jajaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta DPP PKS.

Red : Cholis, Sarah

Qur’anic Parenting, Metode Belajar Berkeluarga Berbasis al-Qur’an

0

 

ThisisGender.Com-Jika kita semua ditanya, apa kitab sucinya? Kita akan jawab, Al-Qur’an. Jika ditanya, apa mukjizat terbesar Nabi kita? Akan dijawab Al-Qur’an. Jika di tanya apa fungsinya? Akan dijawab di antaranya sebagai hudan (petunjuk). Tapi sayang, sementara ini al Qur’an masih disingkirkan dari fungsinya sebagai panduan keluarga muslim. Banyak muslim yang ketika bicara tentang pola hubungan suami dan istri serta komunikasi orang tua dan anak sumbernya bukan dari al Qur’an.

Pernyataan tersebut disampaikan Ustadz Budi Ashari, Lc, pakar Parenting Nabawiyah, di Workshop Qur’anic Parenting. Workshop yang diselenggarakan UMI (Ummahatul Mu’minin Indonesia) ini bertempat di Aula Ar Rahman AQL Islamic Center Jakarta Selatan (12/7). Rencananya, kegiatan ini akan berlangsung rutin setiap satu kali dalam satu bulan. Kuliah perdana dari workshop tersebut bertema “Potret Keluarga dalam Al Qur’an”.

“Teori yang diambil bukan dari al-Qur’an. Apalagi jika bicara teknis, al Qur’an dianggap global dan tidak rinci. Sehingga hanya dijadikan stempel legalitas untuk melegalkan berbagai tips yang tak jarang malah menabrak al Qur’an sendiri. Maka saat ini banyak keluarga muslim di jurang kehancuran”, terangnya.

Beliau menjabarkan karakteristik ideal berbagai keluarga yang dikisahkan dalam al Qur’an. Dari mulai keluarga para Nabi (Nuh, Ibrahim, Muhammad, dsb) hingga keluarga manusia biasa (Luqman, Asiyah, dan Imron).

“Ada pelajaran yang bisa diambil antara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan keluarga idealnya dan Abu Lahab, yang menjadi dua sejoli perusak bersama istrinya. Ada pula kisah antara Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Keduanya adalah Rasul teladan. Keduanya dijadikan nama surat dalam al Qur’an”, jelas da’i yang kerap mengisi program acara Khalifah di salah satu stasiun TV nasional ini.

Budi Ashari menjelaskan, bahwa dari kisah keluarga nabi Ibrahim, kita bisa mengambil pelajaran bagaimana beliau menjadi kepala Rumah Tangga dan memiliki dua muara kebesaran (dua anak laki-laki: Nabi Ismail dan Nabi Ishaq).

“Semua sepakat bahwa Ibrahim adalah seorang ayah yang hebat karena tidak saja ‘melahirkan’ anak sholih, tapi dua Nabi sekaligus. Dari keduanya, lahir para Nabi berikutnya”, tandasnya.

Uniknya, al Qur’an tidak hanya menyampaikan keberhasilan para Nabi di dalam rumah tangga. Nabi Nuh, ditegur Allah dalam Surat Hud karena kegagalannya mendidik salah satu anak laki-lakinya. Teguran itu seharusnya tidak membuat kita masih terus bertahan dengan dalih kegagalan Nabi Nuh.

“Nabi Nuh saja gagal mendidik anaknya, apalagi saya? Kalau hal ini untuk menghibur diri sesaat tidak masalah. Tapi jika untuk lari dari tanggung jawab, ketahuilah bahwa Nabi Nuh saja ditegur karenanya” jelasnya.

Ada lagi yang sangat menarik, dari 114 surat dalam al Qur’an hanya ada 1 surat yang menggunakan kata KELUARGA. Surat ‘Ali Imron (Keluarga Imron) yang berkisah tentang manusia biasa dengan kualitas luar biasa.

“Padahal Imran bukanlah Nabi. Seakan ada sebuah perintah agar kita punya fokus dalam mengambil pelajaran dari keluarga biasa yang istimewa ini. Sebuah keluarga yang utuh keberhasilannya: pasangan, anak, hingga cucu. Imron memiliki putri terbaik di dunia, Maryam. Dari rahim Maryam lahir Nabi Isa. Maka untuk mempelajarinya, kita harus menelusuri kata per kata dalam ayatnya” tegasnya

Masing-masing dengan karakter keluarga yang berbeda. Kisah-kisah itu disampaikan dengan pelajaran yang berbeda. Tentu banyak hikmah berharga yang bisa dan harus digali keluarga muslim.

Beda Antara Anak Laki-Laki dan Perempuan

Pada worshop itu Budi juga menjelaskan tentang Al-Qur’an yang membahas bagaimana melahirkan anak laki-laki yang istimewa seperti Ismail dan Ishaq (anak dari Nabi Ibrohim), Yusuf (anak dari Nabi Yaqub), dan Sulaiman (anak dari Nabi Dawud). Atau pelajaran dari kegagalan mendidik anak laki-laki seperti kisah salah satu putra Nabi Nuh.

Terkait anak perempuan, ternyata secara khusus al-Qur’an menyampaikan potret keluarga yang berhasil mendidik anak perempuan. Selain keluarga Imran dengan Maryam, ada kisah lain yang dipotret. “Dalam Surat Al Qashas disebutkan kisah dua wanita sholihah yang berinteraksi dengan Musa. Sebagian ulama tafsir menyebut bahwa dua wanita itu adalah putri Nabi Syu’aib” jelas da’i yang juga penghafal ribuan hadist ini.

Beliaupun melanjutkan dengan mengkaji Surat ‘Ali Imron ayat 36, “Maka, ketika melahirkannya, dia berkata ‘Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.’ Padahal Alloh lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki-laki tidak sama dengan perempuan…”. Inilah ayat al Qur’an yang menjadi dasar pentingnya memperlakukan (termasuk mendidik) anak sesuai fitrahnya. Ada hal-hal yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan, dan tidak bisa disamakan.

“Kalau laki-laki dan perempuan tidak sama, mengapa kurikulum pendidikan dari Sekolah Dasar hingga S3 sama? Karena basisnya bukan al Qur’an. Maka seharusnya ada konsep yang berbeda. Jika tidak, kita lihat bagaimana hasil pendidikan hari ini, banyak yang menyedihkan.” ungkapnya.

Budi pun menyampaikan karena perbedaan pendidikan tersebutlah, telah lahir karya ilmiah.  Tesis S2 di Universitas Yarmuk, Yordan. Ditulis oleh Lina Ahmad Muhammad Mulhim dengan judul: Ash Shifat at Tarbawiyyah lil Maratil Muslimah fil Qur’anil Karim (Pendidikan Wanita Muslimah dalam al Qur’an Al Karim).

“Dalam jenis kelamin, mereka (musuh Islam) hadirkan sosok ke-3, transgender. Bukan laki-laki dan bukan perempuan, untuk mengacaukan tatanan kehidupan. Kalau Nabi saja melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan juga sebaliknya, apalagi jika laki-laki berubah menjadi perempuan dan sebaliknya!” tegasnya kepada peserta yang mayoritas kaum hawa.

 

Tidak ada  Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an

Budi Ashari menjelaskan, kisah-kisah keluarga Nabi Ibrahim dapat dijadikan ibrah bagaimana mengelola keluarga itu dengan baik. Dalam kisah al-Qur’an, Hajar membesarkan dan mendidik Ismail. Nabi Ibrahim meninggalkan mereka di Mekkah dan atas perintah Rabbnya. Namun apa yang dipotret al-Qur’an? Do’a Ibrahim pada Allah untuk negeri yang aman dan keselamatan anak dan cucunya. Al Qur’an memotret do’a Nabi Ibrahim sebagai pelajaran sangat agung bagi konsep pendidikan keluarga.

Adakah nama Hajar dan perannya disebutkan di sana? Tidak. Lantas, apakah Hajar protes karena sebagai istri dan wanita diperlakukan tidak setara dan adil? Juga tidak. “Ini bukan bentuk diskriminatif. Sejarah tidak akan menghilangkan peran Hajar dalam melahirkan, merawat, dan membesarkan Ismail seorang diri ketika ditinggal Ibrohim. Namun Allah punya maksud lain.”

Pelajaran yang bisa diambil para ayah sebagai kepala rumah tangga adalah harus serius berdo’a untuk kesholihan dan keselamatan anak-anaknya hingga kiamat. Serta tegas mendidik mereka dengan ketauhidan dan keimanan.

Jika Nabi Ibrohim sangat dominan digambarkan perannya sebagai kepala rumah tangga, ada yang menggelitik tentang kisah Nabi Muhammad SAW. Rosululloh justru digambarkan dengan cara sebaliknya. Al Qur’an banyak memotret pihak wanita; Ummahatul Mu’minin (Istri-istri beliau). Rosulpun dikaruniai anak-anak perempuan istimewa (Zainab, Ruqoyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah).

Kisah menarik dalam Surat Al Ahzab, ayat 28-34 membahas tentang istri-istri Nabi Muhammad. Tapi perhatikan bagian awal ayat, “Wahai Nabi! Katakanlah pada istrimu,…”, Alloh memanggil Nabi lebih dulu, bukan memanggil istrinya. Begitupun dalam Surat At Tahrim ayat 1, inipun membahas tentang para istri Nabi. “Wahai Nabi! Mengapa kamu mengharamkan apa yang dihalalkan Alloh bagimu? Kau ingin menyenangkan istri-istrimu?” Di sini terlihat Alloh menegur Nabi karena ingin menyenangkan istrinya dengan sesuatu yang tidak seharusnya.

“Ketika berbicara keluarga yang banyak membahas istri Nabi, tapi yang dipanggil lebih dahulu adalah Nabi. Tentu ada pelajaran di sini. Terutama agar para suami mampu menjadi pemimpin dan pendidik bagi istrinya. Sampai kisah Alloh menegur Nabi karena istrinya, ini memberi ibroh pada kita bahwa adakalanya suami berbuat salah karena istri.” Tandas penggagas konsep keluarga berbasis nubuwwah ini.

Satu jam berlalu, kemudian masuk ke sesi tanya jawab. Seorang peserta bertanya terkait peran ibu yang seolah tertutupi dalam al Qur’an dan banyak buku sejarah, apakah ini memang membuktikan al Qur’an  tidak adil? Apalagi hari ini begitu banyak perempuan yang berteriak memperjuangkan haknya untuk setara. Bahkan sampai pada upaya pengesahan RUU KKG.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Budi menyebutkan sebuah tesis S2 di Universitas Ummul Quro Mekkah. Hiwar al Aba’ ma’al Abna fil Quranil Karim wa Tathbiqotuhut Tarbawiyah (Dialog antara Orangtua dan anak dalam al Qur’an al Karim dan Aplikasi Pendidikannya) karya Sarah binti Halil al Muthairi. Tesis tersebut membahas 17 tema dialog antara orangtua dan anak yang tercantum dalam 9 surat. Dialog antara ayah dengan anaknya ada 14 kali. Dialog antara ibu dan anaknya 2 kali. Dan dialog antara orangtua tanpa nama dengan anaknya ada 1 kali.

“Hal ini menunjukkan bahwa al Qur’an memotret para ayah yang lebih bertanggung jawab mendidik anak-anaknya. Namun bagaimana kondisi hari ini? Sedikit ayah yang berdialog dengan anaknya. Maka, banyak anak yang kehilangan figur dan teladan. Ibrohnya: berarti para ayah harus belajar!” tegasnya.

“Dalam sejarah kejayaan Islam, peran ibu memang dalam rumah. Maka, menuju kebangkitan Islam, biarkan perannya “terbungkus” dalam rumah. Biarlah ia tidak tersebutkan dalam al Qur’an dan buku-buku sejarah. Hajar tidak tertulis dalam al Qur’an. Tapi para ahli tafsir, sejarah, dan dunia membahas kehebatannya” jelas Alumni Fakultas Hadist dan Dirosah Islamiyah di Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah Nabawiyah ini.

“Saya salah satu orang yang menolak RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Saya khawatir bagaimana nasib anak-anak yang ibunya berlomba-lomba mengisi 30% pos publik. Bagaimana pendidikan dan kehidupan masa depan mereka kelak? Para ibu, kembalilah ke rumah.” pungkasnya.

Rep: Nunu Karlina

Red: Kholili

Menimbang Keadilan dan Kesetaraan Gender

0

Oleh : Rira Nurmaida*

 Sepintas kedua kata itu (kesetaraan dan keadilan) terdengar merdu di telinga. Secara alamiah, manusia berkecenderungan untuk menuntut diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan dengan yang lainnya. Hal itulah yang menjadi persepsi kesetaraan baginya. Sementara tidak adil adalah kedzaliman, kesewenang-wenangan, kejahatan, bahkan penghinaan terhadap kemanusiaan. Kedua kata itu kemudian disandingkan dengan kata gender. Gender yang sering dipahami sebagai bentukan budaya atas peran dan posisi yang layak atau tidak layak, pantas atau tidak pantas, serta baik atau tidak baik terkait dengan perbedaan jenis kelamin (seks). Sehingga dalam konteks demikian keseteraan gender berarti menuntut terdapatnya perlakuan dan sikap yang sama dii antara dua jenis seks yang berbeda, yakni laki-laki dan perempuan serta mewujudkan keadilan yang diharapkan oleh keduanya. Pertanyaannya, siapakah yang berhak menentukan parameter keadilan itu sendiri?.

Manusia, dengan berbagai potensi yang melekat pada dirinya mempersepsi dunia dengan keunikannya tersendiri. Penuh dengan subyektivitas yang terbangun di atas akumulasi pengetahuan serta pengalamannya di dalam kehidupan. Ketika dia berhadapan dengan berbagai hal pada kehidupannya sehari-hari sikapnya begitu beragam. Kita belum berbicara terkait keinginan atau sikap banyak orang. Tapi bicara tentang sikap satu orang saja, sudah nampak tingkat relativitas persepsinya. Hari ini suka, besok bisa benci. Apa yang ia sukai ia pandang sebagai kebaikan, sementara apa yang dibencinya dipandang sebagai keburukan. Begitu pula apapun yang mendatangkan banyak manfaat dia anggap itu kebaikan, namun ketika itu mendatangkan kemudharatan maka dikatakannya sebagai hal yang buruk. Dengan begitu standarnya tentang keadilan sekalipun dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang tertentu.

Dengan demikian, standar yang ditetapkan sebagai keadilan tidak akan pernah selesai dirumuskan bersama atas dasar kesepakatan manusia sehingga dapat tercipta keadilan bagi seluruhnya. Dalam dunia industri, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya oleh pengusaha dapat dilakukan dengan cara menekan biaya produksi dari aspek upah buruh. Hal itu baik bagi majikan karena memberi keuntungan berlebih, tapi buruk bagi buruh karena mereka mendapatkan upah yang tidak semestinya. Majikan merasa bahwa hal itu adil karena dia telah menanam modal yang sedemikian besar dari segi aset perusahaan dll. Sementara buruh sekedar menyewakan jasanya. Tapi kembali lagi dalam sudut pandang buruh, hal tersebut tidak adil.

Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa adil tidaknya sesuatu bukan semata-mata hal yang lahir secara otomatis dari peristiwa. Yakni, majikan membayar uang sejumlah tertentu pada buruh, itu belum dapat dinilai adil atau tidak. Tapi penilaian adil atau tidak itu ditentukan oleh unsur eksternal yaitu penilaian kedua belah pihak.  Hal ini berlaku sebagaimana penentuan standar baik-buruk pada umumnya. Berbohong tidak dikatakan buruk semata-mata karena sifat buruk melekat dalam aktivitas berbohong itu. Akan tetapi kita harus selalu dapat melihat konteksnya. Kebohongan seorang pedagang pada pembelinya adalah hal yang buruk, tapi membohongi musuh di medan perang adalah siasat yang harus ditempuh.

Adapun terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender yang diusung oleh kaum feminis dan liberal, maka yang mereka ajukan itu pun berdasarkan standar atau pandangan yang tertentu terhadap kehidupan. Sekalipun mereka mengklaim bahwasanya keadilan yang mereka agung-agungkan itu merupakan tuntutan dasar kemanusiaan atau merupakan hak asasi manusia, tapi yang jelas hal itu hadir atas pandangan mereka yang meletakkan liberalisme individualisme sebagai asasnya. Kesetaraan dan keadilan gender tidak semata-mata dipandang baik karena secara intrinsik mengandung kebaikan. Tapi dianggap baik karena berdasar pada asumsi-asumsi liberal yang berupaya melepaskan diri dari aturan-aturan hidup yang digariskan agama: perempuan dan laki-laki berhak atas porsi waris yang sama; sama-sama punya potensi kepemimpinan yang sama dalam hidup berkeluarga maupun aspek kehidupan lainnya, dan sebagainya. Padahal keadilan yang hakiki hanyalah apa-apa yang telah digariskan oleh Allah sebagai zat yang paling mengetahui hakikat manusia dan paling mengetahui apa-apa yang baik baginya.

Dalam membangun argumentasinya, pengusung KKG tidak lagi memandang baik dan buruk, adil dan tidak adil berdasarkan kesesuaiannya dengan tuntunan dan larangan Allah, tetapi hawa nafsu saja. Maka mereka berani menggugat sejumlah hukum yang sudah diatur jelas dalam Islam seperti hukum terkait nafkah, izin bagi wanita untuk keluar rumah, kepemimpinan dalam rumah tangga, kebolehan perempuan untuk bekerja, hak waris bagi perempuan, kesaksian perempuan di pengadilan, dan lain-lain.

Justru mereka “tidak adil” dalam menggaungkan konsep KKG ini. Mereka berpijak dari realitas yang rusak ketika Islam tidak diterapkan dan perempuan menjadi menderita namun yang mereka kambinghitamkan sebagai penyebab adalah hukum-hukum Islam itu sendiri. Maka teranglah tujuan mereka sesungguhnya bukan semata-mata membela perempuan akan tetapi berusaha menyudutkan dan memberi pelabelan negatif pada Islam (dengan istilah yang mereka gunakan: “fundamentalisme agama”, “absolutisme budaya, dll) sehingga kaum muslim semakin jauh dari agamanya. Setelah berbagai institusi Islam hancur, mulai dari negara hingga berbagai tatanan masyarakat, kini benteng terakhir  berupa keluarga pun hendak mereka goyahkan dengan menghembuskan isu-isu semacam ini yang hendak diperkuat posisinya melalui instrument hukum dan dipaksakan implementasinya oleh negara.

*Penulis adalah alumni Fisika, Institut Teknologi Bandung, 2010 dan saat ini meneruskan pendidikan Postgraduatenya sebagai mahasiswi Bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Editor : Sarah Mantovani

Ummu Sulaim dan Mahar Ke-Islamannya

1

Oleh: Prapta Nugraha Ardiatma*

Ummu Sulaim, sahabat perempuan Rasulullah Shalallahu ‘alai wa sallam, memiliki kisah menarik di balik kesuksesannya menelorkan keturunan yang shalih dan shalihah. Kesembilan cucunya menjadi huffadz (para penghafal al-Qur’an). Ketika menikah ia hanya meminta mahar “keislaman”. Tidak hanya itu, kesabarannya ta’at pada suami, dipuji oleh Nabi. Sehinngga baginda Nabi pernah mendoakan agar keturunannya diberkahi Allah.

Ummu Sulaim telah memeluk Islam  ketika Abu Thalhah, salah seorang pemuka Madinah yang saat itu masih musyrik, melamarnya. Perempuan yang memiliki nama asli Rumaisha binti Milhan, adalah seorang janda dari  pernikahannya di masa jahiliah dengan Malik bin Nadhar. Dari hasil pernikahannya dengan suami yang pertama ini, Ummu Sulaim memiliki anak yang patut dibanggakan bernama Anas bin Malik r.a – salah satu sahabat kenamaan yang banyak sekali meriwayatkan hadis.

Ketika dilamar Abu Thalhah, Ummu Sulaim menawarkan mahar cukup unik. Yakni keislaman Abu Thalhah. Seperti diketahui, Abu Thalhah saat itu belum memeluk Islam. Oleh sebab itu, Ummu Sulaim cukup meminta Abu Thalhah masuk Islam sebagai maharnya. Ummu Sulaim, “Wahai Abu Thalhah, Demi Allah tidak ada wanita yang akan menolak lamaran orang sepertimu. Tetapi aku seorang wanita muslimah dan engkau seorang yang kafir, karenanya aku tidak dibenarkan menikah denganmu. Jika engkau mau, masuklah kamu ke dalam agama Islam, itulah mahar yang kuminta, dan aku tidak akan meminta mahar yang lainnya lagi!”.

Abu Thalhah menyetujui permintaan Ummu Sulaim untuk memeluk Islam. Abu Thalhah akhirnya memberikan mahar ke-Islamannya kepada Ummu Sulaim. Anas bin Malik r.a – anak dari pernikahannya yang pertama sepakat dengan mahar tersebut.  Kemudian Ummu Sulaim berkata, “Hai Anas, nikahkanlah ibumu ini dengan Abu Thalhah”.

Mendengar kabar berita pernikahan Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah tersebut, seorang sahabat bernama Tsabit berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang perempuan yang mahar pernikahannya lebih utama daripada maharnya Ummu Sulaim”.

Dari pernikahannya dengan Abu Thalhah, lahirlah seorang anak bernama Abu Umair. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sering bercanda dengan Abu Umair ketika berkunjung ke rumah Abu Thalhah.

Suatu ketika, Abu Umair menderita sakit yang cukup parah. Pada saat yang sama, Abu Thalhah sedang bepergian keluar dalam waktu yang agak lama. Tiba-tiba, tidak lama setelah itu anaknya, Abu Umair,  meninggal dunia. Ummu Sulaim dalam kondisi dilema. Sebab, suaminya tercinta berpesan agar selama bepergian, Ummu Sulaim tidak keluar rumah sampai sang suami datang. Padahal ketika anaknya meninggal ia perlu ke luar rumah untuk memberi khabar ke sanak saudaranya bahwa anaknya meninggal dunia. Tapi Ummu Sulaim memegang janji dengan suaminya, yakni tidak keluar rumah sampai sang suami pulang. Lantas, Ummu Sulaim mengurus sendiri jenazah anaknya. Ia memandikan dan mengkafaninya serta membaringkannya di tempat tidur.

Hari itu Abu Thalhah sedang berpuasa sunnah, sebagaimana biasanya Ummu Sulaim pun menyiapkan makanan bagi suaminya untuk berbuka. Ia juga berhias dan memakai wangi-wangian untuk menyambut suaminya. Malam harinya, saat Abu Thalhah pulang, ia berbuka dengan makanan yang disiapkan istrinya. Ia bertanya tentang keadaan anaknya yang sakit, dan Ummu Sulaim menjawab, “Alhamdulillah, dia dalam keadaan yang baik-baik saja. Engkau tidak perlu memikirkan keadaannya lagi.”

Tentu, maksudnya adalah menenangkan suaminya tanpa ia harus mendustainya. Karena sudah meninggal, jelas saja tidak perlu dipikirkan lagi. Umu Sulai tidak berbohong,  anaknya yang telah meninggal dunia itu memang telah dalam keadaan baik-baik di sisi Allah, tidak sakit lagi. Ummu Sulaim berusaha agar sang suami tetap tenang karena baru saja bepergian. Abu Thalhah akhirnya menjadi tenang, ia meneruskan makannya. Malam itu ia juga menggauli istrinya, kemudian tertidur.

Ketika bangun pagi harinya, Ummu Sulaim yang sudah bangun terlebih berusaha memberi khabar. Ummu Sulaim berpikir sang suami telah hilang lelahnya dan kondisinya tenang. Ia lalu bertanya, “Wahai suamiku, seandainya seseorang diberi suatu amanah, kemudian pemiliknya mengambilnya kembali, haruskan ia mengembalikannya kembali?”

“Tentu,” Kata Abu Thalhah, “Dia harus mengembalikannya, ia tidak punya hak untuk menyimpannya!”
Mulailah Ummu Sulaim menjelaskan keadaan anaknya, “Suamiku, Allah telah mengamanatkan Abu Umair kepada kita, namun kini Dia telah memanggilnya kembali kemarin.”

Mendengar penuturan ini Abu Thalhah jadi sedih, bahkan sedikit marah. Ia menyesali kenapa Ummu Sulaim tidak memberitahukannya semalam. Ia menemui Nabi Shalallahu ‘alai wa sallam dan mengadukan apa yang dilakukan istrinya. Ternyata Rasulullah memuji kesabaran dan apa yang dilakukan Ummu Sulaim tersebut, beliau juga mendoakan, “Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala memberkati hubunganmu tadi malam dengan istrimu.”

Doa ini menjadi kenyataan. Dari hubungannya itu Ummu Sulaim melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah. Dan lama berselang setelah Nabi Shalallahu alai wassalam wafat, Abdullah mempunyai sembilan anak yang semuanya hafal al-Qur’an (hafidz).

Pantas saja Rasulullah mengapresiasi kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim. Ia teladan istri yang shalihah. Ia menikah dengan Abu Thalhah dengan niat dakwah. Tidak ada niat yang lainnya. Buktinya ia cukup meminta mahar Abu Thalhak masuk Islam. Ketika menjadi istri Abu Thalhah pun ia tidak arogan karena sang suami seorang muallaf. Justru ia memberi teladan bagaimana menjadi istri yang baik. Berkat kebaikannya ini ia dikaruniai cucu penghafal al-Qur’an dan semuanya jadi ulama’. Mahar keislamannya, berbuah ‘emas’.

Selain itu, ia juga wanita pemberani, pembela Nabi di medan pertempuran. Walaupun seorang wanita, Ummu Sulaim juga terlibat dalam beberapa pertempuran. Dalam perang Uhud, bersama Ummu Mukminin Aisyah r.a, ia mengisi tempat-tempat air dan memberikan pada para mujahid yang memerlukannya. Ia juga merawat mereka yang sakit dan terluka dalam pertempuran itu.

Dalam Perang Hunain, ketika itu ia sedang mengandung anaknya, Abdullah bin Abu Thalhah, tidak menghalanginya untuk ikut berjuang. Ia berdiri di dekat kemah Nabi Saw sambil memegang tombak. Ketika Nabi Saw menanyakan tentang tombaknya, ia berkata, “Jika ada orang kafir yang akan mendekatimu, aku akan melemparkan tombak ini ke perutnya.”

Referensi : Kitab Sirah Nabawiyah, al-Rahiq al-Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury

*Penulis adalah mahasiswa Politeknik POS Indonesia, Bandung dan aktivis LDK Commitment Politeknik Pos Indonesia.

Kemanakah Kulabuhkan Hati Ini?

0


ThisisGender.Com
-“Ini benar-benar kunci keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Jika suami istri memegang kuat-kuat konsep Annisa’: 34, maka itulah jaminan berlayarnya bahtera tanpa masalah berarti. Walau ombak bisa menggulung setinggi gunung. Tetapi jika sebaliknya, yang terjadi adalah ketidaknyamanan terus menghantui sejak di pelabuhan pertama. Hingga sampan mulai dikayuh. Apalagi ketika langit mulai gelap.”

Untaian kalimat di atas merupakan pembuka dalam buku bertajuk “Kemanakah Kulabuhkan Hati Ini?”. Setelah mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, tim Parenting Nabawiyah kembali menerbitkan buku bertema keluarga berbasis nubuwwah. Inilah buku seri ke-2, setelah “Inspirasi Rumah Cahaya”. Kali ini Budi Ashari, Lc tidak menulis sendiri, namun dibantu pula oleh Elvin Sasmita, S.Kom, dan Herfi Ghulam Faizi, Lc.

Sekilas judul buku ini diperuntukkan hanya untuk para bujangan atau jomblo. Tapi tidak!  Buku ini memaparkan konsep bagi siapapun yang ingin memiliki keluarga sesuai Al Qur’an dan sunnah. Baik bagi yang belum siap mengarungi bahtera rumah tangga, yang sedang memilih dan memilah pasangan jiwa, maupun yang ingin segera mengakhiri masa lajangnya. Bahkan, buku ini sangat tepat untuk keluarga yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup bersama. Serta bagi yang ingin mencari menantu untuk anak-anak tercintanya.

Begitu banyak keluarga yang hari ini bengkok oleh hantaman jaman, berbagai ajaran yang jauh dari ajaran Islam telah merusaknya. Tanpa disadari, telah membuat biduk rumah tangga terombang-ambing ketidakjelasan. Tidak jelas kemana arahnya. Tidak jelas siapa nahkodanya. Tidak jelas nasib penumpangnya. Di tengah badai yang siap melumat semuanya. Maka, kembali pada potret keluarga dalam Qur’an dan sesuai risalah kenabian adalah sebuah kebutuhan mendasar. Solusi berbagai permasalahan.

Budi Ashari, Lc menuliskan “di kebanyakan rumah hari ini, qowamah (kepemimpinan) ada di tangan wanita! Maka bercampur aduklah pemahaman, guncanglah timbangan, dan lenyaplah nilai. Begitu banyaknya efek. Di antaranya keluarga yang retak dan terurai antara suami tanpa kepemimpinan dan istri yang bebas berbuat. Serta anak-anak yang menjadi korban di antara ayah dan ibu yang berbeda dan bertikai.”

Alumni Fakultas Hadist dan Dirosah Islamiyyah di Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah Nabawiyyah ini , memaparkan dua hal yang wajib ada pada pada laki-laki. Dua hal tersebut adalah KELEBIHAN (kekuatan dan keberanian) dan NAFKAH yang dijabarkan dalam bab “Suami Setegar Pilar”.

Sedangkan terkait istri dipaparkan dalam bab “5 Kriteria Istri dalam An Nisa’: 34”. Lima hal tersebut meliputi: taat kepada Alloh, taat kepada suami, ikhlas dalam ketaatan, menjaga dirinya dan cintanya saat suami tidak ada, dan menjaga harta suami dengan baik. Semua itu terkemas dalam satu kata: SHOLIHAH.

Selain mambahas kriteria suami istri, buku ini memaparkan “Melewati Masa Bujangan dengan Penuh Makna”. Herfi Ghulam Faizi Lc menuliskan dengan bahasa yang sangat menggugah. Menurutnya, “Hidup membujang, antara pilihan dan keterpaksaan. Ada orang yang membujang karena belum mendapat pasangan. Sebenarnya hati sudah ingin menikah, mental OK, materi ada, tapi apalah daya jika jodoh belum kunjung tiba. Ada juga yang belum siap secara mental. Materi ada, calon di depan mata, namun belum berani menikah, ya tidak bisa dipaksa.” Jelas pria yang memutuskan menikah di usia 22 tahun ini.

Apapun alasan membujang, yang paling penting adalah orientasi yang jelas dari keputusan untuk tidak menikah dulu. Agar masa tersebut menjadi penuh makna. Tidak sia-sia begitu saja.

Bagaimana cara mengoptimalkan waktu bujangan? Mari belajar pada orang yang berpengalaman dan berhasil dalam pengalamannya. Siapa lagi jika bukan para ulama? Imam Ahmad bin Hanbal contohnya. Beliau menunda menikah sampai genap usianya mencapai empat puluh tahun untuk konsentrasi mencari ilmu. Begitu usianya genap, ilmunya mendalam, karya yang dihasilkan jelas, baru menikah. “Bujangan, tapi berprestasi!” tegasnya.

Menikah adalah regenerasi ketaqwaan. Alloh SWT memerintahkan kepada seluruh manusia agar bertaqwa, inilah frame besar seluruh aktivitas manusia dalam menjalani kehidupan ini. Elvin Sasmita, S.Kom memaparkan dalam bab “Tak Sekedar Mengakhiri Masa Lajang”. Menurutnya, “Inilah esensi dari Alloh menciptakan manusia dari diri yang satu (Adam) kemudian Alloh ciptakan istrinya (Hawa). Dengan hadirnya pasangan itu kemudian proses berkembang biaknya manusia pun dimulai. Kita semua berasal dari ayah dan ibu yang sama. Dalam ketaqwaan dan menggunakan nama Alloh kita saling meminta satu sama lain. Inilah hakikat dari berkembang biaknya manusia di bumi ini. Melakukan regenerasi ketaqwaan.” Jelas ayah dari tujuh orang anak ini.

Selain bab-bab yang sebagiannya telah dibahas di atas, buku dengan 86 halaman ini memiliki 15 bab keseluruhan yang sangat inspiratif. Dibahas pula kisah Julaibib yang beruntung mendapatkan bidadari dunia dan akhirat. Bagaimana Memilih Wanita Sesuai Sabda Nabi, Memilih Gadis atau Janda? Dan Menimbang keluarga Calon.

Dalam bab Fakta Jejak Langkah Proyek Iblis dan Solusinya, dipaparkan data dari Tod Callahan tentang angka hubungan seks diluar nikah yang membuat kita miris. Hasil survei perilaku seksual remaja di Indonesia dengan metode wawancara langsung terhadap 663 responden di 5 kota besar di Indonesia, berusia 15-25 tahun. Sebanyak 462 responden menjawab pernah melakukan seks di luar nikah. Dan 17% responden mengaku pernah melakukan aborsi.

Maka, untuk mengantisipasi semakin meluasnya dampak pergaulan bebas-yang dalam Islam disebut zina-, buku ini menawarkan solusi: menikah. Menikahlah! Karena Alloh Selalu Punya Rencana yang Jauh Lebih Baik. Kesemua bab tersebut memberikan arahan menyongsong dan meniti keluarga sesuai pedoman terbaik, Qur’an dan sunnah.

Buku inipun disertai pembahasan tips bagaimana mengatasi anak yang mengambil hak orang lain dan cara menjadi guru bagi buah hati.

Jadi, ayo segera dapatkan buku ini! “Kemanakah Kulabuhkan Hati ini?”

Red: Nunu Karlina

DR. Hamid Fahmy Zarkasyi Berbicara Tentang RUU-KKG

0

Pandangan DR. Hamid Fahmy Zarkasyi Tentang Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG).

 

Hak Perempuan dalam Barat VS Islam*

0

Oleh: Khalid Baig

ThisisGender.Com – Kenyataannya memang, terdapat begitu banyak fragmen dalam sejarah Barat yang diprotes keras oleh perempuan. Misalkan saja, hingga akhir tahun 1860-an, seorang wanita Inggris yang telah menikah tidak diakui sebagai seorang individu di hadapan hukum.

(وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَ‌ٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَ‌ٰلِكَ لَءَايَـٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ [٣٠:٢١

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(Ar-Rum, 30:21)

“Terpujilah Tuhan, Raja Alam Semesta bahwa Engkau tidak menciptakanku sebagai seorang wanita-” Jewish Man’s Prayer

“Apa perbedaannya ia sebagai istri atau seorang ibu, tetap saja dialah Hawa Si Penggoda yang harus kita waspadai dalam setiap wanita.”-St. Augustine

Perempuan Islam dalam Pandangan Barat

Salah satu di antara topik-topik favorit yang digelontorkan media Barat untuk menunjukkan perlakuan Islam yang tidak disukai terhadap perempuan adalah situasi para perempuan Arab Saudi yang tidak diizinkan untuk mengemudikan kendaraan. Setiap kali disodorkan fakta tersebut, Muslim yang merasa terpojok segera menunjukkan fakta bahwa di belahan negeri Muslim lain, para perempuan tetap diperkenankan untuk mengemudi.

Di banyak negeri muslim lain, perempuan memang diizinkan mengemudi, dan perkara pelarangan wanita untuk mengemudi di Arab Saudi masih menjadi perdebatan, apakah hal tersebut merupakan kebijakan yang baik atau buruk. Bahkan terdapat sejumlah indikasi bahwa pemerintah Arab Saudi akan mempertimbangkan untuk mengubah kebijakan ini 180 derajat. Hanya saja, para penyanggah itu melewatkan isu utamanya. Apakah mengemudi merupakan suatu hak atau sebatas kewenangan saja? Hak-hak tidak dapat diambil dari diri seseorang, akan tetapi kewenangan merupakan sesuatu yang dianugrahkan atau ditolak untuk diberikan oleh otoritas di manapun. Sebelum menyalahkan pihak yang merampas hak orang lain, yang pertama kali harus dilakukan adalah memastikan bahwa hal yang dituntut tadi adalah benar-benar merupakan sebuah hak.

Untuk mengetahui bahwa di seluruh dunia ini mengemudi merupakan sebuah kewenangan, seseorang tidak perlu melakukan riset lebih jauh dari sekedar mengingat Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dimilikinya. Seseorang tidak membutuhkan izin apapun untuk menikmati haknya, akan tetapi tidak demikian dengan kewenangan izin dari otoritas yang dibutuhkan untuk mendapatkannya. Di manapun, kewenangan ini dapat diberikan atau dicabut oleh lembaga negara sesuai dengan kapasitasnya.

Contohnya saja di Amerika Serikat, SIM seseorang dapat dicabut bukan karena kesalahan yang bersangkutan. Misalnya, saat ada orang lain yang menabraknya sementara dia tidak menggunakan asuransi kecelakaan. Aturan ini menghukum seseorang bukan karena kesalahannya, akan tetapi hal ini tidak dapat ditentang karena mengemudi bukanlah sebuah hak. Hal itu sebatas kewenangan saja. Dengan ini, kasus ditutup.

Hak Perempuan dalam Barat

Pertukaran menekankan kesulitan untuk mendiskusikan isu terkait perempuan secara objektif pada atmosfer saat ini sangat dituntut, yang diproduksi sebagian besar oleh mesin media yang sangat kuat. Dan sebagaimana yang telah diduga, dapat dikatakan tak ada isu “standar emas” bagi seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat dikembangkan oleh Barat. Setiap orang pada saat ini tidak dapat menyanggahnya. Sejarah perjuangan wanita dan pencapaian kejayaan Barat telah menjadi cahaya pemandu bagi seluruh manusia.

Kenyataannya memang terdapat begitu banyak fragmen dalam sejarah Barat yang diprotes keras oleh perempuan. Sampai akhir tahun 1860-an, seorang wanita Inggris yang telah menikah tidak diakui sebagai seorang individu di hadapan hukum. Dalam pernikahan, dia memasuki kondisi yang disebut sebagai “converture,” dengan kata lain ia menjadi hak milik suaminya. Nama belakangnya diubah sebagai tanda kepemilikan yang baru, bahkan praktik ini masih berlangsung hingga kini. Dia tidak berhak memiliki properti, membuat kontrak/kesepakatan/ wasiat, atau hak asuh atas anak-anaknya.

Undang-undang Inggris tahun 1632 mendeklarasikan bahwa: Segala yang dimiliki seorang suami adalah kepunyaannya, sementara apa yang dimiliki istrinya adalah kepunyaan suaminya.” Lebih parah lagi, seorang istri bahkan tidak berhak untuk memutuskan ikatan pernikahan yang tidak membahagiakannya. Sampai tahun 1857, perceraian hanya bisa dilakukan melalui dokumen persetujuan dari parlemen.

Status wanita sebagai manusia kelas dua diyakini secara luas: “[Pria] merupakan gambaran dan kejayaan Tuhan, tapi wanita merupakan kejayaan bagi pria”. (I Cor. 11:7). Bahkan tidak seorang pemimpin pun yang dihormati di dunia Barat mulai dari abad ke-15 hingga abad ke-18 yang menentang ide ini. Inilah perkataan seorang reformis Martin Luther: “Jika mereka kelelahan atau bahkan mati, hal itu tidak menjadi masalah. Biarkan mereka mati kala melahirkan, untuk itulah mengapa mereka ada.“

Karya Mary Wollstonecroft (1792) dan John Stuart Mill (1869) ditunjukkan sebagai suara-suara protes yang pertama. Tapi sebenarnya, orang-orang kontroversial ini ditolak dan diabaikan pada masanya. (Pemikiran) keduanya baru diketemukan kembali pada paruh kedua abad ke-20 sebagai justifikasi atas sejumlah perkembangan saat itu.

Situasi baru mulai berubah pada abad ke-19, bukan berlandaskan argumentasi moral, akan tetapi akibat pengaruh revolusi industri. Gilasan revolusi industri menghancurkan perekonomian berbasis keterampilan dan kerajinan tangan, kemudian memaksa para pekerja untuk beralih untuk bekerja secara massal sebagai buruh kasar pada pabrik-pabrik di kota besar. Mereka meminta jaminan keluarga sehingga seorang pendapatan laki-laki cukup untuk membiayai keluarganya. Tapi sia-sia saja. Para kapitalis lebih suka seluruh keluarga ikut bekerja jika mereka ingin makan. Tidak ada pilihan lain kecuali mengirim wanita (dan juga anak-anak) ke pabrik untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Kemudian, pembukaan pekerjaan perkantoran membutuhkan jutaan wanita lainnya untuk keluar dari rumah dan mengisi posisi sebagai gadis penjual (salesgirl), pengetik, sekretaris, atau pelayan. Proses tersebut mendapatkan tujuan moralnya melalui ungkapan “gerakan feminis”. Perkembangannya ditandai dengan seberapa banyak wanita yang berhasil ditarik keluar dari rumah mereka. Beban sosial yang disebabkan revolusi industri kemudian dilabeli sebagai emansipasi wanita. Menurut logikanya yang tidak masuk akal, jika seorang wanita menyajikan makanan untuk suami dan anak-anaknya, maka hal itu disebut perbudakan; akan tetapi, jika ia melakukan hal yang persis sama pada seseorng yang asing di restoran atau di dalam pesawat, misalnya, maka hal tersebut dianggap sebagai emansipasi!

Perlakuan Barat Terhadap Perempuan

Para filsuf Yunani mendiskusikan apakah perempuan memiliki jiwa atau tidak. Kemudian peradaban Barat menjawab pertanyaan ini dengan: Perempuan hanyalah tubuh semata-mata. Itulah alasan mengapa kita melihat gambar perempuan nyaris telanjang atau bahkan telanjang pada setiap ruang yang memungkinkan setiap kali Barat membanggakan dirinya dalam perkara kemajuan atas para perempuan.

Sebuah laporan tentang pornografi di internet dari Los Angeles menekankan penurunan moral tak berujung yang diciptakan oleh sistem nilai ini. Ketelanjangan mungkin saja menurunkan harkat, begitu katanya, akan tetapi sisi positifnya adalah “internet telah memungkinkan beberapa wanita ini menjadi entrepreuneurs dengan cara memasarkan aset fisik mereka sendiri.”

Kerusakan rumah tangga merupakan akibat langsung dari “kemajuan” ini. pada tahun 1994, sebanyak 1,2 juta perceraian terjadi di Amerika Serikat. Para ahli memprediksi bahwa setengah dari seluruh perkawinan baru akan berakhir dengan perceraian. Sebuah sistem yang tidak adil hanyalah mengubah bentuk-bentuk eksploitasi. Mereka tak dapat memperbaiki maalah-masalah di dalam rumah. Karena itulah mereka “membebaskan” para wanita dari rumah.

Hak dan Perlakuan Islam  Terhadap Perempuan

Di sisi lain, Islam memberinya hak-hak yang dianugerahkan langsung oleh Tuhan tanpa memaksa dia untuk keluar dari rumahnya. Seorang perempuan dalam islam memiliki hak kepemilikan, juga warisan. Ia pun memiliki hak-hak dalam pernikahannya sebagaimana suaminya. Jauh dari ketidakdewasaannya yang digambarkan oleh Barat, ia bertanggungjawab atas manajemen yang efektif di rumahnya dan membesarkan anak-anaknya. Hal itu merupakan suatu pekerjaan yang sangat menantang.

Surga terletak di kakinya. Kebaikan seorang suami dinilai dari perlakuannya yang baik pada istrinya. Untuk membesarkan seorang anak perempuan dengan penuh kasih sayang merupakan jaminan bagi ayahnya agar terhindar dari api neraka. Nah, sementara model feminis bergantung pada friksi, relasi yang dibangun dalam Islam merupakan relasi yang berlandaskan pada cinta dan penghormatan, serta memandu pada kedamaian dan keharmonisan. Inilah emas yang sesungguhnya. Mengapa ada saja yang mau menukarnya dengan serpihan logam berkilau yang tak berharga?.

Penulis adalah seorang Sarjana islam yang berprofesi sebagai insinyur, ia juga editor jurnal online al-Balagh. Ia telah menulis tentang isu-isu Islam sejak 1986 yang juga termasuk tulisannya untuk jurnal Inggris “International Impact” di mana ia menulis kolom bernama “First Thing First“.

*Artikel asli berjudul “Emas dan Logam Berkilau”, http://islamicvoice.com/February2007/WomensWorld/.

Red : Rira Nurmaida, Sarah Mantovani

14,646FansLike
3,912FollowersFollow
10,162SubscribersSubscribe

Recent Articles

Trending Now